Naker



Jika Upah Pokok di Bawah UMP

Saya bekerja di daerah Tangerang yang UMP tahun 2012 sebesar Rp.1.529.150.- Gaji pokok saya (sebesar Rp695.000) + tunjangan tidak tetap (Rp52.500). Jadi, saya terima = 695.000 + (57.250x15 hari kerja) = Rp1.553.750.- Tetapi, bila saya tidak masuk 2 hari, tunjangan tidak tetap dikurangi hari tidak masuk = 695.000 + (57.250x13 hari) = Rp1.439.250.- Jadi saya terima di bawah UMP. Apakah benar hitungannya begitu?
Bapak Koencoro yang kami hormati,
Kami menyampaikan ucapan terima kasih sebelumnya atas pertanyaan Bapak yang telah dikirimkan kepada kami.
Jumlah upah minimum yang diterima seorang pekerja setiap bulannya adalah berbeda-beda dan besarnya upah minimum tersebut ditentukan oleh wilayah/provinsi dimana pekerja tersebut bekerja. Hal ini tampak sebagaimana penjelasan dari Bapak yaitu Upah Minimum Provinsi (“UMP”) di mana Bapak bekerja (Tangerang) adalah sebesar Rp1.529.000,-. UMP tersebut tentunya berbeda dengan UMP di wilayah/provinsi-provinsi yang lain.
Namun demikian, sebagai informasi, terdapat beberapa ketentuan yang mengatur mekanisme atau cara penentuan besarnya upah minimum, yaitu antara lain: Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI No. PER-01/MEN/1999 tentang Upah Minimum (“PERMEN No. 1 Tahun 1999”) sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI No. KEP-226/MEN/2000 (“KEPMEN No. 226 Tahun 2000”), Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 13 Tahun 2012 tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak (“PERMEN No. 13 Tahun 2012”), dan juga secara umum diatur di dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UUK”).
Berdasarkan PERMEN No.1 Tahun 1999, KEPMEN No. 226 Tahun 2000, PERMEN No. 13 Tahun 2012, serta ketentuan dalam UUK, upah minimum hanya berlaku bagi pekerja yang mempunyai masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun. Dengan kata lain, bagi pekerja yang telah bekerja lebih dari satu tahun, tidak diberlakukan ketentuan upah minimum melainkan ada mekanisme peninjauan upah ataukenaikan upah berkala yang besarnya ditentukan berdasarkan hasil perundingan pekerja dengan pengusaha.

Apabila dikaitkan dengan pertanyaan Bapak di atas, maka yang perlu dicermati dari penjelasan Bapak adalah antara lain mengenai pengertian Upah Minimum, Upah, dan Tunjangan Tidak Tetap.
Pengertian upah minimum sebagaimana diatur di dalam Pasal 1 angka 1 PERMEN No. 1 Tahun 1999 disebutkan sebagai berikut: “Upah Minimum adalah upah bulanan terendah yang terdiri dari upah pokok termasuk tunjangan tetap”. Dengan demikian upah minimum bagi pekerja yang masa kerjanya kurang dari satu tahun itu harus serendah-rendahnya terdiri dari upah pokok dan tunjangan tetap. Sedangkan, upah secara umum yang dibayarkan setiap bulannya kepada pekerja berdasarkan Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja No. SE-07/MEN/1990 tentang Pengelompokan Komponen Upah dan Pendapatan Non Upah antara lain terdiri dari upah pokok, tunjangan tetap, dan tunjangan tidak tetap. (Lihat Amar 1 Surat Edaran tersebut) .
1.    Upah Pokok, yaitu imbalan dasar yang dibayarkan kepada pekerja menurut tingkat atau jenis pekerjaan yang besarnya ditetapkan berdasarkan kesepakatan.
2.    Tunjangan Tetap, yaitu suatu pembayaran yang teratur berkaitan dengan pekerjaan yang diberikan secara tetap untuk pekerja dan keluarganya serta dibayarkan dalam satuan waktu yang sama, dengan pembayaran upah pokok, seperti Tunjangan Istri; Tunjangan Anak; Tunjangan Perumahan; Tunjangan Kemahalan; Tunjangan Daerah dan lain-lain. Tunjangan Makan dan Tunjangan Transport dapat dimasukkan dalam komponen tunjangan tetap apabila pemberian tunjangan tersebut tidak dikaitkan dengan kehadiran, dan diterima secara tetap oleh pekerja menurut satuan waktu, harian atau bulanan.
Selain itu berdasarkan Penjelasan Pasal 94 UUK disebutkan bahwa yang dimaksud tunjangan tetap adalah “pembayaran kepada pekerja/buruh yang dilakukan secara teratur dan tidak dikaitkan dengan kehadiran pekerja/buruh atau pencapaian prestasi kerja tertentu”.
3.    Tunjangan Tidak Tetap, yaitu suatu pembayaran secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan pekerja, yang diberikan secara tidak tetap untuk pekerja dan keluarganya serta dibayarkan menurut satuan waktu yang tidak sama dengan waktu pembayaran upah pokok, seperti Tunjangan Transport yang didasarkan pada kehadiran, Tunjangan Makan dapat dimasukkan ke dalam tunjangan tidak tetap apabila tunjangan tersebut diberikan atas dasar kehadiran (pemberian tunjangan biasa dalam bentuk uang atau fasilitas makan).
Dengan demikian, jika dikaitkan dengan pertanyaan Bapak, maka seharusnya upah pokok yang Bapak dapatkan perbulan adalah sekurang-kurangnya sebesar UMP, karena Bapak tidak mendapatkan tunjangan tetap.
Selanjutnya, Bapak juga menyampaikan bahwa tunjangan tidak tetap yang Bapak terima dikurangi apabila Bapak tidak masuk kerja. Hal ini bisa saja terjadi karena tunjangan tidak tetap sebagaimana disebutkan di atas adalah tunjangan yang dibayarkan secara tidak tetap per-bulannya yang ditentukan berdasarkan kehadiran/prestasi seorang pekerja. Dengan demikian, apabila Bapak tidak masuk dan nilai tunjangan tidak tetap yang Bapak terima berkurang berdasarkan ketidakhadiran tersebut, hal tersebut tidak melanggar hukum. Namun demikian, agar lebih jelasnya Bapak dapat melihat kembali peraturan yang berlaku di perusahaan, baik itu Peraturan Perusahaan (“PP”) maupun Perjanjian Kerja Bersama (“PKB”) apabila memang di perusahaan tempat Bapak bekerja ada Serikat Pekerja-nya mengenai perhitungan upah Bapak.

Di samping itu, juga harus diperhatikan bahwa dengan pengurangan tunjangan tidak tetap berarti upah yang Bapak terima (take home pay) kurang dari upah minimum. Hal ini bertentangan dengan ketentuan Pasal 90 ayat (1) UUK yang menyebutkan: “Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89”. Namun demikian, ketentuan ini dikecualikan apabila pengusaha atau perusahaan telah mengajukan penangguhan kepada Menteri karena ketidakmampuannya membayar upah di atas atau sama dengan upah minimum (lihat Pasal 90 ayat [2] UUK).
Dengan demikian, berdasarkan uraian di atas, terdapat indikasi perusahaan tempat Anda bekerja melanggar ketentuan Pasal 90 ayat (1) UUK karena membayar upah di bawah upah minimum. Pelanggaran terhadap pasal tersebut diancam dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp100 juta dan paling banyak Rp400 juta (lihat Pasal 185 UUK).
Demikian, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
2.   Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI No. PER-01/MEN/1999 jo. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republlik Indonesia Nomor KEP-226/MEN/2000 tentang Upah Minimum
3.   Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 13 Tahun 2012tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak
4.   Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja No. SE-07/Men/1990 tentang Pengelompokan Upah dan Pendapatan Non Upah;

Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.

Karena Buta Hukum, 10 Tahun Berstatus Karyawan Kontrak
Saya bekerja di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang jasa. Saya dan kawan-kawan telah bekerja selama 10 tahun, setiap tahunnya kami harus membuat kontrak baru untuk tetap bekerja. Sekarang perusahaan tempat kami akan dijual. Kami buta akan hukum, saya harap forum ini dapat memberi pencerahan pada kami. Yang jadi pertanyaan kami adalah: 1. Mengingat lamanya kami bekerja, apakah perusahaan melanggar UU Ketenagakerjaan tentang tidak ada lagi kontrak setelah tahun ketiga? 2. Jika perusahan kami dijual, apa saja hak kami sebagai karyawan kontrak?

Jawaban: Ilman Hadi
1.    Yang sering disebut dengan karyawan (buruh/pekerja) kontrak pada umumnya adalah buruh/pekerja yang bekerja berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (“PKWT”). PKWT diatur antara lain dalam Pasal 59 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ("UUK") yang berbunyi sebagai berikut:

(1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu:
a.    pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
b.    pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;
c.    pekerjaan yang bersifat musiman; atau
d.    pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
(2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap.
(3) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dapat diperpanjang atau diperbaharui.
(4) Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.
(5) Pengusaha yang bermaksud memperpanjang perjanjian kerja waktu tertentu tersebut, paling lama 7 (tujuh) hari sebelum perjanjian kerja waktu tertentu berakhir telah memberitahukan maksudnya secara tertulis kepada pekerja/buruh yang bersangkutan.
(6) Pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat diadakan setelah melebihi masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu yang lama, pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu ini hanya boleh dilakukan 1 (satu) kali dan paling lama 2 (dua) tahun.
(7) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) maka demi hukum menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu.
(8) Hal-hal lain yang belum diatur dalam Pasal ini akan diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.
 Jadi berdasarkan ketentuan di atas, karena Anda dan rekan-rekan sudah bekerja selama 10 tahun, maka demi hukum status Anda dan rekan-rekan bukan lagi sebagai pegawai kontrak yang diikat dengan PKWT tetapi menjadi pegawai tetap yang diikat Perjanjian Kerja Waktu Tidak tertentu ("PKWTT").
 Perlu Anda ketahui bahwa pembaruan PKWT hanya dapat dilakukan 1 (satu) kali maksimal 2 (dua) tahun. Sementara, menurut cerita Anda, pembaruan PKWT Anda dan rekan-rekan dilakukan setiap tahun selama 10 tahun.
 Konsekuensi jika pembaharuan perjanjian kerja tidak dilakukan sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 59 ayat [6] UUK yaitu demi hukum PKWT tersebut menjadi PKWTT.
 Sebagai kesimpulan, pekerja dengan PKWT hanya dapat diperpanjang 1 (satu) kali dan diperbaharui 1 (satu) kali, sehingga bila dihitung secara keseluruhan masa PKWT beserta perpanjangan dan pembaharuan yang dimungkinkan maksimal adalah 5 (lima) tahun. Simak juga artikel Ketentuan Perpanjangan dan Pembaharuan PKWT Bagi Karyawan Kontrak.
 2.    Perjanjian kerja tidak menjadi berakhir dengan perubahan kepemilikan perusahaan tempat Saudara bekerja (lihatPasal 61 ayat [2] UUK). Namun, dalam Pasal 163 UUK diatur ketentuan mengenai pengakhiran hubungan kerja (“PHK”) - baik oleh pengusaha yang sudah tidak bersedia menerima pekerja/buruh, atau oleh pekerja/buruh yang tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja - karena terjadinya perubahan status, penggabungan, peleburan, atauperubahan kepemilikan. Dalam pasal yang sama diatur pula hak-hak buruh/pekerja dalam hal PHK karena terjadinya perubahan status, penggabungan, peleburan, atau perubahan kepemilikan. Bunyi Pasal 163 UUK adalah sebagai berikut:
 (1) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dalam hal terjadi perubahan status, penggabungan, peleburan, atau perubahan kepemilikan perusahaan dan pekerja/buruh tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja, maka pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang perhargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4).
 (2) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perubahan status, penggabungan, atau peleburan perusahaan, dan pengusaha tidak bersedia menerima pekerja/buruh di perusahaannya, maka pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan dalam Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4).
 Mengenai Pasal 163 UUK, Umar Kasim dalam artikel Mekanisme Pelaksanaan Pasal 163 UU No. 13/2003, menjelaskan antara lain:
 “Teknis pelaksanaan (prosedur) PHK dalam pasal 163 UU No.13/2003, pada dasarnya merujuk pada ketentuan pasal 151 ayat (2) dan ayat (3) UU No.13/2003, bahwa setiap pemutusan hubungan kerjawajib dirundingkan (sesuai mekanisme bipartit), baik perundingan mengenai alasan PHK-nya maupun perundingan menyangkut hak-hak atau kewajiban yang harus ditunaikan. Termasuk PHK karenacorporate action sebagaimana tersebut dalam Pasal 163 UU No.13/2003. Apabila perundingan - sebagaimana dimaksud - gagal, maka hanya dapat dilakukan pemutusan hubungan kerja setelah memperoleh penetapan (“izin”) dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial (c.q.Pengadilan Hubungan Industrial).”
 Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebookKlinik Hukumonline.

Kewajiban Tempat Kerja Menyediakan Tempat Merokok
Di perusahaan tempat kerja saya mulai tahun depan tempat khusus merokok ditiadakan. Adakah undang-undang tentang adanya tempat khusus merokok di tempat kerja? Apa dasar saya agar tempat khusus merokok tetap ada?

Jawaban:  Ilman Hadi
Pada prinsipnya, berdasarkan Pasal 115 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (“UU Kesehatan”) tempat kerja merupakan tempat kerja merupakan salah satu Kawasan Tanpa Rokok (“KTR”).

Adapun pengaturan soal tempat khusus merokok terdapat di dalam penjelasan penjelasan Pasal 115 ayat (1) UU Kesehatan yang berbunyi:

“Khusus bagi tempat kerja, tempat umum, dan tempat lainnya dapat menyediakan tempat khusus untuk merokok.”

Akan tetapi, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan MK No. 57/PUU-IX/2011 telah mengabulkan pengujian kata “dapat” pada penjelasan Pasal 115 ayat (1) UU Kesehatan dan menyatakan kata “dapat” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Berdasarkan artikel Pemerintah Wajib Sediakan Tempat Khusus Merokok, dengan putusan tersebut, MK mewajibkan pemerintah daerah menyediakan tempat khusus merokok di tempat kerja, di tempat umum, dan di tempat lainnya

Penetapan KTR merupakan salah satu bentuk pengamanan zat adiktif agar tidak mengganggu dan membahayakan kesehatan perseorangan, keluarga, masyarakat, dan lingkungan (lihat Pasal 113 UU Kesehatan).

Pengaturan lebih lanjut mengenai pengamanan zat adiktif terutama rokok mengacu pada ketentuan PP No. 19 Tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan (“PP 19/2003”), karena berdasarkan Pasal 203 UU Kesehatan,semua peraturan pelaksanaan dari UU Kesehatan yang terdahulu dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini. Menurut Pasal 22 dan Pasal 23 PP 19/2003, disebutkan:

Pasal 22 PP 19/2003
Tempat umum, sarana kesehatan, tempat kerja dan tempat yang secara spesifik sebagai tempat proses belajar mengajar, arena kegiatan anak, tempat ibadah dan angkutan umum dinyatakan sebagai kawasan tanpa rokok.

Pasal 23 PP 19/2003
Pimpinan atau penanggung jawab tempat umum dan tempat kerja yang menyediakan tempat khusus untuk merokok harus menyediakan alat penghisap udara sehingga tidak mengganggu kesehatan bagi yang tidak merokok.

Pengertian dari tempat kerja menurut Pasal 1 angka 9 PP 19/2003 adalah:

“…tiap ruangan atau lapangan, tertutup atau terbuka, bergerak atau tetap di mana tenaga kerja bekerja, atau yang sering dimasuki tenaga kerja untuk keperluan suatu usaha dan dimana terdapat sumber atau sumber-sumber bahaya.”

Di dalam peraturan lain yaitu Pasal 3 Peraturan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri No. 188/MENKES/PB/I/2011; 7 Tahun 2011 tentang Pedoman Pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok (“Peraturan Bersama 188/2011”), tempat kerja termasuk KTR dan pimpinan/penanggung jawab tempat kerja wajib menetapkan dan menerapkan KTR.

Tempat kerja dapat menyediakan tempat khusus untuk merokok dengan memenuhi persyaratan (Pasal 5 Peraturan Bersama 188/2011) :
a.    merupakan ruang terbuka atau ruang yang berhubungan langsung dengan udara luar sehingga udara dapat bersirkulasi dengan baik:
b.    terpisah dari gedung/tempat/ruang utama dan ruang lain yang digunakan untuk beraktivitas;
c.    jauh dari pintu masuk dan keluar; dan
d.    jauh dari tempat orang berlalu-lalang
Bagimana jika ada orang yang merokok di dalam tempat kerja? Oleh karena tempat kerja termasuk KTR, setiap orang yang melakukan pelanggaran atas KTR diancam dengan denda paling banyak Rp50 juta (Pasal 199 ayat [2] UU Kesehatan)
Pengaturan lebih lanjut mengenai KTR termasuk sanksi atas pelanggaran KTR di provinsi maupun kabupaten/kota diatur dengan Peraturan Daerah masing-masing, sanksi untuk badan hukum atau badan usaha dikenakan sanksi administratif dan/atau denda (Pasal 6 Peraturan Bersama 188/2011). 
Jadi, tempat kerja merupakan salah satu Kawasan Tanpa Rokok. Pimpinan atau penanggung jawab tempat kerja dan pihak pemerintah wajib menyediakan tempat khusus untuk merokok dengan memenuhi persyaratan yang telah disebutkan.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
3.    Peraturan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri Nomor 188/MENKES/PB/I/2011; 7 Tahun 2011 tentang Pedoman Pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok

Putusan:
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 57/PUU-IX/2011 tanggal 17 April 2012
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebookKlinik Hukumonline.


Masalah Ganti Rugi dan Penahanan Ijazah Karena Pengunduran Diri

Saya memiliki teman yang baru lulus dari sebuah universitas negeri di Semarang. Setelah ia mendapat ijazah, ia bekerja pada sebuah bank perkreditan. Baru dua bulan bekerja, ia memutuskan keluar karena tidak betah. Namun, perusahaan tersebut menahan ijazah asli teman saya itu, dan meminta Rp25 juta jika ingin keluar. Tolong penjelasannya atas permasalahan tersebut, apakah dilegalkan dari segi hukum?
Jawaban:  Letezia Tobing
Berdasarkan pertanyaan tersebut, Saudara tidak memberitahukan apakah pekerjaan tersebut merupakan pekerjaan dengan perjanjian kerja waktu tertentu atau pekerjaan dengan perjanjian kerja waktu tidak tertentu. Untuk itu pertama-tama kami akan menjelaskan tentang kedua macam perjanjian kerja ini. 
Menurut ketentuan Pasal 59 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU 13/2003”), perjanjian kerja untuk waktu tertentu (“PKWT”) hanya dapat dibuat untuk pekerjaan yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu:
a.            pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
b.            pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;
c.            pekerjaan yang bersifat musiman; atau
d.            pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
Apabila Saudara ingin mengetahui lebih rinci mengenai PKWT, saudara dapat simak artikel Ketentuan Perpanjangan dan Pembaharuan PKWT Bagi Karyawan Kontrak.
Sedangkan, perjanjian kerja waktu tidak tertentu (“PKWTT”) adalah perjanjian kerja yang tidak menetapkan jangka waktu ikatan kerja pegawai tersebut. Pegawai yang bekerja dengan perjanjian kerja waktu tidak tertentu merupakan pegawai tetap perusahaan tersebut.
Pada kondisi pertama, yaitu dalam hal teman Anda bekerja dengan PKWT dan ingin mengundurkan diri sebelum berakhirnya jangka waktu kerja yang ditetapkan dalam PKWT, maka berdasarkan Pasal 62 UU 13/2003 teman Anda sebagai pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada perusahaan sebesar upah teman Saudara selama jangka waktu PKWT yang tersisa. Misalkan, PKWT tersebut untuk jangka waktu 1 tahun, maka teman Saudara yang baru bekerja selama 2 bulan, harus membayar ganti rugi sebanyak 10 kali gaji teman Saudara.

Berdasarkan Pasal 61 ayat (1) UU 13/2003, pembayaran ganti rugi tersebut tidak terjadi apabila pengakhiran hubungan kerja terjadi karena:
a.    pekerja meninggal dunia;
b.    berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja;
c.    adanya putusan pengadilan dan/atau putusan atau penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; atau
d.    adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.

Dalam kondisi tersebut, maka teman Saudara hanya harus membayar ganti rugi berdasarkan sisa waktu PKWT yang tidak dipenuhi. Adapun soal penahanan ijazah oleh perusahaan, hal tersebut mungkin dimaksudkan agar teman Saudara melaksanakan kewajibannya membayar ganti rugi tersebut. Walaupun, menurut kami, hal tersebut tidak diperlukan karena apabila teman Saudara tidak membayar ganti rugi, perusahaan dapat mengajukan gugatan atas dasar wanprestasi atas PKWT tersebut.

Dalam hal ini, teman Saudara perlu memastikan bahwa di dalam perjanjian kerja antara dia dengan perusahaan telah diperjanjikan, misalnya bahwa perusahaan berhak menahan ijazah selama ganti rugi belum dibayarkan. Apabila diperjanjikan demikian, dan telah disepakati oleh para pihak, maka ketentuan tersebut berlaku bagi teman Saudara. Karena berdasarkan Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”) perjanjian yang dibuat secara sah oleh para pihak berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya, maka secara hukum para pihak wajib memenuhi isi perjanjian yang telah disepakati itu. Penjelasan lebih lanjut, Saudara dapat membaca artikel-artikel:
-      Penahanan Ijazah (2),
Sedangkan pada kondisi kedua, yaitu apabila perjanjian kerja teman Saudara adalah PKWTT, dalam Pasal 162 ayat (3) UUK diatur mengenai syarat bagi pekerja/buruh PKWTT yang mengundurkan diri yaitu:
a.    mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri;
b.    tidak terikat dalam ikatan dinas; dan
c.    tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran diri.

Untuk selengkapnya Saudara dapat membaca artikel Aturan Jangka Waktu Pemberitahuan Pengunduran Diri [One Month Notice]). 
Jadi, pengunduran diri pekerja PKWTT harus memenuhi ketentuan yang diatur Pasal 162 ayat (3) UUK tersebut.
Ketentuan mengenai denda dari perusahaan sebesar Rp25 juta yang teman Saudara hadapi boleh jadi berkaitan dengan perjanjian ikatan dinas sebagaimana dimaksud Pasal 162 ayat (3) huruf b UUK. Di dalam perjanjian tersebut mungkin saja diperjanjikan bahwa dalam kurun waktu tertentu dia tidak boleh mengundurkan diri dan pengunduran diri akan menyebabkan sanksi berupa denda. Jika demikian halnya, maka teman Saudara harus membayar denda tersebut. Karena berdasarkan Pasal 1338 KUHPer, perjanjian yang dibuat secara sah oleh para pihak berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya, maka secara hukum para pihak wajib memenuhi isi perjanjian yang telah disepakati itu. Penjelasan selengkapnya simak artikel-artikel berikut:
- Ikatan Dinas, dan
 Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.
 Dasar hukum:
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebookKlinik Hukumonline.

Komentar

Postingan Populer