Perdata_Hukumonline
SENIN, 04 JULI 2011
Di Mana Pengaturan Kerugian Konsekuensial
dalam Hukum Indonesia?
Sering di dalam
perjanjian tertulis terdapat klausa mengenai "Kerugian
Konsekuensial", yang dikelompokan juga dengan 'kerugian tidak langsung',
dan/atau 'kerugian punitive/exemplary'. Di dalam perjanjian-perjanjian tersebut
Kerugian Konsekuensial tersebut jika dilihat secara umum setidaknya mengandung
unsur (i) kerugian yang tidak diderita secara langsung oleh korban; dan/atau
(ii) kerugian yang merupakan SEGALA konsekuensi dari perbuatan si pelaku -
terutama karena unsur (ii) jumlah kerugian tersebut dapat tidak tak terbatas.
Pertanyaannya adalah: (i) sumber hukum Indonesia mana yang mengatur mengenai
macam kerugian di atas? (ii) unsur apa saja yang terdapat di dalam Kerugian
Konsekuensial menurut Hukum Indonesia? (iii) adakah contoh kasusnya? Terima
Kasih.
Jawaban:
Terima kasih atas
pertanyaan yang telah disampaikan untuk menjawab pertanyaan tersebut berikut
kami sampaikan dibawah ini;
A. Apakah
yang dimaksud dengan Kerugian
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dimaksud Kerugian
adalah kondisi di mana sesorang tidak mendapatkan keuntungan dari apa yang
telah mereka keluarkan (modal).
Kerugian dalam hukum dapat dipisahkan menjadi dua (2)
klasifikasi, yakni Kerugian Materil dan Kerugian Imateril;
Kerugian Materil:
|
Yaitu
kerugian yang nyata-nyata ada yang diderita oleh Pemohon.
|
Kerugian Immateril:
|
Yaitu
kerugian atas manfaat yang kemungkinan akan diterima oleh pemohon di kemudian
hari atau kerugian dari kehilangan keuntungan yang mungkin diterima oleh
Pemohon di kemudian hari.
|
Kerugian dalam KUHPerdata dapat
bersumber dari Wanprestasi sebagaimana diatur dalam Pasal 1238 Juncto Pasal 1243 dan
Perbuatan Melawan Hukum sebagaimana diatur dalam Pasal
1365.
B. Kerugian
dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
Sebagaimana telah diterangkan diatas, dimana kerugian dalam
Hukum Perdata dapat bersumber dari Wanprestasi dan Perbuatan Melawan Hukum,
maka berikut penjabarannya;
1. Kerugian
dalam Wanprestasi
Wanprestasi adalah pristiwa dimana pihak tidak melaksankana
Prestasinya baik itu;
- Salah satu pihak tidak memenuhi
prestasi sama sekali.
- Salah satu pihak memenuhi prestasi,
tetapi tidak sebagaimana mestinya.
- Salah satu pihak memenuhi prestasi,
tetapi tidak tepat pada waktunya.
- Salah satu pihak memenuhi prestasi,
tetapi melakukan yang dilarang dalam perjanjian
Wanprestasi sebagaimana diamanahkan dalam Pasal 1238
KUHPerdatayang isinya “Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan
surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau
demi perikatannya sendiri, ialah jika ia menerapkan, bahwa si berutang harus
dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan”
Saat salah satu pihak telah melakukan Wanpretasi maka
dimungkinkan timbulnya kerugian dalam peristiwa tersebut, sebagaimana
diterangkan dalam Pasal
1246 KUHPerdata, maka ganti-kerugian tersebut terdiri dari 3 unsur yaitu;
i. Biaya, yaitu
biaya-biaya pengeluaran atau ongkos-ongkos yang nyata/tegas telah
dikeluarkan oleh Pihak.
ii. Rugi, yaitu
kerugian karena kerusakan/kehilangan barang
dan/atau harta kepunyaan salah satu pihak yang diakibatkan oleh kelalaian
pihak lainnya.
iii. Bunga, yaitu
keuntungan yang seharusnya diperoleh/diharapkan oleh salah satu pihak apabila
pihak yang laintidak lalai dalam
melaksanakannya.
2. Kerugian
dalam Perbuatan Melawan Hukum
Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal
1365 KUHPerdata, dalam hal seseorang melakukan suatu Perbuatan Melawan Hukum
maka dia berkewajiban membayar ganti rugi akan perbuatannya tersebut, hal yang
berbeda dengan Tuntutan kerugian dalam Wanprestasi, dalam tuntutan Perbuatan
Melawan Hukum tidak ada pengaturan yang jelas mengenai ganti kerugian tersebut
namun sebagaimana diatur dalam Pasal
1371 ayat (2) KUHPerdata tersirat
pedoman yang isinya “Juga penggantian kerugian ini dinilai menurut kedudukan
dan kemampuan kedua belah pihak, dan menurut keadaan”.
Pedoman selanjutnya mengenai ganti kerugian dalam PMH kita bisa
dalamPasal 1372 ayat (2) KUHPerdata yang
isinya: “Dalam menilai suatu dan lain, Hakim harus memperhatikan berat
ringannya penghinaan, begitu pula pangkat, kedudukan dan kemampuan kedua belah
pihak, dan pada keadaan”
Prof. Rosa Agustina dalam
bukunya “Perbuatan Melawan Hukum” menerangkan bahwa kerugian akibat
Perbuatan Melawan Hukum sebagai “scade” (rugi) saja, sedangakan kerugian
akibat Wanprestasi oleh Pasal 1246 KUHPerdata dinamakan “Konsten, scaden en
interessen” (biaya, kerugian dan bunga).
Kemudian, dalam buku yang sama Prof. Rosa Agustina juga
menerangkan bahwa kerugian dalam Perbuatan Melawan Hukum menurut KUHPerdata,
Pemohon dapat meminta kepada si pelaku untuk mengganti kerugian yang nyata
telah dideritanya (Materil) maupun keuntungan yang akan diperoleh di
kemudian hari (Immateril).
Pada praktiknya, pemenuhan tuntutan kerugian Immateril
diserahkan kepada Hakim dengan prinsip ex aquo
et bono, hal ini
yang kemudian membuat kesulitan dalam menentukan besaran kerugian Immateril
yang akan dikabulkan karena tolak ukurnya diserahkan kepada subjektifitas Hakim
yang memutus. Namun guna memberikan suatu pedoman dalam pemenuhan gugatan
Immateril maka Mahkamah Agung dalam Putusan perkara Peninjauan Kembali No.
650/PK/Pdt/1994 menerbikan pedoman yang isinya “Berdasarkan Pasal 1370, 1371,
1372 KUHPerdata ganti kerugian immateril hanya dapat diberikan dalam hal-hal
tertentu saja seperti perkara Kematian,
luka berat dan penghinaan”.
C. Kesimpulan
Jika kita melihat kepada apa yang telah dijabarkan di atas, maka
“Kerugian Konsekuensial", atau yang dikelompokan juga dengan 'kerugian
tidak langsung', dan/atau 'kerugian punitive/exemplary' yang
dikenal dalam “Tort Law” pada
sistem hukum Common
Law adalah
sama dengan kerugian Immateril yang terdapat dalam Pasal 1365 KUHPerdata
mengenai Perbuatan Melawan Hukum. Dan sebagaimana Tuntutan dalam Perbuatan
Melawan Hukum, maka agar dapat dikabulkannya tuntutan materil dan Immateril
maka harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana berikut;
1. Perbuatan Tersebut Melawan Hukum
2. Harus ada kesalahan pada pelaku
3. Harus ada kerugian, dan
4. Harus ada hubungan kausal antara perbuatan dan kerugian.
Lebih lanjut, pemenuhan tuntutan ganti kerugian Immateril akan
mengalami kendala yang tidak mudah dalam pemenuhannya. Hal ini karena pemohon
harus membuktikan dalilnya tersebut yang sudah barang tentu tidak semudah
membuktikan kerugian Materil. Hal ini sangat bergantung kepada subjektifitas
Hakim dalam memutus perkara berdasarkan prinsip ex aquo
et bono. Hal
mana dapat kita lihat dalam Arrest
Hoge Raad tertanggal
31 Desember 1937 Hoetink No. 123 dan lihat juga putusan Majelis Hakim
Peninjauan Kembali No. 650/PK/Pdt/1994 antara A Thamrin vs PT. Merantama (lihat
buku Prof. Rosa Agustina “Perbuatan Melawan Hukum”).
Demikian jawaban kami,
semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk
Wetboek, Staatsblad 1847
No. 23)
Setiap
artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum,
atau facebook Klinik
Hukumonline.
Komentar
Posting Komentar