KONTRAK BISNIS INTERNASIONAL



KONTRAK BISNIS  INTERNASIONAL: HARUSKAH PILIHAN HUKUM DAN PILIHAN FORUM DIBATASI?

             Dalam beberapa tahun terakhir kita ditunjukkan dengan adanya perkara-perkara  yang pada dasarnya telah ada pilihan hukum dan pilihan forum namun diterobos oleh Hakim pengadilan dengan dalih ketertiban umum dan yang lainnya. Mahkamah Agung sebagai pintu terakhir seakan kebanjiran dengan adanya perkara-perkara tersebut yang seyogyanya tidak dipersengketakan kembali baik guna kepastian hukum maupun efisiensi.

            Pilihan Hukum  dan Pilihan Forum relevan dalam suatu kontrak bisnis internasional. Adanya Pilihan Hukum dan Pilihan Forum  tersebut dilatarbelakangi oleh unsur asing yang terdapat dalam kontrak bisnis internasional yang menyebabkan para pihak tunduk pada system hukum yang berbeda. Fungsi dari Pilihan Hukum dan Pilihan Forum yaitu kepastian hukum diantara para pihak dalam pembuatan , pelaksanaan maupun penyelesaian sengketa yang timbul dikemudian hari. Pilihan Hukum menyangkut mengenai hukum materiil yang diberlakukan oleh para pihak sedangkan pilihan forum menyangkut forum yang dipergunakan dalam penyelesaian sengketa. Prinsip dasar dalam pilihan hukum dan pilihan forum adalah otonomi para pihak, dimana para pihak diberi kebebasan untuk menentukan hukum dan forum dalam kontrak yang mereka buat. Kebebasan tersebut bukan tak terbatas melainkan memiliki batasan dalam penerapannya. Batasan Pilihan Hukum dan Pilihan Forum antara lain tidak melanggar ketertiban  hukum dan mandatory rules , tidak dilakukan dengan tujuan penyelundupan hukum dan harus didasari dengan iktikad baik. Keabsahan Pilihan Hukum dan Pilihan Forum bergantung tidak dilanggarnya batasan-batasan tersebut sehingga Para Pihak dapat mengakui dan  menerima Pilihan Hukum dan Pilihan Forum tersebut. HPI digunakan dalam menentukan pilihan hukum dan pilihan forum bila dalam kontrak para pihak tidak menentukan secara tegas. Pada dasarnya suatu pilihan Hukum  dan Pilihan Forum harus mempunyai real connection dengan kontrak yang dibuat. Tidak adanya suatu real connection dengan kontrak yang dibuat men adikan pilihan Hukum  dan Pilihan Forum tidak dapat diberlakukan. Namun pemilihan terhadap negara ketiga yang tidak terkait dengan kontrak dapat dibenarkan dengan alasan netralitas yang dipergunakan secara rasional dan wajar.
            Apakah pilihan hukum dalan pilihan forum dalam transaksi kontrak dagan internasional diakui dan diterima di Republik Indonesia? Bagai mna pandangan pengadilan indonesia terhadap pilihan hukum dan pilihan forum dalam transaksi kontrak dagang? Penulis mengunakan metode hukum normatif, dengan mengunakan pedekatan yuridis normatif, dengan mengunakan pendekatan yuridis normatif, serta mengunakan bahan hukum skunder, dan menganalisa data secara kualitatif. Hasil penelitian menunjukan pilihan hukum dan pilihan forum dalam transaksi kontrak dagang secara normatif diakui dan diterima di RI, baik bedasarkan pasal 1338 KUH perdta ataupun bedasarkan konvensi internasional, akan tetapi pendapat pengadilan tentang hal ini tidak selalu dengan hukum normatif tersebut, beberapa putusan MA lain, hakim mempertimbangkan dan memutuskan mengenai penerapan pilihan hukum dan pilihan forum dengan berbeda-beda.

Seiring berkembangnya kegiatan bisnis di era globalisasi saat ini, semakin berkembang pula bentuk-bentuk transaksi bisnis di berbagai negara yang semakin  kompleks dan variatif. Perkembangan terus berlangsung, sehingga transaksi bisnis tidak dapat dipisahkan kontrak dengan bentuk-bentuk yang baru menyesuaikan ragam kepentingan dan tujuan dari para pelaku bisnis.
Perkembangan yang demikian telah menunjukkan bahwa keberadaan hubungan hukum dan ekonomi tidak dapat dipungkiri adanya. Ekonomi kurang dapat berkerja dan melakukan perencanaan  dengan baik tanpa didukung oleh tatanan normatif yang berlaku,  yang tidak lain adalah hukum. Caoter dan Ulen – sebagaimana di kutip oleh Fajar Sugianto[1]   mengatakan, bahwa interaksi antara ilmu hukum dan ilmu ekonomi tidak dapat dipisahkan, karena keduanya mempunyai persamaan dan keterikatan di dalam teori – teori keilmuan tentang perilaku (scientific theories of behavior). Ilmu ekonomi menyediakan acuan normatif untuk mengevaluasi hukum dan kebijakan, sementara hukum bukan hanya misteri rahasia argumen-argumen teknikal namun berupa alat untuk mecapai tujuan-tujuan sosial yang penting, ilmu ekonomi memproteksi terhadap efisiensi kebijakan.
Cara pandang ekonomi tehadap hukum dapat membantu hukum dan ilmu hukum tidak saja menjadi alat untuk mencapai tujuan hukum atau hanya berperan sebagai subyek hukum mencapai sasaran dan cita-cita hukum Menurut  Fajar Sugianto[2], ilmu ekonomi dapat membantu untuk mengamati hukum dan ilmu hukum dengan cara-cara baru, misalnya dalam mencermati keberadaan kontrak.
Kontrak merupakan alat untuk pencapaian tujuan bisnis yaitu keuntungan yang semaksimal mungkin dengan usaha yang sedemikian. Kontrak pada dasarnya adalah bagian bentuk dari suatu perjanjian. Perjanjian dikatakan sebagai suatu persetujuan yang terjadi antara satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap orang lain atau lebih sebagaimana diatur pada Pasal 1313 KHUPerdata adalah sangat luas, kontrak lebih besifat untuk bisnis dan bentuknya perjanjian tertulis. Kontrak memiliki suatu hubungan hukum oleh para pihak yang saling mengikat antara pihak yang satu dengan yang lainnya saling mengikatkan dirinya dalam kontrak tersebut, pihak yang satu dapat menuntut sesuatu kepada pihak yang lain, dan pihak yang dituntut berkewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut.
Para pihak yang terlibat dalam pembuatan suatu kontrak bisnis pada dasarnya tidak menghendaki adanya sengketa dikemudian hari, namun tidak seorangpun dapat meramalkan akan terjadinya suatu kerugian yang mungkin timbul dalam pelaksanaan kontrak tersebut. Bila para pihak dalam suatu perjanjian datang dari dua Negara yang berbeda dan apabila mereka tidak dapat menyelesaikan sengketa yang timbul secara damai, maka tiga persoalan pokok lahir dari “conflict of laws” ini. Pertama, hukum mana yang berlaku bagi perjanjian yang mereka buat? Kedua, badan mana yang berwenang untuk memeriksa atau mengadili persilisihan mereka? Ketiga, Apakah suatu putusan pengadilan asing atau arbitrase asing dapat dilaksanakan disuatu negara salah satu pihak yang bersengketa .[3]
Dalam pembuatan suatu kontrak dikenal salah satu asas, yaitu asas kebebasan berkontrak yaitu suatu asas yang memberikan pemahaman bahwa setiap orang dapat melakukan suatu kontrak dengan siapa pun dan untuk hal apapun. Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata memberikan dasar bagi para pihak akan adanya asas kebebasan berkontrak.
Asas kebebasan berkontrak bukan berarti menghalalkan bagi para pihak untuk mengingkari kontrak yang telah terlebih dahulu terjadi, maksudnya adalah para pihak dapat bebas mengadakan kontrak berdasarkan yang diperlukan. Asas ini bersifat universal dan dianut oleh hukum perjanjian di semua negara pada umumnya. Sebagai konsekuensi adanya asas ini, para pihak dalam kontrak mendapat kebebasan untuk mengadakan pilihan hukum (choice of law) dan pilihan forum (choice of forum) dalam transaksi internasional.
Dalam menentukan hukum yang akan berlaku untuk mengatur transaksi yang bersifat internasional tersebut, maka peranan Hukum Perdata Internasional mulai terlihat[4]  karena menurut Prof. Sudargo Gautama, dikemukakan sebagai berikut[5]:
     Hukum Perdata Internasional merupakan keseluruhan peraturan dan keputusan hukum yang menunjukan selsel hukum manakah yang berlaku atau apakah yang merupakan hukum, jika hubungan-hubungan dan pristiwa-pristiwa antara warga (warga) negara pada satu waktu tertentu meperlihatkan titik-titik pertalian dengan sel-sel atau kaidah-kaidah hukum dari dua atau lebih negara, yang berbeda dalam lingkungan-lingkungan-kuasa-tempat, (pribadi) dan soal-soal .
Jadi yang di tentukan adalah perbedaan dalam lingkungan kuasa tempat dan soal-soal pembedaan dalam sistem suatu negara dengan lain negara, artinya ada unsur luar negerinya (foreign element).[6]
     Hukum perdata internasional diaplikasikan pada peristiwa hukum keperdataan yang cross border, ada unsur asing (foreign element) dan atau terlibat lebih dari satu sistem hukum. Kontrak yang bersifat internasional, tentu proses ini melibatkan unsur-unsur personalia, obyek kontrak ataupun area/wilayah secara lintas Negara.
Menurut Prof. Sudargo Gautama yang dimaksud dengan kontrak internasional adalah kontrak nasional yang di dalamnya ada unsur asing.[7] Secara teoritis, unsur asing yang dapat menjadi indikator suatu kontrak adalah kontrak nasional yang terdapat unsur asing di dalamnya, yaitu[8]:
1.      Kebangsaan yang berbeda;
2.      Para pihak memiliki domisili hukum dinegara yang berbeda;
3.      Hukum yang dipilih adalah hukum asing, termasuk aturan-aturan atau prinsip-prinsip kontrak internasional terhadap kontrak tersebut;
4.      Penyelesaian sengketa kontrak dilangsungkan di luar negri;
5.      Pelaksanaan kontrak tersebut di luar negri
6.      Kontrak tersebut ditandatangani di luar negri
7.      Objek kontrak di luar negri,
8.      Bahasa yang di gunakan dalam kontrak adalah bahasa asing; dan
9.      Digunakan mata uang asing di dalam kontrak tersebut

Untuk menentukan hukum mana yang akan digunakan oleh para pihak dalam mengatur transaksi yang mereka lakukan mengacu prinsip kebebasan berkontrak dalam hukum kontrak internasional, yaitu, dimana para pihak bebas menutup kontrak, bebas menetapkan bentuk dan isi kontrak berdasarkan kesepakatan mereka. Hal ini sering pula disebut Party Autonomy.[9]
Dalam party autonomy, para pihak diberikan wewenang untuk mengatur perjanjian yang akan mereka buat, serta transaksi hukum ini menjadi suatu tindakan penerapan hukum menakala perjanjian yang telah dibuat oleh para pihak tersebut melahirkan suatu hak dan kewajiban bagi mereka, sehingga transaksi hukum tersebut merupakan hukum yang di buat oleh para pihak didalam perjanjian berdasarkan otonomi pribadi. Terhadap suatu perbuatan tertentu para pihak tersebut. Namun, bisa saja terjadi kesenjangan antara kehendak nyata dari salah satu pihak yang mengadakan perjanjian dengan peryataan kehendak yang tertuang dalam naskah perjanjian, sehingga penyelesaiannya hanya dapat dijawab oleh pembuat undang-undang atau orang yang membuat hukum.
Maka party autonomy ini pun diberikan kepada para pihak untuk menetukan hukum mana yang mereka kehendaki atau pilih untuk megatur perjanjian atau kontrak yang mereka buat secara forum apa yang mereka pilih untuk menyelesaikan sengketa yang timbul yang berhubungan dengan perjanjian atau kontrak yang mereka buat.
Klausula choice of law dan choice of forum seharusnya merupakan hasil negosiasi antara para pjhak serta adanya bargaining position seimbang yang diaktualisasikan dalam kontrak, kemudian disebut klausula pilihan hukum (choice of law clause) dan klausula pilihan forum (choice of forum clause).  
Kepastian hukum bagi dunia usaha penting dalam rangka terciptanya iklim usaha yang sehat, oleh sebab itu dalam banyak kontrak-kontrak bisnis internasional terdapat klausula pilihan hukum (choice of law) dan klausula pilihan forum (choice of forum).
Dengan adanya kesepakatan mengenai apa yang menjadi hukum, maka para pihak dapat mempersiapkan diri lebih awal untuk memahami hukum atau forum yang telah dipilih. Dalam hal hukum yang dipilih adalah hukum salah satu pihak, maka pihak tersebut akan diuntungkan karena lebih mengenal hukum yang mengatur hubungan yang mereka lakukan.
Dengan adanya kebebasan para pihak menetukan isi perjanjian yang merupakan peryataan kehendak mereka, tidak dapat dipastikan para pihak dalam perjanjian memenuhi hak dan kewajiban sesuai dengean apa yang mereka nyatakan dalam perjanjian, sehingga penyelesaiannya hanya dapat dilakukan oleh pembuat undang-undang atau organ yang membuat hukum, yaitu para pihak dalam perjanjian yang bedasakan otonomi pribadi telah membentuk hukum. Disinilah mulai nampak peranan pilihan hukum dan forum dalam suatu perjanjian untuk menyelesaikan sengketa yang mungkin saja terjadi antara para pihak yang disebabkan kesenjangan antara apa yang dilakukan dengan apa yang disepakati oleh para pihak dalam perjanjian.
Persoalan pilihan hukum dan pilihan forum dalam HPI (Hukum Perdata Internasional) memperlihatkan unsur-unsur falsafah hukum dan di samping itu mengandung pula segi-segi teori hukum, praktek hukum dan politik hukum yang tentunya selalu menarik perhatian.
Banyak yang memperdebatkan apakah sebaiknya diberikan kebebasan memilih hukum ini atau tidak? Tetapi praktek hukum sejak lama telah menerima pilihan hukum ini.
Pembahasan pilihan hukum dan pilihan forum dalam kontrak bisnis internasional menjadi penting karena adanya perbedaan sistem hukum, menghindarkan “conflict of laws” dan kekosongan hukum, melaksanakan berbagai konvensi serta mengikuti kemajuan teknologi yang tidak mengenal batas[10]
Meski pada dasarnya perjanjian adalah undang-undang bagi para pihak, namun dalam prakteknya masih ditemukan putusan-putusan pengadilan di beberapa negara yang menyimpangi ketentuan pilihan hukum dan pilihan forum dalam sengketa kontrak bisnis. Dalam prakteknya, klausula pilihan hukum (choice of lav clause) dan pilihan forum (choice of forum clause) tidaklah mutlak diberlakukan jika timbul sengketa. Dengan adanya perbedaan dalam pemahaman terkait pilihan yurisdiksi hal ini sangat membuat ketidakpastian bagi para pelaku bisnis.
Lantas, bagaimana pengakuan dan penerimaan serta pandangan pengadilan di Indonesia terhadap pilihan hukum dan pilihan forum dalam kontrak bisnis internasional?
Pilihan Hukum dan pilhan forum pada dasarnya sebagai alternatif untuk menghindari “Conflict of law” tetapi dalam praktiknya justru sering melanggar ketertiban umum dan dimungkinkan dimanfaatkan adanya penyelundupan hukum. 
Hal ini dikuatkan oleh  Prof.Sudargo Gautama yang mengemukakan, bahwa dalam pilihan hukum (choice of law/Rechtswahl), para pihak dapat memilih sendiri hukum yang harus dipakai untuk kontrak namun dengan pembatasan, yaitu sepanjang tidak melanggar ketertiban umum dan tidak boleh menjelma menjadi penyelundupan hukum[11].
Ketertiban umum menjadi suatu penyaring yang dapat menghentikan diperlakukannya hukum asing termasuk pemakaian otonomi para pihak yang terlampau leluasa. Ketertiban umum menjaga bahwa hukum yang telah dipilih oleh para pihak adalah bertentangan dengan sendi-sendi asasi dalam hukum dan masyarakat sang hakim.
Tidak hanya ketertiban umum namun kaidah hukum memaksa “Mandatory Rules” yang telah diatur dalam berbagai konvensi internasional wajib ditaati oleh para pihak dalam kontrak internasional. Pilihan hukum yang ditentukan dalam kontrak internasional, tidak diperkenankan melanggar sendi-sendi dari sistem hukum yang mengadili sengketa tersebut[12] dan pilihan hukum tidak boleh melanggar dan mengenyampingkan ketentuan hukum lainnya yang bersifat memaksa.
Sejauhmana terlanggarnya ketertiban umum dan kaidah hukum memaksa sehingga dimungkinkannya penyelundupan hukum? Apa saja hal-hal yang membatasi pilihan hukum dan pilihan forum dalam kontrak bisnis internasional?
Pembatasan atas pilihan hukum dan pilihan forum secara universal diperlukan, namun dalam praktek penerapan bisnis internasional masih belum ditemukan keseragaman. Pemahaman yang berbeda serta benturan antar system hukum atas pilihan yurisdiksi terlihat dari adanya beberapa putusan pengadilan atas sengketa kontrak bisnis yang semakin jauh dalam memeberikan rasa keadilan ditengah tuntutan pembangunan ekonomi hukum yang berkeadilan.
Pilihan hukum dan pilihan forum dalam kontrak bisnis internasional  dihormati oleh Hakim di berbagai negara. Pilihan hukum dan pilihan forum merupakan dua bidang yang berbeda. Pelaksanaan pilihan hukum dan pilihan forum sangat efektif dalam  menyelesaikan dan  menyikapi  konflik hukum “conflict of  law” memberikan hak kepada para pihak untuk menentukan hukum yang berlaku dan cara penyelesaian konflik dalam pelaksanaan bisnis. Indonesia mengakui dan menerima pilihan hukum dan pilihan forum dalam kontrak bisnis sebagaimana tercermin pada asas kebebasan berkontrak yang diatur dalam Pasal 1338 KUH Perdata.

HARUSKAH PILIHAN HUKUM DAN PILIHAN FORUM DIBATASI?
            Timbulnya efek negatif dalam kebebasan penentuan pilihan hukum dan pilihan forum seperti adanya pemanfaatan perilaku tipu muslihat dan  multitafsir sikap hakim diberbagai negara bahkan dimungkinkan adanya penyelundupan hukum tentu menimbulkan ketidaktertiban berkontrak, maka diperlukan adanya suatu pembatasan. Pembatasan pada dasarnya bersifat anjuran atau perintah normatif hanya merupakan pemikiran dasar yang harus tidak dilanggar. Dengan dalih penerapan azas ketertiban umum, Hakim diberbagai negara telah mengakui adanya pembatasan atas kebebasan pilihan hukum dan pilhan forum dalam kontrak bisnis. Faktor dominan yang menjadi pertimbangan Hakim dalam  melakukan pembatasan dengan menetapkan pilihan hukum dan pilihan forum selain ketertiban umum yaitu kepentingan hukum negara Hakim itu sendiri. Alasannya antara lain untuk memudahkan pemeriksaan bagi pencari keadilan dan pelaksana keputusan dari pengadilan tersebut (efisien). Faktor inilah yang mendorong pengadilan menerapkan pendekatan “Traditional Vested Rights” atau memilih “Government Interest Analysis”. Bahkan dalam beberapa kasus, faktor ini pula yang menerobos kesepakatan para pihak sebelumnya yang memilih hukum dan forum tertentu dalam kontrak bisnis yang mereka buat.
            Hakim di Indonesia dalam pandangannya telah mengakui dan menerapkan  terhadap pembatasan atas pilihan hukum dan pilihan forum dalam sengketa kontrak bisnis internasional. Namun dalam pelaksanaannya tidak seragam atau berbeda-beda dalam dasar pertimbangan hukumnya antara perkara yang satu dengan perkara yang lain.
            Para pihak yang berkontrak haruslah menguasai dasar-dasar, asas-asas Hukum Perdata Internasional dalam langkah awal pembuatan kontrak bisnis internasional sehingga dapat melakukan optimalisasi risiko dalm hubungan kontrak bisnis internasional dengan baik. Pemerintah diharapkan segera mungkin membuat aturan-aturan hukum yang mengatur mengenai pilihan hukum dan piihan forum  dalam kontrak internasional agar tercipta kepastian dalam rangka penerapan hukum melalui lembaga peradilan. Peningkatan kompetensi para Hakim di Indonesia sebagai penegak hukum dalam mengkaji dan memutus sengketa kontrak bisnis internasional.


[1] Fajar Sugiarto, Economic Analysis of Law, Seri Analisis Keekonomian tentang Hukum Seri I, Pranadamedia Group, Jakarta, 2013, hlm.19.
[2] Ibid.
[3]Abla Mays. Principles of Conflict of Laws (London:Canvendish Publishing Ltd.1996) hal.1-2.
[4]Teuku Mohammad Radhie, Hukum Perdata Internasional (Khusus Mengenai Pilihan Hukum, Pilihan Pengadilan, dan Penyelesaian Sengketa), disampaikan pada Kursus Transaksi Bisnis I Nasional 1991, (Jakarta: Falkutas Hukum Tarumanegara, 1999), hal. 3. 
[5]Sudargo Gautama (a), Pengaturan Hukum Perdata Internasional Indonesia, (Bandung Bina Cipta, 1987), hal. 21.
[6] Ibid
[7] Huala Adolf, Dasar-Dasar Hukum Kontrak, (Bandung: Retika Aditama,2006), Hal. 3.
[8] Ibid., hal 4
[9] Ibid. Hal. 19.
[10] Yansen Dermanto Latip, Pilihan Hukum dan Pilihan Forum Dalam Kontrak Internasional, Cetakan 1, (Jakarta :Program Pascasarjana, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002), hal.2
[11] Sudargo Gautama, Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia, (Badan Pembinaan Hukum Nasional, 1987), hal. 168-170.
[12] Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Perdata Internasional. PT.Bale : Bandung, 1986, hal 27-35.





Komentar

Postingan Populer