Tulisan Si Unu Kribo
Sejarah Ilmu Hukum: Dinamika Perkembangan Konsep-Konsep
Ubi societas, ibi ius – di mana ada masyarakat, di sana
ada hukum. Dalam pengertian bahasa latin tersebut, menunjukkan bahwasanya kala
manusia memulai interaksinya dengan sesama, pada saat itu pula hukum hadir.
Manusia adalah makhluk sosial yang senantiasa membutuhkan orang lain. Namun di
sisi lain, manusia juga merupakan homini
lupus – serigala bagi sesamanya. Karenanya, untuk itu manusia membutuhkan
hukum dalam rangka menciptakan ketertiban dalam lalu-lintas interaksi
bermasyarakat.
Sejarah hukum adalah sejarah panjang peradaban umat manusia. Pada
konteksnya, hukum bukan merupakan skema yang final (not a final scheme). Perlahan-lahan hukum mewujud berubah bentuk
seiring dengan perkembangan pikir dan tata laku sosial masyarakat.
Konsep Hukum sebagai
Nilai
Penerimaan hukum dalam konsep ini
berasal dari adanya anggapan bahwa alam ide memiliki posisi sebagai sumber
kebenaran. Teori hukum di sini mendasarkan pada kebenaran kodrati yang melekat
sebagai kodrat manusia. Hukum hanya dirumuskan wujudnya melalui kontemplasi,
sehingga bukan sengaja diciptakan manusia untuk menjadi hukum dalam artian
peraturan-peraturan. Indra manusia hanya berfungsi mengkatalisasi atau
membangkitkan pengetahuan kebenaran yang eksis dalam alam ide.[1]
Cicero menyatakan pendapatnya
mengenai hukum yang sesungguhnya adalah
akal yang benar sesuai dengan alam; ia (hukum) bisa diterapkan di manapun,
tidak berubah dan abadi. Begitu juga Thomas Aquinas merumuskan hukum sebagai
peraturan yang berasal dari akal untuk kebaikan umum yang dibuat oleh seorang
yang mempunyai kewajiban untuk menjaga masyarakatnya. Oleh karena itu dunia ini
diatur oleh tatanan ketuhanan, seluruh masyarakat di dunia ini diatur oleh akal
ketuhanan. Hukum ketuhanan adalah yang tertinggi yang diserap manusia sebagai
nilai-nilai kehidupan.[2]
Menurut Satjipto Rahardjo, ada tiga
perpektif mengenai pemahaman tentang hakikat dari hukum. Pertama, hukum dilihat sebagai perwujudan nilai-nilai tertentu. Kedua, hukum sebagai sistem peraturan
yang abstrak; perhatian terpusat pada hukum sebagai suatu lembaga yang benar-benar
otonom, sehingga tidak menghiraukan apakah hukum itu mewujudan nilai-nilai
tertentu atau apakah hukum dituntut untuk mencapai tujuan serta sasaran
tertentu. Ketiga, hukum dipandang
sebagai alat untuk mengatur masyarakat.[3]
Hukum sebagai perwujudan nilai-nilai
tertentu senantiasa berusaha untuk menguji hukum yang harus mewujudkan
nilai-nilai tertentu. Salah satu pemikiran utama dalam hukum yang sudah
berjalan sejak berabad-abad lalu, adalah untuk memahami arti dari keadilan.
Pemikiraan ini membahas apa saja yang menjadi tuntutan dari nilai tersebut dan
apa yang seharusnya dilakukan oleh hukum untuk mewujudkan nilai itu.[4]
Nilai, sebagaimana telah dibahas di muka melalui beberapa pemikiran
filosof, merupakan pegangan kodrati manusia tertinggi tentang apa yang dianggap
pedoman hidup.
Konsep Hukum sebagai
Peraturan
Seiring perkembangan tata
pemerintahan dan laku sosial dalam kehidupan bermasyarakat, dari masyarakat
sederhana seperti polis di Yunani yang
kemudian terbentuk pula ragam negara-negara pasca-tradisional, ternyata
pandangan mengenai “hukum sebagai nilai” tidak cukup untuk mengakomodasi
interaksi manusia yang semakin kopleks.
Pemikiran Trias Politika yang pertama kali dilontarkan John Locke dan
kemudian dikembangkan oleh Montesquieu dalam konsep pemerintahan negara
pasca-tradisional Eropa, setidaknya memberikan pengaruh dalam perkembangan
hukum modern. Salah satu ciri yang memberikan corak warna hukum modern, bahwa
hukum merupakan instrumen yang dipakai secara sadar untuk mewujudkan
keputusan-keputusan politik masyarakatnya.[5] Yang
di mana intrumen hukum tersebut dibentuk oleh lembaga legislatif.
Menurut asal-usulnya, konsep hukum
sebagai peraturan yang pada awalnya diwakili oleh teori hukum murni. Teori
hukum murni merupakan suatu pemberontakan yang ditujukan terhadap ilmu hukum
yang ideologis, yaitu yang hanya mengembangkan hukum itu sebagai alat
pemerintahan dalam negara-negara totaliter.[6] Teori
Hukum Murni ini lazim dikaitkan pada Mahzab Wina yang dipimpin oleh Hans Kelsen
(1881 – 1973).
Teori hukum murni tumbuh berkembang
seiring dengan kemajuan aliran positivisme dalam ilmu pengetahuan. Positivisme
yang dirintis Auguste Comte (1798 –
1857) adalah puncak pembersihan pengetahuan dari kepentingan subjektif.[7]
Munculnya positivisme dalam ilmu pengetahuan, sangat mempengaruhi perkembangan
teori ilmu hukum. Dalam hal ini, teori hukum tidak statis begitu saja mengikuti
arus positivisme, namun juga memunculkan gejolak dan kritik terhadap
positivisme. Teori hukum terus bergerak mencari bentuk. Hingga kini, setidaknya,
aliran hukum dapat dikelompokkan ke dalam empat bagian:[8]
1. Ortodhox Jurisprudence
Kajian ini melihat hukum sebagai
paraturan yang bebas nilai. Hukum dilihat sebagai sesuatu yang given, bebas dari unsur-unsur seperti
politik, kultural, dan ekonomi. Hukum dipandang sebatas peraturan-peraturan
perundangan yang logis dan sistematis. Pengaruh positivisme sangat ketara pada
kajian ini. Ajaran ini menempatkan kepastian dan ajaran hukum doktrinal sebagai
nafasnya. Tokoh pemikir mazhab hukum ini antara lain John Austin, H.L.A. Hart,
dan Hans Kelsen.
2. Sociological Jurisprudence
Merupakan kritik terhadap ajaran
orthodox. Sociological Jurisprudence termasuk dalam aliran pos-positivisme.
Hukum dipandang tidak sekadar peraturan hukum tertulis dalam perundangan,
tetapi juga termasuk hukum tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat (the living law). Mazhab ini melahirkan
aliran legal realism dengan kredo
yang terkenal: “The law isn’t logic, but experience.”
3. Socio-Legal Studies
Membagi hukum ke dalam dua kategori: pertama, hukum sebagai aturan atau
norma-norma; kedua, hukum sebagai
kenyataan perilaku masyarakat. Socio-legal studies diperlukan untuk melakukan
kritik terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku, apakah sudah sesuai
atau belum dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Pada kajian ini
teori-teori sosial banyak digunakan sebagai landasan kritik terhadap peraturan
yang bersifat normatif.
4. Sociology of Law
Merupakan cabang ilmu dari sosiologi.
Sosiologi hukum melihat, menerima, dan memahami hukum sebagai bagian dari
kehidupan manusia bermasyarakat, tidak di luar itu. Berbeda dengan ilmu hukum
dogmatis (rechtsdogmatiek) yang
semata-mata melihat hukum sebagai suatu bangunan peraturan dan lembaga yang
tersusun secara logis-sistematis. Sosiologi hukum, untuk jelasnya, adalah
sosiologi dari atau tentang hukum.[9]
Sehingga sosiologi hukum hanya berusaha menjelaskan fenomena hukum dalam
masyarakat, bagaimana bekerjannya hukum, mengapa masyarakat menjalankan atau
tidak menjalankan hukum.[]
[1]
Disarikan dari Prof. H. Yusriyadi dalam
bahan kuliah Filsafat dan Teori Hukum MIH
Undip.
[2]
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung:
Citra Aditya Bakti, 2006), hlm. 270.
[3]
Ibid, hlm. 6.
[4]
Loc. Cit.
[5]
Ibid, hlm. 214.
[6]
Allen, dalam: Ibid, hlm. 278.
[7]
Sulistyowati Irianto dan Sidharta (ed.), Metode
Penelitian Hukum Konstelasi dan Reflesi, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
2011), hlm. 5.
[8]
Disarikan dari Prof. Suteki dalam bahan kuliah Metode
Penelitian Hukum MIH Undip.
[9]
Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum:
Esai-Esai Terpilih, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2010), hlm. 1.
Komentar
Posting Komentar