Syarat Perusahaan Dalam Negeri "Joint Venture"
Syarat Perusahaan Dalam Negeri "Joint Venture"
Joint venture merupakan suatu kerangka perjanjian antara dua pihak (perusahaan) atau lebih yang memiliki tujuan yang sama. Perjanjian ini biasanya bermuara pada terbentuknya suatu perusahaan joint venture.Dalam perkembangannya, tidak dibedakan apakah joint venture itu dianggap sebagai penanaman modal asing ataupun penanaman modal dalam negeri.
Mengingat joint venture pada dasarnya merupakan upaya patungan modal, maka dimungkinkan bagi dua perusahaan dalam negeri untuk membentuk suatu joint venture company.
Kemudian mengenai kantor cabang, kantor cabang perusahaan adalah perusahaan yang merupakan unit atau bagian dari perusahaan induknya yang dapat berkedudukan di tempat yang berlainan dan dapat berdiri sendiri atau bertugas untuk melaksanakan sebagian tugas dari perusahaan induknya. Ada beberapa syarat untuk mendirikan kantor cabang.
Pengertian joint venture sebenarnya tidak secara tegas diatur dalam Undang-Undang, namun itu dijelaskan padaPasal 5 ayat (3) huruf a Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (“UU 25/2007”) yang menyatakan:
“Penanam modal dalam negeri dan asing yang melakukan penanaman modal dalam bentuk perseroan terbatas dilakukan dengan mengambil bagian saham pada saat pendirian perseroan terbatas.”
Dalam buku Anderson’s Business Law And The Legal Environment yang ditulis oleh David P. Twomeydisebutkan:
“Joint venture is relationship in which two or more persons comine their labor or property for single business undertaking and share profits and losses equally or as otherwise agreed.”
Dari pengertian di atas, kita dapat melihat bahwa joint venture merupakan suatu kerangka perjanjian antara dua pihak (perusahaan) atau lebih yang memiliki tujuan yang sama. Perjanjian ini biasanya bermuara pada terbentuknya suatu perusahaan joint venture. Dengan skema joint venture ini, para pihak mendapatkan beberapa manfaat seperti:
1. Mengurangi kebutuhan modal dan sumber daya lainnya karena adanya unsur pembagian kebutuhan;
2. Transfer teknologi antar pihak;
3. Meminimalisasi resiko usaha;
4. Memungkinkan untuk mengembangkan usaha sampai ke skala global.
Dalam perkembangannya, joint venture sering dikaitkan dengan kemampuan modal nasional yang sudah dapat melakukan usaha kerja sama dengan penanam modal asing melalui bentuk Penanaman Modal Asing (“PMA”) secara langsung di Indonesia. Bahkan Sunaryati Hartonodalam bukunya Beberapa Masalah Transnasional Dalam Penanaman Modal Asing di Indonesia mengemukakan batasan joint venture sebagai setiap usaha bersama antara modal Indonesia dan modal asing, baik ia merupakan usaha bersama antara swasta dan swasta, pemerintah dan swasta, ataupun pemerintah dan pemerintah. Juga tidak dibedakan apakah joint venture itu dianggap sebagai penanaman modal asing ataupun penanaman modal dalam negeri.
Huala Adolf dalam bukunya Dasar-Dasar Hukum Kontrak Internasional menyebutkan bahwa joint venture dipilih oleh pemilik modal asing biasanya karena kekhawatiran terhadap adanya pengambilalihan secara sewenang-wenang tanpa melalui suatu prosedur hukum oleh negara penerima modal (nasionalisasi).
Isu nasionalisasi ini masih eksis di beberapa komunitas.Namun secara hukum saat ini, nasionalisasi sudah tidak dimungkinkan, kecuali dengan Undang-Undang[1],misalnya melalui mekanisme divestasi. Oleh karena itu, joint venture menjadi salah satu model aktivitas investasi (penanaman modal) yang dilakukan oleh PMA selaku investor melalui perusahaan patungan yang melakukan usahanya di wilayah Republik Indonesia.
Disini terlihat bahwa joint venture merupakan salah satu sarana menarik modal asing yang dalam pelaksanaannya berdasarkan persetujuan para pihak. Persetujuan dimaksud harus memenuhi kaidah perjanjian dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu:
1. Para pihak sepakat untuk mengikatkan dirinya;
2. Para pihak cakap untuk melakukan suatu perbuatan hukum;
3. Perbuatan hukum tersebut harus mengenai suatu hal tertentu; dan
4. Persetujuan tersebut harus mengenai suatu hal yang tidak bertentangan dengan hukum, kesusilaan, dan ketertiban umum.
Menyusun perjanjian joint venture (joint venture agreement) merupakan langkah awal dalam membentuk perusahaan joint venture. Joint venture agreement sendiri berisikan kesepakatan para pihak dalam hal, antara lain kepemilikan modal, saham, peningkatan kepemilikan saham penyertaan, keuangan, kepengurusan, teknologi dan tenaga ahli, penyelesaian sengketa yang mungkin terjadi, dan berakhirnya perjanjian.
Perusahaan joint venture yang modalnya diperoleh dari campuran modal dalam negeri dan modal asing dikategorikan sebagai PMA. Di Indonesia sendiri, mengenai pendirian PT PMA diatur dalam Pasal 1 angka3 UU 25/2007 yang berbunyi:
“Penanaman Modal Asing adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah Negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal asing, baik yang menggunakan modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanaman modal dalam negeri.”
Syarat-syarat menjadi joint venture company sendiri antara lain:
1. Wajib dalam bentuk Perseroan Terbatas (PT) jika ada unsur modal asing.[2]
2. Untuk joint venture yang PMA, modal dalam negeri minimal 51% dari total modal perusahan patungan (joint venture company) tersebut. Namun prosentase kepemilikan ini bisa lebih besar atau lebih kecil, tergantung pada bidang usaha yang akan dimasuki oleh perusahaan joint venture tersebut mengingat Pemerintah Indonesia telah menerbitkan Daftar Negatif Investasi (Negative Investment List) yang di dalamnya disebutkan prosentase maksimal modal asing yang boleh masuk pada bidang usaha tertentu.
Untuk detail bidang usaha, Saudara dapat melihat pada Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2014 tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal.
3. Ada sejumlah bidang usaha yang tertutup untuk perusahaan joint venture[3], sehingga calon investor harus melihat Daftar Negatif Investasi yang terbaru.
4. Perusahaan joint venture PMA wajib mengajukan izin prinsip dan izin usaha tetap (IUT) ke Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).
5. Perusahaan joint venture PMA secara berkala menyampaikan Laporan Kegiatan Penanaman Modal (LKPM) ke BKPM.
Selanjutnya, mengenai perusahaan dalam negeri sendiri, kami menafsirkan yang Saudara maksud adalah Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Oleh karena itu, kami berpegangan pada Pasal 5 ayat (1) UU 25/2007yang menyatakan bahwa:
“PMDN dapat dilakukan dalam bentuk badan usaha yang berbentuk badan hukum, tidak berbadan hukum atau usaha perseorangan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Dengan melihat pada aturan di atas, kami mengasumsikan bahwa perusahaan dalam negeri yang Saudara maksudkan adalah PMDN yang termanifestasi dalam bentuk suatu badan usaha, baik badan usaha berbadan hukum maupun badan usaha tidak berbadan hukum, yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia dan permodalan badan usahanya berasal dari modal yang dimiliki oleh negara Republik Indonesia, perseorangan Warga Negara Indonesia, atau badan usaha yang berbentuk badan hukum atau tidak berbadan hukum.[4]
Dengan demikian, PMDN merupakan perusahaan yang didirikan berdasarkan hukum Negara Indonesia yang melakukan penanaman modal di wilayah Republik Indonesia dan saham beserta hak-hak yang melekat pada saham tersebut (Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas) dimiliki oleh perseorangan warga negara Indonesia, BUMN, BUMD, pemerintah daerah atau pemerintah Republik Indonesia. Mengingatjoint venture pada dasarnya merupakan upaya patungan modal, maka dimungkinkan bagi dua perusahaan dalam negeri untuk membentuk suatu joint venture company.
Kantor Cabang Perusahaan
Selanjutnya mengenai cabang perusahaan, dalam Pasal 1angka 5 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 37/M-DAG/PER/9/2007 tentang Penyelenggaraan Pendaftaran Perusahaan (“Permendag 37/2007”) disebutkan:
“Kantor cabang perusahaan adalah perusahaan yang merupakan unit atau bagian dari perusahaan induknya yang dapat berkedudukan di tempat yang berlainan dan dapat berdiri sendiri atau bertugas untuk melaksanakan sebagian tugas dari perusahaan induknya.”
Untuk membuat kantor cabang, berikut adalah persyaratan yang harus dipenuhi:
1. Ada kantor pusatnya yang dibuktikan dengan adanya:
a. akta notaris dan SK Kemenhukham yang menjelaskan pendirian perusahaan yang akan menjadi kantor pusat.
b. fotocopy seluruh pengurus perusahaan kantor pusat yang namanya tercantum dalam akta pendirian perusahaan kantor pusat.
c. SIUP dan TDP dari perusahaan kantor pusat.
2. Bentuk badan usaha kantor cabang sama dengan kantor pusatnya.
3. Pembuatan akta pendirian kantor cabang dan penerbitan SK Kemenhukham yang dalam prosesnya membutuhkan adanya dokumen:
a. surat kuasa dari salah satu pengurus kantor pusat dalam hal pendirian kantor cabang.
b. salinan surat pengangkatan/penunjukan personal yang menjadi kepala cabang nantinya beserta fotocopi identitas/KTP dan foto kepala cabang.
c. susunan bakal pengurus kantor cabang.
4. Pembuatan Surat Keterangan Domisili Perusahaan (SKDP) kantor cabang yang dalam prosesnya membutuhkan adanya dokumen:
a. denah lokasi/kantor dari kantor cabang.
b. bukti pelunasan PBB tempat kantor cabang.
5. Pembuatan Tanda Daftar Perusahaan (TDP) kantor cabang.
6. Pembuatan izin lain yang terkait, misalnya persetujuan prinsip untuk perusahaan asing.
7. Pemenuhan syarat minimum modal untuk kantor cabang tertentu, misalnya kantor cabang pialang berjangka.
Sumber:
4.Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2014 tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal;
5.Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 37/M-DAG/PER/9/2007 tentang Penyelenggaraan Pendaftaran Perusahaan;
6.Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 36/M-DAG/PER/9/2007 Tahun 2007 tentang Penerbitan Surat Izin Usaha Perdagangan sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 46/M-DAG/PER/9/2009 dan terakhir diubah denganPeraturan Menteri Perdagangan Nomor 39/M-DAG/PER/12/2011 Tahun 2011;
7.Keputusan Kepala Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi Nomor 28/Bappebti/KP/IX/2001 tentang Persyaratan Permodalan Bagi Pialang Berjangka untuk Pembukaan Kantor Cabang.
8.www.hukumonline.com
[1] Pasal 7 UU 25/2007
[2] Pasal 5 ayat (2) UU 25/2007
[3] Pasal 12 ayat (1) UU 25/2007
[4] Pasal 1 angka 9 UU 25/2007
Komentar
Posting Komentar