Landmark Decision MA Tahun 2012


Kamis, 04 April 2013

Melihat Intisari Landmark Decision MA Tahun 2012

Mulai dari pemenuhan hak ahli waris mengajukan PK hingga kritik terhadap hukum adat yang tak mengakui kedudukan perempuan setara dengan laki-laki.

Tradisi Mahkamah Agung (MA) untuk memilih beberapa putusan penting terus berlanjut. Laporan Tahunan Mahkamah Agung Tahun 2013 yang dilansir pertengahan Maret lalu juga mencantumkan putusan-putusan terpilih atau landmark decisionsitu.

Menurut Ridwan Mansyur, Kepala Biro Hukum dan Humas MA, putusan terpilih itu digodok oleh sebuah tim yang diangkat melalui Surat Keputusan Ketua MA. Biasanya tim memilih sejumlah putusan dari masing-masing lingkungan peradilan, kemudian mengerucut ke dalam beberapa putusan terpilih. Tim menggunakan parameter tertentu untuk memilih putusan. Misalnya?

“Materi putusan belum pernah ada sebelumnya, dan perkara itu ada anotasi yang sangat menarik untuk disampaikan kepada hakim, law society, dan publik untuk menjadi rujukan,” jelas Ridwan kepada hukumonline (17/3). Jadi, biasanya ada kaidah hukum baru, dan substansi perkaranya menarik.  

Daftar awal Laporan Tahunan MA 2012 mencantumkan tujuh putusan terpilih. Terdiri dari masing-masing satu perkara pidana umum, pidana khusus, perdata khusus, dan agama. Tiga perkara lain adalah putusan perdata yang berkaitan dengan perjanjian penitipan, tanah, dan sengketa waris adat. Tetapi di bagian akhir, putusan Bupati Aceng HM Fikri akhirnya dikeluarkan. Inilah ringkasan putusan-putusan terpilih tersebut.

Tanggung jawab korporasi

Salah satu perkara yang menarik perhatian publik dan putusan kasasi perkara ini menjadi landmark decision adalah tindak pidana perpajakan Asian Agri Group. Manager pajak perusahaan ini, Suwir Laut alias Liu Che Sui didakwa melakukan tindak pidana perpajakan berupa tindakan menyampaikan surat pemberitahuan pajak yang isinya tidak benar atau tidak lengkap dari 14 perusahaan di bawah Asian Agri Group.

Di tingkat pertama dan banding, eksepsi terdakwa diterima hakim. Tetapi di tingkat kasasi, majeli beranggotakan Djoko Sarwoko, Prof. Komariah E. Sapardjaja, dan Sri Murwahyuni menerima kasasi penuntut umum. Majelis bukan hanya menghukum terdakwa secara individu, tetapi juga membebankan kewajiban kepada 14 perusahaan membayar utang pajak 2,519 triliun rupiah. Majelis berpendapat perbuatan terdakwa bukan semata untuk kepentingan terdakwa tetapi juga kepentingan korporasi yang pajaknya diurus oleh terdakwa. Putusan ini dinilai sebagai sebuah terobosan hukum.
Hak mengajukan PK

Bolehkah mengajukan PK atas PK? Pertanyaan ini sering mengemuka dalam debat hukum. Bahkan Mahkamah Konstitusi sampai menegaskan permohonan Peninjauan Kembali alias PK hanya boleh sekali. Pasal 24 ayat (2) UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman memuat aturan senada.

Tetapi putusan MA No. 183 PK/Pid/2010 merupakan PK atas putusan PK. PK pertama diajukan jaksa. Dalam perkara No. 183 tersebut majelis hakim dipimpin Artidjo Alkostar –beranggotakan Salman Luthan dan Sri Murwahyuni—berpendapat esensi PK adalah hak terpidana atau ahli warisnya. Apakah hak terpidana/ahli waris mengajukan PK gugur jika jaksa sudah mengajukan PK? Majelis berpendapat terpidana tetap boleh mengajukan karena pada esensinya PK itu adalah hak terpidana, bukan hak jaksa.

Dalam pertimbangan, majelis antara lain menyatakan walaupun dalam praktek jaksa dapat mengajukan PK, namun sesuai dengan esensi PK yang menjadi hak terpidana atau ahli warisnya, “maka hak PK yang terakhir harus diberikan kepada terpidana atau ahli warisnya”.
Pembatalan perkawinan
Menikah secara Islam tak sepenuhnya bisa menjamin pasangan suami isteri sudah sah beragama Islam. ES menikah dengan IKD secara Islam pada 1995. Setelah IKD meninggal, saudara-saudaranya mempersoalkan dan meminta pembatalan perkawinan itu. Penyebabnya, ES dan IKD bukanlah orang yang beragama Islam. ES beragama Katholik dan IKD beragama Buddha.

Putusan MA No. 329K/Ag/2011 sejalan dengan putusan banding yang telah membatalkan perkawinan ES dan IKD. Melihat fakta bahwa ES dan IKD bukan orang yang beragama Islam, maka akta nikah mereka tidak mempunyai kekuatan hukum. Majelis hakim agung dalam perkara ini adalah Andi Syamsu Alam, Habiburrahman, dan Abdul Manan.

Perjanjian perparkiran

Sudah banyak kasus kehilangan kendaraan di lokasi parkir, dan kasusnya tidak selesai. Pemilik kendaraan tak bisa berbuat banyak karena pengelola parkir menghindari tanggung jawab dengan membuat klausula baku. Bagaimana sebenarnya hubungan hukum pengelola parkir dan pemilik kendaraan?

Putusan MA No. 2078/K/Pdt/2009 dalam perkara Sumito Y. Viansyah melawan PT Securindo Packatama Indonesia memperjelas bahwa hubungan hukum pengelola parkir dengan pemilik kendaraan bukan sekadar perjanjian sewa menyewa lahan parkir, tetapi juga perjanjian penitipan. Majelis hakim HM Imron Anwari, H. Suwardi, dan Prof. Hakim Nyak Pha menyatakan jika dihubungkan dengan Pasal 1365-1367 KUH Perdata, pengelola parkir wajib menanggung kehilangan sepeda motor penggugat. Kehilangan kendaraan di lokasi parkir menjadi tanggung jawab pengelola parkir. Putusan senada sudah menjadi yurisprudensi MA.
Asas kemanfaatan dan keadilan

Penggugat mengklaim tanah yang dikuasai para tergugat adalah haknya karena sejak 1976- 33 tahun sebelum gugatan diajukan—ayah tiri penggugat sudah membagi hak atas tanah kepada penggugat dan sebagian tergugat yang juga adik tirinya. Penggugat mengatakan pembagian tanah itu tidak sah karena tanpa persetujuan penggugat sebagai anak. Pengadilan Tinggi Jawa Timur mengabulkan sebagian gugatan penggugat.

Majelis hakim agung Prof. Rehngena Purba, Soltoni Mohdally dan Prof. Takdir Rahmadi mengabulkan kasasi para tergugat. Para tergugat sudah menguasai tanah sejak 1976 secara terus menerus dan didaftar secara terang di daftar desa setempat. Penguasaan yang lebih dari 30 tahun tanpa dipersoalkan penggugat berarti penggugat telah melepaskn haknya secara diam-diam (rechtsverwerking).

Pertimbangan majelis didasarkan pada asas kemanfaatan dan keadilan serta ketenteraman masyarakat, agar pemakai dapat menikmatinya dengan tenang. Lebih besar mudharatnya apabila gugatan dikabulkan karena akan menimbulkan keresahan dalam masyarakat, khususnya di desa objek sengketa.

Hak perempuan dan laki-laki

Dalam putusan kasasi No. 1048K/Pdt/2012, majelis hakim agung dipimpin Prof. Rehngena Purba – beranggotakan Prof. Takdir Rahmadi dan Nurul Elmiyah—menyatakan hukum adat yang tidak mengakui hak perempuan setara dengan kedudukan laki-laki tidak dapat dipertahankan lagi.

Putusan ini diambil dalam sengketa tanah waris di Nusa Tenggara Timur. Penggugat Ny. JFMN mengklaim tanah yang dikuasai para tergugat adalah miliknya hasil warisan dari ayahnya. PN Rote Ndao mengabulkan sebagian gugatan penggugat, yakni menyatakan Ny. JFMN adalah ahli waris ayahnya. Pengadilan Tinggi membatalkan putusan itu dengan dasar hukum adat setempat mengenal sistem kewarisan patrilineal murni. Artinya, yang berhak mewarisi adalah anak laki-laki. Kalau tak ada anak laki-kali, keluarga tersebut harus mengangkat anak laki-laki saudaranya (setempat dikenal dengan dendi anak kelambi).

Mahkamah Agung membatalkan putusan banding tersebut. Majelis hakim agung berpendapat hukum adat yang tidak mengakui hak perempuan setara dengan laki-laki tak bisa dipertahankan lagi. Hukum adat yang demikian melanggar hak asasi manusia (UU No. 39 Tahun 1999) dan yurisprudensi MA No. 179K/Sip/1961.  

Permohonan uji pendapat

Putusan ketujuh yang menjadi landmark decision adalah putusan MA No. 1P/Khs/2013. Dalam putusan ini majelis hakim agung –Prof. Paulus Effendi Lotulung, Yulius, dan Supandi -- menyatakan keputusan DPRD Garut 21 Desember 2012 terkait Bupati HM Aceng Fikri berdasar hukum, sehingga permohonan pendapat dikabulkan.  

Dalam pertimbangan, majelis menyatakan Aceng Fikri tidak mematuhi peraturan perundang-undangan berkaitan dengan perkawinan. Padahal sesuai UU Pemerintahan Daerah, seorang kepala daerah wajib mematuhi seluruh peraturan perundang-undangan yang berlaku.

“Mahkamah Agung berpendapat bahwa H. Aceng HM Fikri S.Ag (Bupati Garut) telah melanggar sumpah/janji jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yaitu tidak memenuhi kewajiban sebagai kepala daerah untuk menjalankan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 beserta peraturan pelaksanaannya dengan selurus-lurusnya”.

Dalam Laporan Tahunan MA 2012, ringkasan putusan dan kutipan pertimbangan hakim tak tercantum meskipun pada daftar putusan penting di awal laporan sudah disebut. Awalnya, diakui Ridwan Mansyur, putusan perkara Aceng masuk Laporan Tahunan 2012. Tetapi karena putusan majelis diketuk pada 2013, maka secara resmi putusan tersebut akan masuk landmark decisions tahun berikutnya. “Putusan Aceng akan masuk dalam landmark decision 2013,” jelasnya kepada hukumonline. (http://www.hukumonline.com)

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer