Naker
Apakah Cuti Melahirkan Mengurangi
Hak Cuti Tahunan?
Seorang pegawai swasta
lama wanita yang melahirkan dan telah mendapatkan jatah cuti melahirkan selama
3 bulan, apakah masih mendapatkan haknya untuk cuti tahunan pada tahun yang
sama dengan cuti melahirkannya? Undang-undang/peraturan pemerintah mana yang
menyatakan hubungan antara cuti melahirkan dan cuti tahunan tersebut?
Jawaban: Ilman Hadi
Pengaturan tentang cuti atau istirahat bagi pekerja yang
melahirkan diatur dalam Pasal 82 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan (“UUK”), yang menyatakan bahwa pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh
istirahat selama 1,5 bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 bulan
sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan.
Sedangkan, pengaturan tentang cuti tahunan diatur dalam Pasal 79 ayat (2) huruf c UUK yang menyatakan bahwa setiap pekerja berhak atas
cuti tahunan sekurang kurangnya 12 (dua belas) hari kerja setelah pekerja/buruh
yang bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas)
bulan secara terus menerus.
Bila melihat ketentuan dalam UUK, tidak disebutkan bahwa pemberian
hak istirahat melahirkan mengurangi jatah atas cuti tahunan. Masa istirahat
melahirkan diatur dalam pasal yang berbeda
dengan cuti tahunan, serta hanya diberikan
kepada pekerja/buruh perempuan saja. Hak untuk istirahat melahirkan tidak
mengurangi hak atas cuti tahunan karena sudah menjadi kodrat dari pekerja/buruh
perempuan untuk melahirkan. Bahkan dalam penjelasan Pasal 82 ayat (1) UUK disebutkan, lamanya istirahat melahirkan ini dapat diperpanjang berdasarkan surat keterangan dokter kandungan
atau bidan, baik sebelum maupun setelah melahirkan
Demikian jawaban dari
kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
Setiap artikel jawaban
Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau
facebook Klinik Hukumonline.
Status Utang Karyawan
yang Resign
Admin Yth. Saat ini saya
dalam masa pengunduran diri, apakah THR masih menjadi hak saya? Mengenai
pinjaman, saya mempunyai pinjaman yang difasilitasi oleh koperasi tempat saya
bekerja pada suatu bank, apakah saya harus tetap melunasi pinjaman tersebut?
Dan hak-hak apakah yang bisa saya dapatkan?
Jawaban: Diana Kusumasari
1. Sayangnya Anda tidak
menyebutkan berapa lama waktu dari Anda mengundurkan diri sampai tiba hari raya
keagamaan. Juga, berapa lama Anda sudah bekerja di perusahaan tersebut. Jadi,
kami tidak bisa memastikan apakah Anda berhak mendapatkan Tunjangan Hari Raya
(“THR”).
Namun, Anda bisa melihat pada ketentuan Pasal 6 ayat (1) Permenaker No.
04/MEN/1994 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Pekerja di Perusahaan (“Permenaker 04/1994”).
Disebutkan dalam pasal tersebut, pekerja yang putus hubungan kerjanya
terhitung sejak 30 (tiga puluh) hari sebelum jatuh tempo Hari Raya Keagamaan
tetap berhak atas THR.
Hal ini berarti dalam hal
pekerja mengundurkan diri, pekerja
yang masih berhak atas THR hanyalah mereka yang putus hubungan kerjanya 30 hari sebelum hari raya keagamaan. Lebih jauh, simak artikel Batasan Hak Karyawan
Resign atas THR.
Selain itu, memang tidak semua karyawan/pekerja
bisa mendapatkan THR, khususnya bagi pekerja yang belum memiliki masa kerja
sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan secara terus menerus. Lebih jauh, simak
artikel Langkah Hukum Jika THR
Tidak Dibayar Penuh.
Jadi, untuk menentukan apakah Anda berhak atas
THR, perlu dilihat kembali berapa lama masa kerja Anda dan berapa lama waktu
dari Anda mengundurkan diri sampai tiba hari raya keagamaan.
2. Pada prinsipnya setiap
utang harus dilunasi oleh debitur kecuali ditentukan lain berdasarkan
kesepakatan kreditur dan debitur.
Jika Anda tidak membayar/melunasi utang Anda,
sebagaimana telah diperjanjikan, maka Anda dapat dikatakan wanprestasi (ingkar janji)
dan dapat digugat karenanya (Pasal 1243 KUHPerdata).
Karena, pada dasarnya perikatan utang piutang
adalah perbuatan hukum yang terpisah dengan hubungan kerja Anda dan tidak
saling memberikan akibat hukum.
Jadi, ketika hubungan kerja Anda berakhir dengan
perusahaan, tidak serta merta menghapuskan kewajiban Anda untuk melunasi utang
Anda kepada bank yang difasilitasi oleh koperasi tempat Anda bekerja.
3. Mengenai hak-hak Anda
ketika mengundurkan diri, bisa Anda simak dalam beberapa artikel berikut:
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
2. Peraturan Menteri Tenaga
Kerja Nomor 04/MEN/1994 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Pekerja di
Perusahaan.
Setiap artikel jawaban
Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau
facebook Klinik Hukumonline.
Penyampingan Ketentuan
Ganti Rugi dalam PKWT
Apakah pada isi
perjanjian kerja waktu tertentu bisa dicantumkan klausul tentang diabaikannya
ketentuan Pasal 62 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003?
Jawaban: Christine Natalia Musa Limbu, S.H.
Terima kasih untuk pertanyaan
yang Anda sampaikan. Dalam pertanyaan sayangnya Anda tidak
menjelaskan lebih detail mengenai apa yang Anda maksud dengan “pengabaian”. Untuk itu, kami mengasumsikan bahwa pengabaian yang
dimaksud dalam pertanyaan Anda adalah dicantumkannya Pasal 62 Undang–Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UUK”) namun dikesampingkan. Pasal 62 UUK berbunyi:
“Apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan
kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian kerja
waktu tertentu, atau berakhirnya hubungan kerja bukan karena ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 61 ayat (1), pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar
ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja/buruh sampai batas waktu
berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.”
Sebelum menjawab pertanyaan Anda, ada baiknya bila dibahas terlebih dahulu mengenai perjanjian
kerja yang dibuat antara pengusaha dengan buruh. Definisi perjanjian kerja
menurut Pasal 1 angka14 UUK yang berbunyi sebagai berikut:
“Perjanjian kerja adalah perjanjian antara
pekerja / buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat – syarat
kerja, hak, dan kewajiban para pihak”
Dengan adanya perjanjian kerja ini maka timbulah hak dan kewajiban dari kedua belah pihak, dalam hal ini pengusaha dan
buruh. Perjanjian kerja ini haruslah ditaati oleh pengusaha dan buruh karena
perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya, seperti
yang tertera dalam Pasal 1338 KUHPerdata:
“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya...”
Sesuai ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata di atas, maka jelas bahwa perjanjian kerja merupakan undang-undang bagi para pihak yang membuatnya yaitu pengusaha dan buruh atau pekerja. Untuk
itu,setiap hal yang diatur dalam perjanjian mengikat kedua belah pihak.
Terkait dengan pertanyaan Anda, maka pada dasarnya bisa saja suatu Perjanjian Kerja Waktu
Tertentu (PKWT) mencantumkan dikesampingkannya Pasal 62 UUK.
Bila terdapat klausula mengenai Pasal 62 UUK yang dikesampingkan
dalam perjanjian tersebut, maka Pasal 62 UUK tersebut tidaklah
berlaku bagi kedua belah pihak tersebut yaitu pengusaha dan buruh/pekerja. Hal
tersebut sebagaimana yang tercantum dalam uraian sebelumnya bahwa perjanjian merupakan undang-undang bagi para pihak yang membuatnya.
Demikianlah jawaban yang dapat kami sampaikan. Semoga bermanfaat
bagi Anda.
Dasar hukum:
Setiap artikel jawaban
Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau
facebook Klinik Hukumonline.
Apakah Pekerja yang
Melaksanakan Ibadah Haji Akan Dipotong Cuti Tahunannya?
Mohon informasinya
bagaimana aturan bagi karyawan yang akan menunaikan ibadah haji, seperti apakah
cuti tahunan akan dipotong, dll. (di mana kami dapat menemukan peraturan
tersebut)?
Jawaban: Ilman Hadi
Pertanyaan yang mirip dengan yang Saudara tanyakan pernah kami
jawab dalam artikel Naik Haji Gaji Dipotong,
Pantaskah? Menurut Pasal 1 angka 1 UU No. 13 Tahun 2008
tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji (“UU Haji”), Ibadah Haji adalah rukun
Islam kelima yang merupakan kewajiban sekali seumur hidup bagi setiap orang
Islam yang mampu menunaikannya. Berarti ibadah haji adalah ibadah yang diwajibkan oleh agama
Islam kepada pemeluknya tetapi hanya sekali saja seumur hidup dan hanya bagi
mereka yang mampu melaksanakannya baik dari segi fisik, mental, dan keuangan.
Ketika pekerja sedang menjalankan ibadah haji, ia tetap berhak
atas pembayaran upah atau gaji secara penuh, sebagaimana diatur dalam Pasal 93 ayat (2) huruf e UU No. 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan ("UUK") (selengkapnya simak artikel Pelaksanaan Ibadah Bagi
Karyawan).
Ketentuan lebih lanjut mengenai upah pekerja selama melaksanakan ibadah haji ini diatur dalam Pasal 6 ayat (4) PP No. 8 Tahun 1981
tentang Perlindungan Upah (“PP 8/1981”), jangka waktu paling lambat pekerja tidak dapat
melakukan pekerjaan karena melaksanakan ibadah yang diwajibkan agamanya adalah 3 (tiga) bulan. Dalam penjelasan Pasal 6 ayat
(4) PP 8/1981 disebutkan apabila pekerja melaksanakan ibadah tersebut
(haji) lebih dari tiga bulan atau melaksanakan haji lebih dari satu kali maka
pengusaha tidak wajib membayarkan upahnya.
Hak karyawan atas cuti tahunan tidak menjadi hilang karena
melaksanakan ibadah haji, dengan asumsi pekerja tersebut telah berhak atas cuti
tahunan (lebih jauh simak artikel Apakah Cuti Melahirkan
Mengurangi Hak Cuti Tahunan?). Hal ini karena merupakan
kewajiban dari pengusaha untuk memberikan kesempatan pekerja melaksanakan ibadah yang diwajibkan agamanya,
dalam hal ini adalah ibadah haji yang dilakukan pertama kali oleh pekerja,
sebagaimana diatur dalam Pasal 93 ayat (2) UUK jo Pasal 6 ayat (4) PP 8/1981..
Jadi, pengusaha wajib memberikan kesempatan pekerjanya yang ingin
melaksanakan ibadah haji. Pekerja yang melaksanakan haji tersebut tetap
berhak atas hak cuti tahunan dan pembayaran upah atau gaji secara penuh yaitu selama tiga bulan. Akan tetapi, jika pekerja melaksanakan ibadah haji lebih dari tiga bulan atau
melaksanakan haji lebih dari satu kali, maka pengusaha tidak wajib membayarkan upahnya.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
Setiap artikel jawaban
Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau
facebook Klinik Hukumonline.
Belum Enam Bulan Kerja
Ingin Cuti Naik Haji
Ada tidak UU yang
mengatur di mana saya kerja di perusahaan swasta belum ada 6 bulan, tetapi saya
mau mengajukan cuti haji? Bisakah hal ini disetujui oleh perusahaan?
Jawaban: Amrie Hakim
Ibadah haji, menurut Pasal 1 angka 1 UU No. 13 Tahun 2008
tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, adalah rukun Islam kelima yang merupakan kewajiban sekali seumur hidup bagi setiap orang
Islam yang mampu menunaikannya.
Dalam kaitannya dengan pekerja yang hendak menunaikan ibadah haji,
kita dapat merujuk pada ketentuan Pasal 93 ayat (2) huruf e UU No. 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan (“UUK”), yang pada
intinya mengatur bahwa pengusaha tetap wajib membayarkan upah kepada
pekerja/buruh ketika pekerja/buruh tersebut tidak dapat melakukan pekerjaannya
karena menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya.
Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 93 ayat (2) UUK akan dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat satu bulan dan
paling lama empat tahun, dan/atau denda paling sedikit Rp10 juta dan paling
banyak Rp400 juta. Demikian sebagaimana diatur dalam Pasal 186 ayat (1) UUK, yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
35 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 93 ayat (2), Pasal 137, dan Pasal 138 ayat (1),
dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 4
(empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
Aturan penting lain yang perlu diperhatikan berkaitan dengan
pekerja yang hendak menunaikan ibadah Haji adalah sebagaimana diatur dalam PP No. 8 Tahun 1981
tentang Perlindungan Upah (“PP 8/1981”). Di dalam Pasal 6 ayat (4) PP 8/1981 diatur bahwa pengusaha wajib untuk tetap membayar upah kepada
buruh yang tidak dapat menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban
ibadah menurut agamanya selama waktu yang diperlukan, tetapi tidak melebihi 3 (tiga) bulan.
Dalam penjelasan Pasal 6 ayat
(4) PP 8/1981 dijelaskan bahwa dengan
mengingat keuangan perusahaan, maka dalam hal buruh menjalankan ibadah tersebut lebih dari satu kali, pengusaha tidak
wajib membayar upahnya.
Selain itu, hak pekerja untuk melaksanakan ibadah sesuai agamanya
dijamin oleh Konstitusi dan UU No. 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia (“UU HAM”). Hal ini sebagaimana bisa dilihat dalam ketentuan Pasal 28 E ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945 serta Pasal 22 UU HAM, yang menyebutkan sebagai
berikut:
Pasal 28 E ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945:
Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya,
memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan,
memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak
kembali
Pasal 22 UU HAM:
(1) Setiap orang bebas memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
(2) Negara menjamin kemerdekaan setiap
orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu.
Jadi, berdasarkan uraian di atas, tidak ada alasan yang sah bagi
perusahaan untuk tidak mengizinkan Anda untuk tidak bekerja selama kurun waktu
tertentu dalam rangka menunaikan ibadah haji yang pertama kali. Jika perusahaan
tempat Anda bekerja tidak mengizinkan Anda untuk menunaikan ibadah haji, maka
hal tersebut merupakan pelanggaran hak asasi, yaitu pelanggaran hak untuk
beribadat menurut agama yang Anda yakini. Jika terjadi pelanggaran seperti itu,
Anda dapat melaporkan perusahaan yang bersangkutan kepada Komisi Nasional Hak
Asasi Manusia (Komnas HAM).
Kemudian, jika perusahaan Anda mengizinkan Anda menunaikan ibadah
haji, tapi tidak membayar upah Anda sesuai Pasal 93 ayat (2) huruf e UUK jo
Pasal 6 ayat (4) PP 8/1981, maka Anda dapat melaporkan permasalahan tersebut ke
Dinas Ketenagakerjaan yang melingkupi wilayah Anda. Meski demikian, kami menyarankan Saudara
melakukan musyawarah terlebih dahulu dengan perusahaan tempat Anda bekerja agar
didapatkan solusi terbaik.
Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
Setiap artikel jawaban
Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau
facebook Klinik Hukumonline.
Akibat Hukum Jika
Persentase Upah Pokok Kurang dari 75 Persen
Dalam UU No. 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan, pada bagian soal pengupahan di sana ada bahasa
"dalam hal komponen upah terdiri dari...". Dalam hukum arti kalimat
‘dalam hal’ itu bersifat wajib atau kebolehan?
Jawaban: Ilman Hadi
Boleh jadi kutipan pasal yang Anda maksud dalam pertanyaan di atas
diambil dari bunyi Pasal 94 UU No. 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan (“UUK”). Bunyi
selengkapnya Pasal 94 UUK adalah sebagai berikut:
“Dalam hal komponen upah
terdiri dari upah pokok dan tunjangan tetap maka besarnya upah pokok
sedikit-dikitnya 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari jumlah upah pokok dan
tunjangan tetap.”
Maksud frasa “dalam hal” dalam Pasal 94 UUK
adalah berlakunya ketentuan proporsi upah apabila terpenuhinya suatu syarat,
yaitu apabila upah terdiri dari upah pokok dan tunjangan tetap. Lebih jauh
simak artikel Persentase Minimal Upah
Pokok.
Ketentuan Pasal 94 UUK tidak memiliki sanksi
baik pidana maupun administratif apabila tidak dilaksanakan.
Sepanjang penelusuran kami, apabila persentase
upah pokok ini kurang dari 75% ternyata tidak memiliki akibat terhadap
perhitungan pajak penghasilan, pesangon, tunjangan hari raya, dan upah lembur
karena perhitungan dalam hal-hal tersebut dikenakan pada upah sebulan dan bukan
pada upah pokok saja. Lebih jauh, saudara dapat meninjau pasal-pasal berikut
ini:
1. Pasal 157 ayat (1) UUK;
2. Pasal 4 ayat (1) huruf a UU No. 36 Tahun 2008
tentang Perubahan Keempat UU No. 17 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan;
3. Pasal 3 Permenaker No. PER-04/MEN/1994 Tahun
1994 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Pekerja di Perusahaan;
4. Pasal 8 Permenakertrans No. KEP-102/MEN/VI/2004
Tahun 2004 tentang Waktu Kerja Lembur dan Upah Kerja Lembur.
Meski demikian, persentase upah pokok yang di
bawah 75% dari upah sebulan pada praktiknya akan berdampak dalam perhitungan
iuran kepesertaan asuransi, kenaikan upah berkala, dan bonus karena biasanya
perhitungannya dihitung berdasarkan pada upah pokok.
Jadi, ketentuan Pasal 94 UUK memang tidak
memiliki sanksi apabila tidak dilaksanakan. Adapun maksud dari ketentuan pasal
tersebut adalah untuk melindungi pekerja, sehingga diharapkan pihak pengusaha
dapat mengikuti ketentuan Pasal 94 UUK.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
3. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor
PER-04/MEN/1994 Tahun 1994 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Pekerja
di Perusahaan
4. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Nomor KEP-102/MEN/VI/2004 Tahun 2004 tentang Waktu Kerja Lembur dan Upah Kerja
Lembur
Setiap artikel jawaban
Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau
facebook Klinik Hukumonline.
Komentar
Posting Komentar