Naker
Upaya Hukum Jika Pengusaha Tidak Memberikan Waktu untuk Salat
Jumat
Saya bekerja di sebuah warnet, apakah saya bisa menuntut pengusaha
pemilik warnet yang tidak memberikan waktu istirahat, dan tidak memberikan
waktu untuk menjalankan kewajiban ibadah salat jum'at?
Jawaban: Heri Aryanto, S.H.
Saudara terhormat,
Sebelumnya kami haturkan terima kasih atas pernyataan yang Saudara
sampaikan kepada kami. Ketentuan mengenai ketenagakerjaan beserta hak-hak dan
kewajiban yang melekat dalam hubungan kerja diatur di dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UUK”). Oleh karena Saudara menyatakan dalam pertanyaan Saudara
bahwa Saudara bekerja di sebuah warnet, maka dengan demikian antara Saudara
sebagai pekerja dengan pengusaha, dalam hal ini
pemilik warnet, ada hubungan
kerja yang segala ketentuannya tunduk pada aturan UUK tersebut.
Terkait dengan pernyataan Saudara di atas, maka “hak istirahat”
dan “hak melaksanakan ibadah”, termasuk di dalamnya salat jumat, merupakan hak
pekerja yang secara jelas diatur di dalam UUK dan bahkan dilindungi baik oleh
Konstitusi Negara Indonesia (UUD Negara RI Tahun 1945) maupun di dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia(“UU HAM”).
Secara khusus hak beristirahat dan hak menjalankan ibadah diatur
di dalam Pasal 79 dan Pasal 80 UUK, yang menyebutkan sebagai berikut :
Pasal 79 UUK:
(1) Pengusaha
wajib memberi waktu istirahat dan cuti kepada pekerja/buruh.
(2) Waktu
istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), meliputi:
a. istirahat antara jam kerja, sekurang kurangnya setengah jam
setelah bekerja selama 4 (empat) jam terus menerus dan waktu istirahat tersebut
tidak termasuk jam kerja;
b. istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1
(satu) minggu atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu)
minggu;
c. cuti tahunan, sekurang kurangnya 12 (dua belas) hari kerja setelah
pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas) bulan secara
terus menerus; dan
d. istirahat panjang sekurang-kurangnya 2 (dua) bulan dan
dilaksanakan pada tahun ketujuh dan kedelapan masing-masing 1 (satu) bulan bagi
pekerja/buruh yang telah bekerja selama 6 (enam) tahun secara terus-menerus
pada perusahaan yang sama dengan ketentuan pekerja/buruh tersebut tidak berhak
lagi atas istirahat tahunannya dalam 2 (dua) tahun berjalan dan selanjutnya
berlaku untuk setiap kelipatan masa kerja 6 (enam) tahun.
(3) Pelaksanaan
waktu istirahat tahunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf c diatur
dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
(4) Dst ...
(5) Dst ...
Pasal 80 UUK :
Pengusaha wajib memberikan kesempatan yang secukupnya kepada
pekerja/buruh untuk melaksanakan ibadah yang diwajibkan oleh agamanya.
Penjelasan Pasal 80 UUK :
Yang dimaksud kesempatan secukupnya yaitu menyediakan tempat untuk
melaksanakan ibadah yang memungkinkan pekerja/buruh dapat melaksanakan
ibadahnya secara baik, sesuai dengan kondisi dan kemampuan perusahaan.
Hak istirahat dan hak menjalankan ibadah -- termasuk salat jumat untuk yang beragama Islam -- merupakan hak asasi yang melekat pada diri seorang pekerja. Hak tersebut
dilindungi tidak hanya oleh UUK, namun juga oleh Konstitusi RI dan UU HAM. Hal
ini sebagaimana bisa dilihat dalam ketentuan Pasal 28 D ayat
(2) dan Pasal 28 E ayat (1) UUD Negara RI
Tahun 1945 serta Pasal 22 UU HAM, yang menyebutkan sebagai berikut:
Pasal 28 D ayat (2) UUD Negara RI Tahun 1945:
Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan
perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
Pasal 28 E ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945:
Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya,
memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan,
memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak
kembali
Pasal 22 UU HAM:
(1) Setiap orang
bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu.
(2) Negara menjamin
kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat
menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Dengan demikian, maka secara hukum jelaslah bahwa Saudara sebagai
pekerja/karyawan mempunyai hak istirahat dan hak menjalankan ibadah (sholat
jumat), tanpa membedakan apakah Saudara karyawan kontrak ataupun karyawan
tetap. Dengan adanya hak yang melekat pada Saudara tersebut, maka pengusaha wajib memenuhi atau memberikannya, dan apabila
pengusaha tidak mau memberikan maka Saudara mempunyai hak menuntut kepada
pengusaha untuk memenuhi hak istirahat dan menjalan ibadah tersebut. Apabila
tidak dilaksanakan, maka pengusaha tersebut patut diduga telah melakukan
perbuatan melanggar hukum dan hak asasi manusia. Upaya hukum yang dapat Saudara lakukan adalah dengan
melaporkan permasalahan tersebut ke Dinas Ketenagakerjaan yang melingkupi
wilayah Saudara dan/atau mengadukannya ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
(Komnas HAM) Indonesia. Namun demikian, kami menyarankan Saudara melakukan
musyawarah terlebih dahulu dengan pemilik warnet agar ditemukan dan didapatkan
solusi yang terbaik.
Demikian Semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui
twitter @klinikhukum, atau facebookKlinik Hukumonline.
Dasar Hukum dan Mekanisme Zakat Sebagai Pengurang Pajak
1. Bagaimana
prosesnya sampai zakat dapat mengurangi PPh? Apa pertimbangannya? Dasar
hukumnya? Apa tidak menimbulkan kecemburuan bagi umat lain? 2. Apakah peraturan
ini sudah berlaku efektif di Indonesia? 3. Bagaimana cara mekanismenya?
Jawaban: Diana Kusumasari
1. Dalam setiap agama yang ada di Indonesia memang berlaku berbagai
ketentuan berbeda terkait kewajiban keagamaan. Dalam agama Islam misalnya, ada
kewajiban mengeluarkan zakat sebesar 2,5%, dan dalam agama Kristen ada
kewajiban pembayaran persepuluhan sebesar 10%.
Kewajiban
mengeluarkan zakat ini didasarkan pada Al-Quran surat Al Baqarah: 267 yang menentukan
bahwa setiap pekerjaan yang halal yang mendatangkan penghasilan, setelah
dihitung selama satu tahun hasilnya mencapai nisab (senilai 85 gram emas) maka
wajib dikeluarkan zakatnya sebesar 2,5% (sumber: Badan Amil Zakat Nasional).
Mengenai proses
hingga zakat mengurangi pembayaran pajak (dalam hal ini pajak penghasilan), hal
ini sudah diatur sejak adanya UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat (“UU 38/1999”), dan kemudian lebih dipertegas oleh UU Zakat yang
terbaru yang menggantikan UU 38/1999 yaitu UU No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat (“UU 23/2011”).
Latar belakang
dari pengurangan ini dijelaskan dalam penjelasan Pasal 14 ayat
(3) UU 38/1999 bahwa
pengurangan zakat dari laba/pendapatan sisa kena pajak adalah dimaksudkan agar wajib pajak tidak terkena beban ganda, yakni
kewajiban membayar zakat dan pajak. Ketentuan ini masih diatur dalam UU yang
terbaru yakni dalamPasal 22 UU 23/2011:
“Zakat yang dibayarkan oleh muzaki kepada BAZNAS atau LAZ
dikurangkan dari penghasilan kena pajak.”
Hal ini ditegaskan pula dalam ketentuan perpajakan sejak adanya UU No. 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas UU No. 7 Tahun
1983 tentang Pajak Penghasilan, yakni
diatur dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a nomor 1 yang berbunyi:
“Yang tidak termasuk sebagai Objek Pajak adalah: bantuan sumbangan,
termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang
dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah dan para penerima zakat yang berhak.”
Dalam ketentuan
pasal tersebut baru diatur secara eksplisit bahwa yang tidak termasuk objek
pajak adalah zakat. Sedangkan, pengurangan pajak atas kewajiban pembayaran
sumbangan untuk agama lain belum diatur ketika itu. Hal ini memang berpotensi
menimbulkan kecemburuan dari agama lain yang juga diakui di Indonesia.
Dengan
dikeluarkannya UU No. 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas UU No. 7
Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (“UU Pajak
Penghasilan”) pasal tersebut mengalami perubahan sehingga berbunyi:
“Yang dikecualikan dari objek pajak adalah:
bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan
amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah
dan yang diterima oleh penerima zakat yang berhak atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama
yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk
atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima sumbangan yang
berhak, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.”
Ketentuan serupa ditegaskan pula dalam Pasal 9 ayat (1) UU Pajak Penghasilan.
Selain itu, Pasal 1 ayat
(1) PP No. 60 Tahun 2010 tentang Zakat atau Sumbangan Keagamaan yang
Sifatnya Wajib yang Boleh Dikurangkan dari Penghasilan Bruto juga menentukan:
“Zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib yang dapat
dikurangkan dari penghasilan bruto meliputi:
a) zakat atas penghasilan yang dibayarkan oleh Wajib Pajak orang
pribadi pemeluk agama Islam dan/atau oleh Wajib Pajak badan dalam negeri yang
dimiliki oleh pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat atau lembaga amil
zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah; atau
b) sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi Wajib Pajak orang
pribadi pemeluk agama selain agama Islam dan/atau oleh Wajib Pajak badan dalam
negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama selain agama Islam, yang diakui di
Indonesia yang dibayarkan kepada lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan
oleh Pemerintah.”
Sedangkan,
badan/Lembaga yang ditetapkan sebagai penerima zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib yang dapat dikurangkan dari
penghasilan bruto diatur dalam Peraturan
Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-15/PJ/2012 yang berlaku sejak tanggal 11 Juni
2012 yang sebelumnya diatur dengan Peraturan
Direktur Jenderal Pajak No. PER- 33/PJ/2011, yang di antaranya adalah:
Badan Amil Zakat Nasional, LAZ Dompet Dhuafa Republika, LAZ Yayasan Rumah Zakat
Indonesia, Lembaga Sumbangan Agama Kristen Indonesia (LEMSAKTI), dan Badan
Dharma Dana Nasional Yayasan Adikara Dharma Parisad (BDDN YADP) - yang
keseluruhannya saat ini berjumlah 21 badan/lembaga.
2. Karena semua peraturan yang telah disebutkan di atas telah berlaku
efektif, maka ketentuan pengecualian zakat atau sumbangan wajib keagamaan dari objek pajak sudah
berlaku efektif di Indonesia.
3. Mekanisme pengurangan zakat dari penghasilan bruto ini dapat kita
temui dalam Peraturan Dirjen Pajak No. PER-6/PJ/2011 Tahun 2011 tentang
Pelaksanaan Pembayaran dan Pembuatan Bukti Pembayaran atas Zakat atau Sumbangan
Keagamaan yang Sifatnya Wajib yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto sebagai berikut:
Pasal
2
(1). Wajib Pajak yang
melakukan pengurangan zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, wajib melampirkan
fotokopi bukti pembayaran pada Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak
Penghasilan Tahun Pajak dilakukannya pengurangan zakat atau sumbangan
keagamaan yang sifatnya wajib.
(2). Bukti pembayaran
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) :
a dapat berupa bukti
pembayaran secara langsung atau melalui transfer rekening bank, atau
pembayaran melalui Anjungan Tunai Mandiri (ATM), dan
b paling sedikit memuat:
1) Nama lengkap Wajib Pajak
dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) pembayar;
2) Jumlah pembayaran;
3) Tanggal pembayaran;
4) Nama badan amil zakat;
lembaga amil zakat; atau lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan
Pemerintah; dan
5) Tanda tangan petugas
badan amil zakat; lembaga amil zakat; atau lembaga keagamaan, yang dibentuk
atau disahkan Pemerintah, di bukti pembayaran, apabila pembayaran secara
langsung; atau
6) Validasi petugas bank
pada bukti pembayaran apabila pembayaran melalui transfer rekening bank.
Pasal
3
Zakat
atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib tidak dapat dikurangkan
dari penghasilan bruto apabila :
a tidak dibayarkan oleh
Wajib Pajak kepada badan amil zakat; lembaga amil zakat; atau lembaga
keagamaan, yang dibentuk atau disahkan Pemerintah; dan/atau
b bukti pembayarannya tidak
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2).
Pasal
4
(1). Pengurangan zakat atau
sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dilaporkan
dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak yang
bersangkutan dalam Tahun Pajak dibayarkan zakat atau sumbangan keagamaan yang
sifatnya wajib tersebut.
(2). Dalam Surat Pemberitahuan
(SPT) Tahunan Pajak Penghasilan, zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya
wajib sebagaimana ayat (1) dilaporkan untuk menentukan penghasilan neto.
|
Lebih jauh
mengenai pelaporan pengurangan zakat atas penghasilan bisa Anda simak dalam
salah satu artikel dariKanwil DJP Jakarta Khusus.
Jadi, sesuai uraian di atas, pemberian zakat memang dapat
mengurangi pajak, karena zakat dikecualikan dari objek pajak. Pengurangan pajak
ini juga berlaku atas sumbangan wajib keagamaan bagi pemeluk agama lain yang
diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan
oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima sumbangan yang berhak, yang
ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. Dan peraturan
perundang-undangan yang telah disebutkan di atas telah berlaku efektif di
Indonesia, demikian pula dengan mekanisme yang telah diaturnya.
Demikian
jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
6. Peraturan Dirjen Pajak No. PER-6/PJ/2011 Tahun 2011 tentang
Pelaksanaan Pembayaran dan Pembuatan Bukti Pembayaran atas Zakat atau Sumbangan
Keagamaan yang Sifatnya Wajib yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto;
7. Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER- 33/PJ/2011 tentang
Badan/Lembaga yang Dibentuk atau Disahkan oleh Pemerintah yang Ditetapkan
Sebagai Penerima Zakat atau Sumbangan Keagamaan yang Sifatnya Wajib yang Dapat
Dikurangkan dari Penghasilan Bruto;
8. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-15/PJ/2012 tentang
Perubahan Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-33/PJ/2011 tentang
Badan/Lembaga yang Dibentuk atau Disahkan oleh Pemerintah yang Ditetapkan
Sebagai Penerima Zakat atau Sumbangan Keagamaan yang Sifatnya Wajib yang Dapat
Dikurangkan dari Penghasilan Bruto.
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui
twitter @klinikhukum, atau facebookKlinik Hukumonline.
Waktu Kerja dan Upah Lembur Sopir
Bagaimana secara hukum tenaga kerja atas waktu menunggu (stand by)
sopir di luar jam kerja? Misalnya menunggu user (Direksi) yang selalu pulang
lewat jam kerja (7 Jam 6 hari kerja), apakah dapat dikategorikan sebagai Waktu
Lembur?
Jawaban: Ilman Hadi
Kami asumsikan hubungan hukum antara sopir tersebut dengan si user (Direksi)
didasarkan pada perjanjian kerja sebagaimana diatur dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UUK”), dan bukan berdasarkan perjanjian lainnya seperti misalnya
perjanjian kemitraan. Kami juga mengasumsikan sopir tersebut bukan termasuk
sopir angkutan jarak jauh yang dikecualikan oleh UUK dari ketentuan waktu kerja
lembur.
Ketentuan mengenai waktu kerja pekerja dapat kita temui dalam Pasal 77 s/d Pasal 85 UUK. Pasal 77 ayat (1) UUKmewajibkan setiap pengusaha untuk melaksanakan ketentuan waktu
kerja. Ketentuan waktu kerja ini telah diatur oleh pemerintah yaitu:
a. 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu
untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu; atau
b. 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu)
minggu untuk 5 (lima hari kerja dalam 1 (satu) minggu.
Akan tetapi, ketentuan waktu kerja tersebut tidak berlaku bagi
sektor usaha atau pekerjaan tertentu seperti misalnya pekerjaan di pengeboran
minyak lepas pantai, sopir angkutan jarak jauh, penerbangan jarak jauh,
pekerjaan di kapal (laut), atau penebangan hutan (lihat penjelasan Pasal 77 ayat [3] UUK).
Di dalam Pasal 78 ayat
(1) UUK diatur mengenai syarat pelaksanaan kerja lembur yaitu:
a. harus ada persetujuan dari pekerja yang bersangkutan; dan
b. diperbolehkan untuk dilakukan paling banyak 3 (tiga) jam dalam
1 (satu) hari dan 14 (empat belas) jam dalam 1 (satu) minggu.
Kemudian, di dalam Pasal 78 ayat
(2) UUK dinyatakan
bahwa pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) wajib membayar upah kerja lembur. Namun,
ketentuan waktu kerja lembur dan upah kerja lembur tersebut, tidak berlaku bagi
sektor usaha atau pekerjaan tertentu. Lebih jauh
simak artikel Waktu Kerja dan Upah Lembur.
Pengertian waktu kerja lembur diatur lebih jauh dalam Pasal 1 angka 1 Kepmenakertrans No. KEP-102/MEN/VI/2004 Tahun 2004
tentang Waktu Kerja Lembur dan Upah Kerja Lembur (“Kepmenakertrans 102/2004”):
“Waktu kerja lembur adalah waktu kerja yang melebihi 7 (tujuh) jam
sehari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja dalam
1 (satu) minggu atau 8 (delapan) jam sehari, dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu)
minggu untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau waktu kerja pada
hari istirahat mingguan dan atau pada hari libur resmi yang ditetapkan Pemerintah”.
Anda menyebutkan jam kerjasopir tersebut adalah 7 jam
untuk 6 hari kerja. Berarti juga maksimum jam kerja untuk satu minggu kerja
adalah 40 jam.
Berdasarkan uraian tersebut, menurut hemat kami, jika si sopir
bekerja atau menunggu (stand by) user-nya hingga
melebihi jam kerja yang telah diperjanjikan, maka dia berhak atas upah kerja
lembur. Waktu menunggu (stand by) si sopir sudah semestinya termasuk
dalam waktu kerja, kecuali telah diatur di dalam perjanjian kerja (PK),
peraturan perusahaan (PP), atau perjanjian kerja bersama (PKB) antara lain
bahwa si sopir tidak wajib menunggu atau boleh meninggalkan si user jika telah
melewati jam kerjanya.
Perusahaan yang mempekerjakan pekerja/buruh selama waktu kerja
lembur berkewajiban (Pasal 7 ayat [1]Kepmenakertrans 102/2004):
a. membayar upah kerja lembur;
b. memberi kesempatan untuk istirahat secukupnya;
c. memberikan makanan dan minuman sekurang-kurangnya 1.400 kalori
apabila kerja lembur dilakukan selama 3 (tiga) jam atau lebih.
Pemberian makan dan minum bagi pekerja yang melakukan kerja lembur
tidak boleh diganti dengan uang (Pasal 7 ayat [2] Kepmenakertrans 102/2004).
Menurut Pasal 8 Kepmenakertrans No. 102/2004, perhitungan
upah lembur adalah didasarkan pada upah bulanan, dengan perhitungan upah sejam
adalah 1/173 kali upah sebulan.
Apabila pengusaha tidak membayarkan upah kerja lembur yang menjadi
hak pekerjanya, pengusaha tersebut dapat dikenakan sanksi pidana kurungan
paling singkat 1 bulan dan paling lama 12 bulan dan/atau denda paling sedikit
Rp10.000.000 dan paling banyak Rp 100.000.000,00 (Pasal 187 ayat [1] UUK).
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
2. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP-102/MEN/VI/2004 Tahun 2004 tentang Waktu Kerja Lembur dan Upah
Kerja Lembur
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui
twitter @klinikhukum, atau facebookKlinik Hukumonline.
Status Surat Pengunduran Diri Karena Paksaan
Saya telah bekerja di sebuah perusahaan selama kurang lebih 10
tahun sebagai security. Beberapa waktu yang lalu saya dipaksa membuat surat
pernyataan pengunduran diri dari perusahaan karena tuntutan dari segelintir
orang anggota koperasi perusahaan yang saya pegang. Saya dituduh melakukan
penggelapan uang. Karena pada saat itu saya belum dapat membuktikan bahwa saya
tidak melakukan apa yang dituduhkan, maka dalam keadaan terdesak akhirnya saya
diminta menandatangani surat pengunduran diri yang ditulis tangan oleh para
penuntut, saya hanya langsung diminta menandatanganinya. Kemudian, surat
tersebut mereka serahkan pada perusahaan, bukan dengan saya menyerahkannya.
Beberapa hari kemudian, saya belum juga bisa membuktikan sehingga saya
mengusahakan agar para penuntut mencabut kembali tuntutan mereka. Sembilan
puluh persen penuntut sudah menyatakan mencabut tuntutan terhadap saya yang
ditunjukkan dengan tanda tangan yang diketahui oleh RT, lurah, dan camat
setempat. Pertanyaan saya: (1) Apakah saya bisa menggunakannya untuk mencabut
surat pengunduran diri tersebut? (2) Bagaimana surat tersebut bisa dianggap
sah? Sedangkan, surat itu ditandatangani di bawah tekanan dan diserahkan oleh
orang lain? Sekian dan terima kasih.
Jawaban:
Bapak yang saya hormati,
Sebelumnya, kami mengucapkan
terima kasih atas pertanyaan yang Bapak sampaikan kepada kami.
Berdasarkan uraian yang Bapak sampaikan, maka kita perlu melihat
ketentuan-ketentuan dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UUK”) yang mengatur
soal pengunduran diri berdasarkan kehendak pekerja.
Pengunduran diri berdasarkan keinginan dan kehendak sendiri dari
pekerja harus memenuhi syarat berdasarkan Pasal 162 ayat
(3) UUK dihubungkan
dengan Pasal 151 ayat (3) UUK yaitu antara
lain (dapat Bapak lihat di Pasal 162 dan
Pasal 151 UUK):
a. Mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis
selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri;
b. Tidak terikat dalam ikatan dinas; dan
c. Tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran
diri.
Disamping itu, Pasal 154 huruf
b UUK juga menegaskan
bahwa pengunduran diri yang dilakukan oleh pekerja dilakukan dengan mengajukan permintaan pengunduran diri, secara tertulis atas kemauan sendiri tanpa ada indikasi adanya tekanan/intimidasi dari pengusaha, berakhirnya hubungan kerja sesuai dengan
perjanjian kerja waktu tertentu untuk pertama kali.
Jika dikaitkan dengan pertanyaan Bapak, maka menurut hemat kami
Surat Pernyataan yang dibuat oleh Bapak yang dijadikan dasar berakhirnya
hubungan kerja tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana Pasal 162 ayat (3) dan Pasal 154 UUK, yaitu tidak didasarkan benar-benar atas kehendak Bapak sendiri,
sehingga Surat Pernyataan tersebut bataldemi hukum atau dengan kata lain bahwa surat pernyataan itu dianggap tidak
pernah ada atau tidak pernah dibuat. Hal ini sebagaimana ketentuan Pasal 170 UUK yang
menyatakan:
Pasal 170 UUK:
Pemutusan
hubungan kerja yang dilakukan tidak memenuhi ketentuan Pasal 151 ayat (3) dan
Pasal 168, kecuali Pasal 158 ayat
(1)*, Pasal 160 ayat (3), Pasal 162, dan Pasal 169 batal demi hukum
dan pengusaha wajib mempekerjakan pekerja/buruh yang bersangkutan serta
membayar seluruh upah dan hak yang seharusnya diterima.
Oleh karenanya, sah-sah
saja apabila Bapak berkeinginan mencabut Surat Pernyataan tersebut dengan atau
tanpa bukti tandatangan pencabutan tuntutan sebagaimana Bapak maksud di atas.
Namun, apabila Perusahaan menolak atau bahkan dengan bukti Surat Pernyataan
tersebut Bapak kemudian di PHK, maka jika Bapak tidak menerimanya atau menolak
PHK tersebut, sebagaimana ketentuan Pasal 171 UUK, Bapak bisa mengajukan
gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial dan meminta kepada Pengadilan untuk
menyatakan bahwa PHK yang dilakukan terhadap Bapak yang mendasarkan pada Surat
Pernyataan tersebut adalah tidak sah dan meminta agar Bapak dipekerjakan
kembali dengan hak-hak yang melekat dan keadaan seperti semula.
Pasal 171 UUK:
Pekerja/buruh
yang mengalami pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158 ayat (1)*,Pasal 160 ayat
(3), dan Pasal 162, dan pekerja/buruh yang bersangkutan tidak dapat menerima
pemutusan hubungan kerja tersebut, maka pekerja/buruh dapat mengajukan gugatan
ke lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam waktu paling
lama 1 (satu) tahun sejak tanggal dilakukan pemutusan hubungan kerjanya.
*Catatan: Pasal 158 ayat (1) UUK telah
dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat melalui Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 012/PPU-1/2003 tanggal 28 Oktober 2004 tentang Hak Uji Materiil Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan Terhadap Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Demikian Jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui
twitter @klinikhukum, atau facebookKlinik Hukumonline.
Komentar
Posting Komentar