Penerapan Good Corporate Governance


Penerapan Good Corporate Governance

Secara eksplisit Undang-Undang Perseroan Terbatas tidak membahas mengenai Good Corporate Governance (GCG), tetapi prinsip-prinsip GCG diakomodasi secara umum oleh UU PT.

Namun demikian, terhadap perusahaan terbuka dan perusahaan yang bergerak di bidang jasa keuangan, penerapan GCG terlihat lebih jelas di dalam peraturan-peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) karena sifat dari perusahaan-perusahaan tersebut yang berdampak signifikan terhadap ekonomi Indonesia.

Good Corporate Governance (GCG)
Tata kelola perusahaan atau yang lebih populer dikenal dengan istilah Corporate Governance didefinisikan secara umum oleh International Finance Corporation (“IFC”)sebagai “the structures and processes for the direction and control of companies.[1] Berdasarkan pengertian tersebut, pada intinya tata kelola perusahaan membahas mengenai bagaimana cara suatu perusahaan diarahkan dan dikelola agar seluruh kepentingan pemangku kepentingan (stakeholders) diakomodasi secara baik.[2]Maka dari itu, perusahaan harus dikelola dengan seimbang dan baik, sehingga timbul istilah Good Corporate Governance (“GCG”).

Di dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UU PT”) tidak ditemukan pengertian GCG, tetapi banyak diatur di dalam peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (“OJK”)karena OJK melakukan fungsi pengawasan terhadap perusahaan terbuka dan perusahaan yang bergerak di bidang jasa keuangan yang memerlukan tingkat kepatuhan terhadap hukum yang tinggi.

Salah satu peraturan yang baru adalah Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 73/POJK.05/2016 Tahun 2016 tentang Tata Kelola Perusahaan yang Baik Bagi Perusahaan Perasuransian (“POJK 73/2016”). DalamPasal 1 angka 25 POJK 73/2016 diberikan pengertian GCG bagi perusahaan perasuransian sebagai berikut:

Tata Kelola Perusahaan Yang Baik Bagi Perusahaan Perasuransian yang selanjutnya disebut Tata Kelola Perusahaan Yang Baik adalahstruktur dan proses yang digunakan dan diterapkan organ Perusahaan Perasuransian untuk meningkatkan pencapaian sasaran hasil usaha dan mengoptimalkan nilai Perusahaan Perasuransian bagi seluruh pemangku kepentingan khususnya pemegang polis, tertanggung, peserta, dan/atau pihak yang berhak memperoleh manfaat secara akuntabel dan berlandaskan peraturan perundang-undangan serta nilai-nilai etika.

Dari pengertian GCG yang digunakan oleh OJK di atas dapat kita lihat bahwa pengertian tersebut selaras dengan IFC yang menitikberatkan pada struktur perseroan, yakni pembagian tugas, kewenangan dan tanggung jawab masing-masing pemangku kepentingan.

Kemudian, apakah dengan demikian UU PT tidak menerapkan GCG sama sekali? Secara eksplisit tidak, tetapi prinsip-prinsip GCG diterapkan secara implisit di dalam UU PT.

Prinsip-Prinsip GCG
Pada tahun 2015, G20 Finance Ministers and Central Bank Governors Meeting bersama dengan Organisation for Economic Co-operation and Development(“G20/OECD”) memperbaharui prinsip yang harus diterapkan untuk menerapkan GCG, yaitu:[3]
1.    Perlindungan hak-hak pemegang saham dan peran kunci kepemilikan (the rights of shareholders and key ownership functions);
2.    Persamaan perlakuan terhadap seluruh pemegang saham (the equitable treatment of shareholders);
3.    Insentif yang masuk akal untuk mendukung iklim investasi (sound incentives throughout the investment chain);
4.    Peranan pemangku kepentingan yang terkait dengan perseroan dalam tata kelola perusahaan (the role of stakeholders in corporate governance);
5.    Keterbukaan dan transparansi (disclosure and transparency); dan
6.    Tanggung jawab pengurus perseroan (the responsibilities of the board).

Selain itu, terdapat juga prinsip-prinsip GCG yang lebih umum yang ditemukan di daam UU PT, yaitu sebagai berikut:[4]

1.    Keterbukaan (transparency), ditemukan pada:
a.  Akta pendirian wajib memuat informasi mengenai pendiri perseroan serta anggota Direksi dan Dewan Komisaris yang pertama kali diangkat, serta informasi mengenai pemegang saham;[5]
b.    Kewajiban untuk melakukan pendaftaran perseroan yang sifatnya terbuka untuk umum;[6]
c.    Kewajiban Direksi mengenai pengungkapan informasi perseroan dalam bentuk laporan tahunan dan dapat diperiksa oleh pemegang saham dan ketidakpatuhan akan berujung pada sanksi;[7]
d.    Kewajiban bagi Direksi untuk meminta akuntan publik mengaudit laporan keuangan bagi perseroan yang memenuhi kriteria tertentu;[8] dan
e.  Hak pemegang saham untuk memperoleh keterangan yang berkaitan dengan perseroan dari Direksi dan/atau Dewan Komisaris, sepanjang berkaitan dengan mata acara RUPS dan sejalan dengan kepentingan perseroan.[9]

2.    Akuntabilitas (accountability), ditemukan pada:
a.    Pertanggungjawaban perbuatan hukum yang dilakukan oleh calon pendiri sebelum perseroan didirikan atau ketika belum memperoleh status badan hukum;[10]
b.    Larangan pengeluaran saham tanpa nilai nominal;[11]
c.    Kewajiban Direksi untuk mengadakan dan menyimpan daftar pemegang saham serta mencatat pemindahan hak atas saham;[12]
d.    Kewajiban Direksi untuk menyusun rencana kerja tahunan yang disampaikan pada Dewan Komisaris atau RUPS;[13]
e.   Fiduciary Duties bagi Direksi dalam menjalankan kepengurusan perseroan secara beritikad baik dan penuh tanggung jawab dengan konsekuensi pertanggungjawaban pribadi atas kerugian perseroan apabila lalai;[14] dan
f.   Fiduciary Duties bagi Dewan Komisaris dalam melakukan pengawasan atas kebijakan pengurusan perseroan secara beritikad baik dengan konsekuensi pertanggungjawaban pribadi atas kerugian perseroan apabila lalai.[15]

3.    Pertanggungjawaban (responsibility), ditemukan pada:
a.  Kewajiban untuk mengubah anggaran dasar bagi perseroan yang modal dan jumlah pemegang sahamnya telah memenuhi kriteria sebagai perseroan publik;[16]
b.    Kewajiban pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan bagi perseroan;[17] dan
c.   Pemeriksaan terhadap perseroan apabila terdapat dugaan bahwa perseroan atau anggota Direksi atau Dewan Komisaris melakukan perbuatan melawan hukum yang merugikan pemegang saham atau pihak ketiga.[18]

4.    Kemandirian (independency), ditemukan pada:
a.    Larangan kepemilikan saham silang (cross holding), baik secara langsung maupun tidak langsung dengan beberapa pengecualian;[19]
b.    Larangan bagi anggota Direksi, Dewan Komisaris dan karyawan perseroan untuk menjadi kuasa pemegang saham dalam RUPS terkait pemungutan suara;[20] dan
c.   Larangan adanya benturan kepentingan dalam melakukan tindakan pengurusan perseroan dan sanksi apabila ternyata menimbulkan kerugian, serta larangan bagi Direksi yang mempunyai benturan kepentingan untuk mewakili perseroan;[21] dan
d.    Kewajiban setiap anggota direksi untuk melaporkan pemilikan saham miliknya dan keluarganya untuk menghindari benturan kepentingan dengan konsekuensi pertanggungjawaban pribadi jika tidak dipatuhi.[22]

5.    Kesetaraan dan kewajaran (fairness).
a.   Pemegang saham perseroan tidak bertanggung jawab terhadap perikatan yang dibuat atas nama perseroan dan tidak bertanggung jawab atas kerugian perseroan di atas saham yang dimiliki dengan pengecualian-pengecualian;[23]
b.    Setiap pemegang saham diberikan bukti pemilikan saham atas tiap saham yang dimilikinya;[24]
c.    Hak-hak yang dimiliki pemegang saham yang berkaitan dengan kepemilikan perseroan, seperti menghadiri RUPS dan melakukan pemungutan suara, menerima pembayaran deviden dan sisa kekayaan hasil likuidasi serta memperoleh laporan kondisi perkembangan usaha dan keuangan perseroan secara teratur;[25]
d.    Hak untuk ikut serta dalam memutuskan hal-hal penting bagi perseroan, seperti dalam hal merger dan akuisisi, serta penjualan atau pembelian harta tetap perseroan melalui persetujuan mayoritas pemegang saham;[26]
e.    Pemberian hak yang sama pada klasifikasi saham yang sama;[27]
f.     Hak pemegang saham untuk meminta salinan bahan RUPS secara cuma-cuma jika diminta;[28]
g.  Pemberian satu hak suara tiap saham, kecuali ditentukan lain oleh anggaran dasar dengan hak bagi pemegang saham atau kuasanya untuk menghadiri RUPS dan menggunakan hak suaranya sesuai dengan jumlah saham yang dimiliki;[29] dan
h.    Perlindungan terhadap pemegang saham minoritas melalui Personal Right,[30]Appraisal Right,[31] perlindungan pre-emptive right,[32] perlindungan Derivative Right,[33]dan perlindungan hukum melaluiEnqueterecht/Hak Angket.[34]

Selain prinsip-prinsip GCG yang ada di dalam UU PT yang telah dijabarkan di atas, sebenarnya juga masih terdapat beberapa ketentuan lain yang menyangkut tentang GCG di dalam UU PT yang tidak termasuk prinsip-prinsip di atas, seperti ketentuan mengenai honorarium Direksi dan Dewan Komisaris.[35]

Selain itu, terdapat juga beberapa ketentuan-ketentuan baru di bidang GCG yang mulai diterapkan oleh OJK di bidang perasuransian tetapi belum terakomodasi oleh UU PT, yaitu:
1.    Tata kelola investasi;[36]
2.    Ketentuan penggunaan auditor eksternal;[37]
3.    Tata kelola teknologi informasi;[38]
4.    Manajemen risiko dan pengendalian internal;[39]
5.    Rencana strategis perusahaan;[40]
6.    Keterbukaan informasi;[41]
7.    Hubungan dengan pemangku kepentingan;[42]
8.    Etika bisnis;[43]
9.    Self-assessment dan laporan penerapan GCG;[44] dan
10. Monitoring dan evaluasi.[45]

Fitur-fitur baru ini yang diterapkan oleh OJK pada perusahaan terbuka didasarkan pada Roadmap Tata Kelola Perusahaan Indonesia dan tidak hanya perusahaan terbuka, tetapi juga terhadap perusahaan yang bergerak di bidang jasa keuangan. Diharapkan agar fitur-fitur tersebut akan dapat diakomodasi untuk perusahaan tertutup melalui amandemen UU PT selanjutnya.

Sumber:

Referensi:
1.    G20/ Organization for Economic Co-operation and Development. Principles of Corporate Governance. Turkey: OECD. 2015.
2.    International Finance Corporation. The Indonesia Corporate Governance Manual: First Edition. Jakarta: 2014.
4.  www.hukumonline.com


[1] IFC, The Indonesia Corporate Governance Manual: First Edition,” (Jakarta: IFC, 2014), hlm. 30
[2] Lihat juga artikel Investopedia mengenai pengertian “Corporate Governance,” http://www.investopedia.com/terms/c/corporategovernance.asp, diakses pada 29 Maret 2017.
[3] G20/Organization for Economic Co-operation and Development , “Principles of Corporate Governance,” (Turkey: OECD, 2015), hlm. 4-6.
[4] Mochamad Rafiuddin, “Aspek Hukum Good Corporate Governance Menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas,” Tesis Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Program Magister Kenotariatan, (Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009), hlm. 40-59 disertai dengan beberapa tambahan menurut pandangan penulis.
[5] Pasal 8 ayat (2) huruf b UU PT
[6] Pasal 29 ayat (5) UU PT
[7] Pasal 66 ayat (1) dan (2), Pasal 67 ayat (1), 69 ayat (3), dan 100 ayat (1) huruf b UU PT
[8] Pasal 68 ayat (1) UU PT
[9] Pasal 75 ayat (2) UU PT
[10] Pasal 12 s.d. Pasal 14 UU PT
[11] Pasal 49 ayat (2) UU PT
[12] Pasal 50, Pasal 56, dan Pasal 100 ayat (1) huruf a UU PT
[13] Pasal 63 dan Pasal 64 UU PT
[14] Pasal 92 ayat (1) dan Pasal 97 ayat (1) s.d (3) UU PT
[15] Pasal 108 ayat (1) dan 114 ayat (1) dan (2) UU PT
[16] Pasal 24 dan Pasal 25 UU PT
[17] Pasal 74 UU PT
[18] Pasal 138 ayat (1) UU PT
[19] Pasal 36 ayat (1) UU PT
[20] Pasal 85 ayat (4) UU PT
[21] Pasal 97 ayat (5) huruf  c dan 99 ayat (1) huruf b UU PT
[22] Pasal 101 ayat (1) UU PT
[23] Pasal 3 ayat (1) dan (2) UU PT
[24] Pasal 51 UU PT
[25] Pasal 52 ayat (1) dan Pasal 66 ayat (1) dan (2) UU PT
[26] Pasal 102 ayat (1) dan 89 ayat (1) UU PT
[27] Pasal 53 ayat (2) UU PT
[28] Pasal 82 ayat (4) UU PT
[29] Pasal 84 ayat (1) dan Pasal 85 ayat (1) UU PT
[30] Pasal 61 ayat (1) dan (2) UU PT
[31] Pasal 62 ayat (1) dan (2) UU PT
[32] Pasal 43 (1) UU PT
[33] Pasal 97 ayat (6) dan Pasal 114 ayat (6) UU PT
[34] Pasal 138 ayat (3) UU PT
[35] Pasal 96 dan Pasal 113 UU PT
[36] Bab X POJK 73/2016
[37] Bab VIII POJK 73/2016
[38] Bab XI POJK 73/2016
[39] Bab XII POJK 73/2016
[40] Bab XIII POJK 73/2016
[41] Bab XIV POJK 73/2016
[42] Bab XV POJK 73/2016
[43] Bab XVI POJK 73/2016
[44] Bab XVII POJK 73/2016
[45] Bab XVIII POJK 73/2016

Komentar

Postingan Populer