Lakon
LAKON
Yap Thiam Hien
Yap Thiam Hien (lahir di Koeta Radja,
Aceh, 25 Mei 1913 – meninggal di Brusel, Belgia, 25 April 1989 pada umur 75 tahun) adalah seorang pengacara Indonesia keturunan Tionghoa. Ia mengabdikan seluruh hidupnya berjuang demi
menegakkan keadilan dan hak asasi manusia (HAM). Namanya diabadikan
sebagai nama sebuah penghargaan yang diberikan kepada
orang-orang yang berjasa besar bagi penegakan hak asasi manusia
di Indonesia.
Yap Thiam Hien,
yang biasa dipanggil "John" oleh teman-teman akrabnya, adalah anak
sulung dari tiga bersaudara dari Yap Sin Eng dan Hwan Tjing Nio. Kakek buyutnya
adalah seorang Luitenant yang bermigrasi dari provinsi Guangdong di Tiongkok ke Bangka, namun
kemudian pindah ke Aceh. Ketika monopoli opium di Hindia
Belanda dihapuskan,
kehidupan keluarga Yap dan banyak tokoh masyarakat Tionghoa saat itu merosot.
Ditambah lagi oleh kekeliruan investasi di Aceh berupa kebun kelapa yang
ternyata tidak memberikan hasil yang menguntungkan. Pada tahun 1920 kedudukan
keluarga Yap digantikan oleh keluarga Han, yang datang dari Jawa
Timur.
Thiam Hien
dibesarkan dalam lingkungan perkebunan yang sangat feodalistik. Kondisi
lingkungan feodalistik ini telah menempa pribadi cucu Kapitan Yap Hun Han ini
sejak kecil bersifat memberontak dan membenci segala bentuk penindasan dan
kesewenang-wenangan.
Pada usia 9
tahun, ibu Thiam Hien meninggal dunia. Ia dan kedua orang adiknya kemudian
dibesarkan oleh Sato Nakashima, seorang perempuan Jepang yang merupakan
gundik kakeknya. Sato
ternyata memainkan peranan besar dalam kehidupan Thiam Hien, memberikan
kemesraan keluarga yang biasanya tidak ditemukan dalam keluarga Tionghoa serta
rasa etis yang kuat yang kelak menjiwai kehidupan Thiam Hien di masa dewasa.
Yap Sin Eng,
ayah Thiam Hien, ternyata adalah figur yang lemah. Namun Sin Eng ikut membentuk
kehidupan anak-anaknya, karena ia memutuskan untuk memohon status hukum disamakan
(gelijkstelling) dengan bangsa Eropa. Hal ini memungkinkan anak-anaknya
memperoleh pendidikan Eropa, meskipun mereka telah kehilangan status sebagai
tokoh masyarakat.
Pindah ke Jawa
Thiam Hien
belajar di Europesche Lagere School, Banda Aceh. Kemudian melanjut ke MULO di Banda Aceh.
Pada tahun 1920-an, Yap Sin Eng membawa Thiam Hien dan adiknya Thiam Bong
pindah ke Batavia. Thiam Hien pun pindah sekolah ke MULO di Batavia, lalu
meneruskan ke AMS A-II dengan
program bahasa-bahasa Barat di Bandung dan Yogyakarta dan lulus pada
1933. Ia sangat
tertarik akan sejarah dan fasih dalam bahasa-bahasa Barat, yaitu bahasa
Belanda, bahasa
Jerman, bahasa
Inggris, bahasa
Prancis, dan bahasa
Latin.
Paa 1938, Yap memeluk
agama Kristen, setelah
selama beberapa tahun mempelajarinya dan berkenalan lewat sebuah keluarga Indo, tempat ia kos
di Yogyakarta.
Menjadi guru
Selesai dari AMS, dunia pada saat itu dilanda depresi
ekonomi, dan Yap tidak dapat memperoleh pekerjaan. Karena itu ia pindah ke Batavia, dan masuk ke Hollands-Chineesche
Kweekschool (HCK), di Meester
Cornelis. HCK adalah
sekolah pendidikan guru yang berlangsung satu tahun, yang memberikan kesempatan
kepada para pemuda peranakan yang ingin menempuh pendidikan
profesional, namun tidak mempunyai biaya untuk masuk ke universitas. Setamat
dari HCK, Yap menjadi guru selama empat tahun di wilde scholen (sekolah-sekolah
yang tidak diakui pemerintah Belanda) Chinese Zendingschool, Cirebon. Berikutnya
menjadi guru di Tionghwa Hwee Kwan Holl, China School di Rembang dan Christelijke
School di Batavia. Lalu, sejak 1938, Yap yang
pernah menjadi pencari langganan telepon, bekerja di kantor asuransi Jakarta
dan di Balai Harta Peninggalan Departemen Kehakiman pada 1943 serta
mendaftar di Rechsthogeschool (Sekolah Tinggi Hukum).
Berangkat ke Belanda
Pada awal 1946, Yap
mendapatkan kesempatan untuk bekerja pada sebuah kapal pemulangan orang-orang
Belanda yang mengantarkannya ke Belanda untuk menyelesaikan studi hukumnya di Universitas Leiden. Dari sana ia meraih gelar Meester
in de Rechten. Sementara belajar di Leiden, Yap tinggal di Zendingshuis,
pusat Gereja Reformasi Belanda di Oegsgeest. Selama tinggal di Zendingshuis, Yap
banyak membaca buku-buku teologi Protestan dan berdiskusi dengan para mahasiswa
Belanda yang mempersiapkan diri untuk menjadi misionaris. Yap semakin tertarik
akan pelayanan gereja, dan Gereja Reformasi Belanda kemudian menawarkan
kesempatan kepada Yap untuk belajar di Selly Oak College di Inggris, dengan syarat
ia kelak mengabdikan hidupnya bagi pelayanan gereja di Indonesia. Yap setuju
dan sekembalinya dari Eropa ia menjadi pemimpin organisasi pemuda Kristen Tjeng Lian Hwee di Jakarta
pada akhir 1940-an. Selama di
Belanda, Yap berkembang menjadi seorang sosialis demokrat melalui pergaulannya
dengan banyak mahasiswa Indonesia lainnya yang terkait dengan Partij van de
Arbeid (Partai Buruh) di Belanda.
Menjadi pengacara
Sekembalinya ke
tanah air pada 1948, Yap menikah.
Ayahnya, Yap Sin Eng dan Sato Nakashima meninggal pada 1949. Yap mulai
bekerja di gereja. Ia pun kemudian mulai berkiprah sebagai seorang pengacara
warga untuk warga keturunan Tionghoa di Jakarta.
Belakangan ia bergabung dengan sebuah biro hukum kecil namun cukup terkemuka
dengan rekan-rekannya yang semuanya terlibat dalam masalah yang jauh lebih luas
daripada sekadar masalah Tionghoa. Rekan
seniornya pada waktu itu antara lain adalah Lie Hwee Yoe, pendiri biro hukum itu pada tahun
1930-an, Tan Po Goan, seorang pendukung aktif revolusi dan
kemudian menjadi anggota Partai Sosialis Indonesia, dan Oei
Tjoe Tat yang jauh
lebih muda, seorang aktivis Sin Ming Hui dan belakangan aktif di Baperki dan Partindo.
Setelah lebih
berpengalaman, Yap bersama John Karwin, Mochtar Kusumaatmadja dan Komar membuka kantor pengacara
pada 1950. Sampai
kemudian, Yap membuka kantor pengacara sendiri sejak tahun 1970 dan kemudian
memelopori berdirinya Peradin (Persatuan Advokat Indonesia) dan kemudian
menjadi pimpinan asosiasi advokat itu.
Dalam rangka
memperkuat perlawanannya terhadap penindasan dan tindakan diskriminatif yang
dialami keturunan Tionghoa, Yap ikut
mendirikan Baperki, suatu
organisasi massa yang mulanya didirikan untuk memperjuangkan kepentingan
politik orang-orang Tionghoa. Lalu, pada Pemilihan Umum 1955, ia menjadi anggota Konstituante. Namun Yap
berbeda paham politik dengan Siauw
Giok Tjhan, salah satu
tokoh Baperki saat itu. Ia
menentang politik Siauw yang cenderung kekiri-kirian. Karena itu
Yap kemudian keluar dari organisasi itu.
Nama Yap muncul
ke permukaan setelah ia terlibat dalam perdebatan di Konstituante pada 1959.
Ketika itu, sebagai seorang anggota DPR dan Konstituante keturunan Tionghoa, ia
menolak kebijakan fraksinya yang mendapat tekanan dari pemerintah. Ia satu-satunya
anggota Konstituante yang menentang UUD 1945 karena
keberadaan Pasal 6 yang diskriminatif dan konsep kepresidenan yang terlalu
kuat.
Perjalanan
karier dan perjuangannya juga ditopang dengan kuat oleh istrinya, Tan Gien
Khing Nio, yang berprofesi guru. Mereka dikaruniai dua anak, Yap Hong Gie dan
Yap Hong Ai, serta empat cucu. Yap, yang diberi penghargaan gelar doctor honoris causa dikenal sebagai pengabdi hukum sejati.
Dalam
perjalanan tugas menghadiri konferensi internasional Lembaga Donor untuk
Indonesia di Brussel, Belgia, Yap menderita
pendarahan usus. Setelah dua hari dirawat di Rumah Sakit Santo Agustinus,
Brussel, Yap menghembuskan napas yang terakhir pada 25 April 1989. Jenazahnya
diterbangkan ke Jakarta. Lima hari kemudian, diiringi ribuan pelayat,
jenazahnya dikebumikan di Taman Pemakaman Umum Tanah Kusir Jakarta.
Selama
hidupnya, Yap dikenal sebagai seorang Kristen yang saleh, dan aktif dalam
kegiatan gereja. Ia ikut mendirikan Universitas Kristen Indonesia dan pernah
duduk dalam salah satu komisi dari Dewan Gereja-gereja se-Dunia dan International
Commission of Jurists. Arief
Budiman pernah
menjuluki Yap sebagai seorang "triple minority" di Indonesia, yaitu
Tionghoa, Kristen, dan jujur.
Kegiatan
Selama menjadi
pengacara, Yap pernah membela pedagang di Pasar
Senen yang tempat
usahanya tergusur oleh pemilik gedung. Yap juga menjadi salah seorang pendiri Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).
Pada era Bung
Karno, Yap menulis
artikel yang mengimbau presiden agar membebaskan sejumlah tahanan politik,
seperti Mohammad
Natsir, Mohammad
Roem, Mochtar
Lubis, Subadio, Syahrir, dan Princen.
Begitu pula
ketika terjadinya Peristiwa
G30S, Yap, yang
dikenal sebagai pribadi yang antikomunis, juga berani membela para tersangka
G30S seperti Abdul
Latief, Asep Suryawan, dan Oei
Tjoe Tat. Yap bersama H.J.C Princen, Aisyah
Aminy, Dr Halim, Wiratmo Sukito, dan Dr Tambunan yang tergabung dalam Lembaga
Pembela Hak-hak Asasi Manusia (LPHAM) yang mereka dirikan 29 April 1966 dan sekaligus mewakili
Amnesty International di Indonesia, meminta supaya para tapol PKI
dibebaskan.
Ia juga
membuktikan nasionalisme tidak dapat dikaitkan dengan nama yang disandang
seseorang. Ini dibuktikannya dengan tidak mengganti nama
Tionghoa yang ia
sandang sampai akhir hayatnya walaupun ada himbauan dari pemerintah Orde Baru
kepada orang Tionghoa di Indonesia untuk mengganti nama Tionghoa mereka.
Ia juga membela
Soebandrio, bekas perdana
menteri, yang menjadi sasaran cacian massa pada awal Orde Baru itu. Pembelaan
Yap yang serius dan teliti kepada Soebandrio itu sempat membuat hakim-hakim
militer di Mahmilub (Mahkamah Militer Luar Biasa) bingung dan
kesal.
Yap juga
seorang tokoh yang antikorupsi. Ia bahkan sempat ditahan selama seminggu pada
tahun 1968 sebagai akibat
kegigihannya menentang korupsi di lembaga pemerintah.
Pada Peristiwa Malari (Malapetaka
Lima Belas Januari) 1974, Yap juga
tampil teguh memosisikan diri membela para aktivis mahasiswa. Ia
pun ditahan tanpa proses peradilan. Ia dianggap menghasut mahasiswa melakukan demonstrasi
besar-besaran. Begitu pula ketika terjadi Peristiwa Tanjung Priok pada 1984, Yap maju ke depan
membela para tersangka.
http://id.wikipedia.org/wiki/Yap_Thiam_Hien
Komentar
Posting Komentar