Naker


Penangguhan Pelaksanaan Upah Minimum Bagi Perusahaan Tidak Mampu

Selamat siang, perkenalkan nama saya Junaedi bekerja di salah satu perusahaan PMA di Jawa Barat yang bergerak di bidang Otomotif. Saya ingin menanyakan bahwa apakah pembayaran kenaikan UMK mulai Januari 2013 nanti bisa ditunda, dengan alasan penjualan yang sangat minim (rugi) dan sekedar informasi juga perusahaan kami masih berumur 1 tahun lebih.

Jawaban:
Kami asumsikan yang Saudara maksud dengan UMK adalah Upah Minimum Kota/Kabupaten.
Berdasarkan Pasal 89 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UUK”), upah minimum, dalam hal ini termasuk UMK, ditetapkan oleh Gubernur.
Pada dasarnya, setiap pengusaha dilarang membayar upah pekerjanya lebih rendah dari upah minimum. Akan tetapi, pengusaha yang tidak mampu membayar upah minimum dapat meminta penangguhan berdasarkan Pasal 90 UUK.
Mengenai penangguhan upah minimum di dalam penjelasan Pasal 90 ayat (2) UUK dijelaskan sebagai berikut:
“Penangguhan pelaksanaan upah minimum bagi perusahaan yang tidak mampu dimaksudkan untuk membebaskan perusahaan yang bersangkutan melaksanakan upah minimum yang berlaku dalam kurun waktu tertentu. Apabila penangguhan tersebut berakhir maka perusahaan yang bersangkutan wajib melaksanakan upah minimum yang berlaku pada saat itu tetapi tidak wajib membayar pemenuhan ketentuan upah minimum yang berlaku pada waktu diberikan penangguhan.”
Jadi, kewajiban pengusaha untuk membayarkan upah pekerja sesuai ketentuan UMK dapat ditangguhkan apabila perusahaan tidak mampu.
Kemudian, mengenai tata cara penangguhan upah minimum selanjutnya diatur dalam Kepmenakertrans No. KEP-231/MEN/2003 Tahun 2003 tentang Tata Cara Penangguhan Pelaksanaan Upah Minimum (“Kepmenakertrans 231/2003”).
Pengusaha yang tidak mampu membayar sesuai upah minimum dapat mengajukan permohonan penangguhan upah minimum kepada Gubernur melalui Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Provinsi paling lambat 10 hari sebelum tanggal berlakunya upah minimum (Pasal 3 ayat [1] Kepmenakertrans 231/2003). Permohonan tersebut merupakan hasil kesepakatan tertulis antara pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh yang tercatat (Pasal 3 ayat [2] Kepmenakertrans 231/2003).
Berdasarkan ketentuan tersebut, jelas bahwa untuk dapat mengajukan permohonan penangguhan UMK, pengusaha harus mencapai kesepakatan dengan pihak buruh/pekerja jika ingin mengajukan penangguhan upah minimum.

Jika telah tercapai kesepakatan untuk dilakukan penangguhan upah minimum, maka disampaikan permohonan kepada Gubernur. Permohonan penangguhan upah minimum harus disertai dengan (Pasal 4 ayat [1] Kepmenakertrans 231/2003):
a.    naskah asli kesepakatan tertulis antara pengusaha dengan serikat pekerja/serikat
buruh atau pekerja/buruh perusahaan yang bersangkutan;
b.    laporan keuangan perusahaan yang terdiri, dari neraca, perhitungan rugi/laba beserta penjelasan-penjelasan untuk 2 (dua) tahun terakhir;
c.    salinan akte pendirian perusahaan;
d.    data upah menurut jabatan pekerja/buruh;
e.    jumlah pekerja/buruh seluruhnya dan jumlah pekerja/buruh yang dimohonkan
penangguhan pelaksanaan upah minimum;
f.     perkembangan produksi dan pemasaran selama 2 (dua) tahun terakhir, serta rencana produksi dan pemasaran untuk 2 (dua) tahun yang akan datang;
 Apabila perusahaan yang memohon penangguhan upah minimum berbentuk badan hukum, atau jika Gubernur merasa perlu untuk pembuktian ketidakmampuan keuangan perusahaan, maka laporan keuangan harus diaudit oleh Akuntan Publik (Pasal 4 ayat [2] dan [3] Kepmenakertrans 231/2003).

Terhadap permohonan penangguhan upah minimum dari perusahaan, Gubernur akan memberikan persetujuan atau penolakan setelah menerima saran dan pertimbangan Dewan Pengupahan Provinsi. Apabila penangguhan upah minimum disetujui, Gubernur memberi penangguhan upah minimum untuk jangka waktu paling lama 12 bulan (Pasal 4 ayat [4] jo. Pasal 5 ayat [1] Kepmenakertrans 231/2003).
 Bentuk penangguhan upah minimum yang diberikan dapat berupa (Pasal 5 ayat [2] Kepmenakertrans 231/2003):
a.    membayar upah minimum sesuai upah minimum yang lama, atau;
b.    membayar upah minimum lebih tinggi dari upah minimum lama tetapi lebih rendah
dari upah minimum baru, atau;
c.    menaikkan upah minimum secara bertahap
Jika masa penagguhan telah berakhir, pengusaha wajib membayar upah minimum yang berlaku (Pasal 5 ayat [3] Kepmenakertrans 231/2003).
 Jadi, menjawab pertanyaan Saudara, kewajiban pengusaha untuk membayar sesuai upah minimum dapat ditangguhkan sesuai tata cara yang telah dijelaskan. Mengenai alasan penangguhan karena perusahaan mengalami kerugian, bisa saja pengusaha mengatakan demikian, akan tetapi hal ini harus dibuktikan dengan laporan keuangan yang telah diaudit oleh Akuntan Publik.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar hukum:
2.    Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP-231/MEN/2003 Tahun 2003 tentang Tata Cara Penangguhan Pelaksanaan Upah Minimum
 Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebookKlinik Hukumonline.

Pembayaran Upah Bukan Berbentuk Uang

Saya bekerja di pabrik keramik tableware, uang makan dan uang pengobatan kami dibayar dengan keramik hasil produksi kami sendiri. Alasannya, perusahaan tidak bisa membayar itu semua.

Jawaban:  Ilman Hadi

Setiap pekerja memiliki hak atas upah. Di dalam Pasal 1 angka 30 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan(“UUK”) disebutkan bahwa:
“Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundangundangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.”

Jadi, pada dasarnya upah dinyatakan dan dibayarkan dalam bentuk uang. Lantas, apakah upah boleh dibayarkan dalam bentuk selain uang? Di dalam ketentuan UUK tidak mengatur mengenai hal ini. Oleh karena itu, untuk menjawab hal ini, kita mengacu pada ketentuan Pasal 12 PP No. 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah yang berbunyi:

(1) Pada dasarnya upah diberikan dalam bentuk uang.
(2) Sebagian dari upah dapat diberikan dalam bentuk lain kecuali minuman keras, obat-obatan atau bahan obat-obatan, dengan ketentuan nilainya tidak boleh melebihi 25% (dua puluh lima persen) dari nilai upah yang seharusnya diterima.

Di dalam penjelasan Pasal 12 PP 8/1981 disebutkan bahwa:

Untuk menuju ke arah sistem pembayaran upah bersih, maka upah harus dibayar dalam bentuk uang. Prinsip tersebut diharapkan bahwa buruh akan dapat menggunakan upahnya secara bebas sesuai dengan keinginannya dan kebutuhannya.

Penerapan prinsip tersebut sekali-kali tidak mengurangi kemungkinan untuk memberikan sebagian upahnya dalam bentuk lain. Bentuk lain adalah hasil produksi atau barang yang mempunyai nilai ekonomi bagi buruh.

Pemberian upah dalam bentuk uang dimaksudkan agar buruh memiliki kebebasan untuk menggunakan upahnya. Jika upah diberikan dalam bentuk barang, maka agar mendapatkan uang, si buruh harus menjual barang tersebut terlebih dahulu. Akan tetapi, bukan berarti pemberian upah dalam bentuk barang dilarang sepenuhnya. Hal tersebut diperbolehkan asalkan barang mempunyai nilai ekonomi dan jumlahnya tidak melebihi 25% dari keseluruhan jumlah upah.

Mengenai uang pengobatan, kami asumsikan yang Saudara maksud merupakan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK). Berdasarkan Pasal 3 ayat (2) jo. Pasal 17 UU No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (“UU Jamsostek”), setiap tenaga kerja berhak atas jaminan sosial tenaga kerja. Salah satu program dari jaminan sosial tenaga kerja adalah Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK). Lebih lanjut, menurut ketentuan Pasal 2 ayat (1) huruf b PP No. 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja, JPK diberikan dalam bentuk pelayanan kesehatan, dan bukan dalam bentuk uang atau barang.

Jadi, pemberian upah selain berbentuk uang dapat diberikan dalam bentuk lain kecuali berbentuk minuman keras, obat-obatan atau bahan obat-obatan serta tidak boleh lebih dari 25% total upah yang Saudara terima. Oleh karena itu, uang makan yang seharusnya Saudara terima boleh saja diganti dengan keramik asalkan jumlahnya tidak melebihi 25% dari total upah yang seharusnya Saudara terima seluruhnya jika berbentuk uang.

Sedangkan, untuk JPK harus diberikan dalam bentuk pelayanan dan bukan barang. Maka, tidak bisa jika JPK tersebut diberikan dalam bentuk barang yaitu keramik.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar hukum:
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebookKlinik Hukumonline.


Definisi Pemborongan Pekerjaan dan Pekerja Borongan
Secara hukum yang berlaku di Indonesia, adakah perbedaan definisi pemborongan pekerjaan dan pekerja borongan? Dan apa dasar hukum yang melandasinya?

Jawaban:  Ilman Hadi

Di dalam peraturan perundang-undangan mengenai ketenagakerjaan di Indonesia tidak diatur pengertian atau definisi dari pemborongan pekerjaan. Pemborongan pekerjaan diatur di dalam Pasal 64 dan Pasal 65 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UUK”).
 Di dalam Pasal 64 UUK disebutkan bahwa perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis.
 Syarat pekerjaan yang boleh diserahkan kepada perusahaan lain melalui perjanjian pemborongan pekerjaan, antara lain (Pasal 65 ayat [2] UUK):
a.    dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;
b.    dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan;
c.    merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; dan
d.    tidak menghambat proses produksi secara langsung.

Selain syarat jenis pekerjaan, terdapat pula syarat untuk perusahaan yang menerima pekerjaan yaitu harus berbentuk badan hukum (Pasal 65 ayat [3] UUK).

Sedangkan, definisi pekerja borongan/tenaga kerja borongan diatur dalam Pasal 1 angka 3 Kepmenaker No. KEP-150/MEN/1999 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja Bagi Tenaga Kerja Harian Lepas, Borongan dan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, yaitu:

“Tenaga kerja borongan adalah tenaga kerja yang bekerja pada pengusaha untuk melakukan pekerjaan tertentu dengan menerima upah didasarkan atas volume pekerjaan atau satuan hasil kerja.”

Berdasarkan penjelasan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa pemborongan pekerjaan adalah tindakan perusahaan yang menyerahkan sebagian pelaksanaan kepada perusahaan lain melalui perjanjian tertulis dengan memenuhi syarat-syarat tertentu. Sedangkan, tenaga kerja borongan adalah tenaga kerja yang pekerjaannya didasarkan atas volume atau satuan hasil kerja.

Pemborongan pekerjaan dengan tenaga kerja borongan jelas merupakan dua hal yang berbeda karena pemborongan pekerjaan merupakan bentuk kebijakan/aktivitas perusahaan, sedangkan tenaga kerja borongan merupakan status tenaga kerja yang dikaitkan dengan cara penerimaan upah.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar hukum:
2.    Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor KEP-150/MEN/1999 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja Bagi Tenaga Kerja Harian Lepas, Borongan dan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu

Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebookKlinik Hukumonline.

Penerapan Prinsip Pengalihan Perlindungan dalam PKWT Pasca-Putusan MK
Dalam amar putusan MK mengenai outsourcing ada istilah "prinsip pengalihan tindakan perlindungan." Sebenarnya, apakah yang dimaksud prinsip pengalihan tindakan perlindungan? Dan bagaimana contoh penerapan outsourcing dengan PKWT atau PKWTT?

Jawaban:  Umar Kasim

1. Prinsip pengalihan tindakan perlindungan (prinsip Transfer of Undertaking Protection of Employment atauTUPE), terdapat dalam butir [3.18] pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 27/PUU-IX/2011 ("Putusan MK") yang menyatakan bahwa “dengan menerapkan prinsip pengalihan perlindungan, ketika perusahaan pemberi kerja tidak lagi memberikan pekerjaan borongan atau penyediaan jasa pekerja/buruh kepada suatu perusahaan outsourcing yang lama, dan memberikan pekerjaan tersebut kepada perusahaan outsourcingyang baru, maka selama pekerjaan yang diperintahkan untuk dikerjakan masih ada dan berlanjut, perusahaan penyedia jasa baru tersebut harus melanjutkan kontrak kerja yang telah ada sebelumnya, tanpa mengubah ketentuan yang ada dalam kontrak, tanpa persetujuan pihak-pihak yang berkepentingan, kecuali perubahan untuk meningkatkan keuntungan bagi pekerja/buruh karena bertambahnya pengalaman dan masa kerjanya”.

Selanjutnya, disebutkan bahwa “...para pekerja outsourcing tidak diperlakukan sebagai pekerja baru. Masa kerja yang telah dilalui para pekerja outsourcing tersebut tetap dianggap ada dan diperhitungkan, sehingga pekerjaoutsourcing dapat menikmati hak-hak (:upah) sebagai pekerja secara layak dan proporsional” (vide Putusan MK Perkara Nomor 27/PUU-IX/2011, hal. 44 dan 45).

Dengan demikian, yang dimaksud dengan prinsip pengalihan tindakan perlindungan (prinsip Transfer of Undertaking Protection of Employment atau TUPE), adalah jaminan kelangsungan hubungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh dengan penghargaan masa kerja (experience) serta penerapan ketentuan kesejahteraan (upah) yang sesuai dengan pengalaman dan masa kerja yang dilalui seseorang pekerja/buruh.

Terkait dengan klausula jaminan kelangsungan hubungan kerja tersebut, sebenarnya telah (pernah) diatur dalam Pasal 4 butir 3, Kepmenakertrans No. Kep-101/MEN/VI/2004 tentang Tata Cara Perijinan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh (khusus untuk perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh), yang dalam Pasal tersebut, disyaratkan adanya “penegasan bahwa (suatu) perusahaan penyedia jasa pekerja buruh, bersedia menerima pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja buruh sebelumnya untuk jenis-jenis pekerjaan yang terus-menerus ada di perusahaan pemberi kerja dalam hal terjadi penggantian perusahaan penyedia jasa pekerja buruh”.
Artinya, pekerja/buruh yang bekerja sebagai “karyawan” outsourcing pada suatu perusahaan (user) yang nota-bene non-organik, tetap dijamin kelangsungan hubungan kerjanya, walau selalu berganti “bendera”. Demikian juga, dengan adanya kewajiban memberikan surat keterangan experience letter, maka upah pekerja/buruh dimaksud tidak lagi harus dengan standar upah minimum, akan tetapi harus disesuaikan dengan masa kerja dan kompetensinya.

2. Berkenaan dengan penerapan hubungan kerja pada perusahaan outsourcing dengan pekerja/buruh-nya melalui PKWT (perjanjian kerja waktu tertentu) atau PKWTT (perjanjian kerja waktu tidak tertentu), dalam undang-undang telah ditegaskan pada masing-masing perjanjian outsourcing-nya sesuai dengan jenisnya, yakni:
-       Pada perjanjian pemborongan pekerjaan, berdasarkan Pasal 65 ayat (7) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU No. 13/2003”), bahwa hubungan kerja antara perusahaan outsourcing dengan pekerja/buruh yang dipekerjakannya, dapat didasarkan atas PKWTT, atau (dapat didasarkan) PKWTapabila memenuhi syarat sebagaimana dimaksud Pasal 59 UU No. 13/2003 (khususnya ayat [1] dan ayat[2]). Artinya, prinsip hubungan kerja pada perusahaan penerima pemborongan, adalah PKWTT, namun dapat dilakukan melalui PKWT jika memenuhi syarat sesuai ketentuan Pasal 59 UU No.13/2003.
-       Sebaliknya, pada perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh, berdasarkan Pasal 66 ayat (2) huruf b UU No. 13/2003, bahwa perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja antara pekerja/buruh denganperusahaan penyedia jasa pekerja/buruh, adalah PKWT yang (apabila) memenuhi syarat sebagaimana dimaksud Pasal 59 UU No. 13/2003, dan/atau PKWTT yang dibuat secara tertulis dan ditanda-tangani oleh kedua belah pihak. Dengan kata lain, hubungan kerja pada perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh, adalah PKWT jika memenuhi syarat dan ketentuan Pasal 59 UU No.13/2003, namun apabila tidak memenuhi syarat, dilakukan melalui PKWTT.

Terkait dengan ketentuan tersebut di atas, dalam pertimbangan hukumnya, MK menyatakan bahwa “untuk menghindari perusahaan (outsourcing company) melakukan eksploitasi pekerja/buruh hanya untuk kepentingan keuntungan bisnis tanpa memperhatikan jaminan dan perlindungan atas hak-hak pekerja/buruh untuk mendapatkan pekerjaan dan upah yang layak, dan untuk meminimalisasi hilangnya hak-hak konstitusional para pekerjaoutsourcing, Mahkamah Konstitusi (“MK”) menentukan dua model perlindungan dan jaminan hak bagi pekerja/buruh yang dapat dilaksanakan untuk melindungi hak-hak pekerja/buruh, yakni
-       Pertama, dengan mensyaratkan agar perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing (outsourcing company) tidak berbentuk PKWT, melainkan berbentuk “perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT)”. Melalui model yang pertama tersebut, hubungan kerja dengan pekerja/buruh dengan perusahaan outsourcing, adalah konstitusional sepanjang dilakukan berdasarkan PKWTT.
-       Kedua, menerapkan prinsip pengalihan tindakan perlindungan bagi pekerjan/buruh (TUPE) yang bekerjapada perusahaan outsourcing. Model yang kedua ini diterapkan, bahwa dalam hal hubungan kerja berdasarkan PKWT, maka pekerja harus tetap mendapat perlindungan dengan menerapkan prinsip TUPE(vide Putusan MK butir [3.18] hal.44).

Sebagaimana telah disebutkan, bahwa klausul “TUPE” (Transfer of Undertaking Protection Employment) atauprinsip pengalihan tindakan perlindungan bagi pekerja/buruh, mengamanatkan:
a. pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh (termasuk berlanjutnya hubungan kerja denganperusahaan outsourcing yang baru) yang objek kerja-nya tetap ada walaupun terjadi pergantianperusahaan outsourcing.
b. masa kerja pekerja/buruh harus diperjanjikan (dalam PKWT) untuk dibuat experience letter
c. masa kerja menjadi salah satu dasar penentuan upah pada perusahaan outsourcing berikutnya.

Dengan demikian, sehubungan dengan 2 (dua) model yang ditentukan oleh MK, hubungan kerja pekerja/buruh pada suatu perusahaan outsourcing pada prinsipnya haruslah PKWTT, namun jika memenuhi syarat sesuai ketentuan Pasal 59 No. 13/2003, khususnya ayat (1) dan (2), maka dapat dilakukan (diperjanjikan) melalui PKWT.

Dalam Pasal 59 ayat (1) UU No.13/2003, dinyatakan bahwa PKWT hanya dapat diperjanjikan untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya hanya (akan selesai) untuk waktu tertentu, yakni:
a.    pekerjaan yang sekali selesai (sementara sifatnya). Maksudnya, yang bersifat sporadik;
b.    pekerjaan yang (berdasarkan asumsi) perkiraan penyelesaiannya dapat dilakukan dalam waktu singkat dan tidak melebihi 3 (tiga) tahun. Artinya, jika –asumsinya- melebihi 3 (tiga) tahun, maka hubungan kerja pekerja/buruh harus dengan PKWTT.
c.    pekerjaan yang bersifat musiman (termasuk peak season); atau
d.    pekejaan yang merupakan produk baru, kegiatan baru, produk tambahan yang (semuanya) masih dalam masa percobaan atau penjajakan (launching).

Selanjutnya, dalam Pasal 59 ayat (2) UU No.13/2003, dipertegas, bahwa untuk pekerjaan yang bersifat tetap, tidak dapat diperjanjikan melalui PKWT. Kemudian, dalam penjelasan Pasal tersebut dijelaskan, bahwa yang dimaksudpekerjaan yang bersifat tetap, ada 2 (dua) kategori, yakni
-       pekerjaan yang sifatnya terus-menerus, tidak terputus-putus, tidak dibatasi waktu, dan merupakan bagian dari suatu proses produksi dalam suatu perusahaan; atau
-       pekerjaan yang bukan musiman, yaitu pekerjaan yang tidak tergantung cuaca atau suatu kondisi tertentu.

Khusus mengenai pekerjaan musiman, lebih lanjut dijelaskan, bahwa apabila –suatu- pekerjaan itu merupakan pekerjaan yang terus-menerus, tidak terputus-putus, tidak dibatasi waktu, dan merupakan bagian dari suatu proses produksi tetapi bergantung cuaca, atau pekerjaan itu dibutuhkan karena adanya suatu kondisi tertentu, maka pekerjaan tersebut merupakan pekerjaan musiman yang tidak termasuk pekerjaan tetap, sehingga dapat menjadi objek PKWT (vide Penjelasan Pasal 59 ayat [2] UU No.13/2003).

Dengan perkataan lain, walaupun suatu pekerjaan sifatnya terus-menerus, tidak terputus-putus dan tidak dibatasi waktu, namun bukan merupakan bagian dari suatu proses produksi, maka tidak dianggap sebagai pekerjaan yang bersifat tetap. Dengan demikian, secara argumentatum a-contrario pekerjaan yang bersifat tidak tetap boleh dilakukan (:diperjanjikan) melalui PKWT, seperti pada pekerjaan (–outsourcing-) jasa penunjang.

Contoh penerapan klausul TUPE pada employment agreement (melalui PKWT), kira-kira bunyinya sebagai berikut:
Pasal ....

(1)   Apabila terjadi pergantian PIHAK PERTAMA (perusahaan outsourcing), maka
a.   selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari kalender sebelum berakhirnya perjanjian pengalihan pekerjaan (outsourcing agreement), PIHAK PERTAMA wajib mengurus dan pengalihan PIHAK KEDUA (pekerja/buruh) kepada perusahaan outsourcing baru (vendor) yang memenangkan tender pekerjaan dari perusahaan perusahaan pemberi pekerjaan (User);
b.   PIHAK PERTAMA menjamin hak-hak PIHAK KEDUA dalam perjanjian kerja (PKWT) ini -termasuk syarat-syarat kerja dalam PP/PKB- sekurang-kurangnya sama pada perusahaan outsourcing baru yang memenangkan tender pekerjaan berikutnya, dengan penyesuaian upah yang memperhitungkan akumulasi masa kerja sebagai dasar penentuan upah selanjutnya;
c.   PIHAK KEDUA berhak atas surat keterangan pengalaman kerja (experience letter) dari PIHAK PERTAMA -sebagaimana dimaksud Pasal 1602z KUH Perdata- yang sekurang-kurangnya memuatlamanya hubungan kerja, pelaksanaan pekerjaan (job) dan alasan berakhirnya hubungan kerja pada PIHAK PERTAMA;
d.   Masa kerja PIHAK KEDUA pada PIHAK PERTAMA dan masa kerja sebelumnya di perusahaan outsourcing yang lain, akan diperhitungkan dan diakumulasikan menjadi masa kerja pada perusahaan outsourcing yang memenangkan tender berikutnya sepanjang dapat dibuktikan dengan keterangan pengalaman kerja;

(2)   PIHAK PERTAMA tidak bertanggung-jawab atas keterangan yang tidak benar atau terdapat unsur penipuan dalam keterangan pengalaman kerja yang dibuat oleh perusahaan outsourcing sebelumnyaPIHAK PERTAMA, walaupun terakumulasi dalam keterangan PIHAK PERTAMA ini.

Sedangkan penerapan klausul TUPE melalui PKWTT tidak disyaratkan oleh MK, sehingga tidak ada ketentuan, persyaratan, dan pembatasan yang perlu dimuat dalam perjanjian kerja PKWTT.
Demikian penjelasan dan opini kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebookKlinik Hukumonline.

Komentar

Postingan Populer