Naker
Mogok Kerja Harus Dapat
Izin Kepolisian?
Assalamualaikum.
Hukumonline yang kami hormati, di perusahaan saya saat ini dalam proses
perundingan PKB. Namun, sampai saat ini sudah hampir 2 tahun belum selesai.
Pekerja pernah melakukan mogok kerja satu kali dan akan dilakukan mogok kerja
yang kedua. Tapi mogok yang akan dilakukan ini tidak mendapat surat tanda
terima pemberitahuan dari kepolisian (polres), alasan kepolisian tidak
mengeluarkan STTP tersebut karena tidak diijinkan untuk melakukan aksi mogok.
Bagaimana dari sisi hukum apakah mogok tetap bisa berjalan atau mogok menjadi
tidak sah karena tidak mendapat ijin dari kepolisian? Terima kasih.
Jawaban: Ilman Hadi
Jawaban mengenai pertanyaan yang mirip dengan Saudara pernah kami
tulis dalam artikel Hal-hal Apa yang Harus
Dilakukan Sebelum Melaksanakan Mogok Kerja? Prosedur agar pelaksanaan mogok kerja menjadi
sah diatur dalamPasal 139 dan Pasal 140 UU No. 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan (“UUK”):
Pasal
139
Pelaksanaan mogok kerja bagi pekerja/buruh yang bekerja
pada perusahaan yang melayanikepentingan umum dan/atau perusahaan yang jenis
kegiatannya membahayakan keselamatan jiwa manusia diatur sedemikian rupa
sehingga tidak mengganggu kepentingan umum dan/atau membahayakan keselamatan
orang lain.
Pasal
140
(1) Sekurang-kurangnya dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja
sebelum mogok kerja dilaksanakan, pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat
buruh wajib memberitahukan secara tertulis kepada pengusaha dan instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat.
(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
sekurang-kurangnya memuat:
a. waktu (hari, tanggal, dan jam) dimulai dan diakhiri mogok
kerja;
b. tempat mogok kerja;
c. alasan dan sebab-sebab mengapa harus melakukan mogok
kerja; dan
d. tanda tangan ketua dan sekretaris dan/atau masing-masing
ketua dan sekretaris serikat pekerja/serikat buruh sebagai penanggung jawab
mogok kerja.
(3) Dalam hal mogok kerja akan dilakukan oleh pekerja/buruh
yang tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh, maka pemberitahuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditandatangani oleh perwakilan
pekerja/buruh yang ditunjuk sebagai koordinator dan/atau penanggung jawab
mogok kerja.
(4) Dalam hal mogok kerja dilakukan tidak sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), maka demi menyelamatkan alat produksi dan aset perusahaan,
pengusaha dapat mengambil tindakan sementara dengan cara:
a. melarang para pekerja/buruh yang mogok kerja berada di
lokasi kegiatan proses produksi; atau
b. bila dianggap perlu melarang pekerja/buruh yang mogok
kerja berada di lokasi perusahaan.
|
Dalam ketentuan tersebut hanya menyebut sebelum melakukan mogok
kerja, wajib memberitahukan secara tertulis pihak pengusaha dan instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
setempat, tidak menyebutkan harus ada izin dari Kepolisian.
Apabila aksi mogok kerja yang pihak Saudara lakukan hanya berupa
aksi diam atau mogok (bolos kerja) bersama-sama, tidak perlu meminta izin dari kepolisian. Tetapi
jika mogok kerja dilakukan dengan aksi unjuk rasa atau melakukan konvoi dapat
dikategorikan sebagai kegiatan menyampaikan pendapat di muka umum. Berdasarkan Pasal 5 jo. Pasal 6 Perkapolri No. 9 Tahun 2008
tentang Tata
Cara Penyelenggaraan Pelayanan, Pengamanan dan Penanganan Perkara Penyampaian
Pendapat di Muka Umum (“Perkapolri
9/2008”), penyelenggara kegiatan penyampaian pendapat di muka umum, wajib
menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Pejabat Kepolisian setempat,
sebelum kegiatan dilakukan.
Menurut Pasal 15 Perkapolri
9/2008, penyampaian
pemberitahuan dilakukan kepada pejabat kepolisian serendah-rendah tingkat
Polsek dimana kegiatan akan dilakukan dan pemberitahuan tersebut sudah harus
diterima Kepolisian paling lambat 3 x 24 jam sebelum kegiatan dilakukan.
Apabila surat pemberitahuan sudah diberikan sesuai ketentuan, maka berdasarkan Pasal 16 ayat (1) huruf b Perkapolri 9/2008, pihak kepolisian berkewajiban segera
menerbitkan Surat Tanda Terima Pemberitahuan (STTP) dengan tembusan kepada
satuan kepolisian yang terkait, instansi yang terkait, pemilik/lokasi tempat
objek/sasaran penyampaian pendapat di muka umum.
Jadi, mogok kerja yang dilakukan tanpa melakukan aksi unjuk rasa
atau pawai (kegiatan penyampaian pendapat di muka umum) cukup melakukan
pemberitahuan tertulis kepada pihak pengusaha dan instansi ketenagakerjaan
setempat sesuai. Tetapi, bila mogok kerja dilakukan dengan aksi unjuk rasa,
maka harus memberitahukan terlebih dahulu kepada pihak Kepolisian sebelum
kegiatan dilakukan.
Demikian jawaban dari
kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
2. Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia
Nomor 9 Tahun 2008 tentang Tata Cara
Penyelenggaraan Pelayanan, Pengamanan dan Penangan Perkara Penyampaian Pendapat
di Muka Umum.
Setiap artikel jawaban
Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau
facebookKlinik Hukumonline.
Jenis Pekerjaan yang
Bisa Di-Outsourcing
Dear Hukumonline,
persoalan hubungan kerja outsourcing adalah persoalan carut marut bangsa ini
karena tidaka ada good will pemerintah untuk menyelesaikan persoalan ini. Kalau
dilihat penjelasan Pasal 66 ayat (1) UU 13/2003 : Yang dimaksud kegiatan jasa
penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi
adalah kegiatan yang berhubungan di luar usaha pokok (core business) suatu
perusahaan. Kegiatan tersebut antara lain : dan seterusnya. Yang ingin saya
tanyakan adalah : pada frase kalimat "antara lain" di sini apakah
bersifat TERTUTUP atau TERBUKA? Karena sering kali dalam proses selisih
outsourcing, terjadi perbedaan multitafsir antara SP, Pengusaha dan Pemerintah.
Bahkan Pemerintah tidak dapat memberi ketegasan mengenai hal ini dan cenderung
menghindar. Mohon diberi pencerahan mengenai tafsiran tersebut.
Jawaban: Ilman Hadi
Bunyi lengkap dari Penjelasan Pasal 66 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan (“UUK”) adalah sebagai
berikut :
Pada pekerjaan yang berhubungan dengan kegiatan usaha
pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi,
pengusaha hanya diperbolehkan mempekerjakan pekerja/buruh dengan perjanjian
kerja waktu tertentu dan/atau perjanjiankerja waktu tidak tertentu.
Yang dimaksud kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang
tidak berhubungan langsungdengan proses produksi adalah kegiatan yang
berhubungan di luar usaha pokok (core business) suatu perusahaan.
Kegiatan tersebut antara lain: usaha pelayanan kebersihan
(cleaning service), usahapenyediaan makanan bagi pekerja/buruh (catering),
usaha tenaga pengaman (security/satuan pengamanan), usaha jasa
penunjang di pertambangan dan perminyakan, serta usaha penyediaan angkutan
pekerja/buruh.
|
Memang saat ini belum ada peraturan yang mengatur mengenai
penentuan bidang-bidang apa saja yang termasuk core business dan yang bukan core business. Bahkan dalam Pasal 4 Kepmenakertrans No KEP-101/MEN/VI/2004 Tahun
2004 tentang Tata Cara Perijinan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh (selanjutnya disebut dengan “Kepmen101/2004”)
memberi kebebasan kepada Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh dan Perusahaan
Pemberi Kerja untuk menentukan jenis pekerjaan yang akan dilakukan, dalam
sebuah perjanjian.
Pasal 5 Kepmen 101/2004 mengatur tentang pendaftaran perjanjian antara Perusahaan Pemberi
Kerja dengan Perusahaan Penyedia. Setelah perjanjian antara Perusahaan Penyedia
dan Perusahaan Pemberi Kerja dibuat, perjanjian tersebut didaftarkan kepada
instansi ketenagakerjaan di Kabupaten/Kota tempat Perusahaan Penyedia bekerja.
Bila Perusahaan Penyedia bekerja pada Perusahaan Pemberi Kerja
yang berada dalam wilayah lebih dari satu Kabupaten/Kota dalam satu provinsi, maka
pendaftaran dilakukan pada instansi ketenagaerjaan provinsi. Kemudian, bila
Perusahaan Penyedia bekerja pada Perusahaan Pemberi Kerja yang berada dalam
wilayah lebih dari satu provinsi, maka pendaftaran dilakukan pada Direktorat
Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial.
Selanjutnya setelah didaftarkan, pejabat instansi ketenagakerjaan
akan melakukan penelitian terhadap perjanjian tersebut dan bila disetujui akan
diterbitkan bukti pendaftaran (Pasal 6 Kepmen 101/2004).
Dari proses tersebut dapat diketahui bahwa pihak Pemerintah
melalui pejabat instansi ketenagakerjaan memiliki kewenangan menentukan sah
atau tidak suatu jenis pekerjaan yang dilakukan dengan sistem outsourcing.
Tulisan tentang fungsi dari Penjelasan suatu Undang-Undang pernah
kami bahas dalam artikel Fungsi Penjelasan dan
Lampiran Peraturan Perundang-Undangan. Dalam Lampiran I UU No. 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (“UU 12/2011”) disebutkan beberapa hal mengenai
Penjelasan Undang-Undang:
176. Penjelasan berfungsi sebagai tafsir resmi pembentuk Peraturan
Perundang-undangan atas norma tertentu dalam batang tubuh. Oleh karena itu, penjelasan hanya memuat uraian terhadap kata,
frasa, kalimat atau padanan kata/istilah asing dalam norma yang dapat disertai
dengan contoh. Penjelasan sebagai
sarana untuk memperjelas norma dalam batang tubuh tidak boleh mengakibatkan
terjadinya ketidakjelasan dari norma yang dimaksud.
177. Penjelasan tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum untuk membuat
peraturan lebih lanjut dan tidak boleh mencantumkan
rumusan yang berisi norma.
178. Penjelasan tidak menggunakan rumusan yang isinya memuat perubahan
terselubung terhadap ketentuan Peraturan Perundang-undangan
179. Naskah penjelasan disusun bersama-sama dengan
penyusunanrancangan Peraturan Perundang-undangan
186. Rumusan penjelasan pasal demi pasal memperhatikan hal sebagai
berikut:
a. tidak bertentangan dengan materi pokok yang
diatur dalam batang tubuh;
b. tidak memperluas, mempersempit atau menambah
pengertian norma yang ada dalam batang tubuh;
c. tidak melakukan pengulangan atas materi pokok
yang diatur dalam batang tubuh;
d. tidak mengulangi uraian kata, istilah, frasa,
atau pengertian yang telah dimuat di dalam ketentuan umum; dan/atau
e. tidak memuat rumusan pendelegasian.
Mengenai makna dari frasa “antara lain” yang Saudara tanyakan,
yang mengetahui dan memahami maksud dari frasa dalam kalimat penjelasan Pasal 66 ayat (1) UUK tersebut tentu saja pembuat peraturan tersebut,
yaitu anggota DPR pada saat penyusunan UU tersebut.
Akan tetapi bila disimak kembali penjelasan Pasal 66 ayat (1) UUK tersebut, kalimat ketiga yang terdapat frasa
“antara lain” masih merupakan
kelanjutan dari kalimat sebelumnya (kalimat kedua) dan bermaksud untuk memberi contoh dari “kegiatan
jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses
produksi” karena berdasarkan Lampiran I UU 12/2011 yang telah disebutkan
sebelumnya, rumusan penjelasan pasal dapat mencantumkan contoh untuk tujuan memperjelas.
Pada prinsipnya, pekerja outsourcing tidak dimaksudkan untuk pekerjaan yang berhubungan langsung dengan proses produksi.
Sehingga, dapat disimpulkan pengertian frasa “antara lain” dalam
penjelasan pasal tersebut sifatnya terbuka sepanjang tidak melanggar ketentuan
Pasal 66 ayat (1) UUK.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
3. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Nomor KEP-101/MEN/VI/2004 Tahun 2004 tentang Tata Cara Perijinan Perusahaan
Penyedia Jasa Pekerja/Buruh.
Setiap artikel jawaban
Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau
facebookKlinik Hukumonline.
Bolehkah Pembayaran Upah
Setiap Tanggal 10?
Apakah diperkenankan
oleh ketentuan apabila jika seseorang yang sudah melaksanakan kerja selama 1
bulan full akan tetapi perusahaan membayar upahnya di tanggal 10 bulan
berikutnya? Sehingga seakan-akan tenaga kerja harus kerja selama 40 hari baru
akan mendapatkan upah selama 1 bulan.
Jawaban: Ilman Hadi
Pengertian upah, menurut Pasal 1 angka 30 UU No. 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan (“UUK”), adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan
dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada
pekerja/buruh yang ditetapkan dan
dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan
perundang-undangan, termasuk tunjangan
bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah
atau akan dilakukan.
Berarti upah harus ditetapkan dan dibayarkan sesuai perjanjian
kerja, kesepakatan, atau peraturan
perundang-undangan.
Selanjutnya, menurut Pasal 17 PP No. 8 Tahun 1981
tentang Perlindungan Upah (“PP 8/1981”), jangka waktu pembayaran
upah secepat-cepatnya dapat dilakukan seminggu sekali atau selambat-lambatnya
sebulan sekali, kecuali bila perjanjian kerja untuk waktu kurang
dari satu minggu.
Dalam Pasal 1 angka 29 UUK disebutkan pengertian seminggu adalah waktu
selama 7 hari. Sayangnya, pengertian dari
“sebulan” atau “sebulan sekali” tidak terdapat pada UUK maupun PP 8/1981.
Kenyataan bahwa Saudara bekerja seakan-akan bekerja selama 40 hari karena
tanggal pembayaran upah adalah tanggal 10 bulan berikutnya, mungkin hanya akan
dirasakan pada bulan pertama, karena bila tanggal pembayaran upah adalah setiap
tanggal 10 maka pada tanggal 10 bulan berikutnya lagi secara matematis akan
genap sebulan. Adapun dalam keadaan Saudara yang bekerja selama 40 hari seperti yang sudah kami sebutkan tadi, Saudara berhak atas tambahan upah yang dihitung secara
pro rata sesuai jumlah tambahan hari kerja lewat dari sebulan.
Kami menyarankan agar Saudara meninjau kembali isi perjanjian
kerja untuk mengetahui apakah memang disebutkan
bahwa pembayaran upah dilakukan setiap tanggal 10 bulan berikutnya. Bila
memang diatur demikian dan Saudara menyepakati ketentuan tersebut berarti
Saudara sudah harus memahami keadaan tersebut. Namun, apabila di dalam perjanjian kerja tidak disebutkan
tanggal pembayaran upah, maka menurut Pasal 18 PP 8/1981 bilamana upah tidak ditetapkan menurut jangka waktu tertentu, maka
pembayaran upah harus dibayar sesuai dengan hasil pekerjaannya dan atau sesuai dengan jumlah hari atau waktu dia bekerja. Untuk menambah pemahaman, Saudara dapat
membaca artikelDenda Akibat Gaji
Terlambat Dibayar.
Jadi, apabila perjanjian kerja memang menentukan bahwa pembayaran upah akan
dibayar pada tanggal 10 bulan berikutnya, maka Saudara sebagai pihak yang telah
menyetujui perjanjian kerja seharusnya mengerti konsekuensitersebut. Akan
tetapi, bila tidak disebutkan waktu pembayaran, maka upah harus dibayar sesuai
dengan hasil pekerjaan dan atau sesuai dengan jumlah hari atau waktu Saudara
bekerja.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
Setiap artikel jawaban
Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau
facebookKlinik Hukumonline.
Ditegur Atasan Karena
Belajar pada Jam Kerja
Saya sedang kuliah
sambil bekerja. Pernah satu kali atasan mendapati saya sedang belajar di jam
kerja. Saya tidak mungkin sempat belajar jika pekerjaan sedang
banyak-banyaknya. Namun, atasan saya menegur saya. Apakah salah mengisi waktu
kosong dengan belajar? Apa bedanya dengan browsing-browsing di jam kerja?
Jawaban: Diana Kusumasari
Pada dasarnya, tidak ada ketentuan yang secara tegas melarang
seorang pekerja untuk belajar atau melanjutkan pendidikan. Terutama karena hak
untuk memperoleh pendidikan adalah merupakan hak asasi setiap warga negara Indonesia. Hak WNI untuk memperoleh pendidikan ini
dilindungi oleh konstitusi yaitu dalam Pasal 28C ayat (1) Amandemen II jo Pasal 31 Amandemen IV UUD 1945. Lebih jauh, simak artikel Hak PNS untuk Melanjutkan
Pendidikan.
Perlu diketahui bahwa dalam hal pekerja melanjutkan pendidikan (kuliah)
sambil bekerja, ada dua kemungkinan.Pertama, pekerja melaksanakan
tugas pendidikan dari perusahaan. Umumnya, dalam kategori ini perusahaan
menanggung biaya pendidikan dari pekerja yang diberi kesempatan untuk
melanjutkan pendidikan dan tetap memberikan upahnya meskipun pekerja yang
bersangkutan tidak bekerja seperti biasa (Pasal 93 ayat (2) I UU No. 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan - UUK).
Kedua, atas inisiatif pekerja sendiri, pekerja
melanjutkan pendidikan sambil bekerja, sehingga semua biaya ditanggung oleh
pekerja. Bagi pekerja yang demikian, pekerjaannya tetap menjadi tanggung jawab
yang harus dipenuhi. Kami asumsikan Anda termasuk dalam kategori yang kedua
ini. Dalam hal ini, praktik pada tiap perusahaan dapat berbeda.
Untuk pekerja dalam kategori kedua, ada baiknya sejak awal Anda
memberitahukan bahwa Anda bekerja sambil kuliah, sehingga pihak perusahaan bisa
memahami kondisi Anda. Meskipun, hal tersebut tidak juga menghilangkan tanggung
jawab Anda untuk menyelesaikan pekerjaan Anda.
Anda menyebutkan bahwa Anda belajar untuk mengisi “waktu kosong”
pada jam kerja. Dari keterangan Anda, kami asumsikan waktu kosong yang Anda maksud
adalah saat pekerjaan Anda tidak “sedang banyak-banyaknya”. Jadi, dapat kiranya
disimpulkan bahwa Anda belajar ketika Anda sebenarnya masih punya pekerjaan
meski, menurut penilaian Anda, relatif tidak banyak.
Mengenai hal ini, menurut hemat kami, adanya “waktu kosong” dalam
jam kerja tidak otomatis memberi Anda hak untuk mengerjakan hal-hal di luar
pekerjaan, termasuk belajar. Hal ini karena jam atau waktu kerja telah diatur
di dalam perjanjian kerja (“PK”) yang telah disepakati oleh pekerja dan perusahaan.
Waktu kerja dalam PK mengacu pada ketentuan Pasal 77 ayat (1) UUK, yaitu:
a. 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh)
jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu; atau
b. 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat
puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima hari kerja dalam 1 (satu) minggu.
Sehingga, berdasarkan penjelasan di atas, atasan Anda punya dasar
yang kuat untuk menegur Anda karena mengerjakan hal di luar pekerjaan dalam jam
kerja. Karena itu, menurut hemat kami, pada waktu yang akan datang sebaiknya
Anda meminta izin dari atasan Anda terlebih dulu jika hendak menggunakan waktu
kerja untuk belajar.
Namun, jika pihak atasan atau perusahaan memang keberatan dengan
waktu bekerja yang Anda gunakan untuk belajar, Anda bisa menyiasatinya dengan
mengambil hak cuti Anda. Dan jika hal tersebut tidak membantu Anda dalam
persoalan pembagian waktu atau pihak perusahaan sama sekali tidak mentolerir
atau memberikan kelonggaran bagi Anda, dimungkinkan memang Anda harus memilih.
Mengenai kegiatan browsing atau menggunakan fasilitas internet pada jam kerja, hal demikian
juga perlu dilihat lagi keperluannya. Jika kegiatan itu dilakukan sebagai
bagian dari pekerjaan, semestinya tidak bisa dianggap melanggar ketentuan tentang
jam kerja. Tapi, jika kegiatan tersebut tidak ada hubungannya dengan pekerjaan,
maka sebaiknya hal tersebut harus dihindari agar pekerja dapat menggunakan
waktu kerja seproduktif mungkin.
Sebagai kesimpulan, Anda memiliki hak untuk melanjutkan pendidikan
dan meningkatkan kualitas hidup Anda, untuk itu ada baiknya Anda menempuh
cara-cara kekeluargaan untuk menyampaikan kondisi Anda yang sedang bekerja
sambil kuliah. Anda bisa menyampaikan hal ini melalui divisi personalia (human
resource division) di perusahaan Anda bekerja (jika ada), atau
langsung kepada atasan Anda. Hal ini dapat Anda lakukan untuk memperoleh win-win solution,sehingga tidak ada pihak yang dirugikan, baik
Anda dan perusahaan.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
Setiap artikel jawaban
Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau
facebookKlinik Hukumonline.
Sudah Lama Bekerja Tapi
Gaji Setara Karyawan Baru
Saya adalah seorang
pekerja pabrik di Kabupaten Bekasi. Pabrik saya menetapkan bahwa UMK yang
digunakan adalah UMK sektor 1 yaitu sebesar Rp 1.849.000. Yang ingin saya tanyakan
adalah apakah ketentuan UMK tersebut berlaku untuk semua karyawam baik yang
baru maupun yang sudah lama bekerja? Karena saat ini gaji pokok saya yang telah
bekerja selama 10 tahun 3 bulan sama dengan gaji pokok karyawan yang baru masuk
yaitu sesuai dengan UMK .
Jawaban: Diana Kusumasari
Sesuai ketentuan Pasal 90 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan (“UUK”), pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah
minimum. Lebih jauh simak artikel Langkah Hukum Jika Upah
di Bawah Standar Minimum.
Peraturan Menteri Tenaga
Kerja RI No. PER-01/MEN/1999 tentang Upah Minimum (“Permenaker 1/1999”) sebagaimana telah diubah
dengan Keputusan Menteri Tenaga
Kerja dan Transmigrasi RI No. KEP-226/MEN/2000, juga merupakan payung hukum bagi perlindungan
upah pekerja/buruh serta bentuk dan upaya untuk mewujudkan penghasilan yang
layak bagi pekerja.
Selain itu, ketentuan
yang juga mengatur mengenai upah minimum dapat kita temui dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
No. PER-17/MEN/VIII/2005 tentang Komponen dan Tahapan Pelaksanaan Pencapaian
Kebutuhan Hidup Layak ("Permenakertrans
17/2005").
Sebagaimana dijelaskan dalam artikel Penerapan Peninjauan Upah
Bagi Pekerja yang Upahnya di Atas UMP, pemberian upah minimum hanya berlaku bagi pekerja yang
mempunyai masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, sebagaimana diatur di
dalam Pasal 14 ayat (2) Permenaker No. 1 Tahun 1999 dan Pasal 4 ayat (3) Permenakertrans 17/2005. Sedangkan, bagi pekerja yang masa kerjanya 1
(satu) tahun atau lebih, pemerintah dalam Permenaker 1/ 1999 maupun Permenakertrans
17/2005 tersebut, memberikan
ruang dan mekanisme peninjauan
upah sebagai pembeda antara pekerja yang masanya kerja kurang dari 1 (satu)
tahun dengan pekerja yang masa kerjanya lebih dari satu tahun.
Namun demikian, pemerintah tidak mengatur lebih lanjut mekanisme
teknis pelaksanaan peninjauan upah tersebut dalam bentuk regulasi, melainkan
diserahkan kepada kesepakatan antara pekerja/serikat pekerja dengan pengusaha
melalui mekanisme perundingan.
Hal ini sejalan dengan definisi upah itu sendiri dalam peraturan
perundang-undangan dapat kita temui dalam Pasal 1 angka 30 UUK jo Pasal 1 huruf a PP No. 8 Tahun 1981
tentang Perlindungan Upah yakni:
“Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan
dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja
kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu
perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan
keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.”
Dalam Pasal 92 ayat (1) UUK juga telah ditentukan bahwa pengusaha menyusun
struktur dan skala upah denganmemperhatikan golongan, jabatan, masa kerja,
pendidikan, dan kompetensi. Ditentukan pula bahwa secara berkala pengusaha melakukan peninjauan
upah dengan memperhatikan
kemampuan perusahaan dan produktivitas (Pasal 92 ayat [2] UUK).
Dari ketentuan tersebut memang masa kerja menjadi salah satu
pertimbangan dalam menyusun struktur dan skala upah. Namun, selain masa kerja,
juga ada faktor lain yaitu golongan, jabatan, pendidikan dan kompetensi yang
juga menjadi faktor penentu struktur dan skala upah. Sedangkan peninjauan upah
dilakukan sesuai dengan harga kebutuhan hidup, prestasi kerja, perkembangan dan
kemampuan perusahaan (penjelasan Pasal 92 ayat [2] UUK).
Dengan demikian, memang peraturan perundang-undangan tidak
menentukan bahwa mutlak masa kerja akan menjadi penentu bahwa upah seorang
pekerja akan lebih besar dari pekerja yang masa kerjanya lebih pendek.
Mengingat masih ada beberapa faktor lain yang menjadi pertimbangan dalam
menentukan struktur dan skala upah yakni golongan, jabatan, pendidikan dan
kompetensi.
Selain itu, merujuk pada definisi upah, upah ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu
perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, sehingga,
upah juga dapat ditentukan berdasarkan perjanjian kerja atau kesepakatan di
antara pengusaha dan pekerja mengenai besarnya upah sepanjang tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang ada (misal: besarnya di
bawah upah minimum).
Mengutip penjelasan
dalam salah satu artikel jawaban Umar Kasim berjudul Struktur dan Skala Upah, berdasarkan azas kebebasan berkontrak (beginselen
der contractsvrijheid) boleh saja dilakukan penyusunan struktur dan skala
upah (dalam Peraturan Perusahaan/PP atau Perjanjian Kerja Bersama/PKB) tanpa
mengacu pada peraturan perundang-undangan, sepanjang dilakukan sesuai dengan
mekanisme pembuatan PP atau PKB yakni adanya saran dan masukan dari pekerja
(dalam PP) atau disepakati di antara para pihak (dalam PKB) dan tetap
mengindahkan syarat sahnya perjanjian.
Jadi, memang untuk
pekerja yang sudah bekerja lebih lama seharusnya dilakukan peninjauan upah.
Sehingga tidak disamakan dengan pekerja yang bekerja di bawah satu tahun atau
baru masuk. Dalam hal ini, yang dapat kami sarankan adalah Anda dapat
mengajukan kepada pihak perusahaan agar besarnya upah Anda ditinjau ulang
dengan memperhatikan masa kerja, prestasi kerja dan kompetensi Anda yang
tentunya sudah berkembang dibandingkan dengan kali pertama Anda bekerja.
Demikian jawaban dari
kami, semoga membantu.
Dasar hukum:
3. Peraturan Menteri Tenaga
Kerja RI No. PER-01/MEN/1999 jo. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi RI No. KEP-226/MEN/2000 tentang Upah Minimum;
4. Peraturan Menteri Tenaga
Kerja dan Transmigrasi No. PER-17/MEN/VIII/ 2005 tentang Komponen dan Tahapan
Pelaksanaan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak.
Setiap artikel jawaban
Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau
facebookKlinik Hukumonline.
Komentar
Posting Komentar