Pencabutan Permohonan Pembubaran PT
Pencabutan Permohonan Pembubaran PT
Untuk permohonan tidak ada aturan pencabutanpermohonan. Namun demikian, dalam prakteknya permohonan dapat dicabut sebelum ada penetapandari pengadilan. Sehingga, apabila permohonan pembubaran perseroan tersebut diajukan dan masih dalam proses persidangan, pada prinsipnya dapat dicabut sewaktu-waktu asalkan belum ada penetapan dari pengadilan.
Sebaliknya, apabila sudah ada penetapan mengenai pembubaran perseroan tersebut, maka upaya yang dapat ditempuh adalah dengan mengajukan upaya hukum luar biasa, dalam hal ini kasasi atau peninjauan kembali karena pada prinsipnya penetapan bersifat tingkat pertama dan terakhir.
Kami asumsikan perusahaan adalah Perseroan Terbatas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UU PT”).
Pembubaran Perseroan terjadi:[1]
a. berdasarkan keputusan RUPS;
b. karena jangka waktu berdirinya yang ditetapkan dalam anggaran dasar telah berakhir;
c. berdasarkan penetapan pengadilan;
d. dengan dicabutnya kepailitan berdasarkan putusan pengadilan niaga yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, harta pailit Perseroan tidak cukup untuk membayar biaya kepailitan;
e. karena harta pailit Perseroan yang telah dinyatakan pailit berada dalam keadaan insolvensi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang; atau
f. karena dicabutnya izin usaha Perseroan sehingga mewajibkan Perseroan melakukan likuidasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Di samping alasan-alasan tersebut di atas, pembubaran juga dapat terjadi karena ada permohonan ke pengadilan yakni sebagai berikut:[2]
a. permohonan kejaksaan berdasarkan alasan Perseroan melanggar kepentingan umum atau Perseroan melakukan perbuatan yang melanggar peraturan perundang-undangan;
b. permohonan pihak yang berkepentingan berdasarkan alasan adanya cacat hukum dalam akta pendirian;
c. permohonan pemegang saham, Direksi atau Dewan Komisaris berdasarkan alasan Perseroan tidak mungkin untuk dilanjutkan.
Sesuai pertanyaan Saudara, dengan menyebut kata “pengajuan” tersebut kami asumsikan pengajuan pembubaran perusahaan tersebut adalah permohonan ke Pengadilan.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 271 alinea 1 Reglemen Op de Rechtsvordering (Rv), disebutkan bahwa penggugat dapat mencabut perkaranya, sebelum tergugat menyampaikan jawaban. Sedangkan untuk permohonan tidak ada aturan pencabutan permohonan. Namun demikian, dalam prakteknya permohonan dapat dicabut sebelum ada penetapan dari pengadilan. Sehingga, apabila permohonan pembubaran perseroan tersebut diajukan dan masih dalam proses persidangan, pada prinsipnya dapat dicabut sewaktu-waktu asalkan belum ada penetapan dari pengadilan. Sebaliknya, apabila sudah ada penetapan mengenai pembubaran perseroan tersebut, maka upaya yang dapat ditempuh adalah dengan mengajukan upaya hukum luar biasa, dalam hal ini kasasi atau peninjauan kembali karena pada prinsipnya penetapan bersifat tingkat pertama dan terakhir.
Namun demikian, tidak serta merta permohonan kasasi atau peninjauan kembali dapat diajukan, karena harus dilihat dulu alasan pembatalan pembubaran perseroan tersebut dan alasan tersebut harus memenuhi syarat-syarat kasasi sebagaimana diatur Pasal 30 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung (“UU MA”), yang berbunyi:
(1) Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi membatalkan putusan atau penetapan pengadilan-pengadilan dari semua lingkungan peradilan karena:
a. tidak berwenang atau melampaui batas wewenang;
b. salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku;
c. lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan.
Sedangkan untuk permohonan peninjauan kembali diatur dalam Pasal 67 UU MA yang berbunyi:
“Permohonan peninjauan kembali putusan perkara perdata yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan hanya berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut :
a. apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu;
b. apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan;
c. apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari pada yang dituntut;
d. apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya;
e. apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama, atas dasar yang sama oleh Pengadilan yang sama atau sama tingkatnya telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lain;
f. apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan Hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.”
Demikian jawaban dari kami semoga dapat membantu. Terima kasih.
Sumber:
1.Reglemen Op de Rechtsvordering;
3.Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung.
4.www.hukumonline.com
[1] Pasal 142 ayat (1) UU PT
[2] Pasal 146 (1) UU PT
Komentar
Posting Komentar