PENCABUTAN HAK-HAK TANAH DAN BENDA-BENDA YANG ADA DIATASNYA


UNDANG-UNDANG (UU)
Nomor 20 TAHUN 1961
Tanggal : 26 SEPTEMBER 1961 (JAKARTA)
Sumber: LN 1961/288; TLN NO. 2324
Tentang
PENCABUTAN HAK-HAK TANAH DAN BENDA-BENDA YANG ADA DIATASNYA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Menimbang :
a. bahwa perlu diadakan peraturan baru mengenai pencabutan hak-hak atas tanah
dan benda-benda yang ada diatasnya sebagai yang dimaksud dalam pasal 18
Undang-undang Pokok Agraria (Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960;
Lembaran-Negara Tahun 1966 Nomor 104), terutama dalam rangka
melaksanakan usaha-usaha pembangunan Negara;
b. bahwa dengan adanya peraturan yang baru tersebut diatas
"Onteigeningsordonnantie" (S. 1920-574) sebagai yang telah beberapa kali
diubah dan ditambah, dapat dicabut kembali;
Mengingat :
Pasal 5 ayat (1) jo. pasal 20 ayat (1) Undang-undang Dasar;
Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG PENCABUTAN HAK-HAK ATAS TANAH DAN BENDABENDA
YANG ADA DIATASNYA.
Pasal 1.
Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan Bangsa dan Negara serta
kepentingan bersama dari rakyat, sedemikian pula kepenngan pembangunan,
maka Presiden dalam keadaan yang memaksa setelah mendengar Menteri Agraria,
Menteri Kehakiman dan Menteri yang bersangkutan dapat mencabut hak-hak atas
tanah dan benda-benda yang ada diatasnya.
Pasal 2.
1. Permintaan untuk melakukan pencabutan hak atas tanah dan/ atau benda
tersebut pada pasal 1 diajukan oleh yang berkepentingan kepada Presiden
dengan perantaraan Menteri Agraria, melalui Kepala Inspeksi Agraria yang
bersangkutan.
2. Permintaan tersebut pada ayat 1 pasal ini oleh yang berkepentingan disertai
dengan :
a. rencana peruntukannya dan alasan-alasannya, bahwa untuk kepentingan
umum harus dilakukan pencabutan hak itu.
b. keterangan tentang nama yang berhak (jika mungkin) serta letak, luas
dan macam hak dari tanah yang akan dicabut haknya serta benda-benda
yang bersangkutan.
2/10
c. rencana penampungan orang-orang yang haknya akan dicabut itu dan
kalau ada, juga orang-orang yang menggarap tanah atau menempati
rumah yang bersangkutan.
Pasal 3.
1. Setelah menerima permintaan yang dimaksud dalam pasal 2 maka Kepala
Inspeksi Agraria segera :
a. meminta kepada para Kepala Daerah yang bersangkutan untuk memberi
pertimbangan mengenai permintaan pencabutan hak tersebut, khususnya,
bahwa untuk kepentingan umum harus dilakukan pencabutan hak itu dan
tentang penampungan orang-orang sebagai yang dimaksudkan dalam pasal
2 ayat 2 huruf c.
b. meminta kepada Panitya Penaksir tersebut pada pasal 4 untuk melakukan
penaksiran tentang ganti-kerugian mengenai tanah dan/atau benda-benda
yang haknya akan dicabut itu.
2. Di dalam waktu selama-lamanya tiga bulan sejak diterimanya permintaan
Kepala Inspeksi Agraria tersebut pada ayat 1 pasal ini maka :
a. para Kepala Daerah itu harus sudah menyampaikan pertimbangannya
kepada Kepala Inspeksi Agraria.
b. Panitya Penaksir harus sudah menyampaikan taksiran ganti-kerugian yang
dimaksudkan itu kepada Kepala Inspeksi Agraria.
3. Setelah Kepala Inspeksi Agraria menerima pertimbangan para Kepala Daerah
dan taksiran ganti-kerugian sebagai yang dimaksud dalam ayat 2 pasal ini,
maka ia segera menyampaikan permintaan untuk melakukan pencabutan hak
itu kepada Menteri Agraria, dengan disertai pertimbangannya pula.
4. Jika di dalam waktu tersebut pada ayat 2 pasal ini pertimbangan dan/atau
taksiran ganti-kerugian itu belum diterima oleh Kepala Inspeksi Agraria, maka
permintaan untuk melakukan pencabutan hak tersebut diajukan kepada Menteri
Agraria, dengan tidak menunggu pertimbangan Kepala Daerah dan/atau
taksiran ganti-kerugian Panitya Penaksir.
5. Dalam hal tersebut pada ayat 4 pasal ini, maka Kepala Inspeksi Agraria di dalam
pertimbangannya mencantumkan pula keterangan tentang taksiran gantikerugian
itu.
6. Oleh Menteri Agraria permintaan tersebut diatas dengan disertai
pertimbangannya dan pertimbangan Menteri Kehakiman serta pertimbangan
Menteri yang bersangkutan, segera diajukan kepada Presiden untuk mendapat
keputusan.
Pasal 4.
Susunan, Honorarium dan tatakerja Panitya Penaksir yang dimaksud dalam pasal 3
ditetapkan oleh Menteri Agraria.
Pasal 5.
Dengan tidak mengurangi ketentuan dalam pasal 6 dan 8 ayat 3, maka penguasaan
tanah dan/atau benda-benda yang bersangkutan baru dapat dilakukan setelah ada
surat keputusan pencabutan hak dari Presiden sebagai yang dimaksudkan dalam
pasal 1 dan setelah dilakukan pembayaran ganti-kerugian, yang jumlahnya
ditetapkan dalam surat-keputusan tersebut serta diselenggarakannya
penampungan sebagai yang dimaksudkan dalam pasal 2 ayat 2 huruf c.
3/10
Pasal 6.
1. Menyimpang dari ketentuan pasal 3, maka dalam keadaan yang sangat
mendesak yang memerlukan penguasaan tanah dan/ atau benda-benda yang
bersangkutan dengan segera, atas permintaan yang berkepentingan Kepala
Inspeksi Agraria menyampaikan permintaan untuk melakukan pencabutan hak
tersebut pada pasal 2 kepada Menteri Agraria, tanpa disertai taksiran gantikerugian
Panitya Penaksir dan kalau perlu juga dengan tidak menunggu
diterimanya pertimbangan Kepala Daerah.
2. Dalam hal tersebut pada ayat 1 pasal ini, maka Menteri Agraria dapat
mengeluarkan surat keputusan yang memberi perkenan kepada yang
berkepentingan untuk menguasai tanah dan/atau benda-benda yang
bersangkutan. Keputusan penguasaan tersebut akan segera diikuti dengan
keputusan Presiden mengenai dikabulkan atau ditolaknya permintaan untuk
melakukan pencabutan hak itu.
3. Jika telah dilakukan penguasaan atas dasar surat keputusan tersebut pada ayat 2
pasal ini,maka bilamana kemudian permintaan pencabutan haknya tidak
dikabulkan, yang berkepentingan harus mengembalikan tanah dan/atau bendabenda
yang bersangkutan dalam keadaan semula dan/atau memberi gantikerugian
yang sepadan kepada yang mempunyai hak.
Pasal 7.
1. Surat-keputusan tentang pencabutan hak tersebut pada pasal 5 dan 6 dan
tentang perkenan untuk menguasai tersebut pada pasal 6 ayat 1 diumumkan di
dalam Berita Negara Republik Indonesia dan turunannya disampaikan kepada
yang berhak atas tanah dan/atau benda-benda yang haknya dicabut itu. Isinya
diumumkan pula melalui surat-surat kabar.
2. Biaya pengumuman tersebut pada ayat 1 pasal ini ditanggung oleh yang
berkepentingan.
Pasal 8.
1. Jika yang berhak atas tanah dan/atau benda-benda yang haknya dicabut itu
tidak bersedia menerima ganti-kerugian sebagai yang, ditetapkan dalam suratkeputusan
Presiden tersebut pada pasal 5 dan 6, karena dianggapnya
jumlahnya kurang layak, maka ia dapat minta banding kepada Pengadilan
Tinggi, yang daerah kekuasaannya meliputi tempat letak tanah dan/ benda
tersebut, agar pengadilan itulah yang menetapkan jumlah ganti-kerugiannya.
Pengadilan Tinggi memutus soal tersebut dalam tingkat pertama dan terakhir.
2. Acara tentang penetapan ganti-kerugian oleh Pengadilan Tinggi sebagai yang
dimaksud dalam ayat (1) pasal ini diatur dengan Peraturan Pemerintah.
3. Sengketa tersebut pada ayat 1 pasal ini dan sengketa-sengketa lainnya
mengenai tanah dan/atau benda-benda yang bersangkutan tidak menunda
jalannya pencabutan hak dan penguasannya.
4. Ketentuan dalam ayat 1 & 2 pasal ini berlaku pula, jika yang bersangkutan tidak
menyetujui jumlah ganti -kerugian yang dimaksudkan dalam pasal 6 ayat 3.
Pasal 9.
Setelah ditetapkannya surat keputusan pencabutan hak tersebut pada pasal 5 dan 6
dan setelah dilakukannya pembayaran ganti-kerugian kepada yang berhak, maka
tanah yang haknya dicabut itu menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh Negara,
4/10
untuk segera diberikan kepada yang berkepentingan dengan suatu hak yang
sesuai.
Pasal 10.
Jika di dalam penyelesaian persoalan tersebut diatas dapat dicapai persetujuan
jual-beli atau tukar-menukar, maka penjelasan dengan jalan itulah yang ditempuh,
walaupun sudah ada surat-keputusan pencabutan hak.
Pasal 11
Jika telah terjadi pencabutan hak sebagai yang dimaksudkan dalam pasal 5 dan 6,
tetapi kemudian ternyata, bahwa tanah dan/ atau benda yang bersangkutan tidak
dipergunakan sesuai dengan rencana peruntukannya, yang mengharuskan
dilakukannya pencabutan hak itu, maka orang-orang yang semula berhak atasnya
diberi prioritet pertama untuk mendapatkan kembali tanah dan/ atau benda
tersebut.
Pasal 12.
Dengan berlakunya undang-undang ini, maka Onteigeningsordonnantie (Staatsblad
1920 Nomor 574), sebagai yang telah beberapa kali diubah dan ditambah dicabut
kembali.
Pasal 13.
Undang-undang ini mulai berlaku pada hari diundangkan.
Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
undang-undang ini dengan penempatan di dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 26 September 1961.
Presiden Republik Indonesia,
SOEKARNO.
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 26 September 1961.
Sekretaris Negara,
MOHD. ICHSAN
5/10
PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TH 1961
TENTANG
PENCABUTAN HAK-HAK ATAS TANAH DAN BENDA-BENDA YANG ADA DI
ATASNYA.
PENJELASAN UMUM.
1. Menurut pasal 18 Undang-undang Pokok Agraria maka untuk kepentingan
umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bersama
dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian
yang layak dan menurut cara yang diatur dengan Undang-undang.
2. Pada azasnya maka jika diperlukan tanah dan/atau benda lainnya kepunyaan
orang lain untuk sesuatu keperluan haruslah lebih dahulu diusahakan agar tanah
itu dapat diperoleh dengan persetujuan yang empunya, misalnya atas dasar
jual-beli, tukar-menukar atau lain sebagainya. Tetapi cara demikian itu tidak
selalu dapat membawa hasil yang diharapkan, karena ada kemungkinan yang
empunya meminta harga yang terlampau tinggi ataupun tidak bersedia sama
sekali untuk melepaskan tanahnya yang diperlukan itu. Oleh karena
kepentingan umum harus didahulukan dari pada kepentingan orang-seorang,
maka jika tindakan yang dimaksudkan itu memang benar-benar untuk
kepentingan umum, dalam keadaan yang memaksa, yaitu jika jalan musyawarah
tidak dapat membawa hasil yang diharapkan, haruslah ada wewenang pada
Pemerintah untuk bisa mengambil dan menguasai tanah yang bersangkutan.
Pengambilan itu dilakukan dengan jalan mengadakan pencabutan hak sebagai
yang dimaksud dalam pasal 18 Undang-undang Pokok Agraria tersebut di atas.
Teranglah kiranya, bahwa pencabutan hak adalah jalan yang terakhir untuk
memperoleh tanah dan/atau benda lainya yang diperlukan untuk kepentingan
umum. Dalam pada itu di dalam menjalankan pencabutan hak tersebut
kepentingan daripada yang empunya, tidak boleh diabaikan begitu saja. Oleh
karena itu maka selain wewenang untuk melakukan pencabutan hak, di dalam
pasal 18 tersebut dimuat pula jaminan-jaminan bagi yang empunya. Yaitu
bahwa pencabutan hak harus disertai pemberian ganti kerugian yang layak dan
harus pula dilakukan menurut cara yang diatur dalam Undang-undang.
3. Kini peraturan yang memuat ketentuan-ketentuan umum mengenai pencabutan
hak, yang bertingkat Undang-undang, termuat dalam Staatsblad 1920 No. 574,
terkenal dengan sebutan "Onteigenings-ordonnantie" Ordonansi tersebut telah
beberapa kali diubah dan ditambah, yang terakhir dengan Staatsblad 1947 No.
96, dengan maksud untuk menyesuaikannya dengan perubahan keadaan dan
keperluan. Tetapi biarpun demikian Onteigenings-ordonnantie tetap tidak
sesuai lagi dengan keperluan dewasa ini. Peraturan tersebut disusun atas dasar
pengertian hak "eigendom" yaitu hak perseorangan yang tertinggi menurut
hukum barat yang mutlak dan tidak dapat diganggu gugat. Oleh karena itu
Onteigenings-ordonnantie memuat ketentuan-ketentuan yang memberi
perlindungan yang berlebih-lebihan atas hak-hak perseorangan. Berhubung
dengan itu maka untuk mengadakan pencabutan hak menurut ordonansi
tersebut harus dilalui jalan yang panjang dan diperlukan waktu yang lama,
karena harus melalui, baik instansi legislatip, eksekutip maupun pengadilan.
Hanya dalam hal-hal tertentu (dalam keadaan darurat dan untuk pembangunan
perumahan rakyat) yaitu diadakan acara yang lebih singkat. Hukum agraria
baru yang bersumber pada Undang-undang Pokok Agraria tidak lagi
didasarkan atas hak perseorangan, yang mutlak dan tidak dapat diganggu
gugat itu. Melainkan didasarkan atas pengertian, bahwa semua hak atas tanah
6/10
mempunyai fungsi sosial, yang antara lain berarti, bahwa kepentingan
bersamalah yang harus didahulukan. Kepentingan persorangan harus tunduk
pada kepentingan umum. Berhubung dengan apa yang diuraikan ditas, maka
teranglah bahwa ketentuan-ketentuan Onteigenings-ordonnantie harus diganti
dengan peraturan baru, agar sesuai dengan kadaaan dewasa ini. Lebih-lebih
dalam melaksanakan usaha-usaha pembangunan Negara dalam rangka
menyelesaikan Revolusi Nasional diperlukan adanya tindakan-tindakan dan
penyelesaian yang cepat.
4. a.
Menurut peraturan yang baru ini penyelenggaraan pencabutan hak tidak perlu
melalui 3 instansi tersebut di atas, tetapi segala sesuatu diputuskan oleh instansi
Pemerintah, dalam hal ini Presiden. Ini berarti bahwa Presidenlah (setelah
mendengar pertimbangan instansi-instansi daerah, Menteri Agraria, Menteri
Kehakiman dan Menteri yang bersangkutan) yang mempertimbangkan dan
menetapkan apakah benar kepentingan umum mengharuskan dilakukannya
pencabutan hak. Presidenlah yang memutuskan dilakukannya pencabutan hak
itu dan menetapkan besarnya ganti-kerugian yang harus dibayar kepada yang
berhak. Hanya jika yang berhak itu tidak bersedia menerima ganti kerugian
yang ditetapkan oleh Presiden, karena dianggapnya kurang layak, maka ia
dapat minta bantuan kepada Pengadilan Tinggi, agar Pengadailan itulah yang
menetapkan jumlah ganti kerugian tersebut. Tetapi bagaimanapun juga
pencabutan hak itu sendiri tidak dapat diganggu gugat di muka pengadilan
ataupun dihalang- halangi pelaksanaannya. Mempertimbangkan dan
memutuskan hal tersebut adalah semata-mata wewenang Presiden.
b.
Umumnya pencabutan hak diadakan untuk keperluan usaha-usaha Negara
(Pemerintah Pusat dan Daerah), karena menurut Pasal 18 Undang-undang Pokok
Agraria hal itu hanya dapat dilakukan untuk kepentingan umum. Tetapi biarpun
demikian, ketentuan-ketentuan Rancangan Undang-undang ini tidak menutup
kemungkinan untuk, sebagai perkecualian, mengadakan pula pencabutan hak
guna pelaksanaan usaha-usaha swasta, asal usaha itu benar-benar untuk
kepentingan umum dan tidak mungkin diperoleh tanah yang diperlukan melalui
persetujuan dengan yang empunya. Sudah barang tentu usaha swasta tersebut
rencanya harus disetujui Pemerintah dan sesuai dengan pola pembangunan
nasional semesta berencana. Contoh dari pada kepentingan umum itu misalnya
pembuatan jalan raya, pelabuhan, bangunan untuk industri dan pertamabangan,
perumahan dan kesehatan rakyat serta lain-lain usaha dalam rangka
pelaksanaan pembangunan nasional semesta berencana. Jika untuk
menyelesaikan sesuatu soal pemakaian tanah tanpa hak oleh rakyat, Pemerintah
memandang perlu untuk menguasai sebagian tanah kepunyaan pemiliknya,
maka, jika pemilik itu tidak bersedia menyerahkan tanah yang bersangkutan
atas dasar musyawarah, soal tersebut dapat pula dianggap sebagai suatu
kepentingan umum untuk mana dapat dilakukan pencabutan hak.
c.
Rancangan Undang-undang ini memuat 2 macam acara pencabutan hak, yaitu
acara biasa dan acara untuk keadaan yang sangat mendesak, yang memerlukan
penguasaan tanah dan/atau benda-benda yang bersangkutan dengan segera.
Dalam acara biasa maka:
7/10
1. Yang berkepentingan harus mengajukan permintaan untuk
melakukan pencabutan hak itu kepada Presiden, dengan perantaraan
Menteri agraria, melalui Kepala Inspeksi Agraria yang bersangkutan.
2. Oleh Kepala Inspeksi Agraria diusahakan supaya permintaan itu
diperlengkapi dengan pertimbangan para Kepala Daerah yang
bersangkutan dan taksiran ganti kerugiannya. Taksiran itu dilakukan
oleh suatu Panitya Penaksir, yang anggota-anggotanya mengangkat
sumpah. Di dalam pertimbangan tersebut dimuat pula soal
penampungan orang-orang yang haknya akan dicabut itu. Demikian
juga jika ada, soal penampungan orang-orang yang menempati
rumah atau menggarap tanah yang bersangkutan. Yaitu orang-orang
yang karena pencabutan hak tersebut akan kehilangan tempat
tinggal dan/atau sumber nafkahnya.
3. Kemudian permintaan itu bersama dengan pertimbangan Kepala
Daerah dan taksiran ganti kerugian tersebut dilanjutkan oleh Kepala
Inspeksi Agraria kepada Menteri Agraria, disertai pertimbangannya
pula.
4. Menteri Agraria mengajukan permintaan tadi kepada Presiden untuk
mendapat keputusan, disertai dengan pertimbangannya dan
pertimbangan Menteri Kehakiman serta Menteri yang bersangkutan,
yaitu Menteri yang bidang tugasnya meliputi usaha yang meminta
dilakukannya pencabutan hak itu. Menteri Kehakiman terutama akan
memberi pertimbangan ditinjau dari segi hukumnya, sedang Menteri
yang bersangkutan mengenai fungsi usaha yang meminta
dilakukannya pencabutan yang diminta itu benar-benar, diperlukan
secara mutlak dan tidak dapat diperoleh di tempat lain.
5. Penguasaan tanah dan/atau benda yang bersangkutan baru dapat
dilakukan setelah ada surat keputusan pencabutan hak dari Presiden
dan setelah dilakukannya pembayaran ganti kerugian yang
ditetapkan oleh Presiden serta diselenggarakannya penampungan
orang-orang yang dimaksudkan di atas. Dalam keadaan yang sangat
mendesak yang memerlukan penguasaan tanah dan/atau bendabenda
yang bersangkutan dengan segera, maka pencabutan hak
khususnya penguasaan tanah dan/atau benda itu dapat
diselenggarakan melalui acara khusus yang lebih cepat, keadaan
yang sangat mendesak itu misalnya, jika terjadi wabah atau bencana
alam, yang memerlukan penampungan para korbannya dengan
segera. Dalam hal ini maka permintaan untuk melakukan pencabutan
hak diajukan oleh Kepala Inspeksi Agraria kepada Menteri Agraria
tanpa disertai taksiran ganti kerugian Panitya Penaksir dan kalau
perlu dengan tidak menunggu diterimanya pertimbangan Kepala
Daerah. Menteri Agraria kemudian dapat memberi perkenan kepada
yang berkepentingan untuk segera menguasai tanah dan/atau benda
tersebut, biarpun belum ada keputusan mengenai permintaan
pencabutan haknya dan ganti kerugiannyapun belum dibayar.
5. Sebagaimana telah dikemukakan diatas, maka kepada yang berhak atas tanah
dan/atau benda yang haknya dicabut itu akan diberikan ganti-kerugian, yang
ditetapkan oleh Presiden, atas usul suatu Panitya Penaksir, yang anggotaanggotanya
mengangkat sumpah. Jumlah ganti kerugian itu menurut pasal 18
Undang-undang Pokok Agraria haruslah layak. Ganti kerugian yang layak itu
akan didasarkan atas nilai yang nyata / sebenarnya dari tanah atau benda yang
8/10
bersangkutan. Harga yang didasarkan atas nilai yang nyata/sebenarnya itu
tidak mesti sama dengan harga umum, karena harga umum bisa merupakan
harga"Catut". Tetapi sebaliknya harga tersebut tidak pula berarti harga yang
murah. Tidak hanya orang yang berhak atas tanah atau yang haknya dicabut itu
saja yang akan mendapat ganti kerugian. Tetapi orang-orang yang menempati
rumah atau menggarap tanah yang bersangkutan akan diperhatikan pula.
Misalnya mereka akan diberi ganti tempat tinggal atau tanah garapan lainnya.
Atau jika itu tidak mungkin dilaksanakan, akan diberi ganti kerugian berupa
uang atau fasilitet-fasilitet tertentu, misalnya transmigrasi. Pembayaran ganti
kerugian kepada yang berhak perlu dilakukan di muka beberapa orang saksi,
untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan.
6. Bagaimanakah kalau yang empunya tidak bersedia menerima ganti kerugian
yang ditetapkan oleh Presiden karena dianggapnya jumlahnya kurang lauak?
Sebagai telah diterangkan di atas maka yang empunya dapat minta kepada
Pengadilan Tinggi agar pengadilan itulah yang menetapkan ganti kerugian
tersebut. Untuk itu akan diadakan ketentuan hukum acara yang khusus, agar
penetapan ganti-kerugian oleh Pengadilan tersebut dapat diperoleh dalam
waktu yang singkat. Tetapi biarpun demikian penyelesaian soal ganti-kerugian
melalui pengadilan itu tidak menunda jalannya pencabutan hak. Artinya setelah
ada keputusan Presiden mengenai pencabutan hak itu maka tanah dan/atau
benda-bendanya yang bersangkutan dapat segera di kuasai, dengan tidak
perlu menunggu keputusan Pengadilan Negeri mengenai sengketa tersebut.
Teranglah kiranya, bahwa kepentingan dari yang berhak atas tanah dan/atau
benda yang dicabut haknya itu mendapat perhatian pula sebagaimana
mestinya.
PENJELASAN PASAL DEMI PASAL.
Pasal 1.
Oleh karena pencabutan hak itu merupakan tindakan yang sangat penting, karena
berakibat mengurangi hak seseorang, maka yang memutuskannya adalah penjabat
Eksekutip yang tertinggi, yaitu Presiden.
Pasal 2.
Yang dimaksud dengan "yang berkepentingan" ialah fihak untuk siapa pencabutan
hak akan dilakukan. Orang-orang yang karena pencabutan hak itu akan kehilangan
tempat tinggal atau sumber nafkahnya perlu mendapat penampungan, baik ia itu
bekas pemilik tanah atau rumah yang bersangkutan maupun penggarap atau
penyewanya. Penampungan itu bisa berupa pemberian ganti tempat tinggal atau
tanah garapan lainnya. Jika hal itu tidak mungkin diselenggarakan karena di daerah
yang bersangkutan tidak ada rumah atau tanah yang tersedia, maka orang-orang
tersebut misalnya dapat diberi prioritet untuk bertransmigrasi, dengan
memperhatikan sumber nafkah berdasarkan bakat dan keahliannya.
Pasal 3.
Pembatasan waktu untuk menyampaikan pertimbangan bertujuan supaya soal
permohonan pencabutan hak dapat diselesaikan di dalam waktu yang singkat. Di
dalam menyiapkan pertimbangannya Kepala Daerah wajib bermusyawarah dengan
instansi-instansi daerah yang bersangkutan .
Pasal 4.
Panitya Penaksir ini anggota-anggotanya akan terdiri dari penjabat-penjabat yang
ahli, misalnya dari Jawatan Pendaftaran Tanah, Pajak, pekerjaan Umum dan lain
sebagainya. Demikian juga akan duduk sebagai anggota seorang anggota dari
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang ditunjuk oleh Kepala Daerah. Di dalam
9/10
melaksanakan tugasnya Panitia wajib mendengar pendapat golongan-golongan
rakyat yang bersangkutan. Misalnya di dalam menaksir harga tanah pertanian
harus didengar pendapat wakil-wakil golongan kerja tani.
Pasal 5.
Sudah diuraikan di dalam Penjelasan Umum.
Pasal 6.
Pasal ini memuat ketentuan mengenai acara pencabutan hak yang khusus sebagai
yang telah diuraikan di dalam Penjelasan Umum. Dalam keadaan yang sangat
mendesak maka dapatlah dilakukan penguasaan tanah a dan/atau benda yang
diperlukan itu dengan segera, dengan tidak perlu menunggu selesainya acara
pencabutan hak seluruhnya. Tetapi penguasaan sebelum adanya keputusan
mengenai pencabutan hak itu ada risikonya bagi yang berkepentingan, yaitu
bilamana permintaan untuk melakukan pencabutan hak tersebut kemudian tidak
dikabulkan. Di dalam hal yang demikian maka tanah dan/atau benda yang
bersangkutan harus dikembalikan dalam keadaan semula dan/atau harus diberikan
ganti kerugian yang sepadan kepada yang empunya. Oleh karena itu maka
penggunaan kesempatan untuk melaksanakan penguasaan dengan segera menurut
ketentuan-ketentuan pasal 6 ini haruslah atas permintaan yang bersangkutan
sendiri dan keputusan penguasaan tersebut harus segera diikuti dengan keputusan
mengenai dikabulkan atau tidaknya permintaan pencabutan haknya. Bahwa
pemberian perekenan oleh Menteri Agraria untuk menguasai tanah dan/atau benda
yang diperlukan itu tidak selalu diikuti dengan keputusan-pencabutan hak,
disebabkan misalnya, karena pemberian perkenan tersebut mungkin didasarkan
atas bahan-bahan yang tidak lengkap, karena keputusannya harus diambil di dalam
waktu yang singkat. Pencabutan hak menurut pasal inipun disertai ganti kerugian
yang layak.
Pasal 7.
Tidak memerlukan penjelasan.
Pasal 8.
Sudah diuraikan didalam Penjelasan Umum. Yang dimaksud dengan "sengketasengketa
lainnya" itu ialah misalnya sengketa mengenai siapa yang berhak atas
tanah dan/atau benda yang haknya dicabut itu. Jika ada perselisihan mengenai hal
itu maka penguasaan tanah dan/atau benda yang bersangkutan tidak perlu
ditangguhkan sampai ada keputusan dari pengadilan, asal sudah ada keputusan
pencabutan hak dari Presiden dan uang ganti kerugiannya sudah disediakan.
Dalam pada itu perlu dicegah jangan sampai sengketa-sengketa yang
diajukan,kepada pengadilan tersebut menimbulkan ketegangan, yang
menyebabkan terlantarnya orang-orang yang bersangkutan.
Pasal 9.
Oleh karena hak-hak tertentu menurut hukum agraria yang baru tidak dapat
dipunyai oleh setiap orang atau badan (misalnya hak milik hanya dapat dipunyai
oleh badan-badan hukum yang ditunjuk menurut pasal 21 ayat 2 Undang-undang
Pokok Agraria) maka tanah-tanah yang haknya dicabut itu lebih dahulu dinyatakan
menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, yaitu setelah:
a. ditetapkannya surat keputusan pencabutan hak dan
b. dilakukannya pembayaran ganti kerugian kepada yang berhak. Baru
kemudian tanah tersebut diberikan kepada yang berkepentingan dengan
suatu hak yang sesuai.
10/10
Pasal 10.
Ketentuan dalam pasal ini sesuai dengan apa yang telah diuraikan didalam
Penjelasan Umum, bahwa pencabutan hak adalah jalan yang terakhir untuk
memperoleh tanah dan/atau benda-benda yang diperlukan itu. Oleh karena itu jika
dapat dicapai persetujuan dengan yang empunya, maka sudah sewajarnya, bahwa
cara pengambilan yang disetujui itulah yang ditempuh , sungguhpun acara
pencabutan haknya sudah dimulai atau sudah ada surat keputusan pencabutan hak
sekalipun.
Pasal 11.
Tidak memerlukan penjelasan.
Pasal 12.
Onteigeningsordonnantie tahun 1920 tidak hanya mengatur pencabutan hak atas
tanah dan benda-benda yang ada diatasnya, tetapi mengenai pula benda-benda
lainnya, yang dulu disebut "benda-benda bergerak". Oleh karena dalam keadaan
bisa tidak dirasakan adanya keperluan untuk melakukan pencabutan hak atas
benda-benda tersebut, maka Onteigeningsordonnantie itu dapatlah dicabut
seluruhnya. Dalam keadaan darurat (misalnya jika terjadi bencana alam,
peperangan dan lain sebagainya) pencabutan hak yang dimaksudkan itu dapat
dilakukan atas dasar ketentuan-ketentuan Peraturan Keadaan Bahaya.
Pasal 13.
Tidak memerlukan penjelasan.
Note,
Disetujui D.P.R.G.R. dalam rapat pleno terbuka ke-2 pada hari Rabu tanggal 13
September 1961, P.145/1961
Kutipan : LEMBARAN NEGARA DAN TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA TAHUN 1961
YANG TELAH DICETAK ULANG

Komentar

Postingan Populer