Tuisan Pak HH
Jumat, 07 Desember 2012, http://hasbi-hasan.blogspot.com/
EKONOMI ISLAM DALAM PUSARAN KAPITALISME
Abstrak
Kemunculan
sistem ekonomi Islam salah satunya dipicu oleh ketidakpuasan terhadap sistem
kapitalisme yang menjadi primadona perekonomian global pada abad ini. Di mata
para pemikir ekonomi Islam, sitem kapitalisme telah mengakibatkan problem-problem
kemanusiaan dalam kaitannya dengan masalah keadilan dan kesejahteraan sosial.
Ekonomi Islam hadir sebagai alternatif untuk menjawab persoalan tersebut dengan
menjangkarkan diri pada nilai-nilai dan prinsip-prinsip Islam. Kendati
demikian, pada level praktis, sistem ekonomi Islam seringkali dihadapkan oleh
persoalan-persoalan pragmatis dalam rangka melebarkan kekuatan institusionalnya
sebagai sebuah lembaga perekonomian modern. Pada level ini, logika kapitalisme
justeru kerap membayang-bayangi praktik ekonomi Islam di dunia kontemporer.
Kata
kunci: ekonomi Islam, prinsip ekonomi Islam, sistem ekonomi Islam, kapitalisme
Pendahuluan
Dalam tiga
dekade terakhir ini, banyak ikhtiar intelektual yang dilakukan oleh para
pemikir Islam untuk menjelaskan kembali pemikiran ekonomi dalam Islam secara
serius dan mendalam – termasuk kajian fiqh muamalah yang telah lama berkembang
sejak periode Islam klasik. Geliat intelektual ini mencuat seiring dengan
perhatian yang besar terhadap perkembangan ekonomi Islam belakangan ini, yang
oleh para inisiatornya diusung sebagai alternatif ekonomi konvensional yang
dianggap telah gagal dalam mewujudkan keadilan dan kesejahteraan sosial. Ikhtiar
intelektual tersebut dilakukan lewat penelusuran kembali atau penafsiran ulang terhadap
warisan literatur Islam dalam kitab-kitab fiqh, buku-buku ekonomi, praktik-praktik
ekonomi yang diterapkan pada masa Nabi dan kekhalifahan yang berpegang kepada
prinsip-prinsip syariah, hasil-hasil ijtihad para ulama dan metodologi yang mereka
terapkan dalam menyelesaikan problematika ekonomi yang mereka hadapi pada
zamannya masing-masing dan menganalisis sejauh mana kemungkinan penerapannya
pada saat ini. Pemikiran ekonomi Islam ini meliputi pembahasan tentang problematika
dan krisis ekonomi dan solusinya, pemikiran yang berkaitan dengan kesejahteraan
ekonomi, pokok-pokok prinsip ekonom Islam secara umum dan sikap ekonomi Islam
terhadap pemikiran-pemikiran ekonomi konvensional yang pernah ada dan berlaku
saat ini (Naqliy, 1416 H: 32).
Kemunculan
pemikiran ekonomi Islam modern pada awalnya bertolak dari kenyataan bahwa
sistem kapitalisme yang selama ini menjadi primadona dalam aras perekonomian
global dianggap telah gagal meralisasikan cita-cita keadilan sosial dan
kesejahteraan masyarakat. Secara global, kekuatan ekonomi di bawah sistem
kapitalisme telah menyisakan sejumlah problem dalam kaitannya dengan keadilan
ekonomi, baik dalam soal relasi kepemilikan, produksi, konsumsi dan distribusi.
Di bawah sistem-sistem ini, manusia modern menghadapi
persoalan ketidakadilan sosial, kesenjangan pendapatan, kemiskinan,
diskriminasi, marjinalisasi, korupsi dan sebagainya (Carens, 1981: 2-5). Persoalan-persoalan
ekonomi tersebut mempengaruhi munculnya berbagai kelompok dan strata sosial di
hampir seluruh belahan dunia, dengan perbedaan dan jurang pemisah yang sangat
tajam dan ditandai oleh pola relasi yang tidak harmonis, lemah rasa empati dan
jarang memiliki ikatan sosial yang kuat. Ironisnya, di antara kelompok-kelompok
masyarakat tersebut terdapat sekelompok kecil individu yang menikmati kekayaan
berlimpah dan hidup dengan kemewahan. Mereka lebih banyak memuaskan keinginan pribadi
tanpa dan atau kurang memberikan kontribusi untuk kemakmuran orang lain yang
kurang beruntung. Hanya sebagian kecil dari orang kaya yang peduli terhadap
sesama dengan menyisihkan sebagian kekayaannya untuk menyantuni dan
memberdayakan orang lain, namun jumlahnya belum memadai dan bantuan dana dari
mereka masih belum memenuhi hajat mayoritas orang-orang yang lemah (Crocker,
1977: 162-166).
Ketidakpuasan terhadap
sistem kapitalisme inilah yang menjadi salah satu pemicu awal para pemikir
Islam untuk merumuskan sistem perekonomian yang mendasarkan diri pada
nilai-nilai dan prinsip-prinsip Islam. Dalam konteks ini, penerapan
sistem ekonomi Islam didasarkan
pada beberapa tujuan utama,
antara lain: Pertama, menghapuskan kemiskinan, menciptakan suasana yang
kondusif dalam lapangan kerja dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang optimal; Kedua, mempromosikan stabilitas dalam nilai tukar uang yang
sesungguhnya; Ketiga, menjaga tatanan hukum dan pemerintahan; Keempat, memberikan jaminan bagi masyarakat dalam hal keadilan
sosial dan ekonomi; Kelima, mengatur keamanan sosial dan meningkatkan distribusi
pendapatan (income) dan kekayaan bagi negara dan masyarakat; dan Keenam, menciptakan relasi yang harmonis dengan masyarakat
internasional dan menjamin pertahanan nasional (Akhtar, 1992: 29).
Tulisan
ini hendak memaparkan konsep ekonomi Islam dalam kaitannya dengan sistem
kapitalisme yang menjadi sasaran kritiknya. Selain menjelaskan pelbagai aspek
yang berkaitan dengan bangunan ekonomi Islam, penulis juga akan menyuguhkan
catatan kritis dan evaluatif dalam kaitannya dengan implementasi sistem ekonomi
Islam pada level praktis dengan menelisik sejauh mana praktik-praktik ekonomi
Islam kontemporer benar-benar konsisten menjalankan prinsip-prinsip Islami yang
menjadi sumber acuannya.
Kritik
Terhadap Kapitalisme
Persoalan
ekonomi manusia secara fundamental terletak pada sebuah fakta bahwa manusia memendam
keinginan (wants) yang secara umum tak dapat dipuaskan tanpa
membelanjakan sumber-sumber energi manusia dan peralatan material yang terbatas
(Mannan, 1991: 3-5). Apapun kondisi seorang manusia, ia pasti butuh sandang,
pangan, papan dan keperluan-keperluan lain yang diupayakan tidak terputus
ketersediaannya baik secara kualitas maupun kuantitas. Bahkan, nafsu manusia
selalu menginginkan lebih dari kebutuhannya. Sumber alam yang terbatas semakin
sulit terdistribusi secara merata dan adil karena keinginan yang berlebihan dan
tidak terpuaskan. Inilah persoalan kehidupan manusia yang terus menjadi
perhatian ilmu ekonomi baik pada level individu, kolektif atau dalam bentuk
negara.
Meskipun
motif dasar kegiatan ekonomi bertolak dari stasiun keberangkatan yang sama – yakni
disebabkan oleh adanya kebutuhan dan keinginan manusia – namun lantaran cara
manusia dalam memenuhi alat pemuas kebutuhan dan cara mendistribusikan alat
kebutuhan tersebut didasarkan pada filosofi yang berbeda, maka timbullah pelbagai
sistem dan praktik ekonomi yang beragam (Fried, 1970: 15-23). Perbedaan ini
tidak terlepas dari pengaruh filsafat, agama, ideologi, dan kepentingan politik
yang mendasari suatu negara penganut sistem tersebut. Oleh karena itu, meskipun
titik tolak kegiatan ekonomi berasal dari tujuan yang sama, namun sistem yang merepresentasikannya
mengejewantah dalam pelbagai model yang berbeda. Dalam sejarah ekonomi modern, model
tersebut direpresentasikan dalam beberapa bentuk, antara lain kapitalisme,
sosialisme, neo-liberalisme dan negara kesejahteraan (welfare state).
Kendati demikian, model yang mendominasi perekonomian global hingga detik ini
adalah kapitalisme.
Paham kapitalisme
bersumber dari tulisan Adam Smith dalam bukunya An Inquiry into the Nature
and Causes of the Wealth of Nations yang ditulis pada tahun 1776. Isi buku
tersebut sarat dengan pemikiran-pemikiran tentang perilaku ekonomi masyarakat. Dasar
filosofis tersebut kemudian diterjemahkan menjadi sistem ekonomi dan pada gilirannya
mengakar menjadi ideologi yang mencerminkan suatu pandangan hidup (way of
life). Smith berpendapat motif manusia melakukan kegiatan ekonomi adalah
atas dasar dorongan kepentingan pribadi, yang bertindak sebagai tenaga
pendorong yang membimbing manusia mengerjakan apa saja asal masyarakat sedia
membayar. Motif kepentingan individu yang didorong oleh filsafat liberalisme ini
kemudian melahirkan sistem ekonomi pasar bebas (Braudel, 1984: 23-25). Kebebasan
ekonomi sebagai postulat dasar kapitalisme ini juga diilhami oleh pendapat
Legendre dalam rekaman dialognya dengan Menteri Keuangan Perancis, Jean Bapiste
Colbert, pada masa pemerintahan Louis XIV di akhir abad ke 17. Colbert bertanya
kepada Legendre, “Bagaimana kiranya pemerintah dapat membantu dunia usaha?”
Legendre menjawab: “Laissez nous faire” (jangan mengganggu kita, [leave
us alone]). Kalimat ini kemudian populer dengan istilah laissez faire.
Dewasa ini prinsip laissez faire diartikan sebagai absennya intervensi
pemerintah sehingga memungkinkan berkecambahnya individualisme ekonomi dan
kebebasan ekonomi (Faulkner, 1978: 15-20).
Oleh
karena itu, dalam sistem ekonomi kapitalis berlaku free fight liberalism
(sistem persaingan bebas); siapa yang memiliki dan mampu menggunakan kekuatan
modal (kapital) secara efektif dan efisien akan dapat memenangkan pertarungan
dalam bisnis. Paham ini mengagungkan kekuatan modal sebagai syarat memenangkan
pertarungan ekonomi (Clark, 1887: 9-15). Namun ketika kaum bermodal tumbuh
semakin kaya dan kaum miskin semakin termarginalkan, maka integritas sosial dan
keseimbangan distribusi yang seharusnya eksis akan semakin mustahil terwujud.
Nilai-nilai moral seperti persaudaraan, kerjasama, gotong royong, kasih sayang
dan kebajikan manusiawi akan dengan sendirinya tergerus oleh kebencian, iri
dengki, rivalitas individualis dari sebuah peradaban kapitalistik. Akibatnya, sistem ekonomi kapitalisme
telah mengakibatkan kesenjangan sosial antara orang kaya dan orang
miskin. Dunia saat ini telah melahirkan sekelompok kecil kaum konglomerat,
namun pada saat bersamaan meninggalkan milyaran manusia hidup di bawah garis kemiskinan
dan jutaan orang meninggal setiap hari karena kelaparan. Ini merupakan salah
satu akibat dari penekanan pada pertumbuhan GNP dan keberpihakan berlebihan
kepada pihak-pihak yang memiliki kapital besar (Haq, 1971: 7). Kapitalisme
berasumsi bahwa dalam sistemnya terdapat suatu distribusi pendapatan dan
kekayaan yang merata dan fair dalam perekonomian. Namun karena tidak adanya
mekanisme filter dan pemuasan keinginan yang tak terbatas, pendapatan dan
kekayaan tidak terdistribusi secara merata (Furniss dan Tilton, 1977: 42).
Menurut
Charles Tripp, kapitalisme dapat dipahami sebagai suatu sistem ekonomi yang
dibentuk oleh kombinasi tiga aspek; imajinatif, produktif dan institusional
(Tripp, 2006: 3). Pada aspek imajinatif, kapitalisme diasosiasikan dengan suatu
pandangan tentang rasionalitas manusia yang menempatkan keutamaan pada
kepentingan individu dan kalkulasi keuntungan yang berwatak utilitarian. Dalam
banyak hal, pandangan tersebut telah menghasilkan, dan pada saat bersamaan juga
dibentuk oleh, cara-cara di mana modal dan potensinya diimajinasikan, baik
sebagai bahan baku, sumber finansial, mesin atau produk akhir. Semua ini
direpresentasikan sebagai komoditas yang dapat dimiliki sebagai hak milik
pribadi tanpa ikatan moral tertentu. Kepemilikan pribadi tersebut dapat
dikalkulasi dan dinilai sejauh ia memberikan kontribusi terhadap proses-proses
produktif yang diukur berdasarkan margin keuntungan.
Kepemilikan
tersebut kemudian diekstensifikasi dengan cara mengembangkan matriks konsumsi
yang memfokuskan pada pemuasan hasrat individu dan mengikat konstruk imajinasi
konsumen yang rasional dan posesif untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Secara historis, kekuatan hebat perusahaan-perusahaan kapitalis telah
benar-benar bekerja, mencari pasar dan keuntungan, menciptakan inovasi produk
melalui perkembangan pesat teknologi, dan mengembangbiakkan pelbagai komoditas
yang merupakan sandaran utama kapitalisme itu sendiri. Proses ini telah
menghasilkan inovasi kelembagaan dan mengubah lembaga-lembaga yang telah ada
sebelumnya, seperti pasar, organisasi finansial, sistem hukum dan teritorial
negara. Namun
demikian, di bawah kapitalisme, proses komodifikasi telah mengambil alih segenap dunia
kehidupan dalam cara-cara tertentu yang pada gilirannya telah
menorehkan implikasi yang sangat mengejutkan, dimulai dengan komodifikasi tenaga kerja dan berakhir dengan komodifikasi pikiran, gagasan
dan relasi sosial. Proses-proses
tersebut telah
dimungkinkan oleh peranan pasar, institusi-institusi
klasik yang sekarang memegang posisi kelembagaan, bahkan termasuk kekuasaan normatif – dengan bobot dan skala
yang tidak paralel. Elemen-elemen kelembagaan
tersebut telah membentuk imajinasi dunia sosial, mendorong
komodifikasi lebih lanjut dan mendikte, bahkan membatasi, bentuk-bentuk
pertukaran dalam kegiatan perekonomian.
Bagi kebanyakan intelektual
Muslim, sistem
kapiltalisme tersebut telah menimbulkan sejumlah pertanyaan krusial, antara lain; apakah pertukaran
simbolik dan pertukaran materi berada dalam harmoni; apakah mekanisme
yang tepat dapat ditemukan untuk
menerjemahkan rasa suka menjadi tidak suka atau sebaliknya. Baik
di dunia Islam dan di tempat lain,
kekhawatiran yang muncul adalah bahwa uang,
terlepas dari objek-objek yang memberinya
nilai, berada dalam situasi mengapung bebas,
menyimpan potensi kekuatan amoral, mewakili
ancaman serius terhadap tatanan sosial dan etika masyarakat.
Dengan demikian, tidak mengherankan bahwa dalam pemikiran Islam, seperti dalam sejumlah tradisi-tradisi
etis besar lainnya, pembatasan telah didesain untuk mengontrol pertukaran moneter, dengan berupaya untuk tetap terikat pada objek
yang ada.
Oleh karena itu, para pemikir Islam menaruh
perhatian besar terhadap perkembangan kapitalisme. Problem mendasar yang
menjadi fokus kegelisahan mereka adalah pengaruh negatif yang ditimbulkan oleh
kapitalisme dalam kaitannya dengan masalah moral ekonomi. Di mata mereka,
pemusatan pada komodifikasi barang, jasa dan relasi sosial, penekanan
berlebihan terhadap hak milik pribadi, dan keleluasaan untuk mengejar kepentingan
individu yang senantiasa direproduksi oleh ekonomi kapitalis akan mengancam
kerangka etika kehidupan ekonomi yang telah eksis dalam tradisi Islam. Dalam
konteks ini, keprihatinan para pemikir muslim terhadap persoalan moral ekonomi
mengambil dua bentuk. Pertama, perturan etis dari transaksi manusia
dilihat sebagai bagian dari tujuan Allah dan merupakan benteng yang diperlukan
untuk menahan keretakan masyarakat. Kedua, kekhawatiran terhadap
perubahan identitas masyarakat Muslim akibat terpaan modernitas, termasuk kapitalisme
di dalamnya – terutama bagi mereka yang peduli pada wacana tentang masyarakat
Islam yang khas dan spesifik.
Ekonomi
Islam: Doktrin, Ilmu, Sistem
Dalam
teori dan praktik ekonomi modern, terdapat kecenderungan
umum untuk
memisahkan antara ekonomi normatif dan ekonomi positif. Sejak
paradigma Barat mulai
begitu condong ke arah pentingnya proposisi ilmiah, analisis
ekonomi lebih ditekankan kepada ekonomi positif (Hausman, 1994: 35).
Friedman menyatakan bahwa ekonomi positif pada dasarnya bebas atau netral dari
posisi etika dan penilaian normatif, oleh karena tujuan utamanya adalah
membangun teori yang mampu menjelaskan dan memprediksi fenomena ekonomi dengan
tepat (Friedman, 1953: 4). Sebaliknya, para pemikir ekonom Islam pada umumnya berpandangan bahwa aspek normatif dan
positif memiliki korelasi yang sangat kuat, sehingga pemisahan antara keduanya
malah cenderung menyesatkan. Hubungan tersebut menjadikan ekonomi Islam juga bersifat
preskriptif, yakni memberi resep-resep bagi pembentukan tatanan perekonomian masyarakat yang lebih
baik. Aspek positif dalam ekonomi Islam memberikan pemahaman
tentang bagaimana ekonomi bekerja, sedangkan aspek normatifnya memberikan arah kepada pencapaian
tujuan. Argumen ini didasarkan pada kenyataan bahwa al-Qur’an dan Sunah tidak
hanya berbicara mengenai apa yang berlangsung dalam kehidupan, tetapi lebih
jauh memberikan norma-norma yang harus dipraktikkan oleh setiap pelaku ekonomi
(Hoetoro, 2007: 263).
Dalam rangka memahami prinsip-prinsip ekonomi
Islam dan signifikansinya untuk pengembangan pemikiran, pengetahuan
tentang sumber-sumber yang
membentuknya penting untuk diketahui. Ekonomi
neo-klasik Barat jarang
sekali atau bahkan tidak sama sekali merujuk pada doktrin Alkitab. Sebaliknya, sumber utama inspirasi
bagi ekonomi Islam adalah Kitab Suci al-Qur’an. Nabi
Muhammad sebagai
penguasa dan pemimpin umat secara
khusus menaruh perhatian besar terhadap persoalan keadilan dan hak-hak
ekonomi. Pengalamannya sebagai pedagang
meniscayakan bahwa beliau memiliki pengetahuan praktis tentang
perniagaan dan prosedur yang terlibat dalam
transaksi ekonomi. Oleh karena itu, al-Qur’an dan
Hadis memberikan panduan yang sangat eksplisit
dalam bidang ekonomi. Bahkan,
ruang yang
dikhususkan untuk masalah-masalah ekonomi dalam
al-Qur’an begitu berlimpah ketimbang
apa yang tertuang dalam Alkitab – lebih dari
1.400 ayat berkenaan dengan isu-isu ekonomi. Hal ini dimungkinkan karena al-Qur’an pada
dasarnya memberikan resep yang lengkap untuk semua aspek kehidupan, baik material
maupun spiritual. Sumber otoritas lain
untuk transaksi komersial di negara-negara
muslim adalah fiqh danushul fiqh – yakni
ilmu atau
filsafat hukum Islam, khususnya pengetahuan
yang diperlukan untuk interpretasi hukum Islam. Fuqaha adalah ahli hukum yang memberikan opini
yang objektif tentang berbagai masalah hukum dalam relung
al-Quran dan Sunah, dan pendapat-pendapat ini termasuk dalam fiqh. Pada hal-hal yang
paling mendasar, terdapat konsensus di
antara para ahli hukum Islam yang
disebut sebagai ijma. Secara terminologis, ijma
merupakan hasil ijtihad para ulama dalam perkara hukum tertentu yang kemudian
menghasilkan suatu keputusan hukum yang disepakati bersama. Dalam
kaitannya dengan perkara-perkara komersial dan
ekonomi, terutama yang mencerminkan perkembangan
modern, ijtihad memainkan
peranan yang sangat penting (Ali, 2006: 24-27; Najjar,
2004: 18; dan Wilson, 2002: 103-105).
Berdasarkan
pada sumber-sumber itulah para pemikir Islam memformulasikan ekonomi Islam,
baik pada level teoretik maupun aplikatif. Dalam konteks ini, ekonomi Islam dapat dipahami sebagai doktrin maupun praktik. Ia disebut doktrin apabila dilihat dari segi sumber
dan dasar-dasarnya, sedangkan disebut praktik apabila dilihat dari segi implementasi
dan aplikasinya. Islam hanya
mengenal satu doktrin ekonomi, yaitu dasar-dasar dan prinsip-prinsip ekonomi
yang berasal dari al-Qur’an dan Sunah. Pada level ini, ekonomi Islam bersifat
ilahiah, sebab ia merupakan prinsip-prinsip ekonomi yang berasal dari wahyu
Tuhan. Ia senantiasa relevan dalam setiap ruang dan waktu dan tidak menerima
perubahan. Oleh sebab itu, dalam keadaan apapun, tidak terdapat perbedaan pada
level doktrinal ini (Fanjari, 1994: 19-20). Di sisi lain, ekonomi Islam sebagai sebuah praktik
direpresentasikan dalam bentuk teori pada level pemikiran dan sistem pada level penerapan. Pada
level ini, ekonomi Islam bersifat ijtihadi, yakni produk penalaran para ulama
berdasarkan sumber-sumber epistemik syariah Islam. Oleh sebab itu, sangat mungkin terjadi
perbedaan antara satu teori/sistem ekonomi Islam dengan teori/sistem ekonomi Islam lainnya, sesuai dengan perbedaan ruang dan waktu.
Dengan
kata lain, ekonomi Islam memiliki dua aspek, yaitu aspek permanen
dan aspek perubahan. Aspek permanen
bertautan dengan prinsip,
yakni sehimpunan dasar-dasar dan prinsip-prinsip ekonomi yang diajarkan oleh
al-Qur’an dan Sunah untuk diimplementasikan oleh umat Islam dalam setiap ruang
dan waktu terlepas dari tingkat perkembangan perekonomian suatu masyarakat dan
bentuk-bentuk produksi yang dominan pada suatu masa. Sedangkan
aspek perubahan berkaitan
dengan tataran aplikatif ekonomi syariah, yakni berupa kebijakan praktis dan
analisis yang diformulasikan oleh para ulama dan pemikir ekonomi syariah untuk
mentransformasikan dasar-dasar dan prinsip-prinsip ekonomi syariah dalam
realitas empirik masyarakat Islam (Fanjari, t.th.: 12).
Dengan
demikian, ekonomi Islam dapat dipahami
sebagai doktrin, ilmu maupun sistem. Sebagai sebuah doktrin, ekonomi Islam merupakan sejumlah
prinsip-prinsip perekonomian yang bersifat permanen yang dijadikan sebagai
dasar bagi teori ekonomi Islam (Najjar, 2004: 25). Dari teori yang
mendasarkan diri pada doktrin inilah kemudian muncul ilmu ekonomi Islam yang bertujuan untuk menafsirkan, menganalisis, dan
mengevaluasi fenomena perekonomian (Dabbu, 2008: 16; Najjar, 2004: 23). Di sisi lain, ekonomi Islam juga dapat dilihat sebagai sebuah sistem, yakni institusi perekonomian yang berupaya mendesain
orientasi dan perangkat yang dibutuhkan untuk merealisasikan tujuan ekonomi Islam. Orientasi utama sistem ekonomi Islam adalah untuk merealisasikan kebahagiaan yang
sebesar-besarnya bagi individu dan masyarakat, baik di dunia maupun di akhirat.
Dalam kondisi apapun, sistem ekonomi Islam senantiasa mendasarkan
diri pada doktrin ekonomi Islam, karena sistem ekonomi Islam hanyalah salah satu
komponen dari bangunan syariah Islam secara keseluruhan (Shadr, 1375 H:
315-319; Ali, 2006: 22; dan Najjar, 2004: 25-26.
Keseluruhan
bangunan ekonomi Islam ini memiliki prinsip-prinsip yang berbeda dengan sistem
kapitalisme. Perbedaan ini dapat dilihat dalam kaitannya dengan konsep
kepemilikan, kebebasan dan jaminan sosial. Dalam ekonomi Islam, konsep
kepemilikan didasarkan pada prinsip “kepemilikan ganda” (al-milkiyyah
al-muzdawijah). Islam menegaskan bahwa tidak ada kontradiksi antara individu dan masyarakat.
Oleh sebab itu, antara kemaslahatan individu dan kemaslahatan masyarakat tidak
perlu saling dibenturkan. Sebaliknya, Islam memandang bahwa individu dan
masyarakat saling menopang antara satu sama lain, karena manusia pada dasarnya
selalu hidup sebagai individu sekaligus masyarakat; ia membutuhkan kedua
dimensi tersebut (Wahid, 1995: 33). Dengan demikian, baik kepemilikan individu
maupun kepemilikan sosial bersifat otentik pada dirinya; yang satu bukan
merupakan derivasi atau substitusi bagi yang lain, tetapi keduanya saling
melengkapi antara satu sama lain. Berdasarkan pengakuan terhadap kedua jenis
kepemilikan ini, maka salah satu tujuan dari ekonomi syariah adalah
merealisasikan keseimbangan antara kemaslahatan individu dan kemaslahatan
masyarakat (Ali, 2006: 79).
Dalam
Islam terdapat konsepsi yang menegaskan bahwa setiap individu
bebas mengelola harta bendanya sendiri dan tidak seorang pun dapat
mengganggunya dan ikut campur di dalamnya tanpa kerelaannya, bila tetap
memperhatikan kepentingan umum dan tidak mengganggu dan merusaknya. Bahkan
pemerintah sekalipun tidak berhak melakukan intervensi, tanpa legitimasi hukum
yang jelas. Menurut al-Syafi‘i, manusia bebas sepenuhnya mempergunakan harta
miliknya. Tidak seorang pun berhak mengambil harta tersebut atau sebagiannya
tanpa hak dan kerelaannya, kecuali pada pos-pos yang diharuskan (Muzaniy,
t.th.: 92). Sebaliknya negara berkewajiban mendistribusikan tanah dan kekayaan
lainnya untuk kepentingan rakyat secara merata dan adil, serta mempertimbangkan
kebutuhan generasi mendatang (Ra’ana, 1991: 12-15).
Di sisi lain, Islam juga mengakui hak kepemilikan kolektif. Hak kepemilikan kolektif dimaksud adalah harta kekayaan yang secara khusus
digunakan untuk kemaslahatan umum. Ia berbeda dengan kepemilikan individu yang
pemanfaatannya hanya diarahkan pada kepentingan pribadi tertentu (Najjar, 2004:
170). Kepemilikan kolektif
terkait dengan kepentingan
umum dan hajat orang banyak dalam hal sumber kekayaan utama yang ada dalam
suatu negara. Oleh sebab itu, ia tidak dapat dimiliki oleh individu tertentu,
namun setiap anggota masyarakat berhak memanfaatkan sumber-sumber kekayaan
negara tersebut sesuai dengan kebutuhan masing-masing (Salus, 1998: 42). Kekayaan negara dimaksud adalah harta yang
merupakan hak bagi seluruh rakyat dan pengelolaannya menjadi wewenang negara,
di mana negara berhak memberikan atau mengkhususkannya kepada sebagian rakyat
sesuai dengan kebijaksanaan pemerintah (Nabhani, 1990: 218). Sebagaimana
kepemilikan individu, kepemilikan kolektif juga terikat oleh ketentuan-ketentuan syariah, karena itu
ia tidak bersifat mutlak. Harta kekayaan milik sosial harus diarahkan untuk
merealisasikan tujuan yang luhur, yakni melindungi kemaslahatan masyarakat dalam suatu negara. Oleh
sebab itu, negara tidak boleh menggunakan harta kekayaan milik umum secara
semena-mena, namun terikat oleh ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh
syariah Islam.
Ekonomi Islam juga mengintrodusir konsep
kebebasan yang berbeda dengan sistem kapitalisme. Menurut ajaran Islam, prinsip kebebasan ekonomi harus
mengikuti beberapa ketentuan berikut. Pertama, Islam melarang pelbagai kegiatan perekonomian yang bertentangan dengan nilai-nilai yang telah
ditetapkan oleh syariah, seperti riba,
eksploitasi, monopoli, dan lain sebagainya. Sebagaimana diketahui, setiap kegiatan perekonomian pada
dasarnya diperbolehkan selama tidak ada nash yang menyatakannya haram. Ini
sesuai dengan kaidah ushul fiqh yang menyatakan bahwa “pada dasarnya segala sesuatu diperbolehkan sejauh tidak
ada ketentuan yang menyatakan haram” (al-asl fî al-asyyâ’ al-ibâhah illâ mâ
dalla dalîlun ‘alâ tahrîmihâ). Kedua, Islam memberikan ruang
bagi penguasa untuk mengawasi pelbagai kegiatan perekonomian dan memperkenankan intervensi negara demi
terjaminnya kemaslahatan umum (maslahah ‘âmmah), terutama ketika
kebebasan individu dianggap mencederai kemaslahatan sosial. Ketiga, Islam menekankan kepada setiap individu untuk
melaksanakan kewajiban-kewajiban tertentu terkait dengan harta yang dimilikinya
(Ali, 2000: 87-88).
Dengan
demikian, kebebasan ekonomi dalam bingkai ajaran Islam mengacu pada kebebasan yang dimiliki oleh
setiap individu dalam mengembangkan hartanya dengan cara yang baik, di samping harus tetap berusaha menghindari praktik perekonomian yang diharamkan, baik dengan cara
riba, menimbun harta (al-ihtikâr), dan lain sebagainya.
Oleh sebab itu, ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi dari
kebebasan-kebebasan tersebut. Pertama, memperhatikan ketentuan
halal dan haram. Kedua, komitmen terhadap kewajiban-kewajiban yang telah
ditentukan syariah Islam. Ketiga, tidak menyerahkan
pengelolaan harta kepada orang-orang yang bodoh, gila, dan lemah. Keempat, hak untuk berserikat dengan mitra kerja. Kelima, tidak dibenarkan mengelola harta pribadi yang merugikan
kepentingan orang banyak (Izzan dan Tanjung, 2006: 34-36).
Konsep
sentral lain dalam bangunan ekonomi Islam adalah “jaminan sosial”. Istilah jaminan sosial dalam sistem ekonomi Islam mengacu kepada segenap
kewajiban yang harus dipenuhi oleh setiap anggota masyarakat antara satu sama
lain. Kewajiban tersebut bukan sekedar memberikan simpati yang bersifat
maknawi, seperti rasa cinta, kebaikan, amar makruf dan nahi munkar, tetapi juga
simpati yang bersifat materi, yakni dengan cara memberikan bantuan material kepada
anggota masyarakat yang membutuhkan. Karakteristik jaminan sosial dalam Islam bersifat komprehensif, yakni ditujukan untuk seluruh kelompok masyarakat
yang membutuhkan, baik keadaan membutuhkan tersebut bersifat permanen, yakni
akibat kelemahan tubuh (fisik) dan pikiran, atau bersifat
temporal, seperti dalam perjalanan atau dalam masa krisis (Najjar, 2004:
213-214). Al-Qur’an secara eksplisit menyebutkan
beberapa kelompok masyarakat yang harus memperoleh jaminan sosial, antara lain
orang-orang fakir, orang-orang miskin, para mu’allaf, orang-orang yang
berhutang, dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan (Q.S. Al-Taubah/9:
60).
Jaminan
sosial bagi orang-orang yang membutuhkan ini merupakan kewajiban yang harus
dipenuhi oleh suatu negara, yakni dengan cara mengambil sebagian harta
orang-orang kaya untuk didistribusikan kepada orang-orang yang membutuhkan.
Oleh sebab itu, pemerintah dituntut untuk mengetahui secara detail keadaan
rakyatnya. Apa yang diberikan kepada orang-orang yang membutuhkan pada dasarnya
bukanlah suatu pemberian, melainkan hak mereka yang harus dipenuhi oleh negara
dan orang-orang kaya, terutama apabila orang-orang yang membutuhkan tersebut
tidak mampu berusaha akibat keterbatasan yang mereka miliki (Syalabi, 1993:
44-45).
Prinsip-prinsip
di atas merupakan fondasi penting dalam proses penerapan sistem ekonomi Islam
pada level praktis. Pada hari ini, implementasi dan institusionalisasi sistem
ekonomi Islam telah merambah ke dalam pelbagai bidang yangu cukup luas, antara
lain perbankan, asuransi, obligasi, pasar modal, sekuritas, pegadaian,
penjaminan, pembiayaan, dan sebagainya. Persoalannya, apakah sistem ekonomi
Islam ini mampu bertahan menghadapi gempuran hebat ekonomi sekuler yang
berbasis pasar bebas dan sejauh mana mana lembaga-lembaga ekonomi Islam ini
konsiten menjalankan prinsip-prinsip Islami yang menjadi rujukannya, merupakan
pertanyaan-pertanyan penting yang masih menunggu pembuktian.
Perkembangan
Mutakhir Praktik Ekonomi Islam; Islamisasi atau Kapitalisasi?
Secara normatif, pembentukan lembaga-lembaga
ekonomi Islam di negara-negara Muslim dilihat sebagai salah satu langkah yang
diambil pemerintah untuk menerapkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan ekonomi nasional.
Hal ini secara khusus menjadi relevan dalam menjawab munculnya kesadaran Islam di pelbagai penjuru dunia – yang dipercepat setelah revolusi Iran
tahun 1979. Dengan latar belakang inilah maka
kebangkitan Islam
terjadi. Kebangkitan Islam merupakan suatu ikhtiar untuk membentuk kembali nilai-nilai Islam, praktik-praktik Islam, lembaga-lembaga Islam, hukum Islam dan
tentu saja Islam
secara keseluruhan dalam kehidupan kaum Muslimin. Bahkan para pembangkit gerakan Islam pada dasarnya juga menginginkan tatanan sosial yang
baru untuk merealisasikan model sistem pendidikan Islam, sistem tatanan politik Islam, sistem hukum Islam dan sistem ekonomi Islam.
Sejak satu sampai dua
dasawarsa belakangan ini, bidang ekonomi dan keuangan Islam mulai menampakkan
eksistensinya di hampir semua negara Islam, bahkan di negara-negara Barat, terutama
dalam bentuk lembaga perbankan yang kemudian disusul oleh lembaga asuransi dan
lembaga keuangan non-perbankan lainnya. Tonggak awal realisasi ekonomi Islam
dimulai pada tahun 1975 ketika didirikannya Internasional Development Bank
(IDB) di Jeddah. Setelah itu, di pelbagai negara, baik negeri- negeri muslim
maupun bukan, berkembang pula lembaga-lembaga keuangan Islam. Sejak saat itu, perkembangan kebutuhan akan lembaga
perbankan Islami semakin terus menguat, terutama ketika pertama kali
diselenggarakan Konferensi Internasional tentang ekonomi Islam di Mekah pada tahun 1976. (Sumitro,
1997: 1 – 2; Anshari, 1993: 32; Ghani, 1999: 32; Fuady,
1999: 168; dan Tim Pengembangan Perbankan Syariah Institut Bankir
Indonesia, 2002: 22-23). Pada
saat ini, di dunia telah berkembang lebih dari 400-an lembaga keuangan dan
perbankan yang tersebar di 75 negara, baik di Eropa, Amerika, Timur Tengah
maupun kawasan Asia lainnya (http://zonaekis.com/kebangkitan-kembali-ekonomi-islam/).
Pasca
krisis ekonomi global, perbankan syariah dianggap sebagai alternarif baru
pertumbuhan pembiayaan internasional. Meski pangsa pasar masih berada di
kisaran dua hingga tiga persen dari aset pembiayaan global atau sekitar satu
triliun dolar AS, keuangan tanpa riba ini tumbuh rata-rata 25 persen per tahun.
Statistik menunjukan aset lembaga keuangan syariah secara global terus
menunjukan pertumbuhan sekitar 10 persen per tahun. Keuangan lembaga syariah
secara global meriah pencapaian 800 dolar AS, beranjak dari aset awal di 1990
sekitar 150 dolar AS (http://zonaekis.com/london-jadi-pusat-perkembangan-keuangan-syariah-global/). Dana Moneter Internasional
bahkan memperkirakan aset perbankan Islam akan tumbuh 15 persen per tahun,
dimana aset tersebut akan berjumlah 1 triliun dolar AS pada 2016. Dalam satu
dekade terakhir industri perbankan Islam adalah salah satu yang mengalami
pertumbuhan tercepat di dunia keuangan global dengan pertumbuhan antara 10-15
persen per tahun (http://zonaekis.com/imf-aset-perbankan-syariah-2016-capai-1-triliun-dolar/).
Tingkat
pertumbuhan perbankan syariah yang begitu cepat dimotori oleh meningkatnya
permintaan dari umat muslim, meningkatnya pendapatan minyak di Timur Tengah,
dan minat investor non muslim akan praktik perbankan beretika. Sebagaimana
dimuat laman The Street, Jumat (17/9), perbankan syariah kini menjadi bagian
penting dari ekonomi global dengan kehadiran di 75 negara. Hingga hari ini,
Timur Tengah memiliki pangsa perbankan Islam terbesar dari sisi aset dengan
besaran 60 persen. Hal itu didukung oleh beroperasinya tiga bank terbesar di
sana, yaitu Al Rajhi Bank, Bank Saderat Iran, dan Kuwait Finance House. Di
pihak lain, Malaysia memperkukuh posisinya sebagai pusat keuangan Islam.
Keberhasilan perbankan Islam Malaysia tersebut didukung oleh kuatnya dukungan dan
implementasi peraturan pemerintah, melibatkan bank konvensional dalam
pengembangannya, dan terus mendukung lembaga-lembaga keuangan lainnya
(http://zonaekis.com/imf-aset-perbankan-syariah-2016-capai-1-triliun-dolar/).
Di luar
negara mayoritas muslim, Inggris mengambil posisi sebagai pusat keuangan Islam
di negara Barat. Ketika HSBC Holdings menawarkan pembiayaan perumahan sesuai
dengan prinsip syariah pada 2004, hampir setengah dari nasabahnya adalah non
muslim karena tertarik dengan pricing yang diberikan HSBC. Inggris
merupakan salah satu negara yang memiliki sektor keuangan Islam paling
berkembang di dunia. Tercatat hingga 2010, Kerajaan Inggris merupakan negara
barat dengan jumlah bank yang menyediakan layanan berbasis syariah terbanyak. Pemerintah
Inggris bahkan berambisi menjadikan kota London sebagai pusat transaksi syariah
dunia (http://zonaekis.com/london-pusat-penghubung-transaksi-syariah-dunia/). Pada
bulan Maret tahun 2011 lalu, Inggris
membentuk Sekretariat Keuangan Syariah (IFS) di London. Badan tersebut
bertujuan untuk mempromosikan dan mengkoordinasi pengembangan keuangan syariah
di Inggris. Ia menambahkan, IFS akan berusaha membangun misalnya 22 bank Islam
yang beroperasi di London. Selain itu, setidaknya dua puluh sukuk telah
diterbitkan dan masuk ke London Stock Exchange dengan jumlah dana sebesar 11
miliar dolar AS. Sementara sekitar 20 firma hukum di London pun turut serta
menyediakan layanan terkait keuangan syariah. Pangeran Andrew menuturkan, dua
bank Inggris terkemuka, yaitu HSBC dan Standard Chartered, juga telah
beroperasi di Malaysia (http://zonaekis.com/inggris-ingin-jadi-pemain-besar-keuangan-syariah/).
Di
Indonesia, pertumbuhan ekonomi syariah dalam dua puluh tahun terakhir mengalami
kemajuan yang begitu pesat, terutama jika dilihat dalam perkembangan lembaga
keuangan syaraih, baik bank maupun non bank. Dalam kaitannya dengan
perkembangan perbankan syariah, Bank Indonesia memberikan laporan bahwa jumlah
bank syariah hingga Maret 2010 sebanyak 186 bank, meliputi 11 Bank Umum Syariah
(BUS), 23 Unit Usaha Syariah (UUS) dan 152 Bank Perkreditan Rakyat Syariah
(BPRS)
(http://www.bi.go.id/web/id/Publikasi/Publikasi+Lain/Publikasi+Lainnya/outlookperbankansyariah_2011.htm).
Secara geografis, sebaran jaringan kantor perbankan syariah saat ini telah
menjangkau masyarakat dilebih dari 89 kabupaten/kota di 33 propinsi. Selama 5
tahun terakhir, rata-rata pertumbuhan total aset perbankan syariah mencapai 33%
per tahun. Sampai dengan akhir Oktober 2010, total aset perbankan syariah telah
mencapai Rp. 86 triliun (http://www.newsbanking.com/2010/12/outlook-perbankan-syariah-2011.html).
Dalam
catatan Dhani Gunawan Idat, pada tahun 2010, perbankan syariah mengalami
pertumbuhan volume usaha yang relatif pesat, yaitu mencapai 47,6% – terutama
jika dibandingkan dengan perbankan nasional yang asetnya hanya tumbuh 18,7%.
Peningkatan tersebut antara lain didorong oleh berdirinya sejumlah Bank Umum
Syariah (BUS) baru dan jaringan kantor perbankan syariah. Di samping itu, sisi
pendanaan perbankan syariah juga mengalami peningkatan yang cukup tinggi di
mana pada tahun 2010 DPK mengalami pertumbuhan sebesar 45,06% dibandingkan
tahun 2009. Penyumbang kenaikan DPK terbesar masih berasala dari nasabah
korporasi. Salah satu faktor utama yang mendorong kenaikan DPK adalah imbal
hasil perbankan syariah yang relatif lebih menguntungkan dibandingkan imbal
hasil perbankan konvensional. Selain itu, kegiatan edukasi masyarakat yeng
terus dilakukan dalam rangka memperkenalkan produk dan keunggulan sistem perbankan
syariah semakin mampu menarik perhatian nasabah-nasabah baru (Idat, 2011: 26).
Pesatnya
pertumbuhan ekonomi Islam akhir-akhir ini tentu saja telah meniupkan angin
segar yang cukup menggembirakan bagi umat Islam. Namun demikian, benarkah
pertumbuhan ekonomi Islam ini merupakan manifestasi dari penerapan nilai-nilai
dan prinsip-prinsip Islam dalam bidang ekonomi. Jika mengamati praktik-praktik
yang ada, nampaknya pertumbuhan tersebut lebih mencerminkan pertumbuhan secara
kuantitatif dan belum memperlihatkan perkembangan secara kualitatif. Bahkan,
pertumbuhan bank syariah cenderung hanyut dalam arus konvensional dan terkesan
mencerminkan hegemoni nalar pasar. Hal ini misalnya dapat dilihat dalam
paradigma pengembangan ekonomi Islam yang masih didominasi oleh nalar
formal-struktural. Paradigma ini telah mengakibatkan terjadinya degradasi
orientasi fiqh muamalah; dari orientasi nilai (value oriented) ke
orientasi mekanis (mechanism oriented). Dalam banyak kasus, akad-akad
muamalah dianggap sah apabila terpenuhi mekanisme rukun dan syarat namun
kehilangan nilai yang harus ditanamkan. Misalnya, akad mudhârabah yang
pada dasarnya memiliki spirit pemerataan kesempatan kerja dan modal, justeru
tidak begitu berkembang ketimbang akad murâbahah – hampir 60%
kegiatan bank syariah menggunakan produk murâbahah.
Menurut
Akh. Minhaji, situasi ini terjadi lantaran titik tolak pengembangan ekonomi
Islam didasarkan pada kerangka epistemik ekonomi Barat. Hasilnya, ekonomi Islam
menjadi mainstream namun kehilangan al-quwwah al-ma’rifiyyah atau
nilai-nilai universal, seperti keadilan dan pemerataan kesempatan kerja
sebagaimana yang terkandung dalam akad mudhârabah. Menurut Minhaji,
fenomena ini terjadi karena ushul fiqh sebagai metodologi dalam studi Islam
telah digunakan dalam porsi yang keliru; ushul fiqh dimaknai hanya sebagai
metode penemuan hukum, bukan sebagai the queen of Islamic science (Minhaji,
1999: 20). Efek dari kekeliruan memposisikan ushul fiqh sebagai metodologi
adalah lahirnya fatwa, peraturan perundang-undangan maupun peraturan BI yang
secara umum tidak bisa lepas dari kepentingan pemilik modal. Oleh karena itu,
kegiatan ekonomi di perbankan Islam cenderung memihak pada pemilik modal dan
agunan ketimbang membuka kesempatan kerja bagi rakyat kecil dan kelas menengah
ke bawah (lower-middle class) yang memiliki kapasitas dan kompetensi
tertentu yang dapat dikembangkan, namun mengalami benturan pada level modal dan
pembiayaan.
Di lain
pihak, Riawan Amin justeru melihat fenomena pertumbuhan bank syariah melalui
kaca mata yang berbeda. Dalam pandangannya, masyarakat muslim perlu menunda
sejenak untuk menikmati kebanggaan atas pertumbuhan bank syariah, karena
realitas yang ada sesungguhnya masih jauh panggang dari api. Jika
memperbincangkan dunia perbankan sebagai sebuah industri, pertumbuhan produksi
bank syariah di Indonesia masih terlalu jauh dibandingkan dengan bank-bank
konvensional. Dari 3.000 triliyun rupiah produksi bank di seluruh Indonesia,
bank syariah hanya mendapat jatah 3 persen, sementara 97 persennya masih
didominasi oleh bank-bank konvensional. Amin menengarai bahwa kondisi tersebut
terjadi akibat dua hal: Pertama, masyarakat muslim terlalu banyak
berkutat pada isu “halal-haram” pada setiap produk baru bank syariah. Di tengah
masyarakat terdapat pemahaman bahwa bank syariah harus lebih ketat. Padahal,
pemahaman tersebut justeru menyebabkan perbankan syariah menjadi kaku dan sulit
menghasilkan produk-produk yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat; dan Kedua,
“hiruk-pikuk” maraknya bank syariah di negeri ini secara sengaja atau tidak
sengaja terjebak dalam politik mercusuar – bank syariah seolah-olah telah
menguasai pasar, padahal realitasnya baru mendapat “kue pasar” 3 persen.
Menurut Amin, pada level individu, idealisme akan kemurnian bank syariah memang
harus menjadi acuan. Namun pada level institusi, terlebih lagi pada level
industri, strategi ekonomi Islam harus fokus pada perjuangan yang lebih besar
dan lebih penting, yaitu bagaimana mensyariahkan bank konvensional yang 97%
menguasai perekonomian Tanah Air, bukan mempermasalahkan kesahihan bank syariah
yang baru merangkak 3%. Dengan kata lain, bagaimana memfokuskan untuk
menghilangkan mafsadat dengan mensyariahkan bank konvensional daripada
mengejar maslahat dengan mensyariahkan bank syariah, karena pada
akhirnya ketika mafsadat itu hilang maka maslahat akan
bertambah (Amin, 2011: 1-3).
Perbedaan
sudut pandang di atas sesungguhnya merefleksikan proses tarik-menarik antara
kepentingan ideologis dengan kepentingan pragmatis dalam diskursus dan praktik
ekonomi Islam. Di satu sisi, bank syariah cenderung terseret ke dalam arus
sistem konvensional dan terjebak ke dalam simbol-simbol populer yang dianggap
sebagai trend zaman, sehingga bank syariah hanya menjadi “kode kultural” yang
mempresentasikan penampakan luar yang hambar dari substansi dan nilai-nilai
Islam. Di sisi lain, bank syariah justeru dihadapkan oleh batasan-batasan kaku
fiqh tradisional ketika hendak memenuhi kebutuhan pragmatisnya dalam rangka memperluas
dimensi institusional dan sayap operasionalnya sebagai sebuah industri
perbankan modern. Dalam proses tarik-menarik ini, ekonomi Islam masih perlu mendefinisikan
dirinya secara terus-menerus; mengeliminasi cengkraman kapitalisme atau
memodifikasi pesona kapitalisme. Barangkali inilah “pekerjaan rumah” yang harus
segera dijawab oleh umat Islam, baik kalangan intelektual, pelaku ekonomi,
maupun masyarakat pada umumnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Akhatar, Wazir. (1992). Economics
in Islamic Law. New Delhi: Nusrat Ali Nasri for Kitab Bhavan.
Ali, Shalih Humaid al. (2000). ‘Anâsir al-Intâj
fî al-Iqtisâd al-Islâmî wa al-Nizhâm al-Iqtishâdiyyah al-Mu‘âshirah:
Dirâsah Muqâranah. Beirut: Dar al-Yamamah.
Ali, Shalih Humaid al. (2006). Ma‘âlim al-Iqtishâd al-Islâmî: Dirâsah Ta’shîliyyah li
Maudhû‘ât al-Iqtishâd al-Islâmî wa Mabâdi’ih wa Khashâ’ishih. (ed.) Nur al-Din Itr. Beirut: al-Yamamah.
Amin, A. Riawan. (2011).
“Bank Syariah Indonesia: Dilambungkan Untuk Dibonsai”, Makalah dipresentasikan
dalam acara Seminar Nasional Himpunan Ilmuwan dan Sarjana Syariah Indonesia
(HISSI) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada
tanggal 18 Juni 2011.
Anshari, al. (1993). Al-Bunûk
al-Islâmiyah. Jakarta: Minaret.
Braudel, Fernand. (1984). Capitalism
and Civilization. New York: Harper & Row.
Carens, Joseph. (1981). Equality,
Moral Incentives and the Market. Chicago: Chicago University Press.
Clark, John B. (1887). Philosophy
Of Wealth. Boston: Gixn & Company.
Crocker, Lawrence. (1977).
“Equality, Solidarity, and Rawls' Maximin,” dalam Philosophy and Public
Affairs.
Dabbu, Ibrahim Fadhil al.
(2008). Al-Iqtisâd
al-Islâmî: Dirâsah wa Tatbîq. Jordan: Dar al-Manahij,.
Fanjari, Muhammad Syauqi al. (1994). Al-Wajîz fî al-Iqtisâd al-Islâmî. Kairo:
Dar al-Syuruq.
Fanjari, Muhammad Syauqi
al. (t.th.). Nahwa Iqtisâd Islâmî: al-Manhaj wa
al-Mafhûm. Dar al-Zayidi li al-Thiba‘ah wa al-Nasyr.
Faulkner, Harold. (1978). The
Decline of Laissez Faire. New York: Holmes.
Fried, Morton. (1970). The
Evolution of Political Society. New York: Random House.
Friedman, Milton. (1953). Essays
in Positive Economics. Chicago: The University of Chicago Press.
Fuady, Munir. (1999). Hukum Perbankan Modern
Berdasarkan Undang-Undang Tahun 1998. Bandung: Penerbit PT. Citra Aditya
Bakti.
Furniss,
Norman dan Tilton, Timothy. ed. (1977). The Case of Welfare State: From
Social Security to Social Equality. Bloomington, Indiana: International
Union Press.
Ghani, AB. Mumin AB. (1999). Sistem
Kewangan Islam dan Pelaksanaannya di Malaysia. Kuala Lumpur: Matang
Cipta Sdn Bhd.
Haq,
Mahbub ul. (1971). “Employment and Income Distribution in the 1970’s: A New
Perspective”, dalam Development Digest.
Hausman, Daniel M. 1994. The
Philosophy of Economic: an Anthology. Cambridge: Cambridge University
Press.
Hoetoro, Arief. 2007. Ekonomi Islam: Pengantar
Analisis Kesejarahan dan Metodology.
Malang: Badan Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya.
http://www.bi.go.id/web/id/Publikasi/Publikasi+Lain/Publikasi+Lainnya/outlookperbankansyariah_2011.htm
http://www.newsbanking.com/2010/12/outlook-perbankan-syariah-2011, diakses pada tanggal 17 November 2011.
http://zonaekis.com/imf-aset-perbankan-syariah-2016-capai-1-triliun-dolar/,
diakses pada tanggal 17
November 2011.
http://zonaekis.com/imf-aset-perbankan-syariah-2016-capai-1-triliun-dolar/,
diakses pada tanggal 17
November 2011.
http://zonaekis.com/inggris-ingin-jadi-pemain-besar-keuangan-syariah/,
diakses pada tanggal 17 November 2011.
http://zonaekis.com/kebangkitan-kembali-ekonomi-islam/, diakses pada tanggal 17 November 2011.
http://zonaekis.com/london-jadi-pusat-perkembangan-keuangan-syariah-global/,
diakses pada tanggal 17 November 2011.
http://zonaekis.com/london-pusat-penghubung-transaksi-syariah-dunia/,
diakses pada tanggal 17
November 2011.
Idat, Dhani Gunawan. (2011).
“Dinamika Perkembangan dan Pertumbuhan Ekonomi dan Perbankan Syariah di
Indonesia”, Makalah dipresentasikan dalam acara Seminar Nasional Himpunan
Ilmuwan dan Sarjana Syariah Indonesia (HISSI) di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 18 Juni 2011.
Izzan, Ahmad dan Tanjung, Syahri. ed. (2006). Referensi
Ekonomi Syari‘ah:
Ayat-ayat al-Qur’an yang Berdimensi Ekonomi, Bandung: Remaja Rosdakarya.
Mannan, M.A. (1991). Islamic
Economics: Theory and Practice, a Comparative Study. Lahore, Pakistan: sh.
Muhammad Ashraf Publishers.
Minhaji, Akh. (1999).
“Reorientasi Kajian Ushul Fiqh”, Al-Jami’ah Journal of Islamic Studies,
No. 63/VI/1999.
Muzaniy,
Isma‘il ibn Yahya al. (t.th.). Mukhtasar al-Muzânî. Beirut: Dar
al-Ma‘rifah.
Nabhani, Taqiyy al-Din al. (1990). Al-Nizâm al-Iqtisâdî
fî al-Islâm. Beirut: Dar al-Umamah.
Najjar, Mushlih Abd al-Hayy al. (2004). Al-Nizhâm al-Mâlî wa al-Iqtishâdî fî al-Islâm. Riyadh: Maktabah
al-Rusyd.
Naqliy, Isham Abbas Muhammad
‘Aliy. (1416 H). Tahlîl al-Fikr al-Iqtishâdî fî al-‘Ashr al-‘Abbâsî
al-Awwal. Mekkah: Jâmi‘ah Umm al-Qurâ’.
Ra’ana,
Irfan Mahmud. (1991). Economic System under Umar the Great. Lahore: Sh.
M.Ashraf.
Salus, Ali Ahmad al. (1998). Al-Iqtisâd al-Islâmî wa al-Qadâyâ
al-Fiqhiyyah al-Mu‘âsirah. Beirut:
Dar al-Tsaqafah.
Shadr, Sayyid Muhammad
Baqir al. (1375 H).
Iqtishâdunâ. Kharastan: Maktabah al-I‘lam al-Islami.
Sumitro, Warkum. (1997). Asas-Asas
Perbankan Islam dan Lembaga-Lembaga Terkait (BAMUI dan Takaful) di Indonesia.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Syalabi, Ahmad. (1993). Al-Iqtisâd fî
al-Fikr al-Islâmî. Kairo: Maktabah al-Nahdhah
al-Mishriyah.
Tim Pengembangan Perbankan Syariah Institut Bankir
Indonesia. (2002). Konsep, Produk dan Implementasi Operasional Bank Syari’ah.
Jakarta: Penerbit Djambatan.
Tripp, Charles. (2006). Islam
and the Moral Economy: The Challenge of Capitalism. Cambridge: Cambridge
University Press.
Wahid, al-Sayyid Athiyyah
Abd al. (1995). Mabâdi’ al-Iqtisâd al-Islâmî. Kairo:
Dar al-Nahdah al-Arabiyyah.
Wilson, Rodney. (2002). Economic
Development in The Middle East. London and New York: Routledge Taylor &
Francis e-Library.
Komentar
Posting Komentar