Perdata_Hukumonline
Pada dasarnya, perbuatan meminjamkan uang tersebut adalah perjanjian pinjam meminjam atau lazimnya disebut dengan perjanjian utang piutang. BerdasarkanPasal 1754 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”), pinjam meminjam adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabis karena pemakaian, degan syarat bahwa pihak yang meminjam akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula.
Melihat pada pengertian di atas, maka utang piutang adalah perjanjian, yang mana dalam sebuah perjanjian, tidak disyaratkan bahwa perjanjian harus dalam bentuk tertulis. Perjanjian bisa dalam bentuk lisan ataupun tertulis, selama memenuhi persyaratan perjanjian dalam Pasal 1320 KUHPer, yaitu:
a. Sepakat dari mereka yang mengikatkan dirinya;
b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
c. Suatu hal tertentu;
d. Suatu sebab yang halal.
Jadi, selama perjanjian utang piutang tersebut memenuhi 4 (empat) syarat di atas, maka walaupun tidak dalam bentuk tertulis, perjanjian utang piutang tersebut sah mengikat kedua pihak. Berdasarkan Pasal 1338 KUHPer, semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Perjanjian tersebut tidak dapat ditarik kembali kecuali ada kesepakatan dari kedua belah pihak dan para pihak harus melaksanakan perjanjian tersebut dengan iktikad baik.
Berdasarkan perjanjian tersebut, maka H memiliki kewajiban (prestasi) yang harus ia penuhi yaitu mengembalikan uang suami Anda. Mengenai apakah hangus atau tidak, mungkin yang Anda maksud adalah apakah utang tersebut hapus atau tidak karena tidak ada perjanjian tertulis dan tidak terurus.
Perjanjian sendiri merupakan suatu cara untuk melahirkan perikatan, sebagaimana tercantum dalam Pasal 1233 KUHPer, yang mengatakan bahwa “tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena undang-undang”. Berdasarkan Pasal 1381 KUHPer, perikatan hapus karena:
a. karena pembayaran;
b. karena penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan atau penitipan;
c. karena pembaruan utang;
d. karena perjumpaan utang atau kompensasi;
e. karena percampuran utang;
f. karena pembebasan utang;
g. karena musnahnya barang yang terutang;
h. karena kebatalan atau pembatalan;
i. karena berlakunya suatu syarat pembatalan, yang diatur dalam Bab I buku ini; dan
j. karena lewat waktu, yang akan diatur dalam suatu bab sendiri.
Jika yang Anda maksud apakah bisa hapus utang tersebut karena tidak terurus, yang dalam hal ini karena lewat waktunya, maka berdasarkan Pasal 1967 KUHPer, perjanjian utang piutang tersebut baru hapus setelah lewat 30 (tiga puluh) tahun, sedangkan dalam kasus Anda baru 4 (empat) tahun.
Pasal 1967 KUHPer:
Semua tuntutan hukum, baik yang bersifat kebendaan maupun yang bersifat perorangan, hapus karena lewat waktu dengan lewatnya waktu tiga puluh tahun, sedangkan orang yang menunjuk adanya lewat waktu itu, tidak usah menunjukkan suatu alas hak, dan terhadapnya tak dapat diajukan suatu tangkisan yang didasarkan pada itikad buruk.
Jadi berdasarkan uraian di atas, perjanjian utang piutang antara suami Anda dan temannya tersebut tidak menjadi hapus karena tidak adanya perjanjian tersebut dalam bentuk tertulis atau hapus karena lewatnya jangka waktu.
Yang dapat Anda lakukan sebaiknya membicarakan hal tersebut secara kekeluargaan terlebih dahulu dengan H agar ia membayar utangnya karena suami Anda dan Anda membutuhkannya uang tersebut. Jika H tidak mau membayar utangnya, suami Anda dapat menggugat H secara perdata atas dasar wanprestasi karena tidak memenuhi kewajibannya (prestasinya) dalam perjanjian utang piutang yaitu mengembalikan uang yang dipinjamnya dari suami Anda.
Berdasarkan cerita Anda, tidak disebutkan apakah ada kesepakatan antara suami Anda dengan H mengenai waktu pembayaran utang tersebut. Dalam hal tenggang waktu pembayaran utang tidak ditentukan, Anda perlu memperingati H supaya dia memenuhi kewajibannya terlebih dahulu sebelum Anda melakukan gugatan perdata. Peringatan tersebut Anda lakukan secara tertulis atau disebut juga dengan somasi sebagaimana diatur dalam Pasal 1238 KUHPer. Jika H tidak juga memenuhi kewajibannya setelah suami Anda memberikan somasi, maka suami Anda bisa menggugat H atas dasar wanprestasi. Begitu pula apabila waktu pembayaran telah ditentukan sebelumnya, suami Anda juga harus memberikan somasi terlebih dahulu sebelum menggugat secara perdata.
Pasal 1238 KUH Per:
“Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa si berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.”
Lebih lanjut mengenai gugatan wanprestasi, dapat Anda baca dalam artikel-artikel berikut ini:
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.
Komentar
Posting Komentar