PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 6 TAHUN 1972
PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI
NOMOR 6 TAHUN 1972
TENTANG
PELIMPAHAN WEWENANG PEMBERIAN HAK ATAS TANAH
NOMOR 6 TAHUN 1972
TENTANG
PELIMPAHAN WEWENANG PEMBERIAN HAK ATAS TANAH
Mengingat:
1. Undang-Undang Pokok Agraria (Undang-Undang No. 5 Tahun 1960) Lembaran Negara
No. 104);
2. Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 54 Tahun 1970 tentang Perobahan atau
penambahan struktur Organisasi Departemen Dalam Negeri;
3. Peraturan Menteri Agraria No. 10 Tahun 1965jo. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 7
Tahun 1968;
4. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. Sk. 59/DDA/1970;
5. Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 187 dan No. 188 Tahun 1970 tentang Susunan
Organisasi dan Tata-kerja Departemen Dalam Negeri;
]
1. Undang-Undang Pokok Agraria (Undang-Undang No. 5 Tahun 1960) Lembaran Negara
No. 104);
2. Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 54 Tahun 1970 tentang Perobahan atau
penambahan struktur Organisasi Departemen Dalam Negeri;
3. Peraturan Menteri Agraria No. 10 Tahun 1965jo. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 7
Tahun 1968;
4. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. Sk. 59/DDA/1970;
5. Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 187 dan No. 188 Tahun 1970 tentang Susunan
Organisasi dan Tata-kerja Departemen Dalam Negeri;
]
BAB I. KETENTUAN UMUM
Pasal 1.
(1) Wewenang pemberian hak atas tanah dan pembukaan tanah, dengan Peraturan ini
dilimpahkan kepada para Gubernur/Bupati/Walikota Kepala Daerah dan Kepala
Keeamatan dalam kedudukan dan fungsinya sebagai Wakil Pemerintah.
(2) Dalam pelaksanaan pelimpahan wewenang yang dimaksud pada ayat (1) pasal ini,
diperhatikan ketentuan peraturan perundangan yang bersangkutan dan petunjuk-petunjuk
pelaksanaan yang diberikan oleh Menteri Dalam Negeri.
(3)Yang dimaksud dengan tanah Negara adalah tanah yang langsung dikuasai oleh Negara
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960, Lembaran Negara
1960 No. 104;
Pasal 1.
(1) Wewenang pemberian hak atas tanah dan pembukaan tanah, dengan Peraturan ini
dilimpahkan kepada para Gubernur/Bupati/Walikota Kepala Daerah dan Kepala
Keeamatan dalam kedudukan dan fungsinya sebagai Wakil Pemerintah.
(2) Dalam pelaksanaan pelimpahan wewenang yang dimaksud pada ayat (1) pasal ini,
diperhatikan ketentuan peraturan perundangan yang bersangkutan dan petunjuk-petunjuk
pelaksanaan yang diberikan oleh Menteri Dalam Negeri.
(3)Yang dimaksud dengan tanah Negara adalah tanah yang langsung dikuasai oleh Negara
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960, Lembaran Negara
1960 No. 104;
BAB II. WEWENANG GUBERNUR KEPALA DAERAH
Bagian 1. Hak Milik
Pasal 2.
Gubernur Kepala Daerah memberi keputusan mengenai:
a. permohonan pemberian hak milik atas tanah Negara dan menerima pelepasan hak
rnilik yang luasnya:
a.1.untuk tanah pertanian tidak lebih dari 20.000 M2 (dua puluh ribu meter persegi),
a.2.untuk tanah bangunan/perumahan tidak lebih dari 2.000 M2 (dua ribu meter
persegi).
b. permohonan penegasan status tanah sebagai hak milik dalam rangka pelaksanaan
Ketentuan-ketentuan Konvensi Undang-Undang Pokok Agraria;
c. permohonan pemberian hak milik atas tanah Negara:
c.1. kepada para transmigran,
c.2. dalam rangka pelaksanaan Landreform,
c.3. kepada para bekas gogol tidak tetap, sepanjang tanah itu merupakan bekas
gogolan tidak tetap.
Bagian 2. Hak Guna Usaha
Pasal 3.
Gubernur Kepala Daerah memberi keputusan mengenai permohonan pemberian,
perpanjangan jangka waktu atau pembaharuan, ijin pemindahan dan menerima pelepasan hak
guna usaha atas tanah Negara jika:
a. luas tanahnya tidak lebih dari 25 Ha (dua puluh lima hektar);
b. peruntukan tanahnya bukan untuk tanaman keras;
c. perpanjangan jangka waktunya tidak lebih dari 5 (lima) tahun.
Bagian 3. Hak Guna Bangunan
Pasal 4.
Gubernur Kepala Daerah memberi keputusan mengenai permohonan pemberian,
perpanjangan/pembaharuan, dan menerima pelepasan hak guna bangunan atas tanah Negara
kepada warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia yang bukan bermodal asing
yang:
a. luas tanahnya tidak melebihi 2.000 M2 (dua ribu meter persegi), dan
b. jangka waktunya tidak lebih dari 20 (dua puluh) tahun.
Bagian 4. Hak Pakai
Pasal 5.
Gubernur Kepala Daerah memberi keputusan mengenai:
a. permohonan pemberian, perpanjangan/pembaharuan dan menerima pelepasan hak pakai
atas tanah Negara kepada/oleh warga Negara Indonesia atau badan hukum Indonesia
yang bukan bermodal asing yang:
a.l. luas tanahnya tidak lebih dari 2.000 M2 (dua ribu meter persegi), dan
a.2. jangka waktunya tidak melebihi 10 (sepuluh) tahun.
b. permohonan pemberian hak pakai atas tanah Negara, yang akan dipergunakan sendiri
oleh suatu Departemen/Direktorat Jenderal, Lembaga-lembaga Negara non-Departemen
atau Pemerintah Daerah.
Bagian 5. Pembukaan Tanah
Pasal 6.
Gubernur Kepala Daerah memberi keputusan mengenai ijin untuk membuka tanah, jika luas
tanahnya lebih dari 10 Ha (sepuluh hektar) tetapi tidak melebihi 50 Ha (limapuluh hektar).
BAB III. WEWENANG BUPATI/WALIKOTA KEPALA DAERAH
Bagian 1. Hak Milik
Pasal 7.
Bupati/Walikota Kepala Daerah, memberi keputusan mengenai permohonan ijin untuk
memindahkan hak milik.
Bagian 2. Hak Guna Bangunan
Pasal 8.
Bupati/Walikota Kepala Daerah, memberi keputusan mengenai permohonan ijin untuk
memindahkan hak guna bangunan atas tanah Negara kepada warga negara Indonesia atau
badan hukum Indonesia yang bukan bermodal asing.
Bagian 3. Hak Pakai
Pasal 9.
Bupati/Walikota Kepala Daerah, memberi keputusan mengenai permohonan ijin untuk
memindahkan hak pakai atas tanah Negara kepada warga negara Indonesia atau badan
hukum/Indonesia yang bukan bermodal asing.
Bagian 4. Pembukaan Tanah
Pasal 10.
Bupati/Walikota Kepala Daerah memberi keputusan mengenai ijin untuk membuka tanah, jika
luasnya lebih dari 2 Ha (dua hektar) tetapi tidak lebih dari 10 Ha (sepuluh hektar).
BAB IV. WEWENANG KEPALA KECAMATAN
Pasal 11.
Kepala Kecamatan memberi keputusan mengenai ijin membuka tanah jika luasnya tidak lebih
dari 2 Ha (dua hektar) dengan memperhatikan pertimbangan Kepala Desa yang bersangkutan
atau pejabat yang setingkat dengan itu. (Dengan suratnya tanggal 22 Mei 1984 No.
593/5707/SJ, Menteri Dalam Negeri menginstruksikan kepada para Gubernur/KDH untuk
melarang para Camat menggunakan wewenang ini.)
BAB V. WEWENANG MENTERI DALAM NEGERI
Pasal 12.
Menteri Dalam Negeri memberi keputusan mengenai permohonan pemberian,
perpanjangan/pembaharuan, menerima pelepasan, ijin pemindahan serta pembatalan:
1. hak milik;
2. hak guna usaha;
3. hak guna bangunan;
4. hak pakai;
5. hak pengelolaan;
6. hak penguasaan;
7. ijin membuka tanah atas tanah Negara, yang wewenangnya tidak dilimpahkan kepada
Gubemur/Bupati/Walikota Kepala Daerah/Kepala Kecamatan.
(Lihat juga PMDN No. 3 / 1984)
BAB VI. KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 13.
(1) Gubemur/Bupati/Walikota Kepala Daerah dilarang,
a. memberikan tanah Negara dengan sesuatu hak apapun sekalipun dengan sebutan
sementara;
b. memberikan ijin mempergunakan atau menguasai tanah Negara; kecuali apabila
wewenang untuk itu tegas-tegas dilimpahkan kepadanya.
(2) Surat Keputusan yang melanggar ketentuan tersebut pada ayat (1) pasal ini batal karena
hukum, sedang penggunaan dan penguasaan tanah yang bersangkutan adalah
pemakaian tanah tanpa ijin yang berhak atau kuasanya sebagai yang dimaksud dalam
Undang-Undang No. 51 Prp. 1960 (Lembaran Negara 1960 No. 158).
Pasal 14.
(1) Menteri Dalam Negeri dapat membatalkan sesuatu hak atas tanah yang berakibat
batalnya sertipikat.
(2) Wewenang untuk menegaskan perubahan sesuatu hak atas tanah dari hak yang lebih
lemah ke hak yang lebih kuat atau sebaliknya sebagai tanah Negara dilakukan oleh
pejabat-pejabat yang berwenang untuk memberikan hak atas tanah tersebut.
BAB VII. KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 15.
Hal-hal yang perlu diselenggarakan dalam rangka pelaksanaa ketentuan-ketentuan peraturan
ini dalam masa peralihan, akan diatur lebih lanjut dengan suatu Instruksi.
BAB VIII. KETENTUAN PENUTUP
Pasal 16.
Dengan berlakunya Peraturan ini, maka Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 1967
tidak berlaku lagi.
Pasal 17.
Peraturan ini berlaku terhitung mulai tanggal 1 September 1972.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 30 Juni 1972.
Bagian 1. Hak Milik
Pasal 2.
Gubernur Kepala Daerah memberi keputusan mengenai:
a. permohonan pemberian hak milik atas tanah Negara dan menerima pelepasan hak
rnilik yang luasnya:
a.1.untuk tanah pertanian tidak lebih dari 20.000 M2 (dua puluh ribu meter persegi),
a.2.untuk tanah bangunan/perumahan tidak lebih dari 2.000 M2 (dua ribu meter
persegi).
b. permohonan penegasan status tanah sebagai hak milik dalam rangka pelaksanaan
Ketentuan-ketentuan Konvensi Undang-Undang Pokok Agraria;
c. permohonan pemberian hak milik atas tanah Negara:
c.1. kepada para transmigran,
c.2. dalam rangka pelaksanaan Landreform,
c.3. kepada para bekas gogol tidak tetap, sepanjang tanah itu merupakan bekas
gogolan tidak tetap.
Bagian 2. Hak Guna Usaha
Pasal 3.
Gubernur Kepala Daerah memberi keputusan mengenai permohonan pemberian,
perpanjangan jangka waktu atau pembaharuan, ijin pemindahan dan menerima pelepasan hak
guna usaha atas tanah Negara jika:
a. luas tanahnya tidak lebih dari 25 Ha (dua puluh lima hektar);
b. peruntukan tanahnya bukan untuk tanaman keras;
c. perpanjangan jangka waktunya tidak lebih dari 5 (lima) tahun.
Bagian 3. Hak Guna Bangunan
Pasal 4.
Gubernur Kepala Daerah memberi keputusan mengenai permohonan pemberian,
perpanjangan/pembaharuan, dan menerima pelepasan hak guna bangunan atas tanah Negara
kepada warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia yang bukan bermodal asing
yang:
a. luas tanahnya tidak melebihi 2.000 M2 (dua ribu meter persegi), dan
b. jangka waktunya tidak lebih dari 20 (dua puluh) tahun.
Bagian 4. Hak Pakai
Pasal 5.
Gubernur Kepala Daerah memberi keputusan mengenai:
a. permohonan pemberian, perpanjangan/pembaharuan dan menerima pelepasan hak pakai
atas tanah Negara kepada/oleh warga Negara Indonesia atau badan hukum Indonesia
yang bukan bermodal asing yang:
a.l. luas tanahnya tidak lebih dari 2.000 M2 (dua ribu meter persegi), dan
a.2. jangka waktunya tidak melebihi 10 (sepuluh) tahun.
b. permohonan pemberian hak pakai atas tanah Negara, yang akan dipergunakan sendiri
oleh suatu Departemen/Direktorat Jenderal, Lembaga-lembaga Negara non-Departemen
atau Pemerintah Daerah.
Bagian 5. Pembukaan Tanah
Pasal 6.
Gubernur Kepala Daerah memberi keputusan mengenai ijin untuk membuka tanah, jika luas
tanahnya lebih dari 10 Ha (sepuluh hektar) tetapi tidak melebihi 50 Ha (limapuluh hektar).
BAB III. WEWENANG BUPATI/WALIKOTA KEPALA DAERAH
Bagian 1. Hak Milik
Pasal 7.
Bupati/Walikota Kepala Daerah, memberi keputusan mengenai permohonan ijin untuk
memindahkan hak milik.
Bagian 2. Hak Guna Bangunan
Pasal 8.
Bupati/Walikota Kepala Daerah, memberi keputusan mengenai permohonan ijin untuk
memindahkan hak guna bangunan atas tanah Negara kepada warga negara Indonesia atau
badan hukum Indonesia yang bukan bermodal asing.
Bagian 3. Hak Pakai
Pasal 9.
Bupati/Walikota Kepala Daerah, memberi keputusan mengenai permohonan ijin untuk
memindahkan hak pakai atas tanah Negara kepada warga negara Indonesia atau badan
hukum/Indonesia yang bukan bermodal asing.
Bagian 4. Pembukaan Tanah
Pasal 10.
Bupati/Walikota Kepala Daerah memberi keputusan mengenai ijin untuk membuka tanah, jika
luasnya lebih dari 2 Ha (dua hektar) tetapi tidak lebih dari 10 Ha (sepuluh hektar).
BAB IV. WEWENANG KEPALA KECAMATAN
Pasal 11.
Kepala Kecamatan memberi keputusan mengenai ijin membuka tanah jika luasnya tidak lebih
dari 2 Ha (dua hektar) dengan memperhatikan pertimbangan Kepala Desa yang bersangkutan
atau pejabat yang setingkat dengan itu. (Dengan suratnya tanggal 22 Mei 1984 No.
593/5707/SJ, Menteri Dalam Negeri menginstruksikan kepada para Gubernur/KDH untuk
melarang para Camat menggunakan wewenang ini.)
BAB V. WEWENANG MENTERI DALAM NEGERI
Pasal 12.
Menteri Dalam Negeri memberi keputusan mengenai permohonan pemberian,
perpanjangan/pembaharuan, menerima pelepasan, ijin pemindahan serta pembatalan:
1. hak milik;
2. hak guna usaha;
3. hak guna bangunan;
4. hak pakai;
5. hak pengelolaan;
6. hak penguasaan;
7. ijin membuka tanah atas tanah Negara, yang wewenangnya tidak dilimpahkan kepada
Gubemur/Bupati/Walikota Kepala Daerah/Kepala Kecamatan.
(Lihat juga PMDN No. 3 / 1984)
BAB VI. KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 13.
(1) Gubemur/Bupati/Walikota Kepala Daerah dilarang,
a. memberikan tanah Negara dengan sesuatu hak apapun sekalipun dengan sebutan
sementara;
b. memberikan ijin mempergunakan atau menguasai tanah Negara; kecuali apabila
wewenang untuk itu tegas-tegas dilimpahkan kepadanya.
(2) Surat Keputusan yang melanggar ketentuan tersebut pada ayat (1) pasal ini batal karena
hukum, sedang penggunaan dan penguasaan tanah yang bersangkutan adalah
pemakaian tanah tanpa ijin yang berhak atau kuasanya sebagai yang dimaksud dalam
Undang-Undang No. 51 Prp. 1960 (Lembaran Negara 1960 No. 158).
Pasal 14.
(1) Menteri Dalam Negeri dapat membatalkan sesuatu hak atas tanah yang berakibat
batalnya sertipikat.
(2) Wewenang untuk menegaskan perubahan sesuatu hak atas tanah dari hak yang lebih
lemah ke hak yang lebih kuat atau sebaliknya sebagai tanah Negara dilakukan oleh
pejabat-pejabat yang berwenang untuk memberikan hak atas tanah tersebut.
BAB VII. KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 15.
Hal-hal yang perlu diselenggarakan dalam rangka pelaksanaa ketentuan-ketentuan peraturan
ini dalam masa peralihan, akan diatur lebih lanjut dengan suatu Instruksi.
BAB VIII. KETENTUAN PENUTUP
Pasal 16.
Dengan berlakunya Peraturan ini, maka Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 1967
tidak berlaku lagi.
Pasal 17.
Peraturan ini berlaku terhitung mulai tanggal 1 September 1972.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 30 Juni 1972.
Komentar
Posting Komentar