Naker



Upah Lembur Pada Perusahaan Event Organizer

Saya bekerja di salah satu perusahaan event organizer. Dan saya sering sekali bekerja lembur, tetapi upah lembur yang saya dapatkan hanya 5000 per jam, dan saya rasa itu sangat kecil sekali. Yang ingin saya tanyakan adalah apakah perusahaan Event Organizer wajib memberikan upah lembur sesuai dengan ketentuan/UU yang berlaku atau tidak?

Jawaban: Ilman Hadi

Pengertian waktu kerja lembur diatur dalam Pasal 1 angka 1 Kepmenakertrans No.  KEP-102/MEN/VI/2004 Tahun 2004 tentang Waktu Kerja Lembur dan Upah Kerja Lembur:

“Waktu kerja lembur adalah waktu kerja yang melebihi 7 (tujuh) jam sehari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau 8 (delapan) jam sehari, dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau waktu kerja pada hari istirahat mingguan dan atau pada hari libur resmi yang ditetapkan Pemerintah”.

Pasal 78 ayat (2)UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UUK”) menyatakan bahwa Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimanadimaksud dalam ayat (1) wajib membayar upah kerja lembur. Namun, ketentuan waktu kerja lembur dan upah kerja lembur tersebut, tidak berlaku bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu.

Berdasarkan Pasal 78 ayat (4) UUK untuk sektor usaha atau pekerjaan tertentu diatur lebih lanjut secara khusus oleh Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Tapi, hingga saat ini pengaturan mengenai ketentuan waktu kerja/waktu kerja lembur serta upah kerja lembur bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu, baru ada 2 (dua) Peraturan, yakni:
1.    Kepmenakertrans. No. 234/Men/2003 tentang Waktu Kerja dan Waktu Istirahat Pada Sektor Usaha Energi dan Sumber Daya Mineral Pada Daerah Tertentu;
2.    Permenakertrans. No. 15/Men/VII/2005 tentang Waktu Kerja dan Waktu Istirahat Pada Sektor Usaha Pertambangan Umum Pada Daerah Operasi Tertentu; 

Sedangkan untuk sektor usaha atau pekerjaan tertentu lainnya yang hingga saat ini belum diatur secara khusus (termasuk event organizer) dapat diperjanjikan oleh para pihak dalam Perjanjian Kerja (PK) dan Peraturan Perusahaan (PP) atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB) dengan tetap mengindahkan ketentuan umum, antara lain:
-         Maksimum 7 jam per-hari untuk pola waktu kerja 6:1 atau maksimum 8 jam per-hari untuk pola waktu kerja 5:2 (Pasal 77 ayat [2] UUK);
-    Apabila melebihi ketentuan waktu kerja yang ditentukan sebagaimana tersebut, wajib diperhitungkan sebagai waktu kerja lembur dengan hak memperoleh upah kerja lembur.;
-         Pelaksanaan waktu kerja lembur, harus memenuhi syarat-syarat, antara lain : persetujuan (masing-masing) dari pekerja yang bersangkutan; waktu kerja lembur hanya maksimum 3 (tiga) jam per-hari (untuk lembur pada hari kerja; dan komulatif waktu kerja lembur per-minggu maksimum 14 jam, kecuali lembur dilakukan pada waktu hari istirahat mingguan/hari libur resmi (Pasal 78 ayat [1] UUK jo Pasal 3 ayat [2] Kepmenakertrans No. KEP-102/MEN/VI/2004). 

Apabila pengusaha tidak membayar upah lembur pekerja, ada ancaman pidana sesuai Pasal 187 UUK:

(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2), Pasal 44 ayat (1), Pasal 45 ayat (1), Pasal 67 ayat (1), Pasal 71 ayat (2), Pasal 76, Pasal 78 ayat (2), Pasal 79 ayat (1), dan ayat (2), Pasal 85 ayat (3), dan Pasal 144, dikenakan sanksi pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana pelanggaran.

Menurut Pasal 8 Kepmenakertrans No. KEP-102/MEN/VI/2004, perhitungan upah lembur adalah didasarkan pada upah bulanan, dengan perhitungan upah sejam adalah 1/173 kali upah sebulan.

Lebih jauh mengenai perhitungan upah lembur diatur dalam beberapa pasal berikut:

Pasal 10
(1).    Dalam hal upah terdiri dari upah pokok dan tunjangan tetap maka dasar perhitungan upah lembur adalah 100% (seratus perseratus) dari upah.
(2).    Dalam hal upah terdiri dari upah pokok, tunjangan tetap dan tunjangan tidak tetap, apabila upah pokok tambah tunjangan tetap lebih kecil dari 75% (tujuh puluh lima perseratus) keseluruhan upah, maka dasar perhitungan upah lembur 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari keseluruhan upah.

Pasal 11
Cara perhitungan upah kerja lembur sebagai berikut:
a)       apabila kerja lembur dilakukan pada hari kerja:
a.1 untuk jam kerja lembur pertama harus dibayar upah sebesar 1,5 (satu setengah) kali upah sejam;
a.2 untuk setiap jam kerja lembur berikutnya harus dibayar upah sebesar 2 (dua) kali upah sejam.
b)       apabila kerja lembur dilakukan pada hari istirahat mingguan dan/atau hari libur resmi untuk waktu kerja 6 (enam) hari kerja 40 (empat puluh) jam seminggu maka b.1 perhitungan upah kerja lembur untuk 7 (tujuh) jam pertama dibayar 2 (dua) kali upah sejam, dan jam kedelapan dibayar 3 (tiga) kali upah sejam dan jam lembur kesembilan dan kesepuluh 4 (empat) kali upah sejam;
b.2 apabila hari libur resmi jatuh pada hari kerja terpendek perhitungan upah lembur 5 (lima) jam pertama dibayar 2 (dua) kali upah sejam, jam keenam 3 (tiga) kali upah sejam dan jam lembur ketujuh dan kedelapan 4 (empat) kali upah sejam.
c)        apabila kerja lembur dilakukan pada hari istirahat mingguan dan/atau hari libur resmi untuk waktu kerja 5 (lima) hari kerja dan 40 (empat puluh) jam seminggu, maka perhitungan upah kerja lembur untuk 8 (delapan) jam pertama dibayar 2 (dua) kali upah sejam, jam kesembilan dibayar 3 (tiga) kali upah sejam dan jam kesepuluh dan kesebelas 4 (empat) kali upah sejam.

Pasal 12
Bagi perusahaan yang telah melaksanakan dasar perhitungan upah lembur yang nilainya lebih baik dari Keputusan Menteri ini, maka perhitungan upah lembur tersebut tetap berlaku.


Untuk menambah pemahaman Saudara, dapat dibaca artikel Waktu Kerja dan Upah Lembur.

Jadi, memang pengusaha wajib membayar upah lembur pekerja sesuai dengan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan sebagaimana telah diuraikan di atas, termasuk untuk perhitungannya.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar hukum:
2.    Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor  KEP-102/MEN/VI/2004 Tahun 2004 tentang Waktu Kerja Lembur dan Upah Kerja Lembur.
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebookKlinik Hukumonline


Dipaksa Perusahaan Tanda Tangani Surat Pengunduran Diri

Salam, Saya adalah karyawan yang diberhentikan secara tidak hormat karena melakukan penyimpangan keuangan, tetapi semua penyimpangan yang saya akui telah saya kembalikan secara bertahap dan sudah selesai. Akan tetapi, pihak perusahaan mengajukan lagi beberapa daftar penyimpangan yang mana daftar penyimpangan tersebut tidak saya akui. Saya diberhentikan secara lisan pada awal Desember 2011 dan dipaksa menandatangani surat pengunduran diri per 20 Desember 2011 tetapi hingga saat ini saya belum menerima surat pemberhentian dari perusahaan. Pertanyaan saya adalah: 1. Apakah kasus saya ini termasuk pidana atau perdata? 2. Apakah saya berhak mendapat pesangon? Karena saya telah bekerja lebih dari 15 tahun. 3. Apabila perusahaan menempuh jalur hukum, apakah saya bisa mendapatkan bantuan dari LBH secara cuma-cuma? Karena saat ini saya masih menganggur dan harta benda orang tua saya telah dijual untuk menutupi penyelewengan tersebut. 4. Di manakah saya bisa mendapatkan bantuan hukum tersebut?


Pertama-tama, kami beritahukan bahwa peristiwa penyimpangan keuangan yang Anda lakukan dapat kami asumsikan sebuah tindak pidana penggelapan. Yang mana tindak pidana penggelapan tersebut diatur dalam Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”). Berdasarkan keterangan Anda diatas, saya asumsikan Anda tidak pernah diproses/dilaporkan oleh Perusahaan Anda kepada Kepolisian mengenai permasalahan penggelapan ini.
Sementara itu, mengenai Anda merasa telah diberhentikan secara tidak layak oleh Perusahaan Anda, maka hal ini merupakan permasalahan Perdata Khusus yaitu mengenai Ketenagakerjaan.
Dalam hal ini perlu kami luruskan dan pertegas mengenai pernyataan Anda: “Saya diberhentikan secara lisan pada awal Desember 2011 dan dipaksa menandatangani surat pengunduran diri per 20 Desember 2011”. Dalam kalimatAnda ini, kami menangkap bahwa Anda di satu sisi merasa telah di-PHK sepihak, namun disisi lain Anda “terpaksa” mengundurkan diri.

Secara hukum kami dapat sampaikan bahwa dengan adanya surat pengunduran diri tersebut, maka surat tersebut dianggap sah, sepanjang tidak dapat dibuktikan sebaliknya. Artinya,Anda harus dapat membuktikan adanya “paksaan” dalam penandatanganan surat pengunduran diri Anda tersebut. Sehingga apabila terbukti adanya paksaan, maka surat tersebut dapat dimintakan pembatalannya dan Anda dapat mengklaim tentang tindakan PHK sepihak tersebut ke Pengadilan Hubungan Industrial agar Anda memperoleh hak-hak Anda. Hal ini menjadi penting karena berkaitan dengan hak-hak anda sebagai pekerja sebagaimana diatur dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan(“UUK”).
Dalam hal Anda benar telah di-PHK,maka berlaku bagi anda Pasal 156 UUK yang berbunyi:
(1) Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar uangpesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yangseharusnya diterima.
(2) Perhitungan uang pesangon sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling sedikit sebagaiberikut:
a.    masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan upah;
b.    masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun, 2 (dua) bulan upah;
c.    masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga) bulan upah;
d.    masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4 (empat) bulan upah;
e.    masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun, 5 (lima) bulan upah;
f.     masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6 (enam) bulan upah;
g.    masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun, 7 (tujuh) bulan upah.
h.    masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 (delapan) tahun, 8 (delapan) bulan upah;
i.     masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan upah.

(3) Perhitungan uang penghargaan masa kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan sebagai berikut:
a. masa kerja 3 tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 tahun, 2 bulan upah;
b. masa kerja 6 tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 tahun, 3 bulan upah;
c. masa kerja 9 tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 tahun, 4 bulan upah;
d. masa kerja 12 tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 tahun, 5 bulan upah;
e. masa kerja 15 tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 tahun, 6 bulan upah;
f. masa kerja 18 tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 tahun, 7 bulan upah;
g. masa kerja 21 tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 tahun, 8 bulan upah;
h. masa kerja 24tahun atau lebih, 10 bulan upah.

(4) Uang penggantian hak yang seharusnya diterima sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)meliputi:
a.    cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
b.    biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ke tempat di mana pekerja/buruh diterima bekerja;
c.    penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% (lima belas perseratus) dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat;
d.    hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.

Di sisi lain, dalam hal Anda mengundurkan diri, maka Pasal 162 UUK menyatakan:
(1)  Pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri, memperoleh uang penggantian hak sebagaimana diatur dalam Pasal 156 ayat (4)
(2) Bagi pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri, yang tugas danfungsinya tidak mewakili kepentingan pengusaha secara langsung, selain menerima uangpenggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) diberikan uang pisah yang besarnyadan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjiankerja bersama.

Sementara itu, menjawab pertanyaan Anda mengenai apakah Anda bisa meminta bantuan hukum ke LBH? Tentu sajaAnda bisa melakukan itu, namun Anda harus memperhatikan syarat-syarat dalam meminta bantuan hukum.

Sebagai informasi tambahan, bantuan hukum cuma-cuma sebenarnya adalah hak bagi orang miskin sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 2 UU No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum (“UU Bantuan Hukum”) yang berbunyi:

“Penerima Bantuan Hukum adalah orang atau kelompok orang miskin”

Oleh karena itu, untuk mendapatkan bantuan hukum secara cuma-cuma Anda harus masuk dalam golongan orang miskin sebagaimana diatur lebih lengkap dalam Pasal 5 UU Bantuan Hukum yang berbunyi:
“(1) Penerima Bantuan Hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) meliputi setiap orang atau kelompok orang miskin yang tidak dapat memenuhi hak dasar secara layak dan mandiri.

(2) Hak dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi hak atas pangan, sandang, layanan kesehatan, layanan pendidikan, pekerjaan dan berusaha, dan/atau perumahan.”

Salah satu LBH yang sudah cukup lama berkecimpung di dunia bantuan hukum cuma-cuma adalah Lembaga Bantuan Hukum Mawar Saron. LBH Mawar Saron memberikan bantuan hukum secara Prodeo dan Probono bagi masyarakat miskin dan teraniaya, dan visi misi LBH Mawar Saron sendiri sudah sejalan dengan aturan dalam UU Bantuan Hukum, bahkan sebelum UU Bantuan Hukum ini dibentuk.
Silakan datang langsung ke LBH Mawar Saron untuk berkonsultasi mengenai persoalan yang sedang Anda hadapi, di Graha Mitra Sunter Blok D No. 9-11, Jl Sunter Boulevard Raya, Jakarta 14350. Telp: 6517828. Atau silahkan kunjungi website www.lbhmawarsaron.or.id
Demikian penjelasan yang dapat kami berikan, semoga bermanfaat. Terima kasih.
Catatan editor:
-      Pada dasarnya, setiap pekerja yang belum memperoleh putusan pidana yang berkekuatan hukum tetap dianggap tidak bersalah berdasarkan asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence).
-      Perusahaan harus melakukan proses PHK sesuai prosedur yang diatur dalam UUK dan UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, sebagaimana dijelaskan antara lain dalam artikelDiancam Di-PHK Karena Mengajukan Kuitansi Ganda.
Dasar hukum:
1.    Kitab Undang-Undang Hukum Pidana(Wetboek van Strafrecht, Staatsblad 1915 No. 73);
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebookKlinik Hukumonline.


Diwajibkan Terus Bekerja Walau Ada Keterangan Sakit dari Dokter

Jika di dalam perusahaan seorang pimpinan tidak percaya adanya surat keterangan sakit dari dokter dan diwajibkan harus bekerja terus, kita akan melaporkan pada siapa dan apa sanksinya?  


Jawaban:  Heri Aryanto, S.H.

Bapak Ganep yang kami hormati,
Di dalam sebuah hubungan kerja antara Pengusaha dengan Pekerja, keduanya mempunyai kedudukan yang sama, yangmana keduanya mempunyai hak dan kewajiban yang diatur di dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan(“UUK”). Hak dan kewajiban Pengusaha dan Pekerja juga diatur di undang-undang lainnya yang terkait dengan ketenagakerjaan, serta di dalam peraturan pelaksanaan UUK, yaitu Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, dan sebagainya.
Selain hak-hak pekerja diatur di dalam peraturan perundang-undangan, juga lazimnya diatur di dalam Peraturan Perusahaan (“PP”), Perjanjian Kerja Bersama (“PKB”), atau di dalam Perjanjian Kerja (“PK”).
Di dalam menjalankan hak dan kewajibannya, baik pengusaha dan pekerja terikat pada ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan maupun peraturan lainnya (PP, PKB, dan PK). Dengan pengertian, baik pengusaha maupun pekerja tidak boleh melakukan tindakan sewenang-wenang dalam menjalankan hak dan kewajibannya tersebut. Terlebih, di dalam menjalankan hak dan kewajibannya tersebut, baik pekerja maupun pengusaha dilarang melakukan tindakan berupa paksaan, intimidasi, maupun diskriminasi.
Dalam kaitannya dengan pertanyaan di atas, di mana Bapak/Ibu berkedudukan sebagai Pekerja, maka di dalam menjalankan hubungan kerja, Pekerja berhak diperlakukan sama, adil dan layak serta tanpa ada diskriminasi dari pengusaha, sebagaimana diatur dan diamanatkan oleh ketentuan Pasal 6 UUK, yang menyebutkan: Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha”.

Selain diatur di dalam UUK, hak pekerja untuk diperlakukan sama tanpa diskrimininasi juga diatur di dalam Pasal 28 D ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Pasal 38 ayat (2) UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang masing-masing menyebutkan sebagai berikut:

Pasal 28 D ayat (2) UUD Negara RI Tahun 1945:
Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja

Pasal 38 ayat (2) UU No. 39 Tahun 1999 :
Setiap orang berhak dengan bebas memilih pekerjaan yang disukainya dan berhak pula atas syarat-syarat ketenagakerjaan yang adil.

Dengan demikian, maka hak untuk diperlakukan sama tanpa diskriminasi merupakan hak asasi yang dilindungi konstitusi dan undang-undang sehingga setiap orang wajib menghormati dan melaksanakannya, dimana tindakan yang bertentangan dengan hak tersebut merupakan tindakan melanggar HAM.

Berkaitan dengan pertanyaan Bapak di atas, yang mengatakan bahwa pimpinan Bapak tidak percaya surat keterangan dokter yang menyatakan Bapak sakit dan pimpinan tersebut mewajibkan Bapak tetap bekerja meskipun Bapak dalam keadaan sakit, maka berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas, tindakan tersebut merupakan tindakan sewenang-wenang yang patut disangka sebagai perbuatan pelanggaran hak asasi manusia. Hal tersebut sejauh Bapak memang benar-benar sakit dan Surat Keterangan Dokter adalah benar adanya dibuat oleh seorang Dokter yang memeriksa Bapak. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Penjelasan Pasal 93 ayat huruf (a) UUK, yang menyatakan bahwa apabila pekerja sakit maka dibuktikan sakitnya tersebut dengan Surat Keterangan Dokter.

Penjelasan Pasal 93 ayat (2) huruf (a) UUK :
Yang dimaksud pekerja/buruh sakit adalah sakit menurut keterangan dokter.

Oleh karenanya, berdasarkan ketentuan tersebut di atas dihubungkan dengan ketentuan Pasal 93 ayat (1) dan (2) huruf (a) UUK, maka Bapak/Ibu sebagai pekerja mempunyai hak tidak masuk kerja karena sakit dengan tetap mendapatkan upah, serta tidak dikualifikasikan sebagai tindakan mangkir kerja, apabila pekerja benar sakit dan sakitnya tersebut dapat dibuktikan dengan memberikan atau memperlihatkan Surat Keterangan Dokter yang menyatakan Bapak sakit kepada Pengusaha, dalam hal ini pimpinan Bapak/Ibu. Namun demikian, Bapak/Ibu juga harus melihat dan memperhatikan syarat-syarat kerja yang diatur baik di dalam Peraturan Perusahaan atau Perjanjian Kerja Bersama yang berlaku di perusahaan Bapak. Atau apabila tidak ada atau tidak diatur di dalam PP dan PKB, Bapak dapat melihat didalam PK yang dibuat dan ditandatangani oleh Bapak dengan pihak Perusahaan. Jika ketiga-tiganya tidak ada atau tidak diatur, maka merujuk kepada ketentuan UUK sebagaimana telah kami uraikan di atas.

Upaya yang Bapak bisa lakukan terkait dengan permasalahan ini adalah dengan melaporkan perihal permasalahan ketenagakerjaan tersebut kepada Pengawas Ketenagakerjaan yang ada di wilayah tempat kerja Bapak, di tingkat Provinsi, atau juga dapat ke Dirjen Pengawasan Tenaga Kerja yang ada di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI. Berdasarkan pengalaman kami, sanksi yang biasa diberikan adalah sanksi administratif dalam bentuk teguran, peringatan, dan sebagainya.

Oleh karena hal ini ada kaitannya dengan dugaan pelanggaran hak asasi manusia, maka Bapak juga bisa datang dan melaporkan/mengadukan permasalahan ini kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) RI, yangmana berdasarkan pengalaman kami, pelaporan dari pekerja tersebut akan ditindaklanjuti dalam bentuk pemanggilan atau surat tertulis.

Demikian, semoga bermanfaat.

Dasar hukum:

Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebookKlinik Hukumonline.

Komentar

Postingan Populer