Naker



Menggunakan Hak Cuti dalam Masa One Month Notice
Saya ingin berhenti tetapi harus 1 bulan setelahnya. Memang saya tahu peraturan 1 month notice, tetapi selama saya melakukan 1 month notice itu bisakah saya mengambil hak cuti saya?

Jawaban:
Cuti adalah meninggalkan pekerjaan beberapa waktu secara resmi untuk beristirahat. Cuti menjadi hak Anda sebagai pekerja dan menjadi kewajiban pengusaha untuk diberikan kepada pekerjanya. Ketentuan mengenai cuti diatur dalam Pasal 79 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UUK”) yang berbunyi:
Pasal 79
(1).Pengusaha wajib memberi waktu istirahat dan cuti kepada pekerja/buruh.
(2).Waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), meliputi :
a. istirahat antara jam kerja, sekurang kurangnya setengah jam setelah bekerja selama 4 (empat) jam terus menerus dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja;
b. istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu;
c.   cuti tahunan, sekurang kurangnya 12 (dua belas) hari kerja setelah pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas) bulan secara terus menerus; dan
d. istirahat panjang sekurang-kurangnya 2 (dua) bulan dan dilaksanakan pada tahun ketujuh dan kedelapan masing-masing 1 (satu) bulan bagi pekerja/buruh yang telah bekerja selama 6 (enam) tahun secara terus-menerus pada perusahaan yang sama dengan ketentuan pekerja/buruh tersebut tidak berhak lagi atas istirahat tahunannya dalam 2 (dua) tahun berjalan dan selanjutnya berlaku untuk setiap kelipatan masa kerja 6 (enam) tahun.
(3).Pelaksanaan waktu istirahat tahunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf c diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
(4).Hak istirahat panjang sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf d hanya berlaku bagi pekerja/buruh yang bekerja pada perusahaan tertentu.
(5).Perusahaan tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) diatur dengan Keputusan Menteri.

Berdasarkan Pasal 79 UUK, khususnya ayat (1) jelas dikatakan bahwa pengusaha wajib memberikan cuti kepada pekerja. Maka, bersandar pada ketentuan Pasal 79 ayat (1) UUK tersebut Anda tetapberhak mengambil cuti Anda walaupun itu dalam masa one month notice.

Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.
 Catatan editor:
One month notice yang dimaksud dalam artikel ini merujuk pada salah satu syarat bagi pekerja/buruh yang akan mengundurkan diri sebagaimana diatur dalam Pasal 162 ayat (3) huruf a UUK, yang berbunyi sebagai berikut:
Pekerja/buruh yang mengundurkan diri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi syarat:
a.    mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri;
b.    tidak terikat dalam ikatan dinas; dan
c.     tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran diri.
Dasar hukum:
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.

Perhitungan THR untuk Karyawan yang Baru Dipromosi

Katakanlah waktu puasa s/d Lebaran sbb.: 1 Ramadhan = 21 Juli; 1 Syawal = 19 Agustus. Kemudian tanggal distribusi THR = 03 Agustus atau 14 hari sebelum hari H. Apabila ada karyawan yang dipromosikan jabatannya yang otomatis salary-nya juga naik (contoh dari Rp2 juta ke Rp3 juta per bulan), dan tanggal promosinya tersebut jatuh pada tanggal 01 Agustus. Pertanyaannya: Bagaimana cara perhitungan THR-nya? Mohon maaf kalau merepotkan.


Sekedar untuk memperjelas kronologis pertanyaan Anda, simak bagan berikut:

Jadi, secara kronologis promosi telah dilakukan 2 hari sebelum pembayaran THR.

UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan(“UUK”) memang tidak secara tegas mengatur mengenai tunjangan hari raya (THR). Pengaturan mengenai THR ini bisa kita temui dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. PER-04/MEN/1994 Tahun 1994 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Pekerja di Perusahaan (“Permenaker 4/1994”).

Mengenai waktu pembayaran/pemberian THR ini sesuai Pasal 4 ayat (1) Permenaker 4/1994 adalah disesuaikan dengan Hari Raya Keagamaan masing-masing pekerja, kecuali disepakati lain oleh pengusaha dan pekerja. Yang dimaksud dengan Hari Raya Keagamaan adalah Hari Raya Idul Fitri bagi pekerja yang beragama Islam, Hari Raya Natal bagi pekerja yang beragama Kristen Katholik dan Protestan, Hari Raya Nyepi bagi pekerja yang beragama Hindu dan Hari Raya Waisak bagi pekerja yang beragama Budha (lihat Pasal 1 huruf e Permenaker 4/1994).

Selain itu, ditegaskan dalam Pasal 4 ayat (2) Permenaker 4/1994 bahwa THR wajib dibayarkan oleh Pengusaha selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sebelum Hari Raya Keagamaan.

Dalam hal ini, UUK maupun Permenaker tidak mengatur lebih jauh mengenai pembayaran THR jika pekerja dipromosi dalam waktu yang berdekatan (2 hari) dengan waktu pembayaran THR.

Akan tetapi, ketika pekerja tersebut dipromosi yang dibuktikan dengan surat pengangkatan, maka sejak tanggal pengangkatan tersebut berlaku segala hak dan kewajiban sesuai surat pengangkatan tersebut baik dari sisi pengusaha maupun pekerja. Dengan demikian, meskipun pengangkatan jabatan (promosi) pekerja tersebut baru ditetapkan 2 hari sebelum pembayaran THR, pekerja tersebut berhak memperoleh THR sesuai dengan upah jabatannya yang baru.

Jadi, cara perhitungan THR-nya adalah disesuaikan dengan surat pengangkatan pekerja yang bersangkutan. Lebih jauh mengenai penghitungan THR, simak artikel-artikel berikut:

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar hukum:
2. Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. PER-04/MEN/1994 Tahun 1994 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Pekerja Di Perusahaan.
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.
Batasan Hak Karyawan Resign Atas THR

Apakah ada batasan pemberian THR bagi karyawan yang akan mengajukan pengunduran diri 4 bulan sebelum hari besar agama? Dan jika ada sebutkan dasar hukumnya. Apakah perusahaan boleh tidak memberikan THR bagi karyawan yang mengundurkan diri 4 bulan sebelum hari besar keagamaan?  

Jawaban:  Ilman Hadi

Dari pertanyaan Saudara, yang kami tangkap adalah apakah pekerja/karyawan yang mengajukan pengunduran diri 4 bulan sebelum hari raya keagamaan berhak atas Tunjangan Hari Raya (THR) atau tidak.

Dalam hal pekerja mengundurkan diri, Pasal 162 ayat (3) huruf a UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UUK”) menyatakan bahwa pekerja harus mengajukan permohonan pengunduran diri selambat-lambatnya 30 hari sebelum tanggal pengunduran diri. Dengan kata lain, jika pengunduran diri diajukan 4 bulan sebelum hari raya, kami asumsikan setidaknya hubungan kerjanya putus 3 bulan sebelum hari raya keagamaan.

Mengutip artikel Pengunduran Diri, menurut Pasal 6 ayat (1) Permenaker No. 04/MEN/1994 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Pekerja di Perusahaan (“Permenaker 04/1994”), pekerja yang putus hubungan kerjanya terhitung sejak 30 (tiga puluh) hari sebelum jatuh tempo Hari Raya Keagamaan tetap berhak atas THRBerarti dalam hal pekerja mengundurkan diri, pekerja yang masih berhak atas THR hanyalah mereka yang putus hubungan kerjanya 30 hari sebelum hari raya keagamaan.

Jika pekerja putus hubungan kerjanya lebih dari 30 hari sebelum hari raya keagamaan, pekerja tersebut tidak berhak atas THR.

Berbeda halnya jika pengajuan pengunduran diri dilakukan 4 bulan sebelum hari raya keagamaan tapi pekerja baru putus hubungan kerjanya setidaknya 30 hari sebelum hari raya keagamaan, maka dia tetap berhak atas THR.

Jadi, mengenai boleh atau tidaknya pengusaha memberikan THR bagi pekerja yang mengundurkan diri 4 bulan sebelum hari besar keagamaan, jawabannya adalah pengusaha tidak perlu memberikan THR jika pekerja tersebut sudah putus hubungan kerjanya lebih dari 30 hari sebelum hari raya keagamaan.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar hukum:
2.  Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 04/MEN/1994 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Pekerja di Perusahaan.
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.

THR Bagi Pekerja Dalam Masa Skorsing

Selamat siang, saya mohon penjelasan dan pencerahan dari Hukumonline. Jika status karyawan tetap namun masih dalam status skorsing, apakah masih dapat menerima THR (Tunjangan Hari Raya)? Terima kasih.


Tindakan skorsing dikenal UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UUK”) dalam hal pekerja/buruh (karyawan) sedang dalam proses PHK (pemutusan hubungan kerja) (lihat Pasal 155 ayat [3] UUK).

Sesuai ketentuan dalam Pasal 155 ayat (2) jo ayat (3) UUK, selama belum ada putusan mengenai pemutusan hubungan kerja bagi pekerja atau pekerja masih dalam masa skorsing, pengusaha wajib membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja.

Namun, jika ternyata THR tidak dibayarkan kepada pekerja dalam masa skorsing, hal ini akan menjadi dasar perselisihan hak sebagai bagian dari sengketa hubungan industrial. Berdasarkan Pasal 1 angka 2UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (“UUPHI”), perselisihan tersebut diselesaikan berdasarkan ketentuan UUPHI.

Menurut UUPHI, cara penyelesaian perselisihan hubungan industrial harus dimusyawarahkan terlebih dahulu antara pengusaha dan pekerja paling lama 30 hari kerja sejak tanggal dimulainya perundingan (Pasal 3 UUPHI).

Bila musyawarah gagal, perselisihan tersebut kemudian dicatatkan ke instansi ketenagakerjaan setempat untuk ditawarkan upaya penyelesaian melalui konsiliasi atau arbitrase. Dalam hal para pihak tidak menetapkan pilihan penyelesaian melalui konsiliasi atau arbitrase dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja, maka instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan melimpahkan penyelesaian perselisihan kepada mediator (Pasal 4 UUPHI). Bila konsiliasi ataumediasi tidak mencapai kesepakatan, maka salah satu pihak dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Hubungan Industrial (Pasal 5 UUPHI).

Jadi, menjawab pertanyaan Anda, selama hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja belum putus, meskipun dalam masa skorsing, pekerja tetap berhak atas upah dan hak-hak lainnya, termasuk hak atas THR.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar hukum:

Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.



Adakah Aturan Soal Tunjangan Karyawan yang Dimutasi ke Daerah Lain?

Adakah Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Permenaker atau Kepmenaker, yang mengatur tentang kewajiban perusahaan untuk memberikan tunjangan/bantuan berupa uang kepada karyawan apabila dimutasikan wilayah kerja lain dalam satu grup perusahaan tersebut? Misal, si A tadinya lokasi kerja di daerah Kalsel kemudian karena kebutuhan perusahaan si A suatu saat dimutasikan ke daerah Kaltim? Mohon bantuan jawaban dan terima kasih atas penjelasannya.

Jawaban: Ilman Hadi

Kami asumsikan bahwa penempatan kerja atau mutasi tersebut hanya dilakukan dalam wilayah Republik Indonesia dan hubungan kerja antara karyawan dan perusahaan dibuat secara tertulis dengan perjanjian. Berdasarkan Pasal 54 ayat (1) huruf d UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UUK”), perjanjian kerja sekurang-kurangnya memuat tempat pekerjaan. Apabila tempat karyawan bekerja memiliki cabang di beberapa daerah di Indonesia, ada kemungkinan ia dipindahkan tempat kerjanya ke daerah lain.

Setiap wilayah provinsi atau kabupaten/kota dapat menetapkan besaran upah minimum di daerahnya yang ditetapkan oleh Gubernur (lihat Pasal 89 UUK). Upah minimum ini biasanya dikenal dengan Upah Minimum Provinsi (UMP). Besarnya UMP di tiap daerah biasanya berbeda-beda tergantung kebutuhan hidup layak di daerahnya. Saat seorang karyawan dipindahkan tempat kerjanya (mutasi) dari wilayah Provinsi Kalimantan Selatan ke wilayah Provinsi Kalimantan Timur, maka yang disesuaikan adalah besaran upah minimum karyawan tersebut yaitu harus mengikuti besaran jumlah upah minimum di wilayah Kalimantan Timur.

Pengusaha dilarang membayarkan upah karyawan dibawah besaran upah minimum di wilayah karyawan bekerja (lihat Pasal 90 ayat (1) UUK).

Mengenai kewajiban perusahaan untuk memberikan tunjangan kepada karyawan yang dimutasi ke daerah lain, tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan. Akan tetapi, hal ini bisa saja diatur di dalam dalam peraturan perusahaan (“PP”), perjanjian kerja (“PK”), atau perjanjian kerja bersama (“PKB”). Karena itu, sebaiknya Anda melihat kembali pada PP, PK, atau PKB, khususnya ketentuan mengenai mutasi karyawan ke daerah lain. Lebih lanjut, Saudara dapat membaca artikel Bolehkah Karyawan Menolak Penempatan Kerja/Mutasi?

Jadi, dalam peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan, tidak diatur kewajiban perusahaan untuk memberi tunjangan kepada karyawan yang mengalami mutasi ke daerah lain. Mengenai hal ini dapat diatur dalam PP, PK, atau PKB. Perusahaan wajib membayarkan upah karyawan sesuai dengan besaran upah minimum di wilayah tujuan karyawan tersebut dimutasi. Saudara dapat pula membaca artikel-artikel berikut ini:

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar hukum:
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.

Komentar

Postingan Populer