“Out Of Court Settlement“
Mempelajari Keteraturan, Menjumpai Ketidakteraturan:
Penyelesaian
Sengketa “Out Of Court Settlement“
Menurut
Kearifan Lokal
“
Disinilah letak tragedi hukum modern, hukum yang semakin jauh dari keadilan
masyarakat “
“Selama
ini cara berhukum yang dianut telah membelenggu dan seolah-olah tidak bisa
keluar dari persepsi hukum sebagai berhukum secara universal “
“
Sudah saatnya mengajarkan keteraturan
dan menemukan ketidakteraturan yang ada, dengan ini Hukum yang progresif
diharapkan mampu membantu keluar dari kungkungan cara berhukum yang sudah dianggap baku“
_
(Satjipto Rahardjo)
Sumber.tintaungunews.wordpress.com
I. PENDAHULUAN
I.
a. Latar Belakang
Melalui
sejarah hukum dapat diketahui bahwa hukum yang mula pertama berlaku dan
merupakan pencerminan kesadaran hukum rakyat Indonesia ialah kearifan lokal
hukum adat. Masyarakat
Indonesia dikenal pada dasarnya berorientasikan pada nilai budaya
kekeluargaan, mengedepankan asas musyawarah mufakat untuk menyelesaikan suatu
sengketa dalam suatu sistem sosial.
Jalur
musyawarah merupakan jalur utama yang digunakan masyarakat hukum adat dalam
menyelesaikan sengketa, karena dalam musyawarah akan dapat dibuat kesepakatan
damai yang menguntungkan kedua belah pihak.
Sebelumnya diketahui telah diatur adanya
aturan PERMA No.
1 Tahun 2008 tentang Mediasi yang berakar dari semangat Pasal 130 HIR dan Pasal
154 Rbg, semangat penanganan peradilan yang cepat, murah, akses pemuas rasa
keadilan hingga sebagai instrumen efektif
penumpukan perkara. Termasuk
didalamnya dijelaskan pula jenis mediasi apa saja yang dapat dilakukan serta
penyelesaian sengketa atau perdamaian diluar pengadilan.
Pada
dasarnya perdamaian dalam adat istiadat maupun
hukum adat tidak terbatas pada sengketa perdata, Perdamaian juga lazim dalam
perbuatan (perkara) yang bersifat kepidanaan. Tidak jarang suatu perbuatan
pidana diselesaikan secara kekeluargaan. Dimasa dahulu, peran penting
mendamaikan dilakukan oleh ketua adat atau kepala adat, kepala kaum atau
kepala-kepala kerabat. Dalam prakteknya, perdamaian dilakukan oleh atau
dihadapan kepolisian atau pejabat pemerintah lain.
Pelaksanaan penyelesaian
sengketa “Out Of Court Settlement“ dalam sistem hukum Indonesia selain didasarkan pada
kerangka peraturan perundang-undangan negara, juga dipraktikkan dalam
penyelesaian sengketa dalam lingkup masyarakat adat atau sengketa-sengketa
dalam masyarakat pada umumnya seperti sengketa keluarga, waris, batas tanah,
dan masalah-masalah pidana seperti perkelahian dan pencurian barang dengan
realtif kecil. Dimana hal ini terdapat perbedaan dalam pendekatan penyelesaian
perkara menurut konsep hukum negara (state law) dan hukum masyarakat (folk law, non-state law).
Hukum positif pada lazimnya hanya menyoroti
sebagian dari tatanan yang besar, yaitu apa yang termasuk ke dalam tatanan politik,
atau lebih khusus lagi tatanan yang berbasis kepada negara. Tak dapat diterima
kehadiran tatanan lain yang tidak dapat dikaitkan kepada tatanan negara
tersebut, meskipun jenis tatanan ini ada dan hidup dalam tatanan masyarakat.
penerimaan suatu tipe tatanan lain di luar yang positif tersebut akan
mengganggu kebenaran sistem rasional dari teori tersebut.
Jika
dilihat dari optik ini, maka ketiadaan atau kegagalan dari hukum positif
(tatanan politik negara) berarti keambrukan bagi ‘Tatanan’. Padahal ini tidak
berarti dari keambrukan seluruh tatanan yang besar. Karena itu, ketika hukum
negara tidak dapat memberikan pengayoman kepada masyarakat, orang akan bingung
dan kehabisan cara (dan kata), yang lantas menyalahkan hukum sebagai biang
keladi kemunduran negara ini. Tentu hal ini disebabkan karena pandangan sempit
masyarakat yang menganggap hukum negara adalah satu-satunya pemegang legitimasi
sebagai ‘hukum’, sehingga apabila hukum negara gagal bekerja, ‘hukum’ (dalam
arti luas dan sebenarnya) adalah ketidakaturan itu sendiri.
Banyak pihak terjebak dengan keanekaragaman adat dan
budaya di Indonesia termasuk beragam pula aplikasi dan pengaturannya. Lantas adat
manakah yang berhak diadopsi pada hukum nasional? Apakah hukum adat tersebut telah mewakili semua adat? Apakah
hukum adat layak dipositifkan? Bagaimana dan seperti apa proses menjadikan
hukum adat sebagai dasar pembuatan hukum positif? Sejauhmana benturan antara
sistem hukum nasional (formal) dan kearifan lokal (Informal) terjadi? Bagaimana
pengaturan persinggungan antara sistem hukum nasional (formal) dan kearifan
lokal (Informal)?
I. b. Ruang Lingkup dan
Rumusan Masalah
Mengingat luasnya wilayah Indonesia dan
beranekaragamnya masyarakat adat di Indonesia, dalam karya tulis ini, kami Tim
Penulis sengaja memfokuskan beberapa pertanyaan-pertanyaan tersebut diatas
dalam bentuk pokok permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana
mekanisme penyelesaian sengketa menurut kearifan lokal pada beberapa masyarakat
adat seperti; Masyarakat Adat Padang, Banjar, masyarakat adat Dayak di
Kalimantan Tengah, masyarakat adat Aceh, masyarakat adat Ambon/Maluku,
masyarakat adat Lombok Utara, masyarakat adat Lamaholot di Flores Nusa Tenggara
Timur, masyarakat Adat Takalar,
Sulawesi Selatan ?
2. Bagaimana
eksistensi kearifan lokal dalam menyelesaikan sengketa “Out Of Court Settlement“ untuk melahirkan keadilan dalam hukum
nasional Indonesia?
I.
c.
Maksud dan Tujuan
Penulisan karya tulis
ini sengaja disusun selain untuk pemenuhan tugas mata kuliah Mediasi Hukum
adalah untuk mengetahui lebih dekat sejauh mana implementasi penyelesaian
sengketa “Out Of Court Settlement“
menurut kearifan lokal dalam upaya melahirkan hukum berkeadilan di Indonesia.
Di samping itu, tulisan ini diharapkan diharapkan dapat pula menjadi
masukan bagi pembaharuan dan pengembangan ilmu[1] hukum.
II.
PEMBAHASAN
II.a. Penyelesaian sengketa menurut kearifan
lokal pada Masyarakat Adat di Indonesia
1.
Mekanisme
penyelesaian sengketa menurut kearifan lokal Masyarakat Adat Padang.
Kerapatan Adat Nagari (KAN) merupakan
lembaga adat tertinggi di nagari, tempat berhimpunnya penghulu di nagari yang
disebut Ninik Mamak. Lembaga adat ini keberadaanya seiring dengan berdirinya
suatu nagari dengan nama yang berbeda-beda di masing-masing nagari. Keberadaan
Kerapatan Adat Nagari sangat penting artinya, karena selain, mengurus,
memelihara dan mengatur pemanfaatan tanah ulayat nagari, di samping itu
Kerapatan Adat Nagari berperan untuk menyelesaikan sengketa tanah ulayat suku
atau kaum. Ada berbagai pendapat yang berkembang dalam masyarakat tentang
penyelesaian sengketa tanah ualat, ada yang berpendapat sebaiknya sengketa
tanah ulayat cukup diselesaikan oleh KAN setempat, putusan KAN mengikat kedua
belah pihak.
Perkara tersebut tidak perlu
diajukan ke pengadilan, sebab pandangan mereka berperkara ke pengadilan kedua
belah pihak akan rugi, seperti petua orang tua-tua, nan kalah jadi abu, nan
menang jadi baro. Di lain pihak menyatakan bahwa sengketa tanah ulayat terlebih
dulu diselesaikan oleh KAN setempat, apabila para pihak yang bersengketa tidak
merasa puas, dapat mengajukan ke pengadilan. Adapula yang berpendapat, sengketa
tanah ulayat tak perludiselesaikan oleh KAN setempat, para pihak langsung
mengajukan ke pengadilan, alasan mereka berdasarkan pengalaman. Perkara tanah ulayat,
yang diajukan ke KAN, biasanya KAN tidak mau menyelesaikannya. Pada saat itu
ada pula himbauan dari ketua Pengadilan Tinggi Sumatera Barat agar setiap
penyelesaian masalah sengketa adat, tanah ulayat dan sebagainya yang
berhubungan dengan adat istiadat Minangkabau di Sumatera Barat seharusnya
diselesaikan oleh KAN terlebih dahulu sebelum dibawa ke pengadilan negeri.
Namun imbauan ini kurang diperhatikan oleh masyarakat nagari sehingga imbauan
ini juga tidak berjalan sebagaimana mestinya yang berakibat kepada lemahnya
fungsi KAN dan ninik mamak di Minangkabau, entah apa dan siapa yang salah kita
juga tidak tahu.
Perda
Nomor 2 Tahun 2007 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Nagari mengatakan
“Kerapatan Adat Nagari yang selanjutnya disebut KAN adalah Lembaga Kerapatan
dari ninik mamak yang telah ada diwariskan secara turun temurun sepanjang adat
dan berfungsi memelihara kelestarian adat serta menyelesaikan perselisihan sako
jo pusako”. Di samping itu yang lebih berkembang dalam menyelesaikan sengketa
atau perkara zaman dahulu adalah lebih mengedepankan kearifan lokal yaitu
budaya malu di tengah masyarakat. Apabila seorang warga melakukan kesalahan
seperti pencurian yang malu tidak si pencuri itu saja, tetapi seluruh sanak
familinya juga turut menanggung malu, apalagi kalau ada peristiwa perzinaan.
Hal ini merupakan aib yang luar biasa dan peristiwa yang tidak dapat di
maafkan, bahkan yang bersangkutan dapat dibuang sepanjang adat dan harus keluar
dari nagari tersebut.
Pada
masa sekarang persoalan/sengketa seperti itu tetap ada dan bahkan selalu
berulang-ulang atau itu ke itu saja persoalan yang terjadi di nagari (masalah
ulayat, sako jo pusako, gala mamak kaum dan sebagainya), tetapi penyelesaiannya
pada saat sekarang ini jarang sekali diselesaikan di KAN, tetapi sudah langsung
saja ke pengadilan negeri, Biasanya bila terjadi persengketaan sako jo pusako
dan tanah ulayat di masyarakat mereka langsung menyelesaikannnya ke pengadilan
negeri. Padahal sebelum dibawa ke pengadilan negeri alangkah baiknya
diselesaikan di tingkat nagari melalui KAN. Peraturan Daerah Provinsi Sumatera
Barat Nomor 2 Tahun 2007 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Nagari pada bab VII,
Pasal 19 ayat (1 dan 2) yang berbunyi:
1. Lembaga
Adat Nagari berfungsi menyelesaikan sengketa sako dan pusako menurut ketentuan
sepanjang adat yang berlaku di Nagari, dalam bentuk Putusan Perdamaian.
2. Bilamana
tidak tercapai penyelesaian sebagaimana tersebut pada ayat (1) pasal ini, maka
pihak-pihak yang bersangkutan dapat meneruskan perkaranya ke Pengadilan Negeri.
Namun,
aturan tersebut tidak begitu diterapkan, karena sering putusan Kerapatan Adat
Nagari tersebut mengenai persoalan sengketa tanah pusaka tinggi tidak memuaskan
salah satu pihak yang bersengketa. Disamping hal tersebut, ada beban bagi hakim
yang akan mengadilli sengketa harta pusaka tinggi, yaitu beban untuk memahami
tentang seluk beluk adat Minangkabau terkait dengan tanah Pusaka Tinggi.
Pemahaman hakim terhadap hukum adat minangkabau terhadap kedudukan harta pusaka
tinggi tersebut akan terlihat dalam pertimbangan hakim sebelum memutuskan
sebuah sengeta. Dengan demikian, nilai dan norma yang terkandung dalam hukum
adat Minangkabau terkait dengan tanah pusaka tinggi menjadi bahan pertimbangan
hakim dalam setiap perkara sengketa harta pusaka tinggi yang diputuskan dalam
sidang pengadilan perdata di Pengadilan Negeri Padang Panjang. Dalam prakteknya dapat
dilihat bahwa menjadi penyebab adalah sebagai berikut :
1. Putusan
Kerapatan Adat Nagari (KAN) dalam memutuskan sengketa harta pusaka tinggi tidak
mempunyai kekuatan mengikat dan tidak dapat dipaksakan pelaksanaannya. Karena
tidak terdapat lembaga yang mempunyai kekuatan untuk melaksanakan putusan
tersebut.
2. Anjuran
oleh Putusan Kerapatan Adat Nagari (KAN) dalam memutuskan sengketa harta pusaka
tinggi untuk meneruskan penyelesaian harta sengketa pusaka tinggi ke Pengadilan
Negeri Padang Panjang.
3. Adanya
pernyataan bahwa tidak mengakui putusan KAN karena tidak adanya persidangan dan
permasalahan gelar sako yang berimbas pada permasalahan hak dalam pengelolaan
tanah pusaka tinggi hal tersebut terdapat dalam putusan Perdata Nomor
07/Pdt.6/2007/PN.PP, dimana tergugat mempertanyakan keabsahan gelar sako
terhadap mamak kepala waris yang berdampak hak dalam pengelolaan tanah pusaka
tinggi.
4. Kewenangan
Pengadilan Negeri untuk menyelesaikan perkara Tanah Pusaka Tinggi hal tersebut
dilihat putusan Perdata Nomor 07/Pdt.6/2007/PN.PP bahwa hakim mempertimbangkan
bahwa gugatan mengenai harta pusaka tinggi kaum di daerah Minangkabau harus
dilakukan oleh mamak kepala waris dalam kaum guna mewakili kaum di muka
Pengadilan sebagaimana diatur dalam yurisprudensi Mahkamah Agung tertanggal 9
November 1977 No. 1646 K/Sip/1977 dan yurisprudensi Mahkamah Agung tertanggal
29 Maret 1978 Nomor 139 K/Sip/1978. Dasar yurisprudensi tersebut membuka
peluang bagi hakim menyidangkan mengenai tanah pusaka tinggi.
Permasalahan dalam penyelesaian
sengketa tanah pusaka tinggi di Pengadilan Negeri Padang Panjang adalah bahwa
ketentuan Pasal 19 Peraturan Daerah Sumatera Barat Nomor 2 Tahun 2007 Tentang
Pokok-Pokok Pemerintahan Nagari yang menyebutkan bahwa Kerapatan Adat Nagari
9 adalah penyelesaian dalam permasalahan
sengketa adat, namun karena tidak terdapat kepuasan bagi pihak yang
bersengketa, maka ada yang menggugat ke Pengadilan Negeri Padang Panjang.
Penyebabnya
adalah Putusan Kerapatan Adat Nagari (KAN) tidak mempunyai kekuatan mengikat
dan tidak dapat dipaksakan pelaksanaannya, terdapat Anjuran oleh Putusan
Kerapatan Adat Nagari (KAN) dalam memutuskan sengketa harta pusaka tinggi untuk
meneruskan penyelesaian harta sengketa pusaka tinggi ke Pengadilan Negeri
Padang Panjang. Sedangkan Penyelesaian sengketa tanah pusaka tinggi di
Pengadilan Negeri Padang Panjang dilakukan dengan terlebih dahulu melaksanakan
mediasi yang secara umum telah berjalan sesuai dengan prosedur yang berlaku
yaitu Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang prosedur Mediasi di
pengadilan. Namun, sebagian besar perkara perdata yang masuk tidak berhasil
didamaikan melalui proses mediasi, hingga pengadilan negeri Padang Panjang
melanjutkan proses pada persidangan.
Hukum nasional sendiri mengakui bahwa
berlakunya hukum sebuah hukum adat jika pada kenyataannya masih ada dan
berlaku. Sedangkan dalam penjelasan Pasal 19 ayat (1) Perda Nomor 2
Tahun 2007 yang berbunyi adalah :
“Penyelesaian
sengketa menyangkut sako dan pusako diupayakan musyawarah dan mufakat menurut
ketentuan yang berlaku sepanjang adat. Upaya penyelesaian sengketa dilaksanakan
secara berjenjang baik bertangga turun yang dimulai dari tingkat kaum, suku dan
terakhir pada tingkat Lembaga Adat Nagari.”
Dengan demikian, maka lembaga adat
mendapatkan tempat tersendiri dalam penyelesaian beberapa persoalan yang
menyangkut masalah sengketa dalam ruanglingkup adat. Dalam tataran hukum
nasional, mengenai tanah pusaka tinggi yang dapat digolongkan sebagai hak
ulayat masyarakat adat diakui melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang
Pokok Agraria. Pasal 3 menyebutkan : “Dengan mengingat ketentuan-ketentuan
dalam pasal 1 dan 2 pelaksananan hak ulayat dan pelaksanaan hak-hak serupa itu
dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih
ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasioanal dan
negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan
dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi”. Namun
dalam kenyataannya, masih banyak terdapat gugatan-gugatan perkara tanah pusaka
tinggi pada pengadilan negeri seperti pada pengadilan Negeri Padang Panjang.
Dalam
harta pusaka tinggi, sering terjadi perselisihan atau persengketaan dalam suatu
kaum yang mana harta pusaka tinggi tersebut dijual tanpa sepengetahuan kaumnya.
Sebab di dalam adat Miuangkabau harta pusaka tinggi merupakan martabat dan
harga diri dari suatu kaum, maka dari itu apabila terjadi penjualan harta
pusaka tinggi sama halnya menghilangkan salah satu dari daerah suatu kaum atau
suku, akhirnya mengurangi ulayat atau nagari. Penggunaan harta pusaka dalam
hubungannya dengan kepentingan yang mendesak adalah sebagai berikut Rumah
Gadang Katirisan (memperbaiki rumah gadang), Gadih Gadang Balum Balaki
(perempuan besar belum bersuami), maiktabujua ditangah rumah (mayat terbujur
ditengah rumah) Mambangkik Batang Tarandam (Membangkit Batang Terendam). Dalam
hal ini akan di kaji mengenai faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya
sengketa harta pusaka tinggi di kota Padang, cara yang dilakukan untuk
menyelesaikan sengketa harta pusaka tinggi, keberhasilan Kerapatan Adat Nagari
(KAN) di kota Padang daIam menyelesaikan sengketa harta pusaka tinggi serta
upaya pemerintah kota Padang untuk memaksimalkan fungsi KAN dalam menyelesaikan
sengketa. Untuk mengkaji pennasalahan tersebut, penelitian ini bersifat
deskriptif analitis. Lokasi penelitian ini di kota Padang. Populasi dalam
penelitian ini adalah orang-orang yang terkait dengan sengketa harta pusaka
tinggi atau pihak-pihak yang bersengketa yang berada di Kecamatan Pauh, dan
sebagai sampel diambil 20 orang, dan untuk melengkapi data tersebut diperlukan
tambahan informasi dari nara sumber lainnya seperti Ketua, Sekretaris dan Ketua
Bidang Perdamaian Adat KAN PauhV, 3 orang alim ulama dan 5 orang ninik mamak
dengan teknik purposive sampling, dan data yang diambil adalah data primer
melalui wawancara dan data sekunder melalui studi kepustakaan. Hasil penelitian
ini dapat diketahui bahwa faktor penyebab timbulnya sengketa ada 2, yaitu
faktor Internal meliputi praktek administrasi pagang gadai ala adat Minangkabau
yang tidak sesuai dengan tuntutan adrninistrasi sekarang, pola hubungan sosial
mamak-kemenakan yang mulai menunjukkan kelonggaran, sedangkan factor Eksternal
meliputi peningkatan dan pengembangan pembangun fisik, pendidikan sosial,
ekonomi yang ada di Kanagarian Pauh V, khususnya sejak kota Padang memperluas
cakupan wilayahnya ke Kanagarian Pauh V, semakin bertambahnya jumlah penduduk
di Kanagarian Pauh V, sementara luas tanah yang ada tidak mengalami penambahan.
Penyelesaian sengketa harta pusaka tinggi di Minangkabau diselesaikan secara
berjenjang naik bertangga turun, mulai dari lingkungan kaum, lingkungan suku
dan nagari, bila pada tingkat suku tidak terdapat penyelesaian dapat
dilanjutkan ke tingkat kerapatan adapt nagari (KAN) kepada salah satu pihak
yang berperkara yang merasa dirugikan supaya dapat dilanjutkan ke tingkat yang
lebih tinggi/ke Pengadilan Negeri. Dalam menyelesaikan suatu sengketa. KAN
berbentuk perdamaian, musyawarah dan mufakat sepanjang adat yang berlaku dengan
mempedomani silsilah ranji/ranji suku dan kaum yang bersengketa, Dalam
menyelesaikan sengketa kerapatan adat nagari dilakukan dengan aturan atau cara
yaitu : musyawarah, mufakat, langsung pada pokok sengketa, lebih menerapkan
hukum adat. Dengan terciptanya perdamaian tersebut, maka jumlah perkara perdata
yang rnaju ke Pengadilan makin berkurang. Untuk meningkatkan kemampuan anggota
kerapatan adat nagari (KAN) dalam menyelesaikan sengketa maka diadakan
penataran, pelatihan-pelatihan dan fasilitasi secara umum. Disarankan dalam hal
menjual, menggadaikan dan mensertifikatkan tanah harta pusaka tinggi haruslah
dengan izin dan diketahui oleh seluruh anggota kaum agar jangan sampai terjadi
kesalahpahaman yang bisa menimbulkan persengketaan. Diharapkan pada pemerintah
agar menertibkan pedoman resmi tentang hukum acara perdata yang menjadi
pegangan oleh setiap anggota KAN dalam menyelesaikan perkara, kalau keputusan
KAN tidak diterima oleh salah satu pihak yang berperkara dan gugatannya
dilanjutkan ke Pengadilan Negeri, untuk meningkatkan pelaksanaan penyelesaian
perkara oleh kerapatan adat nagari (KAN) disarankan agar meningkatkan
pengetahuan dan penguasaan hukum adat oleh anggota KAN yang bersangkutan dan
yang lebih penting lagi adalah bagi pihak pemerintah hendaknya memberikan bantuan
pelatihan, penataran dan bantuan dana yang Iebih dari tahun-tahun sebelumnya,
perlunya suatu program yang terencana baik jangka pendek maupun jangka panjang
sehubungan untuk meningkatkan upaya dan kemampuan KAN dan bekerja sama dengan
pemerintah.
Penggunaan harta pusaka tinggi untuk
keadaan mendesak dinyatakan dalam pepatah adat sebagai berikut :
“Rumah gadang katirisan Gadih gadang
alun balaki Mayik tabujua ditangah rumah Mambangkik batang tarandam”. Pepatah
adat tersebut dapat dimaknai bahwa penggunaan harta pusaka tinggi hanya dapat
digunakan bila ada kondisi yaitu Rumah Gadang (Rumah Adat Minang) atapnya bocor
atau tidak layak lagi harus diperbaiki, jika ada perempuan minang yang telah
dewasa namun belum juga mempunyai suami, kondisi mayat terbujur ditengah rumah,
dan untuk kepentingan mambangkik batang tarandam yaitu upaya yang akan
dilakukan mengembalikan kejayaan masa lalu.
Pemerintahan Nagari tersebut membawa
konsekwensi dengan adanya Walinagari sebagai pemegang kekuasaan di Nagari
tersebut. disamping itu untuk persoalan sengketa yang menyangkut
dengan masalah adat maka Pemerintahan Nagari dilengkapi dengan keberadaan
Lembaga Kerapatan Adat Nagari atau KAN.
Kerapatan Adat nagari (KAN)
merupakan lembaga kerapatan ninik mamak tertinggi yang berada di nagari.
Sekarang ini ada pendapat atau keinginan untuk menjadikan KAN sebagai lembaga
peradilan di nagari. Hal ini bukanlah suatu persoalan baru, tetapi merupakan
salah satu tugas pokok dan fungsi dari KAN itu sendiri. Kalau KAN diaktifkan
funngsinya sebagai lembaga Peradilan di nagari peran dan fungsinya juga akan
lebih baik lagi ditengah masyarakat.
KAN terdiri dari beberapa unsur
dalam masyarakat adat Minangkabau yaitu:
1.Para penghulu atau datuk dari setiap suku;
2.Manti, berasal dari kalangan intelektual (cerdik pandai);
3.Malin, dari kalangan alim ulama;
4.Dubalang, yang bertugas menjaga keamanan dan keselamatan
warga.
Sedangkan dalam penjelasan Pasal 19
ayat (1) Perda No. 2 Tahun 2007 yang berbunyi adalah :
“Penyelesaian
sengketa menyangkut sako dan pusako diupayakan musyawarah dan mufakat menurut
ketentuan yang berlaku sepanjang adat. Upaya penyelesaian sengketa dilaksanakan
secara berjenjang baik bertangga turun yang dimulai dari tingkat kaum, suku dan
terakhir pada tingkat Lembaga Adat Nagari.”
Penyelesaian sengketa melalui
perdamaian berakar dalam budaya masyarakat. Dilingkungan masyarakat adat
(tradisional) dikenal runggun adat, kerapatan adat, peradilan adat atau
peradilan desa. Lembaga musyawarah, mufakat dan tenggang rasa merupakan falsafah
negara yang digali dari hukum adat, dipratekkan dalam kehidupan sehari-hari.
Hukum positif mengatur perdamaian ini didalam pasal 130 ayat (1) HIR.
Penyelesaian Sengketa gadai atas Tanah Harta Pusaka Tinggi
Minangkabau:
a. Pada dasarnya penyelesaian sengketa
gadai atas Tanah Harta Pusaka Tinggi Minangkabau adalah Bajanjang Naiak,
Batanggo Turun, yaitu:
1. Dimulai dari tingkat paruik. Pada
tingkat ini permasalahan dibicarakan secara damai dan kekeluargaan dnegan
dihadiri oleh masing-masing keluarga.
2. Jika tidak ada kesepakatan di
tingkat paruik maka naik ke tingkat Kaum yang dipimpin oleh Mamak Kepala Waris
masing-masing.
3. Jika tidak selesai juga di
tingkat kaum maka naik ke tingkat Suku yang di pimpin oleh Mamak Kepala Suku/
Penghulu Suku masingmasing.
4. Namun apabila salah satu pihak
yang bersengketa merasa kurang atau tidak puas dengan keputusan yang diterima
pada tingkat suku itu, barulah naik ketingkat yang lebih tinggi (tingkat
Nagari) yaitu KAN untuk membantu menyelesaikan sengketa tersebut.
5. Jika para pihak yang bersengketa
tidak puas juga baru diajukan ke Pengadilan Negeri dan selantunya sesuai dengan
ketentuan hukum nasional, yaitu jika tidak puas di tingkat Pengadilan Negeri,
maka diperbolehkan Banding ke Pengadilan Tinggi, dan jika masih belum puas juga
bisa mengajukan Kasasi ke Mahkamah Agung.
b. Dalam mekanisme penyelesaian
sengketa gadai atas Tanah Harta
Pusaka Tinggi Minangkabau berlaku
pula ketentuan adat disebut dengan ”Adat Salingka Nagari” yaitu
ketentuan-ketentuan adat di dalam suatu nagari hanya berlaku untuk nagari itu
saja. Oleh karena itu berlaku pula pepatah adat ”lain ladang lain balalang,
lain lubuak lain ikannyo” yang artinya adat disuatu nagari bisa saja berbeda
dengan nagari lainnya, namun tidak akan jauh berbeda dari prinsip dasar adat
Minangkabau.
Masyarakat adat yang akan melakukan
gadai atas tanah pusaka tinggi Minangkabau, memperhatikan nilai-nilai adat yang
berlaku dalam gadai tanah pusaka tinggi, dimana atas harta pusaka tinggi tidak
dapat digadaikan begitu saja, namun haruslah memenuhi syarat-syarat tertentu
yang telah dibenarkan secara adat. Dan juga harus memperhatikan prinsip gadai
dalam adat Minangkabau yaitu tolong-menolong. Sehingga dalam melakukan gadai
tidak terdapat unsur pemerasan atau menolong sambil memeras. Jangan sampai
memanfaatkan kesengsaraan oranglain untuk mencari keuntungan pribadi.
Mengingat proses yang harus dilalui
oleh pihak-pihak yang berperkara sangatlah panjang sehingga memakan waktu yang
lama, maka untuk mengantisipasinya pihak terkait terutama KAN harus
memaksimalkan perannya dalam menyelesaikan sengketa, tidak hanya mengambil
putusan berdasarkan putusan ditingkat sebelumnya saja, namun baiknya KAN
mengkaji kembali duduk perkara dari awal dikaitkan dengan hukum adat yang
berlaku.
2.
Penyelesaian sengketa menurut kearifan lokal
Masyarakat Adat Banjar.
Penyelesaian
Perkara Pidana Melalui Mediasi Pidana pada Masyarakat Adat Banjar. Adat badamai adalah
salah satu bentuk penyelesaian sengketa yang lazim dilakukan oleh masyarakat
Banjar. Adat badamai bermakna sebagai hasil proses perembukan atau musyawarah
dalam pembahasan bersama dengan maksud mencapai suatu keputusan sebagai
penyelesaian dari suatu masalah Putusan Badamai yang dihasilkan melalui
mekanisme musyawarah merupakan upaya alternatif dalam mencari jalan keluar guna
memecahkan persoalan yang terjadi dalammasyarakat.
Masyarakat
Banjar berkecenderungan menyelesaikan sengketa melalui adat badamai. Adat
badamai diakui efektif dalam penyelesaian pertikaian atau sengketa. Sekaligus
untuk menghilangkan perasaan dendam.
Adat
badamai merupakan istilah bagi penyelesaian sengketa baik yang bersifat
keperdataan maupun pidana. Adat badamai dalam penyelesaian sengketa pidana
disebut juga dengan istilah Baparbaik dan Bapatut[2].
Menurut hasil penelitian Ahmad Bahruni dari data
kecelakaan lalu lintas yang terjadi di Banjarmasin selama 1995-2000 terjadi
sebanyak 43 (empat puluh tiga) perkara kecelakaan lalu lintas. Sebanyak 25 (dua
puluh lima) perkara lalu lintas diselesaikan secara badamai. Inisiatif
penyelesaian diambil dari pihak pelaku atau keluarganya sebanyak 17 (tujuh
belas) kasus, inisiatif diambil oleh pihak korban atau keluarganya sebanyak 5
(lima) kasus, dan inisiatif dilakukan oleh pihak kepolisian bersama keluarga
korban sebanyak 3 (tiga) kasus[3].
Melalui perundingan badamai maka dicapai kesepakatan
secara umum dapat dibagi menjadi tiga yaitu[4]:
a. Korban mendapat bantuan biaya perawatan atau pengobatan, terdapat pada 15
(lima belas) kasus[5].
b. Korban meninggal dunia, mendapat santunan berupa uang duka dari pihak
penabrak, terdapat pada 6 (enam) kasus[6].
c. Korban mendapat bantuan biaya perbaikan kendaraan dan biaya perawatan,
terdapat pada 4 (empat) kasus.
3.
Mekanisme
penyelesaian sengketa menurut kearifan lokal Masyarakat Adat Aceh .
Penyelesaian
Perkara Pidana Melalui Mediasi Pidana Pada Masyarakat Adat Aceh. Di Aceh proses
penyelesaian adat dapat berbeda-beda di masing-masing kabupaten atau daerah
akan tetapi terdapat kesamaan cara atau metode dalam penyelesaian sengketa.
Secara umum setiap kasus akan diajukan kepada geuchik, yang terlebih dahulu
akan mendorong para pihak untuk membahas persoalan tersebut mencapai kompromi
melalui musyawarah. Apabila para pihak tidak mencapai kompromi barulah geuchik
dan para tetua gampong lainnya akan berusaha untuk menegosiasikan kesepakatan,
dan membantu para pihak untuk mencapai kesepakatan bersama. Keterangan saksi
diperlukan untuk membenarkan fakta, untuk itu kejujuran para pihak sangat
penting untuk mencapai hasil penyelesaian yang adil. Dalam bidang pidana
ketentuan tentang qisas dan diyat disesuaikan dengan adat aceh. Penyesuaian ini
misalnya sebagai berikut seratus onta dipahami sama dengan seratus ekor kerbau
atau lembu, dan di dalam kenyataan hukum qisas tidak pernah dijatuhkan karena
keluarga korban selalu memberikan pemaafan. Jumlah diyat walaupun pada dasarnya
diakui seratus ekor lembu untuk pembunuhan sengaja, di dalam kenyataan
sehari-hari pada umumnya dapat disetujui hanya dengan membayar beberapa ekor
kerbau. Mengenai ta’zir dijatuhkan melalui musyawarah pimpinan gampong, jarang
yang sampai pada mahkamah yang waktu itu hanya ada pada tingkat pemerintahan
uleebalang dan ibu kota kerajaan. Hukuman denda atau ganti rugi pengakuan
bersalah dan meminta maaf secara resmi di muka umum,dicambuk dan diusir dari
gampong merupakan bentuk-bentuk hukumannya[7].
Terdapat
empat pola penyelesaian konflik dalam tradisi masyarakat gampong di Aceh yaitu
di’iet, sayam, suloeh dan peumat jaroe. Pola ini merupakan pola penyelesaian
konflik yang menggunakan kerangka adat dan syari’at[8].
Penyelesaian konflik dengan pola di’iet ditujukan untuk menghilangkan dendam
dan rasa permusuhan berkepanjangan antara para pihak bertikai yang telah
mengakibatkan kekerasan dan bahkan pembunuhan. Penyelesaian konflik yang
terjadi dalam komunitas masyarakat gampong, baik yang bersifat individual atau
internal keluarga, antar individu maupun antar kelompok, melalui bingkai adat
dan agama, ternyata dapat membawa kepada kedamaian yang abadi dan permanen[9].
Penyelesaian konflik melalui mekanisme di’iet, dilakukan pada penyelesaian
kasus pembunuhan. Di’iet diwujudkan melalui kompensasi yang dibayarkan oleh
pelaku pidana kepada korban atau ahli waris korban dalam kasus pembunuhan.
Keuchik, teungku meunasah dan tetua gampong termasuk pemangku adat biasanya
bertindak sebagai fasilitator , negosiator dan mediator dalam penyelesaian
konflik melalui mekanisme di’iet. Mereka inilah yang melakukan
pembicaraan-pembicaraan awal dengan ahli waris korban dan pelaku pidana atau
ahli warisnya. Pelibatan keluarga besar dari para pihak menjadi sangat penting
dalam pembicaraan tersebut, karena untuk menghindari dendam di kemudian hari.[10]
Keuchik,
teungku meunasah dan tetua gampong memulai proses pemeriksaan kepada pelaku
tindak pidana untuk dapat mengukur tingkat maaf yang diberikan oleh korban atau
ahli waris korban. Jika pemaafan telah diberikan, maka para pemangku adat atau
tetua gampong mengkompromikan atau bermusyawarah dengan pelaku atau ahli
warisnya tentang jumlah di’iet yang harus dibayarkan oleh pelaku pidana[11].
Selanjutnya, pelaku pidana atau
keluarganya memberikan sesuatu, biasanya emas, kepada keluarga korban dan
menyembelih hewan berupa sapi atau kerbau yang diprakarsai oleh imuem mukim,
geuchik, dan teungku meunasah. Biasanya pembayaran di’iet dilakukan dengan
suatu upacara adat yang didalamnya terdiri atas kegiatan peusijuek[12],
dan peumat jaroe[13].
Keterlibatan institusi adat dan budaya dalam penyelesaian kasus pidana,
bertujuan untuk menghilangkan dendam antara para pihak yang bertikai[14].
Tempat upacara pembayaran di’iet biasanya digelar di meunasah, atau di rumah
korban atau dapat pula diselenggarakan di tempat lain tergantung kesepakatan
para pihak yang terlibat. Penyelesaian konflik melalui mekanisme sayam
dilakukan pada penyelesaian kasus di luar pembunuhan seperti penganiayaan, atau
pertengkaran yang menyebabkan luka, sehingga mengalirnya darah. Sama dengan
di’iet, sayam juga menggunakan mekanisme kompensasi namun kompensasi yang
diberikan berupa kambing atau yang setara dengan itu[15].
Filosofi sayam bagi masyarakat Aceh bersumber dari adagium yang sudah dikenal
lama yaitu “luka disipat, darah disukat”. Makna adagium ini adalah luka akibat
penganiayaan atau kekerasan harus diperhitungkan, demikian pula dengan
tumpahnya darah juga harus diperhitungkan. Pandangan ini mengindikasikan bahwa
masyarakat Aceh betul-betul memberikan penghargaan dan perlindungan yang tinggi
terhadap tubuh manusia, sebagai ciptaan Allah. Sayam merupakan bentuk
kompensasi yang bertujuan untuk melindungi dan memberikan penghormatan terhadap
ciptaan Allah berupa tubuh manusia. Sama halnya dengan di’iet, prosesi sayam
dilaksanakan setelah para pihak yang bersengketa atau bertikai dihubungi oleh
keuchik dan teungku meunasah. Apabila kedua pihak telah bersepakat baru prosesi
sayam dilaksanakan di rumah korban atau di meunasah. Mengingat sayam hanya
ditujukan kepada tindak pidana yang bersifat ringan, namun menimbulkan luka
atau keluar darah, maka peralatan dan bahan prosesi yang harus disiapkan oleh
pelaku atau ahli warisnya sama dengan di’iet, namun jumlahnya yang berbeda[16].
Penyelesaian konflik melalui
mekanisme Suloh, merupakan pola penyelesaian konflik bukan hanya untuk kasus
pidana, tetapi juga untuk kasus perdata atau sengketa dalam rumah tangga.
Bahkan suloh merupakan dasar dari mekanisme penyelesaian konflik melalui di’iet
dan sayam jika pengakhiran konflik diwujudkan dalam islah.
Peumat jaroe, berjabat tangan. Dalam
proses peumat jaroe, pihak yang menfasilitasi mengucapkan kata-kata khusus
seperti: “Nyoe kaseb oh no dan bek na deundam le. Nyoe beujeut keujalinan
silaturrahmi, karena nyan ajaran agama geutanyoe” yang artinya: Masalah ini
cukup di sini dan jangan diperpanjang lagi. Bersalaman ini diharapkan menjadi
awal dari jalinan silaturrahmi antara anda berdua, sebab ini ajaran agama kita.
Penyelesaian kasus melalui peumat
jaroe, merupakan bagian dari penyelesaian konflik dalam bentuk di’iet, sayam,
suloeh. Pada mekanisme peumat jaroe umumnya digunakan untuk menyelesaikan
kasus-kasus sangat ringan. Biasanya langsung dilakukan setelah terjadi konflik
oleh para tetua adat yang menguasai daerah tertentu, tanpa sampai kepada
keuchik atau teungku meunasah. Penyelesaian seperti ini biasanya untuk dan
cukup dengan bersalam-salaman (peumat jaroe)[17].
Bentuk aktivitas adat dan budaya yang melekat pada di’iet, sayam dan suloeh
adalah peusijuek dan peumat jaroe (saling berjabat tangan). Kedua institusi ini
memegang peranan penting dalam menjalin rasa persaudaraan (ukhuwah) antara para
pihak yang bersengketa[18].
4.
Penyelesaian sengketa menurut kearifan lokal
Masyarakat Adat Dayak di Kalimantan Tengah.
Penyelesaian
Perkara Pidana Melalui Mediasi Pidana pada Masyarakat Adat Dayak, Kalimantan
Tengah. Peraturan Daerah Kotawaringin Timur Nomor 15/2001 tentang Kedamangan
dan Peraturan Daerah Pulang Pisau Nomor 11/2003 tentang Pembentukan Kelembagaan
dan Pemberdayaan Adat Dayak, mengharuskan setiap kedamangan harus mempunyai
seorang damang sebagai pemimpin[19].
Damang dan let adat-nya membentuk sebuah Dewan Adat[20].
Berdasarkan
tugas tersebut maka Adat harus menjadi tempat pertama bagi resolusi damai.
Damang mempunyai otoritas untuk menyelesaikan baik kasus perdata maupun pidana.
Keputusan adat dianggap “mengikat” pada pihak-pihak yang terlibat, namun
putusan tersebut hanya menjadi “pertimbangan” bagi aparat hukum jika suatu
sengketa diproses di sistem formal. Artinya keputusan secara adat tidak
mencegah tindakan hukum formal. Pengadilan bebas mengabaikan hasil resolusi
secara adat.
Perkara
pembunuhan di Palangkaraya, diselesaikan melalui mediasi, salah satu motivasi
pelaku tindak pidana menggunakan hukum adat adalah mengurangi hukuman penjara
yang dijatuhkan oleh pengadilan[21].
Selain itu dimaksudkan pula untuk memelihara kerukunan sosial, dan mediasi juga
dianggap lebih murah dan lebih pasti dalam menyelesaikan konflik antara pelaku
dan korban tindak pidana[22].
Ketentuan
hukum adat mencakup baik kasus perdata remeh maupun tindak pidana berat seperti
pembunuhan dan perkosaan. Di bawah hukum adat, jika kedua belah pihak rela,
semua masalah dapat diselesaikan dengan damai melalui konsiliasi.
Ketua
Dewan Adat Kabupaten Kotawaringin Timur menjelaskan proses yang ia terapkan,
yang secara umum menggambarkan proses resolusi sengketa, baik secara adat
maupun non-adat di Kalimantan Tengah[23]: a. Keluhan/keberatan
diterima dalam bentuk tertulis atau lisan; b. Biaya perkara sekitar Rp100,000
dibayarkan kepadanya oleh pelapor. Ini mencakup makanan ringan untuk acara
“persidangan” dan biaya operasional; c. Kemudian damang akan menelaah kasus,
memeriksanya dahulu dengan kepala desa/let adat (jika ada) untuk melihat apakah
upaya-upaya resolusi telah dilakukan di tingkat desa; d. Maka damang memanggil
pihak-pihak yang terlibat dan saksi-saksi ke rumahnya untuk “persidangan”; e.
Damang akan mengajukan sebuah resolusi atau membantu memediasi untuk mencapai
kompromi. Jika pihak-pihak sepakat, hasil kesepakatan akan dicatat dan
ditandatangani. Jika tidak, maka mereka biasanya akan merujuk masalah itu ke
sistem peradilan; f. Jika ditetapkan denda berupa uang atau kompensasi, 10%
dari jumlah denda dibayarkan kepada damang sebagai biaya perkara; dan g.
Kesepakatan tertulis diberikan juga kepada let adat atau kepala desa sebagai
alat untuk memastikan ditaatinya kesepakatan tersebut.
Selain
damang, di tingkat desa, berdasarkan rasa hormat serta popularitas pribadinya,
kepala desa acap dilibatkan untuk menyelesaikan perselisihan. Sebagaimana
diamati seorang penghulu. Masalah pidana ringan yang dapat diselesaikan dengan
perdamaian biasanya dirujuk kepada ketua RT/RW, kepala adat atau kepala desa[24].
5. Penyelesaian sengketa
menurut kearifan lokal Masyarakat Adat Ambon.
Suatu perkara pidana ringan seperti
perkelahian antar pemuda di lingkungan komunitas atau penganiayaan ringan dapat
diselesaikan secara informal oleh komunitas setempat, Raja atau kepala desa
mempunyai posisi sentral serta memiliki peranan dan pengaruh yang besar dalam
penyelesaian sengketa informal. Raja menengahi dan membantu menyelesaikan
berbagai persoalan dan kasus yang ada di masyarakat. Raja pula yang berhubungan
dan berkoordinasi dengan pihak kepolisian dalam kasus-kasus pidana ringan atau
sengketa tanah[25].
Di komunitas Maluku, Raja dikenal
sebagai pihak pemutus akhir dalam kasus atau sengketa yang sulit ditangani[26].Kepala
Dusun juga bertindak sebagai mediator dalam sengketa perdata dan pidana ringan.
Namun pada umumnya, penyelesaian sengketa mulai di tingkat yang terendah yakni
melalui kepala soa dan ketua RT/ RW pada wilayah yang lebih urban seperti kota
Ambon, kepala dusun kemudian Raja. Tujuan utama penyelesaian sengketa secara informal
adalah untuk menjaga keharmonisan dan pemulihan relasi antara masyarakat dan
agar penyelesaian kasus yang ada dapat menghemat biaya dan waktu para pihak
yang bersengketa.
Sayangnya,
walaupun menjadi pilihan utama, mekanisme informal ini belum menjadi bagian
yang terintegrasi dari mekanisme atau sistem hukum yang didukung oleh
pemerintah secara sungguh-sungguh.
Dalam keseharian dan dalam penyelesaian sengketa,
seorang Raja dibantu oleh semacam dewan yang disebut sebagai “Saniri” di mana
Raja sekaligus menjadi anggotanya. Apabila ada kasus yang diajukan kepada pihak
Raja, maka Saniri akan memberikan dukungan baik dalam melakukan investigasi
maupun dalam musyawarah yang dilakukan. Namun sebagian besar keputusan dan kata
akhir tetap berada di tangan Raja.
Adapun urutan proses penyelesaian sengketa di tingkat
komunitas sebagian besar mengikuti alur berikut:[27]
a. Pengaduan masuk ke pihak aktor penyelesai sengketa (misalnya Raja, tokoh
agama atau tokoh masyarakat). Di tingkat desa atau Negeri, ada juga kasus yang
diajukan ke Saniri Negeri terlebih dahulu sebelum diajukan ke pihak Raja; b.
Apabila kasus adalah pidana berat, maka diajukan ke pihak Kepolisian; c. Para
pihak dipanggil dan diwawancara dalam suatu pertemuan terbuka. Untuk tingkat
desa/negeri, biasanya juga dihadiri oleh Saniri Negeri; d.Raja/tokoh
agama/tokoh masyarakat kemudian menganalisa kasus dan hasil wawancara; e. Untuk
kasus tanah, Raja akan meminta bantuan pihak Saniri terutama dalam melakukan
investigasi; f. Raja memanggil para pihak untuk mengambil putusan sekaligus
bernegosiasi mengenai sanksi nya. Apabila para pihak sepakat dengan hasil nya,
maka biasanya ditulis suatu Berita Acara sederhana yang ditandatangani oleh
para pihak; g. Apabila para pihak tidak puas terhadap proses penyelesaian yang
ada, maka mereka dapat menempuh jalur pengadilan.
Proses penyelesaian dilakukan berdasarkan kesepakatan
para pihak korban dan pelaku, hal ini ditegaskan oleh Raja Hative Kecil : “Kita
harus minta persetujuan dari pihak korban”. Hal yang sama juga disampaikan oleh
Raja Asilulu, “Raja tidak bertindak seperti pengadilan, kita menggunakan
pendekatan kekeluargaan. Namun himbauan saya jarang yang tidak dipatuhi oleh
para pihak yang bersengketa”[28].
Raja berperan menjadi pendamai pihak yang bersengketa.
Dengan demikian, harapannya setelah para pihak pergi dari rumah negeri atau
rumah Raja, tempat di mana musyawarah dilakukan, maka komunitas setempat
menjadi damai kembali. Dengan perkataan lain, kondisi komunitas yang terganggu
akibat sengketa yang terjadi, kini telah dipulihkan.
Contoh
kasus Perkelahian akibat pelemparan mobil angkot di Dusun Ruhua – Desa Sepa,
Pulau Seram – Kabupaten Maluku Tengah, kasus terjadi pada bulan Desember 2003,
bermula dari pemuda Ruhua yang pergi memetik cengkeh tapi oleh masyarakat Desa
Haya para pemuda tersebut disangka sebagai anggota masyarakat Tehoru. Sejak
dulu masyarakat Haya punya masalah dengan masyarakat Tehoru. Orang Haya juga
menduga bahwa Halue adalah orang Tehoru. Orang Haya sempat memukuli dan
melempari orang-orang Ruhua yang memetik cengkeh ini. Untuk itu, Halue dan
kawan-kawan membalas dengan menghentikan mobil angkutan kota yang dimiliki oleh
orang Haya dan melempari kacanya dengan batu sampai pecah berantakan. Akibatnya
orang Haya melaporkan persoalan ini ke pihak kepolisian[29].
Selanjutnya pihak polisi
memfasilitasi musyawarah untuk menyelesaikan persoalan ini. Di kantor polisi
juga hadir Bapak Raja Sepa dan Sekretaris Desa. Bapak Raja memberikan nasihat
untuk menyelesaikan kasus ini. di ujung musyawarah, para pihak diminta untuk
membayar denda dan membuat surat pernyataan damai. Halue diminta membayar Rp. 500.000,00 (lima ratus
ribu rupiah) sebagai bentuk ganti rugi kaca mobil yang telah dipecahkan[30].
Kasus perkelahian antara tetangga di Desa Tamilou, P. Seram – Kabupaten Maluku
Tengah, kasus bermula ketika seorang ayah yang kedua anaknya meninggal secara
berturut-turut. Ayah menduga bahwa tetangga sebelahnya mempunyai andil atas
kematian anaknya. Ia menganggap tetangga memiliki ilmu hitam sehingga
menyebabkan kematian atas anaknya[31].
Kasus sempat dibawa ke pihak polisi,
namun ditarik kembali oleh aparat desa karena dianggap masih bisa diselesaikan
sendiri. Musyawarah diadakan oleh pihak desa dan para pihak diminta membuat
pernyataan damai. Pihak yang menuduh diminta untuk memberikan 1 bal kain putih
ke pihak masjid[32].
6.
Mekanisme
penyelesaian sengketa menurut kearifan lokal Masyarakat Adat Lombok Utara .
Masyarakat
Lombok Utara memiliki kepemimpinan adat yang dikenal sebagai adat Wet Tu Telu.
Namun semenjak dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang
Pemerintahan Daerah serta Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan
Desa kepemimpinan adat Wet Tu Telu kehilangan eksistensinya[33].
Inisiatif untuk mengembalikan eksistensi Wet Tu Telu, muncul seiring dengan
diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Desa,
yakni dengan terbentuknya Persekutuan Masyarakat Adat Lombok Utara atau Perekat
Ombara. Mereka mendeklarasikan keberadaannya di pertemuan besar (gundem) ke-5
tokoh-tokoh kepala desa dari 25 (dua puluh lima) desa di Lombok, 9 Desember
1999 di Desa Becingah, Kacamatan Bayan, Kabupaten Utara Lombok Barat[34].
Awalnya gerakan Perekat Ombara ini merupakan wadah keprihatinan beberapa tokoh
kepala desa yang memiliki kasus sama berkenaan dengan degradasi ekosistem
hutan, yang diakibatkan eksploitasi perusahaan pemegang Hak Pengusahaan Hutan
(HPH). Pertemuan-pertemuan selanjutnya, tidak saja hanya membicarakan masalah
degradasi lingkungan, melainkan berkembang ke wacana revitalisasi adat budaya.
Termasuk di dalamnya memunculkan upaya pembentukan model penyelesaian sengketa
di luar institusi formal hukum yang dihadapi masyarakat[35].
Berkenaan
dengan prosesnya, penyelesaian sengketa di tingkat masyarakat belum ada aturan
ketat tertentu. Meski diupayakan relevan dengan hierarki pemerintahan di desa
yang diurutkan mulai yang terbawah dari RT/RW kemudian Dusun lalu Desa, namun
pendekatan langsung ke tingkat yang lebih tinggi sangat terbuka, akan tetapi
selalu ada himbauan terlebih dahulu untuk menyelesaikannya di tingkat yang
lebih rendah, RT/RW atau Dusun[36].
Kasus-kasus
yang ditangani antara lain perkelahian atau pengeroyokan, hamil luar nikah,
pemidangan (apel) kepada istri orang dan perzinahan. Umumnya perkara dilaporkan
oleh pelaku pada kasus perkelahian atau pengeroyokan agar tidak terjadi balas
dendam. Dalam kasus yang berhubungan dengan pergaulan laki-laki perempuan,
inisiatif berasal dari Ketua RT/RW, pemuka masyarakat seperti penghulu, kiyai,
atau mangku adat, atau tokoh pemuda. Pengaduan/laporan bisa diberikan secara
tertulis maupun lisan[37].
Penggalian
informasi dari pihak pertama Pada kesempatan yang pertama informasi digali dari
pengadu/pelapor atau orang yang diketahui mempunyai kasus. Di kesempatan ini,
pihak yang diakses seperti RT/RW, Kadus, Kades, mempunyai hak diskresi untuk
melibatkan orang lain atau tidak, terutama anggota Krama-nya (penghulu dan
mangku adat) untuk mendengarkan
keterangan pendahuluan. Pada kasus-kasus tertentu ada yang coba diselesaikan
sendiri oleh RT/RW, Kadus, Kades tanpa melibatkan majelis yang lebih besar.
Penggalian informasi dari pihak
lainnya atau pihak lawan dilakukan, kesempatan berikutnya, selang satu sampai
tiga hari, mediator penyelesai sengketa mengundang pihak lain dalam kasus yang
ditangani untuk didengar keterangan serta informasinya. Di kesempatan ini pihak
yang diundang ditanyakan balik tentang versi dan konfirmasi sebagaimana
pengaduan/laporan orang pertama.
Penggalian informasi dari saksi
bilamana terdapat saksi atau pihak-pihak lain yang bisa menguatkan posisi kasus
yang sedang ditangani, maka para saksi ini pun diundang untuk didengar
keterangannya. Proses berkenaan dengan saksi sendiri bisa juga terjadi pada
saat menggali keterangan dari pengadu/pelapor, saat mana para pengadu/pelapor
membawa serta mereka dalam rangka menguatkan keterangannya[38].
Mempertemukan para pihak di
kesempatan ini masing-masing pihak menggemukkan secara terbuka persoalannya dan
didengar langsung pihak lawannya. Di sessi ini juga bisa terjadi tanya jawab,
saling mengkonfirmasi, bahkan saling silang pendapat. Di sessi ini juga semua
kalangan yang berkaitan langsung dengan kejadian, seperti saksi, dihadirkan dan
mengemukakan apa yang disaksikannya. Pertemuan para pihak ini lebih terfokus
pada tuntutan yang dikehendaki satu pihak kepada pihak lainnya. Mediator akan
memperhatikan layak tidaknya sebuah tuntutan satu pihak dipenuhi pihak lainnya.
Pendekatan pertama para aktor
biasanya memposisikan diri terlebih dahulu sebagai orang yang meminta
kesepakatan pihak satu dari tuntutan pihak lainnya. Di sini ia bertindak
laksana negosiator atau konsiliator. Ia mengkomunikasikan atau menawarkan
kehendak pihak yang menuntut untuk dipenuhi oleh pihak lainnya.
Perkara-perkara kriminal ringan,
dapat diselesaikan cepat, seperti perkelahian, pencurian. Dalam perkara-perkara
tersebut polisi menyerahkan terlebih dulu penyelesaian kepada kepala tokoh adat
lingkungan[39].
7.
Mekanisme
penyelesaian sengketa menurut kearifan lokal Masyarakat Adat Lamaholot di
Flores Nusa Tenggara Timur .
Masyarakat
lamaholot berpandangan untuk bisa menyelesaikan dengan baik kasus-kasus
sengketa kriminal, institusi adat mela sareka difungsikan untuk memperbaiki
relasi sosial yang rusak antara pihak[40].
Proses ritual adat perdamaian mela sareka yaitu para pihak melakukan getun liko
petin pepa atau pemisahan para pihak, karena ada konflik maka harus dipisahkan
sehingga mereka yang berkonflik tidak boleh bertemu dan makan bersama jika
dilanggar maka akan terkena risiko adat yaitu sakit, celaka atau meninggal[41].
Ritual herun haban, acara untuk mempertemukan para pihak dan diakhiri dalam Bua
Behin atau deklarasi hidup dalam damai, melalui makan minum bersama menandakan
konflik telah hilang antara pelaku dan korban[42].
Soba Sewalet ajakan damai, mediator
adat dipilih dari orang-orang yang mempunyai pengaruh besar dalam suku atau
kampung Pada pertikaian antar kampung maka tokoh adat yang akan menjadi
mediator adalah tokoh adat netral yang tidak terlibat dalam perkelahian.
Mediator akan mengupayakan gencatan senjata (leba rekat leu) menghasilkan
perjanjian adat (nayu baya) agar dinamika masyarakat tidak terganggu[43].
Uku loyak gatu gatan atau rekonstruksi kebenaran, pelaku tindak pidana
berbicara dari hati ke hati untuk merekonstruksi kebenaran, pihak yang merasa
paling bersalah wajib memohon kepada korban untuk melakukan perdamaian[44].
Selanjutnya baik pelaku dan korban
untuk menghapus segala kesalahan yang dilakukan oleh para pihak maka baik
pelaku dan korban melakukan ritual adat haput ele kirin. Selanjutnya dilakukan
ritual haput nuhuka bohok weweka untuk menghapus segala kesalahan yang
dilakukan melalui kata-kata. Puncaknya dilakukan melalui mela sareka yaitu
menuju dunia baru penuh damai sebagai puncak ritual[45].
8. Penyelesaian sengketa
menurut kearifan lokal Masyarakat Adat Sasak.
Dalam
masyarakat adat Sasak jika terjadinya benturan kepentingan berkaitan dengan
pelaksanaan hak dan kewajiban antar sesama ahli waris, maka yang terjadi adalah
sengketa pewarisan.
Menerima pemberian yang
berupa benda yang bernilai ekonomis ataupun pemberian yang sifatnya non
ekonomis (bernilai magis / supra natural), di kalangan masyarakat suku bangsa
sasak tetap disebut sebagai warisan. Pemberian dari orang tua, atau kakek –
nenek atau siapapun leluhur dari garis bapak atau ibu semasa hidupnya tetap
dipandang sebagai penerimaan warisan yang dikenal dengan istilah “tetemuan”,
sedangkan cara perolehannya itu disebut “n e m u”. Tetemuan tersebut dapat
diperoleh secara langsung semasa si pemberi masih hidup dan atau setelah
meninggal dunia, yang selanjutnya dipertahankan oleh si penerima bukan hanya
sebagai pemberian biasa, tetapi sebagai amanah yang harus dipelihara yang
selanjutnya akan diwariskan turun temurun. Sebagai contoh, jika seseorang
mewarisi (nemu) sesuatu ilmu kebatinan (mantera untuk pengobatan) berikut jenis
benda-benda tertentu yang dapat diracik menjadi bahan obat-obatan, biasanya
disertai dengan pesan amanah tertentu misalnya harus sanggup menolong orang
lain tanpa pamrih, maka akan dijalankannya dengan istiqomah (konsisten) sebab
jika pesan itu dilanggar diyakini akan menerima ganjaran /balaq yang disebut
“penulah”. Memperoleh melalui pewarisan (nemu), atas benda – benda tersebut,
terutama benda tidak bergerak (sawah, kebon, rumah dll) atau benda-benda
bergerak yang diyakini bernilai magis (keris, tombak dll) dipandang sebagai
tali pengikat abadi yang diungkapkan dengan simbul “tolang daeng papuq baloq”
yang artinya ibarat “tulang rusuk nenek moyang” dan berfungsi sebagai media
pemersatu keluarga yang oleh karena itu tidak pantas untuk dialihkan.
Prinsip-prinsip yang terkandung dalam pewarisan (adat sasak : n e m u) tersebut
berlaku sebagai nilai-nilai kearifan yang harus dijunjung tinggi oleh setiap
ahli waris.
Didalam pembagian warisan ataupun upaya
penyelesaian jika terjadi sengketa antara ahli waris, lima prinsip hukum adat
sebagaimana pendapat Hadikusuma berlaku bagi setiap masyarakat hukum adat
termasuk suku bangsa sasak. Asas –asas tersebut dikemukakan dibawah ini dan
dibandingkan (padanannya) dengan prinsip-prinsip menurut Hukum Adat Sasak
adalah sebagai berikut :
a. Asas
Ketuhanan dan pengendalian diri (adat sasak : “betegel leq reden Neneq”).
b. Asas
Kesamaan Hak dan kebersamaan hak (adat sasak: “doe sopoq, bareng ngepe”).
c. Asas
Kerukunan dan kekeluargaan (adat sasak : “awak sopoq ,saling peririq, saling
angkat,saling ajinin, saling sedok”).
d. Asas
Musyawarah dan mufakat (adat sasak: “S o l o h” ).
e. Asas
Keadilan dan Parimirma (adat sasak : “endeq naraq bine kire, tarik nyacap”).
Dalam penyelesaian sengketa (termasuk pewarisan),
pada masyarakat suku bangsa sasak dikenal keberadaan dan peran institusi lokal
yang disebut “pekraman”. Menurut Arzaki, lembaga Krama ini bertugas menjaga
kelestarian adat budaya dan menegakkan berlakunya tatanan norma, yang berlaku
dilingkungan masyarakat suku bangsa sasak. Pekraman bertugas (berwenang)
mengadili sengketa berdasarkan hukum adat yang berlaku secara bertingkat dan
menerapkan sanksi-sanksi adat. Krama adat di Lombok terdiri dari : krama waris,
krama banjar, krama gubuk dan krama desa.
Krama waris adalah satuan komunitas yg
anggotanya didasarkan pertalian darah. fungsinya sering kali sebagai penengah
dalam penyelesaian sengketa dikalangan internal keluarga yg dipimpin oleh orang
tertua atau orang yang dituakan dari kalangan keluarga. Krama banjar ;
berkedudukan ditingkat dusun dan merupakan perkumpulan (paguyuban) yang
didasarkan kepentingan tertentu atau direkat oleh kesamaan keturunan atau
profesi tertentu. misalnya : banjar kematian, kerajinan, perkawinan, lingkungan
dll. dipimpin oleh penoaq gubuk yg ditetapkan sec. musyawarah. Krama gubuk;
sebuah krama yg beranggotakan seluruh warga masyarakat gubuk dgn tdk membedakan
ras, agama, profesi , yg dipimpin oleh penoaq-penoaq gubuk(dusun) : keliang,
juru arah, kiyai-penghulu, mangku gubuk, lang-lang gubuk dan merbot. tugasnya
adalah menjaga kehidupan harmonis bagi segenap warga komunitas. Krama desa ;
dipimpin oleh tokoh-tokoh terkemuka selingkungan desa yg ditetapkan dalam
musyawarah mufakat yang disebut sangkep/gemben desa yang terdiri dari para
tokoh formal dan informal desa (para pengelingsir) yg sec. berurutan sbb:
pemusungan (kepala desa), juru tulis desa, penghulu-penghulu desa, juru arah,
lang-lang desa, pekemit sebagai pelayan
desa.
Para fungsionaris
pekraman tersebut, dalam melaksanakan kewajibannya menyelesaikan sengketa –
sengketa adat, tidak menjatuhkan putusan kalah dan menang, tetapi berupaya
nyata untuk meningkatkan kwalitas pemahaman dan ketaatan terhadap berlakunya
hukum dan tata nilai kearifan lokal untuk tercapainya kehidupan bersama yang
harmonis yang berlandaskan rukun, patut dan laras”.
9.
Penyelesaian sengketa menurut kearifan lokal pada
Masyarakat Adat Takalar, Sulawesi
Selatan .
Salah satu peran tetua adat dalam penyelesaian
masalah hukum di Takalar, Sulawesi Selatan digambarkan Jawahir Thontowi[46]
dalam disertasinya Hukum, Kekerasan dan Kearifan Lokal: Penyelesaian Sengketa
di Sulawesi Selatan (2007). Dalam peristiwa kawin lari --lari antama--yang
menimbulkan sengketa keluarga di Takalar Sulawesi Selatan, peran 'imam' sangat
besar. Imam memberikan perlindungan kepada pasangan yang melarikan diri,
sekaligus menjadi penghubung kepada keluarga yang malu akibat pelarian itu.
Imam pelindung tidak hanya mempunyai
kewajiban adat untuk memberi perlindungan kepada pria dan wanita pelarian,
tetapi juga menjalankan tugas-tugas resmi, misalnya melakukan investigasi
verbal atau mengorek keterangan, mengirim surat kawin lari, dan mengatur
penyelesaian lebih lanjut dengan imam pengengah.
II.
b.Eksistensi
dan Efektivitas
Kearifan Lokal Dalam Menyelesaikan Sengketa “Out Of Court Settlement“ Untuk
Melahirkan Keadilan Dalam Hukum Nasional Indonesia.
Pengertian
sengketa dalam kamus Bahasa Indonesia, berarti pertentangan atau konflik,
Konflik berarti adanya oposisi atau pertentangan antara orang-orang,
kelompok-kelompok, atau organisasi-organisasi terhadap satu objek permasalahan.
Senada dengan itu, Pertentangan atau konflik yang terjadi antara
individu-individu atau kelompok-kelompok yang mempunyai hubungan atau
kepentingan yang sama atas suatu objek kepemilikan, yang menimbulkan akibat
hukum antara satu dengan yang lain (Nike
K. Rumokoy, 2012:3).
Undang-Undang
No. 30 Tahun 1999 mengatur dua hal utama, yaitu arbitrase dan alternatif
penyelesaian sengketa. Ketentuan dalam Pasal 1 menegaskan bahwa sengketa yang
dapat diselesaikan melalui jalur arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa
adalah sengketa perdata dan bukan sengketa yang termasuk dalam kategori hukum
publik. Dalam Pasal 2 UU No. 30 Tahun 1999 disebutkan mengenai objek sengketa
yang dapat diselesaikan melalui jalur arbitrase atau alternatif penyelesaian
sengketa yaitu sengketa perdata. Penyelesaian sengketa melalui perdamaian
berakar dalam budaya masyarakat. Dilingkungan masyarakat adat (tradisional)
dikenal runggun adat, kerapatan adat, peradilan adat atau peradilan desa.
Lembaga musyawarah, mufakat dan tenggang rasa merupakan falsafah negara yang
digali dari hukum adat, dipratekkan dalam kehidupan sehari-hari. Hukum positif
mengatur perdamaian ini didalam pasal 130 ayat (1) HIR.
Diketahui bahwa perdamaian boleh dilakukan antara para
pihak yang bersengketa dan perdamaian itu dituangkan dalam akte perdamaian,
yang mempunyai kekuatan hukum tetap seperti putusan hakim dan bersifat final,
artinya tidak boleh dilakukan banding atau kasasi. Didalam perjalanan waktu,
ikatan kekeluargaan yang berdasarkan paguyuban (gemeenschappelijke
verhoudingen) memudar dan berkembang kearah masyarakat yang peternbayan
(zakelijke gemeenschap) dimana perhitungan untung rugi lebih menonjol, maka
lembaga peradilan dijadikan wadah untuk menyelesaikan sengketa, karena
perangkat hukum yang tersedia telah memperoleh bentuk yang lengkap dan sempurna
(Mariam Darus, 2003:1).
Cara penyelesaian sengketa dibagi kepada
dua bentuk yaitu Litigasi dan non litigasi. Berikut penjelasan masing-masing
cara penyelesaian sengketa tersebut:
1.
Litigasi,
Litigasi adalah model peyelesaian sengketa
dengan membawa sengketa tersebut ke Pengadilan. Kadang dalam sengketa
keperdataan hal ini adalah hal terakhir yang ditempuh apabila model
penyelesaian sengketa secara non-litigasi tidak menemui kesepakatan diantara
kedua belah pihak. Tapi tidak jarang juga kita menemui sebuah kontrak yang
langsung menggunakan litigasi sebagai satu-satunya model penyelesaian sengketa
yang diatur dalam perjanjian tersebut.
2.
Non-litigasi
(Alternative Dispute Resolution)
Mekanisme
penyelesaian sengketa ini disebut sebagai non-litigasi karena merupakan metode
penyelesaian sengketa yang dilakukan di luar lembaga peradilan. Ada 4 (macam)
metode penyelesaian sengekta non-litigasi yaitu : Arbitrase, Negosiasi, Mediasi
dan Konsiliasi. Penyelesaian sengketa tanah harta pusaka tinggi juga bisa
ditinjau dalam kerangka hukum acara perdata. Mengenai pengertian Hukum Acara
Perdata sendiri, menurut Wirjono Prodjodikoro adalah rangkaian
peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap
dan di muka pengadilan dan cara bagaimana pengadilan itu harus bertindak, satu
sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata
(M.Taufik Makarao, 2009:12).
Berikut apabila dibandingkan dengan Asas-Asas
Hukum Perdata (Anggreany Arief, 313)
: Peradilan Bebas Campur Tangan Pihak-pihak di Luar Kekuasaan Kehakiman; Asas
Objektivitas; Asas Sederhana, Cepat, dan Biaya Ringan; Keaktifan Hakim dalam
Pemeriksaan; Persidangan yang Terbuka untuk Umum; Mendengarkan Kedua Belah
Pihak; Berperkara Dikenakan Biaya; Para Pihak dapat Meminta Bantuan atau
Mewakilkan Kepada Seorang Kuasa; Inisiatif Berperkara Diambil oleh Pihak yang
Berperkara.
Kearifan lokal
dalam hal ini Lembaga Adat merupakan satu dari sekian banyak lembaga lokal yang
terdapat dalam suatu masyarakat. Lembaga Adat ini terbentuk atas keinginan
masyarakat berdasarkan atas nilai-nilai budaya / adat. Pada masa sebelum
lahirnya Negara Republik Indonesia, hukum yang berlaku ditengah-tengah
masyarakat pada umumnya adalah hukum adat yang tunduk kepada norma-norma dan
peraturan-peraturan yang tidak tertulis, tetapi sangat ketat penerapannya di dalam
kehidupan masyarakat tradisional pada waktu itu. Sehubungan dengan keberlakuan
hukum adat tersebut, Keebed Von Benda-Beckmann mengatakan sebagai berikut :
“The Governement shall refrain from all interfrence
with the domestic affairs of the natives, and all problems concerning debts,
torts, marriage, divorce and inheritance must be decided by the adat
fungtionaries according to adat”[47]
Jadi kewenangan lembaga adat di zaman
Hindia belanda sangat dipertahankan dan dihormati oleh pemerintah Belanda,
semua permasalahan yang terkait dengan urusan hutang piutang, perbuatan
melanggar hukum, perkawinan, perceraian dan kewarisan harus diputus oleh
penghulu-penghulu adat dan menurut hukum adat.
Tentang pengertian lembaga adat
ditegaskan pada Peraturan Mentri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 2007 Tentang
Penataan Lemaga Kemasyarakatan, pada ketentuan umum angka 15 sebagai berikut :
“Lembaga Adat adalah lembaga kemasyarakatan baik yang sengaja dibentuk maupun
yang secara wajar telah tumbuh dan berkembang di dalam sejarah masyarakat atau
dalam suatu masyarakat hukum adat tertentu dengan wilayah hukum dan hak atas
harta kekayaan di dalam hukum adat tersebut, serta berhak dan berwenang untuk
mengatur, mengurus dan menyelesaikan berbagai permasalahan kehidupan yang
berkaitan dengan dan mengacu pada adat istiadat dan hukum adat yang berlaku”.
Teori Alternative
Dispute Resolution (A D R)
Sebagai penyelesaian yang bersifat
alternatif, ADR lebih umum dikenal sebagai penyelesaian sengketa di luar
pengadilan yang bagi masyarakat nusantara sebenarnya bukan suatu hal yang baru
tetapi sudah dikenal sejak zaman dahulu kala yang oleh masyarakat kita lebih
dikenal dengan penyelesaian sengketa secara musyawarah mufakat dan oleh
masyarakat suku bangsa sasak di pulau Lombok dikenal juga dengan istilah
“soloh”. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan lebih menguntungkan dari pada
penyelesaian sengketa melalui jalur pengadilan karena kesepakatan yang dicapai
dengan musyawarah mufakat tersebut bersifat final sehingga mempersingkat waktu,
biaya murah dan prosedur yang sederhana. Selain itu dengan tercapainya mufakat
antara kedu belah pihak, maka hubungan silaturrahim antara kedua belah pihak
tetap terjalin atau tidak terputus akibat sengketa itu.
Telah
dikemukakan di atas, bahwa berda-sarkan hukum positif di Indonesia, ADR hanya
dimungkinkan dalam perkara perdata (lihat Pasal 6 UU No. 30/1999 Tentang: ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN
SENGKETA). Untuk perkara pidana pada prinsipnya tidak dapat diselesaikan di
luar pengadilan, walaupun dalam hal-hal tertentu, dimungkinkan adanya
penyelesaian kasus pidana di luar pengadilan, antara lain :
a.
Dalam hal delik yang dilakukan berupa
”pelanggaran yang hanya diancam dengan pidana denda”. Menurut Pasal 82 KUHP,
kewenangan/hak menuntut delik pelanggaran itu hapus, apabila terdakwa telah
membayar denda maksi-mum untuk delik pelanggaran itu dan biaya-biaya yang telah
dikeluarkan kalau penuntutan telah dilakukan. Ketentuan dalam Pasal 82 KUHP ini
dikenal dengan istilah ”afkoop” atau
”pemba-yaran denda damai” yang merupakan salah satu alasan penghapus penuntutan.
b.
Dalam
hal tindak pidana dilakukan oleh anak di bawah usia 8 tahun. Menurut UU No.
3/1997 (Pengadilan Anak), batas usia anak nakal yang dapat diajukan ke
pengadilan sekurang-kurangnya 8 tahun dan belum mencapai 18 tahun. Terha-dap
anak di bawah 8 tahun, penyidik dapat menyerahkan kembali anak ter-sebut kepada
orang tua, wali, atau orang tua asuhnya apabila dipandang masih dapat dibina
atau diserahkan kepada Departemen Sosial apabila dipandang tidak dapat lagi
dibina oleh orang tua/ wali/orang tua asuh (Pasal 5 UU No. 3/ 1997).
Ketentuan di
atas hanya memberi kemungkinan adanya penyelesaian perkara pidana di luar
pengadilan, namun belum merupakan ”mediasi penal” seperti yang diuraikan di
atas. Penyelesaian di luar pengadilan ber-dasar Pasal 82 KUHP di atas belum
menggambarkan secara tegas adanya kemung-kinan penyelesaian damai atau mediasi
antara pelaku dan korban (terutama dalam
masalah pemberian ganti rugi atau kompensasi) yang merupakan ”sarana
pengalihan/ diversi” (means of diversion)”
untuk dihen-tikannya penuntutan maupun penjatuhan pidana. Walaupun Pasal 82
KUHP merupa-kan alasan penghapus penuntutan, namun bukan karena telah adanya
ganti rugi/ kompensasi terhadap korban, tetapi hanya karena telah membayar
denda maksimum yang diancamkan. Penyelesaian kasus pidana dengan memberi ganti
rugi kepada korban, dimungkinkan dalam hal hakim akan menjatuhkan pidana
bersyarat (Pasal 14c KUHP). Patut dicatat, ketentuan pidana bersyarat dalam
KUHP inipun masih tetap berorientasi pada kepentingan pelaku (offender oriented), tidak ”victim oriented”.
Kemungkinan
lain terlihat dalam UU No. 39/1999 tentang Pengadilan HAM yang memberi
kewenangan kepada Komnas HAM (yang dibentuk berdasar Kepres No. 50/ 1993) untuk
melakukan mediasi dalam kasus pelanggaran HAM (lihat Psl. 1 ke-7; Psl. 76:1;
Psl. 89:4; Psl. 96). Namun tidak ada
ketentuan yang secara tegas menya-takan, bahwa semua kasus pelanggaran HAM
dapat dilakukan mediasi oleh Komnas HAM, karena menurut Pasal 89 (4) Komnas HAM
dapat juga hanya memberi saran kepada para pihak untuk menyelesaikan sengketa
melalui pengadilan (sub-c), atau hanya memberi rekomendasi kepada Peme-rintah
atau DPR untuk ditindaklanjuti pe-nyelesaiannya (sub-d dan sub-e). Demikian
pula tidak ada ketentuan yang secara tegas menyatakan, bahwa akibat adanya
mediasi oleh Komnas HAM itu dapat menghapuskan penuntutan atau pemidanaan. Di
dalam Pasal 96 (3) hanya ditentukan, bahwa ”keputusan mediasi mengikat secara
hukum dan berlaku sebagai alat bukti yang sah”.
Telah
dikemukakan di atas, bahwa di bebe-rapa negara lain, mediasi penal
dimung-kinkan untuk tindak pidana yang dilakukan oleh anak dan untuk kasus KDRT
(keke-rasan dalam rumah tangga – domestic
violence). Namun di Indonesia, ketentuan mediasi penal itu tidak terdapat
dalam UU No. 3/1997 tentang Pengadilan Anak mau-pun dalam UU No. 23/2004
tentang KDRT.
Akhirnya patut
dicatat, bahwa gugurnya ke-wenangan penuntutan seperti yang ada dalam KUHP
(yang tersebar dalam bebera-pa pasal, antara lain Psl. 82 di atas), di dalam
Konsep RKUHP digabung dalam satu pasal dan diperluas dengan ketentuan sbb:
Pasal 145 (RKUHP 1-8-2006) (Psl. 142 RKUHP 2004), Kewenangan penuntutan
gugur, jika:
a.
telah
ada putusan yang memperoleh kekuatan hukum tetap;
b. terdakwa
meninggal dunia;
c. daluwarsa;
d. penyelesaian di luar
proses;
e. maksimum
pidana denda dibayar dengan suka-rela bagi tindak pidana yang dilakukan hanya
diancam dengan pidana denda paling
banyak kategori II;
f.
maksimum
pidana denda dibayar dengan suka-rela bagi tindak pidana yang diancam dengan
pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak
kategori III;
g.
Presiden
memberi amnesti atau abolisi;
h.
penuntutan
dihentikan karena penuntutan dise-rahkan kepada negara lain berdasarkan per-janjian;
i.
tindak
pidana aduan yang tidak ada pengaduan atau pengaduannya ditarik kembali; atau
j.
pengenaan
asas oportunitas oleh Jaksa Agung.
Dari ketentuan RKUHP di atas terlihat, di- mungkinkannya
penyelesaian perkara pida-na di luar pengadilan (lihat sub d di atas).
Pengaturan rincinya belum ada, namun tentunya akan diatur lebih lanjut di dalam
Rancangan KUHAP.
Mediasi
penal sering dinyatakan meru-pakan ”the
third way” atau ”the third path” dalam upaya ”crime control and the criminal justice
system” [48]
, dan telah digunakan di beberapa negara. Seberapa jauh kemungkinan itu dapat
juga diterapkan di Indonesia, apa keterbatasan dan keunggulannya, serta
bagaimana pengatur-annya, tentunya memerlukan kajian yang men-dalam dan
komprehensif. Namun yang jelas, penyelesaian damai dan mediasi di bidang hukum
pidana inipun sebenarnya sudah dikenal dalam hukum adat dan dalam kenyataan
sehari-hari dibuktikan sebagaimana
dengan kajian atas penyelesaian sengketa oleh lembaga-lembaga adat diatas.
Phillip D. Bostwick menyebut ADR sebagai sebuah perangkat pengalaman dan
tehnik hukum yang bertujuan [49]:
a.
Menyelesaikan sengketa hukum di luar pengadilan demi keuntungan para pihak;
a. b.
Mengurangi biaya litigasi konvensional dan pengunduran waktu yang biasanya
terjadi;
b. Mencegah
terjadinya sengketa hukum yang biasanya diajukan ke Pengadilan
c. Undang-undang
Republik Indonesia No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, pada Pasal 48
dinyatakan : “upaya penyelesaian sengketa perdata dapat dilakukan di luar
pengadilan negara melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa”.
Selanjutnya
pada Pasal 60 diatur sebagai berikut :
·
Ayat (1) : Alternatif
penyelesaian sengketa merupakan lembaga penyelesaian sengketa atau beda
pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian diluar
pengadilan dengan cara konsultasi , negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau
penilaian ahli.
·
Ayat (2) : Penyelesaian
sengketa melalui Alternatif Penyelesaian Sengketa sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), hasilnya dituangkan dalam kesepakatan tertulis .
·
Ayat (3) : Kesepakatan
secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bersifat final dan mengikat
para pihak untuk dilaksanakan dengan etikat baik.
Keberlakuan
penyelesaian sengketa alternatif (ADR) dalam sistem peradilan negara RI UU RI no. 48 th 2009
ttg kekuasaan kehakiman :
·
Pasal 10 (1 dan 2)
:“pengadilan tidak boleh menolak utk mengadili suatu perkara dgn alasan hukum tidak ada atau
kurang jelas (ayat 1)”. Ketentuan tersebut tdk menutup usaha penyelesaian perkara
secara damai (ayat 2).
·
Pasal 5 (1) :“ hakim
dan hakim konstitusi, wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum
dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”.
·
Pasal 50 (1) :“ putusan
pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan , juga memuat pasal
tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum
tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili”.
·
Pasal 58 :“upaya
penyelesaian sengketa perdata dapat dilakukan diluar pengadilan negara melalui
arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa”.
·
Pasal 60 : “ alternatif
penyelesaian sengketa merupkan lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat
melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar
pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau
penilaian ahli (ayat 1)”.
·
“penyelesaian sengketa
melalui alteratif penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
hasilnya dituangkan dalam kesepakatan tertulis (ayat 2)”.
·
“kesepakatan secara
tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) bersifat final dan mengikat para pihak untuk dilaksanaakan dengan itikad
baik (ayat 3)”.
Kegunaan
Penyelesaian Sengketa Adat, menurut
Ahmad Santosa mengemukakan ada 5 faktor
utama yg memberikan dasar diperlukannya pengembangan penyelesaian sengketa adat
Alternatif di Indonesia, yaitu [50]:
1. Sebagai
upaya meningkatkan daya saing dlm mengundang penanaman modal ke Indonesia.
2. Tuntutan
masyarakat terhadap mekanisme penyelesaian sengketa yangg efisien serta mampu
memenuhi rasa keadilan
3. Upaya
untuk mengimbangi maningkatnya daya kritis masyarakat yang dibarengi dengan
tuntutan berperan serta aktif dalam proses pembangunan. Hak masyarakat berperan
serta dalam penetapan kebijakan public tersebut menimbulkan konsekuensi
diperlukannya mekanisme penyelesaian sengketa utk mewadahi perbedaan pendapat
yang muncul dari keikutsertaan masyarakat tersebut.
4. Menumbuhkan
iklim persaingan yg sehat bagi lembaga peradilan.
5. Banyak
Negara di dunia yg telah mencoba mengembangkan penyelesaian sengketa alternative
sbg upaya mengurangi derasnya arus perkara yg masuk ke pengadilan.
Keunggulan :
1. Dalam
masyarakat Indonesia cara penyelesaian sengketa dengan
melibatkan pihak ke-3 ini mempunyai basis sosial yg kuat, baik dipedesaan
maupun diperkotaan.
2. Dengan
melihat pengalaman yg terjadi di Amerika sbg Negara dimana masy dikenal
kecenderungannya mengguankan pengadilan cukup tinggi, ternyata mediasi
perkembangannya sgt pesat.
Keuntungan
Mediasi:
1. Penyelesaian
secara cepat
2. Hasil
yg memuasan bagi semua pihak
3. Praktik
belajar prosedur2 penyelesaian sengketa secara kreatif
4. Tingkat
pengendalian lebih besar & hasil yg bisa di duga.
5. Pemberdayaan
individu
6. Melestarikan
/ menjaga / memelihara hubungan yg sudah berjaan / terjalin dgn cara yg lebih
baik.
7. Keputusan-keputusan yg bisa dilaksanakan
(eksekusi)
8. Kesepakatan
yang lebih baik daripada
melalui pengadilan (menang-kalah). Keputusan yang berlaku tdk mengenal waktu.
1.
Azas
Rukun azas kerja yang menjadi pedoman dalam menyelesaikan
persoalan adat Kerukunan suatu azas yg isinya berhubungan erat dengan pandangan & sikap
orang menghadapi hidup
bersama di dalam suatu lingkungan dengan sesamanya untuk mencapai suatu
suasana hidup bersama seperti yang
diterima sebagai sesuatu
yang ideal oleh adat.
2.
Azas
Patut suatu pengertian yang merujuk pada alam susila atau
kesusilaan & seketika pula pada fikiran yang sehat yang ditujukan pada penilaian atas suatu
kejadian baik dalam bentuknya sbg
perbuatan maupun keadaan.
3.
Azas
Laras laras dipergunakan dalam hubungannya dengan jawaban atas suatu persoalan
konkrit secara bijaksana oleh para
pihak yang bersangkutan & masyarakat diterima sebagai sesuatu yang melegakan kebutuhan
atas perasaan hukum
serta susila. Dengan demikian, baik yang bersangkutan maupun masyarakat umum tidak lagi merasa ada
kekurangan dalam isi jawaban itu
sehingga segala sesuatu berjalan dgn wajar kembali (normal).
Dalam
pasal 24 UUD 1945 telah ditegaskan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh
sebuah mahkamah agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya, baik di
lingkungan peradilan agama, peradilan militer, peradilan tata usaha
negara, dan oleh mahkamah konstitusi. Penyelesaian sengketa melalui jalur
pengadilan disebut dengan litigasi, sedangkan penyelesaian sengketa diluar
jalur pengadilan disebut dengan nonlitigasi. Dalam peradilan indonesia, proses
penyelesaian perkara/sengketa menganut asas sederhana, cepat dan biaya ringan.
Ketentuan ini diatur dalam pasal 4 ayat (2) UU No. 14 tahun 1970 dan di ubah
menjadi UU No.35 Tahun 1999 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan
kehakiman.
Dalam
pasal 4 ayat (2) dan pasal 5 ayat (2) UU No. 4 tahun 2004 tentang kekuasaan
kehakiman disebukan peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya
ringan. Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala
hambatan dan rintangan untuk mencapai peradilan yang sederhana, cepat dan biaya
ringan.
Pada
awalnya tidak disebutkan secara konkrit tentang mediasi sebagai salah satu
bentuk penyelesaian sengketa dalam ketentuan-ketentuan hukum. Ketentuan tentang
mediasi baru ditemukan dalam UU No.30 tahun 1999 tentang arbitrase dan
alternatif penyelesaian sengketa, Peraturan Pemerintah No. 54 tahun 2000
tentang lembaga penyedia jasa pelayanan penyelesaian sengketa lingkungan hidup
diluar pengadilan dan peraturan mahkamah agung No. 02 tahun 2003 tentang
prosedur mediasi di pengadilan.
Penyelesaian
sengketa diluar pengadilan menganut prinsip sama-sama menguntungkan (win-win
solution). Sangat berbeda dengan penyelesaian sengketa didalam pengadilan yang
menganut prinsip win-lose. Dengan demikian, UU No.30 tahun 1999 telah
memberikan dorongan kepada pihak yang bersengketa untuk dapat beritikad baik
dalam penyelesaian sengketanya.
UU No.30 tahun 1999
mengatur dua hal yang utama, yaitu:
-
Arbitrase
Dalam
pasal 1 disebutkan arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata
diluar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat
secara tertulis oleh pihak yang bersengketa.
-
Alternatif penyelesaian sengketa
Alternatif
penyelesaian sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat
melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian diluar
pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau
penilaian ahli.
Mediasi
adalah proses penyelesaian sengketa melalui proses perundingan atau mufakat
para pihak dengan dibantu oleh Mediator yang tidak memiliki kewena ngan memutus atau
memaksakan sebuah penyelesaian. Ciri utama proses mediasi adalah perundingan yang
esensinya sama dengan proses musyawarah atau konsensus. Sesuai dengan hakikat
perundingan atau musyawarah atau konsensus, maka tidak boleh ada paksaan untuk
menerima atau menolak sesuatu gagasan atau penyelesaian selama proses mediasi
berlangsung. Segala sesuatunya harus memperoleh persetujuan dari para pihak.
Sejak zaman dahulu,
masyarakat indonesia telah mempraktekkan mediasi dalam penyelesaian konflik,
sebab mereka percaya bahwa dengan melakukan usaha damai maka akan mengantarkan
mereka dalam kehidupan yang harmonis, adil, seimbang dan terciptanya
nilai-nilai kebersamaan yang kuat dalam kehidupan bermasyarakat.
Penyelesaian konflik atau sengketa dalam masyarakat mengacu pada prinsip
“kebebasan” yang menguntungkan kedua belah pihak. Para pihak dapat menawarkan
opsi penyelesaian sengketa dengan perantara tokoh masyarakat. Para pihak tidak
terpaku pada pembuktian tentang salah atau benarnya sengketa mereka, tetapi
mereka lebih mempertimbangkan penyelesaian masalah untuk masa depan dengan
mengakomodasikan kepentingan mereka secara berimbang. bentuk penyelesaian
sengketa ini sering disebut dengan musyawarah atau mufakat.
Musyawarah
dan mufakat merupakan falsafah masyarakat indonesia dalam setiap pengambilan
keputusan, termasuk penyelesaian sengketa. Musyawarah dan mufakat ini telah
tercatat dalam falsafah indonesia pada sila ke-4, dalam UUD 1945 dan peraturan
perundang-undangan lainnya. Dalam
sejarah perundang-undangan indonesia prinsip musyawarah dan mufakat yang
berujung damai juga digunakan dalam lingkungan peradilan, terutama dalam
penyelesaian sengketa perdata. Hal ini terlihat dari sejumlah peraturan
perundang-undangan sejak masa kolonial belanda.
Fungsi
Mediator dlm suatu Proses Mediasi, Fuller
mengidentifikasikan ada 7 fungsi yang harus dijalankan oleh mediator yaitu[52]:
1. sebagai
katalisator, yang mengandung pengertian bahwa kehadiran mediator dalam proses
perundingan mampu mendorong lahirnya suasana yang konstruktif bagi diskusi.
2. sebagai
pendidik, berarti seseorang harus berusaha memahami aspirasi, prosedur kerja,
keterbatasan politis, dan kendala usaha dari para pihak. Oleh sebab itu, ia
harus berusaha melibatkan diri dalam dinamika perbedaan di antara para pihak.
3. sebagai
penerjemah, berarti mediator harus berusaha menyampaikan dan merumuskan usulan
pihak yang satu kepada pihak lainnya melalui bahasa atau ungkapan yang baik
dengan tanpa mengurangi sasaran yang dicapai oleh pengusul.
4. sebagai
narasumber, berarti seorang mediator harus mendayagunakan sumber-sumber
informasi yang tersedia.
5. sebagai
penyaring berita jelek, berarti seorang mediator harus menyadari bahwa para
pihak dalam proses perundingan dapat bersikap emosional. Untuk itu mediator
harus mengadakan pertemuan terpisah dengan pihak-pihak terkait untuk menampung
berbagai usulan.
6. sebagai
agen realitas, berarti mediator harus berusaha memberi pengertian secara jelas
kepada salah satu pihak bahwa sasarannya tidak mungkin/tidak masuk akal
tercapai melalui perundingan.
7. sebagai
kambing hitam, berarti mediator harus siap disalahkan dalam membuat kesepakatan
hasil perundingan.
Koesnoe[53],
menyebutkan bahwa pandangan hidup masyarakat adat tertumpu pada filsafat
eksistensi manusia. Pandangan hidup masyarakat adat yang berasal dari
nilai,pola pikir,dan norma telah melahirkan ciri masyarakat hokum adat. Imam
sudiyat, menyebutkan masyarakat hokum adat memiliki ciri religious, komunal,
demokrasi, mementingkan nilai moral spiritual, dan bersahaja/sederhana.
Masyarakat
hukum adat lebih mengutamakan penyelesaian sengketa melalui jalur musyawarah,
yang bertujuan untuk mewujudkan kedamaian dalam masyarakat. Jalur musyawarah
merupakan jalur utama yang digunakan masyarakat hokum adat dalam menyelesaikan
sengketa, karena dalam musyawarah akan dapat dibuat kesepakatan damai yang
menguntungkan kedua belah pihak.
Dalam sistem hukum adat, tidak
dikenal pembagian hukum
kepada hukum public dan hukum privat. Akibatnya,
masyarakat hukum
adat tidak mengenal kategorisasi hukum
pidana dan hukum
perdata, sebagaimana dalam system hukum
Eropa Kontinental. Istilah “sengketa” bagi masyarakat hukum adat bukan hanya
ditujukan untuk kasus perdata, yang menitikberatkan pada kepentingan
perorangan, tetapi sengketa juga digunakan untuk tindak pidana kejahatan atau
pelanggaran.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa ruang lingkup mediasi dalam masyarakat
hukum adat, tidak hanya
terbatas pada sengketa ranah privat, tetapi dapat juga digunakan untuk
menyelesaikan kasus public. Penggunaan mediasi, arbitrase, negosiasi dan
fasilitasi jauh lebih luas dalam hokum adat, bila dibandingkan dengan hokum
positif di Indonesia.
Mudah Diakses, Cepat
dan Murah
Beberapa kekuatan dari peradilan
informal atau “Out Of Court Satlement"
sederhana dan ternyata. Kemudahan diakses secara nyata adalah salah satu
keuntungan yang jelas. Ketua rukun warga (ketua RT/RW), kepala desa, pemimpin
adat dan tokoh agama tinggal di desa, dikenal oleh masyarakat dan gampang
ditemui. Sebaliknya, polisi dan pengadilan seringkali berada di ibu kota
kabupaten/kota yang terletak jauh.
Kekuatan berikutnya adalah kecepatan. Terutama
ketika terkait dengan hak-hak ekonomi, proses penyelesaian yang lama dapat
mempengaruhi kehidupan kaum miskin. Pada saat terjadi kekerasan akan muncul –
seperti pada beberapa kasus di Jawa Timur – tindakan yang cepat sangat
diperlukan. Dalam kasus yang berhasil diselesaikan, prosesnya biasanya berjalan
dengan cepat. Kasus pembunuhan di Palangkaraya diselesaikan dalam tiga minggu,
dan perkelahian di Kuala Kapuas dalam dua minggu. Kebanyakan kasus di Jawa
Timur dan Maluku juga ditangani dalam dua-tiga minggu atau kurang. Sebaliknya,
rata-rata waktu yang diperlukan untuk menunggu antara proses pengarsipan dan
pembacaan kasus berkisar antara 4-6 bulan di Pengadilan Negeri, 12 bulan di
Pengadilan Tinggi dan 2-3 tahun di Mahkamah Agung[54].
Data terbaru menunjukan rata-rata waktu yang diperlukan untuk penyelesaian
kasus hukum dari
kejadian
awal sampai kasasi yaitu 7-12 tahun[55].
Biaya
merupakan pertimbangan penting lainnya. Sengketa kecil pada umumnya
diselesaikan tanpa biaya bagi pihak yang bertikai[56].Pada
sebagian besar kasus yang diteliti tidak ada biaya untuk proses pengarsipan
atau pembacaan kasus (sidang)[57].
Kepuasan
dengan para pihak
hukum formal dan
informal
Sumber:
Survei GDS
Data
pada Gambar diatas,
menggambarkan para responden menyatakan kepuasannya yang sangat besar terhadap
pihak-pihak yang sudah mereka kenal – tokoh masyarakat dan tokoh adat,
pendamping hukum (paralegal), anggota keluarga dan teman, dan pemerintah desa.
Temuan ini menunjukkan dua implikasi. Pertama, strategi untuk memperbaiki penyelesaian
sengketa sebaiknya berfokus pada tingkat desa dan komunitas, tidak hanya
institusi-institusi negara. Kedua, hal itu juga mendukung usaha untuk
meningkatkan kesadaran masyarakat dengan para pelaku dari tingkat kecamatan dan
kabupaten (LSM, para jaksa, pejabat pemerintah, dll), dapat membantu meningkatkan
tingkat kepuasaan dan kepercayaan pada mereka juga.
Singkatnya, sistem formal tidak
menentukan, secara konsisten dan dapat diprediksi, nilai pantas terhadap adat
istiadat dan tidak menjelaskan tindakan apa yang tidak mencapai nilainya. Seperti dilapangan
kasus-kasus seperti penusukan dan sejenisnya, pengadilan
memandang hasil dari proses peradilan non-negara sebagai hal yang absah
dibandingkan dalam kasus “penculikan” anak pada umumnya, dimana penyelesaian
informal ditolak. Tapi tidak ada satu catatan penjelasan tentang bagaimana
keputusan-keputusan ini dicapai. Batas yurisdiksi antara sistem formal dan
informal tidak ditegaskan, artinya meskipun diluar kewenangannya, kasus pidana
berat kadang kadang masih dapat dimediasi di tingkat desa. Standar dan
perlindungan prosedural tidak disebutkan. Atas dasar apa proses tersebut
dinyatakan tidak sah dalam salah satu kasus dan sah di kasus lainnya? Demikian
juga, apa yang menjadi pedoman kebijakan polisi untuk menengahi atau menuntut?
Persinggungan tersebut tidak diperjelas dan, sebagaimana yang digambarkan dalam
kasus kekerasan rumah tangga, kadang-kadang menghasilkan ambiguitas dan
ketidakpastian hukum yang menguntungkan pihak yang kaya dan berkuasa.
Sebagai pengkajian,
penelaahan dan pembanding terkait model dan tipe-tipe penyelesaian sengketa
diluar pengadilan melalui mediasi penal dapat dilihat pada lampiran makalah
ini, Lampiran. PENGATURAN MEDIASI PENAL DI BEBERAPA NEGARA (Terlampir).
Peradilan Adat dan The
Living Law
Suryono Sukanto[58]
menyatakan “hukum adat yang masih berlaku merupakan bagian dari hukum yang
hidup hukum yang hidup merupakan bagian
dari hukum nasional dan menjadi tujuan untuk dicapai, karena hukum yang hidup
berlaku secara yuridis, sosiologis maupun filosofis.
Perlu
secara singkat dijelaskan kedudukan dan peran hukum adat dalam pembinaan hukum
nasional. Hukum adat dan pembaruan hukum nasional telah banyak dikaji oleh
pemerhati dan ilmuan hukum adat. Hukum nasional
diupayakan, tetap bersumber dan tidak bergeser dari nilai-niali filosofis,
sosio-kultural dan yuridis, bangsa Indonesia sendiri.
Selanjutnya
hukum adat dalam makalah ini, dimaknakan berdasarkan berbagai definisi yang
pernah dirumuskan oleh peneliti peneliti hukum adat. Dari berbagai konsep dan
sudut pandang masing masing, maka hukum adat adalah sebagai berikut[59]:
1.
Dari bentuknya merupakan hukum yang tidak trtulis;
2.
Dari asalnya adalah adat isitiadat dan kebiasaan;
3.
Dari sifatnya adalah dinamis, berkembang terus, dan mudah beradaptasi;
4.
Dari prosesnya dibuat tanpa
disengaja;
5.
Mengandung unsur agama;
6.
Berhubungan dengan dasar-dasar dan susunan masyarakat setempat;
7.
Penegakan oleh fungsionaris adat dan;
8.
Mempunyai sanksi.
Dilihat
dari sudut pandang antropologis, maka hukum adat seperti dimaksud di atas,
dapat memenuhi fungsi idiologikal hukum seperti yang disyaratkan oleh nilai
budaya, karena aturan-aturannya dirasakan dan diterima oleh masyarakatnya,
sebagai pola tingkah laku, yang sesuai (proper) untuk mengontrol tingkah laku
masyarakat. Dan dari sifatnya yang dinamis, hukum adat senantiasa responsip
terhadap perubahan di sekelilingnya Dari sudut pandangan sosiologis, Eugen
Ehrlich sebagai orang pertama, yang sadar dan melakukan penyelidikan terhadap living
law, dengan dasar pemikiran, bahwa hukum adalah fenomena sosial.
Berbeda daripada aliran hukum dominan yang memahami semua hukum terdapat dalam
peraturan-peraturan. Sebaliknya makalah ini melihat hukum sebagai hukum yang
menguasai kehidupan itu sendiri, sekalipun tidak dirumuskan di dalam
peraturan-peraturan.
Hukum adat sebagai hukum hidup, digambarkan juga oleh Vinogadoff seperti dikutip Satjipto Rahdjo[60],
bahwa hukum lahir serta merta dari kandungan masyarakat, dari praktik-praktik
yang secara langsung bertumbuh dari konveniensi, baik dari masyarakat maupun
perorangan.
Pada perkembangan berikutnya, adat istiadat, kebiasaan sebagai pola tingkah
laku (rule of beheviour) mendapat sifat hukum, pada ketika fungsionaris adat
melaksanakan dan menerapkannya terhadap orang yang melanggar peraturan itu,
atau ketika petugas hukum bertindak mencegah pelanggaran perturan itu.
Peradilan
dalam teks dan konteks UU RI No.48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman, menghendaki akses pada keadilan diletakkan di atas dasar
legal centralisem. Dalam Pasal 2 ayat (3) dikatakan: “semua
peradilan di seluruh wilayah negara Republik Indonesia adalah peradilan negara
yang diatur dengan undang-undang”. Perspektif legal centralisme tersebut,
disangkakan membawa pertanda akan kematian bagi “peradilan” di luar kekuasaan
kehakiman negara.
Namun di balik Asas Penyelenggaraan
Kekuasaan Kehakiman oleh Peradilan Negara, terdapat “konstitusi tidak
tertulis”, yakni kehendak rakyat mengenai peradilan atas nama hukum yang hidup
di masyarakat. Suka atau tidak, peradilan selain peradilan negara, akan
lahir sebagai manifes kebutuhan dan kesadaran hukum mengenai ketertiban
dan ketenteraman, yang tidak selalu mampu diwujudkan oleh badan-badan
Kehakiman Negara.
Lagi
pula kebijakan formulatif legalistik bahwa pengadilan adalah pengadilan Negara
seperti telah dikutip di atas, telah dikoreksi secara faktual oleh yuriprudensi
Mahkamah Agung RI No. 1644 K/Pid/1988, tanggal 15 Mei 1991. Dalam Ratio
decidendi putusannya dikatakan, apabila seseorang melanggar hukum adat,
kemudian Kepala dan Pemuka Adat memberikan reaksi adat (sanksi adat), maka yang
bersangkutan tidak dapat diajuhkan lagi (untuk kedua kalinya), sebagai
terdakwa dalam persidangan Badan Peradilan Negara, dengan dakwaan yang
sama, melanggar hukum adat dan dijatuhkan pidana penjara menurut KUHP (Pasal 5
ayat (3) sub b UU Drt. No. 1 Tahun 1951).
Regulasi daerah pembentukan
organisasi perangkat daerah, di berbagai wilayah di Indonesia, juga telah memberikan
pengakuannya terhadap lembaga adat, yang salah satu fungsinya menyelesaikan
sengketa yang terjadi di daerahnya. Pasal 101 UU RI No. 22/1999 tentang
Pemerintahan Daerah, memberi keleluasaan Kepala Desa mengatur rumah tangganya
sendiri, membenina dan menyelenggarakan pemerintahan desa, membina kehidupan
masyarakat desa, memelihara ketenteramana dan ketertiban masyarakat,
mendamaikan perselisihan masyarakat dan mewakili desanya di dalam dan di
luar dan dapat menunjuk kuasa hukumnnya.
Pelaksanaan UU Darurat No. 1/1951,
yang semula menghendaki kesatuan susunan kekuasaan kehakiman,
dengan menghapuskan peradilan adat (Inheemse rechtspraak in
rechtstreeksbestuurdgebied) dan segala Pengadilan Swapraja
(Zelfbestuursrechtspraak) ternyata dalam Pasal 1 ayat (3) mengambil
pengecualian dengan mengatakan, ketentuan yang tersebut dalam ayat (1) tidak
sedikitpun juga mengurangi hak kekuasaan yang sampai selama ini telah diberikan
kepada hakim hakim perdamaian di desa desa sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3a Rechterlijke Organisatie.
Sejak masa pemerintahan Belanda,
telah dikenal hakim perdamaian desa, yang diatur dalam Pasal 3a Reglement op de
Rechterijke Organisatie en het Beleidder Justiti (Peraturan Susunan Peradilan
dan Kebijaksanaan Justusi) disingkat RO (S. 1933 No 102). Hakim
Perdamaian Desa tersebut, bekerja menyelesaikan perselisihan antar warga
masyarakat desa. Meskipun hakim perdamaian desa tidak berhak menjatuhkan
hukuman. Namun dari berbagai hasil penelitian diungkapkan, penyelesaian sengketa
dengan memberikan hukuman pada pelanggar, hampir terjadi di seluruh wilaya
nusantara.
Hazairin[61]
memberikan kesaksian bahwa kekuasaan kehakiman desa tidak terbatas pada
perdamaian saja, tetapi meliputi kekuasaan memutus silang sengketa dalam
semua bidang hukum, tanpa membedakan anatara pengertian pidana dan perdata.
Keadaan ini baru berubah, jika masyarakat hukum adat menundukkan dirinya pada
kekuasaan yang lebih tinggi yang membatasi atau mengawasi hak-hak kehakiman
itu.
Pelanggaran Adat
dan Mediasi Penal
Dalam
kajian akademis terhadap hukum adat, dikenal adanya hukum adat perdata dan pidan.
Hukum adat pidana meliputi pelanggaran adat atau disebut juga adat delicten
recht. Hukum adat pidana merupakan hukum yang hidup dan ditaati oleh masyarakat
adat secara terus-menerus, dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Pelanggaran terhadap aturan adat, dapat menimbulkan kegoncangan dalam
masyarakat, karena mengganggu keseimbangan kosmis masyarakat. Terhadap pelaku
pelanggaran diberikan reaksi, atau koreksi atau sanksi adat oleh masyarakat
melalui Fungsionaris adatnya.
Hukum adat pidana, dengan unsur
pokok, pertama adat bertingkah laku (rule of behavior) yang diikuti dan ditaati
masyarakat, kedua bila adat tersebut dilanggar, dapat menimbulkan kegoncangan
dan merusak keseimbangan kosmis dan ketiga pelanggar dapat dikenai reaksi adat
oleh masyarakat melalui pengurus adat.
Bagir
Manan[62]
menyatakan, “Perdamaian dalam sistem adat-istiadat maupun hukum adat kita tidak
terbatas pada sengketa perdata. Perdamaian juga lazim dalam perkara yang
sifatnya kepidanaan, tidak jarang perbuatan yang dapat dipidanakan diselesaikan
secara kekeluargaan, Dalam hal terjadi kematian akibat perkelahian atau
pertengkaran, perdamaian terjadi melalui kompensasi terhadap keluarga korban. Kompensasi
tidak semata bersifat materiil, dapat juga bersifat immaterial seperti denda
adat, kewajiban melakukan sesuatu untuk memulihkan keseimbangan magis, bahkan
pernyataan penyesalan dan permohonan maaf yang tulus dan diterima oleh pihak
keluarga korban tidak jarang menjadi dasar perdamaian yang penting.
Penyelesaian
pelanggaran adat dalam tataran aplikasinya, bersifat menyeluruh, menyatukan dan
terbuka. Namun membeda-bedakan permasalahan dan pada umumnya didasarnya pada
permintaan sendiri pihak-pihak. Hal ini sesuai dengan sifat hukum adat pidana,
seperti:
·
Menyeluruh dan
menyatukan;
·
Hukum adat bersifat
kosmis, melihat segala sesuatu sebagai satu kesatuan yang saling berhubungan.
Dalam menyelesaikan suatu pelanggaran adat, yang dilihat adalah siapa pelaku,
korban dan hubungan pengarunya pada masyarakat.
·
Ketentuan terbuka:
·
Aturan adat selalu
terbuka untuk segala peristiwa atau perbuatan yang mungkin terjadi. Di sini
proses penyelesaian pelanggaran adat dilakukan secara terbuka atas suatu
permintaan.
·
Membeda-bedakan
permasalahan:
·
Apabila terjadi
pelanggaran adat, maka yang dilihat bukan semata-mata perbuatan dan akibatnya,
tetapi proses yang melatar belakanginya. Dengan demikian cara penyelesaian
suatu peristiwa berbeda-beda.
·
Peradilan Dengan
Permintaan:
·
Menyelesaikan
pelanggaran adat sebagian besar berdasarkan adanya permintaan pihak yang
dirugikan atau diperlakukan tidak adil.
·
Tindakan reaksi atau
koreksi:
Tindakan
reaksi atau koreksi tidak hanya dapat dikenakan terhadap pelakunya, tetapi
dapat juga dikenakan kepada keluarga atau bahkan kepada masyarakat untuk
mengembalikan keseimbangan yang terganggu.
Lebih kongkritnya dapat dilihat
dalam Pasal 5 ayat (3) sub (b) Undang-undang Nomor 1/DRT/1951. Orang sering
terkecoh dengan menganggap bahwa ketentuan itu merupakan dasar hukum pengakuan
terhadap hukum adat. Namun bagi penulis pandangan tersebut keliru. Memang
sepintas terkesan pemberian otonomi terhadap hukum adat, namun sebenarnya
klausula tersebut memungkinkan penggantian sanksi atau kewajiban adat menjadi
sanksi denda dan kurungan yang notabene khas dengan sanksi hukum modern. Maka
dari itu tidak bisa tidak harus dibaca sebagai negasi terhadap eksistensi hukum
adat.
Menurut Wignjosubroto[63],
kesenjangan hukum itu akan mempengaruhi pola kepatuhan warga masyarakat
terhadap hukum, berarti pula akan mempengaruhi keefektivan bekerjanya hukum
dalam masyarakat. Khusus dalam konteks Indonesia, Rahardjo seperti dikutip Sahetapy
mengemukakan bahwa sistem hukum yang berlaku sekarang sebagai hukum modern,
belum ditunjang oleh pertumbuhan masyarakat yang sesuai dengan tuntutan hukum
modern itu. Akibatnya, penafsiran-penafsiran serta praktek-praktek yang keliru
dai rakyat terhadap keberlakuan hukum itu berikut lembaga-lembaga yang berlaku
buat mereka menjadi sesuatu yang niscaya.
III.PENUTUP
Dari pemaparan diatas secara garis besar
penyelesaian sengketa “Out Of Court Settlement“ menurut
kearifan lokal dalam upaya melahirkan hukum berkeadilan di Indonesia, dapat
disimpulkan sebagai berikut:
1)
Mekanisme penyelesaian sengketa
menurut kearifan lokal di Indonesia dalam
hal ini ditunjukkan dan diwakili pada beberapa
masyarakat adat pada Adat Minangkabau, masyarakat Banjar, masyarakat adat
Dayak di Kalimantan Tengah, masyarakat adat Aceh, masyarakat adat Ambon/Maluku,
masyarakat adat Lombok Utara, masyarakat adat Lamaholot di Flores Nusa Tenggara
Timu, masih mengutamakan
peran tetua adat yang terbukti masih dominan dalam menyelesaikan sengketa dan
problem hukum.
Penyelesaian sengketa melalui lembaga hukum adat atau kearifan lokal
ini telah
diterapkan pada permasalahan-permasalahan privat dan beberapa permasalahan
secara kasuistis dalam ranah pidana (publik). Disamping itu penyelesaian
sengketa melalui lembaga hukum adat atau
kearifan lokal diakui sebagai cikal inspirasi bagi banyak
program mediasi modern dan termasuk untuk mediasi pidana yang belum mempunyai format baku.
2)
Negara
atau pemerintah belum punya konsep politik dan hukum yang jelas tentang
masyarakat adat dan hukum adat dalam hal ini termasuk di dalamnya peradilan
adat. Penyelesaian
perkara di luar pengadilan melalui mediasi penal dalam Sistem Peradilan Pidana
Indonesia dari perspektif pengkajian Asas, Norma, Teori dan Praktik
eksistensinya antara “ada” dan “tiada”. Di
satu sisi oleh karena mediasi penal dalam ketentuan undang-undang tidak dikenal
dalam Sistem Peradilan Pidana akan tetapi dalam tataran di bawah undang-undang
dikenal secara terbatas melalui diskresi penegak hukum, terbatas dan sifatnya
parsial. Kemudian, di sisi lainnya ternyata praktik mediasi penal telah
dilakukan oleh masyarakat Indonesia dan penyelesaian tersebut dilakukan di luar
pengadilan seperti melalui mekanisme lembaga adat.
Pada dasarnya penyelesaian
sengketa “Out Of Court Settlement“ menurut kearifan lokal yang selanjutnya diadopsi secara tidak langsung sebagai
Mediasi penal yang telah
menjadi bagian dari sistem peradilan pidana, baik sebagai alternatif di luar
ataupun di dalam sistem peradilan pidana itu sendiri. Meskipun kerberadaan dan
penerapannya berbeda-beda sesuai dengan pranata dan lembaga yang mengaturnya,
tetapi Penyelesaian sengketa “Out Of Court Settlement“ menurut kearifan lokal
telah hidup dan aktual sesuai jastifikasi perangkat dan lembaga hukum yang
mendasarinya, serta aneka ragam konsep, falsafah, sosial kultur yang melingkupinya.
3)
Eksistensi
penyelesaian sengketa “Out Of Court Settlement“ menurut
kearifan lokal dalam praktiknya masih mengalami permasalahan sebagai berikut;
a.Melemahnya semangat
kekeluargaan dan kebersamaan karena menguatnya materialisme dan individualism
dalam masyarakat dan juga menurunnya kewibawaan fungsionaris adat di mata
anggota masyarakat adat.
b.Meluas dan
menguatnya profesi advokat juga menjadi salah satu faktor penggunaan
penyelesaian sengketa secara musyawarah mufakat
tidak lagi menarik bagi masyarakat.
Sudah saatnya strategi untuk memperbaiki penyelesaian sengketa
sebaiknya berfokus pada tingkat desa dan komunitas, tidak hanya
institusi-institusi negara. Diperlukan
komitmen kuat dari para pihak dalam menanggapi keterbutuhan perbaikan disamping
kajian mendalam dan komprehensif untuk kemungkinan dapat diterapkan atau tidak
di Indonesia. Seluruh pengkajian atas upaya mengadopsi dan menggunakan kearifan
lokal dalam penyelesaian sengketa hukum nasional merupakan
salah satu upaya penyelarasan antara Das’Sein
dengan Das Sollen, serta upaya
konkrit melahirkan hukum berkeadilan di
Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Arzaki, Djalaludin, dkk, Nilai-nilai
Agama dan Kearifan Budaya Lokal Suku Bangsa Sasak Dalam Pluralisme Kehidupan
Bermasyarakat, CV. Bina Mandiri, 2001.
Abdurrasyid, Priyatna, Arbitrase &
Alternatif Penyelesaian Sengketa, PT. Fikahati Aneska,
Jakarta, 2002.
Beckmann,
Keebed Von Benda, The Broken Stairways to Consensus (Village Justice and State
Courts in Minangkabau), Foris Publications, Holland, 1984.
Munir, Mochamad, Penggunaan Pengadilan Negeri
Sebagai Lembaga Untuk Menyelesaikan Sengketa Dalam Masyarakat (Disertasi),
Universitas Airlangga Program Pascasarjana, Surabaya 1997.
Widnyana, I Made, Alternatif Penyelesaian Sengketa
(ADR), PT Pikahati Aneska, Jakarta, 2009.
Ali, Achmad, Keterpurukan Hukum Di Indonesia (Penyebab
Dan Solusinya), Penerbit Ghalia, Jakarta, 2001.
Darmodihardjo, Darji, dan
Arief Sidharta, Penjabaran Nilai-Nilai
Pancasila Dalam Sistem Hukum Indonesia, Penerbit PT. Radjagrafindo Persada,
Jakarta, 1996.
Friedman, M. Lawrence,
American Law An Introduction, Second Edition (Hukum Amerika Sebuah Pengantar)
Penerjemah Wishnu Basuki, Penerbit PT. Tatanusa, Jakarta, 2001.
Friedman, M. Lawrence, American Law, An Introduction, W.W.
Norton, New York, 1986.
Fakrulloh, Zudan Arif, Membangun Citra Hukum Melalui Putusan Hakim
Yang Berkualitas, Jurnal Keadilan, Vol 1, No. 3, September 2001.
Hart, H.L.A, The Concept of
Law, Oxford At The Clarendon Press, 1988.
Jurnal Keadilan, Volume 2 No. 1 Tahun 2002.
Komar, Mieke., Etty R.
Agoes., Eddy Damian, (Editor), Mochtar Kusumaatmaja : Pendidik & Negarawan (Kumpulan Karya Tulis Menghormati 70 Tahun
Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmaja, SH. LL.M), Penerbit Alumni Bandung, 1999.
Manan, Bagir, Dasar-Dasar Konstitusional Peraturan
Perundang-undangan Nasional., Makalah, Jakarta, 1993.
Muladi, Penegakkan Hukum Pasca Reformasi,
Artikel, Jurnal Keadilan, Vol 1 No. 3, September 2001.
Nonet, Philip and
Philip Selznik, Law and Society in
Transition : Toward Responsive Lw, Harper Colophon Books, Harper & Row,
Publisher, New York, 1978.
Nusantara, Abdul Hakim Garuda, Politik
Hukum Indonesia, LBHI, Jakarta, 1988.
Peters, A.A.G.,
Koesriani Siswosoebroto, Hukum Dan
Perkembangan Sosial, Penerbit Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1990.
RE. Barimbing, Catur Wangsa Yang Bebas dari Kolusi Simpul
Mewujudkan Supremasi Hukum, Penerbit Pakar Pusat Kajian Reformasi, Jakarta
2001.
Rahardjo. Satjipto, Permasalahan Hukum di Indonesia,
Penerbit Alumni Bandung, 1983.
Rahardjo, Satjipto, Hukum Dan Perubahan Sosial, Penerbit
Alumni, Bandung, 1986.
Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Penerbit PT. Citra Aditra
Bakti, Bandung, 1991.
Seidman, B. Robert, Law and Development, University
Wisconsin Madison.
Abdul Hakim
Garuda Nusantara, Politik Hukum Nasional,
Surabaya: Lembaga Bantuan Hukum, 1985.
Achmad Ali, Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum,
Jakarta : Kencana Prenada Media Group, cet. I, 2012.
A. Masyur
Effendi, Bunga Rampai Teori Hukum,
Hubungan Filsafat Hukum dan Teori Hukum, (Jakarta, 2004)
Koesnoe, Moh, 1979, Catatan-catatan Terhadap Hukum Adat Dewasa
Ini, Surabaya. Airlangga University Press.
Surojo Wignjodipuro, 1982, Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat. Jakarta,
PT. Agung.
Surpha, I Wayan, 2002, Seputar Desa Pakraman dan Adat Bali, Denpasar,
Bali Post.
Suyud Margono, 2000, ADR dan Arbitrase, Proses Pelembagaan dan
Aspek Hukum. Jakarta, Ghalia Indonesia.
Achmad Gunaryo, “Konflik dan Pendekatan Terhadapnya”, dalam buku
M. Mukhsin Jamil, (ed.), Mengelola Konflik Membangun Damai, Semarang:WMC IAIN
Walisongo, 2007.
Amin Ramly, “Legitimasi Kekuasaan Pemerintah dan Adat (Studi
tentang Ketaatan Masyarakat Desa terhadap Pemerintah dan Adat) di Kec. Seram
Barat Kabupaten Seram Bagian Barat”, paper diskusi “Legitimasi Kekuasaan
Pemerintah dan Adat”, 14 Agustus 2008.
Pedoman Umum Adat Aceh: Peradilan dan Hukum Adat, Banda Aceh: MAA
Provinsi NAD, 2008.
Abbas
Syahrizal. 2009. Mediasi dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan
Hukum Nasional. Pranada Media Grup, Jakarta.
Adinugroho Susanti. 2008. Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen
ditinjau dari Hukum Acara Perdata serta Kendala Implementasinya. Kencana,
Jakarta. Arikunto Suharsmini. 1993. Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan
Praktek. Bumi Aksara, Jakarta.
Gatot Soemartono. 2006. Arbitrase dan Mediasi di Indonesia. PT.
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Rasaid Nur. 2003. Hukum Acara Perdata. Sinar Grafika,
Jakarta.
Rahardjo Sujipto. 2006. Ilmu Hukum. Citra Aditya Bakti,
Bandung.
Manan, Bagir, 2006, Mediasi
sebagai alternatif Menyelesaikan Sengketa, Majalah Hukum XXI,No. 248Juli 2006.
[1] Lili Rasjidi dan Putra Wiyasa dalam buku ”Hukum
sebagai Suatu Sistem” Remaja Rosda Karya, Bandung, 1993 mengatakan,
dalam konteks sistem hukum, ilmu hukum
dibicarakan sebagai penjabaran, pengujian, dan pengembangan teori-teori
hukum yang berasal dari komponen filsafat hukum. Tujuan dari penjabaran dan
pengembangan itu berkaitan dengan dimensi-dimensi ontologi, epistemologi, dan
dimensi aksiologi. Dalam kaitannya dimensi yang terakhir, ilmu hukum dipandang
sebagai suatu kesatuan dengan pendidikan hukum. Fungsi utamanya adalah sebagai
media penghubung antara dunia rasional (Sollen)
dan dunia empiris (Sein). Fungsi ini
mungkin diperankan oleh ilmu hukum dan pendidikan hukum, adalah karena
kelebihan yang dimilikinya, yaitu dimensi rasional dan dimensi empiris dan ilmu
hukum. Melalui kedua dimensi ini, ilmu
hukum dan pendidikan hukum dapat menghubungkan dunia filsafat dengan dunia
kenyataan dengan cara membangun konsep-konsep hukum.
[2] Ahmadi Hasan, “Penyelesaian Sengketa Hukum Berdasarkan Adat Badamai pada
Masyarakat Banjar dalam Kerangka Sistem Hukum Nasional”, Disertasi,
Pascasarjana FH UII, 2007, hlm. 117
[3] Ahmad Bahruni, “Penyelesaian Tindak Pelanggaran Lalu-Lintas Secara
Kekeluargaan, sebuah Tinjauan Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif ”, dalam
Ahmadi Hasan, “Penyelesaian Sengketa Hukum Berdasarkan Adat Badamai pada
Masyarakat Banjar dalam Kerangka Hukum Nasional”, Disertasi, Pascasarjana S3
Program Doktor Ilmu Hukum, Universitas Islam Indonesia, 2007, hlm. 299
[4] Ibid. 300
[5] Biaya perawatan atau pengobatan sesuai dengan
kesepakatan badamai mulai dari Rp 150.000,00
[6] Biaya uang duka sesuai dengan kesepakatan badamai
paling besar Rp 7.500.000,00
[7] Al Yasa’ Abubakar, “Islam, Hukum dan Masyarakat di Aceh Tajdid Syari’at
Dalam Negara Bangsa”, Seminar: First International Conference of Aceh and
Indian Ocean Studies, penyelenggara Asia Risearch Institute, National
University of Singapore and Rehabilitation and Construction Executing Agency
for Aceh and Nias (BRR), Banda Aceh, Indonesia. 24-27 Februari 2007, hlm. 3
[8] Syahrizal dan Agustina Arida, “Pola Penyelesaian Konflik dalam Tradisi
Masyarakat Gampong Aceh”,
Jurnal Seumikee, Volume II, 2006, Aceh Institute,
hlm. 7.
[9] Ibid.
[10] Ibid.
[11] Ibid.
[12] Perangkat peusijuek berupa: nasi ketan kuning, kelapa gongseng gula
merah (ue mierah), ayam panggang, tumpoe (tepung yang telah diaduk dengan gula
merah yang digongseng), daun senijuek, daun ilalang (naleung samboe), padi
dicampur beras, air tepung/air bunga, air putih, air cuci tangan dan kemenyan.
Untuk penyelesaian kasus pembunuhan ditambah lagi dengan kain putih dan
pedang/rencong di dalam sarung. Bahkan di beberapa daerah
tertentu ditambah lagi dengan pemberian uang sekitar 2
juta sampai 5 juta rupiah.
[13] Peumat jaroe, berjabat tangan. Dalam proses peumat jaroe, pihak yang
menfasilitasi mengucapkan kata-kata khusus seperti: “Nyoe kaseb oh no dan bek
na deundam le. Nyoe beujeut keujalinan silaturrahmi, karena nyan ajaran agama
geutanyoe” yang artinya: Masalah ini cukup di sini dan jangan diperpanjang
lagi. Bersalaman ini diharapkan menjadi awal dari jalinan silaturrahmi antara
anda berdua, sebab ini ajaran agama kita.
[14] Ibid.
[15] Ibid.
[16] Ibid.
[17] Ibid.
[18] Masyarakat Aceh menganggap belum sempurnanya penyelesaian konflik tanpa
ada prosesi peusijuek dan peumat jaroe. Oleh karenanyaUpacara peumat jaroe
disaksikan oleh banyak orang yang diundang pada acara kenduri dan peusijuek.
Urutan kegiatan adalah peusijuek, peumat jaroe dan makan bersama (kenduri).
[19] Tidak perlu ada keterkaitan dengan batas administratif, namun dalam
praktek sebuah kedamangan biasanya mencakup wilayah kecamatan. Di bawah damang
pada tingkat desa atau kelurahan ada perangkatnya, yang dikenal sebagai mantir
atau let adat. Di atas damang, pada tingkat kabupaten terdapat Koordinator Adat
Wilayah, yang dipilih dari para damang sendiri.
[20] Peri Umar Farouk, et.al, “Kembali ke Masa Depan: Otonomi Daerah dan
Kebangkitan Adat yang Tidak Pasti.” hlm. 4 <http://www.justiceforthepoor.or.id/
documents/publikasi/vja-kalteng.pdf>, diakses 17 Oktober 2014, pukul 09.00
wib.
[21] Ibid., hlm. 1
[22] Ibid., hlm. 2
[23] Ibid., hlm. 7
[24] Ibid., hlm. 10
[25] Peri Umar Farouk, et al., “Mekanisme Penyelesaian Sengketa Informal di
Kabupaten Buru, Kota Ambon dan Kabupaten Maluku Tengah”,
<http://www.justiceforthepoor.or.id/ documents/publikasi/vja-ambon.pdf>,
diakses 6 November 2014, 11:10
[26] Pengertian raja dalam hukum adat maluku adalah orang yang memimpin suatu
Negeri atau Desa baik yang menduduki jabatan tersebut turun-menurun maupun
dipilih secara Demokratis. Peri Umar Farouk, et al., “Mekanisme Penyelesaian
Sengketa...” Ibid.
[27] Peri Umar Farouk, et al., Loc. Cit.
[28] Ibid.
[29] Ibid.
[30] Ibid.
[31] Ibid.
[32]Ibid.
[33] Peri Umar Farouk, et. al, “Wet Tu Telu: Peluang Membangun Peradilan di
Tingkat Desa”, <http:// www.justiceforthepoor.or.id/documents/publikasi/vja-ntb.pdf>
diakses 9 November 2014, 11:15 WIB.
[34] Ibid.
[35] Upaya penyelesaikan sengketa oleh masyarakat adat selaku mediator ada
yang memformalkan menjadi bagian dari struktur pemerintahan di desa dan
mengakuinya secara informal, yakni tanpa memasukkannya dalam struktur
pemerintahan desa.
[36] Ibid., hlm 8
[37] Ibid., hlm. 9. Biasanya yang datang adalah orang yang berhubungan
langsung dengan kasus, dengan didampingi oleh keluarganya atau yang dianggap
sesepuh keluarga yang bersangkutan
[38] Ibid.
[39] Ibid., hlm. 10
Tradisi Masyarakat Lamaholot, di Flores NTT”, Disertasi, PDIH Undip,
2006, hlm 240.
[41] Ibid., hlm. 295-296
[42] Ibid.
[43] Ibid., hlm. 301
[44] Ibid., hlm. 303
[45] Ibid., hlm. 306
[46] http. law.uii.ac.id/images/stories/CV%20Dosen/jawahir%20thontowi.pdf,
diakses pada 09 November 2014, pukul 13.45 WIB.
[47] Keebed Von Benda-Beckmann, The Broken Stairways to
Consensus (Village Justice and State Courts in Minangkabau), Foris
Publications, Holland, 1984, hal : 4
[48] Lihat
antara lain, Deborah Macfarlane, Victim-Offender Mediation in France , http://www.
Mediation conference.com.au/2006_Papers/Deborah%20Macfarlane%20-%20VICTIM%20OFFENDER
%20MEDIATION%20 IN%20 FRANCE1.doc ; Christa Pelikan. On Restorative Justice, www.
restorativejustice.org/resources/docs/pelikan; Dieter Rössner, Mediation as a Basic Element of Crime Control: Theoretical and
Empirical Comments, wings.buffalo.edu/
law/bclc/bclrarticles/3(1)/roessner.pdf ; Tony Peters, in colla-boration
with Ivo Aertsen, Katrien Lauwaert and Luc Robert : From Community Sanctions
To Restorative Justice, The Belgian Example, www.unafei.or.jp/english/pdf/PDF_rms/
no61/ ch12. pdf
[49] Ibid.
[50] http. repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/.../1/ppgb_2006_runtung.pdf,
diakses pada tanggal 7 November 2014, pukul 08.45 Wib.
[51] http. journal.walisongo.ac.id/index.php/wali/article/view/95/9,
diakses pada 10 November 2014, pukul 17.45 Wib.
[52] Ibid.
[53] http. reza-rahmat.blogspot.com/.../hukum-adat-di-dalam-hukum-formil.htm,
diakses pada tanggal 06 November 2014, pukul 18.00 Wib.
[54]
Bappenas/World Bank (1996) Law Reform in
Indonesia, Cyber Consult: Jakarta, hal. 130.
[55]
Mahkamah Agung RI (2003), Cetak Biru Pembaruan
Mahkamah Agung: Jakarta, hal 161.
[56] Sehubungan dengan
keuntungan ekonomis atas peradilan non-negara, penelitian di Colombia
menyimpulkan bahwa dengan
menggunakan sistem peradilan
non-negara untuk menyelesaikan sengketa tanah dan warisan, pendapatan yang
didapatkan lebih besar dari pada menggunakan pengadilan (formal): lihat Edgardo
Buscaglia (2001) ‘Justice and the Poor. Formal vs. Informal Dispute Resolution
Mechanisms’ Makalah dipaparkan di Empowerment, Opportunity and Security
through Law and Justice Conference, St. Petersburg, July 2001, hal. 9 &
10.
[57] Penyelesaian
sengketa adat di Kalimantan Tengah adalah pengecualian. Biaya pencatatan
kasus dalam kasus pekelahian pasar adalah Rp 600,000. Dalam kasus pembunuhan
(tidak terencana), Dewan Adat membebankan biaya Rp 6 juta.
Imam Sudiyat, Peran Pendidikan...., hlm. 5.
[59] Ibid.
[60] http. altri.ac.id/publikasi/suara-dosen/97-mediasi-penal-dan-peradilan-adat, diakses pada tanggal 08 November 2014,
pukul 21.00 Wib.
[61] Ibid.
[62] ibid
Komentar
Posting Komentar