MEKANISME PENERIMAAN LAPORAN ATAU PENGADUAN OLEH PIHAK KEPOLISIAN
Sering sekali penulis membaca di media
massa mengenai tindakan aparat Kepolisian yang menolak laporan / aduan karena
berbagai alasan yang tidak memuaskan dan terkesan mengada-ada.
Pada kesempatan ini penulis ingin
menjelaskan pemahamannya mengenai proses penerimaan laporan / pengaduan kepada
khalayak luas, agar menjadi pengetahuan bagi anggota Kepolisian, anggota
masyarakat termasuk para jurnalis agar bisa memahami proses penerimaan laporan
/ pengaduan dan sekaligus menjadikan para pembaca sebagai sarana kontrol
terhadap aparat kepolisian dalam hal proses penerimaan laporan / pengaduan demi
peningkatan pelayanan kepada masyarakat.
A.
PENGERTIAN LAPORAN dan PENGADUAN
Pengertian Laporan / pengaduan dapat kita temukan didalam Pasal 1 angka 24 dan 25 UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Pengertian Laporan / pengaduan dapat kita temukan didalam Pasal 1 angka 24 dan 25 UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Laporan adalah
pemberitahuan yang disampaikan oleh seorang karena hak atau kewajiban
berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau
sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana.
Pengaduan adalah
pemberitahuan disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada pejabat
yang berwenang untuk menindak menurut hukum seorang yang telah melakukan tindak
pidana aduan yang merugikannya.
(Pasal 1 angka 25 KUHAP)
Disini terlihat secara tegas bahwa
KUHAP telah membedakan apa yang dimaksud dengan laporan dan apa yang dimaksud
dengan pengaduan, artinya penanganan yang harus dilakukan oleh pihak Kepolisian
pada saat menerima laporan dan pengaduan haruslah berbeda, karena perbedaan
yang mendasar dari keduanya bentuk penyampaian informasi tersebut.
1. Pengaduan
Sesuai
dengan definisi pengaduan diatas, maka dapat kita simpulkan bahwa ruang lingkup
materi dalam pengaduan adalah adanya kepastian telah terjadi sebuah tindak pidana yang termasuk dalam delik
aduan, dimana tindakan seorang pengadu yang mengadukan permasalahan pidana
delik aduan harus segera
ditindak lanjuti dengan sebuah tindakan hukum berupa serangkaian
tindakan penyidikan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Artinya dalam
proses penerimaan pengaduan dari masyarakat, seorang pejabat yang berwenang
dalam hal ini Polri khususnya, harus bisa menentukan apakah sebuah peristiwa
yang dilaporkan oleh seorang pengadu merupakan sebuah tindak pidana delik
aduan ataukah bukan. Inti dari pernyataan penulis tersebut diatas, bahwa
dalam proses penerimaan pengaduan terjadi proses penyaringan oleh
pejabat yang menerima pengaduan tersebut sehingga sangat memungkinkan sebuah
pengaduan dari masyarakat ditolak oleh pihak Kepolisian karena beberapa hal
diantaranya disebabkan oleh :
a.
Pengaduan disampaikan bukan oleh orang yang
berhak mengadu.
Syarat
utama untuk melakukan proses penyidikan terhadap pasal-pasal pidana yang
termasuk dalam delik aduan adalah adanya pengaduan dari pihak yang berwenang
mengadu.
Contoh
: Tindak pidana di bidang Merek, Seseorang yang mengadu karena
merasa merek miliknya yang telah resmi terdaftar di Dirjen HAKI telah digunakan
tanpa hak oleh pihak lain, harus mampu memperlihatkan kepada penyidik
bahwa yang bersangkutan adalah pemilik merek yang terdaftar dengan cara
memperlihatkan sertifikat asli pemegang merek terdaftar yang dikeluarkan oleh
Dirjen HAKI.
b. Delik aduan
yang diadukan termasuk kepada delik aduan absolute namun diinginkan
penanganannya layaknya penanganan dalam delik aduan relative (terjadi
pemecahan).
Yang
dimaksud dengan delik aduan absolute adalah tindak pidana delik aduan yang
proses penuntutannya tidak dapat dipecah.
Contoh : Perzinahan, mukah (overspel), atau yang lebih
dikenal dengan perselingkuhan adalah contoh terbaik tindak
pidana aduan absolut (absolute klach delict). Dalam hal ini, walaupun
pasangan yang sedang dimabuk cinta menampakkan semangat bercinta menyala-nyala
dan terang-terangan (mamitra ngalang), baik dilakukan dalam lingkungan
keluarga, dengan tetangga, dengan “dakocan” (dagang kopi cantik), dengan teman
sekantor atau atasan langsung dalam satu lembaga pemerintah, tidak dapat
dituntut oleh pihak berwajib, tanpa ada pengaduan dari pihak yang berhak
mengadukan menurut hukum yang berlaku. Pihak yang dianggap paling berhak
mengadukan adalah suami, bagi seorang istri yang berselingkuh,
atau seorang istri bagi suami yang berselingkuh. Oknum Hansip dan
Tramtib, mertua dan ipar, keluarga dekat dan keluarga jauh, apalagi tetangga,
tidak berhak mengadukan sebuah “proyek perselingkuhan”, dengan maksud agar
perbuatan itu dituntut menurut hukum.
Kemudian bila ternyata sang suami
ingin mengadukan perbuatan selingkuh yang dilakukan istrinya, atau sang istri
ingin mengadukan perbuatan selingkuh yang dilakukan suaminya, pengaduan yang
dibuat tidak dapat dipecah dalam arti sang suami atau sang istri tidak bisa
hanya mengadukan selingkuhan pasangannya saja tanpa berniat mengadukan pasangannya
sendiri.
Penanganan
terhadap delik aduan relative sangat berbeda dengan penanganan delik aduan
absolute, perbedaan terletak pada kehendak pelapor untuk memilah-milah pihak
yang ingin diproses hukum, berikut adalah contoh peristiwa pengaduan terhadap
deli aduan relative.
Contoh : Seorang ayah memiliki lima orang anak, suatu
ketika kelima anak tersebut mencuri barang-barang milik sang ayah. Dalam hal
ini sang ayah dapat saja mengadukan hanya salah satu anak dari kelima anaknya
yang telah mencuri barang-barang miliknya. Misalnya saja dalam membuat
pengaduan kepada pejabat yang berwenang sang ayah hanya mengadukan perbuatan
anaknya yang bungsu. Dalam hal ini pejabat yang berwenang dapat langsung
melakukan proses penyidikan terhadap anak bungsu dari sang ayah.
2. Laporan
Berbeda
dengan pengaduan, pelaporan merupakan sebuah bentuk pemberitahuan kepada
pejabat yang berwenang bahwa telah atau sedang atau diduga akan terjadinya
sebuah peristiwa pidana. Artinya sebuah peristiwa yang dilaporkan oleh
masyarakat belum tentu merupakan sebuah peristiwa pidana sehingga dibutuhkan
sebuah tindakan penyelidikan oleh pejabat yang berwenang untuk menentukan
apakah peristiwa tersebut merupakan sebuah peristiwa pidana atau bukan.
Tindakan
penyelidikan untuk menentukan apakah sebuah peristiwa merupakan peristiwa
pidana atau bukan merupakan sebuah kewajiban bagi pejabat yang berwenang ketika
menerima sebuah laporan dari masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal
102 ayat (1) KUHAP, yaitu :
Penyelidik yang
mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa
yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan
penyelidikan yang diperlukan.
Ketidakpahaman
anggota Polri terhadap perbedaan mendasar terhadap laporan dan aduan kerap kali
menimbulkan kesalahan dalam proses penerimaannya yang berakibat negative
terhadap citra Polri karena masyarakat yang ingin membuat laporan sering
ditolak karena tidak membawa sebuah bukti yang jelas, sementara masyarakat
berpersepsi bahwa beban untuk mencari barang-bukti tidak terletak pada pundak
masyarakat, melainkan menjadi tugas Polri sebagai pihak yang diberi tugas dan
kewenangan oleh peraturan perundang-undangan untuk mencari dan mengumpulkan
bukti yang ada untuk melakukan tindakan penyidikan terhadap tersangka.
3.
Laporan
terkait dengan masalah tindak Pidana Pemilu
Khusus
mengenai laporan yang terkait dengan tindak pidana Pemilu, harus dipahami bahwa
mekanisme penanganannya pun berbeda karena UU No. 10 tahun 2008 tentang Pemilu
Anggota DPR, DPD dan DPRD mengatur secara khusus hukum acara penanganan Tindak
Pidana Pemilu termasuk mekanisme pelaporannya.
Mengacu
kepada pasal 247 ayat (2) bahwa penerimaan laporan pelanggaran Pemilu dilakukan
Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota, Panwaslu kecamatan,
Pengawas Pemilu Lapangan dan Pengawas Pemilu Luar Negeri dengan penekanan penerimaan
laporan dilakukan secara tertulis, yang bila benar ternyata terdapat tindak
pidana pemilu maka berdasarkan pasal 247 angka (9) UU Pemilu, temuan dan
laporan tentang dugaan pelanggaran pemilu yang mengandung unsur
pidana, setelah dilakukan kajian dan didukung dengan data permulaan yang cukup,
diteruskan oleh Bawaslu kepada penyidik Kepolisian.
Proses penyidikan dilakukan oleh penyidik polri dalam jangka waktu
selama-lamanya 14 hari terhitung sejak diterimanya laporan dari Bawaslu.
Hal
ini mengandung makna bahwa dalam hal pelaporan adanya tindak pidana Pemilu, UU
No. 10 tahun 2008 mengatur secara khusus mekanisme penerimaan laporan tindak
pidana pemilu yaitu penerimaan laporan dilakukan (hanya) oleh Bawaslu,
Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota, Panwaslu kecamatan, Pengawas Pemilu
Lapangan dan Pengawas Pemilu Luar Negeri (bukan oleh Polri) sehingga
Polri tidak diberi kewenangan untuk menerima pelaporan atau dengan kata lain
Polri tidak diperkenankan merespon laporan dari masyarakat mengenai tindak
pidana Pemilu dengan tindakan penyidikan.
Sebagai
solusi atas permasalahan tersebut, terutama bila ada warga masyarakat yang
melapor maka hal yang dapat dilakukan oleh pihak Kepolisian adalah meneruskan
laporan masyarakat mengenai adanya tindak pidana Pemilu kepada Bawaslu,
Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota, Panwaslu kecamatan, Pengawas Pemilu
Lapangan dan Pengawas Pemilu Luar Negeri untuk dikaji dan dianalisa.
Hal
ini merupakan syarat mutlak dalam penanganan tindak pidana Pemilu karena
penanganan sebuah perkara tindak pidana Pemilu yang tidak berdasarkan laporan
dari Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota, Panwaslu kecamatan,
Pengawas Pemilu Lapangan dan Pengawas Pemilu Luar Negeri dapat batal demi
hukum.
Dengan memahami perbedaan tindakan terhadap bentuk pemberitahuan masyarakat
kepada pihak Kepolisian maka diharapkan pihak Kepolisian dapat melakukan
tindakan secara profesional dalam arti:
1. Menerima semua bentuk
laporan masyarakat untuk ditindaklanjuti (tentunya dengan memberikan bukti
penerimaan laporan oleh pejabat berwenang).
2. Menyaring semua jenis
pengaduan yang dilaporkan oleh mayarakat secara teliti dan berani menolak
pengaduan dari pihak masyarakat bila ternyata yang membuat pengaduan bukan
orang yang berhak (dimata hukum) untuk membuat pengaduan.
3. Melakukan tindakan
yang diperlukan bila menerima laporan adanya tindak pidana Pemilu agar perkara
tersebut dapat ditangani. (meneruskannya kepada Bawaslu, Panwaslu provinsi,
Panwaslu kabupaten/kota, Panwaslu kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan dan
Pengawas Pemilu Luar Negeri)
Sentra
Pelayanan Kepolisian atau SPK adalah Petugas Kepolisian yang bertugas
memberikan Pelayanan Kepolisian kepada Masyarakat yang membutuhkan antara lain
:
1.Menerima
segala bentuk Laporan dan Pengaduan Masyarakat.
2.Melakukan
penanganan pertama Laporan/ Pengaduan Masyarakat.
3.Melayani
masyarakat dalam hal permintaan bantuan tindakan Kepolisian.
4.Melayani
dan membantu penyelesaian perkara ringan/ perselisihan antar warga sesuai
ketentuan hukum yang berlaku dan peraturan/ kebijakan dalam organisasi Polri.
Sedangkan
Prosedur Penerimaan Laporan/ Pengaduan Masyarakat kepada Polri, adalah :
1.
Masyarakat/ Pelapor dapat datang ke Kantor Polisi terdekat berdasarkan tempat
kejadian perkara yang akan dilaporkan.
2.
Masyarakat/ Pelapor akan diterima oleh Petugas SPK.
3.
Oleh Petugas SPK masyarakat/ pelapor akan diambil keterangannya untuk
dituangkan dalam format berdasarkan apa yang dilaporkan.
4.
Setelah diterima laporannya masyarakat akan diberikan Surat Tanda Penerimaan
Laporan.
5.
Masyarakat tidak dipungut biaya apapun.
Komentar
Posting Komentar