Perdata_Hukumonline
SENIN, 15 AGUSTUS 2011
Ciri
dan Isi Surat Kuasa Khusus
Tolong diterangkan secara gamblang perbedaan
Surat Kuasa Khusus dengan surat Kuasa, mulai dari ciri-ciri yang membedakannya.
Karena terkadang di atasnya ditulis Surat Kuasa Khusus tapi ternyata isinya
masih multitafsir artinya tidak khusus. Lalu, dalam kondisi seperti apa saja
wajib menggunakan Surat Kuasa Khusus? Demikian dan terima kasih.
Jawaban:
DIANA KUSUMASARI
Ketentuan mengenai pemberian kuasa secara
tersirat dapat kita temui dalamPasal 1792 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata ("KUHPer").
Pemberian kuasa ini dapat diberikan dan diterima dengan suatu akta umum,
dengan surat di bawah tangan bahkan dengan sepucuk surat ataupun dengan lisan.
Penerimaan suatu kuasa dapat pula terjadi secara diam-diam dan disimpulkan dari
pelaksanaan kuasa itu oleh yang diberi kuasa(lihat Pasal 1793 KUHPer).
Pemberian kuasa ini dapat dilakukan
secara khusus, yaitu hanya mengenai satu kepentingan
tertentu atau lebih, atau secara umum, yaitu meliputi segala
kepentingan pemberi kuasa (lihat Pasal 1795 KUHPer).Dan
untuk tujuan pemberian kuasa tersebut, pemberi kuasa dapat memberikan surat
kuasa (tertulis), antara lain:
a. Surat Kuasa
Khusus
Surat kuasa
khusus adalah pemberian kuasa yang dilakukan hanya untuk satu kepentingan
tertentu atau lebih (lihat Pasal 1975 KUHPer). Dalam surat kuasa
khusus, di dalamnya dijelaskan tindakan-tindakan apa saja yang boleh
dilakukan oleh penerima kuasa. Jadi, karena ada tindakan-tindakan
yang dirinci dalam surat kuasa tersebut, maka surat kuasa tersebut
menjadi surat kuasa khusus.
b. Surat Kuasa
Umum
Surat kuasa
umum, berdasarkan Pasal 1796 KUHPer, dinyatakan bahwa
pemberian kuasa yang dirumuskan dengan kata-kata umum, hanya meliputi
perbuatan-perbuatan pengurusan. Sehingga, surat kuasa umum hanya
boleh berlaku untuk perbuatan-perbuatan pengurusan saja. Sedangkan, untuk
memindahtangankan benda-benda, atau sesuatu perbuatan lain yang hanya boleh
dilakukan oleh pemilik, tidak diperkenankan pemberian kuasa dengan surat kuasa
umum, melainkan harus dengan surat kuasa khusus.
Jadi, yang membedakan surat kuasa khusus dan
surat kuasa umum antara lain adalah:
Perbedaan
|
Surat Kuasa Umum
|
Surat Kuasa Khusus
|
Dasar
Hukum
|
Pasal
1796 KUHPer
|
Pasal
1975 KUHPer
|
Judul
|
Mencantumkan
kata-kata
“Surat
Kuasa Umum”
|
Mencantumkan
kata-kata “Surat Kuasa Khusus”
|
Isi
|
Meliputi
1 kepentingan atau lebih dari pemberi kuasa yang diperinci mengenai hal-hal
yang boleh dilakukan oleh penerima kuasa
|
Meiputi
pengurusan segala kepentingan pemberian kuasa
|
Lebih jauh mengenai surat kuasa ini simak:
Dalam praktik, dikenal pula yang disebut
dengan surat kuasa mutlak. Simak juga artikel mengenai Surat
Kuasa Mutlak.
Memang dalam praktiknya, kekurangan,
ketidaktepatan dan kesalahan dalam pembuatan surat kuasa tidak dapat dihindari.
Namun, perlu digarisbawahi bahwa penerima kuasa tidak boleh melakukan apa pun
yang melampaui yang dikuasakan kepadanya (lihat Pasal 1797 KUHPer).
Adanya salah kaprah tentang konsep kuasa umum
dan kuasa khusus dalam praktik juga dibahas Rachmad Setiawan dalam
buku “Hukum Perwakilan dan Kuasa.” Dia menulis antara lain bahwa
praktik mengartikan suatu kuasa khusus adalah kuasa yang harus dinyatakan
secara terperinci sehingga mengandung kriteria spesialitas. Kalau tak rinci
maka dianggap kuasa umum. Praktik ini, menurut Rachmad, sangat keliru.
Pengertian khusus dan umum, menurutnya, tidak mengacu kepada rinci atau tidak
rincinya kuasa yang diberikan, melainkandilihat apakah yang dikuasakan itu
mengandung tindakan hukum tertentu atau tidak tertentu alias semua tindakan
hukum.
Dalam artikel hukumonline “Kuasa,
‘Jalan di Tempat’ Sejak Nusantara Merapat” lebih jauh dijelaskan
pendapat Rachmad sebagai berikut:
“…
Kuasa Umum itu kuasa untuk melakukan tindakan apa saja, dan juga bisa hal
tertentu saja. Tapi sebatas tindakan pengurusan atau hal-hal umum.
Perbuatannya, biasanya nggak terlalu signifikan. ‘Pengurusan sehari-hari lah,’
paparnya. Dalam BW ada di Pasal 1796. Namun dari kuasa umum ini, jika hendak
melakukan penguasaan, diperlukan syarat-syarat. Disebutkan bahwa tindakan
penguasaan itu harus dinyatakan dengan tegas.
“Sedangkan
kuasa khusus, lanjutnya, kuasa untuk satu dua perbuatan tertentu. Khusus,
paparnya, karena bisa melakukan tindakan hukum penguasaan. Mengacu pada BW ada
di 1795. Contoh kuasa khusus ini adalah kuasa menyewakan rumah,
mengakhiri sewa, dan bila perlu menagih uang sewa rumah sekaligus kwitansinya.
Sementara kalau kuasa umum tadi hanya untuk mengurus rumahnya, urainya.”
Demikian penjelasan kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, Staatsblad 1847
No. 23)
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat
Anda simak juga melalui twitter@klinikhukum, atau facebook Klinik
Hukumonline.
Setiap
artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum,
atau facebook Klinik Hukumonline.
SENIN, 30 JANUARI 2012
Debitur-Kreditur
ataukah Debitor-Kreditor?
Dalam penyebutan pihak yang berutang atau
yang memberi utang dalam bidang perbankan dikenal istilah Debitur atau
Kreditur. Sesuai dengan teks asli BW istilah yang dipergunakan adalah Debitor
atau Kreditor. Hal ini juga terdapat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Departemen Pendidikan & Kebudayaan, terbitan Balai Pustaka, edisi ketiga
tahun 1990, halaman 190. Juga terdapat dalam Kamus Bahasa Indonesia
Kontemporer, Drs Peter Salim MA & Yenny Salim BSc, terbitan Modern English
Pres, Edisi pertama tahun 1990, halaman 325. Bahkan dalam UU No. 4/1996 tentang
Hak Tanggungan pun huruf 1 & 2 Pasal 1 Bab I mengenai Ketentuan Umum, pemerintah
& DPR telah mempopulerkan istilah Debitor-Kreditor tersebut Pertanyaan: 1.
Istilah apa sebenarnya yang paling tepat untuk pihak yang berhutang atau pihak
yang memberi hutang dilihat dari kacamata hukum dan apa akibat dari penggunaan
istilah yang tidak tepat bagi dunia perbankan? 2. Dapatkah Hak Tanggungan yang
telah dipasang dipermasalahkan oleh pihak yang berhutang karena dalam
Perjanjian Kreditnya Bank menyebut istilah Debitur-Kreditur, sedangkan UU Hak
Tanggungan menyebut istilah Debitor-Kreditor dalam ketentuan umumnya? Demikian
disampaikan atas jawabannya diucapkan terima kasih.
Jawaban:
1. Penggunaan istilah
yang berbeda ini (kreditur/debitur dan kreditor/debitor) boleh jadi dapat
menimbulkan kebingungan dan perdebatan. Berdasarkan penelusuran kami terhadap
berbagai peraturan perundang-undangan, literatur maupun kamus terkait penggunaan
istilah pihak yang berutang atau yang memberi utang. Berikut di bawah ini
antara lain penggunaan istilah-istilah tersebut dari beberapa sumber:
a. Debitor dan/ atau
Kreditor, terdapat dalam :
- Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan;
- Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer Drs
Peter Salim MA & Yenny Salim;
- UU
No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Pasal
1 angka 2 dan 3).
b. Debitur dan/ atau
Kreditur, terdapat dalam :
Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan (UU Perbankan).
Mengutip
bunyi ketentuan pasalnya, berikut contoh pasal yang mendefinisikan istilah
debitor dan/atau kreditor (dari Pasal 1 angka 2 dan 3 UU
No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang):
“2. Kreditor adalah orang yang mempunyai
piutang karena perjanjian atau Undang-Undang yang dapat ditagih di
muka pengadilan.
3. Debitor adalah orang yang mempunyai utang karena
perjanjian atau undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka
pengadilan”
Sedangkan, contoh pasal yang menggunakan
istilah debitur dan/atau kreditur (dari Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan):
“Nasabah
Debitur adalah nasabah yang memperoleh fasilitas kreditatau
pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah atau yang dipersamakan dengan itu
berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan.”
Selain itu, memang sistem hukum Indonesia
yang merupakan peninggalan hukum Belanda, banyak menyerap istilah-istilah dari
Bahasa Belanda langsung ke dalam Bahasa Indonesia. Seperti halnya debitor dalam
Bahasa Belanda yang dituliskandebiteur dapat diartikan sebagai
debitor/debitur (Kamus Hukum Belanda-Indonesia).
Jadi,
menurut pendapat kami istilah yang tepat digunakan sesuai dengan kacamata hukum
adalah istilah yang mendasarkan pada peraturan perundang-undangan terkait
(dalam hal ini terkait penggunaan istilah pihak yang berutang (debitor) dan
pihak yang berpiutang (kreditor). Namun, secara prinsip perbedaan penggunaan
istilah tersebut tidak memberikan pengaruh secara hukum karena keduanya
memiliki arti yang sama yakni, debitur/debitor adalah pihak yang memiliki utang,
sedangkan kreditur/kreditor adalah pihak yang memiliki piutang.
Hal ini juga pernah terjadi atas penggunaan
kata Seponering dan Deponering. Lebih lengkap baca artikel Bahasa
Hukum: Seponering atau Deponering?
Dengan
demikian, menurut hemat kami, penggunaan istilah yang berbeda dalam dunia
perbankan di mana UU Perbankan menggunakan istilah Debitur dan Kreditur
sedangkan pada praktiknya ditemui penggunaan istilah Debitor dan
Kreditor, seharusnya tidak menimbulkan akibat hukum apapun.
2. Sesuai
dengan penjelasan kami di atas, penggunaan istilah Debitor/Kreditor dalam
Perjanjian Kredit Bank tidak akan berakibat hukum terhadap hak
tanggungan yang disertakan dalam perjanjian kredit bank karena tidak
menyentuh pokok-pokok dari perjanjian penanggungan itu sendiri (Hak
Tanggungan).
Demikian
jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar
Hukum:
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat
Anda simak juga melalui twitter@klinikhukum, atau facebook Klinik
Hukumonline.
Komentar
Posting Komentar