DASAR HUKUM PEMBUKTIAN
DASAR HUKUM PEMBUKTIAN
A. Latar
Belakang Masalah
Hukum pembuktian merupakan salah satu bagian dari beberapa materi yang ada pada hukum acara. Dalam hal ini, terdapat berbagai macam pula hukum acara yang dianut oleh negara kita. Di antaranya adalah Hukum Acara Perdata, Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara Tata Usaha Negara. Dengan adanya beberapa jenis hukum acara yang berbeda-beda tersebut tentu hukum pembuktian mempunyai spesifikasi dan karektiristik tersendiri dalam bidang hukum masing-masing. Mulai dari dasar hukum pembuktian, sistem dan teorinya, kepada siapa beban pembuktian diberikan dan bagaimana hakim pada masing-masing bidang hukum tersebut menilai alat-alat bukti yang diajukan.
Manakala hukum pembuktian dihubungkan dengan hukum perdata, para pakar hukum memandangnya sebagai suatu hal yang perlu adanya penelusuran lebih lanjut. Karena hukum pembuktian justru lebih banyak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata daripada dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acaranya. Dari sini muncul beberapa interpretasi mereka seputar kemungkinan-kemungkinan yang dapat dijadikan alasan atas perumusan hukum pembuktian yang banyak diatur dalam KUHPer, bukan dalam KUHAPer. Inilah sebagaian dari beberapa hal yang melatar belakangi penulisan makalah ini.
B. Rumusan Masalah
Terdapat beberapa rumusan masalah yang disampaikan dalam makalah ini, diantaranya :
A. Apakah yang menjadi dasar hukum pembuktian dalam hukum acara perdata, pidana maupun Tata Usaha Negara ?
B. Teori apa saja yang digunakan untuk hukum pembuktian dalam masing-masing bidang/wilayah hukum tersebut ?
C. Siapa saja yang dibebani oleh hukum untuk memenuhi pembuktian pada bidang hukum itu ?
D. Bagaimana seorang hakim dapat menilai alat-alat bukti yang diajukan kepadanya ?
C. Tujuan Penulisan
Dari rumusan masalah yang telah dipaparkan di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
A. Mengetahui apakah yang menjadi dasar hukum pembuktian dalam hukum acara perdata, pidana maupun Tata Usaha Negara.
B. Menganalisis semua teori yang diterapkan dalam hukum pembuktian di bidang hukum masing-masing.
C. Mengetahui siapa saja pihak yang dibebani oleh hukum untuk memenuhi pembuktian pada bidang hukum tersebut.
D. Menelusuri pertimbangan apa saja yang dilakukan oleh hakim dalam menilai alat-alat bukti yang diajukan kepadanya.
Hukum pembuktian merupakan salah satu bagian dari beberapa materi yang ada pada hukum acara. Dalam hal ini, terdapat berbagai macam pula hukum acara yang dianut oleh negara kita. Di antaranya adalah Hukum Acara Perdata, Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara Tata Usaha Negara. Dengan adanya beberapa jenis hukum acara yang berbeda-beda tersebut tentu hukum pembuktian mempunyai spesifikasi dan karektiristik tersendiri dalam bidang hukum masing-masing. Mulai dari dasar hukum pembuktian, sistem dan teorinya, kepada siapa beban pembuktian diberikan dan bagaimana hakim pada masing-masing bidang hukum tersebut menilai alat-alat bukti yang diajukan.
Manakala hukum pembuktian dihubungkan dengan hukum perdata, para pakar hukum memandangnya sebagai suatu hal yang perlu adanya penelusuran lebih lanjut. Karena hukum pembuktian justru lebih banyak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata daripada dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acaranya. Dari sini muncul beberapa interpretasi mereka seputar kemungkinan-kemungkinan yang dapat dijadikan alasan atas perumusan hukum pembuktian yang banyak diatur dalam KUHPer, bukan dalam KUHAPer. Inilah sebagaian dari beberapa hal yang melatar belakangi penulisan makalah ini.
B. Rumusan Masalah
Terdapat beberapa rumusan masalah yang disampaikan dalam makalah ini, diantaranya :
A. Apakah yang menjadi dasar hukum pembuktian dalam hukum acara perdata, pidana maupun Tata Usaha Negara ?
B. Teori apa saja yang digunakan untuk hukum pembuktian dalam masing-masing bidang/wilayah hukum tersebut ?
C. Siapa saja yang dibebani oleh hukum untuk memenuhi pembuktian pada bidang hukum itu ?
D. Bagaimana seorang hakim dapat menilai alat-alat bukti yang diajukan kepadanya ?
C. Tujuan Penulisan
Dari rumusan masalah yang telah dipaparkan di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
A. Mengetahui apakah yang menjadi dasar hukum pembuktian dalam hukum acara perdata, pidana maupun Tata Usaha Negara.
B. Menganalisis semua teori yang diterapkan dalam hukum pembuktian di bidang hukum masing-masing.
C. Mengetahui siapa saja pihak yang dibebani oleh hukum untuk memenuhi pembuktian pada bidang hukum tersebut.
D. Menelusuri pertimbangan apa saja yang dilakukan oleh hakim dalam menilai alat-alat bukti yang diajukan kepadanya.
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A. Dasar Hukum Pembuktian
1. Hukum Acara Perdata
Pada dasarnya, aturan tentang pembuktian dalam masalah perdata diatur lebih terperinci dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW), bukan dalam Hukum Acaranya. Mengapa hal ini bisa terjadi, para pakar hukum masih memperdebatkan masalah tersebut. Sebenarnya pembuktian merupakan bagian dari hukum acara perdata. Diaturnya pembuktian dalam KUHPer karena masih adanya kerancuan dari makna hukum formil dan hukum materiel.
Di satu sisi hukum materiel diartikan sebagai hukum dalam suasana damai dan hukum formil adalah hukum dalam suasana pertentangan. Dalam hal ini pembuktian termasuk dalam hukum formil. Di sisi lain hukum materiel diartikan sebagai suatu aturan yang berkaitan dengan isi, sedangkan hukum formil adalah suatu aturan yang berkaitan dengan bentuk luar. Dalam pengertian yang kedua ini pembuktian termasuk dalam hukum materiel karena merupakan bagian dari hukum gugatan. Inilah yang menjadikan adanya unsur tarik ulur dalam menempatkan pembuktian pada Hukum Perdata atau Hukum Acaranya .
2. Hukum Acara Pidana
Yang dimaksud dengan “membuktikan” adalah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan-persengketaan. Dengan demikian nampaklah bahwa pebuktian itu hanyalah diperlukan dalam persengketaan atau “perkara” dimuka hakim atau pengadilan. Memang, pembuktian itu hanya diperlukan, apabila timbul suatu perselisihan.
Dasar hukum tentang pembuktian dalam hukum acara pidana mengacu pada pasal 183-189 KUHAP (Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana). Menurut pasal 183 KUHAP menyatakan bahwa “hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”
Ketentuan ini adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran, kadilan dan kepastian hukum bagi seseorang. Selain itu alat bukti harus dapat menyakinkan hakim (notoir feit) “negatief wettelijk bewijs theorie”. Menurut Narendra Jatna, SH., bahwa dalam persidangan satu bukti sudah cukup dengan catatan bahwa bukti tersebut dapat menyakinkan hakim dalam mengambil keputusan. Dalam pasal tersebut dijelaskan sekurang-kurangnya dua bukti. Hal ini dikarenakan KUHAP menggunakan asas konkordasi dengan hukum “KUHAP” Belanda.
Dalam KUHAP Belanda pasal 342 mejelaskan asas “unus testis nullus testis”, namun asas ini sudah berkurang petingnya, karena Mahkamah Agung Belanda beranggapan bahwa pembuktian mengenai semua tuduhan terhadap tertuduh tidak boleh didasarkan pada pernyataan seorang saksi, namun pernyataan oleh seorang saksi cukup sebagai bukti bagi masing-masing unsur secara terpisah.
Alat bukti yang dimaksud di sini adalah sesuai dengan pasal 184 KUHAP ayat 1, yaitu:
a. Keterangan Saksi;
b. Keterangan Ahli;
c. Surat;
d. Petunjuk;
e. Keterangan Terdakwa atau Pengakuan Terdakwa.
Barang bukti adalah benda bergerak atau tidak berwujud yang dikuasai oleh penyidik sebagai hasil dari serangkaian tindakan penyidik dalam melakukan penyitaan dan atau penggeledahan dan atau pemeriksaan surat untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan, dan peradilan.
Secara material, barang bukti yang ada bermanfaat bagi hakim untuk memperkuat keyakinan hakim dalam proses persidangan. Bahkan sering kali hakim dapat membebaskan seorang terdakwa berdasarkan barang bukti yang ada dalam proses persidangan (setelah melewati proses yang arif, bijaksana, teliti, cermat dan saksama). Jika dicermati, pembuktian dalam proses perkara pidana tidak mudah. Oleh karena itu, jika terjadi kasus pidana dalam pelaksanaan PPK, sebaiknya terlebih dahulu dimanfaatkan berbagai alternatif penanganan yang mudah, murah dan praktis untuk lebih mempercepat penyelesaian masalah. Proses hukum dapat dipilih sebagai alternatif terakhir apabila ditemui jalan buntu dalam penyelesaian masalah PPK.
Menurut pasal 180 KUHAP, keterangan seorang ahli dapat saja ditolak untuk menjernihkan duduk persoalan. Baik oleh hakim ketua sidang maupun terdakwa/penasehat hukum. Terhadap kondisi ini, hakim dapat memerintahkan melakukan penelitian ulang oleh instansi semula dengan komposisi personil yang berbeda, serta instansi lain yang memiliki kewenangan. Kekuatan keterangan ahli ini bersifat bebas dan tidak mengikat hakim untuk menggunakannya apabila bertentangan dengan keyakinan hakim. Dalam hal ini, hakim masih membutuhkan alat bukti lain untuk mendapatkan kebenaran yang sesungguhnya.
Menurut pasal 188 KUHAP, Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang diduga memiliki kaitan, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, yang menandakan telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Petunjuk hanya dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa. Oleh karena itu, petunjuk juga merupakan alat bukti tidak langsung. Penilaian terhadap kekuatan pembuktian sebuah petunjuk dari keadaan tertentu, dapat dilakukan oleh hakim secara arif dan bijaksana, setelah melewati pemeriksaan yang cermat dan seksamaberdasarkan hati nuraninya.
Menurut pasal 194 KUHAP, yang dimaksud keterangan terdakwa itu adalah apa yang telah dinyatakan terdakwa di muka sidang, tentang perbuatan yang dilakukannya atau yang diketahui dan alami sendiri. Pengertian keterangan terdakwa memiliki aspek yang lebih luas dari pengakuan, karena tidak selalu berisi pengakuan dari terdakwa. Keterangan terdakwa bersifat bebas (tidak dalam tekanan) dan ia memiliki hak untuk tidak menjawab. Kekuatan alat bukti keterangan terdakwa, tergantung pada alat bukti lainnya (keterangan terdakwa saja tidak cukup) dan hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri.
B. Teori Pembuktian
Sebagaimana telah diketahui bahwa yang dimaksud dengan pembuktian adalah suatu proses tentang bagaimana alat-alat bukti itu dipergunakan, diajukan atau dipertahankan sesuai dengan hukum acara yang berlaku. Oleh karena alat-alat bukti dalam masing-masing hukum acara berlainan, maka pembuktian yang diterapkannya juga berbeda. Dalam hal ini yang dituju oleh Acara Perdata adalah kebenaran formil, dalam pengertian bahwa seorang hakim tidak boleh melampaui batas-batas yang diajukan oleh yang berperkara. Sedangkan yang dituju dalam Acara Pidana adalah kebenaran materiel, sebagaimana Acara Tata Usaha Negara, yaitu yang sesuai dengan fakta yang terungkap . Oleh karena itu, masing-masing hukum acara tersebut mempunyai teori tersendiri dalam menerapkan pembuktian. Berikut akan penulis paparkan teori yang diterapkan pada hukum acara tersebut.
1. Hukum Acara Perdata
Menurut Prof. Mr. A. Pitlo dalam bukunya yang dialihbahasakan oleh M. Isa Arief, SH. Dengan judul “Pembuktian dan Daluwarsa”, tiga teori yang diterapkan dalam acara perdata untuk memberikan pembebanan terhadap pembuktian adalah :
a. Teori Hak (Teori Hukum Subjektif)
Dalam teori ini, pihak yang mengemukakan hak (pihak yang menuntut) harus membuktikan segala apa yang diperlukan untuk membuktikan haknya. Sedangkan pihak lawan juga harus membuktikan adanya kekeliruan yang dituntutkan oleh pihak penuntut, seperti adanya fakta khusus yang menghapuskan hak yang dimiliki oleh penuntut dengan sudah dibayarnya hak tersebut oleh pihak tertuntut misalnya.
b. Teori Hukum (Teori Hukum Objektif)
Teori ini lebih mengedepankan pada apa yang diatur dalam Undang-undang. Sehingga tugas hakim adalah mengoreksi apakah yang disampaikan oleh penuntut telah memenuhi Undang-undang atau belum yang pada akhirnya memberikan putusan untuk menerima atau menolaknya.
c. Teori Hukum Acara dan Teori Kepatutan
Teori ini mengatur tentang bagaimana seharusnya hakim bertindak adil dalam memberikan hak berperkara dalam sidang kepada kedua belah pihak dan tidak diperbolehkan baginya untuk memihak kepada salah satu pihak. Seperti halnya tidak boleh bagi hakim memberikan beban pembuktian kepada salah satu pihak yang tidak berpadanan beratnya dengan pihak lawan.
2. Hukum Acara Pidana
a. Teori Pembuktian Negatif (Negatief Wettelijke Systeem)
Sebagaimana dituangkan dalam pasal 183 KUHAP, bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah seorang hakim memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya. Dari keterangan tersebut dapat diketahui bahwa keyakinan seorang hakim lebih diprioritaskan daripada keberadaan alat-alat bukti yang sah. Namun, seorang hakim tidak boleh memutuskan suatu perkara tanpa ada unsur alat bukti yang sah.
b. Teori Pembuktian Positif (Positief Wettelijke Systeem)
Teori ini merupakan kebalikan dari teori pembuktian negatif. Karena teori ini mewajibkan hakim untuk memutuskan perkara dengan menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan hanya berdasarkan pada banyaknya jenis dan jumlah alat-alat bukti yang sah. Berbeda dengan teori sebelumnya yang memberikan kesempatan kepada hakim untuk tidak menjatuhkan pidana terhadap terdakwa apabila dari alat-alat bukti tersebut ia tidak memperoleh keyakinan untuk memutuskannya .
c. Teori Pembuktian Conviction Intim
Tidak jauh beda dengan teori pembuktian negatif, teori ini menitik beratkan pada hati nurani hakim. Akan tetapi dalam teori ini dimungkinkan adanya pemidanaan terhadap terdakwa tanpa ada alat-alat bukti yang sah sesuai Undang-undang. Penganut teori ini adalah Peradilan Jury di Perancis.
d. Teori Pembuktian La Conviction Raisonee
Hampir sama juga dengan teori pembuktian negatif adalah teori La Conviction Raisonee. Keyakinan hakim menjadi unsur utama dalam putusan pemidanaan terhadap terdakwa disamping ada unsur penunjang yang berupa dasar-dasar pembuktian yang disertai suatu kesimpulan. Sehingga putusan hakim dijatuhkan dengan suatu motivasi .
3. Hukum Acara Tata Usaha Negara
Tanpa bergantung pada fakta dan hal yang diajukan para pihak, seorang hakim dalam Peradilan Tata Usaha Negara mempunyai kekuasaan penuh dalam menentukan hal-hal berikut :
a. Apa yang harus dibuktikan.
b. Siapa yang harus dibebani pembuktian
c. Alat bukti mana saja yang harus diutamakan
Pada dasarnya teori ini hampir sama dengan teori pembuktian negatif yang diterapkan dalam Acara Pidana. Perbedaannya adalah bahwa jika dalam Acara Pidana hakim mendapatkan keyakinan dari minimal dua alat bukti yang diajukan. Sedangkan dalam Tata Usaha Negara hakimlah yang menentukan apa yang harus dibuktikan berdasarkan keyakinannya sendiri.
C. Pihak yang Dibebani Pembuktian
D. Penilaian Alat Bukti
Sekalipun untuk suatu peristiwa yang disengketakan itu telah diajukan pembuktian, namun pembuktian itu masih harus dinilai. Yang berwenang menilai dan menyatakan terbukti tidaknya peristiwa ialah hakim yang memeriksa duduk perkara (judex facti), yaitu hakim tingkat pertama dan tingkat banding. Mahkamah Agung tidak dapat mempertimbangkan dalam tingkat kasasi.
Dalam hal ini pembentuk undang-undang dapat mengikat hakim pada alat-alat bukti tertentu, sehingga ia tidak bebas menilainya. Sebaliknya undang-undang dapat menyerahkan dan memberi kebebasan kepada hakim dalam menilai pembuktian. Terhadap akta yang merupakan alat bukti tertulis misalnya, hakim terikat dalam penilaiannya (ps. 165 HIR, 285 Rbg, 1870 BW). Sebaliknya hakim tidak wajib mempercayai seorang saksi, yang berarti bahwa ia bebas menilai kesaksian (ps. 172 HIR, 309 Rbg, 1908 BW).
Pada umumnya, sepanjang undang-undang tidak mengatur sebaliknya, hakim bebas untuk menilai pembuktian. Jadi yang berwenang menilai pembuktian, yang tidak lain merupakan penilaian suatu kenyataan, adalah hakim, dan hanyalah judex facti saja, sehingga Mahkamah Agung tidak dapat mempertimbangkan dalam pemeriksaan tingkat kasasi.
Di dalam buku “Sistem Pembuktian dalam Peradilan Indonesia” karya Bambang Waluyo diterangkan bahwa pada dasarnya terdapat beberapa pendapat para ahli tentang teori penilaian pembuktian dalam Acara Perdata. Salah satu pendapat yang sering dimunculkan adalah pendapat Prof. Sudikno Mertokusumo yang mengemukakan tiga teori berikut :
a. Teori Pembuktian Bebas
Di dalam teori ini tidak dikehendaki adanya ketentuan-ketentuan yang mengikat hakim, sehingga penilaian pembuktian diserahkan penuh kepadanya. Dan di tangannyalah putusan peradilan berada.
b. Teori Pembuktian Negatif
Teori ini mengharuskan adanya ketentuan-ketentuan yang mengikat yang bersifat negatif, yaitu harus mempunyai batasan yang berupa larangan kepada hakim untuk melakukan sesuatu yang berhubungan dengan pembuktian.
c. Teori Pembuktian Positif
Kebalikan dari teori Pembuktian Negatif, dalam teori ini hakim diwajibkan untuk melakukan sesuatu yang berhubungan dengan pembuktian. Seperti misalnya adanya suatu akta autentik yang diduga palsu, hakim berhak melakukan penilaian terhadap pembuktian tersebut . Berbeda dengan teori pembuktian negatif yang melarang hakim melakukan penilaian terhadap pembuktian yang semisal keterangan seorang saksi. Dalam hal ini, jika ada keterangan dari seorang saksi saja, maka langkah yang harus diambil adalah menolak gugatan. Kecuali jika dikuatkan dengan alat bukti lain, minimal satu alat bukti lagi.
Pendapat umum menghendaki teori pembuktian yang lebih bebas. Hasrat akan adanya kebebasan dalam hukum pembuktian ini dimaksudkan untuk memberi kelonggaran wewenang kepada hakim dalam mencari kebenaran.
a. Faktor Nilai Pembuktian dari Keterangan Saksi
Penilaian terhadap kebenaran keterangan seorang saksi haruslah sungguh-sungguh memperhatikan:
1. Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain;
2. Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti yang lain;
3. Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan tertentu;
4. Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya (pasal 185 ayat (6) KUHAP)
b. Faktor Nilai Pembuktian dari Keterangan Ahli.
Bahwa menurut sistem KUHP, keterangan ahli mempunyai kekuatan pembuktian “bebas” atau vrijbewijst. Pada alat bukti tersebut tidak melekat kekuatan pembuktian yang sempurna dan menentukan atau mengikat. Terserah kepada hakim, hakim bebas menilainya dan tidak terikat kepadanya. Tidak adanya keharusan bagi hakim untuk mesti menerima kebenaran keterangan ahli dimaksud (M. Yahya Harahap, 1988:829). Pendapat ini sesuai pula dengan yurispundensi sebagai berikut:
- Putusan mahkamah Agung Nomor: 72K/Kr/1961 tanggal 17 Mart 1962, yang mnyatakan bahwa hakim tidak terikat pada pendapat seorang ahli jika pendapat ini bertentangan dengan keyakinannya;
- Putusan Mahkamah Agung Nomor: 121K/ Kr/1961 tanggal 22 Juni 1976, yang menyatakan bahwa kesimpulan saksi ahli tidak mutlak harus menjadi kesimpulan hakim.
Tentang pendapat orang ahli ini menurut Wirjono Prodjodikoro menyatakan: “laporan dari ahli-ahli yang ditetapkan oleh pemerintah untuk mengutarakan pendapat dan pikirannya tentang keadaan-keadaan dari perkara yang bersangkutan, hanya dapat dipakai guna memberikan penerangan kepada hakim, dan hakim sama sekali tidak wajib tutur pada pendapat orang-orang ahli itu, apabila keyakinan hakim bertentangan dengan pendapat ahli-ahli itu. Sebaiknya apabila hakim setuju dengan pendapat seorang ahli itu, maka pendapat ahli itu diambi over oleh hakim dan diaggap sebagi pendapatnya sendiri” (Wirjono Prodjodikoro, 1962: 83).
Pada hemat kami, dalam hal seorang ahli telah memberikan keterangan dalam pemeriksaa penyidik atau ahli yang bersangkutan hadir dala sidang dan memberikan keterangan di bawah sumpah sebagai ahli, maka apa yang dikemukakannya dalam siding tersebut bernilai sebagai keterangan ahli, sebagaimana dimaksud pasal 184 ayat huruf b yo pasal 186 KUHP. Apabila disamping keterangan yang diberikannya dalam sidang tersebut, ia telah memberikan keterangan pula dalam bentuk vism et repertum, maka keerangan tertulisnya itu bernilai sebagai alat bukti surat (pasal 184 ayat 1 huruf c yo pasal 187 huruf c KUHP). Jadi dalam hal ini, terdapat dua alat bukti yakni alat bukti berupa keterangan ahli da alat bukti surat.
Tetapi apabila ahli yang bersangkutan dihadirkan di sidang hanya untuk dimintai penjelasan tentang keterangan tertulisnya, ia tidak diperiksa di bawah sumpah sebagai seorang ahli, maka di sini tetap terdapat satu alat bukti, yakni alat bukti surat.
c. Faktor Nilai Pembuktian Dari Surat
Terhadap akta yang merupakan alat bukti tertulis misalnya, hakim terikat dalam penilaiannya (ps. 165 HIR, 285 Rbg, 1870 BW). Jadi untuk menilai pembuktian dari surat sudah diatur oleh Undang-Undang.
d. Faktor Nilai Pembuktian Dari Petunjuk
Hal ini diatur dalam pasal 188 KUHAP yang bunyinya:
1. Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.
2. Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh dari :
A. Keterangan saksi;
B. Surat;
C. Keterangan terdakwa
3. Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan berdasarkan hati nuraninya.
e. Faktor Nilai Pembuktian Dari Keterangan Terdakwa
Dibanding dengan HIR, yang menyebut alat bukti pengakuan, maka makna keterangan terdakwa adalah lebih luas. Karena keterangan terdakwa tidak saja meliputi pengakuan, tetapi juga meliputi hal ihwal apa yang dialami oleh terdakwa. Keterangan terdakwa dalam KUHAP diatur dalam pasal 189.
Mengenai keterangan terdakwa, tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti lainnya (Pasal 189 ayat (4) KUHAP).
1. Hukum Acara Perdata
Pada dasarnya, aturan tentang pembuktian dalam masalah perdata diatur lebih terperinci dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW), bukan dalam Hukum Acaranya. Mengapa hal ini bisa terjadi, para pakar hukum masih memperdebatkan masalah tersebut. Sebenarnya pembuktian merupakan bagian dari hukum acara perdata. Diaturnya pembuktian dalam KUHPer karena masih adanya kerancuan dari makna hukum formil dan hukum materiel.
Di satu sisi hukum materiel diartikan sebagai hukum dalam suasana damai dan hukum formil adalah hukum dalam suasana pertentangan. Dalam hal ini pembuktian termasuk dalam hukum formil. Di sisi lain hukum materiel diartikan sebagai suatu aturan yang berkaitan dengan isi, sedangkan hukum formil adalah suatu aturan yang berkaitan dengan bentuk luar. Dalam pengertian yang kedua ini pembuktian termasuk dalam hukum materiel karena merupakan bagian dari hukum gugatan. Inilah yang menjadikan adanya unsur tarik ulur dalam menempatkan pembuktian pada Hukum Perdata atau Hukum Acaranya .
2. Hukum Acara Pidana
Yang dimaksud dengan “membuktikan” adalah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan-persengketaan. Dengan demikian nampaklah bahwa pebuktian itu hanyalah diperlukan dalam persengketaan atau “perkara” dimuka hakim atau pengadilan. Memang, pembuktian itu hanya diperlukan, apabila timbul suatu perselisihan.
Dasar hukum tentang pembuktian dalam hukum acara pidana mengacu pada pasal 183-189 KUHAP (Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana). Menurut pasal 183 KUHAP menyatakan bahwa “hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”
Ketentuan ini adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran, kadilan dan kepastian hukum bagi seseorang. Selain itu alat bukti harus dapat menyakinkan hakim (notoir feit) “negatief wettelijk bewijs theorie”. Menurut Narendra Jatna, SH., bahwa dalam persidangan satu bukti sudah cukup dengan catatan bahwa bukti tersebut dapat menyakinkan hakim dalam mengambil keputusan. Dalam pasal tersebut dijelaskan sekurang-kurangnya dua bukti. Hal ini dikarenakan KUHAP menggunakan asas konkordasi dengan hukum “KUHAP” Belanda.
Dalam KUHAP Belanda pasal 342 mejelaskan asas “unus testis nullus testis”, namun asas ini sudah berkurang petingnya, karena Mahkamah Agung Belanda beranggapan bahwa pembuktian mengenai semua tuduhan terhadap tertuduh tidak boleh didasarkan pada pernyataan seorang saksi, namun pernyataan oleh seorang saksi cukup sebagai bukti bagi masing-masing unsur secara terpisah.
Alat bukti yang dimaksud di sini adalah sesuai dengan pasal 184 KUHAP ayat 1, yaitu:
a. Keterangan Saksi;
b. Keterangan Ahli;
c. Surat;
d. Petunjuk;
e. Keterangan Terdakwa atau Pengakuan Terdakwa.
Barang bukti adalah benda bergerak atau tidak berwujud yang dikuasai oleh penyidik sebagai hasil dari serangkaian tindakan penyidik dalam melakukan penyitaan dan atau penggeledahan dan atau pemeriksaan surat untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan, dan peradilan.
Secara material, barang bukti yang ada bermanfaat bagi hakim untuk memperkuat keyakinan hakim dalam proses persidangan. Bahkan sering kali hakim dapat membebaskan seorang terdakwa berdasarkan barang bukti yang ada dalam proses persidangan (setelah melewati proses yang arif, bijaksana, teliti, cermat dan saksama). Jika dicermati, pembuktian dalam proses perkara pidana tidak mudah. Oleh karena itu, jika terjadi kasus pidana dalam pelaksanaan PPK, sebaiknya terlebih dahulu dimanfaatkan berbagai alternatif penanganan yang mudah, murah dan praktis untuk lebih mempercepat penyelesaian masalah. Proses hukum dapat dipilih sebagai alternatif terakhir apabila ditemui jalan buntu dalam penyelesaian masalah PPK.
Menurut pasal 180 KUHAP, keterangan seorang ahli dapat saja ditolak untuk menjernihkan duduk persoalan. Baik oleh hakim ketua sidang maupun terdakwa/penasehat hukum. Terhadap kondisi ini, hakim dapat memerintahkan melakukan penelitian ulang oleh instansi semula dengan komposisi personil yang berbeda, serta instansi lain yang memiliki kewenangan. Kekuatan keterangan ahli ini bersifat bebas dan tidak mengikat hakim untuk menggunakannya apabila bertentangan dengan keyakinan hakim. Dalam hal ini, hakim masih membutuhkan alat bukti lain untuk mendapatkan kebenaran yang sesungguhnya.
Menurut pasal 188 KUHAP, Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang diduga memiliki kaitan, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, yang menandakan telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Petunjuk hanya dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa. Oleh karena itu, petunjuk juga merupakan alat bukti tidak langsung. Penilaian terhadap kekuatan pembuktian sebuah petunjuk dari keadaan tertentu, dapat dilakukan oleh hakim secara arif dan bijaksana, setelah melewati pemeriksaan yang cermat dan seksamaberdasarkan hati nuraninya.
Menurut pasal 194 KUHAP, yang dimaksud keterangan terdakwa itu adalah apa yang telah dinyatakan terdakwa di muka sidang, tentang perbuatan yang dilakukannya atau yang diketahui dan alami sendiri. Pengertian keterangan terdakwa memiliki aspek yang lebih luas dari pengakuan, karena tidak selalu berisi pengakuan dari terdakwa. Keterangan terdakwa bersifat bebas (tidak dalam tekanan) dan ia memiliki hak untuk tidak menjawab. Kekuatan alat bukti keterangan terdakwa, tergantung pada alat bukti lainnya (keterangan terdakwa saja tidak cukup) dan hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri.
B. Teori Pembuktian
Sebagaimana telah diketahui bahwa yang dimaksud dengan pembuktian adalah suatu proses tentang bagaimana alat-alat bukti itu dipergunakan, diajukan atau dipertahankan sesuai dengan hukum acara yang berlaku. Oleh karena alat-alat bukti dalam masing-masing hukum acara berlainan, maka pembuktian yang diterapkannya juga berbeda. Dalam hal ini yang dituju oleh Acara Perdata adalah kebenaran formil, dalam pengertian bahwa seorang hakim tidak boleh melampaui batas-batas yang diajukan oleh yang berperkara. Sedangkan yang dituju dalam Acara Pidana adalah kebenaran materiel, sebagaimana Acara Tata Usaha Negara, yaitu yang sesuai dengan fakta yang terungkap . Oleh karena itu, masing-masing hukum acara tersebut mempunyai teori tersendiri dalam menerapkan pembuktian. Berikut akan penulis paparkan teori yang diterapkan pada hukum acara tersebut.
1. Hukum Acara Perdata
Menurut Prof. Mr. A. Pitlo dalam bukunya yang dialihbahasakan oleh M. Isa Arief, SH. Dengan judul “Pembuktian dan Daluwarsa”, tiga teori yang diterapkan dalam acara perdata untuk memberikan pembebanan terhadap pembuktian adalah :
a. Teori Hak (Teori Hukum Subjektif)
Dalam teori ini, pihak yang mengemukakan hak (pihak yang menuntut) harus membuktikan segala apa yang diperlukan untuk membuktikan haknya. Sedangkan pihak lawan juga harus membuktikan adanya kekeliruan yang dituntutkan oleh pihak penuntut, seperti adanya fakta khusus yang menghapuskan hak yang dimiliki oleh penuntut dengan sudah dibayarnya hak tersebut oleh pihak tertuntut misalnya.
b. Teori Hukum (Teori Hukum Objektif)
Teori ini lebih mengedepankan pada apa yang diatur dalam Undang-undang. Sehingga tugas hakim adalah mengoreksi apakah yang disampaikan oleh penuntut telah memenuhi Undang-undang atau belum yang pada akhirnya memberikan putusan untuk menerima atau menolaknya.
c. Teori Hukum Acara dan Teori Kepatutan
Teori ini mengatur tentang bagaimana seharusnya hakim bertindak adil dalam memberikan hak berperkara dalam sidang kepada kedua belah pihak dan tidak diperbolehkan baginya untuk memihak kepada salah satu pihak. Seperti halnya tidak boleh bagi hakim memberikan beban pembuktian kepada salah satu pihak yang tidak berpadanan beratnya dengan pihak lawan.
2. Hukum Acara Pidana
a. Teori Pembuktian Negatif (Negatief Wettelijke Systeem)
Sebagaimana dituangkan dalam pasal 183 KUHAP, bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah seorang hakim memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya. Dari keterangan tersebut dapat diketahui bahwa keyakinan seorang hakim lebih diprioritaskan daripada keberadaan alat-alat bukti yang sah. Namun, seorang hakim tidak boleh memutuskan suatu perkara tanpa ada unsur alat bukti yang sah.
b. Teori Pembuktian Positif (Positief Wettelijke Systeem)
Teori ini merupakan kebalikan dari teori pembuktian negatif. Karena teori ini mewajibkan hakim untuk memutuskan perkara dengan menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan hanya berdasarkan pada banyaknya jenis dan jumlah alat-alat bukti yang sah. Berbeda dengan teori sebelumnya yang memberikan kesempatan kepada hakim untuk tidak menjatuhkan pidana terhadap terdakwa apabila dari alat-alat bukti tersebut ia tidak memperoleh keyakinan untuk memutuskannya .
c. Teori Pembuktian Conviction Intim
Tidak jauh beda dengan teori pembuktian negatif, teori ini menitik beratkan pada hati nurani hakim. Akan tetapi dalam teori ini dimungkinkan adanya pemidanaan terhadap terdakwa tanpa ada alat-alat bukti yang sah sesuai Undang-undang. Penganut teori ini adalah Peradilan Jury di Perancis.
d. Teori Pembuktian La Conviction Raisonee
Hampir sama juga dengan teori pembuktian negatif adalah teori La Conviction Raisonee. Keyakinan hakim menjadi unsur utama dalam putusan pemidanaan terhadap terdakwa disamping ada unsur penunjang yang berupa dasar-dasar pembuktian yang disertai suatu kesimpulan. Sehingga putusan hakim dijatuhkan dengan suatu motivasi .
3. Hukum Acara Tata Usaha Negara
Tanpa bergantung pada fakta dan hal yang diajukan para pihak, seorang hakim dalam Peradilan Tata Usaha Negara mempunyai kekuasaan penuh dalam menentukan hal-hal berikut :
a. Apa yang harus dibuktikan.
b. Siapa yang harus dibebani pembuktian
c. Alat bukti mana saja yang harus diutamakan
Pada dasarnya teori ini hampir sama dengan teori pembuktian negatif yang diterapkan dalam Acara Pidana. Perbedaannya adalah bahwa jika dalam Acara Pidana hakim mendapatkan keyakinan dari minimal dua alat bukti yang diajukan. Sedangkan dalam Tata Usaha Negara hakimlah yang menentukan apa yang harus dibuktikan berdasarkan keyakinannya sendiri.
C. Pihak yang Dibebani Pembuktian
D. Penilaian Alat Bukti
Sekalipun untuk suatu peristiwa yang disengketakan itu telah diajukan pembuktian, namun pembuktian itu masih harus dinilai. Yang berwenang menilai dan menyatakan terbukti tidaknya peristiwa ialah hakim yang memeriksa duduk perkara (judex facti), yaitu hakim tingkat pertama dan tingkat banding. Mahkamah Agung tidak dapat mempertimbangkan dalam tingkat kasasi.
Dalam hal ini pembentuk undang-undang dapat mengikat hakim pada alat-alat bukti tertentu, sehingga ia tidak bebas menilainya. Sebaliknya undang-undang dapat menyerahkan dan memberi kebebasan kepada hakim dalam menilai pembuktian. Terhadap akta yang merupakan alat bukti tertulis misalnya, hakim terikat dalam penilaiannya (ps. 165 HIR, 285 Rbg, 1870 BW). Sebaliknya hakim tidak wajib mempercayai seorang saksi, yang berarti bahwa ia bebas menilai kesaksian (ps. 172 HIR, 309 Rbg, 1908 BW).
Pada umumnya, sepanjang undang-undang tidak mengatur sebaliknya, hakim bebas untuk menilai pembuktian. Jadi yang berwenang menilai pembuktian, yang tidak lain merupakan penilaian suatu kenyataan, adalah hakim, dan hanyalah judex facti saja, sehingga Mahkamah Agung tidak dapat mempertimbangkan dalam pemeriksaan tingkat kasasi.
Di dalam buku “Sistem Pembuktian dalam Peradilan Indonesia” karya Bambang Waluyo diterangkan bahwa pada dasarnya terdapat beberapa pendapat para ahli tentang teori penilaian pembuktian dalam Acara Perdata. Salah satu pendapat yang sering dimunculkan adalah pendapat Prof. Sudikno Mertokusumo yang mengemukakan tiga teori berikut :
a. Teori Pembuktian Bebas
Di dalam teori ini tidak dikehendaki adanya ketentuan-ketentuan yang mengikat hakim, sehingga penilaian pembuktian diserahkan penuh kepadanya. Dan di tangannyalah putusan peradilan berada.
b. Teori Pembuktian Negatif
Teori ini mengharuskan adanya ketentuan-ketentuan yang mengikat yang bersifat negatif, yaitu harus mempunyai batasan yang berupa larangan kepada hakim untuk melakukan sesuatu yang berhubungan dengan pembuktian.
c. Teori Pembuktian Positif
Kebalikan dari teori Pembuktian Negatif, dalam teori ini hakim diwajibkan untuk melakukan sesuatu yang berhubungan dengan pembuktian. Seperti misalnya adanya suatu akta autentik yang diduga palsu, hakim berhak melakukan penilaian terhadap pembuktian tersebut . Berbeda dengan teori pembuktian negatif yang melarang hakim melakukan penilaian terhadap pembuktian yang semisal keterangan seorang saksi. Dalam hal ini, jika ada keterangan dari seorang saksi saja, maka langkah yang harus diambil adalah menolak gugatan. Kecuali jika dikuatkan dengan alat bukti lain, minimal satu alat bukti lagi.
Pendapat umum menghendaki teori pembuktian yang lebih bebas. Hasrat akan adanya kebebasan dalam hukum pembuktian ini dimaksudkan untuk memberi kelonggaran wewenang kepada hakim dalam mencari kebenaran.
a. Faktor Nilai Pembuktian dari Keterangan Saksi
Penilaian terhadap kebenaran keterangan seorang saksi haruslah sungguh-sungguh memperhatikan:
1. Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain;
2. Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti yang lain;
3. Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan tertentu;
4. Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya (pasal 185 ayat (6) KUHAP)
b. Faktor Nilai Pembuktian dari Keterangan Ahli.
Bahwa menurut sistem KUHP, keterangan ahli mempunyai kekuatan pembuktian “bebas” atau vrijbewijst. Pada alat bukti tersebut tidak melekat kekuatan pembuktian yang sempurna dan menentukan atau mengikat. Terserah kepada hakim, hakim bebas menilainya dan tidak terikat kepadanya. Tidak adanya keharusan bagi hakim untuk mesti menerima kebenaran keterangan ahli dimaksud (M. Yahya Harahap, 1988:829). Pendapat ini sesuai pula dengan yurispundensi sebagai berikut:
- Putusan mahkamah Agung Nomor: 72K/Kr/1961 tanggal 17 Mart 1962, yang mnyatakan bahwa hakim tidak terikat pada pendapat seorang ahli jika pendapat ini bertentangan dengan keyakinannya;
- Putusan Mahkamah Agung Nomor: 121K/ Kr/1961 tanggal 22 Juni 1976, yang menyatakan bahwa kesimpulan saksi ahli tidak mutlak harus menjadi kesimpulan hakim.
Tentang pendapat orang ahli ini menurut Wirjono Prodjodikoro menyatakan: “laporan dari ahli-ahli yang ditetapkan oleh pemerintah untuk mengutarakan pendapat dan pikirannya tentang keadaan-keadaan dari perkara yang bersangkutan, hanya dapat dipakai guna memberikan penerangan kepada hakim, dan hakim sama sekali tidak wajib tutur pada pendapat orang-orang ahli itu, apabila keyakinan hakim bertentangan dengan pendapat ahli-ahli itu. Sebaiknya apabila hakim setuju dengan pendapat seorang ahli itu, maka pendapat ahli itu diambi over oleh hakim dan diaggap sebagi pendapatnya sendiri” (Wirjono Prodjodikoro, 1962: 83).
Pada hemat kami, dalam hal seorang ahli telah memberikan keterangan dalam pemeriksaa penyidik atau ahli yang bersangkutan hadir dala sidang dan memberikan keterangan di bawah sumpah sebagai ahli, maka apa yang dikemukakannya dalam siding tersebut bernilai sebagai keterangan ahli, sebagaimana dimaksud pasal 184 ayat huruf b yo pasal 186 KUHP. Apabila disamping keterangan yang diberikannya dalam sidang tersebut, ia telah memberikan keterangan pula dalam bentuk vism et repertum, maka keerangan tertulisnya itu bernilai sebagai alat bukti surat (pasal 184 ayat 1 huruf c yo pasal 187 huruf c KUHP). Jadi dalam hal ini, terdapat dua alat bukti yakni alat bukti berupa keterangan ahli da alat bukti surat.
Tetapi apabila ahli yang bersangkutan dihadirkan di sidang hanya untuk dimintai penjelasan tentang keterangan tertulisnya, ia tidak diperiksa di bawah sumpah sebagai seorang ahli, maka di sini tetap terdapat satu alat bukti, yakni alat bukti surat.
c. Faktor Nilai Pembuktian Dari Surat
Terhadap akta yang merupakan alat bukti tertulis misalnya, hakim terikat dalam penilaiannya (ps. 165 HIR, 285 Rbg, 1870 BW). Jadi untuk menilai pembuktian dari surat sudah diatur oleh Undang-Undang.
d. Faktor Nilai Pembuktian Dari Petunjuk
Hal ini diatur dalam pasal 188 KUHAP yang bunyinya:
1. Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.
2. Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh dari :
A. Keterangan saksi;
B. Surat;
C. Keterangan terdakwa
3. Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan berdasarkan hati nuraninya.
e. Faktor Nilai Pembuktian Dari Keterangan Terdakwa
Dibanding dengan HIR, yang menyebut alat bukti pengakuan, maka makna keterangan terdakwa adalah lebih luas. Karena keterangan terdakwa tidak saja meliputi pengakuan, tetapi juga meliputi hal ihwal apa yang dialami oleh terdakwa. Keterangan terdakwa dalam KUHAP diatur dalam pasal 189.
Mengenai keterangan terdakwa, tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti lainnya (Pasal 189 ayat (4) KUHAP).
A. Kesimpulan
Dari pemaparan materi di atas dapat disimpulkan bahwa :
1. Pada dasarnya, aturan tentang pembuktian dalam masalah perdata diatur lebih terperinci dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW), bukan dalam Hukum Acaranya. Sedangkan dasar hukum tentang pembuktian dalam hukum acara pidana mengacu pada pasal 183-189 KUHAP (Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana)
2. Teori pembuktian yang diterapkan dalam hukum perdata terdiri dari teori pembuktian bebas, teori pembuktian positif dan teori pembuktian negatif. Sedangkan dalam hukum acara pidana dikenal 4 teori, yaitu teori pembuktian positif, teori pembuktian negatif, teori Conviction Intim dan teori La Conviction Raisonee. Dan dalam peradilan Tata Usaha Negara hanya diterapkan satu teori, yaitu hakim bersifat aktif yang mempunyai kekuasaan penuh untuk memberikan putusan.
3. Pada umumnya, sepanjang undang-undang tidak mengatur sebaliknya, hakim bebas untuk menilai pembuktian. Jadi yang berwenang menilai pembuktian, yang tidak lain merupakan penilaian suatu kenyataan, adalah hakim, dan hanyalah judex facti saja, sehingga Mahkamah Agung tidak dapat mempertimbangkan dalam pemeriksaan tingkat kasasi
B. Saran
Yang perlu diperhatikan oleh pembaca adalah perlunya menganalisis seluruh materi yang dipaparkan oleh penulis dengan cara meneliti ulang pada referensi yang menjadi sumber pengambilan materi maupun dengan menelaah materi yang disampaikan itu dalam sumber lain yang belum dicantumkan dalam makalah ini. Karena dengan demikian pembaca akan dapat menganalisis pendapat mana yang lebih kuat. Selain itu hendaknya pembaca juga harus jeli dalam memperhatikan apakah materi yang disampaikan masih berlaku dan masih diterapkan dalam hukum di Indonesia pada masa sekarang.
Dari pemaparan materi di atas dapat disimpulkan bahwa :
1. Pada dasarnya, aturan tentang pembuktian dalam masalah perdata diatur lebih terperinci dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW), bukan dalam Hukum Acaranya. Sedangkan dasar hukum tentang pembuktian dalam hukum acara pidana mengacu pada pasal 183-189 KUHAP (Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana)
2. Teori pembuktian yang diterapkan dalam hukum perdata terdiri dari teori pembuktian bebas, teori pembuktian positif dan teori pembuktian negatif. Sedangkan dalam hukum acara pidana dikenal 4 teori, yaitu teori pembuktian positif, teori pembuktian negatif, teori Conviction Intim dan teori La Conviction Raisonee. Dan dalam peradilan Tata Usaha Negara hanya diterapkan satu teori, yaitu hakim bersifat aktif yang mempunyai kekuasaan penuh untuk memberikan putusan.
3. Pada umumnya, sepanjang undang-undang tidak mengatur sebaliknya, hakim bebas untuk menilai pembuktian. Jadi yang berwenang menilai pembuktian, yang tidak lain merupakan penilaian suatu kenyataan, adalah hakim, dan hanyalah judex facti saja, sehingga Mahkamah Agung tidak dapat mempertimbangkan dalam pemeriksaan tingkat kasasi
B. Saran
Yang perlu diperhatikan oleh pembaca adalah perlunya menganalisis seluruh materi yang dipaparkan oleh penulis dengan cara meneliti ulang pada referensi yang menjadi sumber pengambilan materi maupun dengan menelaah materi yang disampaikan itu dalam sumber lain yang belum dicantumkan dalam makalah ini. Karena dengan demikian pembaca akan dapat menganalisis pendapat mana yang lebih kuat. Selain itu hendaknya pembaca juga harus jeli dalam memperhatikan apakah materi yang disampaikan masih berlaku dan masih diterapkan dalam hukum di Indonesia pada masa sekarang.
*)Dari berbagai sumber
Komentar
Posting Komentar