Perdata_Hukumonline
a. Format perjanjian tertulis
Pada dasarnya, tidak ada format baku atau standar tertentu yang ditentukan dalam pembuatan suatu perjanjian/kontrak karena Indonesia menganut asas kebebasan berkontrak (lihat Pasal 1338 KUHPerda). Namun, pembuatan perjanjian tentunya harus memenuhi syarat sahnya perjanjian. Lebih jauh simak artikel kami Batalnya Suatu Perjanjian.
Ricardo Simanjuntak dalam bukunya “Teknik Perancangan Kontrak Bisnis”(hal. 60) menyatakan bahwa bila bentuk kontrak lisan saja mempunyai kekuatan hukum yang sah dan harus dipatuhi oleh para pihak yang terikat padanya, maka prinsip tersebut menunjukkan bahwa pada dasarnya kontrak tidak mempunyai suatu bentuk yang baku.
Jadi, tidak ada standar yang baku yang ditetapkan untuk membuat suatu perjanjian.
b. Hal-hal yang minimal diatur dalam suatu perjanjian
Pada dasarnya suatu perjanjian dapat dibuat secara bebas di antara para pihak yang mengikatkan diri. Dalam membuat perjanjian di Indonesia berlaku asas kebebasan berkontrak sebagaimana diatur dalam Pasal 1338KUHPerdata sebagaimana kami sebutkan di atas. Namun, untuk hal-hal yang penting dicantumkan dalam perjanjian, simak artikel kami Poin-poin dalam Perjanjian.
c. Perjanjian cacat hukum
Menurut advokat David M.L. Tobing dari Adams & Co. suatu perjanjian dikatakan cacat apabila tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian, yaitu:
SYARAT SAHNYA PERJANJIAN
| |
1. Kesepakatan para pihak dalam perjanjian
2. Kecakapan para pihak dalam perjanjian
|
Syarat SUBJEKTIF
|
3. Suatu hal tertentu
4. Sebab yang halal
|
Syarat OBJEKTIF
|
Sehingga, apabila suatu perjanjian itu tidak memenuhi syarat subjektif, maka perjanjian tersebut dapat dimintakan pembatalannya. Sedangkan apabila suatu perjanjian tidak memenuhi syarat objektif, maka perjanjian tersebut dinyatakan batal demi hukum.
d. Kiat-kiat menghindari konflik atau perselisihan dalam membuat perjanjian.
Lebih lanjut David M.L. Tobing menjelaskan bahwa dalam suatu perjanjian, pada umumnya ada pihak yang memiliki posisi lebih dominan, ada yang lebih lemah. Hal inilah yang kemudian mengakibatkan seperti dalam praktik perbankan adanya klausula eksonerasi.
Klausula eksonerasi (pengecualian) ini pada suatu perjanjian kredit bank, mencantumkan syarat sepihak. Klausula ini menyatakan bahwa Bank sewaktu-waktu diperkenankan untuk mengubah (menaikan/menurunkan) suku bunga pinjaman (kredit) yang diterima oleh Debitur, tanpa pemberitahuan atau persetujuan dari debitur terlebih dahulu. Dengan kata lain, ada kesepakatan bahwa debitur setuju terhadap segala keputusan sepihak yang diambil oleh Bank untuk mengubah suku bunga Kredit, yang telah diterima oleh Debitur pada masa/jangka waktu perjanjian kredit berlangsung.
Dengan adanya klausula eksonerasi tersebut, bank diposisikan lebih tinggi daripada nasabah. Menurut David, hal-hal seperti inilah yang harus dihindari. Untuk menghindari konflik atau perselisihan dalam pembuatan suatu perjanjian, posisi setiap pihak harus seimbang sehingga potensi timbulnya sengketa di kemudian hari dapat diminimalkan.
e. Hukumonline sampai saat ini belum menyediakan contoh-contoh kontrak. Anda dapat mencari contoh-contoh kontrak di internet atau berbagai buku.
Catatan: Klinik Hukum menemui dan meminta pendapat David. M.L. Tobing pada 28 April 2011.
Dasar hukum:
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, Staatsblad 1847 No. 23)
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.SENIN, 02 MEI 2011
Komentar
Posting Komentar