Naker



Jenis Perjanjian Kerja yang Tepat Diterapkan untuk Wartawan

Yth. Hukum Online Saya HRD di suatu perusahaan media massa. Saya ingin bertanya perihal jenis perjanjian kerja bagi wartawan. Apabila diberlakukan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), melihat dari Pasal 59 UU Ketenagakerjaan, pekerjaan wartawan tidak mencakup jenis dan sifat dari PWKT tersebut. Akan tetapi bila langsung diberlakukan secara Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT), persyaratan masa percobaan 3 bulan, masih dirasa kurang untuk seorang wartawan. Tahapan menjadi seorang wartawan adalah Reporter Mula lalu apabila memiliki kompetensi maka menjadi Reporter Muda. Jenis perjanjian kerja seperti apa yang dapat kami berlakukan apabila kami ingin memberikan masa probation bagi wartawan kurang lebih selama 1 tahun? Mohon bantuan secepatnya.


Sebelumnya terima kasih atas kepercayaan Anda dalam mengajukan pertanyaan kepada kami.

Seperti yang Anda sendiri sampaikan, jenis perjanjian kerja waktu tertentu (“PKWT”) atau biasa dikenal dengan sistem kerja kontrak tak bisa diterapkan oleh perusahaan media kepada pekerjanya yang bekerja di posisi wartawan. Karena posisi wartawan adalah posisi yang akan tetap ada sepanjang perusahaan media itu berdiri. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 59 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”).

Dengan demikian, jenis perjanjian kerja yang paling tepat diterapkan kepada wartawan yang bekerja pada suatu perusahaan media adalah perjanjian kerja waktu tidak tertentu (“PKWTT”).

Mengenai masa percobaan dalam PKWTT sudah diatur pada Pasal 60 UU Ketenagakerjaan berikut dengan penjelasan pasalnya. Dari aturan tersebut diketahui beberapa ketentuan mengenai masa percobaan sebagai berikut:
·         Masa percobaan kerja hanya bisa dilakukan untuk paling lama tiga bulan
·         Selama masa percobaan pengusaha dilarang membayar upah di bawah ketentuan upah minimum
·         Syarat masa percobaan kerja dicantumkan dalam perjanjian kerja.
·         Apabila perjanjian kerja dilakukan secara lisan, maka syarat masa percobaan kerja harus diberitahukan kepada pekerja yang bersangkutan dan dicantumkan dalam surat pengangkatan.
·         Dalam hal tidak dicantumkan dalam perjanjian kerja atau dalam surat pengangkatan, maka ketentuan masa percobaan kerja dianggap tidak ada.

Dari ketentuan di atas terlihat bahwa masa percobaan kerja tidak bisa diberlakukan lebih dari tiga bulan. Bila ada yang mengatur lebih dari tiga bulan, maka demi hukum sejak bulan keempat, si pekerja sudah dinyatakan sebagai pekerja tetap (PKWTT). Demikian antara lain kaidah yang terdapat dalam Putusan Mahkamah Agung No. 285 K/Pdt.Sus/2010 yang menguatkan putusan Pengadilan Hubungan Industrial (“PHI”) Surabaya bernomor No. 213/G/2009/PHI.SBY dalam perkara antara Machrus Ali melawan PT Supra Alumunium Industri.

Dalam perkara tersebut Machrus Ali dipekerjakan dengan perjanjian PKWTT yang mana di dalamnya disebutkan masa percobaan kerja adalah enam bulan. Sebelum masa percobaan berakhir, perusahaan melakukan pemutusan hubungan kerja secara sepihak tanpa kompensasi apa pun. Namun, keputusan perusahaan ini dibatalkan oleh PHI Surabaya sekaligus menghukum perusahaan membayarkan pesangon kepada Machrus. Mahkamah Agung menguatkan putusan PHI tersebut.

Selain soal larangan lebih dari tiga bulan, masa percobaan kerja hanya bisa diterapkan sekali kepada pekerja. Ilustrasinya seperti ini: A bekerja dengan masa percobaan satu bulan. Pengusaha tidak boleh memperpanjang masa percobaan terhadap A tersebut walaupun totalnya genap tiga bulan.

Ketentuan di atas tersebut memang tidak terdapat dalam UU Ketenagakerjaan, melainkan di dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 150 Tahun 2000 tentang Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja dan Penetapan Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa kerja dan Ganti Kerugian di Perusahaan (“Kepmenakertrans 150/2000”).

Pasal 5 ayat (2) Kepmenakertrans 150/2000 merumuskan, lamanya masa percobaan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling lama 3 (tiga) bulan dan hanya boleh diadakan untuk satu kali masa percobaan kerja.

Dari segala uraian di atas dapat ditarik kaidah bahwa Anda hanya bisa membuat PKWTT kepada wartawan dengan sekali masa percobaan kerja untuk paling lama tiga bulan.

Mengenai pertanyaan Anda tentang jenis perjanjian apa yang mungkin bisa diterapkan kepada wartawan, menurut hemat kami Anda bisa memilih bentuk pemagangan. Lebih jauh simak Esensi Perjanjian Pemagangan Agar Tidak Menyalahi Aturan.

Namun, bila kemudian ada wartawan yang dianggap lulus pemagangan dan layak diangkat sebagai pekerja, maka kepada yang bersangkutan tidak boleh lagi dipersyaratkan adanya masa percobaan kerja. Demikian ditegaskan dalam Pasal 5 ayat (3) Kepmenakertrans 150/2000.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar hukum:
2.      Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 150 Tahun 2000 tentang Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja dan Penetapan Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa kerja dan Ganti Kerugian di Perusahaan

Putusan:
Putusan Mahkamah Agung No. 285 K/Pdt.Sus/2010
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebookKlinik Hukumonline.


Keabsahan Ketentuan Larangan Hamil Sebelum Setahun Kerja

Bagaimana karyawan yang hamil, padahal di dalam perjanjian sebelum satu tahun tidak boleh hamil dulu, apakah karyawan tersebut bisa dikeluarkan dari perusahaan? Mohon bantuan dan informasinya.  

Jawaban:  Diana Kusumasari

Seperti pernah ditulis dalam salah satu artikel Klinik Hukumonline berjudul Dilarang Menikah Selama Masa Kontrak Kerja, dijelaskan bahwa UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UUK”) tidak memberikan kewenangan kepada pengusaha atau perusahaan untuk membuat perjanjian kerja yang memuat ketentuan larangan menikah maupun larangan hamil selama masa kontrak kerja atau selama masa tertentu dalam perjanjian kerja.

Anda tidak menjelaskan lebih jauh, apa sanksi yang mengikuti larangan pekerja untuk hamil sebelum satu tahun bekerja. Namun, jika melihat pada ketentuan Pasal 153 ayat (1) huruf e UUK, pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya. Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan karena pekerja hamil adalah batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja yang bersangkutan sesuai Pasal 153 ayat (2) UUK.

Dengan demikian, kehamilan bukanlah alasan yang sah berdasarkan hukum untuk digunakan sebagai alasan memberhentikan pekerja, meskipun sudah diperjanjikan sebelumnya. Oleh karena itu. perjanjian yang memuat klausul pekerja akan diputus hubungan kerjanya karena hamil tidak beralasan hukum dan dianggap batal demi hukum.

Selain itu, larangan bagi pekerja untuk hamil selama masa tertentu dalam perjanjian kerja jelas ditujukan kepada pekerja wanita. Sementara, berdasarkan ketentuan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (“UU HAM”), setiap orang, baik pria maupun wanita bebas memilih pekerjaan yang disukainya dan berhak pula atas syarat-syarat ketenagakerjaan. Dan jika merujuk kembali pada ketentuan UUK tegas disebutkan kehamilan bukanlah alasan untuk memecat pekerja.

Jadi, meskipun telah diperjanjikan dalam perjanjian kerja bahwa pekerja dilarang hamil sebelum satu tahun bekerja, namun karena hal tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang ada, pula bertentangan dengan hak asasi manusia (perempuan), maka secara hukum perusahaan tidak dapat memutus hubungan kerja karyawan yang bersangkutan.

Demikian jawaban dari kami, semoga membantu.

Dasar hukum:

Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebookKlinik Hukumonline.


Wajibkah Perusahaan Memberikan Fasilitas Bagi Serikat Pekerja?

Salam Hormat. Saya ingin menanyakan apakah ada aturan hukum yang mewajibkan perusahaan memfasilitasi/menyediakan kantor untuk kegiatan Serikat Pekerja. Terima kasih sebelumnya.  

Jawaban:  Try Indriadi

Sesuai dengan Pasal 104 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UUK”), membentuk serikat pekerja merupakan hak dari semua buruh/pekerja. Penjelasan Pasal 104 ayat (1) UUK menjelaskan bahwa kebebasan untuk membentuk, masuk atau tidak masuk menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh merupakan salah satu hak dasar pekerja/buruh. Selain itu, hak pekerja untuk membentuk serikat pekerja ini juga ditegaskan dalam Pasal 5 ayat (1) UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja (“UU Serikat Pekerja”).

Merujuk pada ketentuan Pasal 29 UU Serikat Pekerja:

1.     Pengusaha harus memberi kesempatan kepada pengurus dan/atau anggota serikat pekerja/serikat buruh untuk menjalankan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh dalam jam kerja yang disepakati oleh kedua belah pihak dan/atau yang diatur dalam perjanjian kerja bersama.
2.     Dalam kesepakatan kedua belah pihak dan/atau perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diatur mengenai:
a)    jenis kegiatan yang diberikan kesempatan;
b)    tata cara pemberian kesempatan;
c)    pemberian kesempatan yang mendapat upah dan yang tidak mendapat upah.

Peraturan perundang-undangan yang ada saat ini memang belum mengatur secara khusus mengenai kewajiban perusahaan untuk menyediakan ruangan bagi kegiatan Serikat Pekerja (SP). Namun, dari ketentuan Pasal 29 UU Serikat Pekerja tersebut di atas, pengusaha harus memberi kesempatan bagi SP untuk menjalankan kegiatannya, dan mengenai tata cara pemberian kesempatan itu dapat disepakati oleh kedua belah pihak dan/atau diatur dalam Perjanjian Kerja Bersama (PKB).

Dalam praktiknya, umumnya ketentuan mengenai kewajiban perusahaan untuk menyediakan ruangan bagi SP untuk melakukan kegiatannya ini diatur dalam PKB. Meski memang, tidak ada kewajiban bagi perusahaan untuk memberikan fasilitas ruangan bagi SP dalam peraturan perundang-undangan.

Akan tetapi, dalam rangka perlindungan hak pekerja/buruh untuk berserikat dan pemberian kesempatan bagi SP untuk menjalankan kegiatannya, serta tetap menjaga suasana yang kondusif, umumnya memang perusahaan memberikan fasilitas ruangan bagi SP yang ada di perusahaannya. Bahkan ada perusahaan-perusahaan yang juga menyediakan fasilitas komputer untuk digunakan oleh pengurus SP yang bersangkutan.
Sebagai referensi, simak beberapa artikel berikut:
-      Serikat Pekerja
Demikian penjelasan singkat dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebookKlinik Hukumonline.

Perlindungan Hukum Bagi Pekerja Rumah Tangga

Mengapa Pekerja Rumah Tangga tidak dilindungi oleh UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan?  


Pekerja Rumah Tangga (“PRT”) atau kerap dikenal sebagai pembantu/asisten rumah tangga memang tidak termasuk dalam perlindungan hukum ketenagakerjaan sebagaimana diatur dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UUK”).

Dalam salah satu publikasi International Labour Organization (ILO/Kantor Perburuhan Internasional, Jakarta) yang berjudul Peraturan tentang Pekerja Rumah Tangga di Indonesia; Perundangan yang Ada, Standar Internasional dan Praktik Terbaik (Jakarta, 2006) antara lain dijelaskan bahwa pekerja rumah tangga masuk ke dalam sektor ekonomi non-formal. Berbeda dengan para pekerja yang berada dalam sektor formal, seperti pekerja yang bekerja pada sektor-sektor industri yang dilindungi oleh UUK.

Dalam publikasi ILO tersebut (hal. 10) dijelaskan bahwa:

“Pemerintah menyatakan, majikan pekerja rumah tangga bisa tergolong “pemberi kerja”, ia bukan badan usaha dan dengan demikian bukan “pengusaha” di dalam artian UU tersebut(UUK, ed.).”

Oleh karena PRT dianggap tidak dipekerjakan oleh “pengusaha”, mereka tidak diberikan perlindungan yang diberikan oleh UUK terhadap pekerja lainnya. Pada dasarnya, hubungan antara PRT dan majikannya umumnya hanya diatur berdasarkan kepercayaan saja, berbeda dengan mekanisme hubungan kerja di sektor formal yang juga menyediakan mekanisme penyelesaian sengketa di pengadilan hubungan industrial.

Sementara sistem UUK tidak menjangkau para PRT, namun sebenarnya sejumlah undang-undang nasional lainnya memberikan perlindungan di bidang-bidang tertentu, meski masih secara terpisah dan terbatas.

Undang-undang ini antara lain meliputi:

Sebenarnya, sejak lama perlindungan hukum terhadap PRT ini menjadi persoalan di masyarakat. Pada 2006, draf sementara RUU Pekerja Rumah Tangga (“RUU PRT”) sudah mulai disusun Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang lebih jauh dapat Anda simak dalam artikel Pembantu Rumah Tangga pun akan Diatur Undang-Undang.

Kemudian, menurut artikel Pembahasan RUU PRT Tersendat, RUU PRT versi Usul Inisiatif DPR telah masuk Program Legislasi Nasional 2010-2014. Namun, masih menurut artikel yang sama, pembahasan RUU tersebut terhambat karena “belum ada kesatuan pendapat di Komisi IX untuk membahas draf RUU ini.

Kesimpulan kami, karena PRT merupakan pekerjaan non-formal, maka PRT memang tidak termasuk dalam perlindungan UUK.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar Hukum:
2.      Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht, Staatsblad 1915 No 73);

Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebookKlinik Hukumonline.

Komentar

Postingan Populer