Naker
Perlindungan Upah dan
Kesejahteraan Pekerja Outsourcing Pasca-Putusan MK
Saya karyawan
outsourcing, di tempat saya bekerja seluruh karyawan outsourcing tidak
mendapatkan jamsostek, pesangon, dan THR, hanya gaji sebesar Rp50.080 per hari
dan jika hari libur masuk tidak dibayar lembur, hanya dapat tambahan Rp9.000
jika 8 jam kerja dan Rp5.000 jika 5 jam kerja. Apa bisa kami karyawan
outsourcing menuntut?
Jawaban: Heri Aryanto, S.H.
Bapak/Ibu yang terhormat,
Penyerahan sebagian pekerjaan dari Perusahaan Pemberi Kerja kepada
Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh, (biasa kita mengenalnya dengan sebutan
“Perusahaan Outsourcing”), harus mendasarkan pada ketentuan dan
syarat-syarat sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 64 dan Pasal 66 UU No. 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan (“UUK”) dan secara
teknis diatur lebih lanjut dalamKeputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
No. KEP.101/MEN/VI/ 2004 Tahun 2004 tentang Tata Cara Perijinan Perusahaan
Penyedia Jasa Pekerja/Buruh (“Kepmen No. 101 Tahun
2004).
Setelah adanya uji materi (judicial review) terhadap Pasal 59 dan Pasal 64 UUK, dan kemudian melahirkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
27/PUU-IX/2011, tertanggal 17 Januari 2012, maka selanjutnya terbitlah Surat Edaran Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan
Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI Nomor:
B.31/PHIJSK/I/2012 tentang Pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
27/PUU-IX/2011. Berdasarkan Surat
Edaran tersebut yang dihubungkan dengan pertimbangan hukum dalam putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011, hubungan kerja antara PerusahaanOutsourcing dengan pekerja/buruh dapat
dilakukan/diperjanjikan melalui Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu/Pekerjaan
Tetap (“PKWTT”) atau melalui Perjanjian Kerja Waktu Tertentu/Kontrak (“PKWT”).
Apabila hubungan kerja diperjanjikan dengan PKWT, pekerja harus tetap mendapat
perlindungan atas hak-haknya sebagai pekerja dengan menerapkan prinsip
pengalihan tindakan perlindungan bagi pekerja (Transfer of Undertaking
Protection of Employment atau TUPE), apabila
terjadi pergantian perusahaan pemberi kerja atau perusahaan outsourcing.
Berkaitan dengan pertanyaan Bapak/Ibu di atas, kami tidak
menemukan penjelasan yang detail apakah Bapak/Ibu bekerja pada perusahaan outsourcing melalui PKWTT atau PKWT. Namun, jika melihat
realitas praktik penerapan outsourcing di Indonesia yang dominan dilakukan dengan
sistem PKWT, maka kami mengasumsikan bahwa hubungan kerja antara Bapak/Ibu
dengan perusahaan outsourcingdilakukan melalui PKWT/Kontrak.
Berdasarkan pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam
putusannya Nomor 27/PUU-IX/2011 dan Penjelasan Pasal 66 ayat (2) huruf (c) UUK, pekerja yang bekerja pada perusahaan outsourcingsesuai dengan perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau
perjanjian kerja bersama, memperoleh hak (yang sama) atas perlindungan upah dan
kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan yang timbul, dengan
pekerja di perusahaan pemberi kerja (fair benefits and welfare). Dengan
demikian, pekerja yang bekerja di perusahaan pemberi kerja melalui perusahaan outsourcing, baik dengan PKWTT maupun PKWT, berhak mendapatkan
upah dan kesejahteraan yang sama seperti pekerja yang bekerja pada perusahaan
pemberi kerja yang tidak melalui perusahaan outsourcing. Perlindungan upah dan kesejahteraan tersebut harus dimasukkan atau
dimuat dalam klausul perjanjian kerja antara pekerja dengan perusahaan outsourcing. Apabila tidak dimuat dalam perjanjian kerja,
maka perlindungan tersebut merujuk pada peraturan perusahaan atau perjanjian
kerja bersama. Apabila dalam peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama
juga tidak diatur, maka perlindungan upah dan kesejahteraan merujuk pada
ketentuan yang diatur di dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Berdasarkan ketentuan Pasal 88 ayat (3) UUK, perlindungan terhadap upah pekerja/buruh meliputi :
a. upah minimum;
b. upah kerja lembur;
c. upah tidak masuk kerja karena berhalangan;
d. upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain di luar
pekerjaannya;
e. upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya.
Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, maka Bapak/Ibu selain
berhak mendapatkan upah yang biasa dihitung per hari Rp. 50.080,-, juga
berhak atas upah kerja lembur (upah lembur), dan upah-upah lain sebagaimana
disebutkan di atas. Upah lembur adalah hak yang diterima pekerja yang telah
bekerja melebihi waktu kerja. Artinya, jika Bapak/Ibu bekerja lebih dari jam
kerja yang ditentukan dan/atau tetap bekerja pada hari libur, maka dihitung
sebagai kerja lembur yang berhak mendapatkan upah lembur. Upah lembur tersebut
wajib diberikan oleh pengusaha kepada pekerja, yang mana perhitungannya
berdasarkan Pasal 8 ayat (2) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Nomor KEP.102/MEN/VI/ 2004 Tahun 2004 tentang Waktu Kerja Lembur dan Waktu
Kerja Lembur(“Kepmen No. 102 Tahun
2004”), yaitu se-jam sama dengan 1/173 dikali upah sebulan. Untuk upah sebulan
Bapak/Ibu yang dihitung perhari, maka berdasarkan ketentuan Pasal 9 ayat (1) Kepmen No. 102 Tahun 2004 tersebut, upah sebulan adalah upah sehari
dikalikan 25 (dua puluh lima) bagi pekerja yang bekerja 6 (enam) hari kerja
dalam 1 (satu) minggu atau dikalikan 21 (dua puluh satu) bagi pekerja/buruh
yang bekerja 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu. Dengan demikian,
menurut kami, tindakan perusahaan yang tidak memberikan upah lembur atas kerja
lembur pada hari libur, serta memperhitungkan upah lembur sebesar Rp9.000,- (sembilan
ribu rupiah) - jika 8 jam kerja dan Rp5.000,- (lima ribu rupiah)
jika 5 jam kerja, merupakan tindakan yang tidak sesuai dan bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan, sehingga Bapak/Ibu mempunyai alas hak untuk
menuntut baik secara langsung kepada perusahaan, atau apabila mekanisme
tersebut gagal, Bapak/Ibu dapat mencatatkan permasalahan Bapak/Ibu sebagai
perselisihan hak kepada Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang mewilayahi
tempat kerja Bapak/Ibu.
Sedangkan, mengenai Jaminan Sosial Tenaga Kerja (“Jamsostek”),
adalah hak sekaligus jaminan perlindungan yang diberikan terhadap pekerja, yang
wajib didaftarkan oleh perusahaan yang mempekerjakan minimal 10 orang atau lebih,
atau membayar upah pekerja paling sedikit Rp1.000.000,- (satu juta rupiah).
Ketentuan mengenai Jamsostek dan pelaksanannya diatur di dalam UU No. 3 Tahun 1992
tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (“UU Jamsostek”) dan PP No. 14 Tahun 1993
tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja (“PP Jamsostek”), yang telah beberapa kali
diubah, terakhir dengan PP No. 84 Tahun 2010, serta diatur lebih lanjut dalam Peraturan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Permenakertrans). Oleh karenanya, baik
pekerja yang bekerja berdasarkan PKWTT maupun PKWT, berhak untuk didaftarkan
dalam program Jamsostek. Apabila ternyata Bapak/Ibu tidak didaftarkan dalam
Program Jamsostek oleh perusahaan, maka Bapak/Ibu berhak menuntut dan
Perusahaan/Pengusaha bertanggung jawab dan wajib memberikan hak-hak yang
seharusnya diberikan kepada Bapak/Ibu, yang jenis dan besarannya sebagaimana
diatur di dalam UU Jamsostek .
Selanjutnya, oleh karena kami mengasumsikan Bapak/Ibu bekerja
berdasarkan PKWT/Kontrak, maka terkait pesangon yang Bapak/Ibu tanyakan, yang
berlaku adalah ketentuan Pasal 62 UUK, yaitu didasarkan pada jangka waktu
berakhirnya perjanjian kerja antara Bapak/Ibu dengan perusahaanoutsourcing.
Apabila sebelum berakhirnya jangka waktu PKWT, perusahaan memutus atau
mengakhiri hubungan kerja, maka Bapak/Ibu berhak mendapatkan ganti rugi sebesar
upah sampai batas waktu berakhirnya perjanjian kerja, dan sebaliknya apabila
Bapak/Ibu yang berinisiatif mengakhiri hubungan kerja, maka Bapak/Ibu yang
mempunyai kewajiban memberikan ganti rugi kepada Perusahaan, kecuali disepakati
lain oleh kedua belah pihak. Oleh karenanya, berdasarkan asumsi dan uraian
tersebut, Bapak/Ibu tidak berhak atas uang pesangon, penghargaan masa kerja dan
pergantian hak, sebagaimana diatur di dalam Pasal 156 UUK,
melainkan Bapak/Ibu berhak mendapatkan dan menuntut uang ganti rugi (note:
apabila perusahaan memutus sebelum berakhirnya perjanjian kerja) dan hak-hak
lainnya yang diatur di dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau
perjanjian kerja bersama.
Pasal 62 UUK:
Apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan
kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian kerja
waktu tertentu, atau berakhirnya hubungan kerja bukan karena ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1), pihak yang mengakhiri hubungan
kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah
pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.
Namun perlu dilihat juga, apakah PKWT antara Bapak/Ibu dengan
perusahaan outsourcing tersebut telah memuat klausul perlindungan
terhadap hak-hak dan kesejahteraan pekerja. Apabila hal tersebut tidak dimuat,
maka perjanjian kerja tersebut harus dibuat/dinyatakan sebagai PKWTT, sehingga
apabila terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK), pekerja berhak atas uang
pesangon, penghargaan masa kerja dan pergantian hak sebagaimana diatur di dalam
Pasal 156 UUK. Apabila perusahaan menolak untuk memberikan hak-hak tersebut,
maka Bapak/Ibu dapat mencatatkan permasalahan/perselisihan tersebut kepada
Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang mewilayahi tempat kerja Bapak/Ibu.
Kemudian, mengenai pertanyaan Bapak/ibu tentang Tunjangan Hari
Raya (THR), maka dengan mendasarkan pada ketentuan Pasal 2 ayat (1) Peraturan Menteri Tenaga Kerja
No. PER-04/MEN/1994 Tahun 1994 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi
Pekerja di Perusahaan (“Permen
No.04 Tahun 1994”), bahwa Tunjangan Hari Raya
(“THR”) wajib diberikan oleh Pengusaha kepada pekerja yang telah mempunyai masa kerja 3 bulan secara terus menerus atau
lebih. Di dalam Pasal 1 huruf (c) Permen No.04 Tahun 1994 dinyatakan bahwa yang dimaksud “pekerja” adalah
tenaga kerja yang bekerja pada pengusaha dengan menerima upah. Dengan demikian,
berdasarkan ketentuan tersebut, maka THR diberikan kepada pekerja tanpa
membedakan apakah pekerja tersebut adalah pekerja tetap (PKWTT) atau pekerja
kontrak (PKWT), dengan ketentuan sebagaimana diatur di dalam Pasal 6 ayat (1) dan (2) Permen No.04 Tahun 1994, yaitu apabilapekerja yang di-PHK maksimum 30 hari sebelum Hari Raya Keagamaan pekerja tetap berhak mendapatkan THR. Sedangkan untuk pekerja
PKWT/kontrak, apabila masa kontraknya berakhir paling lama 30 hari sebelum Hari
Raya Keagamaan, maka pekerja tersebut tidak berhak atas THR.
Perhitungan besarnya perhitungan THR adalah
didasarkan pada ketentuan Pasal 3 Permen No. 04 Tahun 1994, sebagai berikut:
a. Pekerja yang telah mempunyai masa kerja 12 bulan
secara terus menerus atau lebih sebesar 1 (satu) bulan upah.
b. Pekerja yang telah mempunyai masa kerja 3 bulan
secara terus menerus tetapi kurang dari 12 bulan diberikan secara proporsional
dengan masa kerja, yakni dengan perhitungan:
c. Dalam hal penetapan besarnya nilai THR di dalam
Kesepakatan Kerja (KK) atau Peraturan Perusahaan (PP) atau Kesepakatan Kerja
Bersama (KKB) atau kebiasaan yang dilakukan lebih besar dari nilai THR
sebagaimana perhitungan poin (a) dan (b) di atas, maka THR yang dibayarkan
kepada pekerja sesuai dengan Kesepakatan Kerja, Peraturan Perusahaan,
Kesepakatan Kerja Bersama atau kebiasaan yang telah dilakukan.
Saran kami, sebelum menuntut hak-hak Bapak/Ibu,
sebaiknya terlebih dahulu melihat dan mempelajari kembali Perjanjian Kerja
(“PK”) antara Bapak/Ibu dengan perusahaan, Peraturan Perusahaan (“PP”), atau
Perjanjian Kerja Bersama (“PKB”), yang masih berlaku. Apabila di dalam PK, atau
di PP, atau di PKB, mengatur besarnya THR dan hak-hak lainnya secara lebih
baik, maka yang digunakan dan menjadi rujukan adalah PK, PP, atau PKB tersebut.
Apabila tidak diatur atau diatur tetapi merugikan (lebih kecil), maka merujuk
kepada ketentuan peraturan perundang-undangan.
Demikian jawaban kami, mohon maaf apabila ada
kekeliruan dan semoga bermanfaat.
Dasar
hukum:
3. Peraturan Pemerintah No.
14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja yang telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah No.
84 Tahun 2010;;
4. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
KEP.101/MEN/VI/ 2004 Tahun 2004 tentang Tata Cara Perijinan Perusahaan Penyedia
Jasa Pekerja/Buruh;
5. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
KEP.102/MEN/VI/ 2004 Tahun 2004 tentang Waktu Kerja Lembur dan Waktu Kerja
Lembur;
6. Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. PER-04/MEN/1994
Tahun 1994 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Pekerja Di Perusahaan.
7. Surat Edaran Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan
Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI Nomor
: B.31/PHIJSK/I/2012 tentang Pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
27/PUU-IX/2011
Putusan:
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011, tertanggal 17
Januari 2012.
Setiap artikel jawaban
Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau
facebookKlinik Hukumonline.
Penerapan Peninjauan
Upah Bagi Pekerja yang Upahnya di Atas UMP
Salam hangat, Saya ingin
menanyakan bagaimana implementasi dari Pasal 14 (3) Permenaker 1/1999 Tentang
Upah Minimum, karena Saya melihat pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 18
Permenaker yang sama. Mohon penjelasan yang detail untuk dapat membedakan
penerapan dari kedua pasal tersebut. Regards dan Thanks,
Jawaban: Heri Aryanto, S.H.
Bapak Indra yang saya
hormati,
Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI No. PER-01/MEN/1999 tentang Upah
Minimum (“Permenaker No. 1 Tahun 1999”) sebagaimana telah diubah dengan
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI No. KEP-226/MEN/2000,
merupakan payung hukum bagi perlindungan upah pekerja/buruh serta bentuk dan
upaya untuk mewujudkan penghasilan yang layak bagi pekerja. Upah Minimum juga
diatur di dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. PER-17/MEN/VIII/
2005 tentang Komponen dan Tahapan Pelaksanaan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak
(“Permenakertrans 17 Tahun 2005”).
Berdasarkan ketiga ketentuan tersebut, upah minimum diartikan
sebagai upah yang serendah-rendahnya wajib diberikan oleh pengusaha kepada
pekerja yang terdiri dari upah pokok dan termasuk tunjangan tetap. Pemberian
upah minimum hanya berlaku bagi pekerja yang mempunyai masa kerja kurang dari 1
(satu) tahun, sebagaimana diatur di dalam Pasal 14 ayat (2) Permenaker No. 1 Tahun 1999 dan Pasal 4 ayat (3)
Permenakertrans No. 17 Tahun 2005. Sedangkan, bagi pekerja yang masa kerjanya 1 (satu) tahun atau
lebih, pemerintah dalam Permenaker No. 1 Tahun 1999 maupun Permenakertrans No.
17 Tahun 2005 tersebut, memberikan ruang dan mekanisme peninjauan upah sebagai
pembeda antara pekerja yang masanya kerja kurang dari 1 (satu) tahun dengan
pekerja yang masa kerjanya lebih dari satu tahun. Namun demikian, pemerintah
tidak mengatur lebih lanjut mekanisme teknis pelaksanaan peninjauan upah
tersebut dalam bentuk regulasi, melainkan diserahkan kepada kesepakatan antara
pekerja/serikat pekerja dengan pengusaha melalui mekanisme perundingan.
Pasal 14 ayat (3)
Permenaker No. 1 Tahun 1999 menyatakan bahwa:
“Peninjauan besarnya upah pekerja dengan masa
kerja lebih dari 1 (satu) tahun, dilakukan atas kesepakatan tertulis antara
pekerja/serikat pekerja dengan pengusaha.”
Arti dari ketentuan tersebut, peninjauan upah bagi pekerja yang
telah bekerja dari dari 1 (satu) tahun dilakukan berdasarkan atas hasil kesepakatan
antara pekerja/serikat pekerja yang dituangkan secara tertulis.
Di dalam praktiknya dan juga didasarkan pada ketentuan Pasal 4 ayat (4) Permenaker No. 17 Tahun 2005, kesepakatan tertulis tersebut ditempuh dan
dilakukan melalui proses perundingan bipartit antara pekerja/serikat pekerja
dengan pengusaha di perusahaan yang bersangkutan. Dari perundingan bipartit
tersebut kemudian melahirkan kesepakatan, yang selanjutnya kesepakatan tersebut
dituangkan secara tertulis dalam Perjanjian Kerja (“PK”), Peraturan Perusahaan
(“PP”), atau Perjanjian Kerja Bersama/Kesepakatan Kerja Bersama (“PKB/KKB”).
Khusus mengenai PP, pada prinsipnya pembuatan/perubahan PP adalah bentuk
kesepakatan tertulis, karena dalam prosesnya, sebagaimana diatur di dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
RI No.: PER.16/MEN/XI/2011 tentang Tata Cara Pembuatan dan Pengesahan Peraturan
Perusahaan Serta Pembuatan dan Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama
(“Permenakertrans No. 16 Tahun 2011”), dilakukan dengan melibatkan pekerja
melalui wakilnya yang ditunjuk secara demokratis oleh pekerja (Pasal 4 ayat
3 Permenakertrans No. 16 Tahun 2011).
Sedangkan, bagi pekerja yang sudah
menerima upah lebih tinggi dari Upah Minimum Propinsi (“UMP”), maka apabila
dilakukan peninjauan upah, mengacu pada ketentuan peninjauan upah yang ada dan
sudah diatur dalam PK, PP, maupun PKB, yang merupakan kesepakatan tertulis dan
hasil perundingan antara pekerja/serikat pekerja dengan pengusaha. Hal ini
sebagaimana ketentuan Pasal 18 Permenaker No.
1 Tahun 1999 yang menyatakan:
“Peninjauan besarnya upah bagi pekerja yang
telah menerima upah lebih tinggi dari upah minimum yang berlaku, dilakukan
sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan
Perusahaan, atau Kesepakatan Kerja Bersama”.
Maksud dari ketentuan tersebut yaitu apabila pekerja yang sudah
menerima upah lebih tinggi dari UMP, itu berarti sudah ada perundingan dan
kesepakatan tertulis antara pekerja/serikat pekerja dengan pengusaha yang
dituangkan di dalam PK, PP, ataupun PKB/KKB. Dengan demikian, apabila akan
dilakukan peninjauan upah kembali, maka hal tersebut mengacu kepada hasil
kesepakatan tertulis yang sudah tertuang dan diatur di dalam PK, PP, atau
PKB/KKB tersebut.
Di dalam praktiknya, baik di dalam PK, PP, maupun PKB/KKB, tidak
ditentukan dan diatur besaran kenaikan upah secara definitif. Oleh karenanya,
selalu ada peninjauan upah sebagai upaya penyesuaian dan pemenuhan Kebutuhan
Hidup Layak (KHL) bagi Pekerja melalui mekanisme perundingan bipartit antara
pekerja/serikat perkerja dengan pengusaha.
Dengan demikian, menurut hemat kami, ketentuan Pasal 14 ayat (3)
dengan Pasal 18 Permenaker No. 1 Tahun 1999 tidaklah saling bertentangan karena
bagi pekerja yang masa kerjanya lebih dari satu tahun, baik yang upahnya sama
dengan UMP maupun sudah lebih tinggi dari UMP, peninjauan upah dilakukan
melalui mekanisme perundingan bipartit yang melahirkan kesepakatan tertulis,
yang kemudian dituangkan di dalam PK, PP, maupun PKB/KKB.
Demikian semoga
bermanfaat.
Dasar hukum:
1. Peraturan Menteri Tenaga
Kerja RI No. PER-01/MEN/1999 jo. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi RI No. KEP-226/MEN/2000 tentang Upah Minimum
2. Peraturan Menteri Tenaga
Kerja dan Transmigrasi RI Nomor : PER.16/MEN/XI/2011 Tentang Tata Cara
Pembuatan Dan Pengesahan Peraturan Perusahaan Serta Pembuatan Dan Pendaftaran
Perjanjian Kerja Bersama;
3. Peraturan Menteri Tenaga
Kerja dan Transmigrasi No. PER-17/MEN/VIII/ 2005 tentang Komponen dan Tahapan
Pelaksanaan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak
Setiap artikel jawaban
Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau
facebookKlinik Hukumonline.
Komentar
Posting Komentar