Hukum perdata
Salah satu bidang hukum yang mengatur hubungan-hubungan antara individu-individu dalam masyarakat dengan saluran tertentu. Hukum perdata disebut juga hukum privat atau hukum sipil. Salah satu contoh hukum perdata dalam masyarakat adalah jual beli rumah atau kendaraan .
Hukum perdata dapat digolongkan antara lain menjadi:
1.       Hukum keluarga
2.       Hukum harta kekayaan
3.       Hukum benda
4.       Hukum Perikatan
5.       Hukum Waris

Sejarah Hukum Perdata
Hukum perdata Belanda berasal dari hukum perdata Perancis yaitu Code Napoleon yang disusun berdasarkan hukum Romawi Corpus Juris Civilis yang pada waktu itu dianggap sebagai hukum yang paling sempurna. Hukum Privat yang berlaku di Perancis dimuat dalam dua kodifikasi yang disebut Code Civil (hukum perdata) dan Code de Commerce (hukum dagang). Sewaktu Perancis menguasai Belanda (1806-1813), kedua kodifikasi itu diberlakukan di negeri Belanda yang masih dipergunakan terus hingga 24 tahun sesudah kemerdekaan Belanda dari Perancis (1813)
Pada Tahun 1814 Belanda mulai menyusun Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Sipil) atau KUHS Negeri Belanda, berdasarkan kodifikasi hukum Belanda yang dibuat oleh MR.J.M. KEMPER disebut ONTWERP KEMPER namun sayangnya KEMPER meninggal dunia [1924] sebelum menyelesaikan tugasnya dan dilanjutkan oleh NICOLAI yang menjabat sebagai Ketua Pengadilan Tinggi Belgia. Keinginan Belanda tersebut terealisasi pada tanggal 6 Juli 1880 dengan pembentukan dua kodifikasi yang baru diberlakukan pada tanggal 1 Oktober 1938 oleh karena telah terjadi pemberontakan di Belgia yaitu :
1.       Burgerlijk Wetboek yang disingkat BW [atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata-Belanda.
2.       Wetboek van Koophandel disingkat WvK [atau yang dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang]
Kodifikasi ini menurut Prof Mr J, Van Kan BW adalah merupakan terjemahan dari Code Civil hasil jiplakan yang disalin dari bahasa Perancis ke dalam bahasa nasional Belanda
KUHPerdata
Yang dimaksud dengan Hukum perdata Indonesia adalah hukum perdata yang berlaku bagi seluruh Wilayah di Indonesia. Hukum perdata yang berlaku di Indonesia adalah hukum perdata barat [Belanda] yang pada awalnya berinduk pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang aslinya berbahasa Belanda atau dikenal dengan Burgerlijk Wetboek dan biasa disingkat dengan B.W. Sebagian materi B.W. sudah dicabut berlakunya & sudah diganti dengan Undang-Undang RI misalnya mengenai UU Perkawinan, UU Hak Tanggungan, UU Kepailitan.
Pada 31 Oktober 1837, Mr.C.J. Scholten van Oud Haarlem di angkat menjadi ketua panitia kodifikasi dengan Mr. A.A. Van Vloten dan Mr. Meyer masing-masing sebagai anggota yang kemudian anggotanya ini diganti dengan Mr. J.Schneither dan Mr. A.J. van Nes. Kodifikasi KUHPdt. Indonesia diumumkan pada tanggal 30 April 1847 melalui Staatsblad No. 23 dan berlaku Januari 1948.
Setelah Indonesia Merdeka berdasarkan aturan Pasal 2 aturan peralihan UUD 1945, KUHPdt. Hindia Belanda tetap dinyatakan berlaku sebelum digantikan dengan undang-undang baru berdasarkan Undang – Undang Dasar ini. BW Hindia Belanda disebut juga Kitab Undang – Undang Hukun Perdata Indonesia sebagai induk hukum perdata Indonesia.
Isi KUH Perdata
KUH Perdata terdiri dari 4 bagian yaitu :
1.       Buku 1 tentang Orang
2.       Buku 2 tentang Benda
3.       Buku 3 tentang Perikatan
4.       Buku 4 tentang Daluwarsa dan Pembuktian
Hukum perdata di Indonesia pada dasarnya bersumber kepada Staatsblaad nomor 23 tahun 1847 tentang burgerlijk wetboek voor Indonesie atau biasa disingkat sebagai BW/KUHPer. BW/KUHPer sebenarnya merupakan suatu aturan hukum yang dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda yang ditujukan bagi kaum golongan warganegara bukan asli yaitu dari Eropa, Tionghoa dan juga timur asing. Namun demikian berdasarkan kepada pasal 2 aturan peralihan Undang-undang Dasar 1945, seluruh peraturan yang dibuat oleh pemerintah Hindia-Belanda berlaku bagi warga negara Indonesia(azas konkordasi). Beberapa ketentuan yang terdapat didalam BW pada saat ini telah diatur secara terpisah/tersendiri oleh berbagai peraturan perundang-undangan. Misalnya berkaitan tentang tanah, hak tanggungan dan fidusia.
Buku pertama mengatur tentang orang sebagai subyek hukum, hukum perkawinan dan hukum keluarga, termasuk waris.
       Bab I – Tentang menikmati dan kehilangan hak-hak kewargaan
       Bab II – Tentang akta-akta catatan sipil
       Bab III – Tentang tempat tinggal atau domisili
       Bab IV – Tentang perkawinan
       Bab V – Tentang hak dan kewajiban suami-istri
       Bab VI – Tentang harta-bersama menurut undang-undang dan pengurusannya
       Bab VII – Tentang perjanjian kawin
       Bab VIII – Tentang gabungan harta-bersama atau perjanjian kawin pada perkawinan kedua atau selanjutnya
       Bab IX – Tentang pemisahan harta-benda
       Bab X – Tentang pembubaran perkawinan
       Bab XI – Tentang pisah meja dan ranjang
       Bab XII – Tentang keayahan dan asal keturunan anak-anak
       Bab XIII – Tentang kekeluargaan sedarah dan semenda
       Bab XIV – Tentang kekuasaan orang tua
       Bab XIVA – Tentang penentuan, perubaran dan pencabutan tunjangan nafkah
       Bab XV – Tentang kebelumdewasaan dan perwalian
       Bab XVI – Tentang pendewasaan
       Bab XVII – Tentang pengampuan
       Bab XVIII – Tentang ketidakhadiran


Buku kedua mengatur mengenai benda sebagai obyek hak manusia dan juga mengenai hak kebendaan. Benda dalam pengertian yang meluas merupakan segala sesuatu yang dapat dihaki (dimiliki) oleh seseorang. Sedangkan maksud dari hak kebendaan adalah suatu hak yang memberikan kekuasaan langsung atas suatu benda yang dapat dipertahankan kepada pihak ketiga. Buku kedua tentang benda pada saat ini telah banyak berkurang, yaitu dengan telah diaturnya secara terpisah hal-hal yang berkaitan dengan benda (misal dengan Undang-undang No.5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria, Undang-undang N0. 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan . Dalam hal telah diatur secara terpisah oleh suatu peraturan perundang-undangan maka dianggap pengaturan mengenai benda didalam BW dianggap tidak berlaku.
       Bab I – Tentang barang dan pembagiannya
       Bab II – Tentang besit dan hak-hak yang timbul karenanya
       Bab III – Tentang hak milik
       Bab IV – Tentang hak dan kewajiban antara para pemilik pekarangan yang bertetangga
       Bab V – Tentang kerja rodi
       Bab VI – Tentang pengabdian pekarangan
       Bab VII – Tentang hak numpang karang
       Bab VIII – Tentang hak guna usaha (erfpacht)
       Bab IX – Tentang bunga tanah dan sepersepuluhan
       Bab X – Tentang hak pakai hasil
       Bab XI – Tentang hak pakai dan hak mendiami
       Bab XII – Tentang pewarisan karena kematian
       Bab XIII – Tentang surat wasiat
       Bab XIV – Tentang pelaksana surat wasiat dan pengelola harta peninggalan
       Bab XV – Tentang hak berpikir dan hak istimewa untuk merinci harta peninggalan
       Bab XVI – Tentang hal menerima dan menolak warisan
       Bab XVII – Tentang pemisahan harta peninggalan
       Bab XVIII – Tentang harta peninggalan yang tak terurus
       Bab XIX – Tentang piutang dengan hak didahulukan
       Bab XX – Tentang gadai
       Bab XXI – Tentang hipotek
Buku mengatur tentang perikatan (verbintenis). Maksud penggunaan kata “Perikatan” disini lebih luas dari pada kata perjanjian. Perikatan ada yang bersumber dari perjanjian namun ada pula yang bersumber dari suatu perbuatan hukum baik perbuatan hukum yang melanggar hukum (onrechtmatige daad) maupun yang timbul dari pengurusan kepentingan orang lain yang tidak berdasarkan persetujuan (zaakwarneming). Buku ketiga tentang perikatan ini mengatur tentang hak dan kewajiban yang terbit dari perjanjian, perbuatan melanggar hukum dan peristiwa-peristiwa lain yang menerbitkan hak dan kewajiban perseorangan.
Buku ketiga bersifat tambahan (aanvulend recht) sehingga terhadap beberapa ketentuan, apabila disepekati secara bersama oleh para pihak maka mereka dapat mengatur secara berbeda dibandingkan apa yang diatur didalam BW. Sampai saat ini tidak terdapat suatu kesepakatan bersama mengenai aturan mana saja yang dapat disimpangi dan aturan mana yang tidak dapat disimpangi. Namun demikian, secara logis yang dapat disimpangi adalah aturan-aturan yang mengatur secara khusus (misal : waktu pengalihan barang dalam jual-beli, eksekusi terlebih dahulu harga penjamin ketimbang harta si berhutang). Sedangkan aturan umum tidak dapat disimpangi (misal : syarat sahnya perjanjian, syarat pembatalan perjanjian).
       Bab I – Tentang perikatan pada umumnya
       Bab II – Tentang perikatan yang lahir dari kontrak atau persetujuan
       Bab III – Tentang perikatan yang lahir karena undang-undang
       Bab IV – Tentang hapusnya perikatan
       Bab V – Tentang jual-beli
       Bab VI – Tentang tukar-menukar
       Bab VII – Tentang sewa-menyewa
       Bab VIIA – Tentang perjanjian kerja
       Bab VIII – Tentang perseroan perdata (persekutuan perdata)
       Bab IX – Tentang badan hukum
       Bab X – Tentang penghibahan
       Bab XI – Tentang penitipan barang
       Bab XII – Tentang pinjam-pakai
       Bab XIII – Tentang pinjam pakai habis (verbruiklening)
       Bab XIV – Tentang bunga tetap atau bunga abadi
       Bab XV – Tentang persetujuan untung-untungan
       Bab XVI – Tentang pemberian kuasa
       Bab XVII – Tentang penanggung
       Bab XVIII – Tentang perdamaian
Buku keempat mengatur tentang pembuktian dan daluarsa. Hukum tentang pembuktian tidak saja diatur dalam hukum acara (HIR) namun juga diatur didalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Didalam buku keempat ini diatur mengenai prinsip umum tentang pembuktian dan juga mengenai alat-alat bukti. Dikenal adanya 5 macam alat bukti yaitu :
       a. Surat-surat
       b. Kesaksian
       c. Persangkaan
       d. Pengakuan
       e. Sumpah
Daluarsa (lewat waktu) berkaitan dengan adanya jangka waktu tertentu yang dapat mengakibatkan seseorang mendapatkan suatu hak milik (acquisitive verjaring) atau juga karena lewat waktu menyebabkan seseorang dibebaskan dari suatu penagihan atau tuntutan hukum (inquisitive verjaring). Selain itu diatur juga hal-hal mengenai “pelepasan hak” atau “rechtsverwerking” yaitu hilangnya hak bukan karena lewatnya waktu tetapi karena sikap atau tindakan seseorang yang menunjukan bahwa ia sudah tidak akan mempergunakan suatu hak.
       Bab I – Tentang pembuktian pada umumnya
       Bab II – Tentang pembuktian dengan tulisan
       Bab III – Tentang pembuktian dengan saksi-saksi
       Bab IV – Tentang persangkaan
       Bab V – Tentang pengakuan
       Bab VI – Tentang sumpah di hadapan hakim
       Bab VII – Tentang kedaluwarsa pada umumnya

PERIHAL ORANG DALAM HUKUM (SUBYEK HUKUM)
Dalam hukum, perkataan orang (persoon) berarti sebagai pembawa hak atau disebut juga sebagai subyek hukum. Saat ini boleh dikatakan bahwa tiap manusia itu dapat bertindak sebagai pembawa hak atau subyek hukum. Beberapa abad silam, kedudukan manusia belumlah seperti saat ini, dimana pada masa itu masih ada status manusia yang tidak dapat menjadi pembawa hak atau subyek hukum, mereka itulah yang dikenal dengan “budak atau hamba sahaya”. Hal yang  berkaiatan dengan kehilangan kedudukan sebagai subyek hukum adalah “kematian perdata”, yakni hukuman yang menyatakan sesorang tidak dapat memiliki sesuatu hak lagi. Hal ini pun sudah tidak berlaku lagi saat ini. Yang dimungkinkan saat ini ialah pencabutan hak untuk sementara waktu bagi para terhukum (narapidana), seperti pencabutan  kekuasaan  sebagai wali, dan hak untuk masuk TNI.
Berlakunya seseorang sebagai pembawa hak atau subyek hukum dimulai sejak dilahirkan sampai meninggal dunia, bahkan untuk kasus tertentu dapat ditarik mundur pada saat masih dalam kandungan dengan catatan setelah dilahirkan bayi tersebut terus hidup..
Meskipun menurut hukum saat ini sudah tidak ada lagi orang yang tidak dapat bertindak sebagai pembawa hak atau subyek hukum namun tidak semua orang diperkenankan untuk bertindak atau melakukan perbuatan hukum sendiri.Hal ini ditujukan bagi orang-orang yang dianggap “tidak cakap hukum” atau “kurang cakap hukum”. Mereka ini dalah orang-orang yang masih di bawah umur atau belum dewasa dan oarng yang gila dimana harus selalu diwakili oleh orangtua, wali atau kuratornya.
Menurut KUHPerdata (BW), yang dimaksud orang yang masih di bawah umur adalah mereka yang belum mencapai usia 21 tahun kecuali mereka telah kawin. Yang menjadi catatan khusus dalam BW adalah bagi para perempuan yang telah kawin tidak diperkenankan melakukan perbuatan hukum sendiri tetapi harus dibantu oleh suaminya. Istri di sini masuk dalam kategori sebagai orang yang dianggap kurang cakap hukum untuk bertindak sendiri. Selain itu di dalam BW terdapat berbagai pasal yang secara khusus membedakan antara kecakapan laki-laki dan perempuan, misalnya :
1.       Seorang perempuan dapat kawin jika ia sudah berumur 15 tahun, sedangkan laki-laki jika ia sudah berumur 18 tahun;
2.       Seorang perempuan tidak diperbolahkan kawin lagi sebelum lewat 300 hari setelah perkawinan diputuskan, sedangkan untuk laki-laki tidak terdapat larangan seperti itu;
3.       Seorang laki-laki baru diperbolehkan mengakui seseorang sebagai anaknya, jika ia sudah berusia paling sedikit 19 tahun, sedangkan untuk perempuan tidak ada pembatasan seperti itu.
Di samping orang atau manusia yang dapat bertindak sebagai pembawa hak atau subyek hukum, masih ada pihak lain yang dapat bertindak sebagai pembawa hak atau subyek hukum, yakni badan atau perkumpulan. Badan atau perkumpulan ini dapat mempunyai kekayaan sendiri serta ikut serta dalam lalu lintas hukum dengan perantaraan para pengurusnya, bahkan dapat bertindak sebagai penggugat atau tergugat di muka pengadilan. Badan atau perkumpulan ini disebut dengan Badan Hukum atau rechtspersoon. Badan hukum di sini dapat dalam bentuk PT,CV,Koperasi,Yayasan, Partai Politik dan sebagainya asalkan telah memiliki legitimasi yang disahkan oleh lembaga atau departemen terkait.
Sebagai pembawa hak atau subyek hukum, baik orang maupun badan hukum harus memiliki tempat tinggal, kedudukan, atau domisili. Hal ini diperlukan untuk menetapkan beberapa hal apabila terkait dengan kasus atau persoalan hukum. Sebagian orang mempunyai domisili mengikuti orang lain, misalnya seorang istri mengikuti domisili suaminya, seorang anak yang masih di bawah umur mengikuti domisili orangtuanya, dan orang yang di bawah pengawasan mengikuti domisili kuratornya. Ada juga domisili yang dipilih karena behubungan dengan suatu urusan, misalnya dua pihak dalam suatu kontrak memilih domisili di kantor seorang notaries atau di kantor kepaniteraan Pengadilan Negeri. Hal ini dimaksudkan agar memudahkan kedua pihak jika terjadi perkara di pengadilan.
Orang yang sudah mati pun memerlukan domisili untuk mennetukan proses pembagian  waris berpatokan pada hukum mana. Di sinilah yang dimaksud dengan “rumah kematian” dalam KUHPerdata untuk memudahkan proses hukum yang berkaitan dengan orang yang sudah meninggal.
HUKUM PERKAWINAN
Perkawinan ialah pertalian yang sah antara seorang lelaki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama.KUHPerdata hanya memandang perkawinan dalam hubungan keperdataan sebagaimana diatur dalam Pasal 26 BW. Dalam pasal tersenut dinyatakan bahwa perkawinan akan sah manakala memenuhi syarat-syarat dalam BW dan mengesampingkan syarat-syarat lainnya termasuk peraturan agama. Asas yang berlaku dalam BW adalah asas monogamy. Artinya apabila ada sesorang yang berpoligami maka hal tersebut masuk dalam pelanggaran ketertiban umum dan dibatalkan. Adapun syarat-syarat perkawinan dalam BW adalah :
1.       Kedua pihak telah cukup umur, yakni 18 tahun untuk lelaki dan 15 tahun untuk perempuan;
2.       Harus ada persetujuan kedua belah pihak;
3.       Untuk perempuan yang pernah kawin maka harus melewati terlebih dahulu 300 hari untuk dapat kawin lagi;
4.       Tidak ada larangan dalam UU bagi kedua pihak;
5.       Untuk pihak yang masih di bawah umur harus ada izin dari orangtua atau walinya.
Sebelum perkawinan dilangsungkan harus dilakukan terlebih dahulu :
1.       Pemberitahuan (aangifte) tentang kehendak akan kawin kepada pegawai pencatatan sipil;
2.       Pengumuman (afkondiging).
BW memberikan kepada beberapa orang untuk mencegah atau menahan (stuiten) dilangsungkannya perkawinan, yaitu :
1.       Suami atau istri serta anak-anak dari pihak yang hendak kawin;
2.       Orangtua kedua pihak;
3.       Jaksa.
Di negara kita yang masih menjunjung tinggi adat ketimuran, menjadi
persoalan yang sensitif ketika salah seorang calon pasangan berniat
mengajukan untuk membuat perjanjian pra nikah. perjanjian pranikah
(Prenuptial Agreement) menjadi suatu hal yang tidak lazim dan dianggap tidak
biasa, kasar, materialistik, juga egois, tidak etis, tidak sesuai dengan
adat timur dan lain sebagainya
Karena pernikahan dianggap sebagai sesuatu yang sakral, maka perjanjian
pranikah masih dianggap sebagai urusan duniawi yang tidak sepantasnya
dibicarakan dan dilakukan. Karena kalau dilakukan, lalu akan muncul
pertanyaan apa bedanya dengan perjanjian-perjanjian yang biasa dilakukan
oleh dua orang yang melakukan transaksi bisnis?
1. Apa yang dimaksud dengan perjanjian pra nikah?
Prenuptial Agreement atau perjanjian pra nikah adalah perjanjian yang dibuat
sebelum dilangsungkannya pernikahan dan mengikat kedua calon mempelai yang
akan menikah, isinya mengenai masalah pembagian harta kekayaan diantara
suami istri yang meliputi apa yang menjadi milik suami atau isteri dan apa
saja yang menjadi tanggung jawab suami dan isteri, ataupun berkaitan dengan
harta bawaan masing-masing pihak agar bisa membedakan yang mana harta calon
istri dan yang mana harta calon suami, jika terjadi perceraian atau kematian
disalah satu pasangan.
Biasanya perjanjian pra nikah dibuat untuk kepentingan perlindungan hukum
terhadap harta bawaan masing-masing, suami ataupun istri. Memang pada
awalnya perjanjian pranikah banyak dipilih oleh kalangan atas yang yang
memiliki warisan besar.
2. Apakah membuat perjanjian pra nikah dibenarkan secara hukum dan agama?
Membuat perjanjian pra nikah diperbolehkan asalkan tidak bertentangan dengan
hukum, agama dan kesusilaan, nilai-nilai moral dan adat istiadat. Hal ini
telah diatur sesuai dengan pasal 29 ayat 1 UU No.1 tahun 1974 tentang
Perkawinan, yaitu:”Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan,
keduabelah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian
tertulis yang disahkan oleh pegawai Pencatat perkawinan setelah mana isinya
berlaku juga terhadap pihak ketiga tersangkut”. dalam penjelasan pasal 29 UU
No.1/1975 tentang perkawinan, dikatakan Yang dimaksud dengan perjanjian
dalam pasal ini tidak termasuk Taklik Talak.
Dalam ayat 2 dikatakan: perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilemana
melanggar batas-batas hukum agama dan kesusilaan.
Selain itu Kompilasi Hukum Islam juga memperbolehkan Perjanjian pra nikah
sebagaimana dikatakan dalam pasal 47 ayat : “Pada waktu atau sebelum
perkawinan dilangsungkan kedua calon mempelai dapat membuat perjanjian
tertulis yang disahkan Pegawai Pencatat Nikah mengenai kedudukan harta dalam
perkawinan”
Konsep perjanjian pra nikah awal memang berasal dari hukum perdata barat KUH
Per. Tetapi UU No.1/1974 tentang Perkawinan ini telah mengkoreksi ketentuan
KUH Per (buatan Belanda) tentang perjanjian pra nikah. Dalam pasal 139 KUH
Per: “Dengan mengadakan perjanjian kawin, kedua calon suami isteri adalah
berhak menyiapkan beberapa penyimpangan dari peraturan perundang-undangan
sekitar persatuan harta kekayaan asal perjanjia itu tidak menyalahi tata
susila yang baik atau tata tertib umum dan asal diindahkan pula segala
ketentuan di bawah ini, menurut pasal berikutnya”
Bila dibandingkan maka KUH Per hanya membatasi dan menekankan perjanjian pra
nikah hanya pada persatuan harta kekayaan saja, sedangkan dalam UU
Perkawinan bersifat lebih terbuka, tidak hanya harta kebendaan saja yang
diperjanjikan tetapi juga bisa diluar itu sepanjang tidak bertentangan
dengan hukum, agama dan kesusilaan, nilai-nilai moral dan adat istiadat
Secara agama, khususnya agama islam dikatakan dalam AQ Al-baqarah :2 dan
Hadits: bahwa setiap Mukmin terikat dengan perjanjian mereka masing-masing.
Maksudnya, jika seorang Mukmin sudah berjanji harus dilaksanakan. Perjanjian
pranikah tidak diperbolehkan bila perjanjian tersebut menghalalkan yang
haram dan mengharamkan yang halal, contohnya : perjanjian pranikah yang
isinya, jika suami meninggal dan mereka tidak dikaruniai anak, warisan
mutlak jatuh pada istrinya. Padahal dalam Islam, harta suami yang meninggal
tanpa dikaruniai seorang anak tidak seluruhnya jatuh kepada sang istri,
masih ada saudara kandung dari pihak suami ataupu orangtua suami yang masih
hidup.Hal diatas adalah “menghalalkan yang haram” atau contoh lain
Perkawinan dengan dibatasi waktu atau namanya nikah mut’ah (kawin kontrak).
Suatu Pernikahan tidak boleh diperjanjikan untuk bercerai”
Dalam agama katolik, perjanjian perkawinan yang penting adalah dimana pria
dan wanita yang melakukan perkawinan akan membentuk kebersamaan seluruh
hidup (Consorsium totius Vitac) diantara mereka menurut sifat kodratnya
terarah pada kesejahteraan suami isteri serta pada kelahiran dan pendidikan
anak. Sementara untuk agama Hindu, hukum yang mengatur khusus tentang
perjanjian perkawinan tidak ada, tetapi yang jelas apabila ada perjanjian
yang dibuat bertentangan dengan larangan dalam agama Hindu maka perjanjian
itu tidak sah. Begitu pula dengan agama budha, menurut hukum perkawinannya
(HPAB) yang telah disahkan pada tanggal 1 Januari 1977, tidak ada aturan
khush tentang perjanjian perkawinan, dimana berarti terserah para pihak yang
bersangkutan asal perjanjian yang diabuat tidak bertentangan dengan agama
Budha Indonesia, UU No. /1975 dan kepentingan Umum (Prof. Hilman Hadikusuma,
SH, Hukum perkawinan Indonesia menurut perundang-undangan, hukum adat dan
hukum agama, CV. Maju
Mandar, Bandung, 1990, hlm. 60)
3. Apa Saja Isi Perjanjian Pranikah?
Isi Perjanjian pra nikah diserahkan pada pihak calon pasangan yang akan
menikah dengan syarat isinya tidak boleh bertentangan dengan ketertiban
umum, kesusilaan, hukum dan agama, Seperti telah dijelaskan diatas dalam
point 1.
Bahwa perjanjian pra nikah dasarnya adalah bentuk kesepakatan maka ia
termasuk dalam hukum perjanjian buku III KUHPer, sebagaimana Pasal 1338 :
para pihak yang berjanji bebas membuat perjanjian selama tidak melanggar
kesusilaan, ketertiban umum dan undang-undang.
Biasanya berisi pengaturan penyelesaian dari masalah yang kira-kira akan
timbul selama masa perkawinan, antara lain :
- Tentang pemisahan harta kekayaan.
Pemisahan harta kekayaan yang diperoleh sebelum pernikahan yaitu segala
harta benda yang diperoleh sebelum pernikahan dilangsungkan atau yang biasa
disebut harta bawaan yang didalamnya bisa termasuk harta warisan atau hibah,
disebutkan dalam harta apa saja yang sebelumnya dimiliki suami atau isteri.
Pemisahan harta pencaharian/pendapatan yang diperoleh selama pernikahan atau
mengenai tidak adanya percampuran harta pendapatan maupun aset-aset baik
selama pernikahan itu berlangsung maupun apabila terjadi perpisahan,
perceraian, atau kematian.
Tetapi untuk hal pemisahan pendapatan para pihak tidak boleh melupakan hak
dan kewajiban suami sebagai kepala rumah tangga, seperti dikatakan dalam
Pasal 48 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam: “Apabila dibuat perjanjian perkawinan
mengenai pemisahan harta bersama atau harta syarikat, maka perjanjian
tersebut tidak boleh menghilangkan kewajiban suami untuk memenuhi kebutuhan
RT”. Dalam ayat 2 dikatakan: “Apabila perjanjian perkawinan tidak memenuhi
ketentuan tersebut dalam ayat 1 dianggap tetap terjadi pemisahan harta
bersama atau harta syarikat dengan kewajiban suami menanggung biaya
kebutuhan RT”. Untuk biaya kebutuhan RT istri dapat membantu suami dalam
menanggung biaya kebutuhan RT, hal mana bisa diperjanjikan dalam perjanjian
pra nikah. Atau mungkin dalam rangka proses cerai, ingin memisahkan harta,
bisa saja diperjanjiankan tentang bagaimana cara pembagian harta.
- Pemisahaan harta juga termasuk pemisahan utang, jadi dalam perjanjian
pranikah bisa juga diatur mengenai masalah utang yang akan tetap menjadi
tanggungan dari pihak yang membawa atau mengadakan utang itu. Utang yang
dimaksud adalah utang yang terjadi sebelum pernikahan, selama masa
pernikahan, setelah perceraian, bahkan kematian .
HAND OUT
HUKUM PERDATA
Oleh : H.M.Aiz Muhadjirin,SH,MH
Pertemuan III
HUKUM KELUARGA
1. Keturunan
Seorang anak sah (wettig kind) ialah anak yang dianggap lahir dari perkawinan yang sah antara ayah dan ibunya. Kepastian seorang anak sungguh-sungguh anak sang ayah tentunya sulit untuk ditentukan secara sederhana. Untuk mengatasi hal tersebut KUHPerdata menetapkan suatu tenggang kandungan yang paling lama, yaitu 300 hari dan suatu tenggang kandungan yang paling pendek, yaitu 180 hari. Seorang anak yang lahir 300 hari setelah perkawinan orangtuanya dihapuskan, maka anak tersebut adalah anak yang tidak sah. Namun jika seorang anak dilahirkan sebelum lewat 180 hari setelah perkawinan orangtuanya, maka ayahnya (suami) berhak menyangkal sahnya anak tersebut, kecuali jika sudah mengetahui bahwa istrinya mengandung sebelum perkawinan berlangsung atau jika si ayah (suami) hadir pada waktu dibuatnya surat kelahiran dan ditandatanganinya.
Anak yang lahir di luar perkawinan dinamakan “naturlijk kind”. Ia dapat diakui atau tidak diakui oleh ayah atau ibunya. Menurut sistem KUHPerdata dengan adanya keturunan di luar perkawinan saja belum terjadi suatu hubungan keluarga antara anak dengan orangtuanya. Barulah dengan “pengakuan” (erkenning) lahir suatu pertalian kekeluargaan dengan akibat diterimanya harta warisan dari orangtua yang mengakuinya. Tetapi suatu hubungan kekeluargaan antara anak dengan keluarga si ayah atau ibu yang mengakuinya belum juga ada, kecuali apabila telah dilakukannya “pengesahan” anak (wettiging) yang merupakan suatu langkah lanjutan setelah pengakuan. Untuk pengesahan ini diperlukan kedua orangtua yang telah mengakui anaknya, melakukan perkawinan secara sah. Pengakuan yang dilakukan pada hari perkawinan juga membawa pengesahan anak. Jika pada saat perkawinan tersebut kedua orangtua itu belum melakukan pengakuan terhadap anaknya yang lahir sebelum perkawinan, maka pengesahan anak hanya dapat dilakukan dengan “surat-surat pengesahan” (brieven van wettiging) dari kepala negara.
Perlu diketahui bahwa KUHPerdata tidak membolehkan pengakuan terhadap anak-anak yang dilahirkan dari perbuatan zina (overspel) atau anak yang dilahirkan dari hubungan antara dua orang yang dilarang kawin.
2. Kekuasaan orangtua
Seorang anak yang sah sampai pada waktu ia mencapai usia dewasa atau kawin, berada di bawah kekuasaan orangtuanya selama kedua orangtua itu terikat dalam hubungan perkawinan. Kekuasaan orangtua itu tidak saja meliputi diri si anak, tetapi juga meliputi benda atau kekayaan si anak itu. Kekuasaan orangtua terhadap anak dapat dibebaskan manakala orangtua tersebut dianggap tidak cakap/mampu untuk memelihara serta mendidik anak.Namun jika orangtua melakukan perlawanan maka kejaksaan tidak dapat memaksa.  Selain itu kekuasaan orangtua dapat dicabut berdasarkan keputusan Hakim dengan alasan sesuai UU.
3. Perwalian
Perwalian (voorgdij) adalah pengawasan terhadap anak di bawah umur yang tidak berada di bawah kekuasaan orangtuanya serta pengurusan benda atau kekayaan anak itu diatur oleh UU. Anak yang berada di bawah perwalian adalah : (1) anak sah yang kedua orangtuanya telah dicabut kekuasaanya sebegai orangtua,(2)anak sah yang orangtuanya telah bercerai,(3) anak yang lahir di luar perkawinan.
4. Pendewasaan
Dalam hal-hal yang sangat penting, adakalanya dirasakan perlu untuk mempersamakan anak yang masih di bawah umur dengan orang dewasa agar anak tersebut dapat bertindak sendiri di dalam mengurus kepentingannya. Untuk memenuhi hal tersebut diadakanlah peraturan tentang “handlichting”, yaitu suatu pernyataan tentang seorang anak yang belum dewasa sepenuhnya atau beberapa hal saja dipersamakan dengan orang dewasa. Permohonan untuk dipersamakan dengan orang dewasa dapat dilakukan oleh anak yang telah berusia 20 tahun dan diajukan kepada Presiden yang akan memberikan keputusannya setelah mendengar nasehat dari MA. Namun untuk persoalan perkawinan, tetap masih memerlukan izin orangtua.
5.Pengampuan
Orang dewasa yang menderita sakit ingatan harus berada di bawah pengampuan atau curatele. Permintaan untuk berada di bawah pengampuan ini harus diajukan kepada Pengadilan Negeri dan jika diterima akan diumumkan dalam Berita Negara.
6. Orang yang hilang
Jikalau seseorang meninggalkan tempat tinggalnya tanpa memberikan kuasa kepada orang lain untuk mengurus kepentingannya, maka atas permintaan orang yang berkepentingan atau atas permintaan jaksa, Hakim untuk sementara dapat memerintahkan Balai Harta Peninggalan (weeskamer) untuk mengurus kepentingan tersebut. Jika kekayaan orang yang hilang tersebut tidak terlalu besar maka pengurusannya dapat diserahkan kepada keluarganya. Jika telah lewat 5 tahun terhitung sejak hilang, maka orang-orang yang berkepentingan dapat meminta pada Hakim untuk mengeluarkan pernyataan yang menerangkan orang yang hilang tersebut telah meninggal.
Untuk orang hilang yang disebabkan mengurus kepentingannya, maka untuk meminta surat pernyataan Hakim harus terlebih dahulu menunggu selama 10 tahun. Hal ini juga biperuntukan bagi suami atau istri yang ditinggal pergi itu untuk dapat meminta izin kawin lagi.
Sumber :
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa,1994, Jakarta.
HAND OUT
HUKUM PERDATA
Oleh : H.M.Aiz Muhadjirin,SH,MH
Pertemuan IV
HUKUM BENDA
Benda (zaak) dalam ari sempit dapat diartikan  sebagai barang yang terlihat saja. Adapun dalam pengertian yang luas ialah segala sesuatu yang dapat dihaki oleh orang. Di sini benda mengandung arti sebagai obyek dalam hukum.
Undang-undang membagi benda dalam beberapa macam :
1.       Benda yang dapat diganti (seperti :uang) dan yang tidak dapat diganti (seperti :kuda).
2.       Benda yang dapat diperdagangkan dan yang tidak dapat diperdagangkan (seperti : jalan).
3.       Benda yang dapat dibagi (seperti :beras) dan yang tidak dapat dibagi (seperti:binatang).
4.       Benda yang bergerak (seperti alat rumah tangga) dan yang tidak bergerak (seperti tanah).
Benda pada point ke 4 adalah yang paling penting sebab memiliki implikasi dalam hukum.
Pengertian benda yang tidak bergerak (onroerend) memilki beberapa sebab, yaitu :
1.       Karena sifatnya, contoh tanah dan segala macam benda atau tumbuhan yang ada di atas tanah tersebut.
2.       Karena tujuan pemakaiannya, seperti mesin pabrik. Meskipun pada prinsipnya mesin pabrik dapat digerakan atau dipindahkan namun karena pada umumnya mesin pabrik dipergunakan dalam jangka waktu yang lama dan tidak dipindah-pindahkan maka termasuk benda yang tidak bergerak dengan sebab tujuan pemakaiannya.
3.       Karena ditentukan oleh UU, yaitu segala hak atau penagihan yang mengenai suatu benda yang tidak bergerak. Contoh hak penagihan untuk pengembalian atau penyerahan benda yang tidak bergerak.
Adapun pengertian benda yang bergerak, juga memiliki beberapa sebab, yaitu :
1.       Karena sifatnya,yaitu benda yang tidak tergabung dengan tanah atau dimaksudkan untuk mengikuti tanah atau bangunan. Contoh alat rumah tangga.
2.       Karena penetapan UU, contoh penagihan mengenai sejumlah uang atau suatu benda yang bergerak, surat obligasi negara dan sebagainya.
Beberapa hak kebendaan
Hak kebendaan (zakelijk recht) ialah suatu hak yang memberikan kekuasaan langsung atas suatu benda, yang dapat dipertahankan terhadap tiap orang.
1.       Bezit. Hak ini merupakan hak khusus yang terdapat dalam hukum barat. Hak bezit secara sederhana dapat diartikan sebagai hak penguasaan terhadap suatu benda baik bergerak maupun tidak bergerak yang dilindungi oleh hukum tanpa mempersoalkan kepemilikan yang sesungguhnya. Bezit dapat juga diartikan sebagai “menduduki”. Contoh nya ialah apabila terdapat sarang tawon di pohon, lalu kita mengambil sarang tawon tersebut dan kita kuasai dan kemudian kita jual, maka hal tersebut merupakan hak bezit yang kita dapatkan.
      Bezit atas suatu benda yang tidak bergerak memberikan hak-hak sebagai berikut :
1.        
§  Seorang bezitter (yang menduduki) tidak dapat diusir begitu saja oleh si pemilik, tetapi harus digugat di depan hakim.
§  Seorang bezitter berhak atas penghasilan benda yang selama ini dikuasainya dan tidak perlu untuk mengembalikan kepada si pemilik asli meskipun bezitter tersebut dikalhkan dalam pengadilan.
§  Seorang bezitter dapat memperoleh hak milik jika si pemilik asli telah begitu lama dan lewat batas waktu tidak mengurusi benda tidak bergerak tersebut.
§  Seorang bezitter dapat meminta perlindungan kepada hakim jika mengalami gangguan.

1.       Eigendom, yaitu hak yang palin sempurna atas suatu benda. Seseorang yang memiliki hak ini dapat berbuat apa saja berkaitan dengan benda tersebut, seperti menjaul, menggadai, menyewakan bahkan merusaknya. Hak eigendom dapat diperoleh melalui beberapa cara yaitu :
§  Pengambilan, contoh membuka lahan tanah baru, dan memancing ikan.
§  Natrekking yaitu jika suatu benda bertambah luas karena perbuatan alam, contoh tanah yang menjadi lebih luas setelah terjadi longsor.
§  Lewat waktu.
§  Pewarisan.
§  Penyerahan.
Hak-hak kebendaan di atas benda orang lain
1.       Erfdienstbaarheid atau servituut, yaitu suatu beban yang yang diletakan di atas suatu pekarangan untuk keperluan suatu pekarangan lain yang berbatasan. Contohnya ialah hak untuk mengalirkan air di saluran air yang terletak di atas pekarangan orang lain.
2.       Hak opstal, yaitu hak untuk memiliki bangunan atau tanaman di atas tanah orang lain.
3.       Hak erfacht, yaituhak untuk menarik penghasilan seluas-luasnya untuk waktu yang lama dari sebidang tanah milik orang lain dengan kewajiban membayar sewa.
4.       Hak vruchtgebruik, yaitu hak untuk menarik penghasilan dari benda milik orang lain dengan kewajiban menjaga agar benda tersebut tetap dalam keadaan semula.
5.       Pandrecht yaitu dikenal pula dengan istilah hak gadai.
6.       Hypotheek, yaitu hak atas benda yang tidak bergerak bertujuan untuk mengambil pelunasan suatu hutang dari benda itu. Hak ini sama dengan hak pandrecht hanya berbeda pada jenis bendanya.
Lahirnya UU No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria
Dengan lahirnya UU tersebut, maka Buku II KUHPerdata (BW) sepanjang mengenai bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya tidak berlaku lagi kecuali hypotheek yang tetap berlaku. Berdasarkan UU tersebut hak atas tanah meliputi :
1.       Hak milik, yaitu hak turun temurun terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai oleh orang atas tanah, dengan mengingat bahwa semua hak tanah itu mempunyai fungsi sosial.
2.       Hak Guna Usaha, yaitu hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara dalam jangka waktu paling lama 25 tahun atau 35 tahun dan dapat diperpanjang.
3.       Hak Pakai, yaitu hak untuk menggunakan atau memungut hasil tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan oleh keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang atau oelh pemiliknya.
4.       Hak Sewa, yaitu hak mempergunakan tanah milik orang lain oleh sesorang atau badan hukum untuk keperluan bangunan dengan membayar pada pemiliknya sejumlah uang sebagai sewa.

HAND OUT
HUKUM PERDATA
Oleh : H.M.Aiz Muhadjirin,SH,MH
Pertemuan V
HUKUM WARIS
Berbicara mengenai hukum waris di Indonesia, maka kita harus berhadapan dengan 2 (dua) sistem hukum waris yang berlaku di Indonesia, yaitu:
1. sistem hukum waris perdata Barat yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata Indonesia dan
2. sistem hukum waris secara Islam, yang masih terbagi dalam beberapa mashab, yaitu:
a. Perhitungan waris berdasarkan Mashab Syafei
b. Perhitungan waris berdasarkan Mashab Hambali
c. Perhitungan waris berdasarkan Kompilasi Hukum Islam
Pembahasan kita kali ini adalah sistem pewarisan menurut hukum perdata Barat, yang terutama berlaku untuk warga negara Indonesia yang beragama selain Islam, atau yang bagi yang beragama Islam namun “menundukkan ” diri ke dalam hukum pewarisan perdata Barat.
Menurut Kitab Undang-Undang Hukum perdata barat (untuk selanjutnya akan lebih mudah jika kita sebut “BW” atau Burgerlijk Wetboek”, prinsip dari pewarisan adalah:
1. Harta Waris baru terbuka (dapat diwariskan kepada pihak lain) apabila terjadinya suatu kematian. (pasal 830 BW)
2.Adanya hubungan darah di antara pewaris dan ahli waris, kecuali untuk suami atau isteri dari pewaris. (pasal 832 BW)
Sebagai konsekwensi dan kedua hal tersebut maka, dapat diartikan bahwa dalam hal pemilik harta masih hidup, dia tidak dapat mewariskan apapun kepada ahli warisnya. Sehingga, dalam hal terjadi suatu pemberian atas suatu barang kepada keturunannya yang ditujukan agar keturunannya dapat memiliki hak atas barang tersebut setelah meninggal dunia (dalam bentuk hibah misalnya) maka hal tersebut dianggap sebagai “Hibah Wasiat”. Dimana barang tersebut baru beralih pada saat pemberi hibah telah meninggal dunia.. Dalam hal pemberian barang tersebut diberikan pada saat si pemberi barang masih hidup, tanpa diberikan suatu imbalan berupa uang, maka hal tersebut disebut sebagai “Hibah” saja. Mengenai hibah ini akan saya bahas lebih detil pada section tersendiri.
Kembali lagi kepada prinsip pewarisan, yaitu mengenai “hubungan darah”/ Berdasarkan Prinsip tersebut, maka yang berhak mewaris hanyalah orang-orang yang mempunyai hubungan darah dengan pewaris. Baik itu berupa keturunan langsung. maupun orang tua, saudara, nenek/kakek atau keturunannya dari saudara-saudaranya. Sehingga, apabila dimasukkan dalam kategori, maka yang berhak mewaris adalah:
1. Golongan I, yang terdiri dari: suami/isteri yang hidup terlama dan anak2 serta cucu (keturunan) pewaris (dalam hal anak pewaris meninggal dunia). (pasal 852 BW)
2. Golongan II adalah: orang tua dan saudara kandung dari pewaris termasuk keturunan dari saudara kandung pewaris. (pasal 854 BW) Golongan II ini baru bisa mewarisi harta pewaris dalam hal golongan I tidak ada sama sekali. Jadi, apabila masih ada ahli waris golongan I, maka golongan I tersebut “menutup” golongan yang diatasnya
3.Golongan III :
Keluarga dalam garis lurus ke atas sesudah bapak dan ibu pewaris (pasal . Contohnya: kakek dan nenek pewaris, baik dari pihak ibu maupun dari pihak bapak. Mereka mewaris dalam hal ahli waris golongan I dan golongan II tidak ada
4.GolonganIV
-Paman dan bibi pewaris baik dari pihak bapak maupun dari pihak ibu
-keturunan paman dan bibi sampai derajat ke enam dihitung dari pewaris
- saudara dari kakek dan nenek beserta keturunannya, sampai derajat ke enam di hitung
dari pewaris.
Bagaimana dengan anak angkat?
Karena prinsip dari pewarisan adalah adanya hubungan darah, maka secara hukum anak angkat atau anak tiri (yang bukan keturunan langsung dari pearis ) tidak berhak mendapatkan warisan secara langsung dari pewaris. Namun dimungkinkan bagi anak angkat tersebut untuk menerima warisan dengan cara pemberian Hibah atau “Hibah wasiat” (pasal 874 BW).
Hubungan persaudaraan bisa berantakan jika masalah pembagian harta warisan seperti rumah atau tanah tidak dilakukan dengan adil. Untuk menghindari masalah, sebaiknya pembagian warisan diselesaikan dengan adil. Salah satu caranya adalah menggunakan Hukum Waris menurut Undang-Undang (KUH Perdata).
Banyak permasalahan yang terjadi seputar perebutan warisan, seperti masing-masing ahli waris merasa tidak menerima harta waris dengan adil atau ada ketidaksepakatan antara masing-masing ahli waris tentang hukum yang akan mereka gunakan dalam membagi harta warisan.
Keluarga Bambang (bukan nama sebenarnya) di Solo, misalnya. Mereka mempunyai permasalahan seputar warisan sejak 7 tahun yang lalu. Awalnya keluarga ini tidak mau membawa masalah ini ke meja hijau tapi sayangnya, ada beberapa ahli waris yang beritikad buruk. Karena itu keluarga Bambang akhirnya memutuskan untuk menyelesaikan masalah ini melalui jalur hukum. Hingga awal tahun 2006, kasusnya masih dalam tingkat banding di Pengadilan Tinggi setempat dan belum ada putusan.
Ilustrasi ini hanya satu dari banyak masalah harta waris yang masuk ke pengadilan. Mengingat banyaknya kasus semacam ini, ada baiknya kita mengetahui bagaimana sebenarnya permasalahan ini diselesaikan dengan Hukum Waris menurut Undang-Undang (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).
Berhak Mendapatkan Warisan
Ada dua jalur untuk mendapatkan warisan secara adil, yaitu melalui pewarisan absentantio dan pewarisan testamentair. Pewarisan absentantio merupakan warisan yang didapatkan didapatkan berdasarkan Undang-undang. Dalam hal ini sanak keluarga pewaris (almarhum yang meninggalkan warisan) adalah pihak yang berhak menerima warisan.
Mereka yang berhak menerima dibagi menjadi empat golongan, yaitu anak, istri atau suami, adik atau kakak, dan kakek atau nenek. Pada dasarnya, keempatnya adalah saudara terdekat dari pewaris (Lihat Boks 4 golongan pembagian waris).
Sedangkan pewarisan secara testamentair/wasiat merupakan penunjukan ahli waris berdasarkan surat wasiat. Dalam jalur ini, pemberi waris akan membuat surat yang berisi pernyataan tentang apa yang akan dikehendakinya setelah pemberi waris meninggal nanti. Ini semua termasuk persentase berapa harta yang akan diterima oleh setiap ahli waris.
Tidak Berhak Menerimanya
Meskipun seseorang sebenarnya berhak mendapatkan warisan baik secara absentantio atau testamentair tetapi di dalam KUH Perdata telah ditentukan beberapa hal yang menyebabkan seorang ahli waris dianggap tidak patut menerima warisan.
Kategori pertama adalah orang yang dengan putusan hakim telah telah dinyatakan bersalah dan dihukum karena membunuh atau telah mencoba membunuh pewaris. Kedua adalah orang yang menggelapkan, memusnahkan, dan memalsukan surat wasiat atau dengan memakai kekerasan telah menghalang-halangi pewaris untuk membuat surat wasiat menurut kehendaknya sendiri. Ketiga adalah orang yang karena putusan hakim telah terbukti memfitnah orang yang meninggal dunia dan berbuat kejahatan sehingga diancam dengan hukuman lima tahun atau lebih. Dan keempat, orang yang telah menggelapkan, merusak, atau memalsukan surat wasiat dari pewaris.
Dengan dianggap tidak patut oleh Undang-Undang bila warisan sudah diterimanya maka ahli waris terkait wajib mengembalikan seluruh hasil dan pendapatan yang telah dinikmatinya sejak ia menerima warisan.
Pengurusan Harta Warisan
Masalah warisan biasanya mulai timbul pada saat pembagian dan pengurusan harta warisan. Sebagai contoh, ada ahli waris yang tidak berbesar hati untuk menerima bagian yang seharusnya diterima atau dengan kata lain ingin mendapatkan bagian yang lebih. Guna menghindari hal tersebut, ada beberapa tahapan yang perlu dilakukan oleh Anda yang kebetulan akan mengurus harta warisan, khususnya untuk harta warisan berupa benda tidak bergerak (tanah dan bangunan).
Langkah pertama yang harus dilakukan adalah membuat Surat Keterangan Kematian di Kelurahan/Kecamatan setempat. Setelah itu membuat Surat Keterangan Waris di Pengadilan Negeri setempat atau Fatwa Waris di Pengadilan Agama setempat, atau berdasarkan Peraturan Daerah masing-masing. Dalam surat/fatwa tersebut akan dinyatakan secara sah dan resmi siapa-siapa saja yang berhak mendapatkan warisan dari pewaris.
Apabila di antara para ahli waris disepakati bersama adanya pembagian warisan, maka kesepakatan tersebut wajib dibuat dihadapan Notaris. Jika salah satu pembagian yang disepakati adalah pembagian tanah maka Anda harus melakukan pendaftaran di Kantor Pertanahan setempat dengan melampirkan Surat Kematian, Surat Keterangan Waris atau Fatwa Waris, dan surat Wasiat atau Akta Pembagian Waris bila ada.
Satu bidang tanah bisa diwariskan kepada lebih dari satu pewaris. Bila demikian maka pendaftaran dapat dilakukan atas nama seluruh ahli waris (lebih dari satu nama). Nah, dengan pembagian waris yang dilakukan berdasarkan Undang-Undang maka diharapkan bisa meminimalkan adanya gugatan dari salah satu ahli waris yang merasa tidak adil dalam pembagiannya.
Empat Golongan yang Berhak Menerima Warisan
A. GOLONGAN I.
Dalam golongan ini, suami atau istri dan atau anak keturunan pewaris yang berhak menerima warisan. Dalam bagan di atas yang mendapatkan warisan adalah istri/suami dan ketiga anaknya. Masing-masing mendapat ¼ bagian.
Ayah
Ibu
Pewaris
Saudara
Saudara
B. GOLONGAN II
Golongan ini adalah mereka yang mendapatkan warisan bila pewaris belum mempunyai suami atau istri, dan anak. Dengan demikian yang berhak adalah kedua orangtua, saudara, dan atau keturunan saudara pewaris.
Dalam contoh bagan di atas yang mendapat warisan adalah ayah, ibu, dan kedua saudara kandung pewaris. Masing-masing mendapat ¼ bagian. Pada prinsipnya bagian orangtua tidak boleh kurang dari ¼ bagian
C. GOLONGAN III
kakek
nenek
kakek
nenek
Dalam golongan ini pewaris tidak mempunyai saudara kandung sehingga yang mendapatkan waris adalah keluarga dalam garis lurus ke atas, baik dari garis ibu maupun ayah.
Contoh bagan di atas yang mendapat warisan adalah kakek atau nenek baik dari ayah dan ibu. Pembagiannya dipecah menjadi ½ bagian untuk garis ayah dan ½ bagian untuk garis ibu.
D. GOLONGAN IV
Pada golongan ini yang berhak menerima warisan adalah keluarga sedarah dalam garis atas yang masih hidup. Mereka ini mendapat ½ bagian. Sedangkan ahli waris dalam garis yang lain dan derajatnya paling dekat dengan pewaris mendapatkan ½ bagian sisanya.
HAND OUT
HUKUM PERDATA
Oleh : H.M.Aiz Muhadjirin,SH,MH
Pertemuan VII
HUKUM PERJANJIAN
Dalam Buku III BW istilah yang dipergunakan adalah “Perikatan”. Istilah “Perikatan” mempunyai arti yang lebih luas dari istilah “Perjanjian”. Dalam “Perikatan” diatur juga hubungan hukum yang sama sekali tidak bersumber pada suatu persetujuan atau perjanjian, yaitu perihal perikatan yang timbul dari perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) dan perihal perikatan yang timbul dari pengurusan kepentingan orang lain yang tidak berdasarkan persetujuan  (zaakwaarneming).
Apabila kita coba membuat perbedaan sederhana antara perikatan dengan perjanjian, maka perikatan merupakan suatu pengertian abstrak, sedangkan perjanjian adalah suatu peristiwa hukum yang konkrit.
Definisi perikatan menurut BW ialah suatu hubungan hukum (mengenai kekayaan harta benda) antara dua orang, yang memberi hak pada yang satu untuk menuntut barang sesuatu dari yang lainnya, sedangkan orang yang lainnya diwajibkan memenuhi tuntutan itu. Pihak yang berhak menuntut dinamakan pihak berpiutang atau “kreditur”, sedangkan pihak yang wajib memenuhi tuntutan dinamakan pihak berhutang atau “debitur”. Adapun barang sesuatu yang dapat dituntut dinamakan “prestasi”. Prestasi menurut UU dapat berupa :
1. Menyerahkan suatu barang;
2. Melakukan suatu perbuatan;
3. Tidak melakukan suatu perbuatan.
Sumber-sumber perikatan :
1. Persetujuan (perjanjian)
2. UU, dimana terbagi lagi kepada :
            1.2. UU saja, yaitu perikatan yang timbul oleh hubungan kekeluargaan.
            2.2. UU karena suatu perbuatan orang, yang terbagi lagi :
                        2.2.1. Perbuatan yang diperbolehkan
                        2.2.2. Perbuatan yang berlawanan hukum.
Dalam BW terdapat suatu macam perikatan yang dinamakan “naturlijke vebintenis”, yaitu suatu perikatan yang berada di tengah-tengah antara perikatan moral atau kepatutan dan suatu perikatan hukum, atau boleh dikatakan sebagai suatu perikatan hukum yang tidak sempurna. Contoh perikatan ini antara lain ialah : hutang-hutang yang terjadi karena perjudian, oleh pasal 1788 BW tidak dizinkan untuk menuntut pembayaran.
Buku III BW menganut asas “kebebasan”, sebagaimana tersimpul dalam pasal 1338 BW yang menerangkan bahwa segala perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku sebagai UU bagi mereka yang membuatnya.
Macam-macam perikatan:
1. Perikatan bersyarat, yaitu perikatan yang digantungkan pada suatu kejadian dikemudian hari yang masih belum tentu akan atau tidak terjadi.
2. Perikatan yang digantungkan pada suatu ketetapan waktu.
3. Perikatan yang membolehkan memilih.
4. Perikatan tanggung menanggung.
5. Perikatan yang dapat dibagi dan yang tidak dapat dibagi.
6. Perikatan dengan penetapan hukuman.
Hapusnya perikatan :
1. Pembayaran;
2.Penawaran pembayaran tunai diikuti oleh penyimpanan barang yang hendak dibayarkan itu di suatu tempat.
3. Pembaharuan hutang;
4. Kempensasi atau perhitungan hutang timbal balik;
5. Percampuran hutang;
6. Pembebasan hutang;
7. Hapusnya barang yang dimaksud dalam perjanjian;
8. Pembatalan perjanjian;
9. Akibat berlakunya suatu syarat pembatalan;
10. Lewat waktu.
HAND OUT
HUKUM PERDATA
Oleh : H.M.Aiz Muhadjirin,SH,MH
Pertemuan VIII
PERJANJIAN (LANJUTAN)
Beberapa perjanjian khusus yang penting
1.       Perjanjian jual beli, yaitu suatu perjanjian dimana pihak yang satu menyanggupi akan menyerahkan hak milik atas suatu barang, sedangkan pihak lainnya menyanggupi akan membayar sejumlah uang sebagai harganya.
2.       Perjanjian sewa-menyewa, yaitu suatu perjanjian diaman pihak yang satu menyanggupi akan menyerahkan suatu benda untuk dipakai selama suatu jangka waktu tertentu, sedangkan pihak lainnya menyanggupi akan membayar harga yang telah ditetapkan untuk pemakaian itu pada waktu-waktu yang ditentukan. Pihak penyewa memikul dua kewajiban poko, yaitu :(1) membayar uang sewa pada waktunya, (2) memelihara barang yang disewa sebaik-baiknya, seolah-olah barang miliknya sendiri.
3.       Pemberian atau hibah (schenking), yaitu suatu perjanjian dimana pihak yang satu menyanggupi dengan cuma-cuma dengan secara mutlak memberikan suatu benda pada  pihak yang lainnya yang menerima pemberian itu.
4.       Persekutuan (maatschap), yaitu suatu perjanjian dimana beberapa orang bermufakat untuk bekerja bersama dalam lapangan ekonomi, dengan tujuan membagi keuntungan yang akan diperoleh. Persekutuan merupakan suatu bentuk kerjasama yang paling sederhana, bahkan diperbolehkan seorang anggota hanya menyumbangkan tenaga saja.Untuk perjanjian model ini tidak diperlukan adanya suatu akte. Perjanjian ini dikenla juga dengan sebutan “perjanjian consensueel” yaitu perjanjian yang dianggap sudah cukup jika ada kata sepakat.
5.       Penyuruhan (lastgeving), yaitu suatu perjanjian dimana pihak yang satu memberikan perintah kepada pihak yang lain untuk melakukan suatu perbuatan hukum.
6.       Perjanjian pinjam, meliputi 2 aspek, yaitu : (1) perjanjian pinjam barang yang tidak dapat diganti, seperti peminjaman mobil, motor dan lain-lain, (2) perjanjian pinjaman barang yang dapat diganti, seperti meminjam uang, beras dan lain-lain.
7.       Penangguhan hutang, yaitu suatu perjanjian dimana satu pihak menyanggupi pada pihak lainnya, bahwa ia menanggung pembayaran suatu hutang, apabila si berhutang tidak menepati kewajibannya.
8.      Perjanjian perdamaian, yaitu suatu perjanjian dimana dua pihak membuat suatu perdamaian untuk mengakhiri suatu perkara, dalam perjanjian mana masing-masing melepaskan sementara hak-hak atau tuntutannya. Perjanjian semacam ini harus tertulis.
9.       Perjanjian kerja, terbagi 3 macam, yaitu :(1) perjanjian perburuhan yang sejati, adalah suatu perjanjian yang menerbitkan suatu hubungan terbatas antara buruh dan majikan, diperjanjikan suatu upah, dan dibuat untuk waktu tertentu,(2) pemborongan pekerjaan, ialah suatu perjanjian dimana satu pihak menyanggupi untuk keperluan pihak lainnya, melakukan suatu pekerjaan tertentu dengan pembayaran upah yang ditentukan pula, (3) perjanjian untuk melakukan suatu pekerjaan terlepas, seperti seorang kuli mengangkut barang atau seorang dokter gigi yang mencabut gigi pasiennya..
Kapita Selekta Hukum Perdata
Tanya Jawab
Pertanyaan :
Ada dua orang mahasiswa berumur 17 dan 19 tahun akan mengadakan perjanjian pinjaman untuk memenuhi biaya kuliah. Saya ingin mengetahui pada usia berapa seseorang dapat menandatangani kontrak pinjaman tersebut, atas tanggung jawabnya sendiri, tanpa persetujuan dari orang tua/wali mereka sesuai dengan peraturan yang berlaku di Indonesia.
Jawaban :
Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer) mencantumkan empat syarat untuk sahnya suatu perjanjian, salah satunya adalah kecakapan para pihak. Syarat ini bersifat subyektif; jika tidak dipenuhi maka perjanjian tersebut dapat dimintakan pembatalannya.
Ketidakcakapan terjadi bila seseorang berdasarkan ketentuan undang-undang tidak mampu untuk membuat sendiri perjanjian. Yang termasuk tidak cakap oleh KUHPer adalah orang-orang yang belum cukup umur, orang-orang yang ditempatkan dibawah pengampuan dan wanita bersuami (namun sejak 1963 yang terakhir ini tidak lagi berlaku berdasarkan putusan Mahkamah Agung). Perlu diperhatikan pula bahwa seseorang yang cakap secara hukum dapat kehilangan seluruh atau sebagian kecakapan itu secara perdata, misalnya jika dinyatakan pailit oleh pengadilan.
Menurut pasal 330 KUHPer yang belum cukup umur (dewasa) adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) tahun dan belum kawin sebelumnya. Jika belum berumur 21 namun telah menikah, maka dianggap telah dewasa secara perdata dan dapat mengadakan perjanjian.
Pertanyaan :
bagaimanakah dapat membedakan antara perbuatan melanggar hukum(onrectmatiedaad) dan wanprestasi dalam sebuah perjanjian ?
Jawaban :
Prestasi adalah sesuatu yang dapat dituntut. Jadi dalam suatu perjanjian suatu pihak (biasanya kreditur/ berpiutang) menuntut prestasi pada pihak lainnya (biasanya debitur/ berutang). Menurut ps. 1234 KUHPer prestasi terbagi dalam 3 macam:
1. Prestasi untuk menyerahkan sesuatu (prestasi ini terdapat dalam ps. 1237 KUHPer);
2. Prestasi untuk melakukan sesuatu atau berbuat sesuatu (prestasi jenis ini terdapat dalam ps. 1239 KUHPer); dan
3. Prestasi untuk tidak melakukan atau tidak berbuat seuatu (prestasi jenis ini terdapat dalam ps. 1239 KUHPer).
Apabila seseorang telah ditetapkan prestasi sesuai dengan perjanjian itu, maka kewajiban pihak tersebut untuk melaksanakan atau mentaatinya.
Apabila sorang yang telah ditetapkan prestasi sesuai dengan perjanjian tersebut tidak melaksanakan atau tidak memenuhi prestasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku, maka disbut orang tersebut melakukan wanprestasi.
Apabila pihak debitur yang melakukan wanprestasi maka pihak kreditur yang menuntut atau mengajukan gugatan. Ada tiga kemungkinan bentuk gugatan yang mungkin diajukan oleh pihak yang merasa dirugikan akibat dari wanprestasi, yaitu:
a. Secara parate executie;
Dimana kreditur melakukan tuntutan sendiri secara langsung kepada debitur tanpa melalui pengadilan. Dalam hal ini pihak yang bersangkutan bertindak secara eigenrichting (menjadi hakim sendiri secara bersama-sama). Pada prakteknya, parate executie berlaku pada perikatan yang ringan dan nilai ekonomisnya kecil.
b. Secara arbitrage (arbitrase) atau perwasitan;
Karena kreditur merasakan dirugikan akibat wanprestasi pihak debitur, maka antara kreditur dan debitur bersepakat untuk menyelesaikan persengketaan masalah mereka itu kepada wasit (arbitrator). Apabila arbitrator telah memutuskan sengketa itu, maka pihak kreditur atau debitur harus mentaati setiap putusan, walaupun putusan itu menguntungkan atau emrugikan salah satu pihak.
c. Secara rieele executie
Yaitu cara penyelesaian sengketa antara kreditur dan debitur melalui hakim di pengadilan. Biasanya dalam sengketa masalah besar dan nilai ekonomisnya tinggi atau antara pihak kreditur dan debitur tidak ada konsensus penyelesaian sengketa dengan cara parate executie, maka penyelesaian perkara ditempuh dengan rileele executie di depan hakim di pengadilan.
Perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) diatur dalam ps. 1365 sampai dengan ps.1380 KUHPer. Tiap perbuatan melanggar hukum yang menimbulkan kerugian pada orang lain, mewajibkan pembuat yang bersalah untuk mengganti kerugian (ps. 1365 KUHPer).
Dinamakan perbuatan melawan hukum apabila perbuatan itu bertentangan dengan hukum pada umumnya. Hukum bukan saja berupa ketentuan-ketentuan undang-undang, tetapi juga aturan-aturan hukum tidak tertulis, yang harus ditaati dalam hidup bermasyarakat. Kerugian yang ditimbulkan itu harus disebabkan karena perbuatan yang melawan hukum itu; antara lain kerugian-kerugian dan perbuatan itu harus ada hubungannya yang langsung; kerugian itu disebabkan karena kesalahan pembuat. Kesalahan adalah apabila pada pelaku ada kesengajaan atau kealpaan (kelalaian).
Perbuatan melawan hukum tidak hanya terdiri atas satu perbuatan, tetapi juga dalam tidak berbuat sesuatu. Dalam KHUPer ditentukan pula bahwa setiap orang tidak saja bertanggungjawab terhadap kerugian yang disebabkan karena perbuatannya sendiri, tetapi juga terhadap kerugian yang ditimbulkan karena perbuatan orang-orang yang ditanggungnya, atau karena barang-barang yang berada dibawah pengawasannya.
Ditentukan antara lain, bahwa orang tua bertanggung jawab terhadap kerugian yang ditimbulkan karena perbuatan-perbuatan anak-anaknya yang belum cukup umur yang diam bersama mereka. Seorang majikan bertanggung jawab terhadap kerugian yang ditimbulkan oleh orang bawahannya dalam melaksanakan pekerjaan-pekerjaan yang ditugaskan kepada mereka. Guru sekolah bertanggung jawab terhadap kerugian yang ditimbulkan karena perbuatan-perbuatan murid selama dalam pengawasannya. Kerugian yang ditimbulkan dapat berupa kerugian harta benda, tetapi dapat pula berupa berkurangnya kesehatan atau tenaga kerja.
Pertanyaan :
Pasal 82 dan 89 UU No. 1/95, demikian pula dalam anggaran dasar, suatu PT menyatakan bahwa direksi mewakili PT baik di dalam maupun di luar pengadilan serta dapat memberi kuasa tertulis kepada karyawan dan orang lain untuk melakukan perbuatan hukum tertentu atas nama PT. Permasalahannya adalah bagi PT yang sudah cukup besar kegiatannya, maka :1. Apabila ada suatu perjanjian yang akan ditandatangani oleh orang yang bukan direksi, apakah orang harus mendapatkan kuasa tertulis lebih dulu dari direksi? 2.  Apakah tidak ada jalan lain selain pemberian kuasa sebagaimana tersebut di atas, misal direksi membuat surat keputusan yang berisi bahwa untuk suatu nilai tertentu penandatanganan perjanjian cukup oleh setingkat kabag atau manajer? Atau 3. Bisakah dengan cara membuat surat kuasa yang berlaku umum bagi pegawainya yang setingkat kabag atau manajer tersebut ?
Jawaban :
Menurut pasal 82 dan 89 UU No. 1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, seharusnya memang seseorang harus mendapat kuasa tertulis lebih dulu dari direksi apabila ia ingin menandatangani suatu perjanjian atas nama PT. Namun dalam hal tertentu yang mendesak dan belum ada kuasa tertulis dari direksi, maka harus diyakini terlebih dahulu bahwa perjanjian yang akan ditandatangani tersebut nantinya akan mendapat pengakuan dari direksi PT yang bersangkutan. Karena apabila direksi PT sebagai pihak yang berwenang untuk bertindak atas nama PT tidak mengakui perjanjian yang ditandatangani oleh karyawan tersebut maka secara otomatis perjanjian tersebut tidak akan mengikat PT yang bersangkutan dan menjadi dapat dibatalkan dengan alasan perjanjian tersebut tidak sah karena tidak pernah ada kata sepakat yang diberikan oleh orang yang dapat bertindak atas nama PT  (ps. 1807 ayat 2 jo 1320 KUHPer).
Sementara bagi kepentingan pihak ketiga sendiri, guna mencegah batalnya perjanjian karena ternyata pihak yang mewakili mitra usahanya tidak berwenang untuk menandatangani perjanjian atas nama PT mitranya maka sebaiknya pihak ketiga tersebut meminta surat kuasa tertulis atau kepastian kepada mitra usahaya yang menjelaskan bahwa yang bersangkutan memang berwenang untuk menandatangani perjanjian atas nama PT. (ps. 1320 KUHPer)
Cara lain dalam pemberian kuasa selain dengan cara diatas, adalah dapat dilakukan dengan membuat semacam surat keputusan sebagai suatu peraturan internal perusahaan. Surat keputusan ini nantinya menjelaskan deskripsi pekerjaan dan memberikan batasan wewenang yang dimilikinya oleh level manajerial tertentu dalam melaksanakan pekerjaannya, misalnya seperti kewenangan-kewenangan untuk menandatangani perjanjian tertentu yang sesuai dengan lingkup pekerjaannya.
Bisa saja dibuat surat kuasa yang berlaku umum bagi pegawainya yang setingkat kabag atau manajer, tapi hal ini sulit untuk dilakukan karena masing-masing jabatan memiliki lingkup kerja sendiri dan secara otomatis maka kewenangan yang diberikan pun akan berbeda.
Pertanyaan :
sahkah surat perjanjian yang tanpa dibubuhi materai yang cukup serta sejauh mana kekuatannya jika terjadi sengketa di pengadilan
Jawaban :
Surat sebagai alat pembuktian tertulis dapat dibedakan dalam Akta dan Surat bukan akta, dan Akta dapat dibedakan dalam Akta Otentik dan Akta Di bawah tangan. Sesuatu surat untuk dapat dikatakan sebagai akta harus ditandatangai, harus dibuat dengan sengaja dan harus untuk dipergunakan oleh orang untuk keperluan siapa surat itu dibuat. Di dalam KHUPerdata ketentuan mengenai akta diatur dalam Pasal 1867 sampai pasal 1880.
Perbedaan pokok antara akta otentik dengan akta di bawah tangan  adalah cara pembuatan atau terjadinya akta tersebut. Apabila akta otentik cara pembuatan atau terjadinya akta tersebut dilakukan oleh dan atau dihadapan pejabat pegawai umum (seperti Notaris, Hakim, Panitera, Juru Sita, Pegawai Pencatat Sipil), maka untuk akta di bawah tangan cara pembuatan atau terjadinya tidak dilakukan oleh dan atau dihadapan pejabat pegawai umum, tetapi cukup oleh pihak yang berkepentingan saja. Contoh dari akta otentik adalah akta notaris, vonis, surat berita acara sidang, proses perbal penyitaan, surat perkawinan, kelahiran, kematian, dsb, sedangkan akta di bawah tangan contohnya adalah surat perjanjian sewa menyewa rumah, surat perjanjian jual beli dsb.
Salah satu fungsi akta yang penting adalah sebagai alat pembuktian. Akta otentik merupakan alat pembuktian yang sempurna bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya serta sekalian orang yang mendapat hak darinya tentang apa yang dimuat dalam akta tersebut. Akta Otentik merupakan bukti yang mengikat yang berarti kebenaran dari hal-hal yang tertulis dalam akta tersebut harus diakui oleh hakim, yatiu akta tersebut dianggap sebagai benar selama kebenarannya itu tidak ada pihak lain yang dapat membuktikan sebaliknya. Menurut Pasal 1857 KHUPerdata, jika akta dibawah tangan tanda tangannya diakui oleh orang terhadap siapa tulisan itu hendak dipakai, maka akta tersebut dapat merupakan alat pembuktian yang sempurna terhadap orang yang menandatangani serta para ahli warisnya dan orang-orang yang mendapatkan hak darinya.
Dalam Undang-undang No.13 tahun 1985 tentang Bea Meterei disebutkan bahwa terhadap surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata maka dikenakan atas dokumen tersebut bea meterei.
Dengan tiadanya materai dalam suatu surat perjanjian (misalnya perjanjian jual beli) tidak berarti perbuatan hukumnya (perjanjian jual beli) tidak sah, melainkan hanya tidak memenuhi persyaratan sebagai alat pembuktian. Sedangkan perbuatan hukumnya sendiri tetap sah karena sah atau tidaknya suatu perjanjian itu bukan ada tidaknya materai, tetapi ditentukan oleh Pasal 1320 KUHPerdata.
Bila suatu surat yang dari semula tidak diberi meterei dan akan dipergunakan sebagai alat bukti di pengadilan maka permeteraian dapat dilakukan belakangan.
Pertanyaan :
Bagaimana kekuatan dan dasar hukum dari sebuah perjanjian sepihak? Dalam hal ini perjanjian sepihak adalah perjanjian yang berkaitan dengan dua buah pihak. Namun yang bertandatangan hanyalah satu pihak didampingi oleh saksi-saksi dan materai.
Jawaban :
Perjanjian hakikatnya adalah perbuatan satu atau lebih pihak untuk mengikatkan diri pada satu atau lebih pihak lain (Psl. 1313 KUPerdata). Karenanya istilah “perjanjian sepihak” bertentangan dengan hakikat perjanjian itu sendiri (lih. Psl 1315 KUHPerdata).
Namun, KUHPerdata memuat pengecualian. Satu pihak bisa saja mengikatkan diri untuk menanggung/menjamin (kepada pihak kedua) bahwa seorang pihak ketiga akan berbuat sesuatu (lih. Psl. 1316 KUHPerdata). Pakar hukum melihat pengecualian ini bersifat limitatif dan hanya dapat digunakan untuk keperluan penanggungan/pejaminan saja. Karenanya ‘perjanjian sepihak’ tidak memiliki kekuatan hukum maupun dasar hukum.
Salah satu syarat sahnya perjanjian adalah kesepakatan antar pihak (lih. Psl 1320 KUHPerdata). Tentunya tanpa adanya kesepakatan, perjanjian menjadi tidak sah.  Namun, perjanjian tidak harus dituangkan secara tertulis; lisan punya dapat dan sah serta mengikat. Namun, pembuktian perjanjian lisan lebih sulit dibandingkan tertulis. Karenanya, walaupun  perjanjian tertulis yang anda masuk tidak sah, namun sebetulnya ada kesepakatan lisan, maka tetap dapat dianggap telah terjadi perjanjian di antara para pihak.
Pertanyaan :
Seperti diketahui, e-commerce itu mencakup B2C dan B2B dan dapat dilakukan melalui IRC, e-mail dan web. Dimensi e-commerce juga mencakup transaksi antar pihak domestik (nasional) maupun antar pihak domestik dan non domestik (internasional). Dalam perjanjian apa pun kita harus memperhatikan BW sebagai pedoman dalam pembentukan perjanjian. Lalu, apakah transaksi e-commerce B2C melalui website telah memenuhi syarat sahnya perjanjian dalam Pasal 1320 BW? Kapankah saat lahir perjanjian dalam transaksi tersebut? Siapa sajakah pihak yang teribat dalam e-commerce selain penjual dan pembeli?
Jawaban :
Setuju dengan pendapat anda, bahwa suatu transaksi harus memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian. Karena prinsip yang dianut oleh Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata) bisa dibilang prinsip universal dari transaksi.
Pemahaman yang berkembang selama ini, syarat perjanjian yang tertera dalam ps. 1320 KUH Perdata hanya bisa berlaku untuk transaksi konvensional. Padahal tidak demikian halnya, perkembangan teknologi adalah satu dari sebuah realitas teknologi. Realitas teknologi hanya berperan untuk membuat hubungan hukum konvensional bisa berlangsung efektif dan efisien.
Gambarannya adalah sebagai berikut, dalam transaksi jual beli tetap saja dikenal proses pembayaran dan penyerahan barang. Apakah dalam e-commerce tidak ada pembayaran dan peneyerahan barang, saya pikir tetap saja ada. Dari situ disimpulkan bahwa, dengan adanya internet atau e-commerce hanyalah membuat jual beli atau hubungan hukum yang terjadi menjadi lebih singkat, mudah, dan sederhana. Secara hukum, tidak ada perubahan konsepsi dalam suatu transaksi yang berlangsung.
Kemudian, kapan suatu perjanjian dalam transaksi e-commerce tersebut berlangsung tentunya sangat berkaitan erat dengan siapa saja suatu transaksi tersebut dilakukan. Dalam transaksi biasa, perjanjian berakhir ketika masing-masing pihak melakukan kewajibannya masing-masing.
Sebenarnya tidak berbeda dengan transaksi yang berlangsung secara on line. Namun memang tidak sesederhana jika dibandingkan dengan transaksi konvensional. Dalam transaksi on line, tanggung jawab (kewajiban) atau perjanjian tadi dibagi kepada beberapa pihak yang terlibat dalam jual beli tersebut. Paling tidak ada tiga pihak yang terlibat dalam transaksi on line baik B2B (business to business) dan B2C (business to cumsomer), antara lain perusahaan penyedia barang (seller), kemudian perusahaan penyediaan jasa pengriman (packaging), dan jasa pembayaran (bank).
Biasanya disetiap bagian pekerjaan (penawaran, pembayaran, pengiriman) masing-masing pihak membagi tanggung jawab sesuai dengan kompetensi masing-masing. Pada proses penawaran dan proses persetujuan jenis barang yang dibeli maka transaksi antara penjual (seller) dengan pembeli (buyer) selesai. Penjual menerima persetujuan jenis barang yang dipilih dan pembeli menerima konfirmasi bahwa pesanan atau pilihan barang telah diketahui oleh penjual.
Bisa dikatakan bahwa transaksi antara penjual dengan pembeli dalam tahapan persetujuan barang telah selesai sebagian sambil menunggu barang tiba atau diantar ke alamat pembeli. Karena biasanya Bank baru akan mengabulkan permohonan dari pembeli setelah penjual menerima konfirmasi dari Bank yang ditunjuk oleh penjual dalam transaksi e-commerce tersebut. Setelah penjual menerima konfirmasi bahwa pembeli telah membayar harga barang yang dipesan, selanjutnya penjual akan melanjutkan  atau mengirimkan konfirmasi kepada perusahaan jasa pengiriman untuk mengirimkan barang yang dipesan ke alamat pembeli. Setelah semua proses terlewati, dimana ada proses penawaran, pembayaran, dan penyerahan barang maka perjanjian tersebut dikatakan selesai seluruhnya atau perjanjian tersebut telah berakhir.  
Pihak yang terkait langsung dalam transaksi paling tidak ada empat pihak yang terlibat, diatas telah disebutkan antara lain; penjual, pembeli, penyedia jasa pembayaran, penyedia jasa pengiriman.
Pertanyaan :
Mohon dapat dijelaskan mengenai unsur-unsur perbuatan melawan hukum dan apakah pembatalan suatu rencana kerja secara sepihak sebelum adanya kontrak kerjasama dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum?
Jawaban :
Suatu perbuatan bersifat melawan hukum apabila perbuatan itu bertentangan dengan hukum pada umumnya. Hukum bukan saja berupa ketentuan-ketentuan undang-undang, tetapi juga aturan-aturan hukum tidak tertulis, termasuk kebiasaan, yang harus ditaati dalam hidup bermasyarakat. Kerugian yang ditimbulkan itu harus disebabkan karena perbuatan yang melawan hukum itu. Dengan kata lain, antara  kerugian dan perbuatan harus ada hubungan sebab akibat yang langsung; kerugian itu disebabkan karena kesalahan pelakunya. Kesalahan dapat berupa kesengajaan maupun kealpaan (kelalaian).
Perbuatan melawan hukum tidak hanya terdiri atas satu perbuatan, tetapi juga dalam tidak berbuat sesuatu. KUHPer menentukan pula bahwa setiap orang tidak saja bertanggungjawab terhadap kerugian yang disebabkan karena perbuatannya sendiri, tetapi juga terhadap kerugian yang ditimbulkan karena perbuatan orang-orang yang ditanggungnya, atau karena barang-barang yang berada dibawah pengawasannya.
Persoalan “rencana kerja” dalam dunia usaha bisa kita lihat dari dua sudut pandang, tergantung pada kebiasaan bisnis/usaha dalam hal mengikat atau tidaknya rencana kerja (rencana untuk melakukan pekerjaan diwaktu akan datang). Jika pembicaraan rencana kerja tersebut dianggap telah menghasilkan kesepakatan sehingga mengikat para pihaknya, maka pemutusan rencana kerja secara sepihak dapat dianggap telah memenuhi unsur-unsur perbuatan melawan hukum. Namun jika tidak, maka akan sulit untuk mengatakan unsur-unsur perbuatan melawan hukum telah ada.
Suatu perbuatan bersifat melawan hukum apabila perbuatan itu bertentangan dengan hukum pada umumnya. Hukum bukan saja berupa ketentuan-ketentuan undang-undang, tetapi juga aturan-aturan hukum tidak tertulis, termasuk kebiasaan, yang harus ditaati dalam hidup bermasyarakat. Kerugian yang ditimbulkan itu harus disebabkan karena perbuatan yang melawan hukum itu. Dengan kata lain, antara  kerugian dan perbuatan harus ada hubungan sebab akibat yang langsung; kerugian itu disebabkan karena kesalahan pelakunya. Kesalahan dapat berupa kesengajaan maupun kealpaan (kelalaian).
Perbuatan melawan hukum tidak hanya terdiri atas satu perbuatan, tetapi juga dalam tidak berbuat sesuatu. KUHPer menentukan pula bahwa setiap orang tidak saja bertanggungjawab terhadap kerugian yang disebabkan karena perbuatannya sendiri, tetapi juga terhadap kerugian yang ditimbulkan karena perbuatan orang-orang yang ditanggungnya, atau karena barang-barang yang berada dibawah pengawasannya.
Persoalan “rencana kerja” dalam dunia usaha bisa kita lihat dari dua sudut pandang, tergantung pada kebiasaan bisnis/usaha dalam hal mengikat atau tidaknya rencana kerja (rencana untuk melakukan pekerjaan diwaktu akan datang). Jika pembicaraan rencana kerja tersebut dianggap telah menghasilkan kesepakatan sehingga mengikat para pihaknya, maka pemutusan rencana kerja secara sepihak dapat dianggap telah memenuhi unsur-unsur perbuatan melawan hukum. Namun jika tidak, maka akan sulit untuk mengatakan unsur-unsur perbuatan melawan hukum telah ada.
Pertanyaan :
saya minta tolong untuk dijelaskan tentang hapusnya perikatan. kemudian apabila ada seorang pelukis yang telah dibayar (baik sebagian ataupun seluruhnya) untuk menyelesaikan suatu lukisan diri tidak dapat menyelesaikan pekerjaannya itu karena ia meninggal dunia, bagaimana perikatan yang terjadi antara pelukis tadi dengan orang yang memberinya pekerjaan? apakah perikatan itu hapus atau masih berlanjut? mengapa? terima kasih.
Jawaban :
Pada asasnya suatu perjanjian hanya mengikat para pihak sendiri yang, baik sendiri maupun melalui kuasanya, menutup perjanjian tersebut. Pihak ketiga dapat memperoleh hak-hak dari perjanjian dimana ia bukan merupakan pihak, asal dipenuhi apa yang dirumuskan dalam pasal 1317 (KUHPerdata).
Ada beberapa jenis perjanjian dimana dalam perjanjiannya  melekat sedemikian eratnya pada sifat-sifat dan kecakapan yang bersifat sangat pribadi (melekat pada diri/persoon salah satu pihak) seperti pada perjanjian kerja (perjanjian perburuhan), maka perjanjian jenis ini berakhir dengan meninggalnya salah satu pihak.
Hal ini berarti, bahwa dalam perjanjian semacam itu perikatan-perikatan yang muncul daripadanya berhenti bekerja, sejak saat matinya salah satu pihak, atau dengan kata lain, perikatan yang lahir dari perjanjian tersebut, tak berpindah kepada pihak lainnya atau kepada ahli warisnya. Tetapi hasil yang sudah keluar dari perjanjian tersebut, memang tetap tidak hapus dan beralih kepada para ahli waris.
Jadi, sejak kematian salah satu pihak, perjanjian tersebut tidak menimbulkan perikatan-perikatan baru lagi dan perikatan yang sudah ada tak mempunyai daya kerja lagi, sedangkan yang sudah dihasilkan oleh perikatan (hasil yang sudah keluar dari perikatan) tersebut tetap.
Tetapi ada jenis perjanjian lainnya yang tidak berakhir dengan kematian salah satu atau kedua belah pihak, seperti perjanjian sewa menyewa.
Pertanyaan :
Apakah kesalahan identitas para pihak dalam suatu perjanjian membatalkan suatu perjanjian? Pasal KUHPerdata mana yang mengaturnya?
Jawaban :
Kesalahan Identitas para pihak dalam suatu perjanjian tidak mutlak menjadikan Perjanjian Itu Batal, asalkan memang klausula dalam perjanjian itu tetap disepakati dan sah menurut hukum. Dalam praktek perjanjian [bisnis], apabila terdapatnya kesalahan identitas maka perjanjian itu bisa diperbaiki, diubah khususnya terhadap Identitas para pihak, tentunya dengan suatu anggapan bahwa para pihak tetap sah dan cakap dalam melakukan tindakan hukum sesuai isi perjanjian.
        Syarat SAH-NYA suatu perjanjian harus memenuhi ketentuan pasal Pasal· 1320 KUHPdt., yang menyatakan bahwa “supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi 4 syarat” yaitu :
Syarat sahnya perjanjian tersebut terdiri dari:
1.      Kesepakatan para pihak dalam perjanjian [agreement]2.      Kecakapan para pihak dalam perjanjian [capacity]
 
Syarat
SUBJEKTIF
3.      Suatu hal tertentu [certainty of terms]4.      Sebab yang halal [considerations]
Syarat
OBJEKTIF

        Perjanjian dianggap sah dan mengikat secara penuh bagi para pihak· yang  membuatnya sejauh tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum yang berlaku, tidak melanggar kesusilaan dan ketertiban umum. Perjanjian dianggap sah dan mengikat secara penuh bagi para pihak yang  membuatnya sejauh tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum yang berlaku.
      Mengenai BATALNYA perjanjian yaitu suatu perjanjian dibuat dengan· TIDAK memenuhi syarat Pasal 1320 KUHPdt., bisa berakibat kepada BATAL-NYA PERJANJIAN

      PEMBATALAN bisa dibedakan ke-dalam 2 terminologi yang memiliki· konsekuensi Yuridis, yaitu:
a.     Null and Void; Dari awal perjanjian itu telah batal, atau dianggap tidak pernah ada, apabila syarat objektif tidak dipenuhi. Perjanjian itu batal demi hukum, dari semula tidak pernah ada dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan.
b.  Voidable; bila salah satu syarat subyektif tidak dipenuhi, perjanjiannya bukannya batal demi hukum, tetapi salah satu puhak dapat memintakan pembatalan itu. Perjanjiannya sendiri tetap mengikat kedua belah pihak, selama tidak dibatalkan (oleh hakim) atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan tadi (pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberikan sepakatnya secara tidak bebas).

Pertanyaan :
Bagaimana kekuatan hukum suatu MOU (Memorandum Of Understending ) Apakah dapat dilakukan penuntutan dimuka pengadilan untuk pihak yang melanggar (Mohon dengan dasar hukumnya) ( terima kasih )
Jawaban :
Memorandum of Understanding (MoU) atau Nota Kesepakatan merupakan dan termasuk suatu perjanjian yang dibuat oleh 2 (dua) pihak yang berkepentingan untuk itu.  Pasal 1338 KUHPerdata menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.  Oleh karenanya suatu MoU yang dibuat antara 2 (dua) belah pihak akan mengikat kedua belah pihak tersebut. Kedua belah pihak tersebut sedemikian rupa harus mematuhi seluruh ketentuan-ketentuan sebagaimana dinyatakan dalam klausula-klausula yang terdapat dalam MoU tersebut.  Hal ini berarti bahwa apabila salah satu pihak yang terikat dalam MoU tersebut melakukan pelanggaran atas MoU, maka pihak yang lainnya dapat melakukan penuntutan di Pengadilan.
Sumber :Hukumonline.com
DEFINISI HUKUM PERDATA
Definisi Hukum Perdata menurut para ahli :
1. Sri Sudewi Masjchoen Sofwan
? Hukum yang mengatur kepentingan warga negara perseorangan yang satu dengan perseorangan yang lainnya.
2. Prof. Soediman Kartohadiprodjo, S.H.
? Hukum yang mengatur kepentingan perseorangan yang satu dengan perseorangan yang lainnya.
3. Sudikno Mertokusumo
? Hukum antar perseorangan yang mengatur hak dan kewajiban perseorangan yang satu terhadap yag lain didalam lapangan berkeluarga dan dalam pergaulan masyarakat.
4. Prof. R. Soebekti, S.H.
? Semua hak yang meliputi hukum privat materiil yang mengatur kepentingan perseorangan.
Definisi secara umum :
? Suatu peraturan hukum yang mengatur orang / badan hukum yang satu dengan orang / badan hukum yang lain didalam masyarakat yang menitikberatkan kepada kepentingan perseorangan.
Unsur yang terpenting dari Hukum Perdata :
1. norma peraturan
2. sanksi
3. mengikat / dapat dipaksakan
AZAS-AZAS HUKUM PERDATA
o Azas Individualitas
o Azas Kebabasan Berkontrak
Azas Monogami ( dalam hukum perkawinan )
Azas Individualitas
? Dapat menikmati dengan sepenuhnya dan menguasai sebebas-bebasnya (hak eigendom) dan dapat melakukan perbuatan hukum, selain itu juga dapat memiliki hasil, memakai, merusak, memelihara, dsb.
Batasan terhadap azas individualitas :
a. Hukum Tata Usaha Negara ( campur tangan pemerintah terhadap hak milik )
b. Pembatasan dengan ketentuan hukum bertetangga
c. Tidak menyalahgunakan hak dan mengganggu kepentingan orang lain
Azas Kebebasan Berkontrak
? Setiap orang berhak mengadakan perjanjian apapun juga, baik yang telah diatur dalam UU maupun yang belum ( pasal 1338 KUHPerdata ) asal perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan UU, ketertiban umum dan kesusilaan.
Azas Monogami
Seorang laki-laki dalam waktu yang sama hanya diperbolehkan memunyai satu orang istri. Namun dalam pasal 3 ayat (2) UU No.1 Tahun 1974 tentang Undang-Undang Pokok Perkawinan (UUPP) membuka peluang untuk berpoligami dengan memenuhi syarat-syarat pada pasal 3 ayat (2), pasal 4 dan pasal 5 pada UUPP.
PERKEMBANGAN KUHPerdata DI INDONESIA
? Hukum Perdata Eropa (Code Civil Des Francais) dikodifikasi tanggal 21 Maret 1804.
? Pada tahun 1807, Code Civil Des Francais diundangkan dengan nama Code Napoleon.
? Tahun 1811 – 1830, Code Napoleon berlaku di Belanda.
? KUHPerdata Indonesia berasal dari Hukum Perdata Belanda, yaitu buku “Burgerlijk Wetboek” (BW) dan dikodifikasi pada tanggal 1 Mei 1848.
? Setelah kemerdekaan, KUHPerdata tetap diberlakukan di Indonesia. Hal ini tercantum dalam pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 yang menyebutkan bahwa segala badan negara dan peraturan yang ada (termasuk KUHPerdata) masih tetap berlaku selama belum ada peraturan yang baru menurut UUD ini.
? Perubahan yang terjadi pada KUHPerdata Indonesia :
o Tahun 1960 : UU No.5/1960 mencabut buku II KUHPerdata sepanjang mengatur tentang bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya kecuali hypotek
o Tahun 1963 : Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edaran tertanggal 5 September 1963, dengan mencabut pasal-pasal tertentu dari BW yaitu : pasal 108, 824 (2), 1238, 1460, 1579, 1603 x (1),(2) dan 1682.
o Tahun 1974 : UU No.1/1974, mencabut ketentuan pasal 108 tentang kedudukan wanita yang menyatakan wanita tidak cakap bertindak.
SISTEMATIKA HUKUM PERDATA
A. Menurut Ilmu Pengetahuan
Buku I : Hukum Perorangan (Personenrecht)
Buku II : Hukum Keluarga (Familierecht)
Buku III : Hukum Harta Kekayaan (Vermogensrecht)
Buku IV : Hukum Waris (Erfrecht)
B. Menurut KUHPerdata
Buku I : Perihal Orang (Van Personen)
Buku II : Perihal Benda (Van Zaken)
Buku III : Perihal Perikatan (Van Verbintennisen)
Buku IV : Perihal Pembuktian dan Kadaluarsa (Van Bewijs en Verjaring)
HUKUM PERORANGAN
Subjek hukum adalah segala sesuatu yang dapat menjadi pendukung hak dan kewajiban.
Subjek hukum terdiri atas :
1. Manusia / Perorangan ( Natuurlijk Persoon )
2. Badan Hukum ( Rechtpersoon )
Status manusia sebagai subjek hukum merupakan kodrat / bawaan dari lahir, sedangkan status badan hukum sebagai subjek hukum ada karena pemberian oleh hukum.
Manusia dan badan hukum sama-sama manyandang hak dan kewajiban. Hal-hal yang membatasi kewenangan hukum manusia adalah tempat tinggal, umur, nama dan perbuatan seseorang.
NAMA, KEWARGANEGARAAN DAN DOMISILI
Kegunaan nama :
- membedakan satu individu dengan individu lainnya
- mengetahui hak dan kewajibannya
- sebagai identifikasi seseorang sebagai subjek hukum
- untuk mengetahui keturunan, asal usul seseorang
- dan hal-hal lain yang berkaitan dengan kekeluargaan dan pembagian harta warisan
Kewarganegaraan dapat mempengaruhi kewenangan berhak seseorang, contoh : dalam pasal 21 (1) UUPA ? hanya WNI yang dapat mempunyai hak milik.
Domisili / tempat tinggal adalah tempat dimana seseorang melakukan kegiatannya sehari-hari.
Macam-macam domisili :
A. tempat kediaman sesungguhnya, terbagi atas :
- tempat kediaman bebas ? bebas memilih tenpa dipengaruhi pihak manapun.
- tempat kediaman tidak bebas ? terikat oleh pihak lain, mis: rumah dinas.
B. tempat kediaman yang dipilih, terbagi atas :
- dipilih atas dasar ketetapan UU ? dalam hukum acara, waktu melakukan eksekusi dari vonis.
- Dipilih secara bebas ? misal dalam waktu melakukan pembayaran, dipilih kantor notaris.
KEWENANGAN BERHAK
? kewenangan untuk mendukung hak dan kewajiban keperdataan.
Kewenangan berhak manusia ada sejak dia dilahirkan hidup ( jika dilahirkan meninggal, tidak ada kewenangan berhak ? pasal 2 BW ) sampai ia meninggal tanpa tergantung pada faktor agama, jenis kelamin, keadaan ekonomi, serta kedudukan dalam masyarakat. Sedangkan kewenangan berhak badan hukum diawali sejak berdiri dan diakhiri dengan dibubarkannya badan hukum tersebut.
Yang membatasi kewenangan berhak manusia :
? Kewarganegaraan
? Tempat tinggal
? Kedudukan / jabatan
? Tingkah laku / perbuatan
? Jenis kelamin, hal tiada ditempat
Kewarganegaraan
Yang membatasi kewenangan berhak WNA di Indonesia:
o Tarif pajak lebih tinggi
o Tidak boleh berpolitik dan berideologi
o Terbatas dalam kegiatan perseroan dan perkumpulan
o Tidak boleh duduk dalam pemerintahan
Tempat tinggal
Contoh: seseorang yang berdomosili di kota Batam tidak dapat menjadi pemilih pada Pemilu walikota Tanjungpinang.
Kedudukan / jabatan
Contoh : hakim dan pejabat hukum tidak boleh memiliki barang-barang dalam perkara yang dilelang atas dasar keputusan pengadilan.
Tingkah Laku / Perbuatan
Contoh : kekuasaan orangtua / wali dapat dicabut oleh pengadilan jika orangtua/wali tersebut pemabuk, suka aniaya anak, dsb.
Jenis Kelamin dan hal tiada ditempat
Antara laki-laki dan wanita terdapat perbedaan hak dan kewajiban. Dikatakan hal tiada ditempat / keadaan tidak hadir apabila tidak ada kabar atau pemberitahuan untuk waktu yang cukup lama (5 tahun berturut-turut). Bisa disebabkan meninggal, tidak tahu asal usul, dsb.
KECAKAPAN BERBUAT
Orang yang cakap (wenang melakukan perbuatan hukum ) menurut UU adalah :
1. orang yang dewasa ( diatas 18 tahun) atau pernah melangsungkan perkawinan
2. tidak dibawah pengampuan, yaitu orang dewasa tapi dalam keadaan dungu, gila, pemboros, dll.
3. tidak dilarang oleh UU, misal orang yang dinyatakan pailit oleh UU dilarang untuk melakukan perbuatan hukum.
Pendewasaan ? meniadakan keadaan belum dewasa kepada seseorang agar dapat melakukan perbuatan hukum.
2 macam pendewasaan :
a. penuh (sempurna), anak dibawah umur memperoleh kedudukan sama dengan orang dewasa dalam semua hal.
b. terbatas, hanya disamakan dalam hal perbuatan hukum, namun tetap berada dibawah unmur.
PENGAMPUAN
keadaan dimana seseorang tidak dapat mengendalikan emosinya, karena sifat-sifat pribadinya sehingga oleh hukum dianggap tidak cakap untuk bertindak sendiri dalam hukum.
Curandus ? orang yang dibawah pengampuan
Curator ? orang yang ditunjuk sebagai wakil dari seorang curandus
Curatele ? lembaga pengampuan
Pengampuan terjadi karena adanya keputusan hakim yang didasarkan pada adanya permohonan, yang dapat diajukan oleh :
? Keluarga sedarah
? Keluarga semenda dalam garis menyimpang sampai derajat keempat
? Suami terhadap istri dan sebaliknya
? Diri sendiri
? Kejaksaan
Akibat pengampuan :
o Orang tersebut kedudukannya sama dengan anak dibawah umur
o Perbuatan hukum yang dilakukan dapat dibatalkan ( dapat dimintakan pembatalannya oleh curator)
o Pengampuan berakhir apabila keputusan hakim tersebut dicabut atau karena meninggalnya curandus
BADAN HUKUM ( RECHTPERSOON)
Dari beberapa pendapat ahli, dapat disimpulkan bahwa badan hukum itu :
• Adalah persekutuan orang-orang
• Dapat melakukan perbuatan hukum
• Mempunyai harta kekayaan sendiri
• Mempunyai pengurus
• Mempunyai hak dan kewajiban
• Dapat menggugat dan digugat di pengadilan
Istilah badan hukum tidak ada dalam KUHPerdata, namun dalam Buku III KUHPerdata, terdapat istilah perkumpulan, yang terbentuk oleh adanya suatu perjanjian khusus. Perkumpulan itu dapat kita artikan dengan badan hukum.
Syarat berdirinya badan hukum :
A. Syarat Formal, yaitu syarat yang harus dipenuhi sehubungan dengan permohonan untuk mendapatkan status hukum
B. Syarat Material :
1. yang diminta oleh UU ( pasal 1653 KUHPerdata )
2. menurut doktrin : adanya kekayaan yang terpisah, tujuan, kepentingan tersendiri dan organisasi yang teratur.
Pembagian badan hukum
Menurut Jenisnya :
a. Badan Hukum Publik (negara, pemda, BI, Perusahaan Negara berdasarkan PP, dsb)
b. Badan Hukum Perdata (PT, koperasi, parpol, yayasan, badan amal, wakaf, dsb)
Menurut Sifatnya :
a. Korporasi (gabungan orang yang mempunyai kewajiban yang berbeda dengan anggota lainnya)
b. Yayasan (tiap kekayaan bukan merupakan kekayaan orang/badan dan diberi tujuan tertentu)
Teori-Teori Badan Hukum
? Teori Fictie ( F.C. von Savigny; da Houwing; C.W. Opzoomer)
? Badan hukum merupakan orang buatan yang dapat melakukan perbuatan hukum seperti manusia.
? Teori Harta Kekayaan (A. Brinz; E.J.J. van der Heyden)
? Hanya manusia yang bisa menjadi subjek hukum, namun ada kekayaan yang terikat dengan tujuan tertentu yang dinamakan badan hukum.
? Teori Milik Bersama (Planiol; Molengraaff)
? Hak dan kewajiban badan hukum adalah hak dan kewajiban para anggota bersama. Badan hukum hanya suatu konstruksi yuridis saja.
? Teori Kenyataan Yuridis (Mejers)
? Badan hukum merupakan suatu realiteit, konkrit, riil walaupun tidak bisa diraba. Mejers menekankan agar dalam mempersamakan badan hukum dengan manusis hanya pada bidang hukum saja.
? Teori Organ (Otto van Gierke; Mr. L.C. Polano)
? Badan hukum bukan abstrak dan bukan kekayaan yang tidak bersubjek, tetapi merupakan sesuatu yang riil yang dapat membentuk kemauan sendiri dengan perantaraan alat-alat yang ada (pengurus & anggota) sama seperti manusia lainnya.
Yang bertindak mewakili badan hukum adalah para pengurusnya yang penunjukkannya berdasarkan AD/ART dan tidak dapat bertindak sewenang-wenang.
CATATAN SIPIL
? suatu lembaga yang dibentuk oleh pemerintah untuk mencatat peristiwa-peristiwa yang menyangkut status keperdataan dan terbuka untuk umum.
Macam-macam akta catatan sipil :
Akta kelahiran ? mencatat peristiwa kelahiran seseorang.
a. Akta Kelahiran Umum, mencatat berdasarkan waktu pelaporan kelahiran dalam batas waktu selambat-lambatnya 60 hari kerja (WNI) dan 10 hari kerja (WNA).
b. Akta Kelahiran Istimewa, mencatat kelahiran bagi laporan yang telah melampaui batas waktu.
c. Akta Kelahiran Dispensasi, mencatat mereka yang lahir sebelum tanggal 31 Desember 1985.
Akta Kematian ? mencatat peristiwa kematian seseorang.
Akta Perkawinan ? mencatat peristiwa perkawinan.
Akta Perceraian ? mencatat peristiwa perceraian.
HUKUM PERKAWINAN
Pengertian perkawinan menurut Undang-Undang Pokok Perkawinan:
? suatu ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membantuk keluarga ( rumah tangga) yang bahagia, kekal berdasarkan Ketuhana Yang Maha Esa.
Syarat dapat melangsungkan perkawinan menurut pasal 6 UUPP:
? Persetujuan kedua belah pihak
? Seseorang yang belum berumur 21 tahun harus mendapat persetujuan dari orangtua, jika orangtua sudah meninggal dapat meminta persetujuan dari wali/keluarga yang mempunyai hubungan darah garis lurus keatas.
Azas-azas Perkawinan
1. Tujuan Perkawinan
? membentuk keluarga / rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Membentuk keluarga : membentuk kesatuan masyarakat terkecil yang terdiri dari suami, istri dan anak.
Membentuk rumah tangga : membentuk kesatuan hubungan suami istri dalam satu wadah yang disebut rumah kediaman bersama.
2. Sahnya perkawinan
? jika dilakukan menurut agama dan kepercayaan masing-masing, dan dicatat dalam catatan sipil.
3. Azas Monogami
? seorang suami / istri hanya diperbolehkan memiliki satu orang istri / suami. Jika dikehendaki dan diizinkan oleh agamanya, maka seseorang suami dapat beristri lebih dari satu setelah memenuhi persyaratan yang diputuskan pengadilan.
4. Prinsip Perkawanan
? kedua belah pihak sudah dewasa dan matang jiwa raganya. Perkawinan dilarang antara mereka yang mempunyai hubungan darah garis lurus keatas dan kebawah.
5. Mempersukar Terjadinya Perceraian
? karena tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, maka UU menganut prinsip ini mempersukar terjadinya perceraian.
6. Hak dan Kedudukan Istri
? hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan suami baik dalam kehidupan rumah maupun masyarakat.
Pencegahan Perkawinan
Pencegahan perkawinan dapat dilakukan apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat.
Syarat dapat melangsungkan perkawinan :
a. pria berumur 19 tahun dan wanita 16 tahun
b. terkena larangan perkawinan pasal 8 UUPP
c. tidak terikat perkawinan dgn orang lain, apabila terikat, harus mendapat izin dari istri pertama dan diizinkan pengadilan untuk kawin lagi
d. tidak memenuhi tata cara pelaksanaan perkawinan yang telah diatur sendiri
Pihak yang berhak mencegah perkawinan :
a. keluarga dalam garis lurus keatas dan kebawah
b. saudara
c. wali
d. wali nikah
e. pengampu dari salah satu calon mempelai
f. pihak-pihak yang berkepentingan
Pembatalan Perkawinan
Pembatalan perkawinan dapat diajukan apabila salah satu pihak masih terikat perkawinan dengan orang lain dan apabila perkawinan tersebut dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum.
Pihak yang dapat membatalkan perkawinan :
a. keluarga dalam garis lurus keatas masing-masing pihak
b. suami atau istri
c. pejabat yang berwenang selama perkawinan belum diputuskan
Akibat Perkawinan
Terhadap suami dan istri, harus:
o Memikul kewajiban hukum, setia, hak dan kedudukan seimbang
o Tinggal bersama
o Suami melindungi keluarga
o Hubungan mengikat / timbal balik
Terhadap harta perkawinan:
o Harta bawaan tetap dibawah penguasaan masing-masing.
o Harta perkawinan adalah benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama, dengan kata lain jika terjadi perceraian, harta perkawinan harus dibagi dua sepanjang tidak ditentukan lain
Terhadap keturunan / kedudukan anak:
o Kekuasaan orangtua mulai sejak kelahiran anak dan berakhir ketika anak dewasa/menikah/dicabut oleh pengadilan.
o Orangtua wajib memelihara dan mendidik anak sekalipun kehilangan kekuasaan sebagai orangtua/wali.
o Anak menjadi ahli waris yang sah.
Putusnya Perkawinan
Putusnya perkawinan dapat disebabkan oleh :
1. Kematian
2. Perceraian
3. Atas keputusan pengadilan
Alasan mengajukan perceraian :
a. setelah adanya perpisahan meja dan ranjang serta pernyataan bubarnya perkawinan
b. alasan lain seperti berbuat zina, meninggalkan pihak lain tanpa alasan, melakukan KDRT, cacat badan / penyakit, tidak bisa menjalankan kewajiban, selalu terjadi pertengkaran dan perselisihan.
Tata cara perceraian diatur dalam pasal 14-18 PP no 9/1975. Perceraian atas keputusan pengadilan terjadi karena adanya gugatan perceraian istri terhadap suami (cerai gugat)
Perceraian diajukan suami ? cerai talaq
Perceraian diajukan istri ? cerai gugat
Proses perceraian
1. Pemanggilan
• dilakukan oleh jurusita PN atau petugas PA
• dipanggil 3 hari sebelum sidang
• Jika tidak jelas maka pemanggilan dilakukan dengan cara pengumuman baik melalui pengadilan, media massa maupun perwakilan RI di Luar Negeri.
2. Persidangan
• 30 hari setelah gugatan diterima
• Dapat hadir sendiri / didampingi kuasa haknya
• Pemeriksaan dengan sidang tertutup
• Gugatan dapat diterima tanpa kehadiran tergugat
3. Perdamaian
• Dilakukan sebelum dan selama gugatan perceraian belum diputuskan hakim
• Perdamaian dapat dilakukan oleh pengadilan dengan/tanpa abntuan pihak lain seperti mediator
• Jika terjadi perdamaian maka gugatan baru tidak dapat diajukan lagi dengan alasan yang sama
4. Putusan
• Disampaikan dalam sidang terbuka
• Perceraian beserta akibatnya berlaku sejak dilakukan pencatatan oleh petugas pencatat ( kecuali bagi Islam) terhitung sejak jatuhnya putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap
Akibat Putusnya Perkawinan
Terhadap anak dan istri:
o Bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan anak atau sesuai dengan keputusan pengadilan
o Mantan suami berkewajiban memberi biaya penghidupan kepada mantan istri
o Hakim dapat menunjuk pihak ketiga bagi anak
Terhadap harta perkawinan:
o Harta bawaan tetap dibawah penguasaan masing-masing
o Harta bersama diatur menurut hukum masing-masing, yaitu dibagi dua untuk suami dan istri
Terhadap status keperdataan dan kebebasan
o Keduanya tidak terikat lagi
o Bebas melakukan perkawinan dengan pihak lain sepanjang tidak bertentangan dengan UU dan agama masing-masing. Bagi wanita untuk melakukan perkawinan lagi ada masa tunggu 3 bulan. Hal ini untuk memastikan apakah mantan istri sedang hamil atau tidak.
Perkawinan campuran
? perkawinan yang dilakukan 2 orang yang berbeda kewarganegaraannya.
Perkawinan campuran berakibat pada kewarganegaraan suami/istri dan keturunannya.
HUKUM BENDA
? keseluruhan aturan hukum yang mengatur mengenai benda, meliputi pengertian, macam-macam benda, dan hak-hak kebendaan.
Hukum Benda bersifat tertutup dan memaksa.
Tertutup ? seseorang tidak boleh mengadakan hak kebendaan jika hak tersebut tidak diatur dalam UU
Memaksa ? harus dipatuhi dan dituruti, tidak boleh menyimpang.
Macam-macam benda / barang
1. Benda berwujud dan tidak berwujud
Arti penting pembagian ini adalah, bagi benda berwujud bergerak dilakukan dengan penyerahan langsung benda tersebut, bagi benda berwujud tidak bergerak dilakukan dengan balik nama. Contoh yang menggunakan balik nama : tanah, rumah dsb. Sedangkan bagi bend a tidak berwujud (seperti piutang) bisa dilakukan dengan cara cessie ataupun dengan cara penyerahan surat secara langsung.
2. Benda bergerak dan tidak bergerak
Arti pentingnya pembagian ini terletak pada penguasaan (bezit), penyerahan (levering), daluarsa (verjaring), serta pembebanan (berzwaring).
Benda Bergerak Benda Tidak bergerak
Penguasaan Orang yang menguasai benda dianggap pemiliknya Orang yang menguasai benda belum tentu adalah pemiliknya
Penyerahan Dilakukan dengan langsung Dilakukan dengan balik nama
Daluarsa Tidak mengenal daluarsa Dikenal daluarsa
Pembebanan Dengan penggadaian Dengan di hypotek, hak tanggungan
3. Benda habis dipakai dan benda tidak habis dipakai
Arti pentingnya pembagian ini terletak pada waktu pembatalan perjanjiannya. Jika dalam perjanjian objeknya adalah benda habis dipakai, apabila terjadi pembatalan perjanjian maka akan terjadi kesulitan untuk pemulihan objek tersebut karena telah terpakai. Maka adri itu, penyelesaiannya adalah dengan cara mengganti dengan benda yang sejenis dan senilai.
4. Benda yang sudah ada dan yang akan ada
Arti pentingnya pembagian ini terletak pada pembebanan sebagai jaminan hutang atau pelaksanaan perjanjian. Sesuai dengan pasal 1320 KUHPerdata, syarat sahnya perjanjian adalah adanya sepakat,cakap hukum, objek tertentu, dan halal. Jika objek yang dalam perjanjian itu adalah barang yang sudah ada, maka perjanjian sah-sah saja. Sebaliknya apabila ibjek yang di-perjanjikan adalah barang yang akan ada, maka perjanjian itu batal demi hukum.
5. Benda dalam perdagangan dan benda di luar perdagangan
Arti pentingnya terletak pada cara pemindahtanganan. Benda dalam perdagangan dapat diperjualbelikan dan diwariskan secara bebas. Tetapi, jika benda di luar perdagangan tidak dapat diperjualbelikan ataupun diwariskan. Contoh benda di luar perdagangan : benda wakaf, narkotika, perdagangan wanita untuk pelacuran, dan lain sebagainya.
6. Benda dapat dibagi dan tidak dapat dibagi
Arti pentingnya pembagian terletak pada pemenuhan prestasi suatu perikatan. Contoh benda dapat dibagi : beras, minyak, air, kertas, dll. Sedangkan contoh benda tidak dapat dibagi : binatang, manusia, mobil, rumah, kapal, dll. Suatu benda dikatakan tidak dapat dibagi karena akan berubah nama dan fungsinya.
7. Benda terdaftar dan benda tidak terdaftar
Pada benda terdaftar, kepemilikan dapat dilacak dengan mudah sedangkan pada benda tidak terdaftar lebih sulit untuk pembuktian kepemilikan. Contoh benda terdaftar : rumah, mobil, kapal, motor, dll. Benda-benda tersebut ada surat kepemilikannya. Sedangkan contoh benda tidak terdaftar : uang, telepon, kursi, dll.
 

HAND OUT
HUKUM PERDATA
Oleh : H.M.Aiz Muhadjirin,SH,MH
Pertemuan IX

Alat Bukti Dokumen Elektronik Dalam Hukum Perdata
Dengan di berlakukannya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik pada tanggal 21 April 2008, maka secara yuridis terciptalah  suatu dasar hukum bagi transaksi-transaksi elektronik  dan informasi yang terjadi di wilayah hukum Indonesia. Setiap kegiatan yang berurusan dengan sistem elektronik harus mendasarkan hubungan tersebut pada ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam Undang-undang ini. Oleh karena UU ITE ini mengatur suatu dimensi baru yang belum pernah di atur sebelumnya maka muncullah beberapa istilah maupun karakteristik baru yang bersesuaian dengan kegiatan di dunia siber.
Salah satu hal yang baru adanya suatu bentuk alat bukti yang baru dan sah secara hukum, yaitu Informasi Elektronik, Dokumen Elektronik atau pun hasil cetak dari Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik (pasal 5 ayat (1) UU ITE). Ketiga macam alat bukti ini benar-benar merupakan hal yang baru dalam dunia hukum mengingat belum adanya peraturan perundang-undangan yang menyatakan dan mengakui alat bukti elektronik sebagai alat bukti yang sah (lih. Pasal 44 UU ITE).
Email merupakan salah satu bentuk dokumen elektronik yang berisi informasi elektronik dari pemilik emailnya. Sebenarnya keberadaan email ini sudah di kenal oleh masyarakat hanya saja dalam hukum pembuktian (terutama alat bukti) belum di akui secara sah. Pengakuan secara yuridis melalui pasal 5 ayat (1) UU ITE terhadap ketiga alat bukti yang baru ini membawa akibat yuridis di akuinya ketiga alat bukti tersebut sebagai bagian dalam alat bukti yang selama ini berlaku.
Pengakuan alat bukti elektronik ini merupakan suatu langkah maju dalam hukum pembuktian. Apabila muncul suatu perkara perdata yang mana mempersengketakan dokumen elektronik, maka dokumen tersebut dapat di gunakan sebagai acuan bagi para pihak untuk menyelesaikan perkara atau hakim yang nantinya memutus perkara.
Melihat hal ini muncullah pertanyaan, termasuk dalam kelompok alat bukti manakah alat bukti elektronik ini dalam hukum perdata? Pemahaman kedudukan alat bukti  eletronik (dokumen elektronik) ini sangat penting mengingat dalam memeriksa perkara perdata, hakim memberikan putusannnya dengan mempertimbangkan alat bukti yang sah dan di akui dalam hukum perdata.

Pentingnya Alat Bukti 
Sampai saat ini belum dapat di temukan suatu definisi yang jelas tentang apa yang di maksud dengan ‘alat bukti yang sah’ itu. Pasal 1866 BW pun dalam rumusannya hanya menyebutkan ‘Alat-alat bukti terdiri atas:…”. Oleh karena itu menurut pendapat penulis yang di maksud dengan rumusan ‘alat bukti yang sah’ itu adalah alat atau benda  yang secara tertulis di sebutkan atau diakui oleh undang-undang sebagai alat bukti yang menunjukkan adanya suatu peristiwa hukum.
Keabsahan dari alat-alat ini jelas sangat bergantung pada pengakuan secara tegas dan jelas dalam salah satu ketentuan hukum undang-undang. Seperti halnya alat-alat bukti berupa tulisan, saksi, persangkaan, pengakuan dan  sumpah  di sebut sebagai alat yang sah secara hukum karena tertulis dalam ketentuan pasal 1866 BW sebagai alat bukti. Begitu pula dengan alat bukti elektronik juga dapat di katakan sebagai alat bukti yang sah secara hukum menurut pasal 5 ayat (1) UU ITE.
Dokumen Elektronik Sebagai Alat Bukti
Permasalahan yang muncul kemudian, dari kelima macam alat bukti yang diakui dalam hukum perdata (pasal 1866 BW) termasuk dalam kelompok manakan dokumen elektronik itu. Apabila di lihat dari kelima  macam alat bukti dalam Pasal 1866 BW itu, agaknya dokumen elektronik hanya bisa di masukkan dalam kategori alat bukti tertulis.
Argumentasi yang dapat di kemukakan, dokumen elektronik ini pada hakekatnya merupakan tulisan yang di tuangkan dalam sebuah surat elektronik. Selanjutnya tujuan dari pembuatan tulisan ini adalah untuk mewujudkan suatu kejadian yang telah terjadi dan menyatakan perbuatan hukum yang harus dilakukan oleh seseorang.
Pitlo, seorang Guru besar hukum Perdata menjelaskan hakekat alat bukti tulisan itu sebagai “pembawa tanda-tanda bacaan yang berarti untuk menterjemahkan suatu pikiran”. Senada dengan pendapat ini, Sudikno Mertokusumo melengkapinya dengan mendefinisikan alat bukti surat ‘segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang di maksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan di pergunakan sebagai pembuktian”.
Terkait dengan hal ini, keberadaan dokumen elektronik pun di maksudkan untuk mengutarakan maksud seseorang atau dua belah pihak dalam bentuk surat elektronik yang di setujui bersama. Oleh karena itu dokumen elektronik ini jelas dapat di kategorikan sebagai alat bukti dalam bentuk tertulis sebagaimana di atur dalam pasal 1866 BW.  Mengenai hal ini pasal 5 ayat (2) UU ITE menyebut dokumen elektronik sebagai perluasan dari alat bukti yang ada dalam hukum perdata.
Alat bukti tertulis dalam hukum perdata memang merupakan alat bukti pertama yang di sebutkan dalam pasal 1866 BW. Ini berarti alat bukti tertulis ini merupakan alat bukti yang paling krusial dalam pembuktian perkara atau sengketa perdata. Pada prakteknya, bentuk alat bukti tertulis (surat) ini sangat beraneka ragam, ada tulisan yang di buat secara asal-asalan (surat biasa), tulisan yang di buat dengan akta khusus (akta).
Akta pun juga dapat di bedakan menjadi akta di bawah tangan dan akta otentik. Lalu bagaimana dengan dokumen elektronik apakah termasuk dalam bentuk surat biasa atau akta. Jika memang akta, termasuk dalam kategori akta di bawah tangan ataukag akta otentik.
Untuk menjawab pertanyaan ini seyogyanya kembali diperhatikan definisi dokumen elektronik sebagaimana di sebutkan pada pasal 1 angka (4) UU ITE, “setiap Informasi Elektronik yang dibuat, di teruskan, dikirimkan, di terima atau di simpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal atau sejenisnya yang dapat dilihat, di tampilkan dan/atau didengar melalui komputer atau sistem elektronik, tidak terbatas pada tulisan, gambar, suara, peta, rancangan, foto, atau sejenisnya, huruf, tanda, angka ,Kode akses, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau arti dapat di pahami oleh orang yang mampu memahaminya.”  
Dari pengertian pasal 1 angka 4 UU ITE ini bentuk dokumen elektronik sangat beraneka ragam sangat bergantung pada maksud penggunaan dari dokumen itu sendiri. Apabila dokumen elektronik itu hanya berupa informasi biasa maka dokumen itu termasuk dalam surat biasa atau akta di bawah tangan karena memang di buat seadanya dan tidak digunakan sebagai alat bukti nantinya. Namun jika ternyata dokumen itu dimaksudkan sebagai dokumen yang otentik, maka dokumen tersebut harus memenuhi beberapa persyaratan.
Persyaratan utama agar dokumen elektronik itu dapat dinyatakan sebagai alat bukti yang sah adalah penggunaan sistem elektronik yang telah mendapatkan sertifikasi elektornik dari pemerintah (pasal 13-16 UU ITE). Persyaratan yan lain, harus membubuhkan tanda tangan elektronik, menuangkannya dalam kontrak elektronik yang baku, dll.
Dengan demikian kedudukan dokumen elektonik sesungguhnya merupakan perluasan dari alat bukti tertulis sebagaimana  di kemukakan dalam pasal 1866 BW. Terhadap kekuatan pembuktian dokumen tertulis dalam hukum pembuktian perkara perdata sangatlah bergantung pada bentuk dan maksud dari dokumen itu di buat, dokumen elektronik dapat di sebut sebagai akta otentik apabila sudah mendapatkan seritifikasi dari pemerintah dan memenuhi persyaratan sebagai sebuah kontrak elektorbik yang sah. Sebaliknya apabila sistem elektronik yang dipakai belum mendapat sertifikasi maka setiap dokumen yang telah di buat tetap dianggap tidak sah.
Pemahaman ini begitu krusial mengingat praktek bisnis akhir-akhir ini mulai menggunakan media internet (teknologi informasi) dalam pembuatan dokumen-dokumen perjanjian. Salah membuat dokumen elektronik akan mengakibatkan kesalahan fatal pada kekuatan pembuktian dokumen elektornik tersebut sebagai alat bukti yang sah.
1. Saksi
Alat bukti saksi diatur dalam Pasal 168-172 HIR, 306-309 RBG. Tidak dalam semua hal dapat didatanglan saksi. Misalnya tentang persatuan harta kekayaan dalam perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan perjanjian kawin ( Pasal 150 BW ), perjanjian asuransi hanya dapat dibuktikan dengan Polish (pasal 258 KUHD). Kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada Hakim di persidangan tentang peristiwa yang disengketakan dengan jalan pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara, yang dipanggil dipersidangan.
Keterangan saksi harus diberikan secara pribadi dan lisan di persidangan dan tidak boleh diwakilkan. Pendapat atau dugaan khusus yang timbul karena akal (ratio concludendi) tidak dianggap sebagai kesaksian (Pasal 171 ayat 2 HIR, 308 ayat 2 RBG, 1907 BW).
Kesaksian bahwa penggugat atau tergugat dalam keadaan sedih, mabuk, dsb tidak boleh diterima sebagai kesaksian, karena hal tersebut hanya merupakan kesimpulan atau dugaan saja. Kesaksian hanya boleh diberikan oleh orang yang mengetahui dengan mata kepala sendiri (ratio sciendi).Dan keterangan saksi yang sumbernya bukan benar-benar dialami sendiri, didengar secara langsung oleh saksi atau dengar dari berita orang lain, tidak dianggap sebagai keterangan saksi (Testimonium de auditu). Akan tetapi, kesaksian de auditu dapat dipergunakan sebagai sumber Persangkaan. Keterangan seorang saksi saja tanpa alat bukti lainnya tidak dianggap sebagai pembuktian yang cukup: seorang saksi bukanlah saksi,
unus testis nullus testis (Ps. 169 HIR, 306 RBG, 1905 BW).
Pasal 145 HIR:
(1). Yang tidak dapat didengar sebagai saksi, adalah :
 a. keluarga sedarah dan keluarga semenda menurut keturunan yang lurus dari salah satu pihak.
 b. Suami atau istri salah satu pihak, meskipun telah bercerai.
 c. Anak-anak yang umurnya tidak diketahu dengan benar bahwa mereka sudah lima belas tahun.
 d. Orang gila, walaupun kadang- kadang ingatannya kembali.
(2) Akan tetapi keluarga sedarah atau keluarga semenda tidak boleh ditolak sebagai saksi karena keadaan itu dalam pekara tentang keadaan menurut hokum sipil daripada orang yagng berperkara atau tentang suatu perjanjian pekerjaan.
(3). Orang yang tersebtut dalam pasal 146 (1) a dan b, tidak berhak minta mengundurkan diri dari memberi kesakasiaan dalam perkara yang tersebut dalam ayat dimuka.
(4.) Pengadilan negeri berkuasa akan mendengarkan diluar sumpah anak-anak atau orang-orang gila yang kadang-kadang terang ingatannya yang dimaksud dalam ayat pertama. Akan tetapi keterangan mereka hanya dipakai sebagai penjelasan saja.
Kewajiban saksi

1.       menghadap pengadilan. Dan apabila 2kali tidak datang, maka tiap ketidakhadirannya dikenakan denda penggantian biaya pemanggilan. Dan akan dipanggil paksa melalui polisi untuk pemanggilan yang ketiga.
2.       bersumpah. Saksi apabila tidak mengundurkan diri sebelum memberi keterangan harus disumpah menurut agamanya (Ps. 147 HIR, 175 RBG, 1911 BW jo pasal 4 S.1920 no. 69) dihadapan kedua belah pihak di pengadilan.
3.       memberi keterangan. Pertanyaan yang akan diajukan harus melalui hakim, jadi hakim dapat menolak pertanyaan yang menurutnya tidak relevant
2. Persangkaan 
Pada dasarnya persangkaan adalah alat bukti yang bersifat tidak langsung. Misalnya, pembuktian ketidakhadiran seseorang pada suatu waktu ditempat tertentu dengan membuktikan kehadirannya pada waktu yang sama ditempat lain. Menurut ilmu pengetahuan persangkaan merupakan bukti yang tidak langsung dan dibedakan :
1.       Persangkaan berdasarkan kenyataan (feitelijke, rechterlijke vermoedens, atau paesumptiones facti). Hakimlah yang menentukan apakah mungkin dan seberapa jauhkah kemungkinannya untuk membuktikan suatu peristiwa tertentu dengan membuktikan peristiwa lain.
2.       Persangkaan berdasarkan hukum (wettelijke atau rechts vermoedens, praesumptiones juris). Undang-undanglah yang menetapkan hubungan antara peristiwa yang diajukan dan harus dibuktikan dengan peristiwa yang tidak diajukan. Persangkaan berdasarkan hokum ini dibagi dua:
§  praesumptiones juris tantum, yaitu persangkaan berdasarkan hukum yang memungkinkan adanya pembuktian lawan.
§  praesumptiones juris et de jure yaitu persangkaan yang berdasarkan hukum yang tidak memungkinkan pembuktian lawan.
Persangkaan diatur dalam pasal HIR Pasal 172, RBG psl 310, dan BW pasal 1915-1922. Menurut pasal 1915 BW persangkaan adalah kesimpulan-kesimpulan yang oleh UU atau hakim ditarik dari suatu peristiwa yang terang nyata kearah peristiwa lain yang belum terang kenyataanya

3. Keterangan Ahli
adalah keterangan pihak ketiga yang objektif dan bertujuan untuk membantu hakim dalam pemeriksaan guna menambah pengetahuan hakim sendiri. Pada umumnya hakim menggunakan keterangan seorang ahli agar memperoleh pengetahuan yang lebih mendalam tentang sesuatu yang hanya dimiliki oleh seorang ahli tertentu, misalnya tentang hal-hal yang bersifat tekhnis, dsb.
 
Keterangan ahli diatur dalam pasal 154 HIR, 181 RBG, 215 RV.
Perbedaan saksi dan saksi ahli / ahli:
§  - kedudukan seorang ahli dapat diganti dengan ahli lain untuk memberi pendapatnya. Sedangkan saksi pada umumnya tidak, karena saksi tidak dapat digantikan dengan orang lain.
- Jika dalam saksi biasa ada asas satu saksi bukan saksi (unus testis nullus testis ) maka tidak demikian dengan saksi ahli
- Seorang ahli pada umumnya mempunyai keahlian tertentu yang berhubungan dengan peristiwa yang disengketakan, sedangkan saksi untuk peristiwa yang bersangkutan tidak diperlukan mempunyai keahlian.
- Seorang saksi memberikan keterangan atas apa yang dialaminya sendiri sebelum terjadi proses, sedang ahli memberikan pendapat atau kesimpulannya tentang suatu peristiwa yang dipersengketakan selama terjadinya
proses.
- Saksi harus memberikan keterangan secara lisan, keterangan saksi yang ditulis merupakan alat bukti
tertulis, sedang keterangan ahli yang ditulis tidak termasuk dalam alat bukti tertulis.
Hakim terikat untuk mendengar saksi yang akan memberikan keterangan tentang peristiwa yang relevant,
sedangkan mengenai ahli, hakim bebas untuk mendengar atau tidak.
HAND OUT
HUKUM PERDATA
Oleh : H.M.Aiz Muhadjirin,SH,MH
Pertemuan X
KADALUARSA
Bagian 1
Kedaluwarsa pada umumnya
1946. Kedaluwarsa ialah suatu sarana hukum untuk memperoleh sesuatu atau suatu alasan untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya waktu tertentu dan dengan terpenuhinya syarat-syarat yang ditentukan dalam undang-undang. (Ov. 47; KUHPerd. 584, 1381, 1963, 1967 dst.; Sv. 401 dst.)
1947. Seseorang tidak boleh melepaskan kedaluwarsa sebelum tiba waktunya, tetapi boleh melepaskan suatu kedaluwarsa yang telah diperolehnya. (AB. 23; KUHPerd. 1063, 1949.)
1948. Pelepasan kedaluwarsa dapat dilakukan secara tegas atau secara diam-diam. Pelepasan secara diam-diam disimpulkan dari suatu perbuatan yang menimbulkan dugaan bahwa seseorang tidak hendak menggunakan suatu hak yang telah diperolehnya. (KUHPerd. 1359, 1382.)
1949. Barangsiapa tidak diperbolehkan memindahtangankan sesuatu, juga tidak boleh melepaskan kedaluwarsa yang diperolehnya. (KUHPerd. 1330, 1448.)
1950. Hakim, karena jabatannya, tidak boleh menggunakan kedaluwarsa. (KUHPerd. 1454, 1520; Rv. 50; Sv. 407; IR. 371; S. 1882-280; S. 1892-159; Decentr. 22.)
1951. Pada setiap tingkat pemeriksaan perkara, dapat diajukan adanya kedaluwarsa, bahkan pada tingkat banding pun. (Rv. 136, 249, 323.)
1952. Kreditur atau orang lain yang berkepentingan dapat melawan pelepasan kedaluwarsa yang dilakukan oleh debitur yang secara curang bermaksud mengurangi hak kreditur atau orang lain tersebut. (KUHPerd. 1341.)
1953. Seseorang tidak dapat menggunakan kedaluwarsa untuk memperoleh hak milik atas barang-barang yang tidak beredar dalam perdagangan. (KUHPerd. 521 dst., 537.)
1954. Pemerintah yang mewakili negara, kepala pemerintahan daerah yang bertindak dalam jabatannya, dan lembaga-lembaga umum, tunduk pada kedaluwarsa sama seperti orang perseorangan, dan dapat menggunakannya dengan cara yang sama.
1955. Untuk memperoleh hak milik atas sesuatu dengan upaya kedaluwarsa, seseorang harus bertindak sebagai pemilik sesuatu itu dengan menguasainya secara terus-menerus dan tidak terputus-putus, secara terbuka di hadapan umum, dan secara tegas. (KUHPerd. 529 dst., 543 dst., 548, 560, 1957, 1959, 1963, 1978.)
1956. Perbuatan memaksa, perbuatan sewenang-wenang atau perbuatan membiarkan begitu saja, tidaklah menimbulkan suatu besit yang dapat membuahkan kedaluwarsa. (KUHPerd. 557, 1323 dst., 1963.)
1957. Seseorang yang sekarang menguasai suatu barang, yang membuktikan bahwa ia menguasainya sejak dulu, dianggap juga telah menguasainya selama selang waktu antara dulu dan sekarang, tanpa mengurangi pembuktian hal yang sebaliknya. (KUHPerd. 534 dst., 560, 566, 1916.)
1958. Untuk memenuhi waktu yang diperlukan untuk kedaluwarsa, dapatlah seseorang menambah waktu selama ia berkuasa dengan waktu selama berkuasanya orang yang lebih dahulu berkuasa, dari siapa ia telah memperoleh barangnya, tak peduli bagaimana ia menggantikan orang itu, baik dengan alas-hak umum maupun dengan alas-hak khusus, baik dengan cuma-cuma maupun atas beban.(KUHPerd. 541, 833, 955, 1314, 1318, 1955, 1960.)
1959. Orang yang menguasai suatu barang untuk orang lain, begitu pula para ahli warisnya, sekali-kali tidak dapat memperoleh sesuatu dengan jalan kedaluwarsa, berapa lama pun waktu yang telah lewat. Demikian pula seorang penyewa, seorang penyimpan, seorang penikmat hasil, dan semua orang lain yang memegang suatu barang berdasarkan suatu persetujuan dengan pemiliknya, tak dapat memperoleh barang itu dengan jalan kedaluwarsa. (KUHPerd. 535, 540, 556, 756 dst., 1548 dst., 1694 dst.)
1960. Mereka yang disebutkan dalam pasal yang lalu dapat memperoleh hak milik dengan jalan kedaluwarsa, jika alas-hak besit mereka telah berganti, baik karena suatu sebab yang berasal dari pihak ketiga, maupun karena pembantahan yang mereka lakukan terhadap hak pemilik. (KUHPerd. 535 dst.; 1955, 1961.)
1961. Mereka yang telah menerima suatu barang, yang diserahkan dengan alas-hak yang dapat memindahkan hak milik oleh penyewa, penyimpan dan orang-orang lain yang menguasai barang itu berdasarkan suatu persetujuan dengan pemiliknya, dapat memperoleh barang tersebut dengan jalan kedaluwarsa. (KUHPerd. 1955, 1963.)
1962. Kedaluwarsa dihitung menurut hari, bukan menurut jam. Kedaluwarsa itu diperoleh bila hari terakhir dari jangka-waktu yang diperlukan telah lewat. (KUHPerd. 1181; KUHD 135 dst.)
Bagian 2
Kedaluwarsa sebagai suatu sarana hukum untuk memperoleh sesuatu
1963. Seseorang yang dengan itikad baik memperoleh suatu barang tak bergerak, suatu bunga, atau suatu piutang lain yang tidak harus dibayar atas tunjuk, dengan suatu besit selama dua puluh tahun, memperoleh hak milik atasnya dengan jalan kedaluwarsa. Seseorang yang dengan itikad baik menguasai sesuatu selama tiga puluh tahun, memperoleh hak milik tanpa dapat dipaksa untuk menunjukkan alas-haknya. (KUHPerd. 506 dst., 511-2?, 531, 548-2?, 550, 584, 610, 613, 695, 699, 1955, 1964 dst., 1977.)
1964. Suatu tanda alas-hak yang batal karena suatu cacat dalam bentuknya, tidak dapat digunakan sebagai dasar suatu kedaluwarsa selama dua puluh tahun. (KUHPerd. 1963.)
1965. Itikad baik harus dianggap selalu ada, dan barangsiapa mengajukan tuntutan atas dasar itikad buruk, wajib membuktikannya. (KUHPerd. 533, 1328, 1916.)
1966. Cukuplah bila pada waktu memperoleh sesuatu itu itikad baik sudah ada. (KUHPerd. 531, 1958, 1963.)
Bagian 3
Kedaluwarsa sebagai suatu alasan untuk dibebaskan dari suatu kewajiban
1967. Semua tuntutan hukum, baik yang bersifat kebendaan maupun yang bersifat perorangan, hapus karena kedaluwarsa dengan lewatnya waktu tiga puluh tahun, sedangkan orang yang menunjuk adanya kedaluwarsa itu, tidak usah menunjukkan suatu alas hak, dan terhadapnya tak dapat diajukan suatu tangkisan yang didasarkan pada itikad buruk. (Ov. 47; KUHPerd. 58, 269, 414, 750, 835, 1039, 1062, 1066, 1068, 1110, 1116, 1381, 1968 dst., 1973, 1993; KUHD 95, 168a, 169, 228a, 229, 229k, 741 dst.; Rv. 102; S. 1832-41.)
1968. (s. d. u. dg. S. 1926-335 jis. 458 dan 565.) Tuntutan para ahli dan pengajar dalam bidang kebudayaan dan ilmu pengetahuan, untuk pelajaran yang mereka berikan dalam tiap-tiap bulan atau waktu yang lebih pendek; tuntutan para pengusaha rumah penginapan dan rumah makan, untuk pemberian penginapan serta makanan; (KUHPerd. 1139-6?; 1147.) tuntutan para buruh yang upahnya harus dibayar dalam bentuk uang tiap-tiap kali setelah lewat waktu yang kurang dari satu triwulan, untuk mendapat pembayaran upah mereka serta jumlah kenaikan upah itu menurut pasal 1602q; semua tuntutan ini kedaluwarsa dengan lewatnya waktu satu tahun. (KUHPerd. 750, 1139-5?, 1147, 1602 1, 1976; KUHD 741.)
1969. (s. d. u. dg. S. 1926-335 jis. 458 dan 565.) Tuntutan para dokter dan ahli obat-obatan, untuk kunjungan dalam memberikan pelayanan kesehatan, perawatan dan pemberian obat-obatan; (KUHPerd. 1149-3?.) tuntutan para juru sita, untuk upah mereka dalam memberitahukan akta-akta dan melaksanakan tugas yang diperintahkan kepada mereka; (Rv. 99.) tuntutan para pengelola sekolah-berasrama, untuk uang makan dan pengajaran bagi muridnya; begitu pula tuntutan pengajar-pengajar lainnya untuk pengajaran yang mereka berikan; (KUHPerd. 1149-6?.) tuntutan pada buruh, kecuali mereka yang dimaksudkan dalam pasal 1968, untuk pembayaran upah mereka serta jumlah kenaikan upah itu menurut pasal 1602q; (KUHPerd. 1149-4?.) semuanya kedaluwarsa dengan lewatnya waktu dua tahun.
1970. Tuntutan para advokat untuk pembayaran jasa mereka dan tuntutan para pengacara untuk pembayaran persekot dan upah mereka, hapus karena kedaluwarsa dengan lewatnya waktu dua tahun, terhitung sejak hari diputusnya perkara, hari tercapainya perdamaian antara pihak-pihak yang berperkara, atau hari dicabutnya kuasa pengacara itu. Dalam hal perkara yang tidak selesai, tak dapatlah mereka menuntut pembayaran persekot dan jasa yang telah ditunggak lebih dari sepuluh tahun. Tuntutan para notaris untuk pembayaran persekot dan upah mereka, kedaluwarsa juga dengan lewatnya waktu dua tahun, terhitung sejak hari dibuatnya akta yang bersangkutan. (KUHPerd. 1974; KUHD 745; Rv. 99.)
1971. (s. d. u. dg. S. 1938-276.) Tuntutan para tukang kayu, tukang batu dan tukang lain untuk pembayaran bahan-bahan yang mereka berikan dan upah-upah mereka; (KUHPerd. 1139-8?, 1147, 1604, 1968.) tuntutan para pengusaha toko untuk pembayaran barang-barang yang telah mereka serahkan, sekadar tuntutan ini mengenai pekerjaan dan penyerahan yang tidak mengenai pekerjaan tetap debitur; (KUHPerd. 1149-5?, 1882.) semua itu kedaluwarsa dengan lewatnya waktu lima tahun. (KUHPerd. 750; 742.)
1972. Kedaluwarsa yang disebutkan dalam keempat pasal yang lalu terjadi, meskipun seseorang terus melakukan penyerahan, memberikan jasa dan menjalankan pekerjaannya. Kedaluwarsa itu hanya berhenti berjalan, bila dibuat suatu pengakuan utang tertulis, atau bila kedaluwarsa dicegah menurut pasal 1979 dan 1980. (KUHPerd. 1973, 1981.)
1973. Namun demikian, orang yang kepadanya diajukan kedaluwarsa yang disebut dalam pasal 1968, 1969, 1970 dan 1971, dapat menuntut supaya mereka yang menggunakan kedaluwarsa itu bersumpah bahwa utang mereka benar-benar telah dibayar. Kepada para janda dan para ahli waris, atau jika mereka yang disebut terakhir ini belum dewasa, kepada para wali mereka, dapat diperintahkan sumpah untuk menerangkan bahwa mereka tidak tahu tentang adanya utang yang demikian. (KUHPerd. 330, 1882, 1930, 1976; KUHD 747.)
1974. Para hakim dan pengacara tidak bertanggung jawab atas penyerahan surat-surat setelah lewat waktu lima tahun sesudah pemutusan perkara. Para juru sita dibebaskan dari pertanggungjawaban tentang hak itu setelah lewat waktu dua tahun, terhitung sejak pelaksanaan kuasa atau pemberitahuan akta-akta yang ditugaskan kepada mereka. (KUHPerd. 1969 dst.)
1975. Bunga atas bunga abadi atau bunga cagak-hidup; (KUHPerd. 1770, 1775.) bunga atas tunjangan tahunan untuk pemeliharaan; (KUHPerd. 321 dst., 1429-3?.) harga sewa rumah dan tanah; (KUHPerd. 1139-2?, 1140 dst.) bunga atas uang pinjaman, dan pada umumnya segala sesuatu yang harus dibayar tiap tahun atau tiap waktu tertentu yang lebih pendek; (KUHPerd. 1250, 1515, 1586, 1765 dst.) semua itu kedaluwarsa setelah lewat waktu lima tahun.
1976. Kedaluwarsa yang diatur pada pasal 1968 dan seterusnya dalam bab ini, berlaku bagi anak-anak yang belum dewasa dan orang-orang yang berada di bawah pengampuan; hal ini tidak mengurangi tuntutan mereka akan ganti-rugi terhadap para wali atau para pengampu mereka, (KUHPerd. 1987; Octr. 539.)
1977. Barangsiapa menguasai barang bergerak yang tidak berupa bunga atau piutang yang tidak harus dibayar atas tunjuk, dianggap sebagai pemiliknya sepenuhnya. (s. d. u. dg. S. 1917-497.) Walaupun demikian, barangsiapa kehilangan atau kecurian suatu barang, dalam jangka waktu tiga tahun, terhitung sejak hari barang itu hilang atau dicuri, dapatlah menuntut supaya barang yang hilang atau dicuri itu dikembalikan pemegangnya, tanpa mengurangi hak orang yang disebut terakhir ini untuk minta ganti rugi kepada orang yang menyerahkan barang itu kepadanya, pula tanpa mengurangi ketentuan pasal 582. (KUHPerd. 471, 509 dst., 511-2?, 550, 555, 574, 613, 1152, 1429-1?, 1470, 1702, 1963; KUHD 3144, 555, 568f, 7493; Rv. 70 dst., 535 dst.; S. 1860-64 jo. S. 1892-155; S. 1948-266 pasal 2.)
Bagian 4
Sebab-sebab yang mencegah kedaluwarsa
1978. Kedaluwarsa dicegah bila pemanfaatan barang itu dirampas selama lebih dari satu tahun dari tangan orang yang menguasainya, baik oleh pemiliknya semula maupun oleh pihak ketiga. (KUHPerd. 545, 558, 565 dst., 1955.)
1979. Kedaluwarsa itu dicegah pula oleh suatu peringatan, suatu gugatan, dan tiap perbuatan berupa tuntutan hukum, masing-masing dengan pemberitahuan dalam bentuk yang telah ditentukan, ditandatangani oleh pejabat yang berwenang dalam hal itu atas nama pihak yang berhak, dan disampaikan kepada orang yang hendak dicegah memperoleh kedaluwarsa itu. (KUHPerd. 1983; Rv. 1, 275; F. 35.)
1980. Gugatan di muka hakim yang tidak berkuasa, juga mencegah kedaluwarsa. (Rv. 130.)
1981. Namun kedaluwarsa tidak dicegah, bila peringatan atau gugatan dicabut atau dinyatakan batal, entah karena penggugat menggugurkan tuntutannya, entah karena tuntutan itu dinyatakan gugur akibat lewatnya waktunya. (Rv. 92 dst., 271 dst., 273 dst.)
1982. Pengakuan akan hak seseorang yang terhadapnya kedaluwarsa berjalan, yang diberikan dengan kata-kata atau dengan perbuatan oleh orang yang menguasainya atau oleh debitur, juga mencegah kedaluwarsa. (KUHPerd. 1390, 1397 dst., 1766, 1892, 1972.)
1983. Pemberitahuan menurut pasal 1979 kepada salah seorang debitur dalam perikatan tanggung-menanggung, atau pengakuan orang tersebut, mencegah kedaluwasa terhadap para debitur lainnya, bahkan pula terhadap para ahli waris mereka. (KUHD 1701, 271 dst.) Pemberitahuan kepada ahli waris salah seorang debitur dalam perikatan tanggung-menanggung, atau pengakuan ahli waris tersebut, tidaklah mencegah kedaluwarsa terhadap para ahli waris debitur lainnya, bahkan juga dalam hal suatu utang hipotek, kecuali untuk bagian ahli waris tersebut. Dengan pemberitahuan atau pengakuan ini kedaluwarsa terhadap para debitur lain itu tidak dicegah lebih lanjut, kecuali untuk bagian ahli waris tersebut. Untuk mencegah kedaluwarsa seluruh utang terhadap para debitur lainnya, perlu ada suatu pemberitahuan kepada semua ahli waris atau suatu pengakuan dari semua ahli waris itu. (KUHPerd. 1280, 1298, 1300-1?, 1301.)
1984. Pemberitahuan yang dilakukan kepada debitur utama pengakuan yang diberikan oleh debitur utama mencegah kedaluwarsa terhadap penanggung utang. (KUHPerd. 1845; KUHD 1701, 229a1.)
1985. Pencegahan kedaluwarsa yang dilakukan oleh salah seorang kreditur dalam suatu perikatan tanggung-menanggung berlaku bagi semua kreditur lainnya. (KUHPerd. 1979.)
Bagian 5
Sebab-sebab yang menangguhkan kedaluwarsa
1986. Kedaluwarsa berlaku terhadap siapa saja, kecuali terhadap mereka yang dikecualikan oleh undang-undang. (KUHPerd. 269, 387, 670, 710, 1954, 1987 dst.)
1987. Kedaluwarsa tidak dapat mulai berlaku atau berlangsung terhadap anak-anak yang belum dewasa dan orang-orang yang ada di bawah pengampuan, kecuali dalam hal-hal yang ditentukan undang-undang. (KUHPerd. 330, 424 dst., 452, 1522, 1976; KUHD 170, 229a; Rv. 274, 336.)
1988. Kedaluwarsa tidak dapat terjadi di antara suami-istri. (KUHD 170, 229a.)
1989. Kedaluwarsa tidak berlaku terhadap seorang istri selama ia berada dalam status perkawinan: 1?. bila tuntutan si istri tidak dapat diteruskan, kecuali setelah ia memilih akan menerima persatuan atau akan melepaskannya. (KUHPerd. 132 dst.) 2?. bila si suami, karena menjual barang milik pribadi si istri tanpa persetujuannya, harus menanggung penjualan itu, dan tuntutan si istri harus ditujukan kepada si suami. (KUHPerd. 105, 1492 dst.; Rv. 70 dst.)
1990. Kedaluwarsa tidak berjalan: terhadap piutang yang bersyarat, selama syarat ini tidak dipenuhi; (KUHPerd. 1261, 1263.) dalam hal suatu perkara untuk menanggung suatu penjualan, selama belum ada putusan untuk menyerahkan barang yang bersangkutan kepada orang lain; (KUHPerd. 1491 dst.; Rv. 70 dst.) terhadap suatu piutang yang baru dapat ditagih pada hari yang telah ditentukan, selama hari itu belum tiba. (KUHPerd. 387, 1268 dst.)
1991. Terhadap seorang ahli waris yang telah menerima suatu warisan dengan hak istimewa untuk membuat pendaftaran harta peninggalan, tidak dapat dikenakan kedaluwarsa mengenai piutang-piutangnya terhadap harta peninggalan. (KUHPerd. 1030, 1032-2?, 1050; Rv. 337, 697.) Kedaluwarsa berlaku terhadap suatu warisan yang tak terurus, meskipun tidak ada pengampu warisan itu. (KUHPerd. 1126 dst., 1986.)
1992. Kedaluwarsa itu berlaku selama ahli waris masih mengadakan perundingan mengenai warisannya. (KUHPerd. 1023 dst.; Rv.-337.)
Ketentuan Penutup
1993. Kedaluwarsa yang sudah mulai berjalan sebelum Kitab Undang-undang Hukum Perdata ini diundangkan, harus diatur menurut undang-undang yang pada saat itu berlaku di Indonesia. (Ov. 54; AB. 2; S. 1829-86, S. 1832-41; S. 1867-110.) Namun kedaluwarsa demikian yang menurut perundang-undangan lama masih membutuhkan waktu selama lebih dari tiga puluh tahun, terhitung sejak Kitab Undang-undang Hukum Perdata ini diundangkan, akan terpenuhi dengan lewatnya waktu tiga puluh tahun itu. (Sv. 408; S. 1850-:3.)
HAND OUT
HUKUM PERDATA
Oleh : H.M.Aiz Muhadjirin,SH,MH
Pertemuan XI
HUKUM DAGANG
Asal-usul KUHD
Berdasarkan pasal II Aturan Peralihan Undang-undang dasar Republik Indonesia 1945, maka KUHD masih berlaku di Indonesia. KUHD Indonesia diumumkan dengan publikasi tanggal 30 April 1847 (S. 1847 – 23), yang mulai berlaku pada tanggal 1 Mei 1848. KUHD Indonesia itu hanya turunan belaka dari “Wetboek van Koophandel”, Belanda, yang dibuat atas dasar konkordansi (pasal 131 I.S.). Wetboek van Koophandel Belanda itu juga meneladan dari “Code du Commerce” Prancis 1808, tetapi anehnya tidak semua lembaga hukum yang diatur dalam “Code du Commerce” Prancis itu diambil alih oleh “Wetboek van Koophandle” Belanda. Ada beberapa hal yang tidak diambil, misalnya mengenai peradilan khusus tentang perselisihan-perselisihan dalam lapangan perniagaan (speciale handscerchtbanken).
Kodifikasi hukum dagang yang pertama
Dahulu sebelum zaman Romawi, di samping Hukum Perdata yang mengatur hubungan-hubungan hukum antar perseorangan yang sekarang termasuk dalam KUHPer, para pedagang membutuhkan peraturan-peraturan mengenai perniagaan. Karena perniagaan makin lama makin berkembang, maka kebutuhan hukum perniagaan atau hukum dagang makin bertambah. Lama kelamaan, hukum dagang yang pada waktu itu masih merupakan hukum kebiasaan, begitu banyak, sehingga dipandang perlu untuk mengadakan kodifikasi. Kodifikasi hukum dagang yang pertama dibuat, atas perintah raja Lodewijk XIV di Prancis, yaitu Ordonnance du Commerce 1673 dan Ordonnance de la Marine 1681.

PENDAHULUAN
Sebelum kita melangkah lebih jauh dan mendalam, kita dituntut untuk mengerti dan memahami Hukum Dagang. Dan penerarapannya dalam kehidupan sehari-hari. Langkah pertama kita dalam membicarakan Hukum Dagang dalam negara diawali dengan mengemukakan definisi dagang itu sendiri. Dengan terlebih dahulu mengemukakan definisinya yang sudah disepakati oleh pakar-pakar ilmu hukum dagang sendiri, kita akan mengetahui berbagai faktor dalam proses kemunculannya.
Di sini kami akan mengemukakan beberapa pendapat dan berbagai pemikiran tentang definisi dagang. Mayoritas masyarakat dalam mendefinisikan dagang cenderung pada segi penjualan. Kecenderungan ini telah tersiar baik di masyarakat sekitar. Akan kami sebutkan beberapa contoh dari kecenderungan tersebut dan kami sedikit mengungkapkan dan membahas juga menjawab asas-asas hukum dagang dalam tulisan ini.
         PERMASALAHAN
Dari uraian di atas dapat disimpulkan beberapa permasalahan, yaitu apakah ada kaitannya dengan masyarakat dan hubungannya atau dalam istilah lain. Apa manfaatnya asas-asas hukum dagang itu bagi masyarakat.
          PEMBAHASAN
Definisi Dagang
Perdagangan atau perniagaan dalam arti umum ialah pekerjaan membeli barang dari suatu tempat atau pada suatu waktu dan menjual barang itu di tempat lain atau pada waktu yang berikut dengan maksud memperoleh keuntungan.
Di zaman yang modern ini perdagangan adalah pemberian perantaraan kepada produsen dan konsumen untuk membelikan menjual barang-barang yang memudahkan dan memajukan pembelian dan penjualan.
Adapun pemberian perantaraan kepada produsen dan konsumen itu meliputi beberapa macam pekerjaan, misalnya :
1.Makelar, komisioner
2.Badan-badan usaha (assosiasi-assosiasi). Contoh : P.T, V.O.F
3.Asuransi
4.Perantara bankir
5.Surat perniagaan untuk melakukan pembayaran, dengan cara memperoleh kredit, dan sebagainya.
Orang membagi jenis perdagangan itu :
1.Menurut pekerjaan yang di lakukan perdagangan
2.Menurut jenis barang yang diperdagangkan
3.Menurut daerah, tempat perdagangan itu dijalankan
Adapun usaha perniagaan itu meliputi :
1.Benda-benda yang dapat di raba, dilihat serta hak-haknya
2.Para pelanggan
3.Rahasia-rahasia perusahaan.
Menurut Mr. M. Polak dan Mr. W.L.P.A Molengraaff, bahwa : Kekayaan dari usaha perniagaan ini tidak terpisah dari kekayaan prive perusahaan.
Dengan demikian sistem atau perusahaan-perusahaan perdagangan yang berlaku pada umumnya tidak mempertahankan memisah-misahkan kekayaan perusahaan dari kekayaan prive perusahaan, berhubung dengan pertanggungan jawab pihak pengusaha terhadap pihak-pihak ketiga. (para kreditor).
Menurut sejarah hukum dagang
Perkembangan dimulai sejak kurang lebih tahun 1500. di Italia dan Perancis selatan lahir kota-kota pesat perdagangan seperti Florence, Vennetia, Marseille, Barcelona, dan lain-lain.
Pada hukum Romawi (corpus loris civilis) dapat memberikan penyelesaian yang ada pada waktu itu, sehingga para pedagang (gilda) memberikan sebuah peraturan sendiri yang bersifat kedaerahan.
Sistematika KUHD
Hukum dagang di Indonesia terutama bersumber pada :
1.Hukum tertulis yang sudah di kodifikasikan
a.KUHD (kitab undang-undang hukum dagang) atau wetboek van koophandel Indonesia (W.K)
b.KUHPer (kitab undang-undang hukum sipil) atau Burgerlijk wetboek Indonesia (B.W)
2.Hukum-hukum tertulis yang belum dikoodifikasikan, yakni :
Perudang-undangan khusus yang mengatur tentang hal-hal yang berhubungan dengan perdagangan.
Hukum dagang di atas terkait dengan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang terbit dari pelajaran, dan dagang pada umumnya.
KUHD di Indonesia kira-kira satu abad yang lalu di bawa dari Belanda ke tanah air kita, dan KUHD ini berlaku di Indonesia pada 1 Mei 1848 yang kitabnya terbagi atas dua, masing-masing kitab di bagi menjadi beberapa bab tentang hukum dagang itu sendiri. Dan terbagi dalam bagian-bagian, dan masing-masing bagian itu di bagi dalam bagian-bagian dan masing menjadi pasal-pasal atau ayat-ayat.
Pada bagian KUHPer itu mengatur tentang hukum dagang. Hal-hal yang diatur dalam KUHPer adalah mengenai perikatan umumnya seperti :
1.ersetujuan jual beli (contract of sale)
2.Persetujuan sewa-menyewa (contract of hire)
3.Persetujuan pinjaman uang (contract of loun)
Hukum dagang selain di atur KUHD dan KUHPer juga terdapat berbagai peraturan-peraturan khusus (yang belum di koodifikasikan) seperti :
1.Peraturan tentang koperasi
2.Peraturan pailisemen
3.Undang-undang oktroi
4.Peraturan lalu lintas
5.Peraturan maskapai andil Indonesia
6.Peraturan tentang perusahaan negara

Hubungan Hukum Perdata dan KUHD
Hukum dagang merupakan keseluruhan dari aturan-aturan hukum yang mengatur dengan disertai sanksi perbuatan-perbuatan manusia di dalam usaha mereka untuk menjalankan usaha atau perdagangan.
Menurut Prof. Subekti, S.H berpendapat bahwa :
Terdapatnya KUHD dan KUHPer sekarang tidak dianggap pada tempatnya, oleh karena “Hukum Dagang” tidak lain adalah “hukum perdata” itu sendiri melainkan pengertian perekonomian.
Hukum dagang dan hukum perdata bersifat asasi terbukti di dalam :
1. Pasal 1 KUHD
2.Perjanjian jual beli
3.Asuransi yang diterapkan dalam KUHD dagang
Dalam hubungan hukum dagang dan hukum perdata dibandingkan pada sistem hukum yang bersangkutan pada negara itu sendiri. Hal ini berarti bahwa yang di atur dalam KUHD sepanjang tidak terdapat peraturan-peraturan khusus yang berlainan, juga berlaku peraturan-peraturan dalam KUHPer, bahwa kedudukan KUHD terdapat KUHPer adalah sebagai hukum khusus terhadap hukum umum.
Perantara dalam Hukum Dagang
Pada zaman modern ini perdagangan dapat diartikan sebagai pemberian perantaraan dari produsen kepada konsumen dalam hal pembelian dan penjualan.
Pemberian perantaraan produsen kepada konsumen dapat meliputi aneka macam pekerjaan seperti misalnya :
1. Perkerjaan perantaraan sebagai makelar, komisioner, perdagangan dan sebagainya.
2. Pengangkutan untuk kepentingan lalu lintas baik di darat, laut dan udara
3. Pertanggungan (asuransi) yang berhubungan dengan pengangkutan, supaya pedagang dapat menutup resiko pengangkutan dengan asuransi.
Pengangkutan
Pengangkutan adalah perjanjian di mana satu pihak menyanggupi untuk dengan aman membawa orang/barang dari satu tempat ke lain tempat, sedang pihak lainnya menyanggupi akan membayar ongkos. Menurut undang-undang, seorang pengangkut hanya menyanggupi untuk melaksanakan pengakutan saja, tidak perlu ia sendiri yang mengusahakan alat pengangkutan.
Di dalam hukum dagang di samping conossement masih di kenal surat-surat berharga yang lain, misalnya, cheque, wesel yang sama-sama merupakan perintah membayar dan keduanya memiliki perbedaan.
Cheque sebagai alat pembayaran, sedangkan wesel di samping sebagai alat pembayaran keduanya memiliki fungsi lain yaitu sebagai barang dagangan, suatu alat penagihan, ataupun sebagai pemberian kredit.
Asuransi
Asuransi adalah suatu perjanjian yang dengan sengaja digantungkan pada suatu kejadian yang belum tentu, kejadian mana akan menentukan untung ruginya salah satu pihak. Asuransi merupakan perjanjian di mana seorang penanggung, dengan menerima suatu premi menyanggupi kepada yang tertanggung, untuk memberikan penggantian dari suatu kerugian atau kehilangan keuntungan yang mungkin di derita oleh orang yang ditanggung sebagai akibat dari suatu kejadian yang tidak tentu
Sumber-sumber Hukum
Sumber-sumber hukum meliputi yang terdapat pada :
1. Kitab undang-undang hukum perdata
2.Kitab undang-undang hukum dagang, kebiasaan, yurisprudensi dan peraturan-peraturan tertulis lainnya antara lain undang-undang tentang bentuk-bentuk usaha negara (No.9 tahun 1969)
3. Undang-undang oktroi
4.Undang-undang tentang merek
5. Undang-undang tentang kadin
6. undang-undang tentang perindustrian, koperasi, pailisemen dan lain-lain.
Persetujuan Dagang
Dalam hukum dagang di kenal beberapa macam persekutuan dagang, antara lain :
1.Firma
2.Perseroan komanditer
3.Perseroan terbatas
4.Koperasi
DAFTAR PUSTAKA
Siti Soetami, SH., Pengantar Tatat Hukum Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2001.
Kansil, SH., Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1989.
Krass, Peter (ed), The Book of Business Wisdom, John Wiley & Sons, New York, 1998.

Komentar

Postingan Populer