Modal Dasar, Modal Ditempatkan, dan Modal Disetor PT


Modal Dasar, Modal Ditempatkan, dan Modal Disetor PT
 
Modal dasar adalah seluruh nilai nominal saham Perseroan yang disebut dalam Anggaran Dasar. Modal dasar pada prinsipnya merupakan total jumlah saham yang dapat diterbitkan oleh Perseroan.


Sementara itu, modal ditempatkan adalah jumlah saham yang sudah diambil pendiri atau pemegang saham. Dengan kata lain, modal ditempatkan itu adalah modal yang disanggupi pendiri atau pemegang saham untuk dilunasinya, dan saham itu telah diserahkan kepadanya untuk dimiliki.

Sedangkan modal disetor adalah modal yang sudah dimasukkan pemegang saham sebagai pelunasan pembayaran saham yang diambilnya sebagai modal yang ditempatkan dari modal dasar perseroan. Jadi, modal disetor adalah saham yang telah dibayar penuh oleh pemegang atau pemiliknya.

Paling sedikit 25% dari modal dasar harus:
-    telah ditempatkan, dan
-    telah disetor penuh pada saat pendirian Perseroan

Penjelasan lebih lanjut dan ilustrasinya dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.

Ingin Masalah Anda Segera Tuntas?
Percayakan masalah hukum Anda ke ahlinya. Hubungi konsultan hukum profesional, hanya Rp299.000,- per 30 menit.
Powered by: 


Ulasan:

Terima kasih atas pertanyaan Anda.

Istilah modal dasar, modal ditempatkan, dan modal disetor itu dikenal dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UU PT”).

Modal Dasar
Modal dasar adalah seluruh nilai nominal saham Perseroan yang disebut dalam Anggaran Dasar. Modal dasar Perseroan pada prinsipnya merupakan total jumlah saham yang dapat diterbitkan oleh Perseroan. Anggaran Dasar sendiri yang menentukan berapa jumlah saham yang dijadikan modal dasar. Jumlah yang ditentukan dalam Anggaran Dasar merupakan “nilai nominal yang murni”. Demikian yang dijelaskan oleh M. Yahya Harahapdalam bukunya Hukum Perseroan Terbatas (hal. 233).

Mengenai modal dasar Perseroan Terbatas, Pasal 32 UU PT mengatur sebagai berikut:

(1)  Modal dasar Perseroan paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
(2)  Undang-Undang yang mengatur kegiatan usaha tertentu dapat menentukan jumlah minimum modal Perseroan yang lebih besar daripada ketentuan modal dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3)  Perubahan besarnya modal dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Sejalan dengan pengaturan perubahan modal dasar padaPasal 32 ayat (3) UU PT di atas, modal dasar PT yang awalnya ditetapkan sebesar Rp 50 juta ini kemudian diubah melalui Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2016 tentang Perubahan Modal Dasar Perseroan Terbatas (“PP 29/2016”).

PP 29/2016 mengatur bahwa besaran modal dasar PT iniditentukan berdasarkan kesepakatan para pendiri Perseroan Terbatas.[1] Ini berarti, tidak ditetapkan lagi modal dasar minimum sebuah PT. Akan tetapi, PT yang melaksanakan kegiatan usaha tertentu, besaran minimum modal dasar PT harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.[2]

Penjelasan lebih lanjut tentang modal dasar PT dapat Anda simak dalam artikel Besaran Modal Dasar Pendirian PT dan Rincian Biaya Notarisnya.

Modal Ditempatkan
Modal ditempatkan adalah jumlah saham yang sudah diambil pendiri atau pemegang saham, dan saham yang diambil tersebut ada yang sudah dibayar dan ada yang belum dibayar. Jadi, modal ditempatkan itu adalah modal yang disanggupi pendiri atau pemegang saham untuk dilunasinya, dan saham itu telah diserahkan kepadanya untuk dimiliki.[3]

Modal Disetor
Sedangkan, modal disetor adalah modal yang sudah dimasukkan pemegang saham sebagai pelunasan pembayaran saham yang diambilnya sebagai modal yang ditempatkan dari modal dasar perseroan. Jadi, modal disetor adalah saham yang telah dibayar penuh oleh pemegang atau pemiliknya.[4]

Mengenai modal ditempatkan dan modal disetor, diatur dalam Pasal 33 UU PT sebagai berikut:

(1)  Paling sedikit 25% (dua puluh lima persen) dari modal dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 harus ditempatkan dan disetor penuh.
(2)  Modal ditempatkan dan disetor penuh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan bukti penyetoran yang sah.
(3)  Pengeluaran saham lebih lanjut yang dilakukan setiap kali untuk menambah modal yang ditempatkan harus disetor penuh.

Jadi, paling sedikit 25% dari modal dasar harus:[5]
1.    telah ditempatkan, dan
2.    telah disetor penuh pada saat pendirian Perseroan.

Contoh
Sebagai ilustrasi, kami akan memberikan contoh sebagai berikut:
A dan B sebagai pendiri PT X telah menyepakati modal dasar PT X adalah Rp. 150 juta yang terbagi atas 1000 lembar saham, masing-masing saham bernilai nominal Rp. 150 ribu.

Dari jumlah Rp. 150 juta tersebut, kemudian A dan B ternyata menyanggupi mengambil sebagian saja, misalnya total saham yang diambil A dan B adalah Rp. 100 juta, maka nilai Rp 100 juta tersebut merupakanmodal ditempatkan yang harus disetor penuh.

Sedangkan, sisa Rp. 50 juta yang belum diambil bagiannya itu disebut saham portefel. Saham portefel menurut Yahya adalah saham yang “belum dikeluarkan” atau “belum ditempatkan”. Setiap saat saham portefel dapat dikeluarkan untuk menambah modal ditempatkan yang harus disetor penuh, tidak boleh mengangsur.[6]  

Kembali ke modal ditempatkan, seperti yang kami sudah jelaskan sebelumnya, modal ditempatkan adalah jumlah saham yang sudah diambil pendiri atau pemegang saham, dan saham yang diambil tersebut ada yang sudah dibayar dan ada yang belum dibayar.

Melanjutkan ilustrasi di atas, modal ditempatkan adalah sebesar Rp. 100 juta. Bila A dan B telah melakukan penyetoran, misalnya sebesar Rp 37.500.000, berarti ada sisa yang belum dilunasi, yakni sebesar Rp. 62.500.000. Sesuai konsep modal disetor, seluruh saham yang diambil bagian oleh A dan B (modal ditempatkan) harus sudah dilunasi pembayarannya. Jadi, sisa Rp. 62.500.000 ituharus sudah dilunasi saat pendirian PT.

Ini juga terkait dengan ketentuan tidak dimungkinkan penyetoran atas saham dengan cara mengangsur.[7]Sehingga sebelum pendirian PT dilakukan, semua modal yang ditempatkan harus sudah disetor penuh.


Sumber:
3.Yahya Harahap. Hukum Perseroan Terbatas. Jakarta: Sinar Grafika. 2016.

[1] Pasal 1 ayat (3) PP 29/2016
[2] Pasal 3 PP 29/2016
[3] Yahya Harahap, hal. 236
[4] Yahya Harahap, hal. 236
[5] Yahya Harahap, hal. 236
[6] Yahya Harahap, hal. 238
[7] Yahya Harahap, hal. 237

Komentar

Postingan Populer