Naker



Bantuan Biaya Persalinan yang Wajib Ditanggung Perusahaan

Saya bekerja di perusahaan swasta, tetapi perusahaan saya tidak menanggung biaya persalinan istri saya. Apakah saya bisa memperoleh hak saya?  


Dari pertanyaan Anda, kami belum jelas apakah perusahaan Anda telah mengikuti program jaminan sosial tenaga kerja (Jamsostek) atau tidak. Berdasarkan Pasal 3 ayat (2) UU No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (“UU 3/1992”), setiap tenaga kerja berhak atas jaminan sosial tenaga kerja.

Merujuk pada Pasal 4 ayat (1) UU 3/1992 jo Pasal 2 ayat (3) PP No. 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja (“PP 14/1993”), pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja sebanyak 10 (sepuluh) orang atau lebih, atau membayar upah paling sedikit Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) sebulan, wajib mengikutsertakan tenaga kerjanya dalam program jaminan sosial tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang diselenggarakan oleh badan penyelenggara (yakni, PT Persero Jamsostek).

Sesuai Pasal 6 UU No. 3/1992 jo. Pasal 2 ayat (1) PP No. 14/1993, lingkup program jaminan sosial tenaga kerja saat ini adalah meliputi 4 (empat) program, yakni:
a)    jaminan kecelakaan kerja (“JKK”);
b)    jaminan kematian (“JK”); dan
c)    jaminan hari tua (“JHT”); serta
d)    jaminan pemeliharaan kesehatan (“JPK”).

Keempat program tersebut, 3 (tiga) dalam bentuk jaminan uang (JKK, JK dan JHT), dan 1 (satu) dalam bentuk jaminan pelayanan (JPK). Lebih jauh, simak artikel Harus Jamsostek atau Cukup Asuransi Kesehatan?

Namun khusus untuk JPK, bagi pengusaha yang telah menyelenggarakan program JPK sendiri bagi tenaga kerjanya dengan manfaat lebih baik dari paket jaminan pemeliharaan kesehatan dasar PT Persero Jamsostek (JPK-Dasar) tidak wajib ikut dalam program JPK yang diselenggarakan oleh PT Persero Jamsostek.  

Artinya, ketiga program dalam bentuk jaminan uang (JKK, JK dan JHT) yang diselenggarakan oleh PT PerseroJamsostek, wajib diikuti oleh semua perusahaan yang telah memenuhi syarat. Sedangkan, untuk program dalam bentukjaminan pelayanan (JPK), dapat diikutkan pada perusahaan lainnya (termasuk asuransi yang menanggung pelayanan kesehatan) sepanjang memberikan manfaat lebih baik dari pada JPK-Dasar PT Persero Jamsostek.

Dalam hal ini, jaminan bagi pemeriksaan kehamilan dan pertolongan persalinan adalah termasuk dalam JPK sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 9 jo Pasal 16 ayat (2) huruf d UU 3/1992. Dalam penjelasan Pasal 16 ayat (2) huruf dUU 3/1992 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan pemeriksaan kehamilan dan pertolongan persalinan adalah pertolongan persalinan normal, tidak normal dan/atau gugur kandungan.

Jaminan atas pemeriksaan kehamilan dan pertolongan persalinan ini adalah hak dari pekerja sebagai bagian dari JPK. Seperti disebutkan dalam laman resmi PT Persero Jamsostek, cakupan program JPK ini termasuk Pelayanan Persalinan, yakni pertolongan persalinan yang diberikan kepada tenaga kerja wanita berkeluarga atau istri tenaga kerja peserta program JPK maksimum sampai dengan persalinan ke-3. Besar bantuan biaya persalinan normal setinggi-tinginya ditetapkan Rp 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah). Selengkapnya bisa dibaca di sini.

Jadi, jika Anda telah diikutsertakan pada program JPK pada PT Persero Jamsostek, istri Anda berhak memperoleh bantuan biaya persalinan dari PT Persero Jamsostek. Atau, jika perusahaan mengikutsertakan Anda pada asuransi kesehatan dengan manfaat yang lebih baik dari JPK yang diberikan PT Persero Jamsostek, maka biaya persalinan dapat ditanggung oleh perusahaan asuransi tersebut. Meskipun, pada praktiknya, biaya yang ditanggung bisa berbeda-beda, bergantung pada asuransi kesehatan yang diikuti perusahaan Anda.  

Karena JPK ini merupakan hak Anda dan sudah menjadi kewajiban perusahaan untuk menjamin pemeliharaan kesehatan Anda, tentu Anda bisa memperoleh hak Anda. Upaya yang Anda lakukan sebaiknya diawali dengan cara-cara kekeluargaan yakni dengan menyampaikan kepada pihak perusahaan apa yang menjadi hak Anda dan kewajiban perusahaan. Jika upaya tersebut tidak membuahkan hasil, Anda bisa melaporkannya ke Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Kependudukan setempat.

Upaya akhir yang dapat diambil adalah melaporkan perusahaan Anda secara pidana ke pihak kepolisian atau petugas pengawas ketenagakerjaan setempat. Ancaman pidana bagi perusahaan yang tidak mengikutkan pekerjanya dalam program jamsostek (juga tidak diikutsertakan asuransi kesehatan) adalah hukuman kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) sesuai Pasal 29 ayat 1 UU 3/1992.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar hukum:

Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebookKlinik Hukumonline.


Sanksi Bagi Pelanggar PKB yang Masih Terkena Surat Peringatan

Seorang pekerja yang melanggar peraturan perusahaan akan dikenakan sanksi berupa surat peringatan dengan masa berlaku selama 6 bulan. Apabila dalam masa berlakunya sanksi tersebut pekerja melakukan pelanggaran peraturan yang berbeda bobot dan jenisnya, apakah pekerja menerima sanksi yang lebih berat dari sanksi sebelumnya? Mengingat di dalam PKB perusahaan tersebut, ada pengelompokkan jenis pelanggaran dan sanksi yang dikenakan.  

Jawaban:  Diana Kusumasari

Mengenai surat peringatan terhadap pekerja/karyawan ini pernah kami tulis dalam artikel Sanksi Berurutan.

Dasar dari pemberian surat peringatan ini dapat kita temui dalam Pasal 161 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UUK”):

(1)   Dalam hal pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja, setelah kepada pekerja/buruh yang bersangkutan diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut.
(2)   Surat peringatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) masing-masing berlaku untuk paling lama 6 (enam) bulan, kecuali ditetapkan lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.

Lebih jauh dalam penjelasan Pasal 161 ayat (2) UUK disebutkan:

Masing-masing surat peringatan dapat diterbitkan secara berurutan atau tidak, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.

Dalam hal surat peringatan diterbitkan secara berurutan maka surat peringatan pertama berlaku untuk jangka 6 (enam) bulan. Apabila pekerja/buruh melakukan kembali pelanggaran ketentuan dalam perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama masih dalam tenggang waktu 6 (enam) bulan maka pengusaha dapat menerbitkan surat peringatan kedua, yang juga mempunyai jangka waktu berlaku selama 6 (enam) bulan sejak diterbitkannya peringatan kedua.

Apabila pekerja/buruh masih melakukan pelanggaran ketentuan dalam perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, pengusaha dapat menerbitkan peringatan ketiga (terakhir) yang berlaku selama 6 (enam) bulan sejak diterbitkannya peringatan ketiga.

Apabila dalam kurun waktu peringatan ketiga pekerja/buruh kembali melakukan pelanggaran perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, maka pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja.

Dalam hal jangka waktu 6 (enam) bulan sejak diterbitkannya surat peringatan pertama sudah terlampaui, maka apabila pekerja/buruh yang bersangkutan melakukan kembali pelanggaran perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, maka surat peringatan yang diterbitkan oleh pengusaha adalah kembali sebagai peringatan pertama, demikian pula berlaku juga bagi peringatan kedua dan ketiga.

Perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama dapat memuat pelanggaran tertentu yang dapat diberi peringatan pertama dan terakhir. Apabila pekerja/buruh melakukan pelanggaran perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama dalam tenggang waktu masa berlakunya peringatan pertama dan terakhir dimaksud, pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja.

Tenggang waktu 6 (enam) bulan dimaksudkan sebagai upaya mendidik pekerja/buruh agar dapat memperbaiki kesalahannya dan di sisi lain waktu 6 (enam) bulan ini merupakan waktu yang cukup bagi pengusaha untuk melakukan penilaian terhadap kinerja pekerja/buruh yang bersangkutan.


Dari penjelasan Pasal 161 ayat (2) UUK tersebut di atas, tidak disebutkan bahwa pelanggaran yang dilakukan oleh pekerja untuk kedua atau ketiga kalinya haruslah pelanggaran yang sama.

Dalam hal pekerja melakukan pelanggaran yang berbeda bobot maupun jenisnya, sanksi yang dapat diterima oleh pekerja dimungkinkan lebih berat dari sanksi yang sebelumnya, sepanjang sudah diatur di perjanjian kerja (PK) atau peraturan perusahaan (PP) atau perjanjian kerja bersama (PKB) yang berlaku di perusahaan tersebut.

Anda menyebutkan bahwa di perusahaan tersebut berlaku PKB, maka PKB-lah yang dirujuk. Untuk masing-masing pelanggaran akan ada sanksi yang dikenakan sesuai dengan PKB yang berlaku.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar hukum:
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebookKlinik Hukumonline.


Sanksi Bagi Pelanggar PKB yang Masih Terkena Surat Peringatan

Seorang pekerja yang melanggar peraturan perusahaan akan dikenakan sanksi berupa surat peringatan dengan masa berlaku selama 6 bulan. Apabila dalam masa berlakunya sanksi tersebut pekerja melakukan pelanggaran peraturan yang berbeda bobot dan jenisnya, apakah pekerja menerima sanksi yang lebih berat dari sanksi sebelumnya? Mengingat di dalam PKB perusahaan tersebut, ada pengelompokkan jenis pelanggaran dan sanksi yang dikenakan.  


Mengenai surat peringatan terhadap pekerja/karyawan ini pernah kami tulis dalam artikel Sanksi Berurutan.

Dasar dari pemberian surat peringatan ini dapat kita temui dalam Pasal 161 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UUK”):

(1)   Dalam hal pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja, setelah kepada pekerja/buruh yang bersangkutan diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut.
(2)   Surat peringatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) masing-masing berlaku untuk paling lama 6 (enam) bulan, kecuali ditetapkan lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.

Lebih jauh dalam penjelasan Pasal 161 ayat (2) UUK disebutkan:

Masing-masing surat peringatan dapat diterbitkan secara berurutan atau tidak, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.

Dalam hal surat peringatan diterbitkan secara berurutan maka surat peringatan pertama berlaku untuk jangka 6 (enam) bulan. Apabila pekerja/buruh melakukan kembali pelanggaran ketentuan dalam perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama masih dalam tenggang waktu 6 (enam) bulan maka pengusaha dapat menerbitkan surat peringatan kedua, yang juga mempunyai jangka waktu berlaku selama 6 (enam) bulan sejak diterbitkannya peringatan kedua.

Apabila pekerja/buruh masih melakukan pelanggaran ketentuan dalam perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, pengusaha dapat menerbitkan peringatan ketiga (terakhir) yang berlaku selama 6 (enam) bulan sejak diterbitkannya peringatan ketiga.

Apabila dalam kurun waktu peringatan ketiga pekerja/buruh kembali melakukan pelanggaran perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, maka pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja.

Dalam hal jangka waktu 6 (enam) bulan sejak diterbitkannya surat peringatan pertama sudah terlampaui, maka apabila pekerja/buruh yang bersangkutan melakukan kembali pelanggaran perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, maka surat peringatan yang diterbitkan oleh pengusaha adalah kembali sebagai peringatan pertama, demikian pula berlaku juga bagi peringatan kedua dan ketiga.

Perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama dapat memuat pelanggaran tertentu yang dapat diberi peringatan pertama dan terakhir. Apabila pekerja/buruh melakukan pelanggaran perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama dalam tenggang waktu masa berlakunya peringatan pertama dan terakhir dimaksud, pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja.

Tenggang waktu 6 (enam) bulan dimaksudkan sebagai upaya mendidik pekerja/buruh agar dapat memperbaiki kesalahannya dan di sisi lain waktu 6 (enam) bulan ini merupakan waktu yang cukup bagi pengusaha untuk melakukan penilaian terhadap kinerja pekerja/buruh yang bersangkutan.


Dari penjelasan Pasal 161 ayat (2) UUK tersebut di atas, tidak disebutkan bahwa pelanggaran yang dilakukan oleh pekerja untuk kedua atau ketiga kalinya haruslah pelanggaran yang sama.

Dalam hal pekerja melakukan pelanggaran yang berbeda bobot maupun jenisnya, sanksi yang dapat diterima oleh pekerja dimungkinkan lebih berat dari sanksi yang sebelumnya, sepanjang sudah diatur di perjanjian kerja (PK) atau peraturan perusahaan (PP) atau perjanjian kerja bersama (PKB) yang berlaku di perusahaan tersebut.

Anda menyebutkan bahwa di perusahaan tersebut berlaku PKB, maka PKB-lah yang dirujuk. Untuk masing-masing pelanggaran akan ada sanksi yang dikenakan sesuai dengan PKB yang berlaku.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar hukum:
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebookKlinik Hukumonline.


TKI Meninggal di Luar Negeri, Siapa yang Menanggung Biaya Pemulangannya?
Apakah biaya pemulangan TKI yang meninggal saat masih bekerja menjadi tanggung jawab PJTKI yang bersangkutan? Apabila memakai biaya sendiri, PJTKI dianggap tidak bertanggung jawab?

Jawaban: Ilman Hadi
Pengaturan mengenai Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri diatur dalam UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (“UU 39/2004”). Di dalam Pasal 73 ayat (1) UU 39/2004 disebutkan bahwa TKI dipulangkan salah satunya adalah karena meninggal dunia di negara tujuan.

Masih pada pasal yang sama, ayat (2) menentukan bahwa ketika TKI meninggal dunia di negara tujuan, pelaksana penempatan TKI berkewajiban:
a.  memberitahukan tentang kematian TKI kepada keluarganya paling lambat 3 (tiga) kali 24 (dua puluh empat) jam sejak diketahuinya kematian tersebut;
b.  mencari informasi tentang sebab-sebab kematian dan memberitahukannya kepada pejabat Perwakilan Republik Indonesia dan anggota keluarga TKI yang bersangkutan;monline.com
c.   memulangkan jenazah TKI ke tempat asal dengan cara yang layak serta menanggung semua biaya yang diperlukan, termasuk biaya penguburan sesuai dengan tata cara agama TKI yang bersangkutan;
d.   mengurus pemakaman di negara tujuan penempatan TKI atas persetujuan pihak keluarga TKI atau sesuai dengan ketentuan yang berlaku di negara yang bersangkutan;
e.   memberikan perlindungan terhadap seluruh harta milik TKI untuk kepentingan anggota keluarganya; dan
f.     mengurus pemenuhan semua hak-hak TKI yang seharusnya diterima.

Selain itu, sesuai Pasal 68 UU 39/2004 joPasal 2 Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor PER.07/MEN/V/2010 tentang Asuransi Tenaga Kerja Indonesia, Pelaksana Penempatan TKI Swastawajib mengikutsertakan calon TKI/TKI yang akan diberangkatkan ke luar negeri dalam program asuransi TKI.

Sebagaimana diatur dalam Lampiran Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor PER.07/MEN/V/2010 (terakhir diubah dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 1 Tahun 2012),TKI yang dijamin asuransi akan mendapat santunan kematian sebesar Rp50 juta dan biaya pemakaman Rp5 juta.

Untuk memperoleh santunan kematian dan biaya pemakaman tersebut, ahli waris yang sah dari TKI harus melakukan klaim asuransi kepada konsorsium asuransi TKI selambat-lambatnya 12 bulan sejak terjadinya kematian tersebut, dan bila tidak melakukan klaim, hak tersebut menjadi gugur (Pasal 26 Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 1 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik IndonesiaNomor PER.07/MEN/V/2010 tentang Asuransi Tenaga Kerja Indonesia).

Sedangkan bagi PJTKI yang menempatkan TKI di luar negeri tanpa perlindungan program asuransi, ada sanksi pidana yang berlaku, yakni dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun dan/atau denda paling sedikit Rp1 miliar dan paling banyak Rp5 miliar (Pasal 103 ayat [1] UU 39/2004).

Meskipun ketika TKI meninggal dunia dan ahli warisnya dapat mengklaim asuransi (berupa biaya santunan kematian dan biaya pemakaman), tetapi kewajiban untuk menanggung biaya pemulangan dan pemakaman jenazah TKI yang bersangkutan telah disebutkan dalam UU 39/2004 adalah kewajiban hukum dari PJTKI.

Sehingga, apabila pihak keluarga TKI menanggung sendiri biaya pemulangan jenazah TKI, danPJTKI tidak bertanggung jawab, terhadap PJTKI tersebut dapat dikenakan sanksi administratif oleh Menteri (Pasal 100 ayat [1] UU 39/2004). Sesuai Pasal 100 ayat (2) UU 39/2004, sanksi administratif yang diberikan berupa:
a.      peringatan tertulis;
b.     penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan usaha penempatan TKI;
c.      pencabutan izin;
d.     pembatalan keberangkatan calon TKI; dan/atau
e.      pemulangan TKI dari luar negeri dengan biaya sendiri.

Jadi, setiap TKI yang ditempatkan di luar negeri wajib didaftarkan dalam program asuransi TKI oleh Pelaksana Penempatan TKI (PJTKI) dan bila TKI meninggal dunia di negara tujuan, PJTKI wajib menanggung segala biaya pemulangan jenazah dan pemakaman sesuai agama dari TKI yang bersangkutan. Jika PJTKI yang bersangkutan tidak menanggung biaya pemulangan jenazah TKI, akan dikenakan sanksi sebagaimana diuraikan di atas.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar hukum:
2.    Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor PER.07/MEN/V/2010 tentang Asuransi Tenaga Kerja Indonesia;
3.    Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 1 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor PER.07/MEN/V/2010 tentang Asuransi Tenaga Kerja Indonesia.

Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebookKlinik Hukumonline.

Komentar

Postingan Populer