Strata Title
Strata Title, Apa dan Bagaimana penerapannya di Indonesia
KONSEP HAK MILIK STRATA TITLE PADA RUMAH SUSUN/APARTEMEN
Makin berkembangnya kota Jakarta ke arah pinggiran bahkan keluar kota seperti Depok, Tangerang, Bekasi dan Bogor makin membuat orang tinggal jauh dari Jakarta dan akibatnya adalah semakin jauhnya tempat tinggal dengan tempat kerja yang mengakibatkan orang habis waktu di jalan dan sangat kelelahan. Mengingat hal tersebut maka banyak sekarang orang membeli tempat tinggal di apartemen atau rumah susun agar bisa tinggal didalam kota dan dekat dengan lokasi kantor. Namun demikian banyak orang bingung dengan aspek hukum hak kepemilikan Strata Tittle di apartemen karena kepemilikan apartemen dengan konsep strata tittle beda dengan hak milik pada rumah biasa diatas tanah (landed house). Yok cari tahu ….
Hak-hak atas tanah menurut pasal 16 UU Pokok Agraria yaitu hak milik (SHM) bersifat sangat kuat, hak guna bangunan/HGB, hak guna usaha/HGU, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah dan hak memungut hasil hutan.
Perbedaan konsep hak milik (SHM) pada rumah biasa (landed house) dengan strata title yaitu apabila seseorang membeli rumah biasa di komplek perumahan, kepemilikannya biasanya berupa sertifikat Hak Milik. Orang yang memiliki Sertifikat Hak Milik berdasarkan sistem hukum Indonesia (UUPA) sangat kuat dan bersifat selamanya yang kepemilikannya meliputi bangunan diatas tanah, tanah di halaman rumahnya, tanah yang berada dibawahnya serta apa yang ada diatas bangunan tersebut. Sedangkan apabila seseorang membeli apartemen atau rumah susun maka sertifikat hak miliknya bukan SHM seperti rumah biasa namun konsep kepemilikannya bersifat Strata Title. Kepemilikan Strata Title atas apartemen atau rumah susun hanya atas bangunan unit apartemen/rumah susun tersebut saja dan tidak termasuk atas seluruh bangunan apartemen yang diluar unit yang seseorang beli, tidak termasuk tanah di dalam lingkungan apartemen dan apa yang ada dibawahnya serta apa yang ada diatasnya. Jadi jika kita membeli apartemen Taman Rasuna Tower 5 lantai 12 unit 12F maka kepemilikan hak milik kita hanya atas unit apartemen 12F tersebut saja dan tidak termasuk keseluruhan bangunan apartemen, tanah di lingkungan halaman apartemen yang biasanya berbentuk HGB atau HGU.
Konsep hukum kepemilikan model Strata Title tidak dikenal dalam sistem hukum Indonesia yang berasal dari hukum Belanda yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental. Istilah Strata Title pertama kali diperkenalkan di Austalia melalui Strata Titles Act tahun 1967. Konsep hukum Strata Title dikenal di Negara-negara yang menganut sistem hukum Anglo Saxon (Inggris beserta negara-negara jajahannya dan Amerika) dan berakar pada jenis tenancy in common. Konsep Strata Title memisahkan hak terhadap beberapa strata (tingkatan), yakin terhadap hak atas permukaan tanah, atas bumi di bawah tanah, dan udara di atasnya (Munir Fuady, Hukum Bisnis Buku ke-II, 1994).
Konon, konsep pemilikan kondominium sudah dikenal sejak zaman romawi kuno. Walaupun ini masih diperdebatkan mengingat hukum Romawi klasik menganut asas perlekatan (superficies solo credit), yang pasti, ada bukti kuat bahwa genesis dari kondominnium telah ada di Eropa sejak abad pertengahan dan berkembang kembali setelah perang dunia II dan berkembang pesat di Puerto Rico (Amerika Latin) kemudian berkembang juga di Amerika setelah adanya Housing Act 1961 diilhami dengan popularitas apartemen/kondominium.
Dalam Code Napoleon di Perancis, dikenal juga prinsip pemisahan horizontal. Namun, legislasi dalam arti modern terhadap pemilikan secara kondominium atas apartemen baru ada di negeri itu setelah keluarnya undang-undang yang diamendemen pada1939 dan 1943. Legislasi di Perancis tersebut mengatur, antara lain : hak penghuni atas common area, organisasi penghuni dan pengangkatan seorang wakil penghuni
Di Indonesia, Undang-undang tentang rumah susun baru ada setelah di undangkannya UU No. 16/1985 dan diperkuat dengan PP No. 4/1988. ketentuan tersebut dinyatakan berlaku juga bagi Apartemen yang bukan rumah susun misalnya, perkantoran.
Hal itu sangat terasa dipaksakan. Mengapa? Karena, dalam UU No. 16/1985, rumah susun diartikan sebagai bangunan yang terdiri atas bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional, dan masing-masing merupakan satuan yang dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian. Tapi pasal 7 PP No.4 memperluaskan, bahkan, menyimpang dari UU No. 16/1985, dengan menetapkan bahwa rumah susun dapat digunakan untuk tempat hunian maupun bukan hunian.
Setiap apartemen wajib mempuyai perhimpunan penghuni. Perhimpunan penghuni inilah yang membentuk dan mengawasi badan pengelola dan bahkan mengasuransikan apartemen dari bahaya kebakaran.
Hanya, jika developer masih bercokol di apartemen, misalnya karena satuan rumah susun belum habis terjual, sebagiannya digunakan sendiri oleh Developer, atau ada sebagian yang di sewakan, maka tentu, dalam hal tersebut Developer pun masih punya kepentingan yang besar atas apartemen. Termasuk terhadap masalah pengelolanya, ini sangat potensial menimbulkan benturan kepentingan antara dua pihak.
Yang paling adil, tentu, jika para Developer pun dianggap mempunyai kewenangan yang sama dengan penghuninya. Repotnya, jika Developer memiliki satuan dalam jumlah yang besar, misalnya lebih 5% dari rumah susun. Dalam hal demikian, tentu, keberadaan perhimpunan penghuni maupun Badan Pengelola jadi tidak efektif dan praktis.
Masalah lainnya lagi, yang sering diketengahkan dalam peraturan adalah penghuni-oleh undang-undang diartikan sebagai perseorangan yang bertempat tinggal dalam satuan rumah susun-sehingga dalam hal penghuni bukan pemilik satuan, kewenangan pemilik diabaikan sama sekali.
Secara sangat sumir diatur tentang status, kewenangan, dan kewajiban penghuni. Yang dilarang bagi penghuni melakukan perbuatan yang membahayakan keamanan, ketertiban, dan keselamatan terhadap penghuni lain, bangunan, dan lingkungan, serta mengubah bentuk dan/atau menambah bangunan tanpa persetujuan perhimpunan.
Karena sumirnya pengaturan tentang rumah susun, cukup banyak masalah yang tidak tersentuh. Misalnya, enforcement jika ada penghuni yang membandel terhadap tata tertib, perbuatan penghuni yang destruktif, tapi belum sampai membahayakan ketertiban, mengubah apartemen tapi belum sampai mengubah bentuk bangunan. Hal ini penting agar nantinya, booming apartemen seperti yang sedang terjadi sekarang, tidak berubah menjadi booming kekacauan karena aturannya belum lengkap.
Sumber Referensi : http://hendrifrendra.blogspot.com/2009/02/konsep-hak-milik-strata-title-pada.html
Makin berkembangnya kota Jakarta ke arah pinggiran bahkan keluar kota seperti Depok, Tangerang, Bekasi dan Bogor makin membuat orang tinggal jauh dari Jakarta dan akibatnya adalah semakin jauhnya tempat tinggal dengan tempat kerja yang mengakibatkan orang habis waktu di jalan dan sangat kelelahan. Mengingat hal tersebut maka banyak sekarang orang membeli tempat tinggal di apartemen atau rumah susun agar bisa tinggal didalam kota dan dekat dengan lokasi kantor. Namun demikian banyak orang bingung dengan aspek hukum hak kepemilikan Strata Tittle di apartemen karena kepemilikan apartemen dengan konsep strata tittle beda dengan hak milik pada rumah biasa diatas tanah (landed house). Yok cari tahu ….
Hak-hak atas tanah menurut pasal 16 UU Pokok Agraria yaitu hak milik (SHM) bersifat sangat kuat, hak guna bangunan/HGB, hak guna usaha/HGU, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah dan hak memungut hasil hutan.
Perbedaan konsep hak milik (SHM) pada rumah biasa (landed house) dengan strata title yaitu apabila seseorang membeli rumah biasa di komplek perumahan, kepemilikannya biasanya berupa sertifikat Hak Milik. Orang yang memiliki Sertifikat Hak Milik berdasarkan sistem hukum Indonesia (UUPA) sangat kuat dan bersifat selamanya yang kepemilikannya meliputi bangunan diatas tanah, tanah di halaman rumahnya, tanah yang berada dibawahnya serta apa yang ada diatas bangunan tersebut. Sedangkan apabila seseorang membeli apartemen atau rumah susun maka sertifikat hak miliknya bukan SHM seperti rumah biasa namun konsep kepemilikannya bersifat Strata Title. Kepemilikan Strata Title atas apartemen atau rumah susun hanya atas bangunan unit apartemen/rumah susun tersebut saja dan tidak termasuk atas seluruh bangunan apartemen yang diluar unit yang seseorang beli, tidak termasuk tanah di dalam lingkungan apartemen dan apa yang ada dibawahnya serta apa yang ada diatasnya. Jadi jika kita membeli apartemen Taman Rasuna Tower 5 lantai 12 unit 12F maka kepemilikan hak milik kita hanya atas unit apartemen 12F tersebut saja dan tidak termasuk keseluruhan bangunan apartemen, tanah di lingkungan halaman apartemen yang biasanya berbentuk HGB atau HGU.
Konsep hukum kepemilikan model Strata Title tidak dikenal dalam sistem hukum Indonesia yang berasal dari hukum Belanda yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental. Istilah Strata Title pertama kali diperkenalkan di Austalia melalui Strata Titles Act tahun 1967. Konsep hukum Strata Title dikenal di Negara-negara yang menganut sistem hukum Anglo Saxon (Inggris beserta negara-negara jajahannya dan Amerika) dan berakar pada jenis tenancy in common. Konsep Strata Title memisahkan hak terhadap beberapa strata (tingkatan), yakin terhadap hak atas permukaan tanah, atas bumi di bawah tanah, dan udara di atasnya (Munir Fuady, Hukum Bisnis Buku ke-II, 1994).
Konon, konsep pemilikan kondominium sudah dikenal sejak zaman romawi kuno. Walaupun ini masih diperdebatkan mengingat hukum Romawi klasik menganut asas perlekatan (superficies solo credit), yang pasti, ada bukti kuat bahwa genesis dari kondominnium telah ada di Eropa sejak abad pertengahan dan berkembang kembali setelah perang dunia II dan berkembang pesat di Puerto Rico (Amerika Latin) kemudian berkembang juga di Amerika setelah adanya Housing Act 1961 diilhami dengan popularitas apartemen/kondominium.
Dalam Code Napoleon di Perancis, dikenal juga prinsip pemisahan horizontal. Namun, legislasi dalam arti modern terhadap pemilikan secara kondominium atas apartemen baru ada di negeri itu setelah keluarnya undang-undang yang diamendemen pada1939 dan 1943. Legislasi di Perancis tersebut mengatur, antara lain : hak penghuni atas common area, organisasi penghuni dan pengangkatan seorang wakil penghuni
Di Indonesia, Undang-undang tentang rumah susun baru ada setelah di undangkannya UU No. 16/1985 dan diperkuat dengan PP No. 4/1988. ketentuan tersebut dinyatakan berlaku juga bagi Apartemen yang bukan rumah susun misalnya, perkantoran.
Hal itu sangat terasa dipaksakan. Mengapa? Karena, dalam UU No. 16/1985, rumah susun diartikan sebagai bangunan yang terdiri atas bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional, dan masing-masing merupakan satuan yang dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian. Tapi pasal 7 PP No.4 memperluaskan, bahkan, menyimpang dari UU No. 16/1985, dengan menetapkan bahwa rumah susun dapat digunakan untuk tempat hunian maupun bukan hunian.
Setiap apartemen wajib mempuyai perhimpunan penghuni. Perhimpunan penghuni inilah yang membentuk dan mengawasi badan pengelola dan bahkan mengasuransikan apartemen dari bahaya kebakaran.
Hanya, jika developer masih bercokol di apartemen, misalnya karena satuan rumah susun belum habis terjual, sebagiannya digunakan sendiri oleh Developer, atau ada sebagian yang di sewakan, maka tentu, dalam hal tersebut Developer pun masih punya kepentingan yang besar atas apartemen. Termasuk terhadap masalah pengelolanya, ini sangat potensial menimbulkan benturan kepentingan antara dua pihak.
Yang paling adil, tentu, jika para Developer pun dianggap mempunyai kewenangan yang sama dengan penghuninya. Repotnya, jika Developer memiliki satuan dalam jumlah yang besar, misalnya lebih 5% dari rumah susun. Dalam hal demikian, tentu, keberadaan perhimpunan penghuni maupun Badan Pengelola jadi tidak efektif dan praktis.
Masalah lainnya lagi, yang sering diketengahkan dalam peraturan adalah penghuni-oleh undang-undang diartikan sebagai perseorangan yang bertempat tinggal dalam satuan rumah susun-sehingga dalam hal penghuni bukan pemilik satuan, kewenangan pemilik diabaikan sama sekali.
Secara sangat sumir diatur tentang status, kewenangan, dan kewajiban penghuni. Yang dilarang bagi penghuni melakukan perbuatan yang membahayakan keamanan, ketertiban, dan keselamatan terhadap penghuni lain, bangunan, dan lingkungan, serta mengubah bentuk dan/atau menambah bangunan tanpa persetujuan perhimpunan.
Karena sumirnya pengaturan tentang rumah susun, cukup banyak masalah yang tidak tersentuh. Misalnya, enforcement jika ada penghuni yang membandel terhadap tata tertib, perbuatan penghuni yang destruktif, tapi belum sampai membahayakan ketertiban, mengubah apartemen tapi belum sampai mengubah bentuk bangunan. Hal ini penting agar nantinya, booming apartemen seperti yang sedang terjadi sekarang, tidak berubah menjadi booming kekacauan karena aturannya belum lengkap.
Sumber Referensi : http://hendrifrendra.blogspot.com/2009/02/konsep-hak-milik-strata-title-pada.html
Komentar
Posting Komentar