Tulisan Si Jagung (AP Edi Atmaja)
Posmodernisme, Masyarakat, dan Perubahan-perubahan dalam Hukum
Oleh Gerald Turkel[1]
Pengantar:
Tulisan ini merupakan terjemahan dan ringkasan dari bab kesebelas buku berjudul Law and Society: Critical Approaches (1996) karangan Gerald Turkel. Dikerjakan oleh Rosalia Agustin Shella H, Fenny Tri Purnamasari, Fanny Agustya N, Fika Mafda M, Nindya Dhisa P, Wayan Dinar Purba P, dan AP Edi Atmaja.
SEPANJANG tahun 1950-an, sosiolog semacam David Riesman (1950) dan
William Hollingsworth Whyte (1956) berpendapat bahwa perubahan-perubahan
yang berkelindan bersama korporasi raksasa, pemerintahan besar, dan
mobilitas sosial di masyarakat dan kebudayaan Amerika Serikat tengah
mentransformasi watak individu. Individu-individu menjadi lebih rindu
akan diri mereka, lebih suka bermenung-diri, dan lebih kompetitif
terhadap yang lain. Dalam waktu bersamaan, mereka juga bersepakat untuk
hidup dalam organisasi-organisasi birokratis yang besar, lebih sensitif
untuk memandang tekanan, dan lebih menyesuaikan tingkah laku mereka pada
selera yang dibentuk media massa, musik, sinetron, dan iklan.
Sepanjang tahun 1970-an hingga 1980-an, kritikus sosial semacam
Richard Sennett (1977) dan Christopher Lasch (1979, 1984) berpendapat
bahwa kebudayaan AS dan jenis kepribadiannya yang dominan telah menjadi
narsistis: orang-orang kewalahan akibat tekanan-tekanan sosial dari
keseharian mereka dan media. Hal ini menyebabkan kontradiksi yang kejam.
Ketika orang-orang bergantung pada hak-hak legal yang aman yang
diimplementasikan melalui tata pemerintahan nan kompleks dan
organisasi-organisasi privat, seperti keamanan sosial, sekolah, dan
asuransi medis, mereka merasa takut, benci, dan marah akan
ketergantungan ini.
Dalam Habits of Heart (1985), Robert Bellah dan rekan-rekan
penulisnya menyajikan konteks tafsiran dan kesejarahan mengenai hal
tersebut. Mereka mengeksplorasi individualisme, hukum, dan budaya
politik di AS dengan melihat pandangan para pendiri bangsa soal hukum,
masyarakat, dan kebudayaan yang mampu membuat rakyat berinteraksi,
memahami, dan melihat diri mereka sebagai bagian dari sesama.
Kaum puritan semacam John Winthrop, pendiri tradisi republik seperti
Thomas Jefferson, dan pengamat hukum dan masyarakat AS semisal Alexis de
Tocqueville berpendapat, dengan cara berbeda, bahwa individu, hukum,
dan masyarakat dihubungkan satu sama lain melalui kesepahaman bersama (common meanings).
Kesepahaman bersama ini didasari oleh anggapan-anggapan berbeda tentang
alam dan nilai-nilai. Buat kaum puritan, individu, hukum, dan
masyarakat dipersatukan oleh kepercayaan moral yang berakar dari
tradisi-tradisi Injili.
Dalam masyarakat AS tertentu, bagaimanapun, kesepahaman-kesepahaman
bersama telah digali. Masyarakat konsumer dan komersialisme; lemahnya
komunitas lokal akibat korporasi raksasa, ekonomi global, dan
negara-bangsa; dan suatu budaya dari “individualisme radikal” membuat
kesepahaman itu sukar diwujudkan (Bellah dkk, 1985: 84). Tekanan-tekanan
semacam itu mempersulit untuk menghubungkan kesepahaman-kesepahaman
dalam level kehidupan pribadi, hubungan keluarga, dan komitmen lokal
dengan lebih abstrak dan meningkatkan jarak kesepahaman pada level
ekonomi, politik, dan hukum.
Lawrence Friedman menggarap tema-tema tersebut secara lebih fokus,
yakni dalam bidang hukum (1990). Sebagaimana individualisme yang
bermakna “pemujaan atas kebebasan, pilihan terbuka”, hukum menjadi
individualistis dan lebih fokus pada perluasan hak pribadi (3). Tatkala
masyarakat tersadarkan akan kebebasan pribadi sebagai perluasan atas
pilihan-pilihan personal, suatu dinamika terbangun: secara
berangsur-angsur, susunan kolektif, khususnya yang berupa hukum dan
institusi pemerintahan, diciptakan untuk menyokong pilihan individual
dalam rupa hak-hak legal (99). Hak-hak tersebut dan hukum yang terbentuk
lalu dianggap telah ada “dari sononya” (taken for granted). Lebih jauh lagi, selera individu untuk memilih sesuatu menjadi teramat biasa (routine)
dan alamiah ketimbang terkonstruksi secara sosial. Secara paradoksal,
hak-hak legal, yang mana bergantung pada kekuatan kolektif dari pranata
hukum dan pemerintahan, bisa jadi membuat masyarakat merasa semakin tak
bergantung kepada pemerintah dan pranata sosial lagi.
Friedman menyimpulkan bahwa inilah kelemahan dinamis hubungan antara
hak dan kewajiban. Kala individualisme dan hak-hak legal meluas, dalam
saat bersamaan, ada pelemahan bentuk otoritas yang lain, yang meliputi
keluarga, sekolah, dan komunitas lokal. Bentuk-bentuk otoritas itu mesti
mampu berjalan seiring dengan hak-hak legal yang telah jadi individual.
Padahal, pola-pola otoritas lain, semisal antara orangtua dan anak atau
guru dan murid, mengartikan individu lebih dalam hubungan sosial dan
moral antarsesama ketimbang isolasi antara satu dan lainnya.
Yang paling penting, kemunduran pola-pola otoritas lain ketimbang
otoritas legal dan penerimaan hak-hak legal individual melemahkan rasa
tanggung jawab (kewajiban) orang dengan sesamanya. Kewajiban tidak
ditemukan dalam hubungan-hubungan sungguhan di antara orang-orang
melainkan dalam pengalaman atas pilihan-pilihan yang mereka buat.
Orang-orang tidak merasa bahwa kewajiban adalah hasil dari tindakan
mereka, kecuali kalau mereka memilihnya sebagai suatu hasil.
Untuk mengatasi individualisme radikal dan keterputusan antara hak
dan kewajiban, para sarjana mencoba menyegarkan kembali pendekatan hukum
dan masyarakat yang menekankan pada komunitas dan sumber-sumber sosial
dari individualisme (Etzioni, 1993; Selznick, 1987). Pendekatan ini
menegaskan bahwa pribadi terkonstruksi secara sosial melalui
interaksi-interaksi dengan sesamanya dan pranata sosial. Ini menekankan,
sejalan dengan telaah Durkheim, hubungan antara hukum, moralitas, dan
solidaritas ketimbang independensi (ketaksalingtergantungan) antara satu
dan lainnya.
Bab ini akan mengembangkan wacana tersebut dengan menyajikan
pendekatan kaum posmodernis dalam bidang hukum dan masyarakat, berfokus
pada analisis Foucault atas hukum pidana modern dan hukuman. Kaum
posmodernis, dan Foucault termasuk di dalamnya, menunjukkan bahwa hukum
modern yang individual dan rasional adalah konstruksi historis yang
membagi-bagi dan melemahkan persatuan masyarakat. Hukum modern dan
individualisme adalah ciri khas kekuasaan sosial dan institusional yang
tidak memenuhi klaim mereka untuk bebas, maju, dan memasyarakat. Namun,
pendekatan kaum posmodernis memiliki batasan dan penyimpangan. Batasan
dan penyimpangan itu bersumber dari kecilnya arena tindakan dan
ketidakpercayaan akan hukum dan aksi sosial yang menjadi karakteristik
posmodernisme.
Posmodernisme, Individu, dan Hukum: Michel Foucault
Era modern dilatari oleh perkembangan industri, ilmu dan
rasionalitas, dan individualisme. Yang terpenting, era modern bertumpu
pada tema-tema besar: kemajuan individual dan sosial melalui pembangunan
industri, pertumbuhan hak-hak individu dan kebebasan berdasar hukum,
dan kebudayaan yang berakar dari ilmu dan rasionalitas. Masyarakat dan
kebudayaan posmodern berakar dari pertumbuhan yang kencang antara
teknologi, pengetahuan, dan informasi, serta penggunaan komputer dan
bentuk-bentuk telekomunikasi lain.
Kaum posmodernis menegaskan bahwa teknologi-teknologi baru tersebut
mengartikan sebuah era baru di bidang hukum dan masyarakat. Selain itu,
modernisme telah mendatangkan konsekuensi-konsekuensi yang mendatangkan
malapetaka: perang kejam di abad keduapuluh, gerakan-gerakan dan rezim
totaliter, pendirian senjata nuklir, dan ancaman ekologi bumi akibat
industrialisme. Hasilnya, janji kemajuan kehidupan sosial modernisme
menyebabkan kaum posmodernis mengkritik konsep dan anggapan-anggapan
utamanya, yang meliputi individualisme, hak-hak, dan hukum.
Perubahan-perubahan dalam Hukum Pidana dan Hukuman
Michel Foucault (1926-1984) memelopori kritisisme posmodern terhadap
masyarakat modern dan hukum. Foucault berpendapat bahwa dalam masyarakat
modern, hukum berfungsi untuk memperluas kontrol sosial, pengetahuan,
dan kekuasaan institusional atas individu demi tujuan yang bermanfaat
untuk lembaga. Lembaga dan pengetahuan hukum bergabung dengan lembaga
dan jenis pengetahuan lain untuk mendefinisikan individu, membuat
dokumen pada mereka. Hukum menggabungkan kekuatan lain dalam masyarakat
untuk membentuk individu sebagai titik penting kontrol administratif.
Selama tahun 1970-an, Foucault dikaitkan dengan gerakan hak-hak
tahanan di Prancis yang dimulai dengan mogok makan oleh para tahanan
politik pada 1970. Ia aktif di Grup Informasi Penjara Prancis dan upaya
lain untuk menciptakan situasi di mana tahanan dapat mengartikulasikan
kebutuhan mereka sendiri. Aktivitas sosial ini dipimpin Foucault untuk
mempelajari isu-isu pengetahuan dan kekuasaan dalam arena politik, hukum
pidana, kriminologi, dan ilmu pemidanaan.
Aktivitas sosial ini dipimpin Foucault guna mempelajari perkembangan
pelbagai instansi seperti obat modern dan rumah sakit jiwa untuk pasien
mental dan penjara dalam hal bagaimana mereka dikombinasikan dengan
hukum untuk membangun pengetahuan dan kekuasaan yang dikendalikan
individu. Dalam bukunya, Discipline and Punish, Foucault
menunjukkan bahwa ide-ide modern dan pengetahuan tentang tubuh manusia
dan individu muncul berbarengan dengan penjara dan hukum. Doktrin hukum,
bersamaan dengan perkembangan baru dalam ilmu sosial, mendukung penjara
sebagai metode untuk mendefinisikan dan mengendalikan anggota
masyarakat yang individual.
Perubahan penting dalam jenis-jenis hukuman dan hukum adalah lokasi
fisik dan sosial. Dalam hukuman bentuk pertama, menyiksa tubuh seseorang
adalah suatu tontonan umum. Kedua, hukuman ditarik dari pandangan umum
dan terletak di lembaga tertutup penjara. Proses hukum menggunakan
penyiksaan untuk mendapatkan kebenaran. Melalui nyeri yang diterapkan
pada tubuh terdakwa, pengakuan dapat diperoleh.
Perubahan lain adalah dalam bagaimana tubuh dipandang dalam kaitannya
dengan hukum dan hukuman. Jenis pertama hukuman diarahkan pada tubuh
sehingga rasa sakit bisa dirasakan bagi semua yang melihat. Tubuh
dihukum karena tindak pidana. Pada jenis kedua dari hukuman, tubuh
dihukum untuk tujuan mengubah pikiran dan perilaku kriminal. Hukuman
adalah metode terapi dan kontrol atas kejahatan individu.
Sebagaimana yang dikembangkan hukum pidana modern dan hukuman,
pengetahuan sosial memainkan peran yang semakin penting dalam membuat
penilaian tentang kejahatan dan penjahat, karena tujuan hukuman adalah
untuk mengubah keadaan mental dan perilaku kriminal, psikiatri,
psikologis, sosiologis, dan pengetahuan tentang kriminologi termasuk
dalam keputusan hukum. Hukum pidana digabung dengan ilmu klinis seperti
psikiatri untuk mengobati dan menyembuhkan penjahat.
Penjelasan soal Perubahan-perubahan dalam Hukum Pidana dan Hukuman
Dalam mengembangkan penjelasan tentang hukuman modern, Foucault
menolak pendekatan yang melihat masyarakat modern sebagai progresif dan
membebaskan. Dia tidak menjelaskan hukum pidana modern dan hukuman
sebagai akibat terutama dari keprihatinan moral baru bagi individu.
Sebaliknya, ia berfokus pada hukum pidana dan hukuman sebagai ciri
kekuatan ekonomi berkembang dan masyarakat yang membutuhkan cara-cara
yang lebih halus mengendalikan rincian motivasi individu dan perilaku.
Hukum pidana dan hukuman merupakan bagian dari memperluas “teknologi
politik” dari tubuh dan “mikrofisika kekuasaan” yang menciptakan
pengetahuan individu untuk meningkatkan kontrol institusional.
Sebelumnya, hukuman publik dan penyiksaan diwakili semacam kekuasaan
di mana raja didominasi oleh hubungan hukum dan kekuasaan lokal. Setiap
tindak pidana dipandang sebagai serangan terhadap pribadi raja. Hukuman
pidana fisik yang berlebihan terhadap masyarakat oleh pejabat
menunjukkan kekuatan monarki melawan penjahat. Kekuasaan raja yang
dipancarkan melalui tubuh masyarakat dan melalui pengadilan dan algojo
langsung ditujukan kepada orang-orang seperti yang dilakukan terhadap
tubuh penjahat terkutuk.
Pelbagai faktor menyebabkan perubahan dari penyiksaan masyarakat
untuk lebih mengandalkan penjara. Pertunjukan hukuman publik, misalnya,
semakin dijadikan kesempatan bagi sekelompok orang untuk mendukung
kejahatan ketimbang monarki. Ada juga perubahan yang terjadi dalam jenis
kejahatan yang dilakukan. Secara keseluruhan, kejahatan menjadi semakin
diarahkan pada properti ketimbang orang. Kejahatan dilakukan oleh
individu atau kelompok-kelompok kecil, semisal geng bersenjata yang
terorganisasi. Kejahatan telah menjadi lebih baik, terampil, dan rinci
untuk masyarakat marjinal.
Sumber lain adalah perubahan gerakan reformasi profesi hukum dan
sistem peradilan pidana. Pengacara, administrator peradilan pidana,
sarjana hukum, dan aktivis politik mengembangkan kritik atas hukum
pidana dan hukuman. Mereka berpendapat bahwa hukum yang diterapkan
membingungkan karena ada banyak pengadilan, wilayah hukum, dan sistem
hukum. Yang paling penting, raja memiliki terlalu banyak kontrol atas
hakim dan jaksa. Ciri kesewenang-wenangan tatanan hukum ini adalah
penggunaan kekuatan pengampunan raja. Reformis menuntut hukum yang lebih
konsisten dan keadilan bersamaan dengan penyusunan kembali kekuatan
yang membuatnya lebih efektif dan rinci.
Faktor inti perubahan hukum pidana modern dan hukuman adalah
perkembangan kapitalisme industri. Foucault berpendapat bahwa kekayaan
berupa modal yang diinvestasikan dalam perusahaan industri, baik kontrol
tenaga kerja maupun persyaratan bahwa milik pribadi pemiliknya yang
diamankan—mesin, alat, bahan baku, produk, persediaan—menjadi dasar
untuk proses produksi. Sementara pekerja terbiasa bekerja di bawah hukum
feodal diasumsikan bahwa mereka bisa mengambil beberapa barang yang
mereka produksi. Hubungan produksi kapitalis mengharuskan tindakan
terhadap properti seperti itu dibuat ilegal. Pada akhirnya akan
terbentuk segolongan hukum baru yang merugikan para pekerja dan
menguntungkan pemilik properti.
Perubahan ini menghasilkan kebutuhan untuk hukum: hukum pidana dan
hukuman yang kurang teratur, sewenang-wenang, dan hukuman yang sedetail
hubungan baru produksi di bawah kapitalisme industri. Pola baru hukum
pidana dan hukuman, dengan demikian, dilakukan melalui budaya hukum dan
politik yang menekankan perlunya membela dan mempertahankan masyarakat
sebagai cara untuk membangun kebahagiaan daripada budaya hukum dan
politik yang mengadu kejahatan melawan raja. Budaya hukum dan politik
baru menekankan kemanusiaan dari kejahatan. Ini menyebarkan gagasan
bahwa individu bertindak berdasar pada nalar dan ia akan menandatangani
kontrak sosial dengan masyarakat demi keamanan individu dan kebaikan.
Ketika orang-orang menerima hukum-hukum masyarakat, mereka juga menerima
hukum-hukum yang menentukan kondisi di mana mereka harus berhukum.
Hukum pidana dan hukuman, demikian Foucault, menjadi lebih rasional
dan utilitarian. Pendekatan untuk menghitung hukuman menghalangi
pengulangan kejahatan dengan pidana dan imitasi dari kejahatan oleh
orang lain. Sejalan dengan ini, hukum pidana harus dikodifikasi dan
secara logis terorganisasi, baik dari segi sifat kejahatan maupun
hukuman. Proses pidana harus bebas dari penyiksaan dan dilanjutkan
berdasar atas alasan umum, argumen rasional, dan bukti yang berusaha
menunjukkan kebenaran yang konsisten melalui prinsip-prinsip ilmiah.
Penjara sangat cocok dipakai sebagai suatu pendekatan baru dalam
hukum pidana dan hukuman. Penjara bekerja sebagai “aparatus
pengetahuan”, di mana penjahat dapat diamati, dikontrol, dan diberi
jadwal yang wajib diikuti untuk belajar dalam keteraturan dalam rangka
menentukan cara terbaik untuk mendisiplinkan penjahat dengan cara yang
berguna secara sosial. Di penjara, perilaku individu dibandingkan dengan
perilaku normal yang taat hukum. Hukuman dan imbalan lalu dirancang
untuk memperbaiki perilaku menyimpang. Hukum pidana dan penjara adalah
bagian-bagian dari pola kekuasaan yang melembaga. Kekuasaan yang
melembaga dan pengetahuan mengonstruksi individu sebagai sarana untuk
meningkatkan disiplin dan kontrol dalam masyarakat.
Foucault memberikan analisis posmodern terhadap hukum pidana,
penjara, dan individu. Dia berpendapat bahwa penjara tidak harus
berhasil dalam mereformasi dan merehabilitasi penjahat. Sebaliknya, ia
didirikan dan tumbuh karena itu adalah ciri hubungan modern antara
pengetahuan dan kekuasaan, termasuk di bidang hukum dan ilmu-ilmu
sosial. Penjara merupakan bagian dari sistem pengawasan dan hukum modern
yang mengatasi dua hal: orang dikenakan kontrol yang lebih besar dan
kian besar sementara hak-hak hukum individu dan martabat individu dibuat
menjadi prinsip dasar hukum dan masyarakat.
Kontroversi di Sekitar Posmodernisme, Hukum, dan Masyarakat
Perspektif posmodernisme, hukum, dan masyarakat seperti yang
dikemukakan oleh Foucault dapat dijadikan kritik bagi masyarakat.
Bagaimana tidak, bagian yang penting dari posmodernisme adalah untuk
memikirkan masa depan hukum dan masyarakat adalah persoalan yang
sungguh-sungguh mengandung kontroversi. Sementara para sarjana
mempertahankan sikap bahwa mempertunjukkan posmodernisme dengan
konsep—semisal hukum individualisme—menurut sejarah dapat membangun
gambaran pengetahuan dan kekuasaan, mereka memiliki pendapat yang
berbeda mengenai kontribusi yang dapat dibuat posmodernisme untuk
mengembangkan demokrasi, sebuah pendekatan emansipatif bagi hukum dan
masyarakat.
Posmodernisme menekankan pada gagasan sifat tidak stabil dari hukum
dan masyarakat. Posmodernisme menuduh kepercayaan modern mengenai
perubahan, hukum, hak asasi manusia (HAM), dan individualisme justru
akan mengalami kesulitan kala hendak ditegakkan. Di masyarakat abad
informasi, setiap orang membuat hidup mereka lebih maju melalui
desentralisasi media dari kabel televisi, gelombang radio, komputer,
dunia maya (cyberspace), dan pertemuan singkat. Dalam keadaan
ini, ide dan identitas menjadi lebih berubah-ubah. Ditambah lagi, dengan
pecahnya dunia komunis, akhir kepercayaan kaku tentang Perang Dingin,
dan huru-hara yang melanda pemerintahan-pemerintahan nasional menunjukan
bahwa kita sekarang berada pada era yang baru. Terdapat kehilangan yang
besar, yakni kekuatan struktur modern. Hasilnya, perubahan dalam hukum
dan masyarakat mendatangkan persoalan tentang persatuan yang di dalamnya
berada pada taraf antarpribadi.
Handler (1992), misalnya, mengemukakan bahwa mempelajari hukum dan
masyarakat dengan berpedoman pada kaum posmodernis berfokus untuk
memberikan kepastian dalam hal pengalaman dan kejadian-kejadian yang
khusus. Dengan demikian, dapat mengurangi keleluasaan publik, yang
memberikan pelajaran yang kurang fokus tentang apa itu kelompok,
komunitas, dan pergerakan sosial yang memiliki persamaan dan terlebih
lagi mengisolasi interaksi manusia satu dengan yang lainnya.
Handler bertitik tolak pada penelitian Ewick dan Silbey tentang
kesadaran hukum dan perlawanan sebagai contoh dari pembatasan (Ewick dan
Silbey, 1992). Penelitian itu didasarkan pada pengalaman perempuan
Afro-Amerika dengan lembaga hukum. Setelah dituduh melanggar lalu
lintas, Millie Simpson dikenai denda. Sementara ketika kehilangan surat
izin mengemudi (SIM) dan membutuhkan waktu selama 15 jam, dia ditugaskan
untuk melakukan pelayanan publik ke gereja tempat ia menjadi
sukarelawaan selama ini. Ewick dan Silbey menggunakan contoh atas
kejadian ini untuk menunjukkan bagaimana pengalaman seseorang dan
bagaimana hukum dan masyarakat bekerja setiap hari. Pengalaman Millie
Simpson itu menunjukan bagaimana hukum bekerja di suatu tempat dan
bersifat antarpribadi. Analisis posmodernis memungkinkan kita untuk
memahami bagaimana hubungan hukum yang menyesakkan napas dengan
tantangan yang nyata dari kekuasaan dalam kehidupan sosial kontemporer.
Namun, Handler memiliki pandangan yang berbeda. Pengalaman Millie
Simpson bukan untuk mengajarkan perubahan dalam hukum, karena di
dalamnya meninggalkan struktur hukum dan hubungan kekuasaan yang utuh.
Pendekatan posmodernis menambah fokus pada hubungan yang spesifik dan
identitas dari keterangan individu, kendati mengurangi perhatian pada
“identitas dan kekuatan bersama” (Handler, 1992: 715). Penelitian
posmodernis dalam hukum dan masyarakat tidak pada kebiasaan yang lebih
dari membagikan pengalaman. Pencarian akan struktur hubungan sosial
adalah hal yang pokok pada suatu kejadian dan narasi besar yang
menciptakan pendirian pada kelompok dan pergerakan sosial.
Pendapat Handler didukung oleh Calavita dan Seron (1992). Mereka
menyambut baik desakan posmodernis bahwa hukum dan masyarakat dan
pergerakan sosial adalah tujuan pokok untuk “menempa orang yang memiliki
identitas sungguhan dan biasanya memiliki cerita yang unik untuk
dibagikan”. Bagaimanapun, posmodernisme telah menghidupkan
masalah-masalah dalam ilmu sosial dan upaya dalam hukum dan politik
untuk menciptakan emansipasi masyarakat.
Komunitas, Kewarganegaraan, dan Hukum
Seperti yang telah disebutkan dalam bab sebelumnya, gagasan komunitas
dapat membantu kita menyusun dan menghubungkan kembali pengetahuan
tentang individu dan hubungan mereka satu sama lain. Dengan menelaah ada
atau tidaknya ikatan komunitas, kita akan mendapatkan pemahaman yang
baik atas bagaimana hukum dan masyarakat mendefinisikan individu dan
hubungan mereka satu sama lain dengan dunia sosial. Kita juga dapat
memahami bagaimana konteks umum dari komunitas membentuk konstruksi
hukum (legal construction) melalui bagaimana masyarakat membangun maksud dan tindakan mereka.
Dalam analisis mengenai kewarganegaraan, Frasher dan Gordon menyoroti
isu ini. Mereka menunjukkan bahwa area kehidupan publik, kebijakan
sosial, dan hukum semakin tidak disukai dan dihormati di masyarakat AS.
Kendati ada banyak faktor yang berperan dalam menurunnya kedudukan ruang
publik di masyarakat AS, faktor kuncinya adalah bagaimana hukum dan
politik AS mengonstruksikan “kewarganegaraan” (citizenship). Pandangan yang dominan dalam citizenship adalah civil citizenship (kewarganegaraan sipil). Civil citizenship
mendefinisikan kewarganegaraan sebagai pribadi individu yang mengejar
tujuannya dan ketertarikan masing-masing melalui hubungan hukum yang
aman seperti kepemilikan dan kontrak. Pendekatan kewarganegaraan ini
menitikberatkan dan menjunjung tinggi kehidupan personal dan
keperdataan. Ini mengabaikan nilai kepemilikan umum, institusi bagi
hasil, dan kewajiban kolektif dari kehidupan masyarakat.
Dalam mengelaborasi gagasan mereka, Frasher dan Gordon mengacu dari
pandangan TH Marshall (1964). Marshall menyatakan bahwa masyarakat
modern, dalam mengembangkan kewarganegaraan, dibangun melalui tiga
tahapan.
Pertama, civil citizenship. Tahap ini memuat hak milik terhadap benda (legal right to property), hak kebebasan individu (right to personal liberties) seperti kebebasan berserikat dan berpendapat, dan hak atas keadilan (right to justice). Kedua, political citizenship.
Tahap ini menegakkan hak-hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan
politik dan pengambilan keputusan meliputi hak untuk memilih dan dipilih
dalam pemilihan umum.
Ketiga, social citizenship. Tahap ini meliputi hak atas
keamanan ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan kebaikan-kebaikan sosial
lainnya yang mampu memenuhi kebutuhan masyarakat secara utuh, kehidupan
produktif sebagai partisipan dalam berbagi dunia sosial. Menurut
Marshall, hak ini harus disediakan sebagai pelayanan sosial untuk semua
orang tanpa melihat pendapatan mereka. Perluasan social citizenship
akan menangani perbedaan kelas dalam masyarakat, membawa masyarakat
pada kebutuhan umum, dan membangun rasa berbagi dan solidaritas dalam
komunitas.
Frasher dan Gordon berpendapat bahwa dominasi civil citizenship di AS telah memperlemah komunitas dan membuat social citizenship sulit dicapai. Hal ini dikarenakan, pertama, civil citizenship secara historis mengesampingkan wanita dan etnis serta ras minoritas. Kedua, civil citizenship memperlemah komunitas dengan membuat aktivitas dan hubungan di luar kepemilikan (property) dan keluarga sebagai kegiatan amal sukarela kepada mereka yang membutuhkan.
Dalam proses terbentuknya aturan hukum (rule of law),
demokrasi, dan perubahan hubungan dari kapitalisme negara dan
institusional selalu terjadi ketegangan, bahkan konflik. Seiring
perubahan sosial, ekonomi, dan politik, aturan hukum juga harus
dikonstruksikan kembali dengan memperhatikan kondisi di mana masyarakat
hidup. Aturan hukum harus dibuat lebih sosial dan demokratis.
Prinsip kebebasan dan keadilan harus dipelihara dengan
sungguh-sungguh, lebih dikembangkan dan direalisasikan dalam menghadapi
kehidupan sosial yang baru. Prinsip utamanya adalah membuat kehidupan
masyarakat lebih peka dan membuat mereka lebih adil dan rasional. Hasil
akhir prinsip-prinsip menentang kekuasaan sewenang-wenang menyediakan
prosedur universal dalam membuat tuntutan yang dapat melayani
masyarakat, prosedur yang adil untuk berargumen dan mengajukan
pembuktian, membuat tuntutan secara jelas dan rasional, dan hak untuk
mengajukan banding keputusan harus mampu membuat kehidupan sosial
menjadi lebih demokratis dan adil serta memungkinkan masyarakat
berpartisipasi dalam membuat keputusan yang memengaruhi hidup mereka.
Tantangan untuk memperluas prinsip-prinsip aturan hukum ini adalah
birokrasi yang terbatas, mengatasi ketidaksetaraan, keterpencilan, dan
ketidakberdayaan dari individualisme yang radikal dan yang menekan nilai
komunitas.
Kesimpulan
Bab ini fokus pada hubungan antara pendekatan posmodern terhadap
hukum dan masyarakat. Analisis Foucault tentang hukum pidana dan hukuman
menunjukkan bahwa tema posmodern adalah masyarakat modern saat ini yang
sering mengasingkan diri dari yang lain, memegang kekuasaan atas
masyarakat, dan memperlakukan masyarakat sebagai objek dari pengetahuan
dengan mengatasnamakan kemajuan, ilmu pengetahuan, dan hak bagi setiap
individu yang dilindungi oleh hukum. Walaupun posmodernisme merupakan
ciri penting dalam penelitian hukum dan masyarakat, ia sering mengarah
pada cara-cara dalam melakukan penelitian kasus yang merupakan bagian
dari pengertian dan tindakan umum. Pendekatan kritis sendiri harus
bersinambungan dalam usaha menetapkan pengertian bersama dan komunitas
dalam hukum dan masyarakat.
Dalam mengembangkan ilmu pengetahuan yang memperluas pengertian dan
komunitas, bab ini menjelaskan perbedaan dari kewarganegaraan sipil (civil citizenship) dan kewarganegaraan sosial (social citizenship).
Kewarganegaraan sipil berakar dari individualisasi, perjanjian, dan
nilai dari kehidupan pribadi bagi setiap keluarga. Hal ini merupakan
konsekuensi secara hukum dan politik untuk menghilangkan status sosial
dan hubungan masyarakat di antara orang di luar ruang publik dari harta
kekayaan (properti) dan perjanjian serta ruang pribadi dalam rumah
tangga. Sementara itu, kewarganegaraan sosial berakar dari nilai
masyarakat dan solidaritas dalam masyarakat. Hal tersebut membuat
kebersamaan menjadi bermakna dan memiliki komitmen untuk mendefinisikan
kehidupan bersama.
Ada faktor yang membentuk tipe kewarganegaraan yang memengaruhi
aturan hukum, yakni perubahan dari kompetisi ke perusahaan kapitalis,
munculnya pergerakan sosial demokratis, dan pergeseran batas-batas
publik dan pribadi (privat) yang menjadi perhatian dalam usaha yang
mendalam terhadap hukum. Hukum menjadi lebih terfokus pada kebijakan
publik dan penyelesaian masalah ketimbang mengaplikasikan peraturan ke
dalam kasus-kasus tertentu.
Dalam menghadapi tantangan ini, kita tidak seharusnya meninggalkan
aturan hukum ataupun menganggapnya sebagai suatu bentuk yang klasik.
Namun, prinsip yang terdapat dalam peraturan hukum sebaiknya dapat
memperluas arah demokrasi dan kehidupan sosial.
Guna mengadopsi aturan hukum di kehidupan nyata dalam upaya untuk
menumbuhkan demokrasi, partisipasi dan kesetaraan, wilayah-wilayah hukum
perburuhan, dan resolusi alternatif dalam penyelesaian masalah yang
telah dipelajari dalam buku ini adalah bersifat instruktif. Sebagai
struktur-struktur yang memungkinkan orang untuk dapat menyelesaikan dan
memecahkan permasalahan mereka melalui negosiasi mereka sendiri
dibandingkan dengan melalui penegakan aturan birokratis, buku ini
menyediakan arahan-arahan cara berpikir baru mengenai aturan hukum.
Supaya arahan itu berarti dan berlaku secara efektif, bagaimanapun,
haruslah memenuhi kualitas-kualitas masyarakat yang lebih setara dan
demokratis. []
[1] Guru besar sosiologi pada Universitas Delaware, Amerika Serikat.
*Tulisan ini adalah kutipan pada Blog. http://sastrakelabu.wordpress.com
*Tulisan ini adalah kutipan pada Blog. http://sastrakelabu.wordpress.com
Komentar
Posting Komentar