Naker



Perlindungan Upah dan Kesejahteraan Pekerja Outsourcing Pasca-Putusan MK

Saya karyawan outsourcing, di tempat saya bekerja seluruh karyawan outsourcing tidak mendapatkan jamsostek, pesangon, dan THR, hanya gaji sebesar Rp50.080 per hari dan jika hari libur masuk tidak dibayar lembur, hanya dapat tambahan Rp9.000 jika 8 jam kerja dan Rp5.000 jika 5 jam kerja. Apa bisa kami karyawan outsourcing menuntut?  

Jawaban:  Heri Aryanto, S.H.

Bapak/Ibu yang terhormat,

Penyerahan sebagian pekerjaan dari Perusahaan Pemberi Kerja kepada Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh, (biasa kita mengenalnya dengan sebutan “Perusahaan Outsourcing”), harus mendasarkan pada ketentuan dan syarat-syarat sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 64 dan Pasal 66 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UUK”) dan secara teknis diatur lebih lanjut dalamKeputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. KEP.101/MEN/VI/ 2004 Tahun 2004 tentang Tata Cara Perijinan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh (“Kepmen No. 101 Tahun 2004).

Setelah adanya uji materi (judicial review) terhadap Pasal 59 dan Pasal 64 UUK, dan kemudian melahirkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011, tertanggal 17 Januari 2012, maka selanjutnya terbitlah Surat Edaran Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI Nomor: B.31/PHIJSK/I/2012 tentang Pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011. Berdasarkan Surat Edaran tersebut yang dihubungkan dengan pertimbangan hukum dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011, hubungan kerja antara PerusahaanOutsourcing dengan pekerja/buruh dapat dilakukan/diperjanjikan melalui Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu/Pekerjaan Tetap (“PKWTT”) atau melalui Perjanjian Kerja Waktu Tertentu/Kontrak (“PKWT”). Apabila hubungan kerja diperjanjikan dengan PKWT, pekerja harus tetap mendapat perlindungan atas hak-haknya sebagai pekerja dengan menerapkan prinsip pengalihan tindakan perlindungan bagi pekerja (Transfer of Undertaking Protection of Employment atau TUPE), apabila terjadi pergantian perusahaan pemberi kerja atau perusahaan outsourcing.

Berkaitan dengan pertanyaan Bapak/Ibu di atas, kami tidak menemukan penjelasan yang detail apakah Bapak/Ibu bekerja pada perusahaan outsourcing melalui PKWTT atau PKWT. Namun, jika melihat realitas praktik penerapan outsourcing di Indonesia yang dominan dilakukan dengan sistem PKWT, maka kami mengasumsikan bahwa hubungan kerja antara Bapak/Ibu dengan perusahaan outsourcingdilakukan melalui PKWT/Kontrak.

Berdasarkan pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam putusannya Nomor 27/PUU-IX/2011 dan Penjelasan Pasal 66 ayat (2) huruf (c) UUK, pekerja yang bekerja pada perusahaan outsourcingsesuai dengan perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama, memperoleh hak (yang sama) atas perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan yang timbul, dengan pekerja di perusahaan pemberi kerja (fair benefits and welfare). Dengan demikian, pekerja yang bekerja di perusahaan pemberi kerja melalui perusahaan outsourcing, baik dengan PKWTT maupun PKWT, berhak mendapatkan upah dan kesejahteraan yang sama seperti pekerja yang bekerja pada perusahaan pemberi kerja yang tidak melalui perusahaan outsourcing. Perlindungan upah dan kesejahteraan tersebut harus dimasukkan atau dimuat dalam klausul perjanjian kerja antara pekerja dengan perusahaan outsourcing. Apabila tidak dimuat dalam perjanjian kerja, maka perlindungan tersebut merujuk pada peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Apabila dalam peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama juga tidak diatur, maka perlindungan upah dan kesejahteraan merujuk pada ketentuan yang diatur di dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Berdasarkan ketentuan Pasal 88 ayat (3) UUK, perlindungan terhadap upah pekerja/buruh meliputi :
a.      upah minimum;
b.      upah kerja lembur;
c.      upah tidak masuk kerja karena berhalangan;
d.      upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya;
e.      upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya.

Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, maka Bapak/Ibu selain berhak mendapatkan upah yang biasa dihitung per hari Rp. 50.080,-,  juga berhak atas upah kerja lembur (upah lembur), dan upah-upah lain sebagaimana disebutkan di atas. Upah lembur adalah hak yang diterima pekerja yang telah bekerja melebihi waktu kerja. Artinya, jika Bapak/Ibu bekerja lebih dari jam kerja yang ditentukan dan/atau tetap bekerja pada hari libur, maka dihitung sebagai kerja lembur yang berhak mendapatkan upah lembur. Upah lembur tersebut wajib diberikan oleh pengusaha kepada pekerja, yang mana perhitungannya berdasarkan Pasal 8 ayat (2) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP.102/MEN/VI/ 2004 Tahun 2004 tentang Waktu Kerja Lembur dan Waktu Kerja Lembur(“Kepmen No. 102 Tahun 2004”), yaitu se-jam sama dengan 1/173 dikali upah sebulan. Untuk upah sebulan Bapak/Ibu yang dihitung perhari, maka berdasarkan ketentuan Pasal 9 ayat (1) Kepmen No. 102 Tahun 2004 tersebut, upah sebulan adalah upah sehari dikalikan 25 (dua puluh lima) bagi pekerja yang bekerja 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau dikalikan 21 (dua puluh satu) bagi pekerja/buruh yang bekerja 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu. Dengan demikian, menurut kami, tindakan perusahaan yang tidak memberikan upah lembur atas kerja lembur pada hari libur, serta memperhitungkan upah lembur sebesar Rp9.000,- (sembilan ribu rupiah) - jika 8 jam kerja dan Rp5.000,- (lima ribu rupiah) jika 5 jam kerja, merupakan tindakan yang tidak sesuai dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, sehingga Bapak/Ibu mempunyai alas hak untuk menuntut baik secara langsung kepada perusahaan, atau apabila mekanisme tersebut gagal, Bapak/Ibu dapat mencatatkan permasalahan Bapak/Ibu sebagai perselisihan hak kepada Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang mewilayahi tempat kerja Bapak/Ibu.

Sedangkan, mengenai Jaminan Sosial Tenaga Kerja (“Jamsostek”), adalah hak sekaligus jaminan perlindungan yang diberikan terhadap pekerja, yang wajib didaftarkan oleh perusahaan yang mempekerjakan minimal 10 orang atau lebih, atau membayar upah pekerja paling sedikit Rp1.000.000,- (satu juta rupiah). Ketentuan mengenai Jamsostek dan pelaksanannya diatur di dalam UU No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (“UU Jamsostek”) dan PP No. 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja (“PP Jamsostek”), yang telah beberapa kali diubah, terakhir dengan PP No. 84 Tahun 2010, serta diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Permenakertrans). Oleh karenanya, baik pekerja yang bekerja berdasarkan PKWTT maupun PKWT, berhak untuk didaftarkan dalam program Jamsostek. Apabila ternyata Bapak/Ibu tidak didaftarkan dalam Program Jamsostek oleh perusahaan, maka Bapak/Ibu berhak menuntut dan Perusahaan/Pengusaha bertanggung jawab dan wajib memberikan hak-hak yang seharusnya diberikan kepada Bapak/Ibu, yang jenis dan besarannya sebagaimana diatur di dalam UU Jamsostek .

Selanjutnya, oleh karena kami mengasumsikan Bapak/Ibu bekerja berdasarkan PKWT/Kontrak, maka terkait pesangon yang Bapak/Ibu tanyakan, yang berlaku adalah ketentuan Pasal 62 UUK, yaitu didasarkan pada jangka waktu berakhirnya perjanjian kerja antara Bapak/Ibu dengan perusahaanoutsourcing. Apabila sebelum berakhirnya jangka waktu PKWT, perusahaan memutus atau mengakhiri hubungan kerja, maka Bapak/Ibu berhak mendapatkan ganti rugi sebesar upah sampai batas waktu berakhirnya perjanjian kerja, dan sebaliknya apabila Bapak/Ibu yang berinisiatif mengakhiri hubungan kerja, maka Bapak/Ibu yang mempunyai kewajiban memberikan ganti rugi kepada Perusahaan, kecuali disepakati lain oleh kedua belah pihak. Oleh karenanya, berdasarkan asumsi dan uraian tersebut, Bapak/Ibu tidak berhak atas uang pesangon, penghargaan masa kerja dan pergantian hak, sebagaimana diatur di dalam Pasal 156 UUK, melainkan Bapak/Ibu berhak mendapatkan dan menuntut uang ganti rugi (note: apabila perusahaan memutus sebelum berakhirnya perjanjian kerja) dan hak-hak lainnya yang diatur di dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.

Pasal 62 UUK:
Apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian kerja waktu tertentu, atau berakhirnya hubungan kerja bukan karena ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1), pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.
Namun perlu dilihat juga, apakah PKWT antara Bapak/Ibu dengan perusahaan outsourcing tersebut telah memuat klausul perlindungan terhadap hak-hak dan kesejahteraan pekerja. Apabila hal tersebut tidak dimuat, maka perjanjian kerja tersebut harus dibuat/dinyatakan sebagai PKWTT, sehingga apabila terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK), pekerja berhak atas uang pesangon, penghargaan masa kerja dan pergantian hak sebagaimana diatur di dalam Pasal 156 UUK. Apabila perusahaan menolak untuk memberikan hak-hak tersebut, maka Bapak/Ibu dapat mencatatkan permasalahan/perselisihan tersebut kepada Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang mewilayahi tempat kerja Bapak/Ibu.

Kemudian, mengenai pertanyaan Bapak/ibu tentang Tunjangan Hari Raya (THR), maka  dengan mendasarkan pada ketentuan Pasal 2 ayat (1) Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. PER-04/MEN/1994 Tahun 1994 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Pekerja di Perusahaan (“Permen No.04 Tahun 1994”), bahwa Tunjangan Hari Raya (“THR”) wajib diberikan oleh Pengusaha kepada pekerja yang telah mempunyai masa kerja 3 bulan secara terus menerus atau lebih. Di dalam Pasal 1 huruf (c) Permen No.04 Tahun 1994 dinyatakan bahwa yang dimaksud “pekerja” adalah tenaga kerja yang bekerja pada pengusaha dengan menerima upah. Dengan demikian, berdasarkan ketentuan tersebut, maka THR diberikan kepada pekerja tanpa membedakan apakah pekerja tersebut adalah pekerja tetap (PKWTT) atau pekerja kontrak (PKWT), dengan ketentuan sebagaimana diatur di dalam Pasal 6 ayat (1) dan (2) Permen No.04 Tahun 1994,  yaitu apabilapekerja yang di-PHK maksimum 30 hari sebelum Hari Raya Keagamaan pekerja tetap berhak mendapatkan THR. Sedangkan untuk pekerja PKWT/kontrak, apabila masa kontraknya berakhir paling lama 30 hari sebelum Hari Raya Keagamaan, maka pekerja tersebut tidak berhak atas THR.

Perhitungan besarnya perhitungan THR adalah didasarkan pada ketentuan Pasal 3 Permen No. 04 Tahun 1994, sebagai berikut:
a.             Pekerja yang telah mempunyai masa kerja 12 bulan secara terus menerus atau lebih sebesar 1 (satu) bulan upah.
b.             Pekerja yang telah mempunyai masa kerja 3 bulan secara terus menerus tetapi kurang dari 12 bulan diberikan secara proporsional dengan masa kerja, yakni dengan perhitungan:

c.             Dalam hal penetapan besarnya nilai THR di dalam Kesepakatan Kerja (KK) atau Peraturan Perusahaan (PP) atau Kesepakatan Kerja Bersama (KKB) atau kebiasaan yang dilakukan lebih besar dari nilai THR sebagaimana perhitungan poin (a) dan (b) di atas, maka THR yang dibayarkan kepada pekerja sesuai dengan Kesepakatan Kerja, Peraturan Perusahaan, Kesepakatan Kerja Bersama atau kebiasaan yang telah dilakukan.

Saran kami, sebelum menuntut hak-hak Bapak/Ibu, sebaiknya terlebih dahulu melihat dan mempelajari kembali Perjanjian Kerja (“PK”) antara Bapak/Ibu dengan perusahaan, Peraturan Perusahaan (“PP”), atau Perjanjian Kerja Bersama (“PKB”), yang masih berlaku. Apabila di dalam PK, atau di PP, atau di PKB, mengatur besarnya THR dan hak-hak lainnya secara lebih baik, maka yang digunakan dan menjadi rujukan adalah PK, PP, atau PKB tersebut. Apabila tidak diatur atau diatur tetapi merugikan (lebih kecil), maka merujuk kepada ketentuan peraturan perundang-undangan.

Demikian jawaban kami, mohon maaf apabila ada kekeliruan dan semoga bermanfaat.

Dasar hukum:
4.      Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP.101/MEN/VI/ 2004 Tahun 2004 tentang Tata Cara Perijinan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh;
5.      Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP.102/MEN/VI/ 2004 Tahun 2004 tentang Waktu Kerja Lembur dan Waktu Kerja Lembur;
6.      Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. PER-04/MEN/1994 Tahun 1994 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Pekerja Di Perusahaan.
7.      Surat Edaran Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI Nomor : B.31/PHIJSK/I/2012 tentang Pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011

Putusan:
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011, tertanggal 17 Januari 2012.
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebookKlinik Hukumonline.


Penerapan Peninjauan Upah Bagi Pekerja yang Upahnya di Atas UMP

Salam hangat, Saya ingin menanyakan bagaimana implementasi dari Pasal 14 (3) Permenaker 1/1999 Tentang Upah Minimum, karena Saya melihat pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 18 Permenaker yang sama. Mohon penjelasan yang detail untuk dapat membedakan penerapan dari kedua pasal tersebut. Regards dan Thanks,

Bapak Indra yang saya hormati,

Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI No. PER-01/MEN/1999 tentang Upah Minimum (“Permenaker No. 1 Tahun 1999”) sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI No. KEP-226/MEN/2000, merupakan payung hukum bagi perlindungan upah pekerja/buruh serta bentuk dan upaya untuk mewujudkan penghasilan yang layak bagi pekerja. Upah Minimum juga diatur di dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. PER-17/MEN/VIII/ 2005 tentang Komponen dan Tahapan Pelaksanaan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak (“Permenakertrans 17 Tahun 2005”).

Berdasarkan ketiga ketentuan tersebut, upah minimum diartikan sebagai upah yang serendah-rendahnya wajib diberikan oleh pengusaha kepada pekerja yang terdiri dari upah pokok dan termasuk tunjangan tetap. Pemberian upah minimum hanya berlaku bagi pekerja yang mempunyai masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, sebagaimana diatur di dalam Pasal 14 ayat (2) Permenaker No. 1 Tahun 1999 dan Pasal 4 ayat (3) Permenakertrans No. 17 Tahun 2005. Sedangkan, bagi pekerja yang masa kerjanya 1 (satu) tahun atau lebih, pemerintah dalam Permenaker No. 1 Tahun 1999 maupun Permenakertrans No. 17 Tahun 2005 tersebut, memberikan ruang dan mekanisme peninjauan upah sebagai pembeda antara pekerja yang masanya kerja kurang dari 1 (satu) tahun dengan pekerja yang masa kerjanya lebih dari satu tahun. Namun demikian, pemerintah tidak mengatur lebih lanjut mekanisme teknis pelaksanaan peninjauan upah tersebut dalam bentuk regulasi, melainkan diserahkan kepada kesepakatan antara pekerja/serikat pekerja dengan pengusaha melalui mekanisme perundingan.

Pasal 14 ayat (3) Permenaker No. 1 Tahun 1999 menyatakan bahwa:

“Peninjauan besarnya upah pekerja dengan masa kerja lebih dari 1 (satu) tahun, dilakukan atas kesepakatan tertulis antara pekerja/serikat pekerja dengan pengusaha.”

Arti dari ketentuan tersebut, peninjauan upah bagi pekerja yang telah bekerja dari dari 1 (satu) tahun dilakukan berdasarkan atas hasil kesepakatan antara pekerja/serikat pekerja yang dituangkan secara tertulis.

Di dalam praktiknya dan juga didasarkan pada ketentuan Pasal 4 ayat (4) Permenaker No. 17 Tahun 2005, kesepakatan tertulis tersebut ditempuh dan dilakukan melalui proses perundingan bipartit antara pekerja/serikat pekerja dengan pengusaha di perusahaan yang bersangkutan. Dari perundingan bipartit tersebut kemudian melahirkan kesepakatan, yang selanjutnya kesepakatan tersebut dituangkan secara tertulis dalam Perjanjian Kerja (“PK”), Peraturan Perusahaan (“PP”), atau Perjanjian Kerja Bersama/Kesepakatan Kerja Bersama (“PKB/KKB”). Khusus mengenai PP, pada prinsipnya pembuatan/perubahan PP adalah bentuk kesepakatan tertulis, karena dalam prosesnya, sebagaimana diatur di dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI No.: PER.16/MEN/XI/2011 tentang Tata Cara Pembuatan dan Pengesahan Peraturan Perusahaan Serta Pembuatan dan Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama (“Permenakertrans No. 16 Tahun 2011”), dilakukan dengan melibatkan pekerja melalui wakilnya yang ditunjuk secara demokratis oleh pekerja (Pasal 4 ayat 3 Permenakertrans No. 16 Tahun 2011).

Sedangkan, bagi pekerja yang sudah menerima upah lebih tinggi dari Upah Minimum Propinsi (“UMP”), maka apabila dilakukan peninjauan upah, mengacu pada ketentuan peninjauan upah yang ada dan sudah diatur dalam PK, PP, maupun PKB, yang merupakan kesepakatan tertulis dan hasil perundingan antara pekerja/serikat pekerja dengan pengusaha. Hal ini sebagaimana ketentuan Pasal 18 Permenaker No. 1 Tahun 1999 yang menyatakan:

Peninjauan besarnya upah bagi pekerja yang telah menerima upah lebih tinggi dari upah minimum yang berlaku, dilakukan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Kesepakatan Kerja Bersama”.

Maksud dari ketentuan tersebut yaitu apabila pekerja yang sudah menerima upah lebih tinggi dari UMP, itu berarti sudah ada perundingan dan kesepakatan tertulis antara pekerja/serikat pekerja dengan pengusaha yang dituangkan di dalam PK, PP, ataupun PKB/KKB. Dengan demikian, apabila akan dilakukan peninjauan upah kembali, maka hal tersebut mengacu kepada hasil kesepakatan tertulis yang sudah tertuang dan diatur di dalam PK, PP, atau PKB/KKB tersebut.

Di dalam praktiknya, baik di dalam PK, PP, maupun PKB/KKB, tidak ditentukan dan diatur besaran kenaikan upah secara definitif. Oleh karenanya, selalu ada peninjauan upah sebagai upaya penyesuaian dan pemenuhan Kebutuhan Hidup Layak (KHL) bagi Pekerja melalui mekanisme perundingan bipartit antara pekerja/serikat perkerja dengan pengusaha.

Dengan demikian, menurut hemat kami, ketentuan Pasal 14 ayat (3) dengan Pasal 18 Permenaker No. 1 Tahun 1999 tidaklah saling bertentangan karena bagi pekerja yang masa kerjanya lebih dari satu tahun, baik yang upahnya sama dengan UMP maupun sudah lebih tinggi dari UMP, peninjauan upah dilakukan melalui mekanisme perundingan bipartit yang melahirkan kesepakatan tertulis, yang kemudian dituangkan di dalam PK, PP, maupun PKB/KKB.

Demikian semoga bermanfaat.

Dasar hukum:
1.    Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI No. PER-01/MEN/1999 jo. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI No. KEP-226/MEN/2000 tentang Upah Minimum
2.    Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI Nomor : PER.16/MEN/XI/2011 Tentang Tata Cara Pembuatan Dan Pengesahan Peraturan Perusahaan Serta Pembuatan Dan Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama;
3.    Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. PER-17/MEN/VIII/ 2005 tentang Komponen dan Tahapan Pelaksanaan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak

Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebookKlinik Hukumonline.

Komentar

Postingan Populer