Naker
Penangguhan Pelaksanaan Upah Minimum Bagi Perusahaan Tidak Mampu
Selamat siang, perkenalkan nama saya Junaedi bekerja di salah satu
perusahaan PMA di Jawa Barat yang bergerak di bidang Otomotif. Saya ingin
menanyakan bahwa apakah pembayaran kenaikan UMK mulai Januari 2013 nanti bisa
ditunda, dengan alasan penjualan yang sangat minim (rugi) dan sekedar informasi
juga perusahaan kami masih berumur 1 tahun lebih.
Jawaban:
Kami asumsikan yang Saudara maksud dengan UMK adalah Upah Minimum
Kota/Kabupaten.
Berdasarkan Pasal 89 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UUK”), upah minimum,
dalam hal ini termasuk UMK, ditetapkan oleh Gubernur.
Pada dasarnya, setiap pengusaha dilarang membayar upah pekerjanya
lebih rendah dari upah minimum. Akan tetapi, pengusaha yang tidak mampu
membayar upah minimum dapat meminta penangguhan berdasarkan Pasal 90 UUK.
Mengenai penangguhan upah minimum di dalam penjelasan Pasal 90 ayat (2) UUK dijelaskan
sebagai berikut:
“Penangguhan pelaksanaan upah minimum bagi perusahaan yang tidak
mampu dimaksudkan untuk membebaskan perusahaan yang bersangkutan melaksanakan
upah minimum yang berlaku dalam kurun waktu tertentu. Apabila penangguhan
tersebut berakhir maka perusahaan yang bersangkutan wajib melaksanakan upah
minimum yang berlaku pada saat itu tetapi tidak wajib membayar pemenuhan
ketentuan upah minimum yang berlaku pada waktu diberikan penangguhan.”
Jadi, kewajiban pengusaha untuk membayarkan upah pekerja sesuai
ketentuan UMK dapat ditangguhkan apabila perusahaan tidak mampu.
Kemudian, mengenai tata cara penangguhan upah minimum selanjutnya
diatur dalam Kepmenakertrans No.
KEP-231/MEN/2003 Tahun 2003 tentang Tata Cara Penangguhan Pelaksanaan Upah
Minimum (“Kepmenakertrans 231/2003”).
Pengusaha yang tidak mampu membayar sesuai upah minimum dapat
mengajukan permohonan penangguhan upah minimum kepada Gubernur
melalui Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Provinsi
paling lambat 10 hari sebelum tanggal berlakunya upah minimum (Pasal 3 ayat
[1] Kepmenakertrans 231/2003). Permohonan
tersebut merupakan hasil kesepakatan tertulis antara pengusaha dengan
pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh yang tercatat (Pasal 3 ayat [2] Kepmenakertrans 231/2003).
Berdasarkan ketentuan tersebut, jelas bahwa untuk dapat mengajukan
permohonan penangguhan UMK, pengusaha harus mencapai kesepakatan dengan pihak
buruh/pekerja jika ingin mengajukan penangguhan upah minimum.
Jika telah tercapai kesepakatan untuk dilakukan penangguhan upah
minimum, maka disampaikan permohonan kepada Gubernur. Permohonan penangguhan
upah minimum harus disertai dengan (Pasal 4 ayat [1] Kepmenakertrans
231/2003):
a. naskah asli kesepakatan tertulis antara pengusaha dengan serikat
pekerja/serikat
buruh atau pekerja/buruh perusahaan yang bersangkutan;
b. laporan keuangan perusahaan yang terdiri, dari neraca, perhitungan
rugi/laba beserta penjelasan-penjelasan untuk 2 (dua) tahun terakhir;
c. salinan akte pendirian perusahaan;
d. data upah menurut jabatan pekerja/buruh;
e. jumlah pekerja/buruh seluruhnya dan jumlah pekerja/buruh yang
dimohonkan
penangguhan pelaksanaan upah minimum;
f. perkembangan produksi dan pemasaran selama 2 (dua) tahun terakhir,
serta rencana produksi dan pemasaran untuk 2 (dua) tahun yang akan datang;
Apabila perusahaan yang memohon penangguhan upah minimum berbentuk
badan hukum, atau jika Gubernur merasa perlu untuk pembuktian ketidakmampuan
keuangan perusahaan, maka laporan keuangan harus diaudit oleh Akuntan Publik (Pasal
4 ayat [2] dan [3] Kepmenakertrans 231/2003).
Terhadap permohonan penangguhan upah minimum dari perusahaan,
Gubernur akan memberikan persetujuan atau penolakan setelah menerima saran dan
pertimbangan Dewan Pengupahan Provinsi. Apabila penangguhan upah minimum
disetujui, Gubernur memberi penangguhan upah minimum untuk jangka waktu paling
lama 12 bulan (Pasal 4 ayat [4] jo. Pasal 5 ayat [1] Kepmenakertrans
231/2003).
Bentuk penangguhan upah minimum yang diberikan dapat berupa (Pasal
5 ayat [2] Kepmenakertrans 231/2003):
a. membayar upah
minimum sesuai upah minimum yang lama, atau;
b. membayar upah
minimum lebih tinggi dari upah minimum lama tetapi lebih rendah
dari upah
minimum baru, atau;
c. menaikkan upah
minimum secara bertahap
Jika masa penagguhan telah berakhir, pengusaha wajib membayar upah
minimum yang berlaku (Pasal 5 ayat [3] Kepmenakertrans 231/2003).
Jadi, menjawab pertanyaan Saudara, kewajiban pengusaha untuk
membayar sesuai upah minimum dapat ditangguhkan sesuai tata cara yang telah
dijelaskan. Mengenai alasan penangguhan karena perusahaan mengalami kerugian,
bisa saja pengusaha mengatakan demikian, akan tetapi hal ini harus dibuktikan
dengan laporan keuangan yang telah diaudit oleh Akuntan Publik.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
2. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP-231/MEN/2003 Tahun 2003 tentang Tata Cara Penangguhan
Pelaksanaan Upah Minimum
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga
melalui twitter @klinikhukum, atau facebookKlinik Hukumonline.
Pembayaran Upah Bukan Berbentuk Uang
Saya bekerja di pabrik keramik tableware, uang makan dan uang
pengobatan kami dibayar dengan keramik hasil produksi kami sendiri. Alasannya,
perusahaan tidak bisa membayar itu semua.
Jawaban: Ilman Hadi
Setiap pekerja memiliki hak atas upah. Di dalam Pasal 1 angka 30 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan(“UUK”)
disebutkan bahwa:
“Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam
bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada
pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja,
kesepakatan, atau peraturan perundangundangan, termasuk tunjangan bagi
pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah
atau akan dilakukan.”
Jadi, pada
dasarnya upah dinyatakan dan dibayarkan dalam bentuk uang. Lantas, apakah upah
boleh dibayarkan dalam bentuk selain uang? Di dalam ketentuan UUK tidak
mengatur mengenai hal ini. Oleh karena itu, untuk menjawab hal ini, kita
mengacu pada ketentuan Pasal 12 PP No. 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah yang berbunyi:
(1) Pada dasarnya upah
diberikan dalam bentuk uang.
(2) Sebagian dari upah dapat diberikan dalam bentuk lain
kecuali minuman keras, obat-obatan atau bahan obat-obatan, dengan ketentuan nilainya
tidak boleh melebihi 25% (dua puluh lima persen) dari nilai upah yang
seharusnya diterima.
Di dalam penjelasan Pasal 12
PP 8/1981 disebutkan bahwa:
Untuk menuju ke
arah sistem pembayaran upah bersih, maka upah harus dibayar dalam bentuk uang.
Prinsip tersebut diharapkan bahwa buruh akan dapat menggunakan upahnya secara
bebas sesuai dengan keinginannya dan kebutuhannya.
Penerapan
prinsip tersebut sekali-kali tidak mengurangi kemungkinan untuk memberikan
sebagian upahnya dalam bentuk lain. Bentuk lain adalah hasil produksi atau
barang yang mempunyai nilai ekonomi bagi buruh.
Pemberian upah dalam bentuk uang dimaksudkan agar buruh memiliki
kebebasan untuk menggunakan upahnya. Jika upah diberikan dalam bentuk barang,
maka agar mendapatkan uang, si buruh harus menjual barang tersebut terlebih
dahulu. Akan tetapi, bukan berarti pemberian upah dalam bentuk barang dilarang
sepenuhnya. Hal tersebut diperbolehkan asalkan barang mempunyai nilai ekonomi
dan jumlahnya tidak melebihi 25% dari keseluruhan jumlah upah.
Mengenai uang pengobatan, kami asumsikan yang Saudara maksud
merupakan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK). Berdasarkan Pasal 3 ayat (2) jo. Pasal 17 UU No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (“UU Jamsostek”), setiap tenaga kerja berhak atas jaminan sosial
tenaga kerja. Salah satu program dari jaminan sosial tenaga kerja adalah
Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK). Lebih lanjut, menurut ketentuan Pasal 2 ayat (1) huruf b PP No. 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial
Tenaga Kerja, JPK diberikan dalam bentuk pelayanan kesehatan, dan bukan dalam
bentuk uang atau barang.
Jadi, pemberian upah selain berbentuk uang dapat diberikan dalam
bentuk lain kecuali berbentuk minuman keras, obat-obatan atau bahan
obat-obatan serta tidak boleh lebih dari 25% total upah yang Saudara terima.
Oleh karena itu, uang makan yang seharusnya Saudara terima boleh saja diganti
dengan keramik asalkan jumlahnya tidak melebihi 25% dari total upah yang
seharusnya Saudara terima seluruhnya jika berbentuk uang.
Sedangkan, untuk JPK harus diberikan dalam bentuk pelayanan dan
bukan barang. Maka, tidak bisa jika JPK tersebut diberikan dalam bentuk barang
yaitu keramik.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
4. Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan
Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui
twitter @klinikhukum, atau facebookKlinik Hukumonline.
Definisi Pemborongan Pekerjaan dan Pekerja Borongan
Secara hukum
yang berlaku di Indonesia, adakah perbedaan definisi pemborongan pekerjaan dan
pekerja borongan? Dan apa dasar hukum yang melandasinya?
Jawaban: Ilman Hadi
Di dalam peraturan perundang-undangan mengenai ketenagakerjaan di
Indonesia tidak diatur pengertian atau definisi dari pemborongan pekerjaan.
Pemborongan pekerjaan diatur di dalam Pasal 64 dan Pasal 65 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UUK”).
Di dalam Pasal 64 UUK disebutkan bahwa perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan
pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian
pemborongan pekerjaan atau penyediaan
jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis.
Syarat pekerjaan yang boleh diserahkan kepada perusahaan lain
melalui perjanjian pemborongan pekerjaan, antara lain (Pasal 65 ayat [2] UUK):
a. dilakukan
secara terpisah dari kegiatan utama;
b. dilakukan
dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan;
c. merupakan
kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; dan
d. tidak
menghambat proses produksi secara langsung.
Selain syarat jenis pekerjaan, terdapat pula syarat untuk
perusahaan yang menerima pekerjaan yaitu harus berbentuk badan hukum (Pasal
65 ayat [3] UUK).
Sedangkan, definisi pekerja borongan/tenaga kerja borongan diatur
dalam Pasal 1 angka 3 Kepmenaker No.
KEP-150/MEN/1999 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial
Tenaga Kerja Bagi Tenaga Kerja Harian Lepas, Borongan dan Perjanjian Kerja Waktu
Tertentu, yaitu:
“Tenaga kerja
borongan adalah tenaga kerja yang bekerja pada pengusaha untuk melakukan
pekerjaan tertentu dengan menerima upah didasarkan atas volume pekerjaan atau
satuan hasil kerja.”
Berdasarkan penjelasan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa
pemborongan pekerjaan adalah tindakan perusahaan yang menyerahkan sebagian
pelaksanaan kepada perusahaan lain melalui perjanjian tertulis dengan memenuhi
syarat-syarat tertentu. Sedangkan, tenaga kerja borongan adalah tenaga kerja
yang pekerjaannya didasarkan atas volume atau satuan hasil kerja.
Pemborongan pekerjaan dengan tenaga kerja borongan jelas merupakan
dua hal yang berbeda karena pemborongan pekerjaan merupakan bentuk
kebijakan/aktivitas perusahaan, sedangkan tenaga kerja borongan merupakan
status tenaga kerja yang dikaitkan dengan cara penerimaan upah.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
2. Keputusan
Menteri Tenaga Kerja Nomor KEP-150/MEN/1999 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja Bagi Tenaga Kerja Harian Lepas, Borongan
dan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui
twitter @klinikhukum, atau facebookKlinik Hukumonline.
Penerapan Prinsip Pengalihan Perlindungan dalam PKWT Pasca-Putusan
MK
Dalam amar putusan MK mengenai outsourcing ada istilah
"prinsip pengalihan tindakan perlindungan." Sebenarnya, apakah yang
dimaksud prinsip pengalihan tindakan perlindungan? Dan bagaimana contoh
penerapan outsourcing dengan PKWT atau PKWTT?
Jawaban: Umar Kasim
1. Prinsip pengalihan tindakan perlindungan (prinsip Transfer of
Undertaking Protection of Employment atauTUPE),
terdapat dalam butir [3.18] pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi
Perkara Nomor 27/PUU-IX/2011 ("Putusan MK") yang menyatakan
bahwa “dengan menerapkan prinsip pengalihan perlindungan, ketika perusahaan
pemberi kerja tidak lagi memberikan pekerjaan
borongan atau penyediaan jasa pekerja/buruh kepada suatu
perusahaan outsourcing yang lama, dan memberikan pekerjaan tersebut kepada perusahaan outsourcingyang baru, maka selama pekerjaan yang diperintahkan untuk
dikerjakan masih ada dan berlanjut, perusahaan
penyedia jasa baru tersebut harus
melanjutkan kontrak kerja yang telah ada
sebelumnya, tanpa mengubah ketentuan yang ada dalam kontrak, tanpa
persetujuan pihak-pihak yang berkepentingan, kecuali
perubahan untuk meningkatkan keuntungan bagi pekerja/buruh karena bertambahnya pengalaman dan masa kerjanya”.
Selanjutnya, disebutkan bahwa “...para pekerja outsourcing tidak diperlakukan sebagai pekerja baru. Masa kerja
yang telah dilalui para pekerja outsourcing tersebut tetap dianggap ada dan diperhitungkan, sehingga pekerjaoutsourcing dapat menikmati hak-hak (:upah) sebagai pekerja secara layak dan proporsional” (vide Putusan MK Perkara Nomor 27/PUU-IX/2011, hal. 44 dan 45).
Dengan
demikian, yang dimaksud dengan prinsip pengalihan tindakan perlindungan (prinsip Transfer of Undertaking
Protection of Employment atau TUPE), adalah jaminan kelangsungan hubungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh dengan penghargaan masa
kerja (experience) serta penerapan ketentuan kesejahteraan (upah) yang
sesuai dengan pengalaman dan masa kerja yang dilalui seseorang pekerja/buruh.
Terkait dengan
klausula jaminan kelangsungan hubungan kerja tersebut, sebenarnya telah (pernah) diatur dalam Pasal 4 butir 3,
Kepmenakertrans No. Kep-101/MEN/VI/2004 tentang Tata Cara Perijinan Perusahaan
Penyedia Jasa Pekerja/Buruh (khusus untuk perjanjian penyediaan jasa
pekerja/buruh), yang dalam Pasal tersebut, disyaratkan adanya “penegasan
bahwa (suatu) perusahaan
penyedia jasa pekerja buruh, bersedia
menerima pekerja/buruh
dari perusahaan penyedia jasa pekerja buruh sebelumnya untuk jenis-jenis pekerjaan yang terus-menerus ada di perusahaan
pemberi kerja dalam hal terjadi penggantian perusahaan penyedia jasa pekerja
buruh”.
Artinya,
pekerja/buruh yang bekerja sebagai “karyawan” outsourcing pada suatu perusahaan (user) yang nota-bene non-organik,
tetap dijamin kelangsungan hubungan kerjanya, walau selalu berganti “bendera”.
Demikian juga, dengan adanya kewajiban memberikan surat keterangan experience letter, maka upah pekerja/buruh dimaksud tidak lagi harus dengan standar
upah minimum, akan tetapi harus disesuaikan dengan masa kerja dan
kompetensinya.
2. Berkenaan
dengan penerapan hubungan kerja pada perusahaan outsourcing dengan
pekerja/buruh-nya melalui PKWT (perjanjian kerja waktu tertentu) atau
PKWTT (perjanjian kerja waktu tidak tertentu), dalam undang-undang telah
ditegaskan pada masing-masing perjanjian outsourcing-nya sesuai
dengan jenisnya, yakni:
- Pada perjanjian pemborongan pekerjaan, berdasarkan
Pasal 65 ayat (7) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU No. 13/2003”), bahwa hubungan kerja antara perusahaan outsourcing dengan
pekerja/buruh yang dipekerjakannya, dapat didasarkan atas PKWTT, atau (dapat
didasarkan) PKWTapabila memenuhi syarat sebagaimana dimaksud Pasal 59 UU No. 13/2003 (khususnya ayat [1] dan ayat[2]). Artinya, prinsip hubungan kerja pada perusahaan penerima pemborongan, adalah PKWTT,
namun dapat dilakukan melalui PKWT jika memenuhi syarat sesuai ketentuan Pasal
59 UU No.13/2003.
- Sebaliknya, pada perjanjian
penyediaan jasa pekerja/buruh, berdasarkan Pasal 66 ayat (2) huruf b UU No. 13/2003, bahwa perjanjian kerja yang berlaku
dalam hubungan kerja antara
pekerja/buruh denganperusahaan penyedia jasa pekerja/buruh, adalah PKWT yang (apabila) memenuhi syarat
sebagaimana dimaksud Pasal 59 UU No. 13/2003, dan/atau
PKWTT yang dibuat secara tertulis dan ditanda-tangani oleh kedua belah pihak.
Dengan kata lain, hubungan kerja pada perusahaan
penyedia jasa pekerja/buruh, adalah PKWT jika memenuhi syarat dan ketentuan Pasal 59 UU
No.13/2003, namun apabila tidak memenuhi syarat, dilakukan melalui PKWTT.
Terkait dengan
ketentuan tersebut di atas, dalam pertimbangan hukumnya, MK menyatakan bahwa
“untuk menghindari perusahaan (outsourcing company) melakukan
eksploitasi pekerja/buruh hanya untuk
kepentingan keuntungan bisnis tanpa
memperhatikan jaminan dan perlindungan atas hak-hak
pekerja/buruh untuk mendapatkan
pekerjaan dan upah yang layak, dan untuk meminimalisasi hilangnya hak-hak konstitusional para
pekerjaoutsourcing, Mahkamah Konstitusi (“MK”) menentukan dua model perlindungan dan jaminan hak bagi pekerja/buruh yang dapat
dilaksanakan untuk melindungi hak-hak pekerja/buruh, yakni
- Pertama, dengan mensyaratkan agar perjanjian
kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing (outsourcing
company) tidak berbentuk PKWT, melainkan berbentuk “perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT)”. Melalui model yang pertama tersebut, hubungan kerja dengan
pekerja/buruh dengan perusahaan outsourcing, adalah
konstitusional sepanjang dilakukan berdasarkan PKWTT.
- Kedua, menerapkan prinsip pengalihan tindakan perlindungan bagi
pekerjan/buruh (TUPE) yang bekerjapada
perusahaan outsourcing. Model yang kedua ini diterapkan, bahwa dalam hal hubungan kerja
berdasarkan PKWT, maka pekerja harus tetap mendapat perlindungan dengan
menerapkan prinsip TUPE(vide Putusan MK
butir [3.18] hal.44).
Sebagaimana
telah disebutkan, bahwa klausul “TUPE” (Transfer of Undertaking
Protection Employment) atauprinsip pengalihan tindakan
perlindungan bagi
pekerja/buruh, mengamanatkan:
a. pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh (termasuk berlanjutnya
hubungan kerja denganperusahaan outsourcing yang baru) yang objek kerja-nya tetap ada
walaupun terjadi pergantianperusahaan outsourcing.
b. masa
kerja pekerja/buruh harus diperjanjikan (dalam PKWT) untuk dibuat experience letter
c. masa
kerja menjadi salah satu dasar penentuan upah pada perusahaan outsourcing berikutnya.
Dengan
demikian, sehubungan dengan 2 (dua) model yang ditentukan oleh MK, hubungan
kerja pekerja/buruh pada suatu perusahaan outsourcing pada prinsipnya haruslah PKWTT, namun jika
memenuhi syarat sesuai ketentuan Pasal 59 No. 13/2003,
khususnya ayat (1) dan (2), maka dapat dilakukan (diperjanjikan) melalui PKWT.
Dalam Pasal 59
ayat (1) UU No.13/2003, dinyatakan bahwa PKWT hanya dapat diperjanjikan untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya
hanya (akan selesai) untuk waktu tertentu, yakni:
a. pekerjaan yang sekali selesai (sementara sifatnya). Maksudnya, yang bersifat sporadik;
b. pekerjaan yang (berdasarkan asumsi) perkiraan penyelesaiannya
dapat dilakukan dalam waktu singkat dan tidak melebihi 3 (tiga) tahun. Artinya,
jika –asumsinya- melebihi 3 (tiga) tahun, maka hubungan kerja pekerja/buruh
harus dengan PKWTT.
c. pekerjaan yang bersifat musiman (termasuk peak season); atau
d. pekejaan yang merupakan produk baru, kegiatan
baru, produk tambahan yang (semuanya)
masih dalam masa percobaan atau penjajakan (launching).
Selanjutnya,
dalam Pasal 59 ayat (2) UU No.13/2003, dipertegas, bahwa untuk pekerjaan yang bersifat tetap, tidak dapat diperjanjikan
melalui PKWT. Kemudian, dalam penjelasan Pasal tersebut dijelaskan, bahwa yang dimaksudpekerjaan yang
bersifat tetap, ada 2 (dua) kategori, yakni
- pekerjaan yang sifatnya terus-menerus, tidak terputus-putus, tidak
dibatasi waktu, dan merupakan
bagian dari suatu proses produksi dalam suatu perusahaan;
atau
- pekerjaan yang bukan musiman, yaitu pekerjaan yang tidak tergantung cuaca atau suatu kondisi tertentu.
Khusus mengenai pekerjaan musiman, lebih lanjut dijelaskan, bahwa apabila –suatu- pekerjaan itu
merupakan pekerjaan yang terus-menerus, tidak terputus-putus, tidak dibatasi
waktu, dan merupakan bagian dari suatu proses produksi tetapi bergantung cuaca, atau pekerjaan itu dibutuhkan karena adanya suatu kondisi
tertentu, maka pekerjaan tersebut merupakan pekerjaan
musiman yang tidak termasuk pekerjaan tetap, sehingga dapat menjadi objek
PKWT (vide Penjelasan Pasal 59 ayat [2] UU No.13/2003).
Dengan
perkataan lain, walaupun suatu pekerjaan sifatnya terus-menerus, tidak
terputus-putus dan tidak dibatasi waktu, namun bukan merupakan bagian dari
suatu proses produksi, maka tidak dianggap sebagai pekerjaan yang bersifat tetap. Dengan demikian, secara argumentatum a-contrario pekerjaan yang
bersifat tidak tetap boleh
dilakukan (:diperjanjikan) melalui PKWT, seperti pada pekerjaan (–outsourcing-) jasa penunjang.
Contoh penerapan klausul TUPE pada employment
agreement (melalui PKWT), kira-kira bunyinya sebagai berikut:
Pasal
....
(1) Apabila terjadi
pergantian PIHAK PERTAMA (perusahaan outsourcing), maka
a. selambat-lambatnya 15
(lima belas) hari kalender sebelum berakhirnya perjanjian pengalihan
pekerjaan (outsourcing agreement),
PIHAK PERTAMA wajib mengurus dan pengalihan PIHAK KEDUA (pekerja/buruh)
kepada perusahaan outsourcing baru (vendor) yang
memenangkan tender pekerjaan dari perusahaan perusahaan
pemberi pekerjaan (User);
b. PIHAK PERTAMA menjamin
hak-hak PIHAK KEDUA dalam perjanjian kerja (PKWT) ini -termasuk
syarat-syarat kerja dalam PP/PKB- sekurang-kurangnya sama pada perusahaan outsourcing baru yang memenangkan
tender pekerjaan berikutnya, dengan penyesuaian upah yang memperhitungkan
akumulasi masa kerja sebagai dasar penentuan
upah selanjutnya;
c. PIHAK KEDUA berhak atas
surat keterangan pengalaman
kerja (experience letter)
dari PIHAK PERTAMA -sebagaimana dimaksud Pasal 1602z KUH Perdata- yang
sekurang-kurangnya memuatlamanya hubungan kerja, pelaksanaan pekerjaan
(job) dan alasan berakhirnya
hubungan kerja pada PIHAK PERTAMA;
d. Masa kerja PIHAK KEDUA
pada PIHAK PERTAMA dan masa kerja sebelumnya di perusahaan outsourcing yang lain, akan
diperhitungkan dan diakumulasikan menjadi masa kerja pada perusahaan outsourcing yang memenangkan tender
berikutnya sepanjang dapat dibuktikan dengan keterangan pengalaman
kerja;
(2) PIHAK PERTAMA tidak bertanggung-jawab
atas keterangan yang tidak benar atau terdapat unsur penipuan dalam keterangan pengalaman
kerja yang dibuat oleh perusahaan outsourcing
sebelumnyaPIHAK
PERTAMA, walaupun terakumulasi dalam keterangan PIHAK PERTAMA ini.
|
Sedangkan penerapan klausul TUPE melalui PKWTT tidak disyaratkan
oleh MK, sehingga tidak ada ketentuan, persyaratan, dan pembatasan yang perlu
dimuat dalam perjanjian kerja PKWTT.
Demikian penjelasan dan opini kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui
twitter @klinikhukum, atau facebookKlinik Hukumonline.
Komentar
Posting Komentar