Kejahatan Korporasi
Kejahatan Korporasi
Kejahatan Korporasi dan
Pertanggungjawabannya *
Oleh
Bismar Nasution **
Aktris Julia Roberts meraih Academy
Awards pada tahun 2001 melalui filmnya Erin Brokovich yang
menceritakan tentang seorang paralegal bernama sama dengan judul film
tersebut, yang mengangkat kasus nyata yang terjadi di Amerika Serikat, dimana
perusahaan Pacific Gas and Electric (PG&E Corporation)
yang mengetahui bahwa salah satu unit stasiun kompressornya di Hinckley telah
mencemarkan air di daerah tersebut. Perusahaan itu tidak mengumumkannya
tetapi justru meyakinkan para penduduk setempat dengan memberikan laporan
pemeriksaan air di Hinckley yang hasilnya menunjukkan bahwa air di daerah
mereka aman untuk dikonsumsi. Akibatnya, para pengguna air yang
telah terkontaminasi menderita berbagai macam penyakit dan bahkan sampai
meninggal dunia (industrial poisoning). Kasus ini menjadi salah satu
kasus corporate crime terbesar dengan penjatuhan sanksi pidana berupa
pembayaran ganti rugi dengan jumlah yang terbesar dalam sejarah Amerika
Serikat.
Kejahatan korporasi (corporate
crime) merupakan salah satu wacana yang timbul dengan semakin
majunya kegiatan perekenomian dan teknologi. Corporate crime bukanlah
barang baru, melainkan barang lama yang senantiasa berganti kemasan.
Tidak ada yang dapat menyangkal bahwa perkembangan zaman serta kemajuan
peradaban dan teknologi turut disertai dengan perkembangan tindak kejahatan
berserta kompleksitasnya. Di sisi lain, ketentuan Hukum Pidana yang
berlaku di Indonesia belum dapat menjangkaunya dan senantiasa ketinggalan untuk
merumuskannya. Salah satu contohnya adalah Tindak Pidana Pencucian Uang (money
laundering) yang baru dikriminalisasi secara resmi pada tahun 2002.
Contoh lain adalah kejahatan dunia maya atau cyber crime yang sampai
dengan saat ini pengaturannya masih mengundang tanda tanya. Akibatnya,
banyak bermunculan tindakan-tindakan atau kasus-kasus illegal, namun tidak
dapat dikategorikan sebagai crime. [1]
Tindak pidana (crime)
dapat diidentifikasi dengan timbulnya kerugian (harm), yang
kemudian mengakibatkan lahirnya pertanggungjawaban pidana atau criminal
liability. [2] Yang
pada gilirannya mengundang perdebatan adalah bagaimana pertanggungjawaban
korporasi atau corporate liability mengingat bahwa di dalam Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia yang dianggap sebagai subyek hukum
pidana hanyalah orang perseorangan dalam konotasi biologis yang alami (naturlijkee
person). Di samping itu, KUHP juga masih menganut asas sociates
delinquere non potest dimana badan hukum atau korporasi dianggap tidak
dapat melakukan tindak pidana. [3] Jika
seandainya kegiatan atau aktivitas yang dilakukan untuk dan atas nama suatu
korporasi terbukti mengakibatkan kerugian dan harus diberikan sanksi , siapa
yang akan bertanggungjawab ? Apakah pribadi korporasi itu sendiri atau
para pengurusnya ?
Kejahatan Korporasi
Black’s Law Dictionary
menyebutkan kejahatan korporasi atau corporate crime adalah any
criminal offense committed by and hence chargeable to a corporation because of
activities of its officers or employees (e.g., price fixing, toxic waste
dumping), often referred to as “white collar crime. [4]
Kejahatan korporasi adalah tindak
pidana yang dilakukan oleh dan oleh karena itu dapat dibebankan pada suatu
korporasi karena aktivitas-aktivitas pegawai atau karyawannya (seperti
penetapan harga, pembuangan limbah), sering juga disebut sebagai “kejahatan kerah
putih”.
Sally. A. Simpson yang mengutip
pendapat John Braithwaite menyatakan kejahatan korporasi adalah “conduct of
a corporation, or employees acting on behalf of a corporation, which is
proscribed and punishable by law“. [5]
Simpson menyatakan bahwa ada tiga
ide pokok dari definisi Braithwaite mengenai kejahatan korporasi. Pertama,
tindakan ilegal dari korporasi dan agen-agennya berbeda dengan perilaku
kriminal kelas sosio-ekonomi bawah dalam hal prosedur administrasi. Karenanya,
yang digolongkan kejahatan korporasi tidak hanya tindakan kejahatan atas hukum
pidana, tetapi juga pelanggaran atas hukum perdata dan administrasi. Kedua,
baik korporasi (sebagai “subyek hukum perorangan “legal persons“) dan
perwakilannya termasuk sebagai pelaku kejahatan (as illegal actors),
dimana dalam praktek yudisialnya, bergantung pada antara lain kejahatan yang
dilakukan, aturan dan kualitas pembuktian dan penuntutan. Ketiga,
motivasi kejahatan yang dilakukan korporasi bukan bertujuan untuk keuntungan
pribadi, melainkan pada pemenuhan kebutuhan dan pencapaian keuntungan
organisasional. Tidak menutup kemungkinan motif tersebut ditopang pula oleh
norma operasional (internal) dan sub-kultur organisasional. [6]
Kejahatan korporasi mungkin tidak
terlalu sering kita sering dalam pemberitaan-pemberitaan kriminil di media.
Aparat penegak hukum, seperti kepolisian juga pada umumnya lebih sering
menindak aksi-aksi kejahatan konvensional yang secara nyata dan faktual terdapat
dalam aktivitas sehari-hari masyarakat. Ada beberapa beberapa faktor yang
mempengaruhi hal ini. [7] Pertama,
kejahatan-kejahatan yang dilaporkan oleh masyarakat hanyalah kejahatan-kejahatan
konvensional. Penelitian juga menunjukkan bahwa aktivitas aparat
kepolisian sebagian besar didasarkan atas laporan anggota masyarakat, sehingga
kejahatan yang ditangani oleh kepolisian juga turut bersifat konvensional. Kedua,
pandangan masyarakat cenderung melihat kejahatan korporasi atau kejahatan kerah
putih bukan sebagai hal-hal yang sangat berbahaya,dan juga turut dipengaruhi. Ketiga,
pandangan serta landasan hukum menyangkut siapa yang diakui sebagai
subjek hukum pidana dalam hukum pidana Indonesia. Keempat,
tujuan dari pemidanaan kejahatan korporasi adalah lebih kepada agar adanya
perbaikan dan ganti rugi, berbeda dengan pemidanaan kejahatan lain yang
konvensional yang bertujuan untuk menangkap dan menghukum. Kelima,
pengetahuan aparat penegak hukum menyangkut kejahatan korporasi masih dinilai
sangat minim, sehingga terkadang terkesan enggan untuk menindaklanjutinya
secara hukum. Kelima, kejahatan korporasi sering melibatkan
tokoh-tokoh masyarakat dengan status sosial yang tinggi. Hal ini dinilai
dapat mempengaruhi proses penegakan hukum.
Kitab Undang-undang Hukum Pidana
Indonesia memang hanya menetapkan bahwa yang menjadi subjek tindak pidana
adalah orang persorangan (legal persoon). Pembuat undang-undang dalam
merumuskan delik harus memperhitungkan bahwa manusia melakukan tindakan di
dalam atau melalui organisasi yang, dalam hukum keperdataan maupun di luarnya
(misalnya dalam hukum administrasi), muncul sebagai satu kesatuan
dan karena itu diakui serta mendapat perlakuan
sebagai badan hukum atau korporasi. Berdasarkan KUHP, pembuat
undang-undang akan merujuk pada pengurus atau komisaris korporasi jika mereka
berhadapan dengan situasi seperti itu. [8]
Sehingga, jika KUHP Indonesia saat ini tidak bisa dijadikan
sebagai landasan untuk pertanggungjawaban pidana oleh korporasi, namun
hanya dimungkinkan pertanggungjawaban oleh pengurus korporasi. Hal
ini bisa kita lihat dalam pasal 398 KUHP yang menyatakan bahwa jika seorang
pengurus atau komisaris perseroan terbatas, maskapai andil Indonesia atau
perkumpulan korporasi yang dinyatakan dalam keadaan pailit atau yang
diperintahkan penyelesaian oleh pengadilan, diancam dengan pidana penjara
paling lama satu tahun 4 bulan: 1. jika yang bersangkutan turut membantu atau
mengizinkan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan
anggaran dasar, sehingga oleh karena itu seluruh atau sebagian besar dari
kerugian diderita oleh perseroan, maskapai, atau perkumpulan…(dan seterusnya).
Di Belanda sendiri, sebagai
tempat asal KUHP Indonesia, pada tanggal 23 Juni 1976, korporasi diresmikan
sebagai subjek hukum pidana dan ketentuan ini dimasukkan kedalam pasal 51 KUHP
Belanda (Sr.), yang isinya menyatakan antara lain:
- Tindak pidana dapat dilakukan baik oleh perorangan maupun korporasi;
- Jika suatu tindak pidana dilakukan oleh korporasi, penuntutan pidana dapat dijalankan dan sanksi pidana maupun tindakan yang disediakan dalam perundang-undangan—sepanjang berkenaan dengan korporasi—dapat dijatuhkan. Dalam hal ini, pengenaan sanksi dapat dilakukan terhadap
2.1.
korporasi sendiri, atau
2.2.
mereka yang secara faktual memberikan perintah untuk melakukan tindak pidana
yang dimaksud, termasuk mereka yang secara faktual memimpin pelaksanaan tindak
pidana dimaksud, atau
2.3.
korporasi atau mereka yang dimaksud di atas bersama-sama secara tanggung
renteng.
- Berkenaan dengan penerapan butir-butir sebelumnya, yang disamakan dengan korporasi: persekutuan bukan badan hukum, maatschap (persekutuan perdatan), rederij (persekutuan perkapalan) dan doelvermogen (harta kekayaan yang dipisahkan demi pencapaian tujuan tertentu; social fund atau yayasan). [9]
Meskipun KUHP Indonesia saat ini
tidak mengikutsertakan korporasi sebagai subyek hukum yang dapat dibebankan
pertanggungjawaban pidana, namun korporasi mulai diposisikan sebagai subyek
hukum pidana dengan ditetapkannya UU No.7/Drt/1955 tentang Pengusutan,
Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi.
Kemudian kejahatan korporasi juga
diatur dan tersebar dalam berbagai undang-undang khusus lainnya dengan rumusan
yang berbeda-beda mengenai “korporasi”, antara lain termasuk pengertian badan
usaha, perseroan, perusahaan, perkumpulan, yayasan, perserikatan, organisasi,
dan lain-lain, seperti :
-
UU No.11/PNPS/1964 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi
-
UU No.38/2004 tentang Jalan
-
UU No.31/1999 jo. UU No.21 tahunn 2002 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi
-
dan lain-lain
Dalam literatur Indonesia juga
ditemukan pandangan yang turut untuk mewacanakan menempatkan korporasi sebagai
subyek hukum pidana. Seperti misalnya Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, SH, dalam
bukunya “Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia”, menyatakan :
Dengan adanya
perkumpulan-perkumpulan dari orang-orang, yang sebagai badan hukum turut serta
dalam pergaulan hidup kemasyarakatan, timbul gejala-gejala dari perkumpulan
itu, yang apabila dilakukan oleh oknum, terang masuk perumusan pelbagai tindak
pidana. Dalam hal ini, sebagai perwakilan, yang kena hukuman pidana
adalah oknum lagi, yaitu orang-orang yang berfungsi sebagai pengurus dari badan
hukum, seperti misalnya seorang direktur dari suatu perseroan terbatas, yang
dipertanggungjawabkan. Sedangkan mungkin sekali seorang direktur itu
hanya melakukan saja putusan dari dewan direksi. Maka timbul dan kemudian
merata gagasan, bahwa juga suatu perkumpulan sebagai badan tersendiri
dapat dikenakan hukuman pidana sebagai subyek suatu tindak pidana. [10]
Di Indonesia, salah satu
peraturan yang mempidanakan kejahatan korporasi adalah Undang-undang Nomor 23 tahun
1997 tentang Lingkungan Hidup. Hal ini dapat dilihat dari isi pasal
46 [11]
yang mengadopsi doktrin vicarious liability. [12]
Meskipun tidak digariskan secara
jelas seperti dalam KUHP Belanda, berdasarkan sistem hukum pidana di Indonesia
pada saat ini terdapat 3 bentuk pertanggungjawaban pidana dalam kejahatan
korporasi berdasarkan regulasi yang sudah ada, yaitu dibebankan pada korporasi
itu sendiri, seperti diatur dalam Pasal 65 ayat 1 dan 2 UU
No.38/2004 tentang Jalan. Kemudian dapat pula dibebankan kepada organ atau
pengurus korporasi yang melakukan perbuatan atau mereka yang bertindak sebagai
pemimpin dalam melakukan tindak pindana, seperti yang diatur dalam pasal 20
ayat 2 UU No.31/1999 tentang Tindak Pidana Korupsi dan UU No.31/2004 tentang
Perikanan. Kemudian kemungkinan berikutnya adala dapat
dibebankan baik kepada pengurus korporasi sebagai pemberi perintah atau
pemimpin dan juga dibebankan kepada koorporasi, contohnya seperti dalam pasal
20 ayat 1 UU No.31/1999.
Pertanggungjawaban Pidana
oleh Korporasi
Korporasi sebagai badan hukum
sudah tentu memiliki identitas hukum tersendiri. Identitas hukum suatu
korporasi atau perusahaan terpisah dari identitas hukum para pemegang sahamnya,
direksi, maupun organ-organ lainnya. Dalam kaidah hukum perdata (civil law),
jelas ditetapkan bahwa suatu korporasi atau badan hukum merukapan subjek hukum
perdata dapat melakukan aktivitas jual beli, dapat membuat perjanjian
atau kontrak dengan pihak lain, serta dapat menuntut dan dituntut di pengadilan
dalam hubungan keperdataan. Para pemegang saham menikmati keuntungan yang
diperoleh dari konsep tanggung jawab terbatas, dan kegiatan korporasi
berlangsung terus-menerus, dalam arti bahwa keberadaannya tidak akan berubah
meskipun ada penambahan anggota-anggota baru atau berhentinya atau meninggalnya
anggota-anggota yang ada. Namun sampai saat ini, konsep pertanggungjawaban
pidana oleh korporasi sebagai pribadi (corporate criminal liability)
merupakan hal yang masih mengundang perdebatan. Banyak pihak yang tidak
mendukung pandangan bahwa suatu korporsi yang wujudnya semu dapat melakukan
suatu tindak kejahatan serta memiliki criminal intent yang melahirkan
pertanggungjawaban pidana. Disamping itu, mustahil untuk dapat
menghadirkan di korporasi dengan fisik yang sebenarnya dalam ruang pengadilan
dan duduk di kursi terdakwa guna menjalani proses peradilan.
Baik dalam sistem hukum
common law maupun civil law, sangat sulit untuk dapat
mengatribusikan suatu bentuk tindakan tertentu (actus reus atau guilty
act) [13]
serta membuktikan unsur mens rea (criminal intent atau guilty
mind) [14]
dari suatu entitas abstrak seperti korporasi. Di Indonesia, meskipun
undang-undang diatas dapat dijadikan sebagai landasan hukum untuk membebankan criminal
liability terhadap korporasi, namun Pengadilan Pidana sampai saat ini
terkesan enggan untuk mengakui dan mempergunakan peraturan-peraturan
tersebut. Hal ini dapat dilihat dari sedikitnya kasus-kasus kejahatan
korporasi di pengadilan dan tentu saja berdampak pada sangat sedikitnya
keputusan pengadilan berkaitan dengan kejahatan korporasi. [15]
Akibatnya, tidak ada acuan yang dapat dijadikan sebagai preseden bagi
lingkungan peradilan di Indonesia. Dua kasus yang muncul di peradilan
sampai dengan saat ini hanya berkaitan dengan pelanggaran lingkungan hidup.
Jika kita melihat praktek yang
diterapkan di Belanda sebelum pertanggung-jawaban pidana korporasi ditetapkan
dalam KUHP Belanda, sebagaimana disebutkan oleh Remmelink dalam bukunya Hukum
Pidana : Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kita Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia,
dalam bidang hukum pidana fiskal atau ekonomi, ditemukan kemungkinan menuntut
pertanggunjawaban pidana terhadap korporasi. Pandangan ini
bahkan sudah dikenal lama sebelum KUHP Belanda dibuat. Hal ini dimungkinkan
dengan mempertimbangkan kepentingan praktis. Dari sudut pandang ini, hukum
pidana dapat dengan mudah melakukan perujukan pada kewajiban yang dibebankan
oleh hukum fiskal pada pemilik, penyewa, atau yang menyewakan dan lain-lain,
yang sering kali berbentuk korporasi. Namun, terlepas dari itu, dalam
perkembangan selanjutnya hukum pidana umum juga semakin sering dengan masalah
tersebut. Semakin banyak perundang-undangan dan peraturan administratif baru
yang bermunculan. Dalam aturan-aturan tersebut, pembuat undang-undang merujuk
pada ‘pengemban’ hak-hak warga yang banyak berbentuk korporasi. Bilamana
suatu kewajiban tidak dipenuhi, maka beranjak dari sistem perundang-undangan
yang ada, ‘korporasi’ juga dimungkinkan untuk dipandang sebagai ‘pelaku’.
Di Belanda, kemungkinan ini sudah lama dikenal dalam waterschapsverordening
(peraturang tentang tata guna dan lalu lintas perairan) yang sering
mewajibkan pemilik tanah yang terletak disamping kali atau saluran air untuk
membersihkan atau menjaga kebersihan—kewajiban yang diancam dengan sanksi
pidana apabila dilalaikan. [16]
Dalam praktek common
law, Pengadilan Inggris pertama kali memberlakukan pertanggungjawaban
pidana korporasi hanya bagi kasus-kasus pelanggaran kewajiban hukum oleh
korporasi-korporasi quasi-public [17] yang
hanya bersifat pelanggaran ketertiban umum (public nuisance).
Sejalan dengan semakin meningkatnya jumlah dan peranan korporasi, pengadilan
memperluas pertanggungjawaban pidana korporasi pada bentuk-bentuk
pelanggaran atau kejahatan yang tidak terlalu serius yang
tidak memerlukan pembuktian mens rea atau criminal
intent (offenses that did not require criminal intent), yang
didasarkan pada doktrin vicarious liability. Hal ini diikuti
oleh pengadilan di Amerika Serikat yang turut memberlakukan ketetapan
yang serupa. [18]
Pembebanan pertanggungjawaban
pidana korporasi terhadap kejahatan yang memerlukan pembuktian mens rea baru
dilakukan setelah melalui waktu dan perkembangan yang lambat. Di Amerika
Serikat, penerapan corporate criminal liability pertama kali
diterapkan dalam kasus New York Central & Hudson River Railroad Company
v. United States, dimana pemerintah Amerika Serikat mendakwa perusahaan
New York Central telah melanggar Elkins Act [19] section
I.
Mala In Se
Tindakan yang dilakukan seseorang
diduga melakukan kejahatan dapat diuji berdasarkan kaedah hukum yang dilanggar
apakah tindakan seseorang tersebut termasuk kategori tindakan yang merupakan mala
in se atau perbuatan yang merupakan mala in prohibita. Tindakan
yang termasuk mala in se, adalah perbuatan yang melawan hukum, ada
atau tidak ada peraturan yang melarangnya misalnya mencuri, menipu, membunuh,
dan sebagainya. Sedangkan perbuatan yang merupakan mala in prohibita
adalah perbuatan yang dinyatakan melanggar hukum apabila ada aturan yang
melarangnya misalnya aturan-aturan lalu lintas di jalan raya, aturan-aturan
administrasi internal suatu lembaga. Apabila tindakan seseorang itu termasuk
perbuatan mala in prohibita, ada kemungkinan dia hanya melanggar
aturan administrasi dan tidak dapat dikenakan hukuman pidana melainkan hanya
tindakan administratif.
Namun, apabila tindakan yang
dilakukan seseorang itu termasuk kategori mala in se, misalnya, dalam
kasus obligor meskipun dana tersebut dikembalikan, unsur tindak pidananya tidak
hilang, pengembalian tersebut hanya merupakan unsur pertimbangan untuk memberi
keringanan hukuman. Untuk itu perlu ditelusuri kaedah hukum apa yang dilanggar?
Apakah tindakan tersebut termasuk melanggar kaedah hukum bahwa seseorang tidak
boleh mengambil barang orang lain tanpa hak seperti pada pencurian, penipuan
atau perampokan maka selanjutnya di telusuri pula unsur lainnya seperti adanya mens
rea dan actus reus.
Mens Rea dan Actus Reus
Dalam wacana common law,
ada beberapa pendekatan yang dapat digunakan untuk menentukan
pertanggungjawaban pidana korporasi.
1. Identification Tests / Directing Mind Theory
Berdasarkan teori identifikasi
atau directing minds theory, kesalahan dari anggota direksi atau organ
perusahaan/korporasi yang tidak menerima perintah dari tingkatan yang lebih
tinggi dalam perusahaan, dapat dibebankan kepada perusahaan/
korporasi. Teori ini diadopsi di Inggris sejak tahun 1915, yaitu melalui
kasus Lennard’s Carrying Co. Ltd v. Asiatic Petroleum Co., [1915] A.C.
705, at 713 (H.L.). Dalam kasus ini, Hakim Pengadilan berpendapat :
“[A] corporation is an
abstraction. It has no mind of its own anymore than it has a body of its own;
its active and directing will must consequently be sought in the person of
somebody who for some purposes maybe called an agent, but who is really the
directing mind and will of the corporation, the very ego and centre of the
personality of the corporation….For if Mr. Lennard was the directing mind of
the company, then his action must, unless a corporation is not to be liable at
all, have been an action which was the action of the company itself……” [20]
Suatu korporasi adalah sebuah
abstraksi. Ia tidak punya akal pikiran sendiri dan begitu pula tubuh
sendiri; kehendaknya harus dicari atau ditemukan dalam diri seseorang
yang untuk tujuan tertentu dapat disebut sebagai agen/perantara, yang
benar-benar merupakan otak dan kehendak untuk mengarahkan (directing mind
and will) dari korporasi tersebut……Jika Tuan Lennard merupakan otak
pengarah dari perusahaan, maka tindakannya pasti merupakan tindakan dari
perusahaan itu sendiri.
Dalam kasus lain di Inggris,
yaitu kasus Tesco Supermarkets Ltd v Nattrass [1972] A.C. 153, Hakim
Pengadilan berpendapat :
“The person who acts is not
speaking or acting for the company. He is acting as the company and his mind
which directs his acts is the mind of the company. If it is a guilty mind then
that guilt is the guilt of the company.” [21]
Orang yang bertindak bukan
berbicara atau bertindak atas nama perusahaan. Ia
bertindak sebagai perusahaan, dan akal pikirannya yang
mengarahkan tindakannya berarti adalah akal pikiran dari perusahaan. Jika
akal pikirannya bersalah, berarti kesalahan itu merupakan kesalahan perusahaan.
Dengan kata lain unsur mens
rea dari pertanggungjawaban pidana korporasi terpenuhi dengan dipenuhinya
unsur mens rea pengurus korporasi atau perusahaan tersebut.
Begitu pula dengan actus reus yang diwujudkan oleh pengurus
korporasi yang berarti merupakan actus reus perusahaan.
Teori identifikasi ini turut
diadopsi oleh Kanada. Hal ini dapat dilihat dalam kasus R. v. Fane Robinson
Ltd., dimana perusahaan Fane Robinson dan dua orang direkturnya
yang merupakan pengelola yang aktif, dalam tingkat banding, didakwa melakukan
tindak pidana berkomplot atau berkonspirasi untuk menggelapkan uang dan
memperoleh uang dengan cara menipu. Pengadilan berpendapat bahwa tidak
ada alasan mengapa suatu korporasi yang dapat mengikatkan dirinya dalam suatu
perjanjian dengan individu atau korporasi lain tidak dapat memenuhi unsur mens
rea ketika korporasi tersebut melibatkan dirinya dalam perjanjian yang
menjadi dasar utama konspirasi dan penipuan tersebut. Pengadilan
menyimpulkan bahwa secara umum kedua orang direktur perusahaan merupakan
kehendak bertindak dan mengarahkan (acting and directing will) dari
perusahaan. Niat untuk melakukan tindak pidana (mens rea)
dan tindakan hukumnya (actus reus) merupakan niat dan tindakan dari
perusahaan dan bahwa konspirasi untuk penggelapan uang dan penipuan merupakan
kejahatan yang mampu diwujudkan oleh perusahaan. [22]
Kasus lain di Kanada yang
dianggap sebagai leading case menyangkut teori identifikasi adalah
kasus Canadian Dredge and Dock v. The Queen, [1985] 1 S.C.R.
662. Dalam kasus ini, Supreme Court mengakui
teori ini sebagai model untuk menentukan tanggungjawab perusahaan. Pengadilan
berpendapat bahwa faktor yang membedakan antara directing mind dengan
pegawai biasa adalah tingkatan kewenangan pengambilan atau pembuatan keputusan
dalam praktek individual. Individu yang bertanggungjawab menyusun dan
menerapkan kebijakan korporasi adalah directing mind dari perusahaan
bersangkutan. Sebaliknya, individu yang membuat kebijakan untuk operasional day-to-day
basis, bukanlah directing mind. Supreme Court menempatkan
directing mind sebagai “ego”, “pusat” dan/atau “organ vital”
korporasi. [23]
Dari case law ini,
muncul beberapa prinsip atau konsep yang penting. Pertama, directing
mind dari suatu korporasi atau perusahaan tidak terbatas hanya satu
individu saja. Sejumlah pejabat korporasi atau anggota direksi bisa membentuk directing
mind. Kedua, faktor geografis tidak berpengaruh.
Fakta bahwa suatu korporasi memiliki banyak operasi atau cabang di daerah yang
berbeda-beda tidak akan mempengaruhi penentuan individu-individu yang mana yang
menjadi directing minds korporasi. Dengan demikian, seseorang
tidak dapat menghindar dari tanggung jawab hanya karena ia tidak ditempatkan
atau bertugas di daerah dimana perbuatan melawan hukum dilakukan. Ketiga,
korporasi tidak bisa lari dari tanggung jawab dengan berkilah bahwa
individu-individu tersebut melakukan perbuatan melawan hukum meskipun
telah ada instruksi untuk melakukan tindakan lain yang
sah (tidak melawan hukum). Anggota direksi dan pejabat korporasi lainnya
memiliki kewajiban untuk mengawasi tindak tanduk para pegawai lebih dari
sekedar menetapkan panduan umum yang melarang tindakan illegal. Keempat,
untuk dapat dinyatakan bersalah melakukan perbuatan melawan hukum, individu
bersangkutan harus memiliki criminal intent atau mens rea.
Directing mind dan mens rea ada pada individu yang
sama. Namun dalam teori identifikasi, anggota direksi atau pejabat korporasi
lain yang merupakan directing mind korporasi tidak bisa dikenakan
tanggung jawab atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan tanpa mereka sadari.
Kelima, untuk dapat menerapkan teori identifikasi harus dapat
dibuktikanbahwa tindakan seorang directing mind adalah : i)
berdasarkan tugas atau instruksi yang ditugaskan padanya, ii) bukan merupakan
penipuan (fraud) yang dilakukan terhadap perusahaan, dan iii)
dimaksudkan untuk dapat mendatangkan keuntungan bagi perusahaan. Keenam,
tanggung jawab korporasi memerlukan analisa kontekstual. Dengan kata lain,
penentuannya harus dilakukan berdasarkan case-to-case basis.
Jabatan seseorang dalam perusahaan tidak secara otomatis menjadikannya
bertanggungjawab. Penilaian terhadap kewenangan seseorang untuk
menetapkan kebijakan korporasi atau keputusan korporasi yang penting harus
dilakukan dalam konteks keadaan yang tertentu (particular circumstances).
[24]
Pendekatan teori identifikasi
yang berkembang dari Inggris ini mengundang kritik karena corporate
liability terbatas bagi tindakan-tindakan yang dilakukan oleh anggota
direksi dan beberapa karyawan lain setingkat manager yang memiliki
kewenangan dan memberikan perintah. Hal ini secara tidak adil memberikan
keuntungan pada korporasi-korporasi yang besar karena mereka akan dapat
menghindarkan diri dari pertanggungjawaban pidana akibat tindakan-tindakan yang
dilakukan oleh karyawan-karyawan yang jabatannya lebih rendah dan bertugas
melakukan aktivitas sehari-hari (day-to-day activities). [25]
Namun di Kanada teori identifikasi kini kemudian mengalami perkembangan
atau ’modifikasi’. Pengadilan Kanada mengidentifikasi dan membuka kemungkinan
bahwa directing mind berada pada level atau golongan karyawan yang
lebih rendah yang menjalankan perintah atau memiliki kewenangan yang sifatnya
delegatif. [26]
Dengan melihat penerapan teori
ini oleh Kanada untuk menyiasati kekurangan yang ditimbulkan dalam
aplikasinya, penerapan teori ini harus dilakukan dengan berdasarkan pada
case-by-case basis dan fact-specific basis.
2. Doktrin Vicarious Liablility
Doktrin yang pada mulanya
diadopsi di Inggris ini sebagaimana disebutkan di penjelasan sebelumnya,
menyebutkan bahwa korporasi bertanggungjawab atas perbuatan yang dilakukan oleh
pegawai-pegawainya, agen/perantara atau pihak-pihak lain yang menjadi tanggung
jawab korporasi. Dengan kesalahan yang dilakukan oleh salah satu individu
tersebut, kesalahan itu secara otomatis diatribusikan kepada korporasi.
Dalam hal ini korporasi bisa dipersalahkan meskipun tindakan yang dilakukan
tersebut tidak disadari atau tidak dapat dikontrol. Berdasarkan hal ini,
teori ini dikritik karena tidak mempedulikan unsur mens rea (guilty
mind) dari mereka yang dibebankan pertanggungjawaban. Pengadilan di
Inggris dan Kanada telah menolak doktrin ini, dan mengadopsi teori
identifikasi. Namun, pendekatan doktrin ini masih digunakan di pengadilan
federal Amerika Serikat. [27]
Di Indonesia, doktrin ini
diterapkan dalam Undang-undang No.23 tahun 1997 tentang Lingkungan.
3. The Corporate Culture Model
Pendekatan jenis ini digunakan
oleh Australia. Istilah corporate culture dapat kita lihat dalam
Australian Criminal Code Act 1995 (Undang-undang Pidana
Australia) yang didefinisikan sebagai berikut :
“an attitude, policy, rule,
course of conduct or practice existing within the body corporate generally or
in the part of the body corporate in which the relevant activities take place”.
Yaitu suatu bentuk sikap,
kebijakan, aturan, rangkaian perbuatan atau praktek yang pada umumnya terdapat
dalam tubuh korporasi atau dalam bagian tubuh korporasi dimana
kegiatan-kegiatan terkait berlangsung. [28]
Menurut undang-undang ini,
tanggung jawab pidana bisa dijatuhkan apabila terbukti bahwa : Pertama,
dewan direksi korporasi dengan sengaja atau dengan tidak hati-hati (ceroboh)
melakukan tindakan-tindakan (conduct) yang relevan, atau secara
terbuka, secara diam-diam atau secara tidak langsung mengesahkan (authorize)
atau mengizinkan (permit) perwujudan perbuatan pelanggaran atau
kejahatan. Kedua, agen manajerial korporasi tingkat
tinggi (seperti direksi, komisaris, manajer) secara sengaja, mengetahui benar
atau tidak hati-hati terlibat dalam tindakan-tindakan yang relevan, atau secara
terbuka, secara diam-diam atau secara tidak langsung mengesahkan (authorize)
atau mengizinkan (permit) perwujudan perbuatan pelanggaran atau
kejahatan. Ketiga, ada budaya atau kebiasaan dalam tubuh
korporasi yang menginstruksikan, mendorong, atau mengarahkan dilakukannya
tindakan-tindakan pelanggaran (non compliance) terhadap
peraturan-peraturan tertentu. Keempat, korporasi gagal
membentuk dan mempertahankan budaya yang menuntut kepatuhan (compliance)
terhadap peraturan-peraturan tertenty. [29]
Di Kanada, bentuk pendekatan ini
ditolak karena dinilai terlalu kabur atau samar-samar jika diterapkan untuk
menentukan mens rea korpoasi.
3. Aggregation Test
Menurut teori ini, dengan cara
menjumlahkan (aggregating) tindakan (acts) dan kelalaian (omission) dari
dua atau lebih orang perorangan yang bertindak sebagai perusahaan, unsur actus
reus dan mens rea dapat dikonstruksikan dari tingkah laku (conduct) dan pengetahuan
(knowledge) dari beberapa individu. Inilah yang disebut dengan Doctrine of
Collective Knowledge atau Doktrin Pengetahuan Kolektif.
Amerika Serikat juga mengadopsi
teori ini. Hal ini dapat dilihat dalam satu kasus, yaitu United States v.
Bank of New England (1987) 821 F2d 844. Bank of New England
didakwa dengan tuduhan secara sengaja tidak melaporkan suatu transaksi mata
uang. Tuduhan ini terbukti karena yang dianggap sebagai ‘pengetahuan’
bank merupakan totalitas dari semua yang diketahui oleh para pegawai dalam
ruang lingkup kewenangan mereka. [30]
4. Blameworthiness Test
Gobert menyatakan bahwa jika
suatu korporasi tidak melakukan tindakan pencegahan atau melakukan due
diligence guna menghindari melakukan suatu tindak pidana, maka hal ini akan
tampak dari budaya dan kepercayaannya yang tercermin dari struktur, kebijakan,
praktek dan prosedur yang ditempuh oleh korporasi tersebut.
Teori ini menolak pemikiran bahwa
korporasi harus diperlakukan sama seperti halnya orang perorangan dan mendukung
bahwa harus ada konsep hukum lain untuk menyokong pertanggungjawaban
subyek-subyek hukum fictitious (korporasi). Hal ini merefleksikan
struktur korporasi-korporasi modern yang umumnya terdesentralisasi dan dimana
kejahatan tidak terlalu dikaitkan dengan perbuatan jahat atau kelalaian
individual, tetapi lebih kepada sistem yang gagal untuk mengatasi permasalahan
pengawasan dan pengaturan resiko. [31]
Pertanggungjawaban Pidana
oleh Pengurus Korporasi
Dalam korporasi atau perusahaan,
para anggota direksi dan komisaris sebagai salah satu organ vital dalam badan
hukum tersebut merupakan pemegang amanah (fiduciary) yang harus
berperilaku sebagaimana layaknya pemegang kepercayaan. Di sini komisaris
dan direktur memiliki posisi fiducia dalam pengurusan perusahaan dan
mekanisme hubungannya harus secara fair. Menurut
pengalaman common law hubungan itu dapat
didasarkan pada teori fiduciary duty.[32]
Hubungan fiduciary duty tersebut didasarkan atas kepercayaan dan
kerahasiaan (trust and confidence) yang dalam peran ini meliputi,
ketelitian (scrupulous), itikad baik (good faith), dan
keterusterangan (candor).[33] Dalam
memahami hubungan pemegang kepercayaan (fiduciary relationship)
tersebut, common law mengakui bahwa orang yang
memegang kepercayaan (fiduciary) secara
natural memiliki potensi untuk menyalahgunakan
wewenangnya. Oleh sebab itu hubungan pemegang kepercayaan tersebut harus
didasarkan kepada standar yang tinggi.[34]
Negara-negara common law
seperti Amerika Serikat yang telah mempunyai standar yang jelas untuk
menentukan apakah seorang direktur dapat dimintai pertanggungjawabannya dalam
tindakan yang diambilnya, yaitu didasarkan pada standar duty of loyality dan
duty of care. Kewajiban utama dari direktur adalah kepada perusahaan
secara keseluruhan bukan kepada pemegang saham baik secara individu maupun
kelompok.[35]
,sesuai dengan posisi seorang direktur sebagai sebuah trustee dalam
perusahaan. Posisi ini mengharuskan seorang direktur untuk tidak bertindak
ceroboh dalam melakukan tugasnya (duty of care)[36].
Selain itu dalam melakukan tugasnya tersebut seorang direktur tidak boleh
mengambil keuntungan untuk dirinya sendiri atas perusahaan (duty of
loyality ).[37] Pelanggaran
terhadap kedua prinsip tersebut dalam hubungannya dengan Fiduciary Duty
dapat menyebabkan direktur untuk dimintai pertanggung jawaban hukumnya secara
pribadi terhadap perbuatan yang dilakukannya, baik kepada para pemegang saham
maupun kepada pihak lainnya.[38]
Doktrin atau prinsip fiduciary
duty ini dapat kita jumpai dalam Undang-undang No.1 tahun 1995 tentang
Perseroan Terbatas. Menurut Pasal l79 ayat (1) UUPT pengurusan PT
dipercayakan kepada Direksi Lebih jelasnya pasal 82 UUPT menyatakan, bahwa
Direksi bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan dan
tujuan perseroan serta mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar
pengadilan. Sedangkan Pasal 85 UUPT menetapkan bahwa setiap anggota Direksi
wajib dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk
kepentingan dan usaha Perseroan. Pelanggaran terhadap hal ini dapat menyebabkan
Direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi apabila yang bersangkutan
bersalah atau lalai menjalankan tugasnya tersebut.
Dalam konteks direktur, sangat
penting untuk mengontrol perilaku dari para direktur yang mempunyai posisi dan
kekuasaan besar dalam mengelola perusahaan, termasuk menentukan standar
perilaku (standart of conduct) untuk melindungi pihak-pihak yang akan
dirugikan apabila seorang direktur berperilaku tidak sesuai dengan
kewenangannya atau berperilaku tidak jujur.[39]
Untuk membebankan
pertanggungjawaban terhadap direktur atau pengurus korporasi, maka harus
dibuktikan adanya pelanggaran terhadap kekuasaan kewajiban kewenangan yang
dimilikinya. Pengurus korporasi dalam hal ini harus dapat dibuktikan
telah melanggar good faith yang dipercayakan padanya dalam menjalan
korporasi atau perusahaan, sebagaimana diatur dalam prinsip fiduciary duty.
Jika kita menghubungkannya dengan
identification theory dalam wacana common law sebagaimana
telah diuraikan diatas, kesalahan yang dilakukan oleh anggota direksi
atau pejabat korporasi lainnya hanya dapat dibebankan pada korporasi jika
memenuhi syarat: i) tindakan yang dilakukan oleh mereka berada dalam batas
tugas atau instruksi yang diberikan pada mereka, ii) bukan merupakan penipuan
yang dilakukan terhadap perusahaan, iii) dimaksudkan untuk menghasilkan atau
mendatangkan keuntungan bagi korporasi. Dengan kata lain, jika salah satu
syarat ini tidak dipenuhi, maka kesalahan tersebut tidak dapat dipikul oleh
korporasi, namun harus dipikul secara pribadi oleh organ korporasi yang
melakukan tindakan tersebut.
Business Judgment Rule
Berkaitan dengan tindakan anggota
direksi atau pejabat korporasi yang mengambil tindakan untuk kepentingan dan
keuntungan bagi korporasi, terdapat pula doktrin dalam hukum korporasi yang
melindungi para direktur yang beritikad baik tersebut sebagaimana terdapat
dalam teori Business Judgment Rule yang merupakan salah satu teori yang
sangat popular untuk menjamin keadilan bagi para direktur yang mempunyai itikad
baik. Penerapan teori ini mempunyai misi utama, yaitu untuk mencapai keadilan,
khususnya bagi para direktur sebuah perusahaan terbatas dalam melakukan suatu
keputusan bisnis. [40]
Salah satu tolak ukur untuk
memutuskan apakah suatu kerugian tidak disebabkan oleh keputusan bisnis (business
judgment) yang tidak tepat sehingga dapat menghindar dari pelanggaran
prinsip duty of care adalah: pertama, memiliki informasi
tentang masalah yang akan diputuskan dan percaya bahwa informasi tersebut benar
Kedua, tidak memiliki kepentingan dengan keputusan dan memutuskan
dengan itikad baik. Ketiga, memiliki dasar rasional untuk mempercayai
bahwa keputusan yang diambil adalah yang terbaik bagi perusahaan.[41]
Sehingga, apabila terbukti bahwa tindakan atau keputusan yang diambil oleh direktur
untuk memberlakukan suatu kebijakan korporasi yang didasarkan atas business
judgment yang tepat dalam rangka meraih keuntungan sebanyak-banyaknya bagi
korporasi, maka apabila ternyata tindakan yang diambil tersebut menimbulkan
kerugian yang melahirkan pertanggungjawaban pidana, tidak dapat dibebankan pada
pribadi pengurus (direksi atau pejabat korporasi lainnya), tetapi
dibebankan pada korporasi. Pertanggungjawaban oleh pengurus
hanya dimungkinkan apabila terbukti terjadi pelanggaran duty of care dan
duty of loyalty.
Apabila kita membandingkan dengan
praktek yang dilakukan di Belanda, kita dapat melihat suatu beschikking tanggal
19 November 1987, NJ 1986, 125, Hoge Raad, yang menetapkan bahwa
seseorang baru dapat dikatakan secara faktual memimpin dalam konteks tindak
pidana korporasi hanya jika ia mengetahui terjadinya tindak pidana yang
bersangkutan (yang dalam kasus ini menyangkut dengan pemalsuan surat).
Namun kebijakan ini dinilai kurang tepat karena para pemimpin/direksi/pejabat
korpoasi lainnya yang tidak secara langsung terlibat atau bekerja serampangan
terbebas dari tanggung jawab. [42]
Kemudian dalam keputusan
berikutnya dalam kasus yang sama, tanggal 16 Desember 1986, NJ 1987, 321,
majelis hakim memberikan pertimbangan yang menyatakan bahwa dikatakan memimpin
faktual apabila fungsionari atau pejabat yang bersangkutan sekalipun berwenang
dan secara masuk akal dapat melakukannya justru tidak melakukan langkah-langkah
untuk mencegah tindakan terlarang dan secara sadar menerima kesempatan yang
kemudian muncul agar tindakan terlarang tersebut terlaksana. Dalam situasi
tersebut, menurut pengadilan, dianggal sengaja mendukung dilakukannya tindakan
terlarang itu. Dalam kasus yang diperiksa, penerimaan atas tindak pidana
tersebut dianggap terjadi jika yang bersangkutan mengetahui bahwa dilakukannya
tindak pidana secara faktual oleh korporasi (suatu bank) berkaitan langsung
dengan apa yang didakwakan. [43]
Jika kita melihat praktek yang
diterapkan di Kanada, berdasarkan Undang-undang Hukum Pidana Kanada, direksi
dan pejabat korporasi lainnya dapat bertanggung jawab secara
pribadi. Alternatif lain yang dimungkinkan adalah mereka juga dapat
dituntut sebagai pihak atas tindakan
yang dilakukan oleh individu yang lain.[44]
Private Member’s Bill C-284
[45]
telah menetapkan bahwa penjatuhan pertanggungjawaban pidana terhadap
direksi dan pejabat-pejabat korporasi lainnya dimana mereka bertindak
sendiri-sendiri atau bersama-sama dengan orang lain, dan mensahkan (authorize)
tindakan atau kelalaian yang menjadi tindak kejahatan. Jika direksi atau
pejabat korporasi lainnya: i) mengetahui atau seharusnya mengetahui bahwa
tindakan atau kelalaian itu merupakan tindak pidana, ii) mengetahui bahwa tindakan
itu dilakukan atau akan dilakukan, dan iii) tidak atau gagal mengambil langkah
yang memungkinkan untuk mencegah dilakukannya tindakan itu, maka mereka dapat
dipidana atau dibenbankan tanggung jawab. [46]
Kesimpulan
Dengan pertimbangan dampak yang
dapat ditimbulkan oleh kejahatan korporasi baik bagi masyarakat, perekonomian,
pemerintahan dan aspek-aspek lainnya yang berbahaya, bahkan lebih serius
dibandingkan dengan dampak yang ditimbulkan oleh bentuk-bentuk kejahatan yang
konvensional, maka harus ada konsistensi dan landasan yang solid dalam hukum
untuk dapat membebankan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi. Dalam
berbagai harus terdapat pengaturan menyangkut pertanggungjawaban ini.
Selain itu, diperlukan perhatian
studi yang lebih mendalam, baik di kalangan akademis, profesional maupun aparat
penegak hukum, guna membangun suatu kerangka teoritis bagi pertanggungjawaban
pidana korporasi. Hal ini hendaknya diimbangi pula dengan upaya peningkatan
kualitas dan kemampuan para penegak hukum yang akan menerapkannya. Mereka harus
mampu dan kreatif untuk melakukan terobosan-terobosan hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Black, Henry Campbell, Black’s
Law Dictionary, West Publishing Co., St. Paul, Minnessota, 1990,
ed.6, hal. 339.
Dine, Janet, Company Law,
Macmillan Press Ltd., 1998.
Ferguson, Gerry, Corruption
and Criminal Liability, www.icclr.law.ubc.ca/ Publications/ Reports/
FergusonG.PDF
Gross, Hyman, A Theory
of Criminal Justice, Oxford University Press, New York, 1979, hal.114.
Keenan, Denis & Josephine
Biscare, Smith & Keenan’s Company Law For Students, Financial
Times, Pitman Publishing, 1996.
Khanna, V.S, Corporate
Criminal Liability: What Purpose Does It Serve?, 109 Harv. L.Rev.
1477, The Harvard Law Review Association, 1996
Lipton, Philip dan Abraham
Herzberg, Understanding Company Law, Brisbane, The Book Law Company
Ltd, 1992.
Little, Christopher M. &
Natasha Savoline, Corporate Criminal Liability in Canada: The
Criminalization of Occupational Health & Safety Offences, Filion
Wakely Thorup Angeletti (Management Labour Lawyers), www.filion.on.ca/pdf/
CML%202003%20Paper.pdf
Prodjodikoro, Wirjono, Asas-asas
Hukum Pidana di Indonesia, Ed.2, Cet.6, Bandung : Eresco, 1989.
Remmelink, Jan, HUKUM PIDANA,
Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Belanda dan Padanannya dalam Kita Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia,
PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta : 2003
Rusmana,SH, Pertanggungjawaban
Korporasi dalam Tindak Pidana Perikanan,
http://www.solusihukum.com/artikel/artikel45.php
Scott, Charity, “Caveat
Vendor: Broker-Dealer Liability Under the Securities Exchange Act,”
Securities Regulation Law Journal, (Vol. 17, 1989)
Seligman, Joel, Corporations
Cases and Materials, Little Brown and Company Boston New York Toronto
London, 1995.
Simpson, Sally S., Strategy,
Structure and Corporate Crime, 4 Advances in Criminological Theory 171 (1993).
Singgih, Kejahatan Korporasi
yang Mengerikan, Pusat Studi Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas
Pelita Harapan, Tangerang, 2005.
Soesanto, L.C, Universitas
Diponegoro, The Spectrum of Corporate Crime in Indonesia, http://www.aic.gov.au/publications/proceedings/12/soesanto.pdf
Susanto, I. S, Statistik Kriminal
sebagai Konsruksi Sosial, Penyusunan, Penggunaan dan Penyebarannya, suatu Studi
Kriminologi, Disertasi, Semarang, 1990 (Tidak diterbitkan).
Vagts, Detlev F.,
Basic Corporation Law Materials-Cases Text, (New York: The Foundation
Press Inc. 1989)
http://en.wikipedia.org/wiki
*
Disampaikan dalam ceramah di jajaran Kepolisian Daerah Sumatera Utara,
bertempat di Tanjung Morawa Medan, pada tanggal 27 April 2006.
**
Mendapat Sarjana Hukum dari USU (1983), Magister Hukum dari Universitas
Indonesia (1994), Doktor dari Universitas Indonesia (2001), Guru Besar Hukum
Ekonomi Fakultas Hukum USU (2004), Dosen Fakultas Hukum USU Medan, tahun 1987–
sekarang, Dosen Pascasarjana Hukum USU Medan, tahun 1999–sekarang, Dosen
Magister Manajemen Pascasarjana USU Medan, tahun 2002, Dosen Magister
Kenotariatan Pascasarjana USU Medan, tahun 2002-sekarang, Dosen Magister Hukum
Pascasarjana Univ. Pancasila Jakarta, tahun 2001–sekarang, Dosen Magister Hukum
Pascasarjana Univ. Krisnadwipayana Jakarta, tahun 2001–2002, Dosen Magister
Hukum Pascasarjana Sekolah Tinggi Hukum Militer (STHM), Jakarta, tahun
2003-sekarang. Magister Hukum Pascasarjana Universitas Islam, Jakarta, tahun
2004-sekarang. Dosen Magister Hukum Pascasarjana Universitas Nasional, Jakarta,
2005. Dosen Penguji dan Pembimbing Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum
Universitas Indonesia, tahun 2002-sekarang. Ketua Program Studi Ilmu Hukum dan
Ketua Program Doktor Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara,
Tahun 2006-sekarang.
[1]
Singgih, Kejahatan Korporasi yang Mengerikan, Pusat Studi Hukum
Bisnis Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Tangerang, 2005, Hal. 9.
[2] Hyman
Gross, A Theory of Criminal Justice, Oxford University Press,
New York, 1979, hal.114.
[3]Rusmana,SH,
Pertanggungjawaban Korporasi dalam Tindak Pidana Perikanan,
http://www.solusihukum.com/artikel/artikel45.php
[4] Henry
Campbell Black, Black’s Law Dictionary, West Publishing Co., St.
Paul, Minnessota, 1990, ed.6, hal. 339.
[5] Sally
S. Simpson, Strategy, Structure and Corporate Crime, 4 Advances in
Criminological Theory 171 (1993).
[6] Ibid.
[7]Diintisarikan
dari Susanto, I. S. 1990, Statistik Kriminal sebagai Konsruksi Sosial, Penyusunan,
Penggunaan dan Penyebarannya, suatu Studi Kriminologi, Disertasi, Semarang
(Tidak diterbitkan).
[8] Jan
Remmelink, HUKUM PIDANA, Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kita Undang-Undang
Hukum Pidana Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta : 2003, Hal.
98.
[9] Ibid.
hal.102.
[10]
Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Ed.2,
Cet.6, Bandung : Eresco, 1989, hal.55.
[11]
Pasal 46 Undang-undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup menyebutkan
:
Ayat (1): Jika tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini dilakukan oleh atau atas nama badan
hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, tuntutan pidana
dilakukan dan sanksi pidana serta tindakan tata tertib sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 47 dijatuhkan baik terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan,
yayasan atau organisasi lain tersebut maupun terhadap mereka yang memberi
perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau yang bertindak sebagai
pemimpin dalam perbuatan itu atau terhadap kedua-duanya.
Ayat (2): Jika tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini, dilakukan oleh atau atas nama badan
hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, dan dilakukan
oleh orang-orang, baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasar hubungan
lain, yang bertindak dalam lingkungan badan hukum, perseroan, perserikatan,
yayasan atau organisasi lain, tuntutan pidana dilakukan dan sanksi pidana
dijatuhkan terhadap mereka yang memberi perintah atau yang bertindak sebagai
pemimpin tanpa mengingat apakah orang-orang tersebut, baik berdasa hubungan
kerja maupun berdasar hubungan lain, melakukan tindak pidana secara sendiri
atau bersama-sama.
Ayat (3): Jika tuntutan dilakukan
terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain,
panggilan untuk menghadap dan penyerahan surat-surat panggilan itu ditujukan
kepada pengurus di tempat tinggal mereka, atau di tempat pengurus melakukan
pekerjaan yang tetap.
Ayat (4): Jika tuntutan dilakukan terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, yang pada saat penuntutan diwakili oleh bukan pengurus, hakim dapat memerintahkan supaya pengurus menghadap sendiri di pengadilan.
Ayat (4): Jika tuntutan dilakukan terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, yang pada saat penuntutan diwakili oleh bukan pengurus, hakim dapat memerintahkan supaya pengurus menghadap sendiri di pengadilan.
[12] Vicarious
Liability adalah pembebanan pertanggungjawaban pada seseorang atas
tindakan yang dilakukan oleh orang lain, semata-mata berdasarkan hubungan
antara kedua orang tersebut.
[13] Actus
Reus atau guilty act adalah perbuatan melawan hukum yang
mengakibatkan pelaku bertanggung jawab secara pidana jika unsur mens rea juga
turut terbukti.
[14] Mens
rea atau gulty mind adalah salah satu unsur dari
pertanggungjawaban pidana, disebut juga dengan pengetahuan atau tujuan yang
salah.
[15] L.C
Soesanto, Universitas Diponegoro, The Spectrum of Corporate Crime in
Indonesia, http://www.aic.gov.au/publications/proceedings/12/soesanto.pdf
[16] Jan
Remmelink, Op.Cit, hal.100.
[17] Quasi-public
corporations adalah korporasi-korporasi yang tidak seutuhnya bersifat
publik, dalam arti berkerja untuk tujuan pemerintahan, tetapi operasi atau
aktivitas dari korporasi tersebut turut memberikan kenyamanan, kemudahan, atau
kesejahteraan khalayak umum, seperti perusahaan telepon, gas, air, listerik,
dan perusahaan. (Black’s Law Dictionary)
[18]
V.S. Khanna, Corporate Criminal Liability: What Purpose Does It Serve?,
109 Harv. L.Rev. 1477, The Harvard Law Review Association, 1996, hal.2
[19]Elkins
Act adalah Undang-undang federal Amerika Serikat (1903) yang mendukung
pelaksanaan Interstate Commerce Act (undang-undang perdagangan
antara negara bagian) dengan melarang pemotongan harga dan bentuk-bentuk
perlakuan istimewa lainnya terhadap jasa pengangkut (shipper) yang
besar (Black’s Law Dictionary).
[20]Gerry
Ferguson, Corruption and Criminal Liability,
www.icclr.law.ubc.ca/Publications/ Reports/ FergusonG.PDF, hal. 5
[21]
http://en.wikipedia.org/wiki/Corporate_liability
[22]
Gerry Ferguson, Op.Cit, hal. 5.
[23]
Christopher M. Little & Natasha Savoline, Corporate Criminal
Liability in Canada: The Criminalization of Occupational Health & Safety
Offences, Filion Wakely Thorup Angeletti (Management Labour
Lawyers), hal. 5, www.filion.on.ca/pdf/CML%202003%20Paper.pdf
[24] Ibid,
hal.6.
[25]
http://en.wikipedia.org/wiki/Corporate_liability
[26]
Gerry Ferguson, Op.Cit, hal.7.
[27]
Christopher M. Little & Natasha Savoline, Op.Cit, hal. 8.
[28] Ibid,
hal.11
[29] Ibid.
[30]
http://en.wikipedia.org/wiki/Corporate_liability
[31] Ibid.
[32] 375
U.S. 180, 195-196 (1965).
[33]
Teori fiduciary duty adalah suatu kewajiban yang ditetapkan
undang-undang bagi seseorang yang memanfaatkan seseorang lain, dimana
kepentingan pribadi seseorang yang diurus oleh pribadi lainnya, yang sifatnya
hanya hubungan atasan-bawahan sesaat. Orang yang mempunyai kewajiban ini harus
melaksanakannya berdasarkan suatu standar dari kewajiban (standard of duty)
yang paling tinggi sesuai dengan yang dinyatakan oleh hukum. Sedangkan fiduciary
ini adalah seseorang yang memegang peran sebagai suatu wakil (trustee)
atau suatu peran yang disamakan dengan sesuatu yang berperan sebagai
wakil, dalam hal ini peran tersebut didasarkan kepercayaan dan
kerahasiaan (trust and confidence) yang dalam peran ini meliputi,
ketelitian (scrupulous), itikad baik (good faith), dan
keterusterangan (candor). Fiduciary ini termasuk hubungan
seperti, pengurus atau pengelola, pengawas, wakil atau
wali, dan pelindung (guardian). Termasuk juga di dalamnya
seorang lawyer yang mempunyai hubungan fiduciary dengan client-nya.
Henry Campbell Black , Black’s Law Dictionary, hal. 625.
[34]
Charity Scott, “Caveat Vendor: Broker-Dealer Liability Under the Securities
Exchange Act,” Securities Regulation Law Journal, (Vol. 17, 1989),
hal. 291.
[35]
Lihat, Janet Dine, Company Law- Sweet &Maxwell’s
Textbook Series, Sweet & Maxwell, 2001, hal 217.
[36]
Denis Keenan & Josephine Biscare, Smith & Keenan’s Company Law For
Students, Financial Times, Pitman Publishing, 1996, hal 317.
[37]
Joel Seligman, Corporations Cases and Materials, Little Brown
and Company Boston New York Toronto London, 1995.
[38]
Philip Lipton dan Abraham Herzberg, Understanding Company Law, Brisbane,
The Book Law Company Ltd, 1992, hal 342.
[39]
Janet Dine, Company Law, Macmillan Press Ltd., 1998, hal 179.
[40]
Teori Business judgment rule mengalami perkembangannya sebagai
yurisprudensi dalam Prinsip Common Law di Amerika dimulai dengan keputusan
Lousianna Supreme Court, dalam kasus Percy V Millaudon pada tahun 1829. Lihat
Dennis J. Block, Nancy R. Barton dan Stephen A. Radin, The Business
judgment Rule Fiduciary Duties of Corporate Directors, Prentice Hall law
& Business, Third edition, 1990, hal 4
[41]
Detlev F. Vagts, Basic Corporation Law Materials-Cases Text, (New
York: The Foundation Press Inc. 1989) hal 212. , lihat juga Robert
Charles Clark, Corporate Law, Boston &Toronto: little, Brown and
Company, 1986, hal 123 yang menyatakan bahwa Business Judgement Rule adalah
“ a presumption that in making a business decision, the director of corporation
acted on an informed basis in good faith and in the the honest belief that the
action was taken in the best interest of the company”.
[42] Jan
Remmelink, Op.Cit, hal.111.
[43] Ibid.
[44]
Christopher M. Savoline, Op.Cit, hal.7.
[45] Undang-undang
ini adalah peraturan yang ditetapkan untuk mengademen atau menambah ketentuan
isi Penal Code Kanada, menyangkut kejahatan korporasi beserta para
pengurusnya.
[46] Ibid.
Komentar
Posting Komentar