Naker
Langkah Hukum Jika THR Tidak Dibayar Penuh
Saya sudah setahun bekerja di sebuah perusahaan jasa konsultan dan
saya hanya mendapatkan THR 1/2 dari gaji saya. Yang saya mau tanyakan, apakah
ada landasan hukum atau ketentuan yang mengatur tentang THR dan apakah saya
bisa mengadukan hal tersebut kepada instansi yang mengatur terhadap
ketenagakerjaan? Terima kasih.
Jawaban: Diana Kusumasari
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UUK”)
memang tidak secara tegas mengatur mengenai tunjangan hari raya
("THR"). Pengaturan mengenai THR ini bisa kita temui dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja No.
PER-04/MEN/1994 Tahun 1994 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Pekerja
di Perusahaan(“Permenaker 4/1994”).
Pasal 3 ayat (1) Permenaker 4/1994 menyebutkan bahwa besarnya THR adalah sebesar 1 (satu) bulan upah bagi pekerja yang telah mempunyai masa kerja
12 (dua belas) bulan secara terus menerus atau lebih. Dan bagi pekerja yang telah mempunyai masa kerja 3 (tiga) bulan secara
terus menerus tetapi kurang dari 12 (dua belas) bulan diberikan THR secara
proporsional dengan masa kerja yakni dengan perhitungan: Masa kerja x 1 (satu)
bulan upah. Upah satu bulan di sini adalah upah pokok ditambah
tunjangan-tunjangan tetap.
Selain itu, dalam Pasal 3 ayat
(3) Permenaker 4/1994 juga diatur
bahwa:
“Dalam hal penetapan besarnya nilai THR menurut Kesepakatan Kerja
(“KK”), atau Peraturan Perusahaan (“PP”) atau Kesepakatan Kerja Bersama (“KKB”)
atau kebiasaan yang telah dilakukan lebih besar dari nilai THR sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) maka THR yang
dibayarkan kepada pekerja sesuai dengan Kesepakatan Kerja, Peraturan
Perusahaan, Kesepakatan Kerja Bersama atau kebiasaan yang telah dilakukan.”
Dari ketentuan-ketentuan tersebut, setidaknya dapat ditarik tiga
kesimpulan mengenai besarnya nilai THR:
a. THR adalah
sebesar 1 bulan upah bagi pekerja yang telah bekerja selama 12 bulan secara
terus menerus atau lebih, dan bagi pekerja yang telah bekerja kurang dari 12
bulan tetapi lebih dari 3 bulan mendapat THR secara proporsional (prorata).
b. Besarnya nilai
THR bisa ditentukan lain sesuai Perjanjian Kerja (PK), Peraturan Perusahaan
(PP), atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB) atau kebiasaan yang berlaku di
perusahaan yang bersangkutan, hanya jika PK, PP, PKB atau kebiasaan tersebut menentukan nilai THR lebih besar dari ketentuan
dalam poin a (sesuai Pasal 3 ayat
[3] Permenaker 4/1994).
c. Untuk setiap
pekerja yang telah bekerja selama 12 bulan atau lebih secara terus menerus
berhak memperoleh THR sebesar 1 bulan upah atau lebih, sesuai uraian dalam poin
a dan b.
Sekedar menambahkan informasi, sesuai Pasal 4 ayat (2) Permenaker
4/1994, pembayaran THR wajib dibayarkan oleh Pengusaha selambat-lambatnya
7 (tujuh) hari sebelum Hari Raya Keagamaan.
Namun, khusus bagi perusahaan yang tidak mampu membayar THR, dalam Pasal 7 Permenaker
4/1994 disebutkan bahwa dalam hal Pengusaha yang karena kondisi
perusahaannya tidak mampu membayar THR dapat mengajukan permohonan penyimpangan
mengenai besarnya jumlah THR kepada Direktur jenderal Pembinaan Hubungan
Industrial dan Pengawasan Ketenagakerjaan. Pengajuan permohonan tersebut harus
diajukan paling lambat 2 bulan sebelum Hari Raya Keagamaan yang terdekat.
Kemudian Direktur jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Pengawasan
Ketenagakerjaan yang akan menetapkan besarnya jumlah THR, setelah
mempertimbangkan hasil pemeriksaan keuangan perusahaan.
Jika memang ada pelanggaran terhadap ketentuan pembayaran THR ini,
Anda dapat melaporkannya ke pegawai pengawas ketenagakerjaan di Disnaker
setempat (Pasal 9 ayat [1] Permenaker 4/1994) karena THR merupakan hak
Anda sebagai pekerja.
Pelanggaran pengusaha dengan tidak membayarkan THR sesuai
ketentuan yang berlaku dapat dikenakan pidana sesuai Pasal 8 Permenaker 4/1994 yakni berupa
kurungan dan denda.
Jadi, sesuai uraian kami di atas, dasar hukum pembayaran THR
kepada pekerja telah secara tegas diatur dalam Permenaker 4/1994. Dan jika
terjadi pelanggaran dalam hal pembayaran THR ini, Anda dapat melaporkan ke
pegawai pengawas ketenagakerjaan setempat.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
2. Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. PER-04/MEN/1994 Tahun
1994 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Pekerja Di Perusahaan.
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui
twitter @klinikhukum, atau facebookKlinik Hukumonline
Apakah Perusahaan Boleh Libatkan Lawyer dalam Proses Tripartit?
Apakah Perusahaan (PT) boleh menyertakan lawyer dalam mediasi
tripartit antara perusahaan-karyawan-Disnaker?
Jawaban: Heri Aryanto, S.H.
Bapak /Ibu
Yth.,
Sebelumnya terima kasih atas pertanyaan
yang disampaikan kepada kami. Pertama, perlu kami
sampaikan bahwa ketentuan mengenai mediasi/tripartit di Dinas Ketenagakerjaan
dan Transmigrasi mengacu pada ketentuan yang sudah diatur di dalam UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial (“UU PPHI”) Pasal 4,Pasal 8 s/d Pasal 16. Kedua, secara lebih teknis ketentuan mengenai tata cara mediasi diatur
di dalam Keputusan Menteri Tenaga dan Transmigrasi Nomor: Kep.
92/MEN/VI/2004 tentang
Pengangkatan dan Pemberhentian Mediator Serta Tata Kerja Mediasi (“KEPMEN No. 92 Tahun 2004”).
Di dalam UU PPHI maupun KEPMEN No.92 Tahun 2004 tersebut tidak
diatur larangan mengenai hak menggunakan jasa hukum dari lawyer atau advokat.
Di samping itu, di dalam Pasal 14 ayat
(2) KEPMEN No. 92 Tahun 2004 secara
eksplisit disebutkan bahwa para pihak baik pengusaha maupun pekerja dapat
menggunakan jasa kuasa hukum. Kuasa Hukum dalam pengertian undang-undang adalah
advokat/lawyer. Dengan demikian, berdasarkan ketentuan tersebut maka baik
pekerja maupun pengusaha ketika bermediasi mempunyai hak yang sama untuk didampingi atau diwakili oleh seorang advokat atau
lebih. Namun demikian dalam perkara perselisihan hubungan industrial, bagi
pekerja yang menjadi anggota dari serikat pekerja, dapat didampingi atau
diwakili oleh pengurus serikat pekerjanya sebagaimana ketentuan Pasal 25 ayat (1) huruf c UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh (“UU SP”).
Pasal 14 ayat (2) KEPMEN No. 92 Tahun 2004:
Dalam hal salah satu pihak atau para pihak menggunakan jasa kuasa hukum dalam sidang mediasi, maka pihak
yang menggunakan jasa hukum tersebut harus tetap hadir.
Pasal 25 ayat (1) UU No. 21 Tahun 2000:
Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat
buruh yang telah mempunyai nomor bukti pencatatan berhak:
a. membuat perjanjian kerja bersama dengan pengusaha;
b. mewakili pekerja/buruh dalam menyelesaikan perselisihan
industrial;
c. mewakili pekerja/buruh dalam lembaga ketenagakerjaan;
d. membentuk lembaga atau melakukan kegiatan yang berkaitan dengan
usaha peningkatan kesejahteraan pekerja/buruh;
e. melakukan kegiatan lainnya di bidang ketenagakerjaan yang tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Oleh karenanya, menurut kami, dengan mendasarkan pada pertanyaan Bapak/Ibu di atas, maka tidak
ada larangan atau dengan kata lain baik pengusaha, dalam hal ini PT, maupun pekerja
diperbolehkan menggunakan haknya untuk didampingi/diwakili oleh seorang lawyer/advokat atau lebih.
Namun, demikian kehadiran lawyer tersebut sebagai kuasa hukum harus sah yaitu
dengan menunjukkan surat kuasa dari PT yang bersangkutan dan menunjukkan
identitasnya sebagai seorang lawyer/advokat.
Apabila lawyer/advokat tersebut tidak
bisa menunjukkan surat kuasa dan indentitasnya, maka pekerja dapat menyatakan
keberatan/menolak kehadiran lawyer/advokat tersebut di ruang sidang kepada mediator yang menangani
perselisihan tersebut.
Demikian semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
3. Keputusan Menteri Tenaga dan Transmigrasi Nomor: Kep.
92/MEN/VI/2004 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Mediator Serta Tata Kerja
Mediasi
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui
twitter @klinikhukum, atau facebookKlinik Hukumonline.
Tarif Pajak untuk Tunjangan Hari Raya
Apakah THR
dipotong pajak 15% dari upah/gaji? Adakah undang-undangnya?
Jawaban: Diana Kusumasari
Berdasarkan Pasal 4 ayat
(1) huruf a UU No. 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang
No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh
Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia,
yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang
bersangkutan,dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk
penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima
atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium,
komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya,
kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini.
Hal ini ditegaskan pula dalam Pasal 5 ayat
(1) huruf b Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-15/PJ/2006 Tahun 2006
tentang Perubahan Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. KEP-545/PK/2000 tentang
Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan
Pasal 21 dan Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa dan Kegiatan Orang
Pribadi (“Peraturan Dirjen Pajak 15/2006”), penghasilan yang dipotong PPh
Pasal 21 adalah penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai, penerima
pensiun atau mantan pegawai secara tidak teratur berupa jasa produksi, tantiem,
gratifikasi, tunjangan cuti, tunjangan hari
raya, tunjangan tahun baru, bonus, premi tahunan, dan penghasilan
sejenis lainnya yang sifatnya tidak tetap.
Karena Tunjangan Hari Raya ("THR") termasuk dalam
penghasilan yang dikenakan pajak penghasilan Pasal 21 (PPh 21) seperti halnya
gaji/upah, maka besar tarif pajak yang dikenakan terhadap THR adalah sama
dengan tarif pajak yang dikenakan terhadap upah pekerja sebagai wajib pajak.
Untuk memperjelas hal tersebut, perlu kami uraikan terlebih dahulu
secara sederhana perhitungan pajak penghasilan untuk wajib pajak orang pribadi
(dalam hal ini pegawai) sebagaimana pernah kami tulis dalam artikel Cara Menghitung Pajak Penghasilan.
Perhitungan pajak dilakukan antara lain dalam beberapa tahap
berikut:
I. Seluruh
penghasilan (bruto) – biaya-biaya = penghasilan neto (penghasilan bersih);
II. Penghasilan
bersih – PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak) = Penghasilan Kena Pajak (“PKP”).
Seluruh penghasilan (bruto) ini adalah penambahan upah dan THR dan
penghasilan lain wajib pajak yang kemudian dikurangi biaya-biaya untuk
memperoleh penghasilan neto. Lebih jauh mengenai biaya apa saja yang
dikurangkan dari penghasilan bruto untuk memperoleh penghasilan neto diatur
dalam Pasal 8 Peraturan Dirjen Pajak 15/2006 yang antara lain adalah:
1. Biaya jabatan
sebesar 5% dari penghasilan bruto;
2. Iuran Jaminan
Hari Tua;
3. PTKP.
Dari Penghasilan Kena Pajak yang diperoleh, kemudian dikenakan
tarif pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 17 UU Pajak Penghasilan,
yakni:
Lapisan
Penghasilan Kena Pajak
|
Tarif
Pajak
|
sampai dengan Rp.
50.000.000,-
|
5
%
|
> Rp. 50.000.000,- s/d
Rp. 250.000.000,-
|
15
%
|
> Rp. 250.000.000,-
s/d Rp. 500.000.000,-
|
25
%
|
> Rp. 500.000.000,-
|
30
%
|
Dengan demikian, menjawab pertanyaan Anda, tarif pajak yang
dikenakan terhadap pekerja sebagai wajib pajak adalah bergantung pada
penghasilan dari wajib pajak. Jika penghasilan kena pajak dari wajib pajak
adalah di atas Rp50 juta sampai dengan Rp250 juta, memang tarif pajak yang
dikenakan adalah 15% sesuai tabel di atas dengan perhitungan berjenjang (misal:
penghasilan kena pajak Rp110 juta, PPh = (50.000.000 x 5%) + (60.000.000 x
15%)).
Demikian pula halnya dengan wajib pajak (dalam hal ini pekerja)
dengan nilai penghasilan lain akan mengikuti tarif pajak yang berlaku sesuai Pasal 17 UU Pajak Penghasilan.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
2. Peraturan
Direktur Jenderal Pajak No. PER-15/PJ/2006 Tahun 2006 tentang Perubahan
Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. KEP-545/PK/2000 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan
Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa dan Kegiatan Orang Pribadi.
Catatan editor:
Artikel ini telah mengalami penambahan isi pada tanggal 13 Agustus 2012.
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui
twitter @klinikhukum, atau facebookKlinik Hukumonline.
Aturan PHK Pekerja Lembaga Bimbingan Belajar
Saya bekerja di lembaga bimbingan belajar sudah hampir 5 tahun.
Tetapi, sekarang ini LBB (lembaga bimbingan belajar) dalam keadaan pailit, dan
harus mengurangi beberapa karyawannya termasuk saya, dan rencananya tidak ada
uang pesangon dan uang jasa. Saya termasuk karyawan tetap karena di LBB tidak
ada yang kontrak apalagi outsourcing. Yang saya tanyakan adalah: 1. Di mana
saya harus menuntut kalau benar tidak ada pesangon, sedangkan LBB-nya tidak ada
izin tetapi omsetnya ratusan juta? 2. Bisakah kasus seperti ini digugat di
pengadilan hubungan industrial?
Jawaban: Christine Natalia Musa Limbu, S.H.
Salam kenal,
Sebelum kami masuk dalam jawaban dari pertanyaan yang Anda sampaikan, ada baiknya kami menerangkan terlebih dahulu mengenai istilah pailit. Secara umum pailit menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Daring berarti bangkrut. Sedangkan, menurut Pasal 1 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“UU 37/2004”), kepailitan adalah:
“Kepailitan
adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan
pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini”
Anda tidak menjelaskan apakah perusahaan tempat Anda bekerja pailit berdasarkan putusan pengadilan, ataukah tidak beroperasi lagi karena bangkrut. Karena secara hukum keduanya memiliki implikasi dan proses hukum yang berbeda.
Pertama, kami akan jelaskan proses pailit berdasarkan UU 37/2004. Pailit merupakan suatu keadaan yang mana debitur tidak mampu lagi untuk melakukan pembayaran-pembayaran terhadap utang-utang dari para krediturnya. Karena adanya kesulitan yang dihadapi ini, maka kemungkinan akan sulit juga untuk membayar upah karyawan atau pekerja.
Walaupun LBB (Lembaga Bimbingan Belajar) tersebut tidaklah
memiliki izin namun hal tersebut tidaklah meniadakan kewajiban pengusaha untuk
memberikan hak terhadap pekerjanya atau buruhnya. Dalam hal perusahaan pailit
maka yang menggantikan perusahaan atau debitor untuk melakukan perbuatan hukum
adalah kreditor. Kurator dalam hal ini tetap berpedoman pada UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UUK”). Dalam Pasal 95 ayat
(4) UUKdisebutkan bahwa:
“(4) Dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka upah dan hak-hak
lainnya dari pekerja/buruh merupakan utang yang didahulukan pembayarannya.”
Dalam kata lain, kedudukan buruh atau pekerja dalam saat
perusahaan pailit merupakan kreditor preferen atau kreditur yang didahulukan atau diistimewakan. Sehingga upah
atau hak lainnya dari buruh yang menjadi utang perusahaan harus didahulukan.
Hal tersebut diatur dalam Pasal 1149 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang
berbunyi:
“Piutang-piutang
yang diistimewakan atas semua benda bergerak dan tak bergerak pada umumnya
ialah yang disebutkan dibawah ini, piutang – piutang mana dilunasi dari
pendapatan penjualan benda – benda itu menurut urutan sebagai berikut:...
4. upah buruh
selama tahun yang lalu dan upah yang sudah dibayar dalam tahun yang sedang
berjalan...”
Begitupula yang diatur dalam Pasal 39 ayat
(2) UU 37/2004, yang berbunyi:
“(2) Sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan, upah yang
terutang sebelum maupun sesudah putusan pernyataan pailit diucapkan merupakan
utang harta pailit”
Sehingga, jika memang perusahaan atau LBB tempat Anda bekerja sekarang dinyatakan pailit maka perusahaan berutang
terhadap Anda untuk membayarkan hak Anda
sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 156 ayat
(1) UUK, yang berbunyi:
“Dalam hal
terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusahan diwajibkan membayar uang pesangon
dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya
diterima.”
Untuk itu, jika memang perusahaan atau LBB tempat Anda bekerja
pailit Anda masih memiliki hak untuk mendapatkan uang pesangon dan atau
uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak.
Namun, perlu diketahui
bahwa buruh atau pekerja merupakan kreditor preferen yang kedudukannya di bawah kreditor separatis sehingga bila harta debitor atau
perusahaan telah dijadikan agunan dan dikuasai oleh para kreditor separatis hal
tersebut dapat berakibat buruh tidak memperoleh apapun.Dalam hal LBB
pailit karena putusan pengadilan, maka Anda dan para pekerja yang lain otomatis
menjadi kreditor. Untuk menagih hak-hak Anda, silakan mengajukan tagihan kepada
kurator yang telah diangkat oleh pengadilan untuk mengurus harta pailit LBB
tersebut.
Namun, jika pailit LBB tersebut hanya berupa berhenti beroperasi karena
bangkrut (bukan karena putusan pengadilan) dan diketahui bahwa harta dari
LBB masih ada namun tidak melaksanakan kewajibannya terhadap buruh atau
pekerja, maka buruh atau pekerja dapat menyelesaikan perselisihan ini dengan
cara yang ditentukan undang-undang.
Cara yang dapat ditempuh bila terjadi perselisihan pemutusan hubungan kerja (“PHK”) sesuai dengan UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, yaitu:
1. Penyelesaian
secara damai dengan perundingan bipartit;
2. Bila
perundingan bipartit gagal maka instansi ketenagakerjaan akan mencatatnya, dan
setelah mencatatnya instansi ketenagakerjaan menawarkan penyelesaian
perselisihan dengan konsiliasi atau mediasi;
3. Jika
penyelesaian dengan mediasi atau konsiliasi gagal maka penyelesaian akan
diselesaikan di Pengadilan Hubungan Industrial.
Walaupun Anda menginginkan perselisihan diselesaikan oleh Pengadilan
Hubungan Industrial, namun dari
uraian sebelumnya terlihat bahwa upaya menyelesaikan perselisihan dengan cara damai
sangat ditekankan dalam peraturan perundang-undangan. Tanpa adanya upaya
penyelesaian perselisihan dengan cara damai maka perselisihan Anda tidak dapat dibawa ke Pengadilan Hubungan Industrial. Waktu
yang diperlukan dalam penyelesaian perselisihan PHK pun relatif lama.
Untuk menghindari perselisihan ini, kami menyarankan Anda untuk melakukan musyawarah terlebih dahulu dengan pihak
perusahaan terkait permasalahan ini. Demikian jawaban kami, semoga dapat
membantu permasalahan yang Anda alami.
Terimakasih.
Dasar hukum:
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui
twitter @klinikhukum, atau facebookKlinik Hukumonline
Ketentuan Jam Kerja
Selama Bulan Ramadhan
Saya ingin menanyakan
mengenai jam kerja selama bulan Ramadhan (Puasa) atau pada hari keagamaan
lainnya apakah masih tetap sama waktu kerjanya yaitu 8 jam/hari atau 40
jam/minggu? Dan mohon diberikan dasar peraturannya. Saya mohon penjelasannya
segera dan terima kasih banyak.
Jawaban: Diana Kusumasari
Pada prinsipnya, setiap pengusaha wajib memberikan kesempatan yang
secukupnya kepada pekerja untuk melaksanakan ibadah yang diwajibkan oleh agamanya (Pasal 80 UU No. 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan – “UUK”). Yang dimaksud
kesempatan secukupnya yaitu menyediakan tempat untuk melaksanakan ibadah yang
memungkinkan pekerja/buruh dapat melaksanakan ibadahnya secara baik, sesuai
dengan kondisi dan kemampuan perusahaan (Penjelasan Pasal 80 UUK).
Mengenai waktu kerja, pada dasarnya tidak ada ketentuan
undang-undang yang secara tegas menentukan perbedaan waktu kerja pada bulan
Ramadhan atau hari keagamaan lainnya dengan hari-hari biasa lainnya. Waktu kerja karyawanmengacu pada ketentuan Pasal 77 ayat (1) UUK, yaitu:
(a). 7
(tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6
(enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu; atau
(b). 8
(delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5
(lima hari kerja dalam 1 (satu) minggu.
Meski demikian, pada praktiknya, khususnya di lingkungan pegawai
negeri sipil ("PNS") ada kebijakan-kebijakan yang diambil
terkait dengan waktu kerja pada bulan Ramadhan. Salah satu contohnya adalah
dengan dikeluarkannyaKeputusan Gubernur
Propinsi DKI Jakarta No. 1073/2012 tentang Pengaturan Jam Kerja dalam Bulan
Suci Ramadhan Tahun 2012 M/1433 H yang mengatur jam kerja dalam Bulan Suci
Ramadhan Tahun 2012/1433 H bagi pegawai negeri yang bekerja di lingkungan
Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, kecuali para Guru/Penjaga
Sekolah dengan ketentuan sebagai berikut:
Hari
|
Jam Kerja Selama Bulan Suci Ramadhan
|
Keterangan
|
Senin
s.d. Jumat
|
Mulai Pukul 08.00 s.d. Pukul 15.00
|
1. Senin s.d. Kamis:
Bagi yang akan melaksanakan shalat Dzuhur diberikan waktu
seperlunya
2. Jum’at
Bagi yang akan melaksanakan sholat
Jum’at diberikan waktu pukul 11.30 s/d 13.00
|
Contoh lain adalah sebagaimana diatur dalam surat dari Sekretaris Mahkamah Agung RI No.:
306/SEK/01/VII/2010 tentang Perubahan Jam Kerja selama Bulan Ramadhan, yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Tingkat
Banding dan Ketua Pengadilan Tingkat Pertama Empat Lingkungan Peradilan di
seluruh Indonesia yang menentukan jam/waktu kerja:
Hari Senin sampai dengan hari Kamis :
- Jam Kerja : Pukul 08.00 s/d Pukul 15.00 Waktu setempat.
- Jam Istirahat : Pukul 12.00 s/d Pukul 12.30 Waktu setempat.
Hari Jum'at :
- Jam Kerja : Pukul 08.00 s/d Pukul 15.30 Waktu setempat.
- Jam Istirahat : Pukul 11.30 s/d Pukul 12.30 Waktu setempat.
Sementara itu, dalam praktik di perusahaan-perusahaan swasta
tertentu juga ada yang mengeluarkan kebijakan terkait dengan waktu kerja di
bulan Ramadhan, misalnya jam kerja yang biasa berlaku adalah mulai jam 09.00
s.d. 17.00 WIB (untuk hari kerja Senin-Jumat). Ditetapkan bahwa selama bulan
Ramadhan jam kerja adalah mulai pukul 08.00 s.d. 16.00 WIB. Sebenarnya waktu
kerja yang digunakan adalah tetap, hanya saja ditetapkan untuk dimajukan lebih
awal. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan para pekerja yang berpuasa akan
membutuhkan waktu untuk perjalanan pulang maupun menyiapkan buka puasa.
Jadi, pada dasarnya tidak ada perbedaan antara waktu kerja pada
bulan Ramadhan dengan waktu kerja pada bulan lainnya. Setiap pekerja tetap dapat
melaksanakan kewajiban agamanya selama bulan Ramadhan, baik untuk berpuasa
maupun shalat dalam waktu/jam kerja seperti biasa. Kecuali ditentukan lain oleh
pengusaha (misal: dalam SK Direksi) atau untuk PNS ada kebijakan seperti surat
keputusan yang dikeluarkan Gubernur atau pimpinan lembaga seperti yang telah
dicontohkan di atas.
Demikian jawaban dari
kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
Setiap artikel jawaban
Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau
facebookKlinik Hukumonline.
Bolehkah Slip Gaji
Melalui SMS?
Selamat siang, di tempat
kerja saya sekarang diberlakukan slip gaji menggunakan sms tidak lagi memakai
kertas karbon, yang ingin saya tanyakan apakah secara hukum
dibenarkan/diperbolehkan khususnya terkait dengan UU No. 11 Tahun 2008 tentang
ITE?
Jawaban: Ilman Hadi
SMS (short message service) dapat digolongkan sebagai salah
satu bentuk informasi elektronik menurut Pasal 1 angka 1 UU No. 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”). Ketentuan lebih lanjut mengenai
Informasi Elektronik diatur diantaranya dalam Pasal 5 dan Pasal 6 UU ITE:
Pasal 5
(1) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau
hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.
(2) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau
hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari
alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.
(3) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan
yang diatur dalam Undang-Undang ini.
(4) Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk:
a. surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk
tertulis; dan
b. surat beserta dokumennya yang menurut Undang-Undang harus
dibuat dalam bentuk akta notariil atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat
akta.
Pasal 6
Dalam hal terdapat ketentuan lain selain yang diatur dalam
Pasal 5 ayat (4) yang mensyaratkan bahwa suatu informasi harus berbentuk
tertulis atau asli, Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dianggap
sah sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses,
ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga
menerangkan suatu keadaan.
|
Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, informasi elektronik
dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah, dalam hal ini
termasuk SMS.
UU No. 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan sendiri tidak
mensyaratkan bahwa slip gaji harus dibuat dalam bentuk tertulis. Selain itu dalam ketentuan PP No. 8 Tahun 1981
tentang Perlindungan Upah (“PP 8/1981”), pemberian gaji atau upah juga tidak harus dilakukan dengan tanda bukti tertulis, kecuali untuk
perhitungan atas uang muka atas upah,
kelebihan upah yang telah dibayarkan dan cicilan hutang buruh kepada pengusaha
(Pasal 24 ayat [1] huruf c PP 8/1981).
Jadi, pemberian slip gaji menggunakan SMS tetap sah berdasarkan
Pasal 5 UU ITE dengan syarat sesuai Pasal 6 UU ITE yaitu dapat
diakses, dapat ditampilkan, dijamin keutuhannya dan dapat
dipertanggungjawabkan.
Demikian jawaban dari
kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
Setiap artikel jawaban
Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau
facebookKlinik Hukumonline.
Komentar
Posting Komentar