Tulisan Si Jagung (AP Edi Atmaja)
Persona Non-Grata dan Kekebalan Diplomatik: Analisis atas Peristiwa Pengusiran Diplomat Iran oleh Pemerintah Kuwait
Oleh A.P. Edi Atmaja
PADA 31 Maret 2011, pemerintah Kuwait mengumumkan bahwa mereka telah
mengusir sejumlah diplomat Iran atas tuduhan melakukan aksi mata-mata.
Menteri Luar Negeri Kuwait Muhammad al-Sabah mengatakan kepada wartawan,
akan ada tindakan terhadap kelompok diplomat Iran. Mereka akan dianggap
persona non-grata dan diusir dari Kuwait.
Al-Sabah menuduh, para diplomat Iran telah membuktikan bahwa mereka
memiliki tautan ke jaringan mata-mata yang dicurigai Pemerintah. Tiga
anggota jaringan mata-mata itu, oleh pengadilan Kuwait, telah dijatuhi
hukuman mati.
Pemerintah Iran menolak tuduhan Kuwait dengan menyatakan bahwa
tuduhan itu tidak berdasar. Menteri Luar Negeri Iran Ali Akbar Salehi
mengatakan, Iran tidak ikut campur dalam urusan internal Kuwait. Menurut
suratkabar al-Qabar, tiga diplomat Iran tersebut memang
terlibat dalam sel mata-mata. Akan tetapi, pengadilan tak bisa menuntut
karena kekebalan diplomatik mereka.
Sementara itu, genap sepekan sejak pengusiran itu, 11 April 2011,
pemerintah Iran juga mengusir tiga diplomat Kuwait dari negaranya.
Pemerintah memberi waktu sepuluh hari kepada mereka untuk meninggalkan
negara itu.
Tindakan saling mengusir diplomat tersebut membuat hubungan kedua
negara bersitegang. Muncul desas-desus bahwa anggota sel mata-mata Iran
telah lama beroperasi selama invasi Amerika Serikat ke Irak pada 2003.
Juga terendus bahwa Iran mengumpulkan informasi mengenai pergerakan
tentara Kuwait. Namun, analis dari Pusat Penelitian Teluk di Dubai,
Mustafa Alani, mengatakan, pengusiran itu tidak akan menimbulkan dampak
jangka panjang terhadap hubungan Kuwait-Iran.[1]
Dari peristiwa di atas, ada beberapa hal menarik yang bisa kita
jadikan bahan perbincangan. Hubungan bilateral ternyata tak selamanya
berjalan mulus-mulus saja. Selalu ada saja alasan bagi negara untuk
mencari alasan seteru dengan negara lain. Dan, dalam peristiwa
sebagaimana dimaksud di muka, persoalan tampak dari hubungan diplomatik.
Kita melihat bahwa ternyata kekebalan diplomatik yang melekat pada
setiap pejabat diplomatik bekerja dengan demikian kuatnya sehingga mampu
mengesampingkan penegakan hukum suatu negara. Sejauhmana kekebalan
diplomatik itu bisa terus bertahan?—itu pertanyaan pertama. Kedua,
diplomat Iran dipersonanongratakan oleh pemerintah Kuwait. Sejauhmana
sebuah negara berhak memutuskan seorang diplomat dapat dikatakan sebagai
persona non-grata? Apa faktor-faktornya?
Persona grata dan persona non-grata
Pengangkatan wakil diplomatik memerlukan ritus-ritus tertentu.
Prosedur seremonial adalah menu wajib yang mesti dilakukan suatu negara
buat menerima perutusan diplomatik dari negara lain.
Jika suatu negara telah menyetujui pembukaan hubungan diplomatik (persona grata) dengan negara lain atas dasar asas timbal-balik (principle of reciprocity),
negara tersebut mesti memikirkan pula penyusunan keanggotaan perwakilan
tersebut, baik dalam tingkatannya maupun dalam jumlah anggota staf
perwakilan yang disepakati bersama.[2]
Meski dikecualikan hanya pada pengangkatan Duta Besar dan Atase
Pertahanan, pengangkatan anggota staf perutusan diplomatik umumnya tak
memerlukan persetujuan dari negara penerima. Negara pengirim dapat
secara bebas mengangkatnya dengan cukup memberitahukan kepada
Kementerian Luar Negeri negara penerima melalui nota diplomatik mengenai
nama, kedudukan, pangkat diplomatik, anggota keluarga, dan tanggal
kedatangannya.[3]
Pengangkatan seorang diplomat diwujudkan dalam bentuk Surat Kepercayaan (Letters of Credence)
yang ditujukan buat negara penerima. Bisa pula disertakan
dokumen-dokumen Kuasa Penuh yang berkaitan dengan negosiasi-negosiasi
tertentu atau instruksi-instruksi tertulis khusus lainnya.[4]
Penolakan perutusan diplomatik (persona non-grata) merupakan
hak suatu negara dikarenakan latarbelakang atau dasar sifat pribadi
dari pejabat diplomatik yang, menurut negara itu, bermasalah. Ex eo ob quod mittitur adalah ungkapan diplomatik yang menjelaskan bahwa bisa saja suatu negara menolak wakil diplomatik dari negara lain.
Negara penerima bisa sewaktu-waktu dan tanpa memberi penjelasan
mempersonanongratakan salah seorang anggota staf diplomatik negara
pengirim, dan karena itu harus dipanggil kembali atau mengakhiri
tugasnya di kantor perwakilan.[5]
Menurut Nerider Mehta dalam International Organizations and Diplomacy,
penolakan suatu negara untuk menerima calon duta besar atau pejabat
diplomatik dari negara pengirim dapat disebabkan oleh beberapa faktor.[6]
Pertama, calon duta besar dapat ditolak jika dianggap dapat
mengganggu hak kedaulatan negara ia akan diakreditasikan lantaran sikap
pribadinya yang disangsikan. Contoh untuk ini terlihat dalam kasus Duke
of Buckingham, calon duta besar Inggris untuk Prancis, yang ditolak oleh
pemerintah Prancis karena alasan “sangat menjengkelkan” (proved obnoxious) terhadap pemerintah Prancis. Apa lacur, ia dianggap telah mencintai Ratu Prancis.
Kedua, calon duta besar dapat ditolak jika menunjukkan rasa permusuhan (hostile act),
baik terhadap rakyat maupun lembaga negara ia akan diakreditasikan.
Seperti dalam kasus Mr Keiley, calon duta besar Amerika Serikat untuk
Italia, karena pada 1881, ia pernah memprotes aneksasi Papal State oleh Italia.
Ketiga, calon duta besar dapat ditolak jika ia menjadi pokok
persoalan di negara penerima dan negara akreditasi tersebut tidak mau
memberinya kekebalan-kekebalan sebagai seorang duta besar.
Konvensi Wina 1961 mengemukakan ketentuan lain soal sejauhmana sebuah negara dapat mengenakan persona non-grata
kepada duta besar ataupun anggota perutusan misi diplomatik lainnya.
Konvensi mendasarkan pada tiga kegiatan sebelum negara berhak
mempersonanongratakan wakil diplomatik.[7]
Pertama, kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh wakil
diplomatik itu bersifat politis maupun subversif yang bukan saja dapat
merugikan kepentingan nasional, melainkan juga melanggar kedaulatan
negara penerima. Sebagai contoh, dalam tahun 1915, pemerintah Amerika
Serikat meminta penarikan Mr Dunba, duta besar Austro-Hongaria di
Washington. Sang duta besar mengaku mengusulkan kepada pemerintahnya
hendak menghasut pemogokan pabrik mesin di Amerika Serikat.
Kedua, kegiatan yang dilakukan itu jelas-jelas melanggar
pelanggar hukum dan perundang-undangan negara penerima. Tentang ini akan
kita bahas segera, dalam kajian tentang kekebalan diplomatik dan
contoh-contoh penyalahgunaannya.
Ketiga, kegiatan-kegiatan yang dilakukan dapat digolongkan
sebagai kegiatan mata-mata (spionase) yang dianggap dapat mengganggu
stabilitas maupun keamanan nasional negara penerima.
Jelaslah, dengan mendasarkan pada ketentuan Konvensi Wina 1961 ini,
pemerintah Kuwait sah secara yuridis tatkala mengusir dan
mempersonanongratakan para diplomat Iran. Meski cuma sebatas dugaan,
pemerintah Kuwait berhak meminta pemerintah Iran menarik kembali
diplomat-diplomatnya karena alasan spionase seperti termaktub dalam
ketentuan Konvensi Wina 1961.
Pun bagi Iran. Ia sah-sah saja melakukan hal serupa pada diplomat
Kuwait karena dalam hubungan diplomatik memang berlaku asas timbal-balik
(principle of reciprocity). Upaya tersebut memang seharusnya
ditempuh selain buat mempertanyakan sikap pemerintah Kuwait, juga demi
mempertegas kedaulatan Iran di mata Kuwait.
Kekebalan diplomatik: bisakah terkikis?
Pengadilan Kuwait tak bisa dengan serta-merta melakukan upaya hukum terhadap para diplomat Iran lantaran kekebalan diplomatik (diplomatic immunity) yang disandang mereka. Perutusan-perutusan diplomatik menikmati pengecualian dari yurisdiksi pidana dan perdata setempat.[8]
Terdapat tiga teori mengenai dasar pemberian kekebalan diplomatik di
luar negeri. Teori pertama disebut teori eksteritorialitas. Menurut
teori ini, seorang pejabat diplomatik dianggap seolah-olah tidak
meninggalkan negerinya, berada di luar wilayah negara akreditasi,
kendati sebenarnya ia berada di luar negeri dan melaksanakan
tugas-tugasnya di sana.
Teori kedua adalah teori representatif. Maksudnya bahwa pejabat
diplomatik dan perutusan diplomatik mewakili negara pengirim dan kepala
negaranya. Dalam kapasitas itulah para diplomat menikmati
kekebalan-kekebalan di negara penerima. Memberikan kekebalan-kekebalan
kepada pejabat diplomatik juga berarti bahwa negara penerima menghormati
negara pengirim, kebesaran, kedaulatan, dan kepala negaranya.
Teori ketiga disebut teori kebutuhan fungsional. Ya, teori ini
berarti bahwa kekebalan-kekebalan diplomatik timbul lantaran kebutuhan
fungsional agar pejabat diplomatik dapat melaksanakan tugasnya dengan
baik dan lancar. Teori inilah yang kemudian diadopsi Konvensi Wina 1961.[9]
Dalam wujud apa sajakah kekebalan diplomatik itu? Boer Mauna
membedakan menjadi kekebalan pribadi dan yurisdiksional. Kekebalan
pribadi ditegaskan dalam pasal 29 Konvensi Wina:
“Pejabat diplomatik tidak boleh diganggu-gugat, tidak boleh ditangkap
dan ditahan. Mereka harus diperlakukan dengan penuh hormat dan negara
penerima harus mengambil langkah-langkah yang layak untuk mencegah
serangan atas diri, kebebasan, dan martabatnya.”[10]
Berkat kekebalan yurisdiksionalnya, seorang pejabat diplomatik tidak
boleh diadili dan dihukum jika ia terbukti melakukan perbuatan kriminal
di negara akreditasi. Pengadilan dan penghukuman atasnya harus atas
persetujuan dan tergantung oleh kepala negaranya. Negara pengirim harus
menanggalkan kekebalan utusan diplomatiknya terlebih dahulu, baru
kemudian negara penerima berhak menerapkan hukum atas utusan itu.
Tentu saja, kendati pejabat diplomatik yang melanggar hukum itu tidak
diadili oleh negara penerima, bukan berarti ia bebas begitu saja dari
segala tuntutan hukum. Ia dapat diadili dan dijatuhi hukuman oleh
peradilan negaranya. Apalagi hukum pidana kebanyakan negara memberikan
wewenang kepada peradilan-peradilannya untuk mengadili dan menghukum
kejahatan-kejahatan yang dilakukan warganegaranya di luar negeri.
Persoalan yang kemudian mengemuka adalah bagaimana bila perkaranya
seperti kasus yang kita coba bahas di atas? Peradilan dan hukum Kuwait
memang tak bisa menyentuh para diplomat Iran yang diduga melakukan
kegiatan mata-mata di Kuwait. Namun, negara asal para diplomat itu juga
tak mungkin menerapkan hukum buat asumsi-asumsi sepihak negara lain.
Toh, Iran malah menyangkal tudingan Kuwait.
Barangkali masalah yang terjadi lebih bernuansa politis sehingga tak
bisa dipecahkan begitu saja dengan pendekatan hukum. Jadi, saya kira,
memang seperti begini hasil paling banter yang bisa diperoleh Kuwait: ia
cuma bisa mengusir dan mengenakan persona non-grata kepada para diplomat Iran. Sanksi hukum akan mentah karena terantuk kepentingan politis negara masing-masing.
[26102011]
[2] Konvensi Wina 1961 mengenai Hubungan Diplomatik, “Pasal 2 dan 11”, dalam Sumaryo Suryokusumo, Hukum Diplomatik: Teori dan Kasus, (Bandung: Alumni, 2005), hal. 108.
[3] Konvensi Wina 1961 mengenai Hubungan Diplomatik, “Pasal 7 dan 11”, dalam Ibid, hal. 109.
[4] JG Starke, Pengantar Hukum Internasional: Jilid 2, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hal. 566.
[5] Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan, dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, (Bandung: Alumni, 2005), hal. 533.
[6] Sumaryo Suryokusumo, op. cit., hal. 119.
[7] Ibid., hal. 121.
[8] JG Starke, op. cit., hal. 567.
[9] Boer Mauna, op. cit., hal. 548.
Komentar
Posting Komentar