Satjipto Rahardjo dalam Jagat Ketertiban Hukum Progresif
Satjipto Rahardjo dalam Jagat Ketertiban Hukum Progresif
(Jurnal Konstitusi Mahkamah Konstitusi RI edisi september 2009)
oleh:
Feri Amsari
”Sejak hukum itu dijarah oleh banjir
rasionalisme dan rasionalisasi, maka ia menjadi institusi yang
terisolasi dan asing…maka menjadi tugas para ilmuwannya untuk
mengutuhkan kembali hukum, menyatukan kembali hukum dengan lingkungan,
alam dan orde kehidupan yang lebih besar.”[1]
(Satjipto Rahardjo, 2006)
Catatan Awal
Tidak banyak catatan publik yang bisa
diakses dengan baik mengenai perjalanan hidup Satjipto Rahardjo. Bahkan
situs pencari ”sekelas” google atau wikipedia pun tidak memiliki catatan
berarti mengenai perjalanan karir Satjipto. Situs-situs di Internet
lebih banyak memuat tulisan-tulisan dan komentar-komentarnya mengenai
kondisi sosial, hukum, politik, budaya serta keterkaitannya dengan
sosiologi hukum. Dari biodata di buku-buku karyanya memang dapat
diketahui beberapa hal umum mengenai riwayat Guru Besar Emiritus bidang
kajian sosiologi hukum Fakultas Hukum Universitas Diponegoro tersebut.
Pak Tjip, demikian ”Sang Guru” ini biasa dipanggil, lahir di
Karanganyar, Banyumas, Jawa Tengah pada tanggal 15 Desember 1930. Di
kampung halaman (Jawa Tengah) itu pulalah kemudian yang menjadi tempat
Pak Tjip berlabuh dalam mengabdikan diri sebagai seorang pakar. Pak Tjip
merupakan salah satu ahli yang dianggap mampu memengaruhi dunia
pemikiran hukum di Indonesia dengan tulisan-tulisannya.
Khudzaifah Dimyati, salah seorang
mahasiswa Satjipto, menyebutnya sebagai pemikir transformatif yang
berorientasi pada ranah teoritis. Konsep pemikiran yang berbasis kepada
teori-teori tersebut menurut Dimyati adalah tradisi yang identik dengan
kalangan intelektual Barat.[2]
Hal itu mungkin dilatarbelakangi oleh faktor pendidikan Satjipto.
Menyelesaikan pendidikan hukum pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia
pada Tahun 1960 dan kemudian mengikuti program visiting scholar
selama 1 tahun di Universitas California, Amerika, pada medio 1972
setidaknya memiliki pengaruh besar bagi cara pandang keilmuan Pak Tjip.
Kurun yang sama ketika Pak Tjip sedang
mendalami kajian ilmu hukum di negeri Paman Sam tersebut, pada Tahun
1970-an itu sebuah gerakan hukum yang juga dilandasi pandangan sosiologi
hukum sedang berkembang di Amerika. Gerakan yang menyebut ”ideologinya”
sebagai critical legal studies (CLS) tersebut mewabah dalam
cara pandang ilmuwan hukum negara adikuasa tersebut. CLS atau Studi
Hukum Kritis itu sendiri merupakan perkembangan pemikiran sosiologi
hukum, bidang yang digeluti oleh Satjipto dengan ”teguh” dari awal karir
hukumnya. Catatan ini tidak bermaksud menyebutkan cara pandang
keilmuwan Satjipto adalah cara pandang yang sepenuhnya dipengaruhi Studi
Hukum Kritis tersebut, namun setidak-tidaknya Satjipto sedikit
banyaknya merasakan ”cakrawala” intelektual di Amerika ketika gerakan
CLS itu diusung.
Selepas ’kunjungannya” ke Amerika,
Satjipto kemudian melanjutkan kuliah doktoralnya di Universitas
Diponegoro. Ia menyelesaikan kuliah doktoral tersebut pada Tahun 1979.
Ia kemudian menjadi salah satu panutan utama studi sosiologi hukum di
tanah air. Tulisan-tulisan ilmiah lepas dan buku-bukunya menjadi pokok
perdebatan pemikiran hukum serta pelbagai diskursus sosiologi hukum.
Terhadap hasil karya dan pemikirannya itu, Satjipto pantas ditasbihkan
oleh sebagian kalangan sebagai salah satu begawan hukum terbesar yang
dimiliki Indonesia saat ini.
Pandangan sosiologi hukum yang mengalir
deras dari perspektif Satjipto sangat banyak menghiasi media-media massa
cetak dalam bentuk artikel opini maupun melalui wawancara. Satjipto
adalah salah satu penulis opini di Kompas yang memiliki tempat terhormat
tersendiri dengan sudut pandang sosiologi hukumnya. Puluhan buku telah
dihasilkan oleh Satjipto dan berhasil menjadi ”buah bibir” oleh pelbagai
kalangan, baik yang menganut sosiologi hukum maupun oleh para
pengkritik yang berasal dari bidang ilmu hukum atau sosiologi.
Sebagai pakar, Satjipto tentu juga pernah menduduki jabatan prestigious
bahkan di era Soeharto. Melalui Surat Keputusan Presiden Nomor 50 Tahun
1993 yang menjadi pegangan Ali Said (Mantan Ketua Mahkamah Agung) untuk
menunjuk beberapa tokoh nasional sebagai anggota Komisi Nasional Hak
Asasi Manusia (KOMNAS HAM) yang pertama di Indonesia. Pada tanggal 7
Desember 1993, Satjipto Rahardjo menjadi salah satu dari 25 tokoh yang
menduduki jabatan sebagai anggota KOMNAS HAM pertama tersebut bersama
Soetandyo Wignyosoebroto yang juga sejawatnya sesama pakar sosiologi
hukum Indonesia.
Guru Besar yang benar-benar sangat
produktif dan progresif dalam menghasilkan karya-karya ilmiah berbentuk
buku ini bisa dikatakan tak pernah berhenti menghasilkan karya-karya
setiap tahunnya. Hampir bisa dikatakan tidak ada tahun yang tidak diisi
dengan menghasilkan karya yang mengagumkan. Buku berjudul Pemanfaatan Ilmu-ilmu Sosial bagi Pengembangan Ilmu Hukum ditulisnya pada Tahun 1977. Kemudian disusul buku berjudul Hukum, Masyarakat dan Pembangunan pada Tahun 1980. Bahkan ditahun yang sama, 1980, terbit buku berjudul Hukum dan Masyarakat. Berturut-turut kemudian terbit buku berjudul, Masalah Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis (1981), Ilmu Hukum (1982), Permasalahan Hukum di Indonesia (1983), Hukum dan Perubahan Sosial (1983), Sosiologi Hukum Perkembangan Metode dan Pilihan Masalah (2002), Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia (2003), Membedah Hukum Progresif (2006), Hukum dalam Jagat Ketertiban (2006), Biarkan Hukum Mengalir (2007), dan salah satu yang terbaru buku berjudul, Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya (2008). Kemudian di tahun 2009 ini terbit beberapa buku, yaitu; Lapisan-lapisan dalam Studi Hukum, Pendidikan Hukum sebagai Pendidikan Manusia, dan Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis.
Dari tinjauan kepustakaan yang coba
penulis gali, penulis sendiri berkeyakinan masih terdapat karya-karya
lain dari Prof. Tjip yang tidak ”terdeteksi”. Penulis mengakui memiliki
keterbatasan kemampuan untuk menjelajahi tulisan-tulisan ilmiahnya
dipelbagai Jurnal dan Majalah. Setidaknya tulisannya di media massa
telah mencapai ratusan artikel bahkan mungkin ribuan. Di Kompas saja,
menulis dari Tahun 1975 (33 tahun lebih), menurut catatan wartawan
Kompas, Subur Tjahjono, berdasarkan database dari Pusat Informasi
Kompas, artikel yang ditulis anak Banyumas ini telah lebih dari 367 (per
23 Juni 2009) dan masih diminati sebagai karya yang mampu memberikan
opini pembanding dan solutif.[3]
Menurut Pak Tjip minat menulisnya mulai
terasah ketika duduk di bangku SMP (1944-1947). Kebiasaan Pak Tjip
memberikan catatan kecil berkaitan dengan kondisi terkini kala itu di
dalam sebuah buku dengan dilengkapi gambar-gambar (merupakan karya
pertamanya diminati oleh masyarakat, setidaknya rekan-rekan satu
sekolahnya) telah menjadi awal mula tumbuhnya rasa kecintaan Satjipto
pada dunia tulis menulis. Setelah itu, 28 tahun pasca menyelesaikan
bangku SMP, tulisan pertamanya dimuat di salah satu media nasional
populer. Titik itu kemudian menjadi awal mula ”gelombang” kampanye
pemikiran mengenai sosiologi hukumnya di pelbagai media nasional,
jurnal, dan buku-buku.
Terhadap kebiasaan menulisnya kakek 14
cucu ini memberikan pengandaian yang menarik. Baginya menulis adalah
seni, dan seni sama dengan buang air kecil. Sebagaimana buang air kecil,
maka menurut Satjipto seluruh perasaan tidak akan nyaman sebelum
”beban” tersebut dilepaskan.[4]
Dari filosofi itu, bagi Satjipto menulis berkaitan erat antara perasaan
dan pemikiran. Pemikiran mengenai permasalahan hukum bagi Satjipto akan
membuat perasaan terasa lebih lega jika telah dituliskan dalam bentuk
sebuah artikel ataupun buku.
Akar pemikiran
Tidak lengkap rasanya jika mengkaji
seorang Satjipto tanpa menelusuri seluk beluk akar pemikiran sosiologi
hukum yang ditekuninya. Sebab itu layak jika kiranya dituturkan terlebih
dahulu secara ”sederhana” mengenai timbul dan berkembangnya ilmu
sosiologi hukum yang digeluti begawan hukum Indonesia tersebut.
Sosiologi hukum[5]
sebelum diperkenalkan Maxmillian Weber sesungguhnya secara praktis
telah menjadi kajian dari para ilmuwan-ilmuwan terkemuka di pelbagai
zaman. Georges Gurvitch setidaknya adalah salah satu ilmuwan yang
menggolongkan Aristoteles, Hobbes, Spinoza, dan Montesquieu sebagai
pengkaji sosiologi hukum dari aneka zaman. Baik era pra modern hingga
modern. Bahkan saat ini keilmuwan mereka tetap dihargai sebagai bagian
tak terpisah untuk dikaji oleh generasi keilmuwan masa post modern. Hal
itu tidak lain menurut Gurvitch karena kajian sosiologi hukum itu
timbul dengan serta-merta dalam penyelidikan sejarah dan etnografi yang
berkenaan dengan hukum, dan juga dalam penyelidikan di lapangan hukum
yang sekaligus mencari tujuan lain, misalnya dalam hal mencari solusi
ideal terhadap masalah sosial.[6]
Menurut Satjipto, sosiologi hukum memiliki basis intelektual dari paham hukum alam (lex naturalist),[7]
itu sebabnya capaian paham sosiologi hukum adalah untuk menyelesaikan
persoalan kehidupan manusia dan lingkungannya. Filosofi dari teori
hukum alam adalah kesatuan dengan kondisi lingkungan. Karena itu,
kalangan sosiologi hukum selalu mengaitkan aturan hukum dengan kondisi
masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Bahkan terbentuknya sebuah negara
berdasarkan teori du contract social yang dipopulerkan J.J.
Rosseau pun harus diakui merupakan kajian sosiologi hukum, bahkan ketika
manusia masih dalam kelompok-kelompok kecil di ”alam liar”.
Menurut Kranenburg yang mensitir
pandangan Locke, menuturkan bahwa ketika di masa ”purba” sesungguhnya
pemberlakuan hukum yang melindungi hak-hak asasi manusia sudah terjadi.
Kemudian secara berlahan-lahan timbulah kontrak sosial antara masyarakat
untuk membentuk pemerintahan yang mampu melindungi hak-hak manusia yang
sebelumnya dilindungi secara hukum alamiah (moral kemasyarakatan).
Selengkapnya Kranenburg mengisahkan sebagai berikut;
menurut alam manusia berhak atas beberapa
hak, malahan atas hak-hak yang paling penting, hak hidup, hak
kemerdekaan, hak milik. Sekarang tujuan perjanjian pembentukan negara
adalah menjamin suasana hukum individu secara alam itu; kekuasaan
Pemerintah dengan demikian menemukan batasnya dalam suasana hukum
individu secara alam itu. Apabila pemerintah memperkosa suasana hukum
itu, maka ia bertentangan dengan tujuan utama perjanjian masyarakat;
maka ”gezag” pemerintah secara absolut memperkosa hakekat asasi
perjanjian untuk pembentukan negara.[8]
Paparan Kranenburg di atas
memperlihatkan bahwa masyarakat mengkreasikan hukum demi perlindungan
lingkungan sosialnya sendiri. Kajian mengenai kondisi lingkungan sosial
itu dari hari ke hari kemudian berkembang. Bahkan kajian sosiologi hukum
kekinian juga menyentuh ”tema” mengenai kondisi lingkungan dan hubungan
manusia dan alam itu sendiri. Jimly Asshiddiqie dalam bukunya Green
Constitution menuturkan relasi hukum dan perlindungan lingkuan hidup
tempat masyarakat sosial tumbuh dan berkembang. Jika dicermati kutipan
Jimly dalam bukunya mengenai Article 1 Konstitusi Vermont bahwa;
Semua orang dilahirkan sama-sama bebas
dan merdeka serta memiliki hak-hak tertentu yang bersifat alami,
inheren, dan tidak dapat dikurangi. Di antara hak-hak itu adalah hak
untuk menikmati dan mempertahankan hidup dan hak atas kebebasan
mendapatkan, memiliki, dan melindungi hak milik (acquiring, possesing,
and protecting property), dan mencari serta mendapatkan kebahagian hidup
dan keselamatan.[9]
Kutipan Jimly tersebut memperlihatkan
telah terjadi kaitan antara ilmu lingkungan dan Hukum Tata Negara.
Kaitan dua ilmu tersebut bisa dikatakan sebagai bagian dari ilmu
sosiologi hukum. Keterkaitan Hukum Tata Negara dan sosiologi hukum
sesungguhnya telah pula ditelusuri oleh pakar-pakar Hukum Tata Negara
dan politik lampau seperti Montesquieu. Sosiologi hukum Montequieu
memperlebar dasar penyelidikan Aristoteles dengan menyajikan masalah
hubungan antara sosiologi hukum dan cabang sosiologis lainnya,
khsususnya ekologi sosial yang menyelidiki dan menelaah volume suatu
masyarakat, bentuk dan bangunan tanahnya, sifat khas geografisnya, dan
lain-lain dalam hubungannya dengan kepadatan penduduk.[10]
Walaupun tidak langsung menceritakan aturan hukum yang peduli kepada
pelestarian lingkungan, namun tautan itu memperlihatkan bahwa pemikiran
sosiologi hukum setidaknya telah merangkai jalan menuju pemikiran hukum
”hijau” sebagaimana saat ini sedang di dengung-dengungkan oleh pelbagai
pakar hukum.
Teori hukum alam yang menjembatani
institusi hukum kepada dunia manusia dan masyarakat menjadikan tujuan
dari kehadiran hukum tidak dapat dipungkiri adalah penemuan rasa
keadilan secara otentik. Bukan terlibat ke dalam wacana hukum positif
yang berkonsentrasi kepada bentuk prosedur serta proses formal hukum.[11] Hubungan hukum dan manusia serta masyarakat itu juga dijelaskan oleh Thomas Hobbes dalam Leviathan bahwa lex naturalis
yang merupakan suatu aturan atau aturan umum, diperoleh melalui nalar,
dimana manusia dilarang membuat sesuatu, yang berbahaya terhadap
kehidupannya, atau menghilangkan sarana-sarana pelestarian kehidupan
itu.[12]
Pandangan tersebut memperlihatkan bahwa
hukum dan masyarakat merupakan bangunan yang terus berkembang, tidak
terjebak kepada bentuk normatif yang mati rasa. Sebagaimana dinyatakan
Satjipto;
Teori hukum alam selalu menuntun kembali
sekalian wacana dan institusi hukum kepada basisnya yang asli, yaitu
dunia manusia dan masyarakat…Kebenaran hukum tidak dapat dimonopoli atas
nama otoritas para pembuatnya, seperti pada aliran positivisme,
melainkan kepada asalnya yang otentik…norma hukum alam, kalau boleh
disebut demikian, berubah dari waktu ke waktu sesuai dengan cita-cita
keadilan yang wujudnya berubah-ubah dari masa ke masa.[13]
Sosiologi Hukum Modern
Sosiologi hukum modern sesungguhnya secara ”formal” baru lahir pada sekitar Tahun 1960-an.[14]
Di antara guncangan kepercayaan terhadap ketidak mampuan hukum tertulis
dalam menyelesaikan permasalahan kemasyarakatan, paham sosiologi hukum
kemudian menyeruak kepermukaan. Seketika menjadi lahan perdebatan di
antara para pakar.
Kelahiran ilmu sosiologi hukum memang
masih menimbulkan perdebatan yang menarik di antara para pakar. Menurut
Georges Gurvitch penggabungan dua ranah ilmu tersebut kontroversi
dikarenakan para pakar terkooptasi pada ranah pengetahuannya
masing-masing. Ilmuwan hukum pada umumnya terjebak dengan hanya
memehatikan masalah-masalah quid juris semata, begitu juga sebaliknya para pakar sosiologi hanya memerhatikan quid facti saja.[15]
Pakar hukum dan filsuf hukum mengkhawatirkan sosiologi hukum akan
menyebabkan legitimasi norma menjadi hilang dalam kehidupan sosial
kemasyarakatan. Norma hukum tidak mampu mengatur fakta-fakta sosial yang
ada. Ilmuwan sosiologi juga mengkhawatirkan keberadaan sosiologi hukum,
mereka berpendapat bahwa kehadiran sosiologi hukum akan menghadirkan
kembali penilaian baik-buruk (value judgement) semata dalam penyelidikan fakta-fakta sosial pada lapangan praktis.[16]
Hans Kelsen adalah salah satu dari pakar
hukum kenamaan yang menentang kehadiran konsep sosiologi hukum. Kelsen
yang sangat positivistik ’mencurigai” keberadaan Sosiologi Hukum yang
membedakan hukum positif antara yang dipelajari dan diterapkan.[17]
Hukum yang oleh kalangan sosiologi hukum sebagai seperangkat peraturan
seringkali tidak mampu menjangkau keadilan substansi di masyarakat yang
menjadi tujuan pembentukan hukum itu sendiri. Cara berpikir sosiologi
hukum tersebut tentu berseberangan dengan Kelsen dan penganut aliran
positivisme lainnya (juga dikenal dengan legisme) yang menganggap bahwa
hukum adalah apa yang dinyatakan dalam UU. Kehadiran sosiologi hukum
tentu saja menimbulkan pertentangan riuh rendah dan tak kunjung usai di
antara para pemikir hukum. Penganut aliran legisme berpandangan seluruh
permasalahan sosial akan terselesaikan apabila telah dikeluarkan
undang-undang yang mengaturnya.[18] Karena itu kalangan legisme ini begitu menjunjung tinggi hukum dengan mentasbihkan slogan yang terkemuka yaitu the rule of law. Hukum yang mengatur, menertibkan, bahkan menjadi ”pemimpin” yang menentukan arah sebuah negara. Friedmann menyatakan bahwa;
The rule of law simply means the
”existence of public order”. It means organized government, operating
through the various instruments and channels of legal command. In this
sense, all modern societies live under the rule of law, fascist as well
as socialist and liberal states.[19]
Namun sosiologi hukum terus bergerak
mempengaruhi pelbagai cara pandang dan corak berpikir ilmuwan hukum dari
waktu ke waktu. Sosiologi hukum selalu bertindak dengan “kecurigaan”
intelektual. Sosiologi hukum tidak mau begitu saja percaya kepada aturan
hukum berupa kebijakan maupun putusan peradilan, karena menurut mereka
aturan tersebut dapat saja menimbulkan konflik.[20]
Hal itu tidak terlepas dari karakter hukum yang sangat “manusiawi”,
Satjipto dalam bukunya Ilmu Hukum menyatakan bahwa sosiologi hukum
memiliki beberpa karakteristik, yaitu:
- interpretative understanding, sosiologi hukum mencoba memahami sisi sosial dari peraturan perundang-undangan dan praktek-praktek hukum. Sosiologi hukum mencoba menjelaskan bagaimana praktek-praktek hukum tersebut bisa terjadi, sebab-sebabnya, faktor-faktor apa yang berpengaruh, latar belakangnya, dan sebagainya;
- empirical validity, sosiologi hukum selalu mencari tahu keshahihan aturan-aturan hukum dalam penerapannya. Perbedaan yang besar antara pendekatan tradisional yang normatif dan pendekatan sosiologis adalah, bahwa yang pertama menerima saja apa yang tertera pada peraturan hukum, sedang yang kedua senantiasa mengujinya dengan data (empiris);
- sosiologi hukum tidak memberikan penilaian terhadap praktek penegakan hukum, melainkan mendekati hukum dari segi objektivitas semata bertujuan memberikan penjelasan terhadap fenomena hukum yang nyata.[21]
Karakteristik yang berbau humanistik
itulah yang akhirnya menyentuh sanubari keilmuwan Satjipto. Pulang dari
Amerika pada 1972, ia semakin meneguhkan diri untuk ”mengkampanyekan”
hukum yang berhati nurani (baca: sosiologi hukum). Pada masa itu pola
penegakkan hukum di Indonesia bisa dikatakan masih sangat positivistik
yang berkarakter selalu mengikuti kehendak penguasa. Penegakan hukum
dengan ideologi normatif namun pada satu saat sangat ”karet”, sesuai
dengan kehendak penguasa itu merupakan konsep penegakkan hukum yang juga
dapat disebut sebagai ”sosiologi hukum negatif ”. Sosiologi hukum yang
seharusnya mampu membaca harapan keadilan masyarakat umum (rakyat),
tetapi oleh Orde Baru digunakan hanya untuk menciptakan hukum yang mampu
menuruti kehendak pemimpinnya kala itu.
Ciri khas hukum yang memperturutkan diri
dengan kehendak penguasa itulah yang menyebabkan pandangan sosiologi
hukum menemukan tempat dipelbagai kalangan muda hukum. Sosok Satjipto
bagi mereka adalah penuntun, itu sebabnya banyak dari para pemikir muda
menjadi sangat terinspirasi dengan tulisan-tulisan Satjipto. Akan tetapi
itu pula yang mungkin menyebabkan beberapa pemikir hukum lain menjadi
”cemburu” dengan Pak Tjip. Kritik-kritik terhadap pandangan sosiologi
hukum yang diusung Satjipto dan pakar-pakar hukum progresif lainnya juga
ditentang oleh pelbagai kalangan yang menasbihkan dirinya sebagai legal
positivistik di Indonesia.
Namun Satjipto terus berpijak di atas
kepercayaannya. Kelebihannya ialah daya tulisnya yang tak ada habisnya.
Ratusan artikelnya terus mengalir tiap tahun di media-media nasional
terkemuka. Buku-buku karanganya terbit dan mendapat sambutan sangat baik
dari pembaca. Tahun ini saja (2009) menurut pengamatan sederhana
penulis setidaknya terdapat tiga buku baru karya Satjipto.
Jagat Ketertiban Hukum
Satjipto adalah pemikir yang berkarya.
Istimewanya adalah, ia merupakan salah satu pakar yang patut
ditasbihkan sebagai ilmuwan yang istiqomah, setia dengan cara berpikir
dan perjuangan. Dari awal ”melontarkan” karya-karya ilmiahnya, baik
berbentuk buku, tulisan lepas, artikel ilmiah, dan lain-lain, Satjipto
menggunakan pendekatan sosiologi hukum yang berkarakter progresif.
Satjipto yang haus menulis telah
menghasilkan banyak karya-karya pemikiran sosiologi hukum yang
mengkampanyekan semangat berhukum secara progresif. Istilah yang sering
Satjipto gunakan untuk ”membumikan” pemikirannya adalah slogan ”berhukum
dengan nurani”. Bagi Satjipto hukum harus memiliki hati nurani
dikarenakan hukum itu sendiri adalah buatan manusia yang berguna untuk
menyelesaikan persoalan manusia. Sehingga, menurut Satjipto, ”sejak
hukum itu adalah persoalan manusia dan bukan semata-mata persoalan
peraturan, serta sejak hukum itu ada untuk manusia dan bukan sebaliknya,
bukankah sebaiknya hukum itu kita biarkan mengalir saja.”[22]
Sifat hukum yang mengalir inilah yang sering dipertanyakan oleh banyak
kalangan, khususnya kelompok legisme. Mereka menganggap Satjipto dan
penganut sosiologi hukum telah memberikan pembenaran terhadap
praktek-praktek yang menyimpang atau melanggar hukum.[23]
Tentu kesalah pahaman ini dibantah oleh Satjipto dan rekan-rekannya.
Sosiologi hukum tidak memberikan ruang kepada pelaku kejahatan, namun
sosiologi hukum berupaya menerapkan hukum agar mampu menumbuhkan
ketertiban. Bukan hukum yang malah menambah kekacauan.
Para penganut paham sosiologi hukum
berpendapat bahwa hukum bukanlah seperangkat peraturan yang mampu
mengekang manusia. Hukum yang dibuat oleh manusia itu haruslah mampu
mengikuti kehendak manusia dalam mencari keadilan dan ketertiban sebagai
tujuan dari pembentukan aturan hukum. Mochtar Kusumaatmadja dalam
bukunya, Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan, menerangkan
bahwa ketertiban merupakan tujuan utama dan pertama dari segala hukum.
Kebutuhan terhadap ketertiban adalah syarat fundamental bagi adanya
suatu masyarakat manusia yang teratur.[24]
Menurut Satjipto dikarenakan tujuan berhukum adalah ketertiban, maka
mustahil jika menjadikan hukum yang sangat normatif sebagai panduan
menuju ketertiban. Hukum yang sangat normatif akan menjadi benda mati
yang tidak mampu menyeimbangi perkembangan manusia sebagai makhluk yang
bergerak. Hukum itu bagi Satjipto harus diberi kehidupan, bernafas
sebagaimana layaknya manusia. Bahkan konstitusi sekalipun, sebagai
produk hukum normatif tertinggi, harus memiliki kemampuan membaca
kehendak setiap generasi ke generasi. Al-Gore, pemenang Nobel
Perdamaian, pada masa kampanye pemilihan Presiden Amerika pada tahun
2000 pernah memberikan ungkapan penting mengenai betapa pentingnya
sebuah konstitusi yang hidup.
I would look for justices of the
Supreme Court who understand that our Constitution is a living and
breathing document, that it was intended by our founders to be
interpreted in the light of the constantly evolving experience of the
American people.[25]
Konsep yang dipaparkan Al-Gore tersebut dikenal dengan pemahaman the living constitution. Itu sebabnya dalam bidang kajian Hukum Tata Negara, penganut teori the living constitution
didominasi oleh para pemikir paham sosiologi hukum yang berpendapat
bahwa hukum haruslah “hidup”. Satjipto memberikan sumbangsih tidak
sedikit dari tumbuh dan berkembangnya paham the living constitution
di Indonesia, setidaknya melalui tulisan lepasnya di media-media
terkemuka. Empat tahapan amandemen sesungguhnya memperlihatkan bahwa
paham the living constitution telah menjadi panutan dari
kalangan praktisi hukum, politik, dan masyarakat (baca: organisasi non
pemerintah). Walaupun terdapat kelompok-kelompok yang ingin
mengembalikan supremasi UUD terdahulu, namun UUD hasil amandemen terus
memayungi dan digunakan dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia. Begitu
pula dengan sosiologi hukum, para penentangnya terus ada dari waktu ke
waktu, namun sosiologi hukum tetap menemukan tempat di hati para
penganutnya.
Melalui karya-karyanya Satjipto terus
sibuk ”berkampanye” mengenai perlunya keberadaan sosiologi hukum dalam
cara pandang hukum kita. Awalnya sosiologi hukum dicemooh sebagai
sesuatu yang akan menghancurkan ilmu hukum, ternyata saat ini kajian
mengenai hukum yang ”mampu hidup dan bernafas” itu semakin digandrungi
para pemikir-pemikir muda hukum. Kesemuanya itu tidak lepas dari peran
Satjipto yang tak letih-letih terus aktif menuliskan pemikirannya
tersebut dipelbagai media.
Pada karya pertamanya yang berjudul
Pemanfaatan Ilmu-ilmu Sosial bagi Pengembangan Ilmu Hukum (1977)
merupakan buku yang mencoba menggali betapa pentingnya hukum yang mampu
mengenal ”keinginan” masyarakat yang diaturnya. Karya tahap awal ini
sesungguhnya bukanlah tema yang baru bagi kalangan intelektual dan
pemerhati hukum di Indonesia. Banyak pakar yang juga berusaha untuk
mengkaji perkembangan hukum melalui sudut ilmu sosiologi. Namun
kesemuanya belum mampu menciptakan kerangka berpikir terhadap arah
seperti apa yang diinginkan dari membangun hukum yang bercitarasa
sosiologi tersebut. Satjipto semakin ”matang” dalam perjuangannya
memperkenalkan sosiologi dari segi yang sangat progresif, hukum yang
bergerak menuju sebuah ketertiban dan keadilan yang ingin dicari manusia
pembuat hukum itu sendiri.
Di Tahun 1982 terbitlah buku berjudul,
Ilmu Hukum, yang menurut penulis berisikan perbandingan cara pandang
berhukum pelbagai bangsa-bangsa di dunia. Namun dengan gigihnya dalam
buku ini Satjipto membubuhkan nilai-nilai sosiologi hukum. Hukum,
menurut Satjipto bermula dari kehidupan sosial kultural suatu komunitas.
Hukum dan masyarakat saling membangun satu sama lain, ada sebuah
’simbiosis mutualisme” antara hukum dan masyarakat. Sehingga cara-cara
bangsa-bangsa berhukum tidak berlangsung dalam suatu ruang hampa, tetapi
sarat dengan nutrisi sosial kultural tertentu.[26]
Jepang telah dijadikan contoh suatu masyarakat yang memegang tradisi
secara kokoh, yang akhirnya menurut Satjipto telah mampu menentukan
hukum yang seperti apa yang harus diterapkan di dalam negaranya.
Itu sebabnya dalam buku Biarkan Hukum
Mengalir (2007), Satjipto dengan lugas menceritakan ”anekdot” mengenai
cara pandang berhukum dua pejalan kaki, yang satu orang Jepang dan satu
lagi orang Barat. Ketika di sebuh persimpangan jalan, dikisahkan, dua
orang yang akan melintasi sebuah jalan tersebut dihentikan langkahnya
oleh traffic lights. Namun sebelum lampu merah untuk pejalan
kaki berganti dengan lampu hijau, ternyata kendaraan yang lewat sudah
tidak ”berseliweran” lagi. Si Barat kemudian menyarankan sahabat
Jepangnya untuk segera bersama-sama menyeberang. Akan tetapi si Jepang
menolak ajakan tersebut dengan menyatakan, ”akan saya kemanakan muka
saya seandainya ada orang yang melihat saya menyeberang jalan ketika
seperti ini.”[27]
Bagi Satjipto deskripsi tersebut
merupakan gambaran tepat dalam melihat cara pandang orang-orang dalam
menjalankan hukum itu sendiri. Bagi si Barat, hukum hanyalah alat
pengatur ketertiban, ketika ketertiban telah tercipta maka hukum dapat
diabaikan. Ketika lampu lalu lintas yang berguna sebagai alat
menertibkan pemanfaatan lalu lintas oleh para pengguna jalan (pejalan
kaki dan pengendara bermotor) telah berfungsi sebagaimana mestinya, dan
kondisi yang diatur tidak sesuai lagi (dimana tidak ada kendaraan yang
lalu lalang), maka para pejalan kaki dapat berlalu tanpa perlu dikekang
warna lampu traffic lights. Berbeda dengan si Barat, orang
Jepang dalam menjalankan hukum juga mengaitkannya dengan harga diri.
Sehingga proses ketaatan berhukum mereka tidak semata-mata untuk sebuah
filosofi menaati peraturan tetapi juga norma-norma sosial yang mereka
hormati sebagai sebuah aturan yang mampu menertibkan.
Masyarakat Jepang yang memiliki karakter
berhukum sendiri itulah yang juga ingin dibangun Satjipto dalam
kepribadian berhukum bangsa Indonesia. Masyarakat Nusantara yang beragam
memiliki karakter berhukum sendiri, tidak mungkin diseragamkan.
Akibatnya jika produk hukum nasional dipaksakan diterapkan kepada
masyarakat yang memiliki tata cara berhukum sendiri, maka yang timbul
bukanlah ketertiban, padahal itu hal itu merupakan salah satu tujuan
pokok huku. Satjipto bahkan mengandaikan pemaksaan tersebut seperti
memasukan kambing dan harimau dalam satu kandang.[28]
Hukum Nasional pasti akan ”memaksa” hukum yang sudah tumbuh dan kembang
dalam masyarakat-masyarakat Nusantara jauh sebelum hukum Nasional itu
sendiri mendapat tempat. Bagi Satjipto aturan hukum haruslah dibaca
secara progresif, tidak hanya mengimplementasikan ”ayat-ayat” hukum
secara utuh tanpa melihat konteks sosiologisnya. Bahkan menurutnya
seluruh bidang ilmu hukum harus juga melihat konteks keterkaitannya
dengan ilmu-ilmu lain, seperti hubungannya dengan ilmu sosiologi,
antropologi, ekonomi, psikologi dan lain-lain sebagainya. Sehingga,
misalnya diperlukan juga menurut Satjipto dari ruang ilmu konstitusi
seorang pakar Antropologi Hukum Tata Negara.[29]
Berpikir Progresif
Cara berpikir hukum yang tidak hanya
melihat aturan hukum formal tersebut dikembangkan Satjipto dengan slogan
hukum progresif. Pergerakan hukum dengan cara progresif tersebut
dianggap begawan hukum itu sangat penting sekali bagi dunia hukum
Indonesia. Permasalahan hukum dimana saja, termasuk di Indonesia, dalam
pandangan Satjipto timbul ketika budaya hukum mulai memasuki tradisi
dituliskan (written law). Hukum kemudian menjadi formal dan
terbirokrasikan, struktural, bahkan rasionalisasinya berdasarkan
teks-teks hukum yang harus sesuai dengan bunyi pasal-pasal aturan
perundang-undangan. Akibatnya hukum tidak lagi memiliki ”ruh”
kemanusiaan padahal hukum dibentuk untuk menyelesaikan permasalahan
kemanusian. Kemudian, untuk mengatasi permasalahan formalisasi hukum
tersebut, dalam pergerakan hukum progresif, pemaknaan terhadap teks
aturan hukum menjadi sesuatu yang sangat penting sekali. Satjipto
menjelaskan mengenai hal tersebut sebagai berikut;
Bahkan tidak berlebihan apabila kita
dapat mengatakan, bahwa penafsiran hukum itu merupakan jantung hukum.
Hampir tidak mungkin hukum bisa dijalankan tanpa membuka pintu
penafsiran. Penafsiran hukum merupakan aktifitas yang mutlak terbuka
untuk dilakukan, sejak hukum berbentuk tertulis. Diajukan sebuah
adagium. ”Membaca hukum adalah menafsirkan hukum.” Mengatakan teks hukum
sudah jelas, adalah suatu cara saja bagi pembuat hukum untuk bertindak
pragmatis seraya diam-diam mengakui, bahwa ia mengalami kesulitan untuk
memberikan penjelasan.[30]
Berpikir dan bertindak hukum secara
progresif tersebut berguna untuk memperbaiki kealpaan dari rumusan
perundang-undangan dalam penerapannya. Satjipto meyakini bahwa tidak ada
rumusan satu undang-undang pun yang absolut benar, lengkap, dan
komprehensif. Oleh karena itu, menurut Satjipto penafsiran hukum
merupakan sebuah ”sarana” yang dapat menjembatani kekurangan aturan
objek yang dirumuskan dengan perumusannya.
Oleh kritikusnya cara kalangan sosiologis
(terutama sosiologi hukum) yang memandang sebuah aturan hukum dengan
meyakini bahwa aturan itu tidak akan sempurna dan memiliki pelbagai
kekurangan ”diserang” dengan sebutan pesimisme. Hal itu terlihat sekali
dari kutipan Max Weber yang diambil dari perkataan Goethe mengenai
kondisi manusia; ”para spesialis tanpa spirit, hedonis tanpa hati;
kehampaan ini membayangkan dirinya telah mencapai taraf peradaban yang
belum pernah ada sebelumnya”.[31] Kecurigaan yang dibangun oleh Weber dan kalanagan sosiologi bukan tidak memiliki penyebab sama sekali.
Kondisi mencurigai aturan hukum dan
manusia yang menjalankannya tersebut jika ditelusuri timbul dari
pemberlakuan hukum modern dan postmodern yang harus menggunakan
rasionalisasi, formalisasi, dan birokrasi hukum, sebagaimana telah
dijelaskan di atas bahwa hal tersebut merupakan sisi negatif dari hukum
tertulis. Satjipto dalam buku ”Hukum dalam Jagat Ketertiban”
mempertanyakan kodifikasi dan formalisasi aturan hukum itu. Menurutnya
hukum menjadi bukan untuk manusia, tapi manusia yang ”diperbudak” oleh
hukum. Berlahan-lahan namun pasti hukum modern dan postmodern mengikis
keradaan hukum pramodern. Menurut Satjipto saat ini bukan lagi proses
kemanusiaan yang berlangsung, tetapi proses hukum.[32]
Akibatnya bukanlah ketertiban yang manusiawi yang timbul melainkan
ketertiban hukum belaka. Hukum sebagai alat kemudian ”diperalat” untuk
memperturuti hawa nafsu orang-orang tertentu yang mampu mengendalikan
hukum. Ketertiban dan keadilan menjadi tidak berpegang kepada rasa
kemanusian tetapi melihat kehendak formalisasi hukum.
Untuk itu menurut Satjipto penafsiran
hukum progresif dibutuhkan untuk kembali memanusiakan aturan hukum yang
sangat kaku (baca: formal). Cara itu berguna agar hukum mampu mencapai
kehendak tertinggi dari keinginan manusia di dunia yaitu kebahagian.
Hukum berfungsi mencapat harapan-harapan tersebut, menurut Satjipto
hendaknya hukum bisa memberikan kebahagian kepada rakyat dan bangsanya.[33]
Untuk mencapai kebahagian itu, hukum
sebagai alat harus mampu dipraktikan secara luar biasa dan progresif.
Masyarakat memang membutuhkan ketertiban serta keteraturan, sebab itu
masyarakat membutuhkan hukum. Namun ketertiban hukum tidak harus
menghalangi manusia untuk bertindak progresif agar hukum menjadi hidup
dan menyentuh aspek-aspek keadilan di masyarakat.
Mahkamah Konstitusi dari Sudut Satjipto
Sebagai sebuah lembaga peradilan,
Mahkamah Konstitusi (MK) pastilah bersentuhan dengan masyarakat pencari
keadilan. Itu bermakna bahwa MK pun tidak akan luput dari pengamatan
para ahli sosiologi hukum. Satjipto Rahardjo sendiri juga adalah salah
satu pakar yang seringkali memberikan kritik-kritik membangun bagi
pondasi tiang sembilan penjaga konstitusi negara ini. Jika membaca
tulisan Satjipto di Harian Kompas berjudul ”Sisi Lain Mahkamah
Konstitusi” dapat terlihat bagaimana ia ingin agar lembaga peradilan
konstitusional tersebut juga menjalankan prinsip sosiologi hukum dalam
putusannya.[34]
Satjipto juga mengomentari pelbagai putusan MK melalui tulisannya.
Misalnya terhadap putusan MK yang berkaitan dengan pengujian
Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) terlihat
bagaimana kecewanya Satjipto ketika timbul permasalahan Prita Mulyasari
yang menggunjang peradaban penegakan hukum Indonesia. Ia memang tidak
menyalahkan putusan MK dalam kasus tersebut, namun ia hanya mencontohkan
betapa kasus tersebut berkaitan dengan perilaku manusia yang
menjalankan hukum.[35]
Dalam tulisannya yang lain Pak Tjip
bahkan menganggap kewenangan menafsir aturan hukum yang dilakukan
lembaga peradilan adalah sebuah sarana dalam menafsir hukum secara
progresif yang bermula pada kasus Madison versus Marbury di Amerika.[36] Hakim adalah harapan para justiabelen
(pencari keadilan) oleh karena itu mereka harus membaca jiwa yang
terkandung di dalam teks-teks hukum sebagaimana dipopulerkan oleh Ronald
Dworkin (moral reading of law).[37]
Satjipto juga mengusulkan agar MK mampu
membaca seluruh kondisi lapisan sosial, maka hakim-hakim MK semestinya
tidak hanya diisi oleh orang-orang lulusan ilmu hukum. Menurut Satjipto
dikarenakan MK mengurusi banyak aspek kehidupan bangsa, sehingga
permasalahan bangsa ini tidak hanya harus diserahkan semata-mata kepada
para ahli hukum, melainkan juga sosiolog, antropolog, ilmuwan politik,
ekonomi, sejarawan, rohaniawan, dan lain-lain.[38]
Menurut Satjipto tindakan merubah aturan main hukum yang berani
tersebut diperlukan. Dalam konteks sejarah kemajuan-kemajuan hukum,
tindakan yang dilakukan pastilah tidak biasa, melainkan menempuh langkah
yang dianggap Satjipto sebagai rule breaking yang sangat visioner. Pak
Tjip mencontohkan dalam kajian ilmu Hukum Tata Negara dan peradilan
dikenal langkan visioner Ketua Supreme Court (Mahkamah Agung) Amerika
Justice John Marshall di tahun 1803 yang memutuskan bahwa peradilan
berhak membatalkan undang-undang.[39] Bagi Satjipto begitulah seharusnya gerak hukum yang berkeadilan, hukum harus bertindak progresif, bukan hukum yang mati rasa.
Paham progresif yang diusung Satjipto
merupakan salah satu keilmuwan yang mewarnai jagat hukum di Indonesia.
Kiprah Satjipto patut dihargai dalam upayanya ”mendidik” manusia dan
aparat hukum Indonesia untuk masuk ke dalam jagat ketertiban hukum yang
bergerak progresif. Tulisan ini merupakan sebuah penghargaan bagi Pak
Tjip yang diusianya saat ini (78) tidak pernah letih ”meneriakkan”
semangat keadilan sesungguhnya.
Daftar Pustaka
Buku
Asshiddiqie, Jimly, 2009, Green
Constitution, Nuansa Hijau Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, Jakarta: Rajawali Press
Beilharz, Peter, 2005, Teori-Teori Sosial, Observasi Kritis terhadap Para Filosof Terkemuka, Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Dirdjosisworo, Soedjono, 2005, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Rajawali Pers, 2005
Dimyati, Khudzaifah, 2005, Teorisasi Hukum, Studi tentang Perkembangan Pemikiran Hukum di Indonesia 1945-1990, Surakarta: Muhammadiyah University Press
Drury, Shadia B., 1986, Hukum dan Politik, Bacaan Mengenai Pemikiran Hukum dan Politik, Bandung: Penerbit Tarsito
Lon L. Fuller, 1969, The Morality of Law, New Haven dan London: Yale University Press
Gurvitch,Georges, 1996, Sosiologi Hukum, Jakarta: Penerbit Bharatara
Kranenburg, diterjemahkan Tk. B. Sabaroedin, 1959, Ilmu Negara Umum, Jakarta : J.B. Wolters
Kusumaatmadja, Mochtar, 2006, Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan, Bandung: Penerbit Alumni
Rahardjo, Satjipto, 2006, Hukum dalam Jagat Ketertiban, Jakarta: Penerbit UKI Press
Rahardjo, Satjipto, 2002, Sosiologi Hukum, Perkembangan Metode dan Pilihan Masalah, Surakarta: Muhammadiyah University Press
Rahardjo, Satjipto, 2006, Ilmu Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti
Rahardjo, Satjipto, 2007, Biarkan Hukum Mengalir, Catatan Kritis tentang Pergulatan Manusia dan Hukum, Jakarta: Penerbit Buku Kompas
Rahardjo, Satjipto, 2006, Membedah Hukum Progresif, Jakarta: Penerbit Kompas
Rahardjo, Satjipto, 2006, Ilmu Hukum, Bandung; Penerbit PT. Citra Aditya Bakti
Artikel Koran
Kompas, Satijpto Rahardjo, Sisi Lain Mahkamah Konstitusi, 5 Januari 2009
Kompas, Satjipto Rahardjo, MA yang Progresif, 23 Januari 2009
Kompas, Satjipto Rahardjo, Berhukum dengan Nurani, 8 Juni 2009
Website
http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum, diunduh pada tanggal 10/06/09, jam.12.38 WIB
http://en.wikipedia.org/wiki/sociology_of_law, diunduh pada tanggal 8/06/09, jam 21.30 WIB.
[1] Satjipto Rahardjo, Hukum dalam Jagat Ketertiban, (Jakarta: Penerbit UKI Press, 2006), hlm.34 dan hlm. 35.
[2] Khudzaifah Dimyati, Teorisasi Hukum, Studi tentang Perkembangan Pemikiran Hukum di Indonesia 1945-1990, (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2005), hlm. 162.
[3] Subur Tjahjono, Satjipto, 33 Tahun Menulis Artikel, dalam Kompas.com, dapat diakses melalui; http://www.kompas.com/read/xml/2008/06/27/05383141/satjipto.33.tahun.menulis.artikel, tanggal 2 Juli 2009, 17:27 WIB.
[4] Ibid.
[5] Sosiologi berasal dari kata latin, socius yang berarti “kawan” dan kata Yunani, logos
yang bermakna “kata” atau “bicara”, sehingga defenisi sosiologi berarti
bicara mengenai masyarakat. Sedangkan menurut Auguste Comte, sosiologi
merupakan ilmu pengetahuan kemasyarakatan umum yang merupakan hasil
terakhir daripada perkembangan ilmu pengetahuan.
[6] Georges Gurvitch, Sosiologi Hukum, (Jakarta: Penerbit Bharatara, 1996), hlm, 59.
[7] Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum, Perkembangan Metode dan Pilihan Masalah, (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2002), hlm, 12
[8] Kranenburg, diterjemahkan Tk. B. Sabaroedin, Ilmu Negara Umum, (Jakarta : J.B. Wolters, 1959), hlm. 17
[9]
Jimly Asshiddiqie, Green Constitution, Nuansa Hijau Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, (Jakarta: Rajawali Press, 2009),
hlm. 14.
[10] Opcit, Georges Gurvitch, hlm, 66-67.
[11] Ibid.
[12] Thomas Hobbes, Mengenai Manusia dan Negara, Leviathan, dalam Shadia B. Drury, Hukum dan Politik, Bacaan Mengenai Pemikiran Hukum dan Politik, (Bandung: Penerbit Tarsito, 1986), hlm. 254-255.
[13] Opcit, Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum…, hlm. 12-13.
[15] Opcit, Georges Gurvitch, hlm, 1.
[16] Ibid.
[17] http://en.wikipedia.org/wiki/sociology_of_law, diunduh pada tanggal 8/06/09, jam 21.30 WIB.
[18] Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Rajawali Pers, 2005), hlm. 160.
[19] Lon L. Fuller, The Morality of Law, (New Haven dan London: Yale University Press, 1969), hlm. 107.
[20] Bandingkan dengan Satjito Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2006), hlm. 335.
[21] Ibid, hlm. 332-334.
[22] Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir, Catatan Kritis tentang Pergulatan Manusia dan Hukum, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2007), hlm. 20.
[23] Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung; Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, 2006), hlm. 333.
[24] Lihat Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan, (Bandung: Penerbit Alumni, 2006), hlm. 3
[25] Bandingkan dalam; http://en.wikipedia.org/wiki/Living_Constitution.
[26] Ibid, hlm. 258.
[27] Opcit, Biarkan Hukum Mengalir,
hlm. 18 dan hal yang sama juga pernah diceritakan dalam buku Satjipto
Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, (Jakarta: Penerbit Kompas, 2006),
hlm. 7.
[28] Ibid, hlm. 26.
[29] Opcit, Hukum dalam Jagat Ketertiban, hlm. 36.
[30] Ibid, hlm. 163.
[31] Peter Beilharz, Teori-Teori Sosial, Observasi Kritis terhadap Para Filosof Terkemuka, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 366.
[32] Opcit, Hukum dalam Jagat Ketertiban, hlm. 60.
[33] Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, (Jakarta: Penerbit Kompas, 2006), hlm. 10.
[34] Satijpto Rahardjo, Sisi Lain Mahkamah Konstitusi, (Kompas, 5/01/2009)
[35] Satjipto Rahardjo, Berhukum dengan Nurani, (Kompas, 8/06/2009)
[36] Satjipto Rahardjo, MA yang Progresif, (Kompas, 23/01/2009)
[37] Feri Amsari, Hakim Bermuka Dua: Prosedural dan Progresif, dapat diunduh di http://www.feriamsari.wordpress.com.
[38] Opcit, Sisi Lain Mahkamah Konstitusi.
[39] Opcit, MA yang Progresif.
Komentar
Posting Komentar