UU Perdagangan_ Kamis, 27 Pebruari 2014




Area Abu-Abu Nasionalisme dalam UU Perdagangan
Bergantung bagaimana kelak diatur dalam peraturan teknis seperti Peraturan Menteri.


DPR dan Pemerintah mengklaim ada semangat nasionalisme dalam UU Perdagangan baru. Semangat nasionalisme dituangkan dalam pasal, termasuk perlindungan usaha perdagangan lokal. Namun benarkah semangat nasionalisme itu utuh atau masih semu dan masih abu-abu?

Pengamat Ekonomi Hendri Saparini termasuk yang belum melihat nasionalime dalam UU Perdagangan dalam wujud seutuhnya. “Mungkin DPR dan pemerintah sudah mengatakan sangat pro nasionalisme, tapi pro-nya itu relatif semu, belum tegas, masih di area abu-abu. Itu masih potensi,” kata Hendri kepada hukumonline (26/2). Hendri adalah salah seorang ahli ekonomi yang dimintai masukan dalam pembahasan RUU Perdagangan.

Menurut Hendri, terlalu banyak hal yang tidak jelas di dalam UU Perdagangan. Beberapa poin dipandang melindungi kepentingan dalam negeri, namun semua implementasi semangat nasionalisme masih harus menunggu aturan perundangan lainnya. Bahkan tak menutup kemungkinan aturan teknisnya merugikan perdagangan dalam negeri.

Hendri menyayangkan UU yang telah lama dinanti tersebut masih menyematkan terlalu banyak pasal yang “selanjutnya diatur oleh Peraturan Menteri.” Padahal, lanjutnya, UU Perdagangan diharapkan dapat memberikan penjelasan dan ketegasan yang pasti untuk melindungi perdagangan dalam negeri.

Salah satu catatan dari Hendri adalah menyoal kewajiban pemerintah untuk menstabilkan komoditas strategis dalam negeri yang ada di dalam UU Perdaganan. Ia mempertanyakan apa itu komoditas strtategis dan siapa yang harus menetapkan apa saja kategori dari komoditas sratetegis yng dimaksud. Selain itu, seperti apa dukungan pemerintah terhadap komoditas strategis ini. “Di UU Perdagangan itu belum jelas. Padahal salah satu tugas UU Perdagangan tersebut adalah menjelaskan hal tersebut,” tegasnya.

Poin selanjutnya adalah keterkaitan antara kebijakan industri dan perdagangan. Berdasarkan penilaiannya, semestinya UU Perdagangan mencantumkan pasal-pasal yang mengaitkan antara kebijakan industri dan perdagangan. UU Perdagangan seharusnya hadir untuk mendukung industrialisasi dalam negeri. Jika keterkaitan kebijakan tersebut tidak ada, ia meyakini UU Perdagangan relatif longgar mengingat poin-poin penting antara kebijakan perdagangan dan industri tidak dicantumkan secara jelas.

“Saya yakin UU Perdagangan ini nantinya masih akan menyebabkan sektor industri dan perdagangan tetap sektoral. Dan saya tidak yakin ada pasal yang menglinkage-kan antara perdagangan dan industri di dalam UU Perdagangan,” ungkapnya.

Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) pada saat pembahasan RUU Perdagangan, Hendri sempat diundang untuk memberi masukan pada saat itu. Ia memberikan masukan kepada DPR untuk membentuk industrial policy and strategy agar arah kebijakan industri nasional menjadi jelas. Namun setelah UU Perindustrian dan UU Perdagangan disahkan, industrial policy and strategy tersebut belum dibentuk.

“Tetapi satu karena tdak ada referensi yang sama antara perdagangan dan industri, yang kedua aturan penjelasannya juga belum dibuat, bisa jadi ini terjadi penyimpangan pada aturan penjelasannya,” kata Hendri.

Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi VI Erik Satrya Wardhana menegaskan UU Perdagangan ini benar-benar mengakomodasi kepentingan nasional. Materinya sudah mengatur perdagangan dari hulu sampai hilir. Bahkan ia menyebut nasionalisme UU ini sangat merah putih. “UU Perdagangan merupakan UU yang warnanya merah putih. Sarat dengan perlindungan dan proteksi nasional,” jelas politisi Partai Hanura ini.

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Amir Syamsudin juga memberikan apresiasi kepada DPR atas persetujuan RUU Perdagangan untuk disahkan menjadi Undang-Undang. Apresiasi diberikan juga karena UU Perdagangan lebih mengutamakan kepentingan Indonesia. “UU Perdagangan mengutamakan kepentingan Indonesia,” pungkasnya.

_@hukumonline.com

Komentar

Postingan Populer