Naker


Bolehkah Mempekerjakan Karyawan 10 Jam Sehari?

Saat ini kami sedang dalam proses mengganti jam kerja untuk posisi Teacher Assistant, dari pukul 07.00-13.00 wib menjadi pukul 07.00-16.30 wib. Karena adanya 20 hari libur dan 10 hari masuk tanpa adanya kegiatan (karena semua murid libur). Total jam kerja tetap 1800 jam per tahun. Pertanyaan saya: 1. Apakah jam kerja 10 jam 1 hari dengan kondisi 20 hari libur dalam setahun diperbolehkan? 2. Apakah mengganti perjanjian kerja di tengah masa kerja itu diperbolehkan? Sangat diharapkan bantuan informasinya. Terima kasih banyak.


Sdri. Meysiani yang kami hormati,

Terlebih dahulu kami mengucapkan terima kasih atas pertanyaan yang telah Anda sampaikan kepada kami.

Ketentuan yang mengatur mengenai jam kerja atau waktu kerja dapat Anda lihat di dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UUK”) dari Pasal 77 sampai dengan Pasal 85. Di dalamPasal 77 ayat (2) dikatakan dan diatur bahwa waktu kerja meliputi:
a.    7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu; atau
b.    8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.

Berdasarkan ketentuan ini, maka waktu kerja untuk 6 (enam) hari kerja dalam seminggu adalah 7 jam sehari atau 40 jam seminggu. Sedangkan, untuk yang 5 (lima) hari kerja dalam seminggu adalah 8 jam sehari atau 40 jam seminggu. Dengan demikian, maka dalam sehari waktu kerja bisa 7 jam atau 8 jam yang dalam seminggu tidak boleh melebihi 40 jam. Dalam praktiknya, waktu kerja sehari biasanya ditambahkan dengan waktu istirahat sehingga kemudian waktu kerja yang 7 jam menjadi 8 jam atau yang 8 jam menjadi 9 jam, bergantung berapa lama waktu istirahat yang diberikan.

Namun demikian, waktu kerja sebagaimana disebutkan dalam Pasal 77 ayat (2) UUK di atas tidak berlaku bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu. Yang dimaksud sektor usaha atau pekerjaan tertentusebagaimana dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 77 ayat (3) UUK adalah misalnya pekerjaan di pengeboran minyak lepas pantai, sopir angkutan jarak jauh, penerbangan jarak jauh, pekerjaan di kapal (laut), atau penebangan hutan. Di samping itu, contoh lain sektor usaha atau pekerjaan tertentu misalnya di bidang pertambangan umum yang diatur di dalam Peraturan Meteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI No.: PER-15/MEN/VII/2005 tentang Waktu Kerja dan Istirahat Pada Sektor Usaha Pertambangan Umum Pada Daerah Operasi Tertentu.

Terkait dengan hal yang Anda tanyakan, maka yang perlu digarisbawahi adalah waktu kerja sehari untuk 6 (enam) hari kerja dalam seminggu adalah 7 jam dan untuk yang 5 (lima) hari kerja dalam seminggu adalah 8 jam. Dan dalam seminggu waktu kerja yang ditentukan adalah 40 jam. Apabila Andaingin mempekerjakan karyawan tersebut lebih dari jam kerja sehari atau seminggu yang ditentukan oleh Pasal 77 ayat (2) UUK tersebut, maka Bapak/Ibu harus memperhatikan ketentuan Pasal 78 ayat (1) dan ayat (2) UUK yaitu sebagai berikut :
(1) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2) harus memenuhi syarat:
a.    ada persetujuan pekerja/buruh yang bersangkutan; dan
b.    waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3 (tiga) jam dalam 1 (satu) hari dan 14 (empat belas) jam dalam 1 (satu) minggu.
(2) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib membayar upah kerja lembur.

Pada prinsipnya, berdasarkan penjelesan Pasal 78 ayat (1) UUK, mempekerjakan lebih dari waktu kerja sedapat mungkin harus dihindarkan karena pekerja/buruh harus mempunyai waktu yang cukup untuk istirahat dan memulihkan kebugarannya. Namun, dalam hal-hal tertentu dan terdapat kebutuhan yang mendesak yang harus diselesaikan segera dan tidak dapat dihindari sehingga dimungkinkan pekerja/buruh harus bekerja melebihi waktu kerja dengan tanpa mengurangi atau menghilangkan hak-haknya apabila bekerja melebihi waktu kerja. Ketentuan lebih lanjut mengenai upah lembur dapat Anda lihat di Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI Nomor KEP. 102/MEN/VI/2004 tentang Waktu Kerja Lembur dan Upah Kerja Lembur.

Dengan demikian, menurut hemat kami, keinginan atau tindakan Anda mempekerjakan karyawan selama 10 jam sehari diperbolehkan dengan ketentuan kelebihan waktu kerja normal (8 jam sehari untuk 5 hari kerja atau 7 jam untuk 6 hari kerja) dibayarkan sebagai upah lembur (overtime), dengan juga tentunya memperhatikan perjanjian kerja yang telah disepakati sebelumnya.

Perjanjian kerja merupakan kesepakatan dua pihak yaitu pekerja dengan pemberi kerja, yang memiliki kekuatan layaknya sebuah undang-undang. Artinya, perjanjian kerja ini dapat dicabut, dapat diganti, dapat diperbaiki, atau dapat ditambahkan sepanjang hal tersebut dilakukan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak. Namun demikian, haruslah diperhatikan bahwa perubahan, pergantian, maupun penambahan klausul dalam perjanjian kerja tersebut tidak boleh merugikan pekerja dan tidak boleh bertentangan dengan undang-undang (dalam hal ini UUK), dengan kesusilaan, dan dengan ketertiban umum.

Demikian jawaban kami semoga bermanfaat.

Dasar hukum:
2.    Peraturan Meteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI Nomor: PER-15/MEN/VII/2005 tentang Waktu Kerja dan Istirahat Pada Sektor Usaha Pertambangan Umum Pada Daerah Operasi Tertentu
3.    Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi RI Nomor: KEP. 102/MEN/VI/2004 tentang Waktu Kerja Lembur dan Upah Kerja Lembur.

Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.

Dapatkah Di-PHK Karena Dijatuhi Hukuman Percobaan?

Saya mau bertanya, adik saya seorang pegawai BUMD yang diperbantukan di perusahaan milik Daerah yang dikelola investor. Awalnya dia dituduh adanya penyalahgunaan jabatan dan penggelapan dan dia meminta untuk diproses secara hukum karena yakin tidak melakukannya. Tapi, dalam proses hukum dia kalah di pengadilan dengan tuduhan Pasal 374 Jo 372 KUHP, dan JPU menuntut 5 bulan penjara dan putusan pengadilan 3 bulan tidak menjalani kurungan tapi menjalani 6 bulan percobaan (tidak ditahan selama proses polisi, kejaksaan, sampai putusan pengadilan). Saat dia diproses sudah menjalani skorsing 6 bulan dan setelah putusan pengadilan disuruh kembali bekerja tapi sambil menunggu usulan proses keluarnya surat PHK yang diusulkan ke BUMD tempat dia bekerja. Pertanyaannya, apakah dia bisa dikenakan PHK dengan putusan pengadilan 6 bulan percobaan tersebut? Bagaimana caranya untuk menolak PHK tersebut? Terima kasih.


Bapak yang kami hormati, kami menyampaikan ucapan terima kasih sebelumnya atas pertanyaan Bapak yang telah dikirimkan kepada kami.

Ketentuan mengenai ketenagakerjaan di BUMN/BUMD sudah tunduk pada ketentuan hukum korporasi sebagaimana diatur di dalam UU No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik NegaradanUU No. 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah. Dengan demikian, permasalahan ketenagakerjaan di BUMN/BUMD tunduk pada ketentuan ketenagakerjaan yang diatur di dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UUK”). 

Ketentuan Pasal 374 jo. Pasal 372 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (“KUHP”) yang Bapak sebutkan di atas merupakan tindak pidana “penggelapan dalam jabatan” yang menurut ketentuanPasal 158 ayat (1) UUK dikualifikasikan sebagai kesalahan berat. Ketentuan lebih rinci atau detail mengenai tindakan-tindakan apa saja yang termasuk kesalahan berat menurut UUK, Bapak bisa melihatnya di dalam Pasal 158 UUK tersebut.

Namun demikian, ketentuan Pasal 158 UUK tersebut oleh Mahkamah Konstitusi telah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat atau jika diartikan dalam bahasa umum yaitu bahwa ketentuan Pasal 158 UUK tersebut telah dinyatakan batal, dianggap tidak pernah ada dan tidak dapat lagi digunakan sebagai dasar/acuan dalam penyelesaian hubungan industrial. Putusan Mahkamah Konstitusi yang terkait dengan pembatalan Pasal 158 UUK tersebut yaitu Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012/PPU-1/2003 tanggal 28 Oktober 2004 tentang Hak Uji Materiil Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Terhadap Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi kemudian mengeluarkan Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. SE-13/MEN/SJ-HK/I/2005 tertanggal 7 Januari 2005tentang Putusan Mahkamah Konstitusi Atas Hak Uji Materil Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945(“SE Menakertrans No. 13 Tahun 2005”), yang mana berdasarkan butir (3) Surat Edaran tersebut, dinyatakan bahwa penyelesaian perselisihan hubungan industrial terkait pemutusan hubungan kerja (“PHK”) karena pekerja/buruh melakukan kesalahan berat perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
a.    Pengusaha yang akan melakukan PHK dengan alasan pekerja/buruh melakukan kesalahan berat (eks Pasal 158 ayat (1)), maka PHK dapat dilakukan setelah ada putusan hakim pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;
b.    Apabila pekerja ditahan oleh pihak yang berwajib dan pekerja/ buruh tidak dapat melaksanakan pekerjaan sebagaimana mestinya maka berlaku ketentuan Pasal 160 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.

Dengan demikian, jika dikaitkan dengan pertanyaan Bapak, dalam hal putusan pengadilan yang menyatakan adik Bapak terbukti bersalah melakukan tindak pidana penggelapan dalam jabatan, maka apabila putusan tersebut sudah berkekuatan hukum tetap atau tidak ada yang mengajukan upaya hukum baik banding atau kasasi - meskipun vonisnya hanya 6 (enam) bulan pidana percobaan- dapat dijadikan dasar bagi pengusaha/perusahaan, dalam hal ini BUMD, untuk melakukan PHK terhadap adik Bapak.

Berat ringannya putusan suatu perkara pidana tidak diatur di dalam UUK, karena yang diatur adalah jenis tindak pidananya (seperti penggelapan, pencurian, dan sebagainya). Artinya, apabila seorang pekerja dinyatakan terbukti melakukan tindak pidana oleh putusan pengadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 158 UUK tersebut, maka hal tersebut dapat dijadikan dasar PHK terhadap pekerja tersebut, dengan catatan putusan atas perkara tersebut telah berkekuatan hukum tetap. Adapun proses PHK sebagaimana dimaksud di atas tetap dilakukan berdasarkan prosedur sebagaimana diatur di dalam UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (“UUPPHI”) yaitu dengan menempuh terlebih upaya perundingan bipartit, perundingan tripartit, sebelum mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial.

Upaya yang dapat dilakukan oleh adik Bapak apabila menolak PHK tersebut adalah dengan menempuh upaya hukum gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial yang mewilayahi tempat adik Bapak tersebut bekerja, dengan ketentuan sebagaimana kami sebutkan di atas yaitu harus terlebih dahulu menempuh perundingan bipartit dengan pihak BUMD tersebut.Kemudian, apabila perundingan bipartit gagalselanjutnya menempuh upaya perundingan tripatit dengan cara mendaftarkan perselisihan tersebut kepada Suku Dinas /Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang mewilayahi domisili BUMD tersebut.

Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.

Dasar hukum:
1.    Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Wetboek Van Strafrecht, Staatsblad 1915 No. 732);

Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.


Putusan-putusan MK yang Mengubah Aturan Ketenagakerjaan

Selamat pagi, apakah di dalam UU No 13 Tahun 2003 terdapat perubahan isi pasal atau isi ayat yang disebabkan oleh putusan MK? Jika memang ada, pasal berapa saja atau ayat berapa saja ? Terima kasih.

Jawaban: Ilman Hadi

Mengutip artikel Apakah MK Berwenang Membuat Norma Hukum Baru? pada dasarnya Mahkamah Konstitusi tidak dapat mengubah isi suatu pasal atau suatu ayat dan undang-undang yang dimintakan pengujian terhadap Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”), dalam hal ini adalah UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UUK”). MK hanya memberikan tafsir atas isi ketentuan pasal atau ayat UUK yang dimohonkan pengujiannya.

Sampai tulisan ini dibuat, telah ada sebanyak 7 (tujuh) putusan MK yang berkaitan dengan UUK. Dari 7 putusan tersebut, 1 (satu) putusan menyatakan menolak permohonan untuk seluruhnya, dan 6 (enam) putusan menyatakan menerima permohonan. Dari 6 putusan tersebut, sebagian menyatakan pasal/ayat UUK tertentu tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, dan sebagian lagi menyatakan pasal/ayat UUK tertentu tetap berlaku sepanjang memenuhi persyaratan yang ditentukan MK.

Di bawah ini kami sajikan informasi mengenai 6 putusan MK berkaitan dengan pengujian UUK terhadap UUD 1945 yang menerima permohonan pemohon. Informasi di bawah ini kami olah kembali dari laman resmi MK (www.mahkamahkonstitusi.go.id) dan buku Aneka Putusan Mahkamah Konstitusi Bidang Hukum Ketenagakerjaan yang ditulis Juanda Pangaribuan, S.H., M.H.:

No.
No. Putusan
Pasal yang Dimohon untuk Diuji
Amar Putusan
1
Seluruh Pasal UUK
Menyatakan UUK:
      Pasal 158;
      Pasal 159;
      Pasal 160 ayat (1) sepanjang mengenai anak kalimat “…. bukan atas pengaduan pengusaha …”;

      Pasal 170 sepanjang mengenai anak kalimat“.… kecuali Pasal 158 ayat (1), …”;

      Pasal 171 sepanjang menyangkut anak kalimat “…. Pasal 158 ayat (1)…”;

      Pasal 186 sepanjang mengenai anak kalimat“…. Pasal 137 dan Pasal 138 ayat (1)…”; bertentangan dengan UUD 1945;

Menyatakan Pasal 158; Pasal 159; Pasal 160 ayat (1) sepanjang mengenai anak kalimat “…. bukan atas pengaduan pengusaha …”; Pasal 170 sepanjang mengenai anak kalimat “…. kecuali Pasal 158 ayat (1) …”; Pasal 171 sepanjang menyangkut anak kalimat “…. Pasal 158 ayat (1) …”; dan Pasal 186 sepanjang mengenai anak kalimat “…. Pasal 137 dan Pasal 138 ayat (1) …” UUK tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
2
Pasal 120 ayat (1) UUK, Pasal 121 UUK
      Menyatakan Pasal 120 ayat (1) dan ayat (2) UUK bertentangan dengan UUD 1945;

      Menyatakan Pasal 120 ayat (3) UUK konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) sepanjang:
frasa, “Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau ayat (2) tidak terpenuhi, maka...”, dihapus, sehingga berbunyi, “para serikatpekerja/serikat buruh membentuk tim perunding yang keanggotaannya ditentukan secara proporsional berdasarkan jumlah anggota masing-masing serikat pekerja/serikat buruh”,dan ketentuan tersebut dalam angka (i) dimaknai, “dalam hal di satu perusahaan terdapat lebih dari satu serikat pekerja/serikat buruh, maka jumlah serikat pekerja/serikat buruh yang berhak mewakili dalam melakukan perundingan dengan pengusaha dalam suatu perusahaan adalah maksimal tiga serikat pekerja/serikat buruh atau gabungan serikat pekerja/serikat buruh yang jumlah anggotanya minimal 10% dari seluruh pekerja/buruh yang ada dalam perusahaan”;

      Menyatakan Pasal 120 ayat (1) dan ayat (2) UUK tidak memiliki kekuatan hukum mengikat;

      Menyatakan Pasal 120 ayat (3) UUK tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang: frasa, “Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau ayat (2) tidak terpenuhi, maka...”, tidak dihapuskan, dan ketentuan tersebut tidak dimaknai, “dalam hal di satu perusahaan terdapat lebih dari satu serikat pekerja/serikat buruh, jumlah serikat pekerja/serikat buruh yang berhak mewakili dalam melakukan perundingan dengan pengusaha dalam suatu perusahaan adalah maksimal tiga serikat pekerja/serikat buruh atau gabungan serikat pekerja/serikat buruh yang jumlah anggotanya minimal 10% dari seluruh pekerja/buruh yang ada dalam perusahaan”;
3
Pasal 155 ayat (2) UUK
·         Frasa ”belum ditetapkan” dalam Pasal 155 ayat (2) UUKadalah bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai belum berkekuatan hukum tetap;

·         Frasa ”belum ditetapkan” dalam Pasal 155 ayat (2) UUKtidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai belum berkekuatan hukum tetap;
4
Pasal 59, 64, 65, dan 66 UUK
      Frasa “…perjanjian kerja waktu tertentu” dalam Pasal 65 ayat (7) dan frasa “…perjanjian kerja untuk waktu tertentu” dalam Pasal 66 ayat (2) huruf b UUK bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang dalam perjanjian kerja tersebut tidak disyaratkan adanya pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh yang objek kerjanya tetap ada, walaupun terjadi pergantian perusahaan yang melaksanakan sebagian pekerjaan borongan dari perusahaan lain atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh;

      Frasa “…perjanjian kerja waktu tertentu” dalam Pasal 65 ayat (7) dan frasa “…perjanjian kerja untuk waktu tertentu” dalam Pasal 66 ayat (2) huruf b UUK tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dalam perjanjian kerja tersebut tidak disyaratkan adanya
pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh yang objek kerjanya tetap ada, walaupun terjadi pergantian perusahaan yang melaksanakan sebagian pekerjaan borongan dari perusahaan lain atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh;

5
Pasal 164 ayat (3) UUK
      Menyatakan Pasal 164 ayat (3) UUK
bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang frasa “perusahaan tutup” tidak dimaknai “perusahaan tutup permanen atau perusahaan tutup tidak untuk sementara waktu”;

      Menyatakan Pasal 164 ayat (3) UUK
pada frasa “perusahaan tutup” tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “perusahaan tutup permanen atau perusahaan tutup tidak untuk sementara waktu”;
6
Pasal 169 ayat (1) huruf c UUK
      Pasal 169 ayat (1) huruf c UUK bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai: “Pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam hal pengusaha tidak membayar upah tepat waktu yang telah ditentukan selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih, meskipun pengusaha membayar upah secara tepat waktu sesudah itu”;

      Pasal 169 ayat (1) huruf c UUK tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai:
Pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam hal pengusaha tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih, meskipun pengusaha membayar upah secara tepat waktu sesudah itu”;

Jadi, putusan MK tidak untuk mengubah isi pasal atau ayat dalam undang-undang, termasuk UUK, tetapi memberikan tafsir atas isi ketentuan pasal atau ayat undang-undang yang diajukan pengujiannya terhadap UUD 1945 tersebut.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar hukum:

Putusan:

Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.

Status Hukum Hubungan Kerja Tanpa Perjanjian Kerja Tertulis

Apa status hukum bagi pekerja yang hubungan kerjanya tidak ada perjanjian kerjanya, tapi proses kerja ada, perintah ada, dan upah ada? Apakah otomatis statusnya menjadi hubungan kerja waktu tidak tertentu? Apakah berhak menuntut hak-hak yang tertera dalam undang-undang? Terima kasih.

Jawaban:
Terima kasih untuk pertanyaan yang diajukan kepada kami. Untuk menjawab pertanyaan tersebut akan kami coba jabarkan dalam beberapa poin berikut:
1.    Hubungan kerja terdiri atas para pihak sebagai subjek (pengusaha dan pekerja/buruh), perjanjian kerja, adanya pekerjaan, upah, dan perintah. Berikut akan kami jabarkan unsur-unsur dari hubungan kerja :
1)   Unsur adanya pekerjaan
2)   Unsur adanya upah
3)   Unsur adanya perintah
4)   Unsur waktu tertentu
2.    Mengenai adanya suatu hubungan kerja tanpa adanya perjanjian kerja, seperti yang Saudara jelaskan pada kasus Saudara, maka hal tersebut bertentangan dengan Pasal 50 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UUK”), yang mana disyaratkan dalam pasal tersebut bahwa:
Hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh

Kemudian Pasal 51 UUK menyebutkan bahwa, Perjanjian Kerja dapat dibuat baik secara “TERTULIS” ataupun “LISAN”, sehingga untuk kasus yang Saudara alami dapat diasumsikan bahwa Perjanjian Kerja antara Saudara dengan pemberi kerja (pengusaha) dilakukan secara lisan.
3.    Yang menjadi pertanyaan adalah apakah sah apabila Perjanjian Kerja tersebut terjadi secara lisan? Perjanjian Kerja Saudara adalah “SAH”, selama tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 52 ayat (1) UUK, yaitu:
1)   Kesepakatan kedua belah pihak;
2)   Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;
3)   Adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan
4)   Pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
4.    Kemudian, apabila ditelaah lebih dalam, tentunya harus ditentukan apakah jenis Perjanjian Kerja Saudara, apakah Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (“PKWT”) atau Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (“PKWTT”), karena terhadap dua Perjanjian Kerja tersebut mempunyai spesifikasi hak dan kewajiban yang berbeda. Untuk menjawabnya, dapat dilihat pada Pasal 57 ayat (1) dan (2) UUK, yang mensyaratkan untuk pembuatan secara tertulis terhadap PKWT, apabila ternyata PKWT tersebut tidak dibuat secara tertulis, maka secara otomatis Perjanjian Kerja tersebut menjadi PKWTT.

Selain itu, Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor: KEP.100/MEN/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, di dalam Pasal 15 ayat (1) menyebutkan bahwa:
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang tidak dibuat dalam bahasa   Indonesia dan huruf latin berubah menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tentu (PKWTT) sejak adanya hubungan kerja

Dengan kata lain, secara a contrario dapat ditafsirkan bahwa ketika Perjanjian Kerja tersebut secara lisan (tidak dibuat dalam bahasa Indonesia dan huruf latin), maka Perjanjian Kerja tersebut merupakan PKWTT.
5.    Dengan demikian, Saudara berhak untuk menuntut hak-hak Saudara sebagai karyawan dengan status hubungan kerja PKWTT sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berikut kami paparkan mengenai hak-hak seorang pekerja dengan status PKWTT, yaitu :
1)       Berhak atas upah setelah selesai melaksanakan pekerjaan sesuai dengan perjanjian (tidak di bawah Upah Minimum Provinsi/UMP), upah lembur, Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek);
2)       Berhak atas fasilitas lain, dana bantuan dan lain-lain yang berlaku di perusahaan;
3)       Berhak atas perlakuan yang tidak diskriminatif dari pengusaha;
4)       Berhak atas perlindungan keselamatan kerja, kesehatan, kematian, dan penghargaan;
5)       Berhak atas kebebasan berserikat dan perlakuan HAM dalam hubungan kerja.

Sekian jawaban yang dapat kami sampaikan, semoga dapat memberikan pencerahan hukum kepada Saudara.

Dasar hukum:
3.    Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor: KEP.100/MEN/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu

Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.

Komentar

Postingan Populer