Artikel Kompas 43 Tahun
Satjipto, 33 Tahun Menulis Artikel
Penulis : Subur Tjahjono |
Jumat, 27 Juni 2008 | 05:38 WIB
|
KOMPAS/ TRI AGUNG KRISTANTO
Satjipto Rahardjo
Dari Redaksi:
Menyambut Ulang Tahun ke-43 Harian Kompas,
harian ini memberikan penghargaan kepada lima cendekiawan berdedikasi.
Kelima cendekiawan itu adalah Guru Besar Emeritus Universitas Airlangga
Soetandyo Wignyosoebroto, Guru Besar Emeritus Sosiologi Hukum Fakultas
Hukum Universitas Diponegoro Satjipto Rahardjo, Guru Besar Institut
Pertanian Bogor Sayogyo, Anggota Majelis Guru Besar Institut Teknologi
Bandung MT Zen, dan Staf Ahli Pusat Penelitian Ekonomi LIPI Thee Kian
Wie. Kompas menulis pandangan kelima cendekiawan itu mengenai persoalan
bangsa. Karena keterbatasan ruang di Harian Kompas cetak, kami sajikan wawancara lengkap kelima pakar itu di Kompas.com.
***
***
Oleh Wartawan Kompas, Subur Tjahjono
Prof
Dr Satjipto Rahardjo SH (78), guru besar emeritus sosiologi hukum
Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang itu, salah satu akademisi
yang percaya bahwa menulis karya ilmiah populer di suratkabar tidak
kalah pentingnya dengan menulis di jurnal ilmiah atau buku. Ia pun
membuktikannya dengan kesetiaan mendalam selama 33 tahun menulis artikel
di berbagai suratkabar, termasuk Harian Kompas.
Pak
Tjip, sapaan akrab Prof Dr Satjipto Rahardjo, mengenang ketika
koleganya dari Amerika Serikat yaitu ahli hukum Indonesia almarhum Prof
Dr Daniel S Lev dilarang masuk Indonesia pada masa kekuasaan Presiden
Soeharto tahun 1980-an. Selaku ahli Indonesia, Prof Lev membutuhkan
bahan-bahan dari Indonesia untuk kajiannya. Salah satunya adalah
artikel-artikel Pak Tjip di suratkabar.
“Saya
tidak bisa menulis lagi soal hukum Indonesia, karena tidak bisa mencium
aromanya. Aroma itu saya baca dari tulisan-tulisan Anda,” tutur Pak
Tjip, mengutip Prof Lev, saat ditemui di rumahnya di Pleburan, Kota
Semarang, Jawa Tengah, Selasa (24/6). “Aroma” itulah, kata Pak Tjip,
yang membedakan tulisan ilmiah populer dengan tulisan ilmiah murni di
jurnal atau buku.
Pokok
pikiran yang hanya tiga-empat baris di tulisan ilmiah murni, bisa
menjadi 10 baris di tulisan ilmiah populer. Dengan menulis di surat
kabar, akademisi bisa membagi pengetahuannya ke publik yang luas, tidak
terbatas seperti pada jurnal ilmiah.
Dengan
kemampuannya membuat tulisan ilmiah populer si suratkabar itu Pak Tjip
membuktikan, ilmu hukum bukanlah ilmu yang kering dan tidak menarik.
Hukum kalau ditulis dari sisi teknis memang tidak menarik, tetapi kalau
dilihat dalam hubungan dengan masyarakatnya, hal itu tidak akan ada
habis-habisnya. Berbagai macam ide segar menyangkut bidang yang
ditekuninya itu ditumpahkannya pula dalam artikel-artikelnya.
Ia masih menyimpan dengan rapi tulisan-tulisan artikelnya yang dimuat di harian ini. Ketika ditanya artikel pertamanya di Kompas,
ia langsung menunjukkannya. Selaku Ketua Pusat Studi Hukum dan
Masyarakat FH Undip ia menulis artikel “Menyongsong Simposium Hukum
dalam Masa Transisi”, yang dimuat 11 Januari 1975. Honor tulisan waktu
itu Rp 5.000.
Tulisan itu
berisi pemikiran pengantar atas rencana Simposium “Kesadaran Hukum
Masyarakat yang sedang Dalam Masa Transisi” 10-22 Januari, kerja sama
Badan Pembinaan Hukum Nasional dengan Undip. Itulah artikel yang
ditulisnya pertama kali untuk media massa dan langsung dimuat tanpa
terlalu editing berarti dari editor opini.
Sejak
itu, tulisan demi tulisan meluncur dari pikiran dan ketikan tangannya
sendiri. Tahun 1975 itu ia menulis 34 artikel. Namun jumlahnya agak
menurun pada tahun-tahun berikutnya. Pada tahun 1979, misalnya, hanya
lima artikel yang ditulisnya untuk Kompas. “Tahun 1975 itu saya
lagi seneng-seneng-nya,” ujar alumnus FH Universitas Indonesia tahun
1960 dan doktor hukum Undip tahun 1979 itu.
Hingga
sekarang, paling tidak yang tercatat di database Pusat Informasi Kompas
dan catatan Pak Tjip, sudah 367 artikel yang ditulisnya. Artikel yang
terakhir dimuat Kompas adalah “Kini Saatnya Memunculkan Ketertiban” pada 23 Juni 2008.
Pak
Tjip juga tenang-tenang saja ketika tahun 2005 ruang untuk penulisan
artikel dipersingkat karena terjadi redesain suratkabar. Sebelumnya
artikel itu bisa panjang-panjang, bahkan bisa berseri. “Saya menikmati
saja. Dengan adanya batasan kolom itu, kita juga bisa memadatkan pikiran
kita,” ujarnya.
Minat
terhadap urusan tulis-menulis ini, kata dia, dimulai saat duduk di SMP
Pati, Jawa Tengah, tahun 1944-1947. Saat itu suka membuat tulisan tangan
di buku tulisnya tentang segala hal yang sedang aktual kala itu. Di
buku tulis itu juga ditempel foto-foto, sehingga mirip majalah. “Buku
itu laku di kalangan teman-teman saya di sekolah. He-he-he,” tutur pria
kelahiran Banyumas 15 Desember 1930 itu.
Namun,
talenta masa kecil itu baru diwujudkan secara serius tahun 1975 saat
pertama kali menulis di suratkabar. Mengenai proses kreatifnya, Pak
Tjip, memberi ilustrasi, menulis itu seni. Seni itu artinya kencing.
Kencing itu deskripsi paling rasional mengenai seni. Perasaan terasa
lega ketika kencing telah dilakukan. “Menulis seperti itu. Seni itu di
atas logika. Logika tulisan akan jalan dengan sendirinya, sudah membaku
di kepala,” katanya.
Dengan
metode itu, ketika ada isu tertentu menyangkut hukum, ia segera
meresponsnya dengan mengasah kemampuan intelektualnya. Buku-buku
referensi juga digunakannya jika diperlukan. Karena itu ratusan judul
buku tersedia di perpustakaan pribadinya di rumahnya. Walaupun sendirian
menulis di perpustakaan itu, Pak Tjip selalu membayangkan sedang
berbicara dengan orang banyak.
Di
ruang itulah, di depan komputer, Pak Tjip mengetik idenya. Waktunya
tidak tentu, kadang bisa dua-tiga jam, tetapi juga bisa dua-tiga minggu.
Terlebih belakangan ini, sejak pensiun tahun 2000, ia lebih banyak
mengendapkan dulu pemikiran sebelum ditulis. “Mungkin karena umur, saya
membutuhkan kontemplasi dulu,” katanya.
Di
antara tumpukan buku-buku itu, termasuk sejumlah buku karyanya sendiri.
Selain buku kumpulan tulisan artikel, beberapa buku memang khusus
dibuat dengan ide orisinal. Buku Ilmu Hukum, terbitan Penerbit Alumni,
misalnya, yang menjadi buku teks mahasiswa hukum, telah dicetak enam
kali. Buku terbarunya akhir tahun 2007 ini adalah Biarkan Hukum Mengalir terbitan Penerbit Buku Kompas. Buku itu juga sudah dicetak ulang.
Pada
usia 78 tahun ini, dengan empat anak, 14 cucu, dan satu buyut, Pak Tjip
mengatakan masih banyak ide di kepalanya yang belum dituliskan. Itulah
kegiatannya sekarang, latihan intelektual, membaca, dan menulis. Saat
ditanya karya buku apa yang paling memuaskannya, Pak Tjip mengatakan,
“Masih di kepala saya”. Apa yang dilakukan Pak Tjip ini seharusnya
ditiru oleh para penulis muda.
Komentar
Posting Komentar