G R A S I
Hak atas hidup sebagai “hak-hak yang paling
terpenting dari semua hak asasi manusia……. dan ini harus ditunjukan oleh negara
dalam sebuah tindakannya, termasuk cara menghukum kriminal”
Seorang
hakim constitutional court di Afrikia Selatan
PERMOHONAN PENGAMPUNAN
( G R A S I )
PENGAMPUNAN MENUJU REKONSILIASI SEJATI
TERPIDANA MATI
FABIANUS TIBO
DOMINGGUS DASILVA Alias DOMI
MARINUS RIWU
Disampaikan Oleh
Penasehat Hukum Terpidana Mati
JOHNSON PANJAITAN, SH REINHARD
PARAPAT, SH
MUHAMMAD ARFIANDI FAUZAN, SH ECOLINE
SITUMORANG, SH
HENDRY DAVID. D, SH IRFAN
FAHMI, SHi
IBRAHIM SUMANTRI, SH RIDWAN
DARMAWAN, SHi
RIDO TRIAWAN, SH DERWIN
ANIFAH, SH
YAN PATRIS BINELA, SH SYAFRUDDIN
A. DATU, SH
HUISMAN BRANT, SH JANSES SIHALOHO, SH
Palu, 13 April 2005
Nomor :
01/TP-HAM/IV/2005 Palu, 13 April 2005
Lampiran : 1
(satu) Berkas
Perihal : PERMOHONAN
PENGAMPUNAN (GRASI)
TERPIDANA MATI FABIANUS TIBO,
DOMINGGUS DASILVA DAN MARINUS RIWU.
Kepada
Yang Terhormat,
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
BAPAK SUSILO
BAMBANG YUDHOYONO
Di –
J a k a r t a. -
Dengan hormat,
Melalui
permohonan ini kami dari Tim Pembela Hak Asasi Manusia (TP-HAM) selaku Kuasa
Hukum dari Sdr. Fabianus Tibo, Dominggus Dasilva Alias Domi dan Marinus Riwu,
terpidana mati dalam kasus konflik Poso bermaksud mengajukan Permohonan
Pengampunan (Grasi) kepada Bapak Presiden RI. Permohonan grasi ini kami ajukan
dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip mendasar dari perlindungan hak asasi
manusia, yakni hak untuk hidup. Kami percaya, bapak Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono dapat mempertimbangkan
secara positif permohonan grasi yang kami ajukan tersusun secara sistimatis dalam
sebuah dokumen permohonan pengampunan (grasi) terlampir.
Bahwa terpidana
mati Fabianus Tibo, Dominggus Da Silva dan Marinus Riwu oleh Pengadilan
Negeri Palu berdasarkan Putusan Nomor Register : 459/Pid. B/2001/PN. PL tanggal 3 April 2001,
dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana “ Pembunuhan Berencana,
Pembakaran dan Penganiayaan Yang Dilakukan Bersama-sama Secara berlanjut ” sebagaimana dalam Dakwaan Primer Jaksa
Penuntut Umum Kesatu : Pasal 340 KUHP Jo. Pasal 55 ayat (1) Ke – 1 KUHP, Jo.
Pasal 64 ayat (1) KUHP Kedua : Pasal 187
KUHP ke – 1 KUHP, Jo. Pasal 55 ayat (1) ke – 1 KUHP, Jo. Pasal 64 ayat (1)
KUHP; Ketiga : Pasal 351 ayat (1) KUHP, Jo. Pasal 55 ayat (1) ke – 1 KUHP, Jo.
Pasal 64 ayat (1) KUHP, dalam peristiwa Konflik/ Kerusuhan komunal pada
bulan Maret – Juni 2000 di Kabupaten Poso Sulawesi Tengah, dengan amar putusan “
Menghukum para terdakwa tersebut masing-masing dengan pidana “Mati ” (Putusan
PN Palu Nomor : 459/Pid. B/2001/PN. PL terlampir).
Bahwa terhadap
putusan Pengadilan Negeri Palu Nomor : 459/Pid. B/2001/PN. PL tersebut,
Para Terdakwa telah melakukan Upaya Hukum berupa Permohonan Pemeriksaan di
Tingkat Banding, Pemeriksaan di Tingkat Kasasi dan Peninjauan
Kembali (PK), yang mana terhadap upaya hukum tersebut baik Majelis Tingkat Banding, Kasasi
maupun Peninjauan Kembali telah menjatuhkan putusan masing-masing
berdasarkan putusan Nomor Register : 19/Pid/2001/PT. PALU tanggal 17 Mei 2001,
dengan amar putusan Menguatkan amar putusan Pengadilan Negeri Palu; dan putusan
Mahkamah Agung Republik Indonesia tanggal 11 Oktober 2001 dengan Register Nomor
: 1225 K/Pid/2001 dengan amar putusan “Menolak
Permohonan Kasasi dari Pemohon Kasasi” serta Putusan Peninjauan Kembali
Register Nomor : 72 PK/Pid/2002, dengan
amar putusannya sebagai berikut :
-
Menolak Permohonan Para Pemohon Peninjauan Kembali/Para
Terdakwa : 1. Fabianus Tibo, 2. Dominggus Dasilva alias Domi dan 3. Marinus
Riwu Tersebut ;
-
Menetapkan bahwa Putusan Yang di Mohonkan Peninjauan
Kembali tersebut tetap berlaku;
-
Menghukum Pemohon Kasasi/ Para Terdakwa tersebut untuk
membayar biaya perkara dalam tingkat Peninjauan Kembali ini sebesar Rp. 2500.-
Bahwa berdasarkan putusan-putusan pada
semua tingkatan peradilan tersebut di atas, maka perkenankanlah kami
Penasehat Hukum Terpidana Mati Fabianus Tibo, Dominggus Dasilva alias
Domi dan Marinus Riwu, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal, 1 Maret 2005
(terlampir), mengajukan Permohonan Pengampunan (GRASI) kepada Bapak
Presiden Republik Indonesia sesuai dalam Pasal 27 UU No. 14 Tahun 1970
Tentang Kekuasaan Kehakiman yang telah diubah dengan UU. No. 4 Tahun 2005
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 Tentang Kekuasaan
Kehakiman Jo. Pasal 2 ayat (1), ayat (2) UU Nomor 22 Tahun 2002 Tentang
Grasi.
Guna mendapatkan gambaran akan berbagai permasalahan yang ada berkenaan dengan konflik kemanusiaan yang terjadi di Kabupaten Poso maka Permohonan Pengampunan (Grasi) ini kami susun secara sistematis yang terdiri dari empat bagian yaitu : Bagian I PENDAHULUAN : A Hukuman Mati Dalam Prespektif Hak Asasi Manusia, B. Profil Kabupaten Poso, C. Konflik Poso Dan Keterlibatan Ketiga Terpidana Mati, D. Analisa Penyebab Konflik Poso; Bagian II PERDAMAIAN (REKONSILIASI) KONFLIK POSO : Bagian III. POTRET PENEGAKAN HUKUM DI KABUPATEN POSO : A. Penegakan Hukum Di Kabupaten Poso Tidak Berdasar Asas Equal Treatment , B. Proses Peradilan Terhadap Fabianus Tibo, Dominggus Dasilva alias Domi dan Marinus Riwu Melanggar Asas Peradilan Yang Bebas (Fair of Trail) dan Bagian IV. KESIMPULAN DAN PERMOHONAN : A. Kesimpulan, B. Permohonan
Bagian I
HUKUMAN MATI DALAM PRESPEKTIF HAK ASASI MANUSIA
A.
Hukuman
Mati Bertentangan Dengan Konstitusi
Bapak Presiden Yang Mulia,
Sebagai wujud perlindungan terhadap hak asasi dalam amandemen ke dua UUD 1945 tahun 2000 dengan tegas telah melahirkan pengakuan akan hak asasi manusia yakni hak untuk hidup, suatu hak yang tidak dapat dikurangi atas alasan apapun. Dalam Pasal 28 a. UUD 1945 menyatakan bahwa “setiap orang berhak untuk hidup serta berhak untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya”, hak untuk hidup adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Ini menunjukan bahwa UUD 1945 tidak membolehkan pengenaan dan pelaksanaan hukuman mati. Perkembangan perlindungan terhadap hak asasi manusia (hak untuk hidup) sebagai hak yang sangat fundamental yang dimiliki oleh setiap orang sebagaimana telah di tuangkan dalam konstitusi negara indonesia yakni Pasal 28 a UUD 1945, ini tidak diikuti dengan perubahan terhadap berbagai produk perundang-undangan.
Bahwa perubahan peraturan perundang-undangan yang mengikuti roh dari konstitusi yakni UUD 1945 sangat diperlukan agar tidak adanya pertentangan yang sangat substansial dari undang-undang tersebut. jika ditinjau dari teori Hans Kelsen yakni Stuffenbau Theorie, sebagaimana juga ditegaskan dalam asas Lex Superior derogat legi inferiori maka dalam prakteknya seharusnya ketentuan dalam UUD 1945 itulah yang berlaku, oleh karena asas tersebut mengandung arti bahwa apabila peraturan perundang-undangan yang lebih rendah bertentangann dengan peraturan yang lebih tinggi, maka peraturan yang lebih rendah itu dinyatakan batal demi hukum, atau setidak tidaknya dalam praktek harus dikesampingkan. Bahwa penggunaan ancaman hukuman mati dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang digunakan sebagai dasar penuntutan bagi terpidana mati sangat jelas bertentangan dengan roh dan nafas yang terkandung dalam Pasal 28 a UUD 1945 yang dengan tegas tidak membolehkan pengenaan dan pelaksanaan hukuman mati.
B.
Berbagai Upaya Penghapusan Hukuman Mati.
Bapak Presiden Yang Kami Muliakan,
Upaya
penghapusan terhadap hukuman mati telah lama diperjuangkan oleh umat manusia di belahan dunia ini dan hal ini
telah menjadi dambaan masyarakat dunia internasional oleh karena penghapusan
hukuman mati akan mempengaruhi peningkatan martabat manusia dan pembangunan hak
asasi manusia yang progresif serta kemajuan dalam menikmati hak atas
penghidupan.
Bahwa perjuangan terhadap penghapusan hukuman mati tersebut telah dituangkan dalam berbagai intrumen hukum hak asasi manusia internasional yakni Pasal 3 Univesal Deklarasi of Human Raights, Pasal 6 Konvenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) , Second Optional Protocol of ICCPR Aiming of The Abolition of Death Penalty tahun 1990, Protocol No. 6 European Convention for the Protection Human Raights and Pasal 7 Fundamental Freedom dan The Rome Statute of International Criminal Court (instrumen ini tidak mengatur hukuman mati sebagai salah satu cara penghukuman).
Menyadari bahwa hak untuk hidup merupakan hak yang
tidak dapat dikurangi (non derogable rights) serta hukuman mati dalam
pengalaman peradaban manusia tidak dapat sekaligus menghilangkan kejahatan,
maka masyarakat internasional sebanyak 50 negara telah meratifikasi dan
kemudian menyepakati untuk mengadopsi Second Optional Protocol of ICCPR Aiming
of The Abolition of Death Penalty dimana
dalam protokol opsional ini secara tegas
menyatakan melarang hukuman mati
Bahwa sepanjang
sejarah perkembangan hukum baik di indonesia maupun dibelahan negara didunia telah
membuktikan bahwa hukuman mati yang dilakukan selama ini baik yang dilakukan
secara legal lewat putusan pengadilan maupun illegal seperti pembuhunan ekstra
judisial (PETRUS) sekitar tahun 1982 sebagai Shock Teraphy terhadap para pelaku kejahatan juga tidak membawah dampak
yang signifikan terhadap mengurangnya angka kriminalitas, sejalan dengan hal
tersebut J.E Sahetapy sebagai salah satu orang yang selama ini konsen dalam
perjuangan penghapusan pidana mati dalam suatu diskusi tentang pidana mati yang
dilaksanakan di Hotel Mandarin Jakarta, pada 14 Desember 2004, mengatakan
bahwa “dengan disetujuinya hukuman mati eksistensi lembaga pemasyarakatan
akan menjadi problems, lagi pula, kalau
benar pidana mati dianggap bisa menimbulkan efek ketakutan dan jera pada para
(calon) pelaku kejahatan, pertanyaan yang muncul adalah : mengapa eksekusi
selalu dilakukan secara “ intra-mural ” alias tidak diketahui oleh masyarakat,
agar masyarakat menjadi takut dan jera”. Olehnya itu sudah saatnya pemerintah
harus mempertimbangkan kembali pelaksanaan hukuman mati di indonesia.
Bagian II
KONFLIK POSO AGENDA SIAPA
A.
Profil
Kabupaten Poso.
Kabupaten Poso adalah salah satu
Kabupaten tertua di Propinsi Sulawesi Tengah. Memiliki keaneka ragaman budaya,
suku dan agama. Setidaknya ada sekitar 9 (sembilan) etnis besar yang ada
dan berdomisili di Kabupaten Poso. Penduduk asli Kabupaten Poso adalah suku
Pamona dan termasuk penduduk mayoritas. Demikian pula dengan agama yang ada.
Kelima agama yang diakui di Negara Republik Indonesia terdapat di Kabupaten
Poso. Masyarakat Kabupaten Poso hidup dalam keadaan rukun dan damai serta
saling membaur antara satu etnis dengan etnis lainnya dan satu agama dengan
agama lainya yang direkatkan dengan semboyan “ SINTUWU MAROSO “ yang artinya persatuan. Khusus etnis Pamona
(penduduk asli Kabupaten Poso) memiliki beberapa sub Etnis. Sebahagian besar
mendiami wilayah pedalaman Kabupaten Poso dan sebahagian lagi berada di wilayah
pesisir pantai.
Sub etnis suku Pamona
(suku asli) yang bermukim di wilayah pesisir pantai sebahagian besar menganut
agama islam dan sub etnis suku Pamona (suku asli) yang berada di pedalaman menganut
agama kristen. Dalam interaksi sosial sehari-hari kita sangat sulit membedakan,
mana sub etnis suku Pamona yang beragama Islam dan yang beragama Kristen, sebab
bahasa sehari-hari yang digunakan adalah satu bahasa yakni bahasa Pamona ( bahasa
Bare’e ) dan yang paling menonjol adalah kaitan marga. Demikian juga yang
terjadi dan berlaku bagi suku-suku pendatang yang terdiri dari suku Toraja, Gorontalo,
Bugis, Makkasar, Jawa, Bali, Manado, Flores, Mori, Bungku, Lombok, Batak, Kaili
dll, yang oleh karena proses perkawinan campuran, sehingga berdampak pada perekat
“ SINTUWU MAROSO “ menjadi sangatlah
kuat, baik dari segi kerukunan antara umat beragama maupun dalam interaksi
sosial sehari-hari.
Sejak Kabupaten
Poso berdiri, belum pernah terjadi perselisihan yang disebabkan oleh agama dan
suku. Keadaan ini tetap terpelihara dan dapat dipertahankan sampai dengan tahun
1983. Adanya bibit konflik yakni, dengan dibuatnya sebuah surat oleh seorang
Pejabat Pemerintah Kabupaten Poso (telah almarhum) tentang analisa beberapa
suku yang sangat mendeskreditkan. Surat tersebut disebarluaskan ke seluruh masyarakat
Kabupaten Poso pada tahun 1991 dalam rangka suksesi Bupati Kabupaten Poso,
namun persoalan ini dapat diselesaikan secara Hukum Adat.
Simbol persaudaraan yang terbingkai
dalam “ SINTUWU MAROSO “ hancur berkeping-keping pada kerusuhan Desember
1998, kerusuhan April 2000 dan paska kerusuhan bulan Mei 2000.
B. Konflik Poso dan Keterlibatan Ke- 3 Terpidan
Mati.
Setelah konflik bulan desember 1998
berlalu dan masyarakat kelurahan lombogia, kasintuwu sudah mulai membangun
kembali rumah-rumah mereka ancaman akan terulangnya konflik muncul dihadapan
mereka. Seiring dengan proses peradilan terdakwa Drs. Agfar Patanga pada bulan
januari 2000 salah satu tersangka kerusuhan tahun 1998, penentuan jabatan
sekwilda kabupaten poso serta adanya penetapan tersangka penyalahgunaan dana
KUT maka munculah beberap tuntutan dari masyarakat poso untuk membebaskan
terdakwa Drs. Abdul Agfar Patanga dari jeratan hukum dan untuk jabatan sekwilda
diserahkan kepada Drs. Damsik Ladjalani.
Pada bulan april 2000 timbul issu
bahwa poso bakal rusuh lagi yang mengakibatkan adanya konsentrasi-kosentrasi
massa dibeberapa tempat yang dilanjutkan dengan pembakaran, penjarahan dan
pembunuhan dan dalam waktu sekejab rumah penduduk di tiga Kelurahan yakni Lombogia,
Kasintuwu dan Sayo hangus terbakar.
Banyak
fakta yang telah terungkap bahwa konflik horisontal yang terjadi di Kabupaten
Poso adalah tidak lebih dari pada konflik kepentingan elit penguasa lokal yang
haus kekuasaan serta adanya pihak-pihak yang ingin menghalangi dan/atau
menutupi kasus penyalahgunaan dana KUT dengan menarik agama sebagai pemicu
konflik yang mengakibatkan meningkatnya eskalasi konflik. Dengan dalih membela
agamanya dan menghalalkan jalan kekerasan (pembunuhan, penculikan, penyiksaan
dan pembakaran) : dengan menggunakan simbol-simbol agama disatu pihak berteriak
“Allah Maha Besar/ Allahu Akbar, dipihak lain mengatakan Puji Tuhan/
Haleluya”1) dan selanjutnya sudah
dapat dipastikan bahwa yang terjadi adalah saling serang - menyerang, balas-membalas.
Kalau kita
mau jujur dan berkata sejujur-jujurnya bahwa dalam kerusuhan/konflik horisontal
yang terjadi di Kabupaten Poso negara juga mempunyai andil yang cukup besar
dalam menciptakan, melahirkan dan memelihara konflik tersebut, ketidak-netralan
aparat keamanan, keterlibatan (by commision) maupun pembiaran (by
ommission) terjadi dimana-mana serta lumpuhnya penegakan hukum telah
membuat masyarakat (korban) menjadi frustasi yang mengakibatkan
timbulnya benih-benih permusuhan (dendam kesumat) diantara kedua belah
pihak yang bertikai. Bukannya mau menjadikan sebagai alasan pembenar bahwa atas
kegagalan negara tersebut yang tidak mampu menciptakan rasa aman bagi
kelangsungan kehidupan mereka, ketika aparat tidak berdaya serta lumpuhnya
penegakan hukum, maka sangat tidak berlebihan jikalau kemudian masyarakat
mengambil alih keamanan tersebut dan kemudian melakukan tindakan penegakkan
hukum (street justice) menurut mereka yang paling adil, itulah kondisi
dan realitas yang harus terjadi, tindakan berupa penyerangan, pembakaran,
pembuhunan, penculikan yang pada dasarnya dilakukan oleh dua kelompok yang
betikai yang didahului dengan suatu proses perencanaan tidak dapat dilepaskan
dan tidak lebih dari pelampiasan rasa frustasi serta reaksi atas kegagalan
negara dalam menciptakan keamanan, ketertiban dan penegakan hukum dalam
masyarakat, sehingga konflik yang terjadi di Kabupaten Poso harus dilihat
secara keseluruhan oleh karena kerusuhan yang terjadi pada tahun 2001 erat
kaitannya dengan kerusuhan yang terjadi tahun 2000 dan tahun 1998.
Pada tanggal 22 Mei 2000 terpidana
mati Fabianus Tibo, Dominggus Dasilva alias Domi, Marinus Riwu dan beberapa
warga flores lainnya sekitar pukul 15.00 wita pergi ke Kelurahan Moengko dengan
maksud dan tujuan untuk melakukan evakuasi warga flores (anak panti asuhan) di
Gereja Katolik dan sekaligus mengamankan gereja
oleh karena di desa tempat tinggal para terpidana mati terdengan issu
bahwa Gereja Katolik di Kelurahan Moengko akan diserang, akan tetapi karena
ujian ebtanas baru selesai besok maka Fabianus Tibo, Dominggus Dasilva, Marinus
Riwu dan rombongan lainnya menginap di Gereja Katolik – Moengko.
Keesokan harinya tanggal 23 Mei 2000
Sekitar pukul 03.30 wita terjadi penyerangan di Kelurahan Kayamanya dan Moengko
dari kelompok kelelawar hitam (kristen) dipimpin oleh Ir. Advend Lateka yang
mengakibatkan 3 (tiga) orang meninggal diantaranya adalah Serma. Kamaruddin Ali
(anggota Polres Poso). Aparat kepolisian langsung mengejar para penyerang yang
melarikan diri lewat samping Gereja Katolik – Moengko, aparat keamanan kemudian
menanyakan kepada Fabianus Tibo soal orang-orang yang berada didalam gereja
sebab mereka mengira kalau orang yang berada didalam Gereja Katolik adalah para
penyerang. Sementara Fabianus menjelaskan maksud dan tujuan mereka
ke Gereja massa dari kayamanya dan moengko semakin banyak dan tidak dapat
dikendalikan. Melihat situasi yang semakin memanas Fabianus Tibo menemui salah
satu tokoh masyarakat kayamanya yakni Bpk. Gafar Sabihi meminta agar menemui Kapolres
Poso untuk meminta bantuan kendaraan untuk mengevakuasi warga flores dari
kompleks Gereja Katolik tiba-tiba massa dari Kayamanya dan Moengko menyerang
dan membakar gereja, oleh karena massa dari kayamanya dan moengko menyangka
bahwa massa yang ada dalam gereja katolik adalah massa yang melakukan
penyerangan di kelurahan moengko dan kayamanya. ( salah satu dasar yang
dijadikan dakwaan Jaksa Penuntut Umum terhadap terpidana mati).
Bahwa kami Penasehat Hukum terpidana mati
juga tidak menutup mata akan keterlibatan para terpidana dalam konflik yang
terjadi di Kabupaten Poso dan kamipun sependapat bahwa perbuatan yang dilakukan
oleh para terpidana Fabianus Tibo, Dominggus Dasilva alias Domi dan Marinus
Riwu adalah perbuatan yang bertentangan dengan hukum dan norma olehnya itu
kepada mereka haruslah diberikan sangsi, akan tetapi patutlah kiranya menjadi bahan pertimbangan dan perenungan
bagi kita bahwa kondisilah yang membuat mereka dan masyarakat lainnya untuk melakukan
semua itu, dalam situasi dan kondisi demikian mereka diperhadapkan hanya pada
dua pilihan yaitu diserang atau menyerang.
Bahwa ditengah - tengah keterlibatan
terpidana mati dalam konflik horisontal di poso pada sisi lain para terpidana
mati masih mempunyai human interest yang tinggi terhadap sesama umat
manusia yaitu dengan melakukan evakuasi terhadap warga masyarakat tanpa harus
memandang agamanya entah kristen maupun muslim, hal ini sangat tidak berimbang
dengan opini yang berkembang selama konflik bahwa Fabianus Tibo adalah sebagai
pimpinan pasukan kelelawar (pasukan merah). Bahwa berdasarkan fakta lapangan (fakta
materiil) yang bertindak sebagai pimpinan pasukan kelelawar adalah Ir. Advend
Lateka sebagaimana pengakuan Ir. Advend Lateka melalui telpon kepada Kadit IPP
Polda Sulteng Bpk. Suratno dan bertanggung jawab terhadap penyerangan yang
terjadi di Kelurahan Moengko pada tanggal 23 Mei 2000 dan suratnya yang
berisikan Tuntutan Perjuangan kepada Komnas HAM. (terlampir)
Bahwa human
interest yang dimiliki oleh para terpidana mati ini di lakukan dalam beberapa
kejadian (peristiwa) yaitu :
1.
Pada hari minggu tanggal 28 Mei 2000 warga Desa
Sintuwulemba datang ke Tagolu dan meminta perlindungan dan kemudian oleh terpidana mati beserta dan
masyarakat lain bersama dengan 7 (tujuh) orang anggota TNI Kompi B 711
Raksatama – Kawua dengan menggunakan kendaraan truk milik TNI pergi ke Desa
Sintuwulemba menjemput warga Desa Sintuwulemba dan penghuni pesantren walisongo
untuk diungsikan ke Markas TNI di Kompi
B 711 Raksatama Kawua dan sejumlah anak-anak dan wanita selamat diungsikan di
Kompi B 711 Kawua.
2.
Bapak
Taiyeb (muslim) adalah warga Desa Sangira Kecamatan Pamona Utara Kabupaten
Poso. Pada tahun 2000 Bapak Taiyeb. L beserta anaknya bernama Jumiad alias Aco
ditangkap oleh pasukan merah di Desa Sangira dan dibawa ke markas Pasukan Merah
di Desa Tagolu Kecamatan Lage Kabupaten Poso selama kurang lebih 1 (satu)
minggu. Selama berada di Markas Pasukan Merah Bapak Taiyeb oleh Fabianus Tibo
dimintakan untuk membantu memasak di dapur dan diperlakukan secara manusiawi
oleh Fabianus Tibo, Dominggus Dasilva, Marinus Riwu dan warga lainnya. Seminggu
kemudian ada berita bahwa istri dari Bapak Taiyeb sedang sakit di Desa Sangira
dan atas himbauan Fabianus Tibo Bapak Taiyeb beserta anaknya Jumiad alias Aco di
bawah ke Desa Sangira dengan selamat dan dapat berkumpul bersama keluarganya (surat
pernyataan Bpk. Taiyeb. L terlampir).
C.
Analisa Penyebab Konflik Horisontal di Kabupaten Poso.
Bapak Presiden
Yang Mulia,
Kerusuhan Poso yang
terjadi pada bulan Desember 1998 berawal dari perkelahian 2 (dua) remaja yang
berlainan Agama yakni Roy Bisalemba (Kristen) dan Ridwan Kamboni
(Islam) pada tanggal 25 Desember 1998 dini dan perkelahian tersebut telah
ditangani oleh aparat keamanan. Pada waktu bersamaan diluar Kota Poso
berkembang issu bahwa seorang imam
mesjid dipotong di dalam mesjid saat sedang sembahyang, sehingga terjadi
pengerahan massa muslim dari luar kota, bersamaan dengan itu massa dari pihak
kristen yang dipimpin oleh Herman Parimo sudah terkonsentrasi di Tagolu dan
meminta kepada Bupati Poso untuk masuk kedalam kota membantu aparat keamanan
memulihkan Kota Poso.
Bahwa dalam konflik yang
terjadi pada bulan dessember 1998 ada hal yang menarik untuk dicermati yaitu beredar
selebaran yang ditulis oleh Drs. Abdul Agfar Patanga berisi “Daftar Gerakan
Pengacau Keamanan Kabupaten Poso tanggal 24 s/d 28 Desember 1998” dalam
selebaran tersebut tertulis 10 nama pejabat (beragama kristen) dilingkungan
Pemda Poso yang berencana melakukan makar terhadap bupati poso sehingga dengan
selebaran tersebutn membuat msyarakat poso menjadi terprovokasi. Dalam
kerusuhan tahun 1998 telah diproses hukum 4 orang yakni Roy Bisalemba divonis
12 tahun, Stenly Lalangi divonis 4 tahun (pemuda yang berkelahi), Herman Parimo
divonis 14 tahun (yang didakwa melakukan makar terhadap pemerintah yang sah)
dan Agfar Patanga divonis 6 bulan (pembuat selebaran bernuansa sara yang
menghasut masyarakat).
Pada bulan April
2000 indikasi akan terulangnya kembali kerusuhan semakin jelas hal ini dapat
dilihat dalam empat hal yaitu :
1.
Pernyataan anggota Fraksi PPP DPRD Sulawesi Tengah Bpk. Haelani
Umar pada harian mercusuar, edisi sabtu 15 April 2000 meprediksikan bahwa jika
aspirasi masyarakat yang terakumulasikan diabaiakan begitu saja oleh pemerintah
daerah (aspirasi yang menghendaki Drs. Damsyik Ladjalani menjadi sekwilda poso)
maka poso bakal rusuh lagi
(terlampir)
2.
Pernyataan sikap dari KNPI Poso yaitu :
-
Sdr. Awad Alamri, SH sesuai dengan penelitian KNPI Poso
tidak memenuhi syarat-syarat sebagai Sekwilda Kabupaten Poso;
-
Sesuai dengan aspirasi masyarakat dan hasil penelitian
KNPI Poso, yang paling berhak untuk jabatan tersebut adalah Drs. Damsik
Ladjalani;
-
Apabila ternyata Awad Alamri, SH tetap dipaksakan untuk
duduk sebagai sekwilda, maka poso dapat dipastikan rusuh kembali 2))
3.
Pertemuan yang dilakukan Forum Pembela Umat Islam Cabang
Poso di Mesjid Baitulrahman Poso tanggal 14 Januari 2000 yang membahas masalah
perkembangan peradilan Agfar Patanga dimana salah satu hasil pertemuan adalah: Tegakan
Kebenaran dan Keadilan, Bebaskan Agfar Patanga” dan untuk melaksanakan
hasil pertemuan tersebut membebaskan Agfar Patanga dari jeratan hukum maka
mereka juga merencanakan untuk membuat kerusuhan dengan cara : UNTUK
MEMANCING MASSA PADA SAAT SIDANG AGFAR PATANGA DIGELAR AKAN DIBAKAR SEBUAH
MESJID DI LAWANGA KEMUDIAN MEMBAKAR JUGA GEREJA DI LAWANGA AGAR DIBILANG ADA
PERLAWANAN, dengan pertimbangan sebagai berikut :
a.
Bahwa jika sdr. Abdul Agfar Patanga di penjara maka mereke
juga akan dipenjara sebab mereka ini adalah kroni-kroninyasesuai dengan
wawancara wartawan/ reporter Morowali Post;
b.
Ada kepentingan sebagai pejabat dan juga ada kepentingan
sebagai pengusaha…intinya proyek;
c.
Karena kapolres poso (mantan : Let. Kol Dedy Wuryantono) serius
dalam mengusut penyelewengan dana KUT, sebab mereka akan tersangkut;
d.
Bahwa mereka menganggap Yahya Patiro, SH sebagai orang
yang dapat menghambat tujuan mereka.3)
4.
Adanya penetapan tersangka penyalahgunakan dana Kredit
Usaha Tani terus bergulir, sehingga terkesan, kerusuhan sengaja dibuat untuk
menutupi perbuatan pelanggaran hukum para tersangka, dengan harapan, karena adanya kerusuhan berarti kasus penyalahgunaan
dana K.U.T. tersebut tertutupi, serta dapat di sinyalir, ada kelompok yang
mencoba menutupi kasus pidana K.U.T tersebut 4))
Bapak Presidien
Yang Mulia,
Bahwa indikasi
akan terulangnya konflik tersebut benar-benar terjadi, seiring dengan peradilan
Drs. Abdul Agfar Patanga pada bulan April 2000 konflik terjadi kembali, beberapa
rumah masyarakat kristen dikelurahan lombogia yang dibakar pada kerusuhan tahun
1998 telah dibangun, namun pada kerusuhan bulan April 2000 dibakar kembali dan
dilanjutkan dengan tindakan peyerangan dan
pembunuhan serta tidak adanya penagakan hukum bagi pelaku-pelaku penyerangan,
pembakaran dan pembunuhan maupun orang-orang yang melakukan provokasi/
menggerakan massa telah membangkitkan solidaritas dikalangan warga kristen
dikabupaten poso untuk melakukan pembalasan terhadap penderitaan yang mereka
alami. Pada tanggal 23 Mei 2000 masyarakat kristen dibawah pimpinan Ir. Advend
Lateka mulai melakukan penyerangan ke daerah-daerah penduduk muslim yaitu
Kelurahan Moengko dan Kayamanya dan kemudian dilanjutkan ketempat-tempat lain.
Bahwa dari
gambaran tersebut diatas maka kami dapat menyimpulkan bahwa latar belakang konflik
yang terjadi dikabupaten poso adalah :
1.
Adanya pemaksaan kehendak dari sekelompok masyarakat di
kota poso yang menghendaki untuk jabatan Sekwilda Kabupaten Poso dijabat oleh
Drs. Damsyik Ladjalani;
2.
Melakukan tekanan terhadap proses hukum (ingin
membebaskan) Sdr. Agfar Patanga yang dituntut atas tindak pidana Penghasutan
pada kerusuhan bulan Desember 1998;
3.
Adanya penetapan tersangka kasus penyalagunaan dana KUT
dan berkas perkaranya akan dilimpahkan ke pengadilan;
4.
Tidak adanya penegakan/ proses hukum terhadap pelaku
kerusuhan pada bulan Desember tahun 1998 dan kerusuhan pada bulan april tahun 2000.
Bagian III
PERDAMAIAN
(REKONSILIASI) KONFLIK POSO
Bapak Presiden
Yang Kami Muliakan,
Pada tanggal 19 s.d 20 Desember 2001
bertempat di Malino – Sulawesi Selatan untuk yang kesekian kalinya dilaksanakan
sebuah rekonsiliasi bagi dua kelompok yang bertikai di poso, walau sebelumnya
telah banyak kesepakatan-kesepakatan (rekonsiliasi) yang dibangun antara kedua
belah pihak yang bertikai, baik atas inisiatif masyarakat maupun aparat
pemerintah setempat namun pada kenyataanya kesepakatan tersebut tidak membawah
dampak yang sangat berarti konflik masih terus berlanjut. Rekonsilaisi yang
diprakarsai oleh Menko Polkan Bpk. Susilo Bambang Yudhoyono dan Menko Kesra
Bpk. Yusuf Kalla di Malino menghasilkan 10 (sepuluh) kesepakatan atau yang lebih
dikenal dengan Deklarasi Malino.
Walaupun sepuluh kesepakatan
deklarasi malino tersebut belum sepenuhnya terlaksana namun paling tidak
kondisi sosial di Kabupaten Poso saat ini telah berlangsung cukup baik ini
menunjukan bahwa pada level masyarakat bawah (korban) mempunyai semangat untuk
melakukan perdamaian, banyak warga yang telah kembali ke desa mereka, berharap
agar dimasa datang dapat memulai kehidupannya kembali setelah sekian tahun
hidup dalam pengungsian. Upaya rekonsiliatif tersebut harus tetap dibangun
ditengah-tengah masyarakat korban konflik agar kelangsungan kehidupan mereka
dapat berjalan dengan baik.
Namun
ditengah-tengah suasana kondisi sosial yang cukup kondusif di Kabupaten Poso
masih terdapat tiga orang anak manusia yang saat ini berada dibalik tembok
Lembaga Pemasyarakatan Petobo – Palu yang hidup dengan penuh pengharapan.
Mereka adalah para terpidana mati Fabianus Tibo, Dominggus Dasilva alias Domi
dan Marinus Riwu yang harus menanggung
semua beban akibat konflik horisontal di bumi sintuwu maroso. Dalam lubuk hati
mereka sering bertanya-tanya “apakah sebenarnya yang terjadi di Poso?, siapa
yang telah merencanakan semua ini? sampai kita harus menjadi tumbal?.
Bapak Presiden
Yang Mulia,
Mereka bertiga Fabianus
Tibo, Dominggus Dasilva dan Marinus Riwu pada dasarnya juga adalah korban
konflik seperti juga masyarakat korban konflik lainnya yang semasa kerusuhan
mencoba hidup dan bertahan ketika desa mereka diserang, rumah mereka dibakar,
sanak saudara dibunuh, sehingga dalam situasi kondisi yang demikian sebagai
manusia biasa yang mempunyai kelemahan maka sangat tidak berlebihan jika mereka
dan masyarakat korban lainnya yang hidup dalam sepenanggungan, mengalami
penderitaan yang sama dimana tidak ada lagi pengharapan terhadap jaminan
keamanan (hak untuk hidup) kemudian membangun solidaritas sesama mereka
untuk melakukan perlawanan terhadap ketidak adilan yang telah mereka rasakan.
Bukannya
bermaksud untuk melakukan pembelaan yang berlebihan terhadap para terpidana
mati, tetapi kami hendak mengajak semua pihak untuk dapat melihat dengan mata
hati yang jernih soal duduk perkara konflik yang terjadi di kabupaten poso, sehingga
dalam kondisi yang demikian apakah adil jika terhadap mereka harus ditimpahkan
semua kesalahan/ masalah yang terjadi di kabupaten poso, kamipun Penasehat
Hukum terpidana mati tidak menutup mata akan keterlibatan mereka dalam konflik yang
terjadi di kabupaten poso akan tetapi mereka bukanlah aktor yang berada dibalik
semua kerusuhan yang terjadi (yang seharusnya lebih pantas untuk dihukum,
namun sampai dengan saat ini tidak/belum tersentuh hukum), mereka hanyalah
korban yang mencoba untuk mempertahankan kelangsungan hidup dirinya,
keluarganya, saudaranya, teman dan kerabatnya yang merasa senasib
sepenanggungan.
Bapak Presiden
Yang Kami Muliakan,
Bahwa terhadap kondisi sosial masyarakat
dikabupaten poso yang saat ini sudah cukup kondusif dimana mereka yang tadinya
saling bermusuhan kini sudah mulai hidup berdampingan, saling tolong menolong
satu sama lainnya, kita semua berharap kiranya kondisi yang demikian akan tetap
terus berlangsung sehingga proses rekonsiliasi yang telah bapak gagas akan
tercapai yaitu terciptanya rekonsiliasi sejati. Olehnya itu kiranya sangat tidak berlebihan
bahwa apa yang telah kami uraikan kiranya dapat menjadi salah bahan
pertimbangan bapak dalam memutuskan permohonan pengampunan (grasi) ini, sebab
tidak menutup kemungkinan bahwa dengan dilakukannya eksekusi terhadap ketiga
terpidana mati kondisi sosial masyarakat akan terganggu sebagaimana tanggapan
dua kelompok yang dilansir tabloit Gatra edisi 21 april 2001 setelah vonis mati
dibacakan majelis hakim, Kelompok “kain putih” kaum islam Poso, bersukacita
dengan vonis mati itu. Bagi mereka, ketiganya adalah monster yang haus darah,
dan tega membantai siapa pun : lelaki, perempuan, dewasa atau anak-anak. Mereka
pantas mati. Namun, bagi kelompok “kain merah” kristen mereka adalah kawan
seperjuangan yang pantas dibela karena oleh kelompok kain merah diyakini bahwa
mereka tidak pantas untuk dihukum mati. (terlampir).
Bagian IV
POTRET PENEGAKAN HUKUM DI KABUPATEN POSO
A . Penegakkan Hukum Di Kabupaten Poso Tidak Berdasar Asas Equal Treatment.
Sejak
terjadinya kerusuhan/konflik horisontal di Kabupaten Poso – Sulawesi
Tengah penegakkan hukum di wilayah bekas
konflik tersebut terkesan hanya setengah hati, proses penegakkan hukum tidak
dilakukan secara kompherensip dengan menegakan hukum tanpa pandang bulu dan
dilakukan kepada siapa saja yang diindikasikan melakukan perbuatan melawan
hukum. Bahwa proses hukum terhadap pelaku penganiayaan yang terjadi di
Kelurahan Sayo tanggal 25 Desember 1998 yang berlanjut jadi kerusuhan, konflik
tahun 2000, 2001 hingga tahun 2002 dengan berbagai macam tindak pidana
serta beragamnya hukuman hingga sampai
hukuman mati, hanyalah ditujukan kepada pelaku-pelaku lapangan saja, sementara
orang yang telah merencanakan/ mendesain dan penyandang dana, penyuplai bahan
peledak dan amunisi serta penghasut/ penggerak massa tidak satupun yang
tersentuh hukum, mereka bebas berkeliaran dimana-mana.
Dalam
menegakan hukum terkhusus untuk wilayah konflik tidak dapat dilakukan secara
sepotong-potong, haruslah dilakukan secara menyeluruh dengan tetap berpegang
teguh terhadap asas Equal treatment (perlakuan yang sama) oleh karena
kerusuhan yang terjadi mempunyai hubungan satu sama lainnya. Peristiwa yang
terjadi tahun 2001 sangat erat kaitannya dengan peristiwa yang terjadi pada
tahun 1998 dan tahun 2000, tetapi yang terjadi dilapangan adalan para pelaku (aktor-aktor)
pada kerusuhan tahun 1998 dan 2000 luput dari jeratan hukum. Walaupun pihak
aparat kepolisian sudah cukup banyak mempunyai data namun juga tidak dilakukan
proses hukum sebagaimana mestinya.
Dari sekian banyak peristiwa (tindak pidana) yang terjadi
selama konflik berlangsung hanya kepada mereka bertiga Fabianus Tibo, Dominggus
Dasilva alias Domi dan Marinus Riwu yang dijatuhi hukuman mati. Hal ini patut
untuk dicermati bahwa terpidana mati di persalahkan sebagai pimpinan pasukan
kelelawar (pasukan merah) yang melakukan melakukan tindak pidana pembunuhan
berencana, pembakaran dan penganiayaan yang dilakukan di Kelurahan Moengko dan
Kayamanya, di Mesjid Al-Hadjrah Desa Sintuwulemba dan Lorong Puskesmas Desa Tagolu.
Seandainya hal ini benar maka bagaimanakah juga dengan pimpinan pasukan yang
telah melakukan tindak pidana yang sama seperti yang dilakukan oleh terpidana
mati seperti : penyerangan dan pembakaran yang terjadi dikelurahan kasintuwu
dan sayo bulan Desember 1998 dan pembakaran, penyerangan, pembunuhan pada bulan
April 2000 (yang identitasnya telah diketahui aparat), Penyerangan 5 (lima) desa
betalemba, patiwunga, tangkura, sangginora, dewua pada akhir tahun 2001 yang
mengakibatkan jatuhnya korban jiwa 6 orang serta hancurnya semua rumah penduduk,
rumah ibadah akibat pembakaran, penyerangan 3 (tiga) desa saatu, pantangolemba,
pinedapa yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa 12 orang meninggal dunia dan
puluhan orang luka-luka pada tahun 2003, terjadi pembunuhan, penyerangan Desa
Beteleme pada tahun 2003 yang mengakibatkan 3 orang meninggal, akan tetapi pelakunya
setelah melalui proses peradilan oleh Pengadilan Negeri Palu pelaku tersebut dijatuhi
vonis 4 (empat) tahun, dan berbagai kejadian pemboman dan penembakan misterius yang telah menelan puluhan bahkan ratusan jiwa
meninggal. Pertanyaanya kemudian adalah adakah diantara mereka yang
bernasib sama dengan para terpidana mati yang diperiksa dan diadili dalam suatu
peradilan yang tidak bebas dari tekanan dan atau intimidasi ???,, tentunya
dengan tegas kita akan mengatakan bahwa “ tidak satupun dari mereka yang bernasib sama
dengan ke tiga terpidana mati Fabianus Tibo, Dominggus Dasilva dan Marinus Riwu
”.
Bukannya mau membuka kembali lembaran sejarah yang kelam
yang terjadi di Bumi Sintuwu Maroso yang saat ini masyarakat sudah mulai hidup
rukun satu sama lainnya, tetapi penegakkan hukum yang berkeadilan harus tetap
berjalan dan diberlakukan kepada siapa saja yang melanggar, agar keadilan dapat
ditegakkan serta masyarakat dapat mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi
dalam kehidupan mereka, yang telah membuat mereka harus saling serang-
menyerang, bunuh – membunuh, oleh karena rekonsiliasi sejati tanpa adanya penegakan
hukum yang berkeadilan sangatlah sulit
terwujud.
Dalam
suatu pertemuan di Gedung Torulemba/ Rumah Jabatan Bupati Poso pada tanggal 2
Desember 2004 yang dihadiri oleh Inspektur Pengawas Daerah (Irwasda) Polda
Sulteng, Bupati Poso, Kapolres Poso dan Tokoh Agama/Masyarakat, salah satu
peserta (tokoh muslim) Sdr. Drs. H. Adnan Arsal mengemukanan “supaya konflik
kerusuhan poso diungkap secara tuntas dan meminta supaya kelompok 16 nama
(yang disebutkan terpidana masti dalam pembelaannya di pengadilan negeri palu) diperiksa
kembali secara transparan dan tuntas”, pada bagian lain Bapak Yahya Patiro,
SH (tokoh kristen/ Ketua II Majelis Sinode GKST) mengharapkan agar penanganan
masalah-masalah kekerasan khususnya dan masalah konflik pada umumnya oleh
aparat keamanan supaya berpegang pada asas Equal treatment (perlakuan yang
sama) terhadap seluruh warga masyarakat sehingga tidak diskriminatif, “sehubungan
dengan penyampaian sdr. Adnan Arsal supaya 16 (enambelas) nama yang
disebut-sebut Tibo Cs. diusut kembali, maka kepada Kapolda Sulteng dan Forum
pertemuan disampaikan bahwa apabila kalangan muslim di poso ada beredar 16 nama, maka dikalangan masyarakat kristen tentena
ada 100 (seratus) nama yang juga selalu dipertanyakan mengapa tidak pernah
diproses hukum, yaitu antara lain : Sdr. Adnan Arsal, Daeng Raja, Nani Lamusu,
Mandor Pahe dan lain-lain”. (hasil
pertemuan terlampir).
Sebagai
gambaran proses hukum di Kabupaten Poso pasca konflik tahun 1998 terhadap salah
satu aktor penyulut konflik bulan Desember 1998 bersama ini kami tampilkan
proses peradilan terdakwa Agfar Patanga yang dilakukan dibawah tekanan massa
sama seperti proses peradilan para terpidana mati.
Profil
kasus : Pada tanggal
29 Desember 1998 Drs. Abdul Agfar Patanga menyiarkan berita atau pemberitahuan
bohong kepada masyarakat di Kota Poso dengan cara menulis selebaran yang
berjudul “Daftar Gerombolan Pengacau Keamanan Kabupaten Poso tanggal 24
s/d 28 Desember 1998”. Isi selebaran tersebut : Melakukan kup;
Membunuh/ melumpuhkan mencederai bapak BKDH Tkt. II Poso Arief Patanga, SH;
Jika berhasil maka GPK akan mengangkat Yahya Patiro, SH untuk memulihkan
situasi dan ingin mengambil simpati dari rakyat untuk dipilih menjadi Bupati
periode 1999 – 2004.
Bahwa
proses peradilan terhadap terdakwa Drs. Abdul Agfar Patanga dilakukan dibawah
tekanan (pressure) massa yang dilakukan oleh pendukungnya, tekanan tersebut
telah direncanakan dalam beberapa kali pertemuan baik yang dilakukan di Mesjid
Agung Baitulrahman Poso maupun di rumah Aliansyah Tompo alias Maro dalam pertemuan
tersebut dihadiri oleh : Drs. H. Adnan Arsal, Drs. Hasan Lasiata, Kasmat
Lamuka, Marro Tompo, Muktar Lapangasa, Yusuf Dumo, Ahmad Laparigi, Daeng Raja,
Mador Pahe (nama-nama tersebut sudah diserahkan kepada Polda Sulteng) dengan
agenda utama adalah membicarakan bagaimana membebaskan Drs. Agfar Patanga dari
tuduhan pembuat selebaran berbau SARA pada Kerusuhan Desember 1998 dan hasil
pertemuan tersebut disepakati : Tegakan
Kebenaran dan Keadilan, Bebaskan Agfar Patanga”.
Bahwa untuk melaksanakan hasil pertemuan
tersebut membebaskan Agfar Patanga dari jeratan hukum maka mereka juga
merencanakan untuk membuat kerusuhan dengan cara : UNTUK MEMANCING MASSA
PADA SAAT SIDANG AGFAR PATANGA DIGELAR AKAN DIBAKAR SEBUAH MESJID DI LAWANGA
KEMUDIAN MEMBAKAR JUGA GEREJA DI LAWANGA AGAR DIBILANG ADA PERLAWANAN, akibat
dari tekanan tersebut pada tanggal 20 November 2000 Pengadilan Negeri Poso
dalam Putusannya Nomor : 191/Pid.B/1999/PN.Poso memvonis terdakwa
Drs. Agfar Patanga dengan pidana penjara 6 bulan penjara. Suatu putusan
yang sangat fantastis bagi salah satu aktor penyulut konflik Desember 1998.
Sebagai perbandingan proses penegakan hukum (penyelesaian
beberapa kasus) berkenaan dengan konflik/ kerusuhan yang terjadi di Kabupaten
Poso bersama ini kami lampirkan beberapa putusan pengadilan negeri yang telah mempunyai
kekuatan hukum yang tetap.
B. Proses Peradilan Terhadap Fabianus Tibo, Dominggus Dasilva alias Domi dan Marinus Riwu Melanggar Asas Peradilan Yang Bebas (Fair of Trail)
Pada hari
selasa tanggal 25 Juli 2000 terpidana mati Fabianus Tibo, Dominggus Dasilva
alias Domi dan Marinus Riwu sebagai warga negara yang patuh pada hukum
menyerahkan diri kepada Komandan Batalyon II Operasi Cinta Damai yaitu Kap.
Inf. Agus Firman Yuswono dan Kap. CZI. Aldi Rinaldy dan kemudian diserahkan
kepada Kepolisian Daerah Sulteng. Terpidana mati oleh Kejaksaan Tinggi Sulawesi
Tengah didakwa telah melakukan tindak pidana “Pembunuhan Berencana,
Pembakaran dan Penganiayaan yang dilakukan secara berlanjut” pada bulan
Maret hingga Juli 2000 di Kelurahan Moengko Baru dan Kayamanya Kecamatan Poso
Kota, Mesjid Al-Hidjrah dan Pesantren Walisongo Desa Sintuwulemba, Lorong Puskesmas
Desa Tagolu dan di Penambangan Pasir Tepi Sungai Poso Desa Tagolu Kecamatan
Lage. Bahwa perbuatan berupa Pembunuhan, Pembakaran, Penculikan, Penganiayaan pada
dasarnya dilakukan oleh kedua belah pihak yang bertikai (kristen-islam)
Seiring
dengan proses persidangan terhadap diri para terpidana mati kondisi/ situasi di
Kabupaten Poso semakin memanas, eskalasi konflik menjadi meningkat yang
mengakibatkan arus pengungsi semakin besar, ribuan pengungsi meninggalkan kota poso
dan salah satu tujuan pengungsian adalah Kota Palu. Oleh karena itu setiap kali
persidangan dilakukan pengadilan selalu di penuhi oleh ribuan massa pengunjung
yang tidak lain mereka adalah pengungsi (korban) dari kota poso yang
sudah tentu masih diliputi dengan amarah, dendam dan rasa frustrasi akibat
kehilangan orang tua, anak-anak, keluarga, saudaranya dan harta bendanya,
sehingga pada setiap proses persidangan presure massa sangatlah kental, bahkan adanya
satu peristiwa saat persidangan berlangsung (pemeriksaan saksi) salah
seorang saksi sempat menampar muka terdakwa Febianus Tibo. Proses
peradilan yang demikian jelas telah memberikan tekanan secara langsung kepada Majelis
Hakim, Jaksa, Terdakwa, Saksi maupun Penasehat
Hukum.
Berdasarkan Pasal 1 ayat (9) KUHAP disebutkan bahwa “Mengadili
adalah serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa dan memutus perkara
tindak pidana berdasarkan asas bebas, jujur dan tidak memihak disidang
pengadilan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”.
Lebih lanjut dalam Penjelasan Umum Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
secara tegas mengatur perlindungan terhadap hak sasi manusia olehnya itu “peradilan
harus dilakukan dengan cepat, sederhana dan biaya ringan serta bebas, jujur
dan tidak memihak harus diterapkan secara konsekuen dalam seluruh tingkat
peradilan”.
Selanjutnya dalam Pasal 4 ayat (3) UU Nomor 4 Tahun
2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman disebutkan bahwa “segala campur tangan
dalam urusan pengadilan oleh pihak lain diluar kekuasaan kehakiman dilarang kecuali
dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam UUD 1945”
Bahwa kedua peraturan perundang-undangan tersebut diatas
sebagai dasar pelaksanaan peradilan dengan tegas menyatakan bahwa peradilan
dalam memeriksa dan memutus perkara tindak pidana berdasarkan asas bebas dan
jujur. Ini mengartikan bahwa peradilan yang dilaksanakan harus benar-benar
bebas dari segala campur tangan dari pihak manapun, bebas dari tekanan dari dan
oleh siapapun juga.
Bahwa peradilan yang dilaksanakan terhadap terpidana mati
tidak lagi mencerminkan peradilan yang bebas ( fair of trail)
sebagaimana diamanatkan oleh UU Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman
dan UU No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP),
peradilan yang bebas dari berbagai campur tangan dari siapa pun sangat
diperlukan guna menghindari penjatuhan hukuman yang tidak didasarkan pada
fakta-fakta hukum yang terungkap dalam persidangan dan dengan mempertimbangkan
berat ringanya perbuatan, latar belakang (motif) perbuatan itu dilakukan
terdakwa (proses persidangan
terlampir).
Bahwa
disamping peradilan yang bebas (fair of trail) tidak tercapai,
pertimbangan Majelis Hakim dalam putusannya pada halaman 71 Majelis Hakim Pengadilan Negeri Palu
berpendapat “Bahwa yang perlu dicatat disini ialah bahwa para terdakwa bukanlah
pembuat/ pelaku langsung/ dader perbuatan pidana karena kedudukan mereka
adalah orang-orang yang terkait dengan ketentuan pasal 55 KUHP, dst….”.
Bahwa
rumusan pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Negeri tersebut diatas dengan
jelas dan nyata menyatakan bahwa mereka terpidana Febianus Tibo, Dominggus Da Silva dan Marinus
Riwu bukanlah sebagai pelaku langsung walaupun oleh undang-undang dikategorikan
juga sebagai pelaku, mereka pada dasarnya hanya korban konflik seperti korban
konflik lainnya yang kemudian masuk dan ikut terlibat setelah konflik tersebut
telah jauh berlangsung, dan walapun Majelis Hakim berkeyakinan bahwa mereka
terdakwa Febianus Tibo, Dominggus Da Silva dan Marinus Riwu bukanlah sebagai
pelaku langsung akan tetapi juga kepada mereka tetap dijatuhi Pidana Mati,
dalam kesemuanya itu kadang kala kami merenung dan bertanya-tanya apakah kerusuhan
yang terjadi di Kabupaten Poso harus dipertanggung-jawabkan kepada mereka
???? sementara mereka ketiga
terpidana mati masuk ke kabupaten poso jauh setelah konflik berlangsung yakni
tanggal 23 Mei 2000 atau dengan kata lain Apakah mereka harus dianggap
orang yang paling bertanggung jawab
terhadap konflik yang terjadi ???, adalah sangat tidak adil jika semua
kesalahan harus ditimpahkan kepada mereka Fabianus Tibo, Dominggus Dasilva
alias Domi dan Marinus Riwu, dilain sisi masih ada dan bahkan banyak orang yang
lebih berat perbuatanya dari ketiga terpidana mati yang harus bertanggung jawab
yaitu mereka yang telah merancang, menyusun, membiayai, penghasut, penggalang
massa termasuk juga negara yang telah gagal dan menciptakan keamanan dan
penegakan hukum.
Disamping
hal tersebut diatas ketiga terpidana mati sejak proses hukum pada Pengadilan
Negeri Palu hingga pemeriksaan pada tingkat Kasasi Mahkamah Agung mereka sama
sekali tidak pernah menerima salinan putusan sehingga pada dasarnya mereka
tidak mengetahui bentuk putusan tersebut, saat ini mereka hanya menerima
salinan putusan Peninjauan Kembali dari Mahkamah Agung.
Bagian V
KESIMPULAN DAN
PERMOHONAN
A. Kesimpulan
Bedasarkan atas uraian tersebut diatas maka kami
Penasehat Hukum Terpidana Mati berkesimpulan :
1. Bahwa
konflik/ kerusuhan yang terjadi di Kabupaten Poso bukan merupakan konflik agama
tetapi tidak lebih dari kepentingan elit politik lokal yang haus akan kekuasaan
dengan menarik agama sebagai pemicu konflik;
2. Negara
telah gagal dalam menanggulangi kerusuhan/ konflik, menciptakan rasa aman dan
keselamatan masyarakat di kabupaten poso;
3. Bahwa
dalam kasus kasus konflik horisontal di Kabupaten Poso penegakan hukum tidak
didasarkan pada asas equal treatment (persamaan didepan hukum);
4. Bahwa
proses peradilan terpidana mati dilakukan dibawah tekanan massa sehingga
kebebasan peradilan (fair of trail) yang menjadi salah satu asas
peradilan;
5. Bahwa
terpidana mati pada dasarnya adalah korban seperti korban konflik lainnya dan
bukanlah pelaku langsung (aktor utama) dalam mendesain, membuat dan/
atau merancang konflik/kerusahan horisontal di Kabupaten Poso.
B. Permohonan :
Berdasarkan
dengan apa yang telah kami uraikan diatas perkenankanlah kami Penasehat Hukum
Terpidana Mati Fabianus Tibo, Dominggus Dasilva alias Domi dan Marinus Riwu
untuk dan atas nama Keadilan dan Kemanusiaan dengan ini memohon
kepada Presiden Republik Indonesia, Bapak. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO kiranya
berkenan :
1.
Menerima dan mengabulkan Permohonan Pengampunan (GRASI)
dari terpidana mati Fabianus Tibo, Dominggus Dasilva alias Domi dan Marinus
Riwu;
2.
Merubah atau Mengurangi dan/atau setidak-tidaknya
Meringankan hukuman para terpidana mati Febianus Tibo, Dominggus Dasilva dan
Marinus Riwu dari HUKUMAN MATI menjadi HUKUMAN UNTUK
WAKTU TERTENTU.
Demikian Permohonan Pengampunan (GRASI) ini kami buat,
semoga Tuhan Yang Maha Kuasa tetap melimpahkan rahmat dan ridhonya kepada Bapak
Presiden untuk memutus permohonan ini.
Hormat Kami,
Penasehat Hukum
Terpidana Mati
JOHNSON PANJAITAN, SH REINHARD PARAPAT, SH
MUHAMMAD ARFIANDI FAUZAN,
SH ECOLINE SITUMORANG, SH
HENDRY DAVID. D, SH IRFAN FAHMI, SHi
IBRAHIM SUMANTRI, SH RIDWAN DARMAWAN, SHi
RIDO TRIAWAN, SH DERWIN
ANIFAH, SH
YAN
PATRIS BINELA, SH SYAFRUDDIN
A. DATU, SH
HUISMAN BRANT TORIPALU, SH
1) Rinaldy
Damanik. 2003. Tragedi Kemanusian Poso ; menggapai surya pagi melalui kegelapan
malam. PBHI dan LPS-HAM Sulteng: Hlm. 8
2) Rinaldy
Damanik. 2003. Tragedi Kemanusian Poso ; menggapai surya pagi melalui kegelapan
malam. PBHI dan LPS-HAM Sulteng, hal 26-29
3) Ibid
4) Ibid
Sumber: Perhimpunan Bantuan Hukum Dan Hak Asasi
Manusia Indonesia ( P B H I)
Lembaga Pengembangan Studi Hukum dan
Advokasi Hak Asasi Manusia (LPS-HAM) Sulteng
Departemen Hukum Dan Advokasi Sinode GKST
Komentar
Posting Komentar