Naker



Upaya Hukum Jika Pengusaha Tidak Memberikan Waktu untuk Salat Jumat
Saya bekerja di sebuah warnet, apakah saya bisa menuntut pengusaha pemilik warnet yang tidak memberikan waktu istirahat, dan tidak memberikan waktu untuk menjalankan kewajiban ibadah salat jum'at?


Saudara terhormat,
Sebelumnya kami haturkan terima kasih atas pernyataan yang Saudara sampaikan kepada kami. Ketentuan mengenai ketenagakerjaan beserta hak-hak dan kewajiban yang melekat dalam hubungan kerja diatur di dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UUK”). Oleh karena Saudara menyatakan dalam pertanyaan Saudara bahwa Saudara bekerja di sebuah warnet, maka dengan demikian antara Saudara sebagai pekerja dengan pengusaha, dalam hal ini pemilik warnet, ada hubungan kerja yang segala ketentuannya tunduk pada aturan UUK tersebut.

Terkait dengan pernyataan Saudara di atas, maka “hak istirahat” dan “hak melaksanakan ibadah”, termasuk di dalamnya salat jumat, merupakan hak pekerja yang secara jelas diatur di dalam UUK dan bahkan dilindungi baik oleh Konstitusi Negara Indonesia (UUD Negara RI Tahun 1945) maupun di dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia(“UU HAM”).

Secara khusus hak beristirahat dan hak menjalankan ibadah diatur di dalam Pasal 79 dan Pasal 80 UUK, yang menyebutkan sebagai berikut :

Pasal 79 UUK:
(1) Pengusaha wajib memberi waktu istirahat dan cuti kepada pekerja/buruh.
(2) Waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), meliputi:
a.    istirahat antara jam kerja, sekurang kurangnya setengah jam setelah bekerja selama 4 (empat) jam terus menerus dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja;
b.    istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu;
c.    cuti tahunan, sekurang kurangnya 12 (dua belas) hari kerja setelah pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas) bulan secara terus menerus; dan
d.    istirahat panjang sekurang-kurangnya 2 (dua) bulan dan dilaksanakan pada tahun ketujuh dan kedelapan masing-masing 1 (satu) bulan bagi pekerja/buruh yang telah bekerja selama 6 (enam) tahun secara terus-menerus pada perusahaan yang sama dengan ketentuan pekerja/buruh tersebut tidak berhak lagi atas istirahat tahunannya dalam 2 (dua) tahun berjalan dan selanjutnya berlaku untuk setiap kelipatan masa kerja 6 (enam) tahun.
(3) Pelaksanaan waktu istirahat tahunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf c diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
(4) Dst ...
(5) Dst ...

Pasal 80 UUK :
Pengusaha wajib memberikan kesempatan yang secukupnya kepada pekerja/buruh untuk melaksanakan ibadah yang diwajibkan oleh agamanya.

Penjelasan Pasal 80 UUK :
Yang dimaksud kesempatan secukupnya yaitu menyediakan tempat untuk melaksanakan ibadah yang memungkinkan pekerja/buruh dapat melaksanakan ibadahnya secara baik, sesuai dengan kondisi dan kemampuan perusahaan.

Hak istirahat dan hak menjalankan ibadah -- termasuk salat jumat untuk yang beragama Islam -- merupakan hak asasi yang melekat pada diri seorang pekerja. Hak tersebut dilindungi tidak hanya oleh UUK, namun juga oleh Konstitusi RI dan UU HAM. Hal ini sebagaimana bisa dilihat dalam ketentuan Pasal 28 D ayat (2) dan Pasal 28 E ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945 serta Pasal 22 UU HAM, yang menyebutkan sebagai berikut:

Pasal 28 D ayat (2) UUD Negara RI Tahun 1945:
Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.

Pasal 28 E ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945:
Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali

Pasal 22 UU HAM:
(1)   Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
(2)   Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Dengan demikian, maka secara hukum jelaslah bahwa Saudara sebagai pekerja/karyawan mempunyai hak istirahat dan hak menjalankan ibadah (sholat jumat), tanpa membedakan apakah Saudara karyawan kontrak ataupun karyawan tetap. Dengan adanya hak yang melekat pada Saudara tersebut, maka pengusaha wajib memenuhi atau memberikannya, dan apabila pengusaha tidak mau memberikan maka Saudara mempunyai hak menuntut kepada pengusaha untuk memenuhi hak istirahat dan menjalan ibadah tersebut. Apabila tidak dilaksanakan, maka pengusaha tersebut patut diduga telah melakukan perbuatan melanggar hukum dan hak asasi manusia. Upaya hukum yang dapat Saudara lakukan adalah dengan melaporkan permasalahan tersebut ke Dinas Ketenagakerjaan yang melingkupi wilayah Saudara dan/atau mengadukannya ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Indonesia. Namun demikian, kami menyarankan Saudara melakukan musyawarah terlebih dahulu dengan pemilik warnet agar ditemukan dan didapatkan solusi yang terbaik.

Demikian Semoga bermanfaat.
 Dasar hukum:

Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebookKlinik Hukumonline.


Dasar Hukum dan Mekanisme Zakat Sebagai Pengurang Pajak

1. Bagaimana prosesnya sampai zakat dapat mengurangi PPh? Apa pertimbangannya? Dasar hukumnya? Apa tidak menimbulkan kecemburuan bagi umat lain? 2. Apakah peraturan ini sudah berlaku efektif di Indonesia? 3. Bagaimana cara mekanismenya?


1.    Dalam setiap agama yang ada di Indonesia memang berlaku berbagai ketentuan berbeda terkait kewajiban keagamaan. Dalam agama Islam misalnya, ada kewajiban mengeluarkan zakat sebesar 2,5%, dan dalam agama Kristen ada kewajiban pembayaran persepuluhan sebesar 10%.

Kewajiban mengeluarkan zakat ini didasarkan pada Al-Quran surat Al Baqarah: 267 yang menentukan bahwa setiap pekerjaan yang halal yang mendatangkan penghasilan, setelah dihitung selama satu tahun hasilnya mencapai nisab (senilai 85 gram emas) maka wajib dikeluarkan zakatnya sebesar 2,5% (sumber: Badan Amil Zakat Nasional).

Mengenai proses hingga zakat mengurangi pembayaran pajak (dalam hal ini pajak penghasilan), hal ini sudah diatur sejak adanya UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat (“UU 38/1999”), dan kemudian lebih dipertegas oleh UU Zakat yang terbaru yang menggantikan UU 38/1999 yaitu UU No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat (“UU 23/2011”).

Latar belakang dari pengurangan ini dijelaskan dalam penjelasan Pasal 14 ayat (3) UU 38/1999 bahwa pengurangan zakat dari laba/pendapatan sisa kena pajak adalah dimaksudkan agar wajib pajak tidak terkena beban ganda, yakni kewajiban membayar zakat dan pajak. Ketentuan ini masih diatur dalam UU yang terbaru yakni dalamPasal 22 UU 23/2011:
“Zakat yang dibayarkan oleh muzaki kepada BAZNAS atau LAZ dikurangkan dari penghasilan kena pajak.”
Hal ini ditegaskan pula dalam ketentuan perpajakan sejak adanya UU No. 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan,  yakni diatur dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a nomor 1 yang berbunyi:

“Yang tidak termasuk sebagai Objek Pajak adalah: bantuan sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah dan para penerima zakat yang berhak.”

Dalam ketentuan pasal tersebut baru diatur secara eksplisit bahwa yang tidak termasuk objek pajak adalah zakat. Sedangkan, pengurangan pajak atas kewajiban pembayaran sumbangan untuk agama lain belum diatur ketika itu. Hal ini memang berpotensi menimbulkan kecemburuan dari agama lain yang juga diakui di Indonesia.
Dengan dikeluarkannya UU No. 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (“UU Pajak Penghasilan”) pasal tersebut mengalami perubahan sehingga berbunyi:

“Yang dikecualikan dari objek pajak adalah:
bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima zakat yang berhak atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima sumbangan yang berhak, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.”
Ketentuan serupa ditegaskan pula dalam Pasal 9 ayat (1) UU Pajak Penghasilan.

“Zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto meliputi:
a)      zakat atas penghasilan yang dibayarkan oleh Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama Islam dan/atau oleh Wajib Pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah; atau
b)      sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama selain agama Islam dan/atau oleh Wajib Pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama selain agama Islam, yang diakui di Indonesia yang dibayarkan kepada lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah.”

Sedangkan, badan/Lembaga yang ditetapkan sebagai penerima zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-15/PJ/2012 yang berlaku sejak tanggal 11 Juni 2012 yang sebelumnya diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER- 33/PJ/2011, yang di antaranya adalah: Badan Amil Zakat Nasional, LAZ Dompet Dhuafa Republika, LAZ Yayasan Rumah Zakat Indonesia, Lembaga Sumbangan Agama Kristen Indonesia (LEMSAKTI), dan Badan Dharma Dana Nasional Yayasan Adikara Dharma Parisad (BDDN YADP) - yang keseluruhannya saat ini berjumlah 21 badan/lembaga.

2.    Karena semua peraturan yang telah disebutkan di atas telah berlaku efektif, maka ketentuan pengecualian zakat atau sumbangan wajib keagamaan dari objek pajak sudah berlaku efektif di Indonesia.

3.    Mekanisme pengurangan zakat dari penghasilan bruto ini dapat kita temui dalam Peraturan Dirjen Pajak No. PER-6/PJ/2011 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Pembayaran dan Pembuatan Bukti Pembayaran atas Zakat atau Sumbangan Keagamaan yang Sifatnya Wajib yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto sebagai berikut:

Pasal 2
(1).    Wajib Pajak yang melakukan pengurangan zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, wajib melampirkan fotokopi bukti pembayaran pada Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak dilakukannya pengurangan zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib.
(2).    Bukti pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) :
a        dapat berupa bukti pembayaran secara langsung atau melalui transfer rekening bank, atau pembayaran melalui Anjungan Tunai Mandiri (ATM), dan
b        paling sedikit memuat:
1)    Nama lengkap Wajib Pajak dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) pembayar;
2)    Jumlah pembayaran;
3)    Tanggal pembayaran;
4)    Nama badan amil zakat; lembaga amil zakat; atau lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan Pemerintah; dan
5)    Tanda tangan petugas badan amil zakat; lembaga amil zakat; atau lembaga keagamaan, yang dibentuk atau disahkan Pemerintah, di bukti pembayaran, apabila pembayaran secara langsung; atau
6)    Validasi petugas bank pada bukti pembayaran apabila pembayaran melalui transfer rekening bank.

Pasal 3
Zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto apabila :
a    tidak dibayarkan oleh Wajib Pajak kepada badan amil zakat; lembaga amil zakat; atau lembaga keagamaan, yang dibentuk atau disahkan Pemerintah; dan/atau
b    bukti pembayarannya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2).

Pasal 4
(1).    Pengurangan zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak yang bersangkutan dalam Tahun Pajak dibayarkan zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib tersebut.
(2).    Dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan, zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib sebagaimana ayat (1) dilaporkan untuk menentukan penghasilan neto.


Lebih jauh mengenai pelaporan pengurangan zakat atas penghasilan bisa Anda simak dalam salah satu artikel dariKanwil DJP Jakarta Khusus.

Jadi, sesuai uraian di atas, pemberian zakat memang dapat mengurangi pajak, karena zakat dikecualikan dari objek pajak. Pengurangan pajak ini juga berlaku atas sumbangan wajib keagamaan bagi pemeluk agama lain yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima sumbangan yang berhak, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. Dan peraturan perundang-undangan yang telah disebutkan di atas telah berlaku efektif di Indonesia, demikian pula dengan mekanisme yang telah diaturnya.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar hukum:
6.    Peraturan Dirjen Pajak No. PER-6/PJ/2011 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Pembayaran dan Pembuatan Bukti Pembayaran atas Zakat atau Sumbangan Keagamaan yang Sifatnya Wajib yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto;
7.    Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER- 33/PJ/2011 tentang Badan/Lembaga yang Dibentuk atau Disahkan oleh Pemerintah yang Ditetapkan Sebagai Penerima Zakat atau Sumbangan Keagamaan yang Sifatnya Wajib yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto;
8.    Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-15/PJ/2012 tentang Perubahan Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-33/PJ/2011 tentang Badan/Lembaga yang Dibentuk atau Disahkan oleh Pemerintah yang Ditetapkan Sebagai Penerima Zakat atau Sumbangan Keagamaan yang Sifatnya Wajib yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto.

Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebookKlinik Hukumonline.


Waktu Kerja dan Upah Lembur Sopir

Bagaimana secara hukum tenaga kerja atas waktu menunggu (stand by) sopir di luar jam kerja? Misalnya menunggu user (Direksi) yang selalu pulang lewat jam kerja (7 Jam 6 hari kerja), apakah dapat dikategorikan sebagai Waktu Lembur?

Jawaban:  Ilman Hadi

Kami asumsikan hubungan hukum antara sopir tersebut dengan si user (Direksi) didasarkan pada perjanjian kerja sebagaimana diatur dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UUK”), dan bukan berdasarkan perjanjian lainnya seperti misalnya perjanjian kemitraan. Kami juga mengasumsikan sopir tersebut bukan termasuk sopir angkutan jarak jauh yang dikecualikan oleh UUK dari ketentuan waktu kerja lembur.

Ketentuan mengenai waktu kerja pekerja dapat kita temui dalam Pasal 77 s/d Pasal 85 UUK. Pasal 77 ayat (1) UUKmewajibkan setiap pengusaha untuk melaksanakan ketentuan waktu kerja. Ketentuan waktu kerja ini telah diatur oleh pemerintah yaitu:
a.    7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu; atau
b.    8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima hari kerja dalam 1 (satu) minggu.

Akan tetapi, ketentuan waktu kerja tersebut tidak berlaku bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu seperti misalnya pekerjaan di pengeboran minyak lepas pantai, sopir angkutan jarak jauh, penerbangan jarak jauh, pekerjaan di kapal (laut), atau penebangan hutan (lihat penjelasan Pasal 77 ayat [3] UUK).

Di dalam Pasal 78 ayat (1) UUK diatur mengenai syarat pelaksanaan kerja lembur yaitu:
a. harus ada persetujuan dari pekerja yang bersangkutan; dan
b. diperbolehkan untuk dilakukan paling banyak 3 (tiga) jam dalam 1 (satu) hari dan 14 (empat belas) jam dalam 1 (satu) minggu.

Kemudian, di dalam Pasal 78 ayat (2) UUK dinyatakan bahwa pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib membayar upah kerja lembur. Namun, ketentuan waktu kerja lembur dan upah kerja lembur tersebut, tidak berlaku bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu. Lebih jauh simak artikel Waktu Kerja dan Upah Lembur.

Pengertian waktu kerja lembur diatur lebih jauh dalam Pasal 1 angka 1 Kepmenakertrans No. KEP-102/MEN/VI/2004 Tahun 2004 tentang Waktu Kerja Lembur dan Upah Kerja Lembur (“Kepmenakertrans 102/2004”):
“Waktu kerja lembur adalah waktu kerja yang melebihi 7 (tujuh) jam sehari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau 8 (delapan) jam sehari, dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau waktu kerja pada hari istirahat mingguan dan atau pada hari libur resmi yang ditetapkan Pemerintah”.

Anda menyebutkan jam kerjasopir tersebut adalah 7 jam untuk 6 hari kerja. Berarti juga maksimum jam kerja untuk satu minggu kerja adalah 40 jam.
Berdasarkan uraian tersebut, menurut hemat kami, jika si sopir bekerja atau menunggu (stand by) user-nya hingga melebihi jam kerja yang telah diperjanjikan, maka dia berhak atas upah kerja lembur. Waktu menunggu (stand by) si sopir sudah semestinya termasuk dalam waktu kerja, kecuali telah diatur di dalam perjanjian kerja (PK), peraturan perusahaan (PP), atau perjanjian kerja bersama (PKB) antara lain bahwa si sopir tidak wajib menunggu atau boleh meninggalkan si user jika telah melewati jam kerjanya.

Perusahaan yang mempekerjakan pekerja/buruh selama waktu kerja lembur berkewajiban (Pasal 7 ayat [1]Kepmenakertrans 102/2004):
a. membayar upah kerja lembur;
b. memberi kesempatan untuk istirahat secukupnya;
c. memberikan makanan dan minuman sekurang-kurangnya 1.400 kalori apabila kerja lembur dilakukan selama 3 (tiga) jam atau lebih.
Pemberian makan dan minum bagi pekerja yang melakukan kerja lembur tidak boleh diganti dengan uang (Pasal 7 ayat [2] Kepmenakertrans 102/2004).
Menurut Pasal 8 Kepmenakertrans No. 102/2004, perhitungan upah lembur adalah didasarkan pada upah bulanan, dengan perhitungan upah sejam adalah 1/173 kali upah sebulan.
Apabila pengusaha tidak membayarkan upah kerja lembur yang menjadi hak pekerjanya, pengusaha tersebut dapat dikenakan sanksi pidana kurungan paling singkat 1 bulan dan paling lama 12 bulan dan/atau denda paling sedikit Rp10.000.000 dan paling banyak Rp 100.000.000,00 (Pasal 187 ayat [1] UUK).
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
2.    Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP-102/MEN/VI/2004 Tahun 2004 tentang Waktu Kerja Lembur dan Upah Kerja Lembur
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebookKlinik Hukumonline.

Status Surat Pengunduran Diri Karena Paksaan

Saya telah bekerja di sebuah perusahaan selama kurang lebih 10 tahun sebagai security. Beberapa waktu yang lalu saya dipaksa membuat surat pernyataan pengunduran diri dari perusahaan karena tuntutan dari segelintir orang anggota koperasi perusahaan yang saya pegang. Saya dituduh melakukan penggelapan uang. Karena pada saat itu saya belum dapat membuktikan bahwa saya tidak melakukan apa yang dituduhkan, maka dalam keadaan terdesak akhirnya saya diminta menandatangani surat pengunduran diri yang ditulis tangan oleh para penuntut, saya hanya langsung diminta menandatanganinya. Kemudian, surat tersebut mereka serahkan pada perusahaan, bukan dengan saya menyerahkannya. Beberapa hari kemudian, saya belum juga bisa membuktikan sehingga saya mengusahakan agar para penuntut mencabut kembali tuntutan mereka. Sembilan puluh persen penuntut sudah menyatakan mencabut tuntutan terhadap saya yang ditunjukkan dengan tanda tangan yang diketahui oleh RT, lurah, dan camat setempat. Pertanyaan saya: (1) Apakah saya bisa menggunakannya untuk mencabut surat pengunduran diri tersebut? (2) Bagaimana surat tersebut bisa dianggap sah? Sedangkan, surat itu ditandatangani di bawah tekanan dan diserahkan oleh orang lain? Sekian dan terima kasih.

Jawaban:

Bapak yang saya hormati, 
Sebelumnya, kami mengucapkan terima kasih atas pertanyaan yang Bapak sampaikan kepada kami.
Berdasarkan uraian yang Bapak sampaikan, maka kita perlu melihat ketentuan-ketentuan dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UUK”) yang mengatur soal pengunduran diri berdasarkan kehendak pekerja. 
Pengunduran diri berdasarkan keinginan dan kehendak sendiri dari pekerja harus memenuhi syarat berdasarkan Pasal 162 ayat (3) UUK dihubungkan dengan Pasal 151 ayat (3) UUK yaitu antara lain (dapat Bapak lihat di Pasal 162 dan Pasal 151 UUK):
a.    Mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri;
b.    Tidak terikat dalam ikatan dinas; dan
c.    Tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran diri.

Disamping itu, Pasal 154 huruf b UUK juga menegaskan bahwa pengunduran diri yang dilakukan oleh pekerja dilakukan dengan mengajukan permintaan pengunduran diri, secara tertulis atas kemauan sendiri tanpa ada indikasi adanya tekanan/intimidasi dari pengusaha, berakhirnya hubungan kerja sesuai dengan perjanjian kerja waktu tertentu untuk pertama kali.

Jika dikaitkan dengan pertanyaan Bapak, maka menurut hemat kami Surat Pernyataan yang dibuat oleh Bapak yang dijadikan dasar berakhirnya hubungan kerja tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana Pasal 162 ayat (3) dan Pasal 154 UUK, yaitu tidak didasarkan benar-benar atas kehendak Bapak sendiri, sehingga Surat Pernyataan tersebut bataldemi hukum atau dengan kata lain bahwa surat pernyataan itu dianggap tidak pernah ada atau tidak pernah dibuat. Hal ini sebagaimana ketentuan Pasal 170 UUK yang menyatakan:

Pasal 170 UUK:
Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan tidak memenuhi ketentuan Pasal 151 ayat (3) dan Pasal 168, kecuali Pasal 158 ayat (1)*, Pasal 160 ayat (3), Pasal 162, dan Pasal 169 batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan pekerja/buruh yang bersangkutan serta membayar seluruh upah dan hak yang seharusnya diterima.

Oleh karenanya, sah-sah saja apabila Bapak berkeinginan mencabut Surat Pernyataan tersebut dengan atau tanpa bukti tandatangan pencabutan tuntutan sebagaimana Bapak maksud di atas. Namun, apabila Perusahaan menolak atau bahkan dengan bukti Surat Pernyataan tersebut Bapak kemudian di PHK, maka jika Bapak tidak menerimanya atau menolak PHK tersebut, sebagaimana ketentuan Pasal 171 UUK, Bapak bisa mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial dan meminta kepada Pengadilan untuk menyatakan bahwa PHK yang dilakukan terhadap Bapak yang mendasarkan pada Surat Pernyataan tersebut adalah tidak sah dan meminta agar Bapak dipekerjakan kembali dengan hak-hak yang melekat dan keadaan seperti semula.

Pasal 171 UUK:
Pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158 ayat (1)*,Pasal 160 ayat (3), dan Pasal 162, dan pekerja/buruh yang bersangkutan tidak dapat menerima pemutusan hubungan kerja tersebut, maka pekerja/buruh dapat mengajukan gugatan ke lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak tanggal dilakukan pemutusan hubungan kerjanya.

*Catatan: Pasal 158 ayat (1) UUK telah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012/PPU-1/2003 tanggal 28 Oktober 2004 tentang Hak Uji Materiil Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Terhadap Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Demikian Jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar hukum:
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebookKlinik Hukumonline.

Komentar

Postingan Populer