Wawancara PSHK & LEIP

Wawancara Dengan Prof. Satjipto Rahardjo (07-12-2009)

 

Pengantar:
Dalam rangka penyusunan cetak biru Mahkamah Agung (yang kedua), Dian Rositawati (LeIP) dan saya sempat mewawancarai juga Prof. Satjipto untuk mengetahui pendapatnya tentang peran pengadilan dalam negara hukum. Sebagian besar dalam bentuk catatan, karena pendapat yang saya dengar ketika itu mengalir begitu saja dengan deras. Namun sayangnya, wawancara ini (mungkin) menjadi wawancara terakhir dengannya, karena kira-kira sebulan kemudian, guru besar karismatik itu berpulang..

PSHK, Senin, 7 Desember 2009, 09.00 BBWI


PENGADILAN DAN NEGARA HUKUM
Indonesia adalah negara hukum. Dua pilar utama dari negara hukum: legislative (pembuatan undang-undang) dan judiciary (peradilan). Negara hukum disebut rechtstaat dan bukan machtstaat, tidak semata-mata mengandalkan kekuasaan.
Pertama-tama harus ada hukumnya, peraturan-peraturan dari atas sampai bawah, perundang-undangan. Yang kedua adalah peradilan, judiciary.
Sekalipun lembaga legislatif sudah menjalankan pemeriksaannya dengan baik (membuat perundang-undangan), tetapi itu baru awalnya saja. Karena legislatif itu membuat peraturan sifatnya umum (general), sehingga sekalipun sudah ada peraturan, tetapi masih dibutuhkan suatu kepastian, suatu pemaknaan lebih lanjut mengenai isi peraturan itu. Sifatnya masih sangat umum. Sehingga ada pilar kedua. Fungsi pemberian makna, dilakukan oleh judiciary (peradilan).
Sebetulnya, dalam negara hukum tidak selesai dengan dibuatnya peraturan perundang-undangan, tetapi masih berlanjut sampai tahu persis apa sebetulnya yang dimaksud peraturan-peraturan yang dibuat oleh badan legislatif. Ini menjadi tugas lembaga yang lain, yaitu pengadilan. Jadi pengadilan ini penting sekali. Sekalipun sudah dibuat peraturan, tetapi masyarakat belum ngeh betul apa maksud dari peraturan. The judiciary yang utama di sini, bagaimana ketentuan-ketentuan yang bersifat umum memperoleh bentuknya yang konkrit – memperoleh makna yang sebenarnya yang terkandung dalam peraturan itu. Bukan pembuat undang-undang, tetapi tanpa peradilan, undang-undang masih terkatung-katung.
PN, PT, MA, bukan badan legislatif, tetapi ia menafsirkan, memberi makna, memberi konkritisasi peraturan. Bisa juga disebut bahwa badan-badan peradilan itu membuat undang-undang juga.
Badan peradilan mempunyai kekuasaan legislatif juga. Kalau sudah ditentukan oleh badan peradilan, tak ada yang boleh ikut campur. Ia menjalankan pembentukan undang-undang. Untuk menunjukkan tempat peradilan/pengadilan, khususnya MA dalam konstalasi sebuah negara hukum.

PERAN MAHKAMAH AGUNG
Tugas utama MA adalah melakukan kasasi. Jadi, sekalipun MA menjalankan kasasi, tapi kasasi itu lain dari pekerjaan pengadilan negeri dan pengadilan tinggi. PN paling konkrit adalah memeriksa dan mengadili perkara. Dalam kasasi, MA hanya melihat apakah hukum telah diterapkan dengan benar. Di sini pentingnya kekuasaan MA dalam menjaga agar dalam satu negara hukum itu hukum itu sudah benar-benar digunakan untuk menata masyarakatnya. Meskipun tidak memeriksa sendiri perkaranya, ia betul-betul menjaga agar hukum sesuai dengan tujuan dari negara hukum itu. Sebetulnya kasasi tidak hanya menjaga kesatuan hukum, kasasi juga bisa mengoreksi hukum – tidak hanya rule making, tetapi juga rule breaking.

Yang menarik, MA di masa yang akan datang, tidak hanya memikirkan rule making saja, tetapi juga rule breaking, jadi jika sewaktu-waktu MA menganggap bahwa demi kesejahteraan dan kebahagiaan rakyat, maka MA dapat melakukan itu. Belum ada kesadaran bahwa, MA selain melakukan fungsi rule making juga dapat melakukan rule breaking. MA tahun 1919 menafsirkan makna dari perbuatan melawan hukum. Dilihat dari rule making, MA memang sedang menjalankan makna konkritisasi perbuatan melawan hukum, tetapi ia tidak sekedar rule making, tetapi juga melakukan rule breaking, karena selama berpuluh-puluh tahun lamanya makna perbuatan melawan hukum sebagai perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang – tidak pernah berubah. Tiba-tiba pada bulan Januari 1919, MA negeri Belanda membuat putusan yang sangat monumental yang mengatakan bahwa sejak hari itu perbuatan melawan hukum itu tidak hanya bertentangan dengan undang-undang, tetapi juga yang bertentangan dengan kepatutan masyarakat.

Bagaimana dengan pembentukan makna baru tersebut?
Saat ini, pembentukan makna baru, baru setengah-setengah. Untuk saat ini, MA seharusnya lebih berani menentukan makna baru. “Hukum itu untuk manusia, bukan manusia untuk hukum.” Kalau manusia itu untuk hukum, maka sepanjang sejarah hukum tidak akan perlu ada rule breaking.
Untuk menampung dinamika perubahan-perubahan dalam kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan seterusnya. Tidak perlu ragu-ragu untuk mengoreksi, harus diberi jalan keluar.
Rule breaking lebih dramatis dari rechtsvinding (penemuan hukum). Rechtsvinding itu menemukan keadilan yang ada dalam teks-teks normatif. Hukum memang mengandung norma-norma (kaedah-kaedah), tetapi itu tidak bisa segera ditemukan. Kalau rule breaking lebih dramatis lagi, seperti contohnya perbuatan melawan hukum.
Kembali pada filsafat/paradigma, bahwa hukum itu untuk manusia, jadi setiap kali manusia “dipersulit” dalam kehidupan kemasyarakatannya – karena adanya hukum itu, maka di situ bisa dilakukan rule breaking: positif dan produktif. Bahwa rule breaking itu demikian dramatis, sehingga suatu ketika peradilan Amerika mematahkan trias politica, karena Amerika dalam proses menjadi negara modern. Legislasi tidak bisa membantu dengan cepat, sehingga pengadilan mengambil alih. Beberapa putusan negara Amerika ketika itu, government by judiciary. Sebetulnya para hakim agung amerika sudah duduk di kursi eksekutif.

Tidak perlu terbatas pada kasus itu, tetapi berlaku juga untuk kasus-kasus yang sekiranya mempunyai konteks seperti itu. Bisa dikatakan, sekarang ini kita bukan lagi berhukum secara formal, tetapi secara subtansial. Jadi kalau ada kasus-kasus lain yang secara substansial mengandung hal seperti itu, maka bisa dipakai.

Apakah pada negara yang tidak menganut sistem preseden, konsep tersebut – membuat makna baru – dapat diterima?

Kita bicara mengenai sistem-sistem besar di dunia. Common Law pada tradisi dan Civil Law pada bentuk. Sekarang ini perbedaan common law dan civil law bukan lagi hitam putih. Sistem itu diperlukan, supaya ada keteraturan di mana yang satu berhubungan dengan yang lain. Tapi manusia tidak boleh diikat dengan sistem. Kalau perlu Indonesia menganut common law system. Dalam peralihan pemerintahan kolonial ke negara Indonesia, tidak ada kata-kata yang jelas bahwa RI akan mengikuti civil law system. Tidak ada statement yang jelas bahwa kita mengikuti civil law system. Hukum progresif intinya adalah hukum yang membebaskan, supaya tidak terjadi manusia untuk hukum. Jadi, sebetulnya melompat, karena itu melompat.
Yang belum diikutsertakan secara sistematis dan substansial adalah pendidikan hukum.
Pendidikan hukum juga diselipkan sebagai satu institusi yang peranannya sangat besar dalam negara hukum (memajukan negara hukum). Kalau ada masalah korupsi dan sebagainya, terdakwanya hanya hakim, jaksa, advokat, tetapi pendidikan hukum tidak pernah digugat. Belum ada perubahan. Keberanian rule breaking tidak diajarkan di fakultas hukum. Mereka tidak tahu bahwa rule breaking bisa, cetakannya sangat formalistis dan legalistik.

Bagaimana peran pendidikan hukum membuat rule breaking ajeg?
Tidak kelihatan fakultas hukum menjalankan peran yang penting. Sebetulnya kata-kata rule making dan rule breaking diambil dari disiplin psikologi. Sebelumnya ukurannya IQ, padahal potensi dalam otak manusia tidak hanya IQ, tetapi EQ dan sekarang sudah SQ.  IQ linier, sedangkan EQ dan SQ melompat. Ilmu hukum harus rendah hati melihat apa yang terjadi dengan perkembangan hukum.

Ternyata tidak sedikit putusan-putusan hakim yang melompat, tetapi orang hukum tidak bisa mengerti itu. Berpikir tidak hanya linier, tetapi bisa juga melompat. Ada seorang filosof Amerika, Ronald Dworkin, mengatakan bahwa setiap hakim menjatuhkan putusan pada waktu itu ia sedang berteori tentang hukum. Ahli hukum Belanda mengatakan bahwa setiap putusan hukum adalah satu lompatan. Saat ini sudah sampai deep ecology – semua yang ada pada alam ini berada dalam satu networking (jaringan), terdiri dari living mechanism dan ecosystem. Kalau hukum hanya mau memutus menurut maunya sendiri, tetapi tidak belajar dari lingkungan hidup, maka hukumnya salah.
Hukum progresif menyediakan fasilitas untuk itu, kalau boleh saya singkatkan: (1) hukum progresif itu tidak pernah berhenti untuk melakukan pencarian (2) kalau dia menemukan hal baru dalam pencarian itu, dia harus berani membebaskan diri dari mindset yang lama (3) dengan begitu dia memberikan pencerahan.
Contoh: hakim agung Adi Andoyo suatu ketika memutus M. Pakpahan tidak melakukan makar, padahal PN dan PT memutus makar. Pada waktu beliau diwawancara, mengapa putusannya seperti itu, karena beliau membaca buku-buku sosiologi sehingga lebih tercerahkan.

Bagaimana peran MA dan pendidikan hukum untuk memberlakukan makna baru secara ajeg? Perlu ada perubahan mindset, pendidikan kita sudah lama mengalami cacat. Apa yang dilakukan di FH? Isinya hanya menghafal saja. Hukum bukan hanya teks saja, tetapi juga hati nurani.

Keluhan publik bukan karena profesionalisme lawyer, tetapi karena perilakunya/rasa kemanusiaannya yang tidak ada. Sehingga, sejak profesionalisme dipegang, rasa kemanusiannya ditumpulkan.
Kalau orang hanya memikirkan kepastian hukum, tetapi tidak untuk keadilan, maka tidak tercapai tujuan hukum.

Bagaimana dengan konsep kesatuan hukum?
Masalah kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan arahnya lain. Karena kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan itu tidak berdiri sendiri-sendiri. Masing-masing berhubungan dalam keadaan bertentangan, tetapi orang tidak paham bahwa dari sononya ada dalam ketegangan. Jadi jangan kaget kalau antara satu dan lainnya bertabrakan.
Hakim itu menjaga kesatuan hukum, supaya penerapan hukumnya tidak salah. Tetapi apakah sejauh sampai ke masalah perilaku dan sebagainya? Kedua, MA terlalu banyak mencampuri pengadilan di bawahnya, melakukan kontrol sehingga pengadilan di bawahnya kehilangan the power of making law. Mengakibatkan ia kehilangan kesempatan untuk rule making.
Perlu ada independensi hakim secara substantif, secara administratif mungkin iya. Hanya dengan demikian ia akan mempunyai kebangaan/harga diri/kehormatan. Bangga menjadi hakim, menjaga kehormatan hakim. Jaman tahun 50-an perilaku hakim umumnya masih seperti itu. Ketua MA, Asikin Kusumaatmadja, pernah mengancam pergi karena tidak duduk di samping presiden. Hal ini perlu untuk membongkar cita pengadilan yang semakin merosot. Kalau hakim-hakim sendiri tidak menghormati jabatannya, lalu siapa lagi?

Hakim harus diberikan kehormatan yang tinggi, tempat yang terhormat.  Tempat hukum di masyarakat masih rendah dan tidak dipercaya. Jika mereka diberi kepercayaan yang besar, maka mereka akan berusaha melaksanakan profesinya plus (plus: menggunakan akal sehat dan nurani).
Di Amerika Serikat, pada waktu itu produksi mobil membanjir, akibatnya banyak terjadi kecelakaan dan masuk ke pengadilan. Pengadilan collapsed karena tidak siap menghadiri banjirnya perkara. Maka, pengadilan membuat peraturan yang menakut-nakuti masyarakat untuk ke pengadilan, jadi hanya mereka yang betul-betul perlu. Esensinya, to discourage people untuk membawa kasus-kasus perkara ke pengadilan/MA. Jangan ragu-ragu mengatakan: “this is the Indonesian development/concept of law.” Perlu ada dignity/harga diri. Konon, sekarang ini yang masuk ke pengadilan bukan top ten dari fakultas hukum.

Problem yang paling mendasar adalah ketika seseorang yang baru lulus kuliah masuk menjadi hakim, hal ini berpengaruh terhadap kewibawaannya. Di Amerika biasanya merupakan puncak karier. Di Indonesia hanya lulusan S-1 yang hanya dilatih beberapa bulan saja. Untuk membangun bentuk konkrit supaya MA pada posisi making law, MA jangan dibanjiri perkara. Ini adalah kreativitas suatu bangsa, Indonesia tidak usah ikut kebiasaan internasional tidak apa-apa. Hukum untuk manusia, jangan dibalik. Harus ada satu mekanisme yang menyebabkan MA mempunyai banyak waktu untuk merenung, melihat arah hukum ini. Sekarang ini, ia dibebani untuk hal-hal yang kurang ada hubungannya dengan membangun konsep Indonesia.
Pertama, memberi dignity pada hakim. Kedua, MA jangan dibanjiri perkara.
Ada pendapat dari beberapa pakar tentang penguatan PT, misalnya perkara-perkara yang hanya sampai PT saja. Menurut Prof. bagaimana?
Bagus. Kalau memang membutuhkan itu, maka lakukan saja. Tugas MA untuk memberikan guidance terhadap perkembangan hukum. Tidak perlu kontrol sana kontrol sini, karena itu membutuhkan perlindungan.
Bagaimana dengan pengadilan adat/mediasi untuk lokal?
Pertama, jangan ragu-ragu untuk mengambil tindakan, hukum itu untuk Indonesia. Kalau dilihat dari perspektif sosiologis, tidak ada masalah sebenarnya. Hukum itu bukan bentuk (form), tetapi fungsi (function). Kalau form, perkara yang ada di masyarakat hanya bisa dibawa ke PN, tetapi kalau hukum dilihat sebagai fungsi, di mana saja bisa asal menjalankan fungsi peradilan. Contoh: Fiji banyak pendatang orang India (sikh), pengadilan hanya ada di ibu kota. Suatu ketika, ada orang punya perkara datang ke pengadilan. Yang menjaga pintu pengadilan adalah orang sikh. Rakyat jelata ini tahunya itu hakim. Tetapi karena sudah terlanjur mengira bahwa itu hakim, ia bercerita ke si penjaga pintu. Walaupun statusnya penjaga pintu, si penjaga pintu itu menguasai adat istiadat, maka ia beri nasihat-nasihat ke si orang yang datang. Orang yang datang itu akhirnya puas dan pulang ke rumah. Akhirnya para hakim tahu hal ini, kalau orang sudah puas, buat apa melalui prosedur formal yang kemungkinan besar tidak memuaskan. Ini contoh konsep hukum di luar negara. Misalnya, di suatu daerah di Indonesia, perselisihan dapat diselesaikan tanpa mengikuti prosedur formal.

Yang terjadi saat ini, justru mediasi (instrumen tidak formal) malah diformalkan. Bagaimana menurut Profesor?
Kita harus berani memilih pilihan sendiri sesuai dengan kebutuhan di Indonesia. Hakim-hakim itu harus kaya akan pengetahuan tentang itu. Sebab dari aspek formal sekalipun, itu keliru kalau kita menganggap bahwa perkara yang diselesaikan di pengadilan diselesaikan penuh dari A-Z sesuai dengan prosedur yang berlaku. Sering pengadilan hanya menjadi tempat mencatat perkara saja. Ada yang disebut sebagai memutus in the shadow of law (di bawah bayangan undang-undang). Dibawa ke pengadilan, tetapi orang-orang itu sendiri yang menyelesaikan, hakimnya hanya duduk saja. Banyak sekali tipe-tipe seperti itu. Tapi lawyer formal tahunya prosedur A-Z dilakukan dengan benar, tapi kenyataannya tidak seperti itu. Banyak jalan menuju ke pengadilan yang berkualitas. Menurut saya, kita harus berani.
Pembaruan peradilan jangan hanya pengadilan saja, tetapi harus the whole system. Negara ini adalah negara hukum Indonesia, jadi harus berani menemukan solusi-solusi baru. Untuk keadaan yang luar biasa seperti saat ini, jangan ragu-ragu bertindak beyond the call of duty, beyond the call of procedure, dsb.
Situasi saat ini adalah demokrasi yang kehilangan makna demokrasinya.
Indonesia tahun 50-an dan Indonesia tahun 2000 jauh. Sebetulnya tidak hanya MA saja. MA yang paling utama, karena posisinya sebagai hakim. Tetapi lembaga-lembaga lain juga harus menjaga dan menghormati lembaga pengadilan, kalau negara hukum ini memang akan dijadikan negara hukum yang bermartabat. Mereka harus bersedia membayar ongkosnya, yaitu dengan menempatkan MA pada tempat yang terhormat. Lembaga-lembaga negara lain harus menghormati pengadilan.

Di Amerika pada abad 19, pengadilan dilihat dengan sebelah mata, tidak diabaikan sama sekali. Yang dianggap berkuasa adalah registration dan law enforcement. Sampai kantornya MA menempati gedung yang sudah tua. Tiba-tiba, pada tahun 1800-an berapa, John Marshall mengeluarkan diktum bahwa ia berhak suatu act of congress dapat dinyatakan inkonstitusional. Saya memimpikan MA yang seperti itu.

Bagaimana dengan pengawasan terhadap kekuasaan eksekutif?
Pengadilan semestinya punya fungsi pengawasan dalam pelaksanaan KUHAP. Saya berikan salah satu contoh konkrit: dalam pemberantasan korupsi, ada kasus BiChan. Kalau korupsi yang dijadikan sasaran, jangan pakai KUHAP, kita buat anti-corruption justice system (sistem peradilan anti-korupsi). Karena sistem yang lama, wewenang polisi dan jaksa sama saja (dengan fungsi KPK). Ini menimbulkan ego institusi. Maka, kenapa tidak dibikin anti-corruption justice system? Sekalipun polisi dan jaksa ada tugasnya, tetapi mereka berdiri di atas platform yang sama. Bukannya saling menohok, tujuannya harus jelas: anti-korupsi. Jadi, tidak ada yang menjadi pusat, mereka hanya sekrup-sekrup saja dari gerakan pemberantasan korupsi.

Elemen apa saja yang ada dalam konsep badan peradilan yang agung?
Yang penting adalah manusianya. Kalau ada hal-hal yang masih perlu diperjelas, jangan ragu-ragu. Satu hal terakhir yang ingin saya sarankan, data empirik tentang MA pernah ditulis oleh Sebastiaan Pompe: 50 tahun MA Indonesia. Waktu disertasi itu dijadikan buku, judulnya Institusional Collapse. Itu kekayaan untuk dipakai sebagai bahan untuk membangun Indonesia.
*) Wawancara ini pernah diterbitkan juga dalam buletin NLRP (National Legal Reform Program).

Komentar

Postingan Populer