Naker
Jika Anggota Serikat Pekerja Kurang Dari 10
Orang
Dulu di perusahaan saya
ada dua puluh karyawan lebih dan Serikat Pekerja sudah dibentuk. Tetapi, saat
ini tinggal delapan pekerja saja. Apa karena itu Serikat Pekerja harus bubar?
Jawaban: Ilman Hadi
Pengaturan tentang serikat pekerja/buruh terutama diatur dalam UU No. 21 Tahun 2000
tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh (“UU 21/2000”).
Sesuai ketentuan Pasal 5 ayat (2) UU 21/2000, suatu serikat
pekerja/buruh dibentuk sekurang-kurangnya oleh 10 orang pekerja/buruh.
Ketentuan tersebut hanya mengatur mengenai syaratpembentukan serikat pekerja/buruh yakni harus berjumlah 10 orang ketika dibentuk, namun tidak mengatur bagaimana bila jumlah anggota serikat pekerja kemudian menjadi kurang dari 10 orang ketika serikat pekerja/buruh sudah terbentuk.
Mengenai bubarnya serikat pekerja/buruh, Pasal 37 UU 21/2000 menyebutkan bahwa serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan
konfederasi serikat pekerja/serikat buruh bubar dalam hal:
a. dinyatakan oleh anggotanya menurut anggaran
dasar dan anggaran rumah tangga;
b. perusahaan tutup atau menghentikan kegiatannya
untuk selama-lamanya yang mengakibatkan putusnya hubungan kerja bagi seluruh
pekerja/buruh di perusahaan setelah seluruh kewajiban pengusaha terhadap
pekerja/buruh diselesaikan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c. dinyatakan dengan
putusan Pengadilan.
Ketika anggota serikat
pekerja/buruh yang kurang dari 10 orang, pembubaran serikat pekerja baru bisa dilakukan bila memenuhi salah satu dari 3 kondisi yang disebut
dalam Pasal 37 UU 21/2000 di atas.
Jadi, jumlah anggota serikat pekerja/buruh yang di bawah 10 orang,
tidak otomatis membuat serikat pekerja/buruh harus bubar, karena pembubaran
serikat pekerja/buruh hanya dapat dilakukan dengan keadaan yang disebutkan
dalam Pasal 37 UU 21/2000.
Demikian jawaban darikami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
Setiap artikel jawaban
Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau
facebook Klinik Hukumonline.
Jika Pengunduran Diri
Diajukan Kurang Dari 30 Hari
Saya ingin bertanya,
apakah perusahaan bisa membatalkan pemberian pesangon bagi karyawan yang
mengundurkan diri karena karyawan yang bersangkutan mengajukan pengunduran diri
13 hari sebelum tanggal yang bersangkutan berhenti bekerja? Saya mengajukan
pengunduran diri tanggal 13 Agustus dan terhitung tanggal 26 Agustus saya sudah
tidak lagi bekerja sesuai permohonan pengunduran diri saya. Personalia
mengatakan bahwa uang pesangon saya tidak keluar dengan alasan tersebut di
atas. Apa yang harus saya lakukan, karena saya sudah bekerja selama 3 tahun
lebih. Mohon bantuan dan penjelasannya.
Jawaban: Ilman Hadi
Pengaturan mengenai pengunduran diri oleh pekerja diatur dalam Pasal 162 UU No. 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan (“UUK”):
Pasal
162
(1) Pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas kemauan
sendiri, memperoleh uang penggantian hak sesuai ketentuan
Pasal 156 ayat (4).
(2) Bagi pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas
kemauan sendiri, yang tugas dan fungsinya tidak mewakili kepentingan
pengusaha secara langsung, selain menerima uang penggantian hak sesuai
ketentuan Pasal 156 ayat (4) diberikan uang pisah yang besarnya dan
pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau
perjanjian kerja bersama.
(3) Pekerja/buruh yang mengundurkan diri sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi syarat:
a. mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis
selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal mulai pengunduran
diri;
b. tidak terikat dalam ikatan dinas; dan
c. tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai
pengunduran diri.
(4) Pemutusan hubungan kerja dengan alasan
pengunduran diri atas kemauan sendiri dilakukan tanpa penetapan lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
|
Untuk informasi selengkapnya soal pengunduran diri, Saudara dapat membaca
artikel Aturan Jangka Waktu
Pengunduran Diri (One Month Notice).
Kami menyarankan agar Saudara melihat kembali pada Perjanjian
Kerja, Peraturan perusahaan, atau Peraturan Kerja Bersama apakah ada aturan
yang membolehkan pengunduran diri kurang dari 30 hari. Apabila tidak ada, maka
yang berlaku adalah ketentuan Pasal 162 UUK.
Saudara menyebutkan mengenai uang pesangon yang notabene sebenarnya uang pesangon ditujukan apabila pemutusan hubungan kerja
dilakukan oleh perusahaan dan bukan karena pekerja mengundurkan diri (lihat Pasal 156 ayat [1] UUK).
Bagi pekerja yang mengundurkan diri, berlaku ketentuan dalam Pasal 162 UUK yang menjelaskan bahwa pekerja yang mengundurkan diri dapat memperoleh
uang penggantian hak dan uang pisah jika
diatur dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Uang penggantian hak ini meliputi (Pasal 156 ayat (4) UUK):
a. cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
b. biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan
keluarganya ke tempat di mana pekerja/buruh diterima bekerja;
c. penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan
ditetapkan 15% (lima belas perseratus) dari uang pesangon dan/atau uang
penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat;
d. hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian
kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
Lebih jauh simak artikel Uang Jasa atas
Pengunduran Diri, Adakah Batas Waktu Pembayaran Uang
Penggantiaan Hak? dan Tentang Uang Pisah.
Yang dapat kami sarankan adalah, Saudara sebaiknya melakukan upaya kekeluargaan
dengan melakukan negosiasi dengan pihak
Perusahaan mengenai hak Saudara atas uang penggantian hak tersebut, mengingat
pengunduran diri Saudara tidak memenuhi ketentuan yang seharusnya berlaku.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
Setiap artikel
jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum,
atau facebook Klinik Hukumonline.
Adakah Aturan Soal
Tunjangan Karyawan yang Dimutasi ke Daerah Lain?
Adakah Undang-Undang,
Peraturan Pemerintah, Permenaker atau Kepmenaker, yang mengatur tentang
kewajiban perusahaan untuk memberikan tunjangan/bantuan berupa uang kepada
karyawan apabila dimutasikan wilayah kerja lain dalam satu grup perusahaan
tersebut? Misal, si A tadinya lokasi kerja di daerah Kalsel kemudian karena
kebutuhan perusahaan si A suatu saat dimutasikan ke daerah Kaltim? Mohon
bantuan jawaban dan terima kasih atas penjelasannya.
Jawaban: Ilman Hadi
Kami asumsikan bahwa penempatan kerja atau mutasi tersebut hanya
dilakukan dalam wilayah Republik Indonesia dan hubungan kerja antara karyawan
dan perusahaan dibuat secara tertulis dengan perjanjian. Berdasarkan Pasal 54 ayat (1) huruf d UU No. 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan (“UUK”), perjanjian
kerja sekurang-kurangnya memuat tempat pekerjaan. Apabila tempat karyawan
bekerja memiliki cabang di beberapa daerah di Indonesia, ada kemungkinan ia
dipindahkan tempat kerjanya ke daerah lain.
Setiap wilayah provinsi atau kabupaten/kota dapat menetapkan
besaran upah minimum di daerahnya yang ditetapkan oleh Gubernur (lihat Pasal 89 UUK). Upah minimum ini biasanya dikenal dengan Upah Minimum Provinsi
(UMP). Besarnya UMP di tiap daerah biasanya berbeda-beda tergantung kebutuhan
hidup layak di daerahnya. Saat seorang karyawan dipindahkan tempat kerjanya
(mutasi) dari wilayah Provinsi Kalimantan Selatan ke wilayah Provinsi
Kalimantan Timur, maka yang disesuaikan adalah besaran upah minimum karyawan
tersebut yaitu harus mengikuti besaran jumlah upah minimum di wilayah
Kalimantan Timur.
Pengusaha dilarang membayarkan upah karyawan dibawah besaran upah
minimum di wilayah karyawan bekerja (lihat Pasal 90 ayat (1) UUK).
Mengenai kewajiban perusahaan untuk memberikan tunjangan kepada
karyawan yang dimutasi ke daerah lain, tidak diatur dalam peraturan
perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan. Akan tetapi, hal ini bisa saja
diatur di dalam dalam peraturan perusahaan (“PP”), perjanjian kerja (“PK”),
atau perjanjian kerja bersama (“PKB”). Karena itu, sebaiknya Anda melihat
kembali pada PP, PK, atau PKB, khususnya ketentuan mengenai mutasi karyawan ke
daerah lain. Lebih lanjut, Saudara dapat membaca artikel Bolehkah Karyawan Menolak
Penempatan Kerja/Mutasi?
Jadi, dalam peraturan perundang-undangan di bidang
ketenagakerjaan, tidak diatur kewajiban perusahaan untuk memberi tunjangan
kepada karyawan yang mengalami mutasi ke daerah lain. Mengenai hal ini dapat
diatur dalam PP, PK, atau PKB. Perusahaan wajib membayarkan upah karyawan
sesuai dengan besaran upah minimum di wilayah tujuan karyawan tersebut
dimutasi. Saudara dapat pula membaca artikel-artikel berikut ini:
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
Setiap artikel jawaban
Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau
facebook Klinik Hukumonline.
Apakah Ada Larangan
Suami-Istri Bekerja di Tempat yang Sama?
Apakah ada aturan yang
melarang suami istri bekerja di tempat yang sama?
Jawaban: Letezia Tobing
Pada dasarnya, tidak ada peraturan perundang-undangan yang
mengatur mengenai boleh-tidaknya suami istri bekerja di tempat yang sama. Akan
tetapi, undang-undang di bidang ketenagakerjaan memberikan kebebasan kepada
perusahaan untuk mengatur mengenai hal tersebut. Demikian sebagaimana diatur
dalam Pasal 153 ayat (1) huruf f Undang-Undang No. 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) yang berbunyi:
Pasal
153
(1) Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan
kerja dengan alasan:
a………………..;
…………………….
f. pekerja/buruh mempunyai pertalian darah
dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu
perusahaan, kecuali
telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian
kerja bersama;
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka Anda perlu melihat kembali
pada perjanjian kerja (“PK”), peraturan perusahaan (“PP”), atau perjanjian
kerja bersama (“PKB”) perusahaan tempat Anda bekerja. Jika di dalam PK, PP,
atau PKB terdapat aturan yang melarang suami istri bekerja pada
tempat/perusahaan yang sama, maka ketentuan itu mengikat para pekerja di
perusahaan tersebut. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (“KUHPer”) yang berbunyi:
“Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua
belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang.
Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.”
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
Setiap artikel jawaban
Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau
facebook Klinik Hukumonline.
Apakah Cuti Bersama
Mengurangi Cuti Tahunan?
Saya bekerja di
perusahaan pribadi. Saya bekerja di sini hanya mendapatkan hak cuti tahunan
sebanyak 10 hari, sedangkan ketentuan yang berlaku mengenai cuti tahunan adalah
12 hari, bagaimana dengan hal tersebut? Apakah ada ketentuan/peraturan tentang
cuti bersama dipotong cuti tahunan? Terima kasih.
Jawaban: Amrie Hakim
Menurut ketentuan Pasal 79 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan (“UUK”), pengusaha wajib
memberi waktu istirahat dan cuti kepada pekerja/buruh. Cuti tahunan sebagai
salah satu cuti yang menjadi hak setiap pekerja diatur dalam Pasal 79 ayat (2) huruf c UUK yang berbunyi:
“Cuti tahunan, sekurang kurangnya 12 (dua belas) hari kerja
setelah pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas) bulan
secara terus menerus.”
Berdasarkan ketentuan tersebut, pengusaha wajib memberikan waktu
cuti tahunan kepada pekerja sekurang-kurangnya 12 hari kerja setelah pekerja
itu bekerja selama 12 bulan (satu tahun) secara terus menerus. Dengan demikian,
menurut UUK hak cuti tahunan Anda adalah 12 hari kerja dalam satu tahun, dan
bukan 10 hari kerja.
Sedangkan, pertanyaan Anda selanjutnya adalah mengenai apakah cuti
bersama mengurangi cuti tahunan. Sebelumnya, perlu kami jelaskan bahwa
pelaksanaan cuti bersama pada sektor swasta mengacu pada Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor SE.302/MEN/SJ-HK/XII/2010 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan
Cuti Bersama di Sektor Swasta Tahun 2011 (“SE Menakertrans”).
Di dalam SE-Menakertrans tersebut dijelaskan sebagai berikut:
1. Cuti bersama merupakan
bagian dari pelaksanaan cuti tahunan yang dilakukan secara bersama-sama.
2. Pelaksanaan cuti bersama
bersifat fakultatif/pilihan yang dikaitkan dengan cuti tahunan pekerja/buruh
sesuai dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 21 Tahun 1954 tentang Penetapan Peraturan Istirahat Buruh.
3. Pekerja/buruh yang
bekerja pada hari-hari cuti bersama sesuai SKB, hak cuti tahunannya tidak
berkurang dan kepadanya dibayarkan upah seperti hari kerja biasa.
4. Pekerja/buruh yang
melaksanakan cuti pada hari-hari cuti bersama sesuai SKB, hak cuti yang
diambilnya diperhitungkan dengan dan mengurangi hak cuti tahunan pekerja/buruh
yang bersangkutan.
5. Cuti bersama bersifat
fakultatif/pilihan dan pelaksanaannya diatur berdasarkan kesepakatan antara
pengusaha dengan pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh sesuai
dengan kondisi dan kebutuhan operasional perusahaan.
Di dalam butir 1 SE Menakertrans tersebut dengan tegas dinyatakan
cuti bersama merupakan bagian dari pelaksanaan cuti tahunan. Karena itu, cuti
bersama akan mengurangi jatah cuti tahunan pekerja. Penjelasan lebih detail
soal cuti bersama dapat Anda simak dalam artikel Cuti Massal Karyawan
(Cuti Bersama).
Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
Setiap artikel jawaban
Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau
facebook Klinik Hukumonline.
Apakah Guru = Buruh?
Apakah guru dapat
dimasukkan kedalam golongan buruh beserta peraturan-peraturan perburuhan?
Karena kami didatangi dari Kementerian Tenaga Kerja agar guru-guru masuk ke
dalam kebijakan/peraturan perburuhan.
Jawaban: Letezia Tobing
Kami kurang jelas mengenai guru yang seperti apa yang Anda maksud,
apakah guru pendidikan non-formal, atau guru pendidikan formal. Untuk itu kami
akan mengasumsikan bahwa yang Anda maksud adalah guru pendidikan formal pada
sekolah-sekolah. Anda juga tidak menjelaskan lebih lanjut apakah guru ini adalah
guru pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat atau
pemerintah. Selain itu, untuk penyebutan peraturan perburuhan, dalam artikel
ini kami akan menggunakan istilah “peraturan ketenagakerjaan” sesuai dengan
yang digunakan dalam peraturan perundang-undangan yaitu “ketenagakerjaan”.
Sebenarnya, mengenai guru dan dosen sudah ada peraturan yang
mengaturnya yaitu UU No. 14 Tahun 2005 tentang
Guru dan Dosen, Peraturan Pemerintah No.
74 Tahun 2008 tentang Guru, serta peraturan pelaksana lainnya (“Peraturan Guru”). Perlu
diketahui bahwa Peraturan Guru tersebut hanya berlaku untuk guru dan dosen pada
pendidikan formal. Walaupun untuk guru dan dosen sudah ada peraturan yang
mengatur tersendiri, akan tetapi peraturan-peraturan ketenagakerjaan tetap
berlaku bagi guru. Ini karena berdasarkan Pasal 1 angka 3 UU No. 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”), pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima
upah atau imbalan dalam bentuk lain dan dalam Pasal 40 ayat (1) huruf a UU No. 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional, dikatakan bahwa salah satu hak dari guru (pendidik) adalah
memperoleh penghasilan dan jaminan kesejahteraan sosial yang pantas dan
memadai. Oleh karena guru juga adalah orang yang bekerja dengan menerima upah
(atau imbalan dalam bentuk lain), maka guru juga merupakan pekerja/buruh dan
tunduk kepada peraturan ketenagakerjaan.
Apabila terdapat kesamaan pengaturan antara peraturan
ketenagakerjaan dengan Peraturan Guru, maka berdasarkan asas lex specialis derogat legi generalis, aturan hukum yang lebih khusus (Peraturan
Guru) akan mengesampingkan aturan hukum yang umum (peraturan ketenagakerjaan),
dengan ketentuan bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih khusus sederajat
dengan peraturan perundang-undangan yang lebih umum serta berada di dalam
lapangan hukum yang sama (misalnya sama-sama di lingkungan hukum perdata).
Akan tetapi, peraturan ketenagakerjaan tersebut hanya akan berlaku
pada guru yang bekerja pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh
masyarakat (swasta). Untuk guru yang bekerja pada satuan pendidikan yang
diselenggarakan oleh pemerintah, guru tersebut akan tergolong sebagai Pegawai Negeri Sipil,
maka peraturan ketenagakerjaan tidak berlaku pada guru tersebut. Yang berlaku
adalah UU No. 8 Tahun 1974 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 43 Tahun 1999
tentang Perubahan Atas UU Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (“UU Pokok-pokok Kepegawaian”). Lebih lanjut
Anda dapat membaca artikel Jam Kerja PNS.
Sebagai tambahan, terkadang ada manajemen sekolah yang beranggapan
bahwa sekolah adalah yayasan nirlaba sehingga tidak bisa disamakan dengan
perusahaan sehingga menolak menggunakan peraturan-peraturan ketenagakerjaan.
Padahal, berdasarkan Pasal 1 angka 4 UU
Ketenagakerjaan, pemberi kerja adalah
orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-badan lainnya yang
mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
Oleh karena itu, sekolah juga adalah pemberi kerja dan tunduk pada peraturan
ketenagakerjaan sama seperti perusahaan dengan buruh-buruhnya (sepanjang tidak
diatur oleh Peraturan Guru).
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
1. Undang-Undang No. 8 Tahun
1974 sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang No. 43
Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang
Pokok-Pokok Kepegawaian
Setiap artikel jawaban
Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau
facebook Klinik Hukumonline.
Komentar
Posting Komentar