“Out Of Court Settlement“



Mempelajari Keteraturan, Menjumpai Ketidakteraturan:
Penyelesaian Sengketa “Out Of Court Settlement
Menurut Kearifan Lokal


                 
“ Disinilah letak tragedi hukum modern, hukum yang semakin jauh dari keadilan masyarakat “
“Selama ini cara berhukum yang dianut telah membelenggu dan seolah-olah tidak bisa keluar dari persepsi hukum sebagai berhukum secara universal “
“ Sudah saatnya  mengajarkan keteraturan dan menemukan ketidakteraturan yang ada, dengan ini Hukum yang progresif diharapkan mampu membantu keluar dari kungkungan cara berhukum yang sudah dianggap baku“
_ (Satjipto Rahardjo)


 

I.    PENDAHULUAN
       I. a.      Latar Belakang
Melalui sejarah hukum dapat diketahui bahwa hukum yang mula pertama berlaku dan merupakan pencerminan kesadaran hukum rakyat Indonesia ialah kearifan lokal hukum adat. Masyarakat Indonesia dikenal pada dasarnya berorientasikan pada nilai budaya kekeluargaan, mengedepankan asas musyawarah mufakat untuk menyelesaikan suatu sengketa dalam suatu sistem sosial. Jalur musyawarah merupakan jalur utama yang digunakan masyarakat hukum adat dalam menyelesaikan sengketa, karena dalam musyawarah akan dapat dibuat kesepakatan damai yang menguntungkan kedua belah pihak.
     Sebelumnya diketahui telah diatur adanya aturan PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang Mediasi yang berakar dari semangat Pasal 130 HIR dan Pasal 154 Rbg, semangat penanganan peradilan yang cepat, murah, akses pemuas rasa keadilan hingga sebagai instrumen efektif penumpukan perkara. Termasuk didalamnya dijelaskan pula jenis mediasi apa saja yang dapat dilakukan serta penyelesaian sengketa atau perdamaian diluar pengadilan.
     Pada dasarnya perdamaian dalam adat istiadat maupun hukum adat tidak terbatas pada sengketa perdata, Perdamaian juga lazim dalam perbuatan (perkara) yang bersifat kepidanaan. Tidak jarang suatu perbuatan pidana diselesaikan secara kekeluargaan. Dimasa dahulu, peran penting mendamaikan dilakukan oleh ketua adat atau kepala adat, kepala kaum atau kepala-kepala kerabat. Dalam prakteknya, perdamaian dilakukan oleh atau dihadapan kepolisian atau pejabat pemerintah lain.
      Pelaksanaan penyelesaian sengketa “Out Of Court Settlement dalam sistem hukum Indonesia selain didasarkan pada kerangka peraturan perundang-undangan negara, juga dipraktikkan dalam penyelesaian sengketa dalam lingkup masyarakat adat atau sengketa-sengketa dalam masyarakat pada umumnya seperti sengketa keluarga, waris, batas tanah, dan masalah-masalah pidana seperti perkelahian dan pencurian barang dengan realtif kecil. Dimana hal ini terdapat perbedaan dalam pendekatan penyelesaian perkara menurut konsep hukum negara (state law) dan hukum masyarakat (folk law, non-state law).
       Hukum positif pada lazimnya hanya menyoroti sebagian dari tatanan yang besar, yaitu apa yang termasuk ke dalam tatanan politik, atau lebih khusus lagi tatanan yang berbasis kepada negara. Tak dapat diterima kehadiran tatanan lain yang tidak dapat dikaitkan kepada tatanan negara tersebut, meskipun jenis tatanan ini ada dan hidup dalam tatanan masyarakat. penerimaan suatu tipe tatanan lain di luar yang positif tersebut akan mengganggu kebenaran sistem rasional dari teori tersebut.
        Jika dilihat dari optik ini, maka ketiadaan atau kegagalan dari hukum positif (tatanan politik negara) berarti keambrukan bagi ‘Tatanan’. Padahal ini tidak berarti dari keambrukan seluruh tatanan yang besar. Karena itu, ketika hukum negara tidak dapat memberikan pengayoman kepada masyarakat, orang akan bingung dan kehabisan cara (dan kata), yang lantas menyalahkan hukum sebagai biang keladi kemunduran negara ini. Tentu hal ini disebabkan karena pandangan sempit masyarakat yang menganggap hukum negara adalah satu-satunya pemegang legitimasi sebagai ‘hukum’, sehingga apabila hukum negara gagal bekerja, ‘hukum’ (dalam arti luas dan sebenarnya) adalah ketidakaturan itu sendiri. 
Banyak pihak terjebak dengan keanekaragaman adat dan budaya di Indonesia termasuk beragam pula aplikasi dan pengaturannya. Lantas adat manakah yang berhak diadopsi pada hukum nasional? Apakah hukum  adat tersebut telah mewakili semua adat? Apakah hukum adat layak dipositifkan? Bagaimana dan seperti apa proses menjadikan hukum adat sebagai dasar pembuatan hukum positif? Sejauhmana benturan antara sistem hukum nasional (formal) dan kearifan lokal (Informal) terjadi? Bagaimana pengaturan persinggungan antara sistem hukum nasional (formal) dan kearifan lokal (Informal)?

 I. b. Ruang Lingkup dan Rumusan Masalah
      Mengingat luasnya wilayah Indonesia dan beranekaragamnya masyarakat adat di Indonesia, dalam karya tulis ini, kami Tim Penulis sengaja memfokuskan beberapa pertanyaan-pertanyaan tersebut diatas dalam bentuk pokok permasalahan sebagai berikut:

1.   Bagaimana mekanisme penyelesaian sengketa menurut kearifan lokal pada beberapa masyarakat adat seperti; Masyarakat Adat Padang, Banjar, masyarakat adat Dayak di Kalimantan Tengah, masyarakat adat Aceh, masyarakat adat Ambon/Maluku, masyarakat adat Lombok Utara, masyarakat adat Lamaholot di Flores Nusa Tenggara Timur, masyarakat Adat Takalar, Sulawesi Selatan ?
2.   Bagaimana eksistensi kearifan lokal dalam menyelesaikan sengketa “Out Of Court Settlement“ untuk melahirkan keadilan dalam hukum nasional Indonesia?

I. c. Maksud dan Tujuan
      Penulisan karya tulis ini sengaja disusun selain untuk pemenuhan tugas mata kuliah Mediasi Hukum adalah untuk mengetahui lebih dekat sejauh mana implementasi penyelesaian sengketa “Out Of Court Settlement“ menurut kearifan lokal dalam upaya melahirkan hukum berkeadilan di Indonesia. Di samping itu, tulisan ini diharapkan diharapkan dapat pula  menjadi  masukan  bagi pembaharuan  dan pengembangan ilmu[1] hukum.
II.          PEMBAHASAN
II.a. Penyelesaian sengketa menurut kearifan lokal pada Masyarakat Adat di Indonesia

1. Mekanisme penyelesaian sengketa menurut kearifan lokal Masyarakat Adat Padang.

            Kerapatan Adat Nagari (KAN) merupakan lembaga adat tertinggi di nagari, tempat berhimpunnya penghulu di nagari yang disebut Ninik Mamak. Lembaga adat ini keberadaanya seiring dengan berdirinya suatu nagari dengan nama yang berbeda-beda di masing-masing nagari. Keberadaan Kerapatan Adat Nagari sangat penting artinya, karena selain, mengurus, memelihara dan mengatur pemanfaatan tanah ulayat nagari, di samping itu Kerapatan Adat Nagari berperan untuk menyelesaikan sengketa tanah ulayat suku atau kaum. Ada berbagai pendapat yang berkembang dalam masyarakat tentang penyelesaian sengketa tanah ualat, ada yang berpendapat sebaiknya sengketa tanah ulayat cukup diselesaikan oleh KAN setempat, putusan KAN mengikat kedua belah pihak.
            Perkara tersebut tidak perlu diajukan ke pengadilan, sebab pandangan mereka berperkara ke pengadilan kedua belah pihak akan rugi, seperti petua orang tua-tua, nan kalah jadi abu, nan menang jadi baro. Di lain pihak menyatakan bahwa sengketa tanah ulayat terlebih dulu diselesaikan oleh KAN setempat, apabila para pihak yang bersengketa tidak merasa puas, dapat mengajukan ke pengadilan. Adapula yang berpendapat, sengketa tanah ulayat tak perludiselesaikan oleh KAN setempat, para pihak langsung mengajukan ke pengadilan, alasan mereka berdasarkan pengalaman. Perkara tanah ulayat, yang diajukan ke KAN, biasanya KAN tidak mau menyelesaikannya. Pada saat itu ada pula himbauan dari ketua Pengadilan Tinggi Sumatera Barat agar setiap penyelesaian masalah sengketa adat, tanah ulayat dan sebagainya yang berhubungan dengan adat istiadat Minangkabau di Sumatera Barat seharusnya diselesaikan oleh KAN terlebih dahulu sebelum dibawa ke pengadilan negeri. Namun imbauan ini kurang diperhatikan oleh masyarakat nagari sehingga imbauan ini juga tidak berjalan sebagaimana mestinya yang berakibat kepada lemahnya fungsi KAN dan ninik mamak di Minangkabau, entah apa dan siapa yang salah kita juga tidak tahu.
Perda Nomor 2 Tahun 2007 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Nagari mengatakan “Kerapatan Adat Nagari yang selanjutnya disebut KAN adalah Lembaga Kerapatan dari ninik mamak yang telah ada diwariskan secara turun temurun sepanjang adat dan berfungsi memelihara kelestarian adat serta menyelesaikan perselisihan sako jo pusako”. Di samping itu yang lebih berkembang dalam menyelesaikan sengketa atau perkara zaman dahulu adalah lebih mengedepankan kearifan lokal yaitu budaya malu di tengah masyarakat. Apabila seorang warga melakukan kesalahan seperti pencurian yang malu tidak si pencuri itu saja, tetapi seluruh sanak familinya juga turut menanggung malu, apalagi kalau ada peristiwa perzinaan. Hal ini merupakan aib yang luar biasa dan peristiwa yang tidak dapat di maafkan, bahkan yang bersangkutan dapat dibuang sepanjang adat dan harus keluar dari nagari tersebut.                                                                                
Pada masa sekarang persoalan/sengketa seperti itu tetap ada dan bahkan selalu berulang-ulang atau itu ke itu saja persoalan yang terjadi di nagari (masalah ulayat, sako jo pusako, gala mamak kaum dan sebagainya), tetapi penyelesaiannya pada saat sekarang ini jarang sekali diselesaikan di KAN, tetapi sudah langsung saja ke pengadilan negeri, Biasanya bila terjadi persengketaan sako jo pusako dan tanah ulayat di masyarakat mereka langsung menyelesaikannnya ke pengadilan negeri. Padahal sebelum dibawa ke pengadilan negeri alangkah baiknya diselesaikan di tingkat nagari melalui KAN. Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 2 Tahun 2007 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Nagari pada bab VII, Pasal 19 ayat (1 dan 2) yang berbunyi:
1.      Lembaga Adat Nagari berfungsi menyelesaikan sengketa sako dan pusako menurut ketentuan sepanjang adat yang berlaku di Nagari, dalam bentuk Putusan Perdamaian.
2.      Bilamana tidak tercapai penyelesaian sebagaimana tersebut pada ayat (1) pasal ini, maka pihak-pihak yang bersangkutan dapat meneruskan perkaranya ke Pengadilan Negeri.
            Namun, aturan tersebut tidak begitu diterapkan, karena sering putusan Kerapatan Adat Nagari tersebut mengenai persoalan sengketa tanah pusaka tinggi tidak memuaskan salah satu pihak yang bersengketa. Disamping hal tersebut, ada beban bagi hakim yang akan mengadilli sengketa harta pusaka tinggi, yaitu beban untuk memahami tentang seluk beluk adat Minangkabau terkait dengan tanah Pusaka Tinggi. Pemahaman hakim terhadap hukum adat minangkabau terhadap kedudukan harta pusaka tinggi tersebut akan terlihat dalam pertimbangan hakim sebelum memutuskan sebuah sengeta. Dengan demikian, nilai dan norma yang terkandung dalam hukum adat Minangkabau terkait dengan tanah pusaka tinggi menjadi bahan pertimbangan hakim dalam setiap perkara sengketa harta pusaka tinggi yang diputuskan dalam sidang pengadilan perdata di Pengadilan Negeri Padang Panjang. Dalam prakteknya dapat dilihat bahwa menjadi penyebab adalah sebagai berikut :
1.      Putusan Kerapatan Adat Nagari (KAN) dalam memutuskan sengketa harta pusaka tinggi tidak mempunyai kekuatan mengikat dan tidak dapat dipaksakan pelaksanaannya. Karena tidak terdapat lembaga yang mempunyai kekuatan untuk melaksanakan putusan tersebut.

2.      Anjuran oleh Putusan Kerapatan Adat Nagari (KAN) dalam memutuskan sengketa harta pusaka tinggi untuk meneruskan penyelesaian harta sengketa pusaka tinggi ke Pengadilan Negeri Padang Panjang.

3.      Adanya pernyataan bahwa tidak mengakui putusan KAN karena tidak adanya persidangan dan permasalahan gelar sako yang berimbas pada permasalahan hak dalam pengelolaan tanah pusaka tinggi hal tersebut terdapat dalam putusan Perdata Nomor 07/Pdt.6/2007/PN.PP, dimana tergugat mempertanyakan keabsahan gelar sako terhadap mamak kepala waris yang berdampak hak dalam pengelolaan tanah pusaka tinggi.

4.      Kewenangan Pengadilan Negeri untuk menyelesaikan perkara Tanah Pusaka Tinggi hal tersebut dilihat putusan Perdata Nomor 07/Pdt.6/2007/PN.PP bahwa hakim mempertimbangkan bahwa gugatan mengenai harta pusaka tinggi kaum di daerah Minangkabau harus dilakukan oleh mamak kepala waris dalam kaum guna mewakili kaum di muka Pengadilan sebagaimana diatur dalam yurisprudensi Mahkamah Agung tertanggal 9 November 1977 No. 1646 K/Sip/1977 dan yurisprudensi Mahkamah Agung tertanggal 29 Maret 1978 Nomor 139 K/Sip/1978. Dasar yurisprudensi tersebut membuka peluang bagi hakim menyidangkan mengenai tanah pusaka tinggi.

            Permasalahan dalam penyelesaian sengketa tanah pusaka tinggi di Pengadilan Negeri Padang Panjang adalah bahwa ketentuan Pasal 19 Peraturan Daerah Sumatera Barat Nomor 2 Tahun 2007 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Nagari yang menyebutkan bahwa Kerapatan Adat Nagari 9  adalah penyelesaian dalam permasalahan sengketa adat, namun karena tidak terdapat kepuasan bagi pihak yang bersengketa, maka ada yang menggugat ke Pengadilan Negeri Padang Panjang.
Penyebabnya adalah Putusan Kerapatan Adat Nagari (KAN) tidak mempunyai kekuatan mengikat dan tidak dapat dipaksakan pelaksanaannya, terdapat Anjuran oleh Putusan Kerapatan Adat Nagari (KAN) dalam memutuskan sengketa harta pusaka tinggi untuk meneruskan penyelesaian harta sengketa pusaka tinggi ke Pengadilan Negeri Padang Panjang. Sedangkan Penyelesaian sengketa tanah pusaka tinggi di Pengadilan Negeri Padang Panjang dilakukan dengan terlebih dahulu melaksanakan mediasi yang secara umum telah berjalan sesuai dengan prosedur yang berlaku yaitu Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang prosedur Mediasi di pengadilan. Namun, sebagian besar perkara perdata yang masuk tidak berhasil didamaikan melalui proses mediasi, hingga pengadilan negeri Padang Panjang melanjutkan proses pada persidangan.
Hukum nasional sendiri mengakui bahwa berlakunya hukum sebuah hukum adat jika pada kenyataannya masih ada dan berlaku. Sedangkan dalam penjelasan Pasal 19 ayat (1) Perda Nomor 2 Tahun 2007 yang  berbunyi  adalah :
“Penyelesaian sengketa menyangkut sako dan pusako diupayakan musyawarah dan mufakat menurut ketentuan yang berlaku sepanjang adat. Upaya penyelesaian sengketa dilaksanakan secara berjenjang baik bertangga turun yang dimulai dari tingkat kaum, suku dan terakhir pada tingkat Lembaga Adat Nagari.”
Dengan demikian, maka lembaga adat mendapatkan tempat tersendiri dalam penyelesaian beberapa persoalan yang menyangkut masalah sengketa dalam ruanglingkup adat. Dalam tataran hukum nasional, mengenai tanah pusaka tinggi yang dapat digolongkan sebagai hak ulayat masyarakat adat diakui melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok Agraria. Pasal 3 menyebutkan : “Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksananan hak ulayat dan pelaksanaan hak-hak serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasioanal dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi”. Namun dalam kenyataannya, masih banyak terdapat gugatan-gugatan perkara tanah pusaka tinggi pada pengadilan negeri seperti pada pengadilan Negeri Padang Panjang.
Dalam harta pusaka tinggi, sering terjadi perselisihan atau persengketaan dalam suatu kaum yang mana harta pusaka tinggi tersebut dijual tanpa sepengetahuan kaumnya. Sebab di dalam adat Miuangkabau harta pusaka tinggi merupakan martabat dan harga diri dari suatu kaum, maka dari itu apabila terjadi penjualan harta pusaka tinggi sama halnya menghilangkan salah satu dari daerah suatu kaum atau suku, akhirnya mengurangi ulayat atau nagari. Penggunaan harta pusaka dalam hubungannya dengan kepentingan yang mendesak adalah sebagai berikut Rumah Gadang Katirisan (memperbaiki rumah gadang), Gadih Gadang Balum Balaki (perempuan besar belum bersuami), maiktabujua ditangah rumah (mayat terbujur ditengah rumah) Mambangkik Batang Tarandam (Membangkit Batang Terendam). Dalam hal ini akan di kaji mengenai faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya sengketa harta pusaka tinggi di kota Padang, cara yang dilakukan untuk menyelesaikan sengketa harta pusaka tinggi, keberhasilan Kerapatan Adat Nagari (KAN) di kota Padang daIam menyelesaikan sengketa harta pusaka tinggi serta upaya pemerintah kota Padang untuk memaksimalkan fungsi KAN dalam menyelesaikan sengketa. Untuk mengkaji pennasalahan tersebut, penelitian ini bersifat deskriptif analitis. Lokasi penelitian ini di kota Padang. Populasi dalam penelitian ini adalah orang-orang yang terkait dengan sengketa harta pusaka tinggi atau pihak-pihak yang bersengketa yang berada di Kecamatan Pauh, dan sebagai sampel diambil 20 orang, dan untuk melengkapi data tersebut diperlukan tambahan informasi dari nara sumber lainnya seperti Ketua, Sekretaris dan Ketua Bidang Perdamaian Adat KAN PauhV, 3 orang alim ulama dan 5 orang ninik mamak dengan teknik purposive sampling, dan data yang diambil adalah data primer melalui wawancara dan data sekunder melalui studi kepustakaan. Hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa faktor penyebab timbulnya sengketa ada 2, yaitu faktor Internal meliputi praktek administrasi pagang gadai ala adat Minangkabau yang tidak sesuai dengan tuntutan adrninistrasi sekarang, pola hubungan sosial mamak-kemenakan yang mulai menunjukkan kelonggaran, sedangkan factor Eksternal meliputi peningkatan dan pengembangan pembangun fisik, pendidikan sosial, ekonomi yang ada di Kanagarian Pauh V, khususnya sejak kota Padang memperluas cakupan wilayahnya ke Kanagarian Pauh V, semakin bertambahnya jumlah penduduk di Kanagarian Pauh V, sementara luas tanah yang ada tidak mengalami penambahan. Penyelesaian sengketa harta pusaka tinggi di Minangkabau diselesaikan secara berjenjang naik bertangga turun, mulai dari lingkungan kaum, lingkungan suku dan nagari, bila pada tingkat suku tidak terdapat penyelesaian dapat dilanjutkan ke tingkat kerapatan adapt nagari (KAN) kepada salah satu pihak yang berperkara yang merasa dirugikan supaya dapat dilanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi/ke Pengadilan Negeri. Dalam menyelesaikan suatu sengketa. KAN berbentuk perdamaian, musyawarah dan mufakat sepanjang adat yang berlaku dengan mempedomani silsilah ranji/ranji suku dan kaum yang bersengketa, Dalam menyelesaikan sengketa kerapatan adat nagari dilakukan dengan aturan atau cara yaitu : musyawarah, mufakat, langsung pada pokok sengketa, lebih menerapkan hukum adat. Dengan terciptanya perdamaian tersebut, maka jumlah perkara perdata yang rnaju ke Pengadilan makin berkurang. Untuk meningkatkan kemampuan anggota kerapatan adat nagari (KAN) dalam menyelesaikan sengketa maka diadakan penataran, pelatihan-pelatihan dan fasilitasi secara umum. Disarankan dalam hal menjual, menggadaikan dan mensertifikatkan tanah harta pusaka tinggi haruslah dengan izin dan diketahui oleh seluruh anggota kaum agar jangan sampai terjadi kesalahpahaman yang bisa menimbulkan persengketaan. Diharapkan pada pemerintah agar menertibkan pedoman resmi tentang hukum acara perdata yang menjadi pegangan oleh setiap anggota KAN dalam menyelesaikan perkara, kalau keputusan KAN tidak diterima oleh salah satu pihak yang berperkara dan gugatannya dilanjutkan ke Pengadilan Negeri, untuk meningkatkan pelaksanaan penyelesaian perkara oleh kerapatan adat nagari (KAN) disarankan agar meningkatkan pengetahuan dan penguasaan hukum adat oleh anggota KAN yang bersangkutan dan yang lebih penting lagi adalah bagi pihak pemerintah hendaknya memberikan bantuan pelatihan, penataran dan bantuan dana yang Iebih dari tahun-tahun sebelumnya, perlunya suatu program yang terencana baik jangka pendek maupun jangka panjang sehubungan untuk meningkatkan upaya dan kemampuan KAN dan bekerja sama dengan pemerintah.
Penggunaan harta pusaka tinggi untuk keadaan mendesak dinyatakan dalam pepatah adat sebagai berikut :
“Rumah gadang katirisan Gadih gadang alun balaki Mayik tabujua ditangah rumah Mambangkik batang tarandam”. Pepatah adat tersebut dapat dimaknai bahwa penggunaan harta pusaka tinggi hanya dapat digunakan bila ada kondisi yaitu Rumah Gadang (Rumah Adat Minang) atapnya bocor atau tidak layak lagi harus diperbaiki, jika ada perempuan minang yang telah dewasa namun belum juga mempunyai suami, kondisi mayat terbujur ditengah rumah, dan untuk kepentingan mambangkik batang tarandam yaitu upaya yang akan dilakukan mengembalikan kejayaan masa lalu.
Pemerintahan Nagari tersebut membawa konsekwensi dengan adanya Walinagari sebagai pemegang kekuasaan di Nagari tersebut. disamping itu untuk persoalan sengketa yang menyangkut dengan masalah adat maka Pemerintahan Nagari dilengkapi dengan keberadaan Lembaga Kerapatan Adat Nagari atau KAN.
Kerapatan Adat nagari (KAN) merupakan lembaga kerapatan ninik mamak tertinggi yang berada di nagari. Sekarang ini ada pendapat atau keinginan untuk menjadikan KAN sebagai lembaga peradilan di nagari. Hal ini bukanlah suatu persoalan baru, tetapi merupakan salah satu tugas pokok dan fungsi dari KAN itu sendiri. Kalau KAN diaktifkan funngsinya sebagai lembaga Peradilan di nagari peran dan fungsinya juga akan lebih baik lagi ditengah masyarakat.
KAN terdiri dari beberapa unsur dalam masyarakat adat Minangkabau yaitu:
1.Para penghulu atau datuk dari setiap suku;
2.Manti, berasal dari kalangan intelektual (cerdik pandai);
3.Malin, dari kalangan alim ulama;
4.Dubalang, yang bertugas menjaga keamanan dan keselamatan warga.
Sedangkan dalam penjelasan Pasal 19 ayat (1) Perda No. 2 Tahun 2007 yang  berbunyi adalah :
“Penyelesaian sengketa menyangkut sako dan pusako diupayakan musyawarah dan mufakat menurut ketentuan yang berlaku sepanjang adat. Upaya penyelesaian sengketa dilaksanakan secara berjenjang baik bertangga turun yang dimulai dari tingkat kaum, suku dan terakhir pada tingkat Lembaga Adat Nagari.”
Penyelesaian sengketa melalui perdamaian berakar dalam budaya masyarakat. Dilingkungan masyarakat adat (tradisional) dikenal runggun adat, kerapatan adat, peradilan adat atau peradilan desa. Lembaga musyawarah, mufakat dan tenggang rasa merupakan falsafah negara yang digali dari hukum adat, dipratekkan dalam kehidupan sehari-hari. Hukum positif mengatur perdamaian ini didalam pasal 130 ayat (1) HIR.
Penyelesaian Sengketa gadai atas Tanah Harta Pusaka Tinggi Minangkabau:
a.   Pada dasarnya penyelesaian sengketa gadai atas Tanah Harta Pusaka Tinggi Minangkabau adalah Bajanjang Naiak, Batanggo Turun, yaitu:
1. Dimulai dari tingkat paruik. Pada tingkat ini permasalahan dibicarakan secara damai dan kekeluargaan dnegan dihadiri oleh masing-masing keluarga.
2. Jika tidak ada kesepakatan di tingkat paruik maka naik ke tingkat Kaum yang dipimpin oleh Mamak Kepala Waris masing-masing.
3. Jika tidak selesai juga di tingkat kaum maka naik ke tingkat Suku yang di pimpin oleh Mamak Kepala Suku/ Penghulu Suku masingmasing.
4. Namun apabila salah satu pihak yang bersengketa merasa kurang atau tidak puas dengan keputusan yang diterima pada tingkat suku itu, barulah naik ketingkat yang lebih tinggi (tingkat Nagari) yaitu KAN untuk membantu menyelesaikan sengketa tersebut.
5. Jika para pihak yang bersengketa tidak puas juga baru diajukan ke Pengadilan Negeri dan selantunya sesuai dengan ketentuan hukum nasional, yaitu jika tidak puas di tingkat Pengadilan Negeri, maka diperbolehkan Banding ke Pengadilan Tinggi, dan jika masih belum puas juga bisa mengajukan Kasasi ke Mahkamah Agung.
b.     Dalam mekanisme penyelesaian sengketa gadai atas Tanah Harta
Pusaka Tinggi Minangkabau berlaku pula ketentuan adat disebut dengan ”Adat Salingka Nagari” yaitu ketentuan-ketentuan adat di dalam suatu nagari hanya berlaku untuk nagari itu saja. Oleh karena itu berlaku pula pepatah adat ”lain ladang lain balalang, lain lubuak lain ikannyo” yang artinya adat disuatu nagari bisa saja berbeda dengan nagari lainnya, namun tidak akan jauh berbeda dari prinsip dasar adat Minangkabau.
Masyarakat adat yang akan melakukan gadai atas tanah pusaka tinggi Minangkabau, memperhatikan nilai-nilai adat yang berlaku dalam gadai tanah pusaka tinggi, dimana atas harta pusaka tinggi tidak dapat digadaikan begitu saja, namun haruslah memenuhi syarat-syarat tertentu yang telah dibenarkan secara adat. Dan juga harus memperhatikan prinsip gadai dalam adat Minangkabau yaitu tolong-menolong. Sehingga dalam melakukan gadai tidak terdapat unsur pemerasan atau menolong sambil memeras. Jangan sampai memanfaatkan kesengsaraan oranglain untuk mencari keuntungan pribadi.
Mengingat proses yang harus dilalui oleh pihak-pihak yang berperkara sangatlah panjang sehingga memakan waktu yang lama, maka untuk mengantisipasinya pihak terkait terutama KAN harus memaksimalkan perannya dalam menyelesaikan sengketa, tidak hanya mengambil putusan berdasarkan putusan ditingkat sebelumnya saja, namun baiknya KAN mengkaji kembali duduk perkara dari awal dikaitkan dengan hukum adat yang berlaku.
2.      Penyelesaian sengketa menurut kearifan lokal Masyarakat Adat Banjar.

Penyelesaian Perkara Pidana Melalui Mediasi Pidana pada Masyarakat Adat Banjar. Adat badamai adalah salah satu bentuk penyelesaian sengketa yang lazim dilakukan oleh masyarakat Banjar. Adat badamai bermakna sebagai hasil proses perembukan atau musyawarah dalam pembahasan bersama dengan maksud mencapai suatu keputusan sebagai penyelesaian dari suatu masalah Putusan Badamai yang dihasilkan melalui mekanisme musyawarah merupakan upaya alternatif dalam mencari jalan keluar guna memecahkan persoalan yang terjadi dalammasyarakat.
            Masyarakat Banjar berkecenderungan menyelesaikan sengketa melalui adat badamai. Adat badamai diakui efektif dalam penyelesaian pertikaian atau sengketa. Sekaligus untuk menghilangkan perasaan dendam.
            Adat badamai merupakan istilah bagi penyelesaian sengketa baik yang bersifat keperdataan maupun pidana. Adat badamai dalam penyelesaian sengketa pidana disebut juga dengan istilah Baparbaik dan Bapatut[2].
Menurut hasil penelitian Ahmad Bahruni dari data kecelakaan lalu lintas yang terjadi di Banjarmasin selama 1995-2000 terjadi sebanyak 43 (empat puluh tiga) perkara kecelakaan lalu lintas. Sebanyak 25 (dua puluh lima) perkara lalu lintas diselesaikan secara badamai. Inisiatif penyelesaian diambil dari pihak pelaku atau keluarganya sebanyak 17 (tujuh belas) kasus, inisiatif diambil oleh pihak korban atau keluarganya sebanyak 5 (lima) kasus, dan inisiatif dilakukan oleh pihak kepolisian bersama keluarga korban sebanyak 3 (tiga) kasus[3].
Melalui perundingan badamai maka dicapai kesepakatan secara umum dapat dibagi menjadi tiga yaitu[4]: a. Korban mendapat bantuan biaya perawatan atau pengobatan, terdapat pada 15 (lima belas) kasus[5]. b. Korban meninggal dunia, mendapat santunan berupa uang duka dari pihak penabrak, terdapat pada 6 (enam) kasus[6]. c. Korban mendapat bantuan biaya perbaikan kendaraan dan biaya perawatan, terdapat pada 4 (empat) kasus.

3.      Mekanisme penyelesaian sengketa menurut kearifan lokal Masyarakat Adat Aceh .
Penyelesaian Perkara Pidana Melalui Mediasi Pidana Pada Masyarakat Adat Aceh. Di Aceh proses penyelesaian adat dapat berbeda-beda di masing-masing kabupaten atau daerah akan tetapi terdapat kesamaan cara atau metode dalam penyelesaian sengketa. Secara umum setiap kasus akan diajukan kepada geuchik, yang terlebih dahulu akan mendorong para pihak untuk membahas persoalan tersebut mencapai kompromi melalui musyawarah. Apabila para pihak tidak mencapai kompromi barulah geuchik dan para tetua gampong lainnya akan berusaha untuk menegosiasikan kesepakatan, dan membantu para pihak untuk mencapai kesepakatan bersama. Keterangan saksi diperlukan untuk membenarkan fakta, untuk itu kejujuran para pihak sangat penting untuk mencapai hasil penyelesaian yang adil. Dalam bidang pidana ketentuan tentang qisas dan diyat disesuaikan dengan adat aceh. Penyesuaian ini misalnya sebagai berikut seratus onta dipahami sama dengan seratus ekor kerbau atau lembu, dan di dalam kenyataan hukum qisas tidak pernah dijatuhkan karena keluarga korban selalu memberikan pemaafan. Jumlah diyat walaupun pada dasarnya diakui seratus ekor lembu untuk pembunuhan sengaja, di dalam kenyataan sehari-hari pada umumnya dapat disetujui hanya dengan membayar beberapa ekor kerbau. Mengenai ta’zir dijatuhkan melalui musyawarah pimpinan gampong, jarang yang sampai pada mahkamah yang waktu itu hanya ada pada tingkat pemerintahan uleebalang dan ibu kota kerajaan. Hukuman denda atau ganti rugi pengakuan bersalah dan meminta maaf secara resmi di muka umum,dicambuk dan diusir dari gampong merupakan bentuk-bentuk hukumannya[7].
Terdapat empat pola penyelesaian konflik dalam tradisi masyarakat gampong di Aceh yaitu di’iet, sayam, suloeh dan peumat jaroe. Pola ini merupakan pola penyelesaian konflik yang menggunakan kerangka adat dan syari’at[8]. Penyelesaian konflik dengan pola di’iet ditujukan untuk menghilangkan dendam dan rasa permusuhan berkepanjangan antara para pihak bertikai yang telah mengakibatkan kekerasan dan bahkan pembunuhan. Penyelesaian konflik yang terjadi dalam komunitas masyarakat gampong, baik yang bersifat individual atau internal keluarga, antar individu maupun antar kelompok, melalui bingkai adat dan agama, ternyata dapat membawa kepada kedamaian yang abadi dan permanen[9]. Penyelesaian konflik melalui mekanisme di’iet, dilakukan pada penyelesaian kasus pembunuhan. Di’iet diwujudkan melalui kompensasi yang dibayarkan oleh pelaku pidana kepada korban atau ahli waris korban dalam kasus pembunuhan. Keuchik, teungku meunasah dan tetua gampong termasuk pemangku adat biasanya bertindak sebagai fasilitator , negosiator dan mediator dalam penyelesaian konflik melalui mekanisme di’iet. Mereka inilah yang melakukan pembicaraan-pembicaraan awal dengan ahli waris korban dan pelaku pidana atau ahli warisnya. Pelibatan keluarga besar dari para pihak menjadi sangat penting dalam pembicaraan tersebut, karena untuk menghindari dendam di kemudian hari.[10]
Keuchik, teungku meunasah dan tetua gampong memulai proses pemeriksaan kepada pelaku tindak pidana untuk dapat mengukur tingkat maaf yang diberikan oleh korban atau ahli waris korban. Jika pemaafan telah diberikan, maka para pemangku adat atau tetua gampong mengkompromikan atau bermusyawarah dengan pelaku atau ahli warisnya tentang jumlah di’iet yang harus dibayarkan oleh pelaku pidana[11].
            Selanjutnya, pelaku pidana atau keluarganya memberikan sesuatu, biasanya emas, kepada keluarga korban dan menyembelih hewan berupa sapi atau kerbau yang diprakarsai oleh imuem mukim, geuchik, dan teungku meunasah. Biasanya pembayaran di’iet dilakukan dengan suatu upacara adat yang didalamnya terdiri atas kegiatan peusijuek[12], dan peumat jaroe[13]. Keterlibatan institusi adat dan budaya dalam penyelesaian kasus pidana, bertujuan untuk menghilangkan dendam antara para pihak yang bertikai[14]. Tempat upacara pembayaran di’iet biasanya digelar di meunasah, atau di rumah korban atau dapat pula diselenggarakan di tempat lain tergantung kesepakatan para pihak yang terlibat. Penyelesaian konflik melalui mekanisme sayam dilakukan pada penyelesaian kasus di luar pembunuhan seperti penganiayaan, atau pertengkaran yang menyebabkan luka, sehingga mengalirnya darah. Sama dengan di’iet, sayam juga menggunakan mekanisme kompensasi namun kompensasi yang diberikan berupa kambing atau yang setara dengan itu[15]. Filosofi sayam bagi masyarakat Aceh bersumber dari adagium yang sudah dikenal lama yaitu “luka disipat, darah disukat”. Makna adagium ini adalah luka akibat penganiayaan atau kekerasan harus diperhitungkan, demikian pula dengan tumpahnya darah juga harus diperhitungkan. Pandangan ini mengindikasikan bahwa masyarakat Aceh betul-betul memberikan penghargaan dan perlindungan yang tinggi terhadap tubuh manusia, sebagai ciptaan Allah. Sayam merupakan bentuk kompensasi yang bertujuan untuk melindungi dan memberikan penghormatan terhadap ciptaan Allah berupa tubuh manusia. Sama halnya dengan di’iet, prosesi sayam dilaksanakan setelah para pihak yang bersengketa atau bertikai dihubungi oleh keuchik dan teungku meunasah. Apabila kedua pihak telah bersepakat baru prosesi sayam dilaksanakan di rumah korban atau di meunasah. Mengingat sayam hanya ditujukan kepada tindak pidana yang bersifat ringan, namun menimbulkan luka atau keluar darah, maka peralatan dan bahan prosesi yang harus disiapkan oleh pelaku atau ahli warisnya sama dengan di’iet, namun jumlahnya yang berbeda[16].
            Penyelesaian konflik melalui mekanisme Suloh, merupakan pola penyelesaian konflik bukan hanya untuk kasus pidana, tetapi juga untuk kasus perdata atau sengketa dalam rumah tangga. Bahkan suloh merupakan dasar dari mekanisme penyelesaian konflik melalui di’iet dan sayam jika pengakhiran konflik diwujudkan dalam islah.
            Peumat jaroe, berjabat tangan. Dalam proses peumat jaroe, pihak yang menfasilitasi mengucapkan kata-kata khusus seperti: “Nyoe kaseb oh no dan bek na deundam le. Nyoe beujeut keujalinan silaturrahmi, karena nyan ajaran agama geutanyoe” yang artinya: Masalah ini cukup di sini dan jangan diperpanjang lagi. Bersalaman ini diharapkan menjadi awal dari jalinan silaturrahmi antara anda berdua, sebab ini ajaran agama kita.
            Penyelesaian kasus melalui peumat jaroe, merupakan bagian dari penyelesaian konflik dalam bentuk di’iet, sayam, suloeh. Pada mekanisme peumat jaroe umumnya digunakan untuk menyelesaikan kasus-kasus sangat ringan. Biasanya langsung dilakukan setelah terjadi konflik oleh para tetua adat yang menguasai daerah tertentu, tanpa sampai kepada keuchik atau teungku meunasah. Penyelesaian seperti ini biasanya untuk dan cukup dengan bersalam-salaman (peumat jaroe)[17]. Bentuk aktivitas adat dan budaya yang melekat pada di’iet, sayam dan suloeh adalah peusijuek dan peumat jaroe (saling berjabat tangan). Kedua institusi ini memegang peranan penting dalam menjalin rasa persaudaraan (ukhuwah) antara para pihak yang bersengketa[18].

4.      Penyelesaian sengketa menurut kearifan lokal Masyarakat Adat Dayak di Kalimantan Tengah.
Penyelesaian Perkara Pidana Melalui Mediasi Pidana pada Masyarakat Adat Dayak, Kalimantan Tengah. Peraturan Daerah Kotawaringin Timur Nomor 15/2001 tentang Kedamangan dan Peraturan Daerah Pulang Pisau Nomor 11/2003 tentang Pembentukan Kelembagaan dan Pemberdayaan Adat Dayak, mengharuskan setiap kedamangan harus mempunyai seorang damang sebagai pemimpin[19]. Damang dan let adat-nya membentuk sebuah Dewan Adat[20].
Berdasarkan tugas tersebut maka Adat harus menjadi tempat pertama bagi resolusi damai. Damang mempunyai otoritas untuk menyelesaikan baik kasus perdata maupun pidana. Keputusan adat dianggap “mengikat” pada pihak-pihak yang terlibat, namun putusan tersebut hanya menjadi “pertimbangan” bagi aparat hukum jika suatu sengketa diproses di sistem formal. Artinya keputusan secara adat tidak mencegah tindakan hukum formal. Pengadilan bebas mengabaikan hasil resolusi secara adat.
Perkara pembunuhan di Palangkaraya, diselesaikan melalui mediasi, salah satu motivasi pelaku tindak pidana menggunakan hukum adat adalah mengurangi hukuman penjara yang dijatuhkan oleh pengadilan[21]. Selain itu dimaksudkan pula untuk memelihara kerukunan sosial, dan mediasi juga dianggap lebih murah dan lebih pasti dalam menyelesaikan konflik antara pelaku dan korban tindak pidana[22].
Ketentuan hukum adat mencakup baik kasus perdata remeh maupun tindak pidana berat seperti pembunuhan dan perkosaan. Di bawah hukum adat, jika kedua belah pihak rela, semua masalah dapat diselesaikan dengan damai melalui konsiliasi.
Ketua Dewan Adat Kabupaten Kotawaringin Timur menjelaskan proses yang ia terapkan, yang secara umum menggambarkan proses resolusi sengketa, baik secara adat maupun non-adat di Kalimantan Tengah[23]: a. Keluhan/keberatan diterima dalam bentuk tertulis atau lisan; b. Biaya perkara sekitar Rp100,000 dibayarkan kepadanya oleh pelapor. Ini mencakup makanan ringan untuk acara “persidangan” dan biaya operasional; c. Kemudian damang akan menelaah kasus, memeriksanya dahulu dengan kepala desa/let adat (jika ada) untuk melihat apakah upaya-upaya resolusi telah dilakukan di tingkat desa; d. Maka damang memanggil pihak-pihak yang terlibat dan saksi-saksi ke rumahnya untuk “persidangan”; e. Damang akan mengajukan sebuah resolusi atau membantu memediasi untuk mencapai kompromi. Jika pihak-pihak sepakat, hasil kesepakatan akan dicatat dan ditandatangani. Jika tidak, maka mereka biasanya akan merujuk masalah itu ke sistem peradilan; f. Jika ditetapkan denda berupa uang atau kompensasi, 10% dari jumlah denda dibayarkan kepada damang sebagai biaya perkara; dan g. Kesepakatan tertulis diberikan juga kepada let adat atau kepala desa sebagai alat untuk memastikan ditaatinya kesepakatan tersebut.
Selain damang, di tingkat desa, berdasarkan rasa hormat serta popularitas pribadinya, kepala desa acap dilibatkan untuk menyelesaikan perselisihan. Sebagaimana diamati seorang penghulu. Masalah pidana ringan yang dapat diselesaikan dengan perdamaian biasanya dirujuk kepada ketua RT/RW, kepala adat atau kepala desa[24].

5. Penyelesaian sengketa menurut kearifan lokal Masyarakat Adat Ambon.

            Suatu perkara pidana ringan seperti perkelahian antar pemuda di lingkungan komunitas atau penganiayaan ringan dapat diselesaikan secara informal oleh komunitas setempat, Raja atau kepala desa mempunyai posisi sentral serta memiliki peranan dan pengaruh yang besar dalam penyelesaian sengketa informal. Raja menengahi dan membantu menyelesaikan berbagai persoalan dan kasus yang ada di masyarakat. Raja pula yang berhubungan dan berkoordinasi dengan pihak kepolisian dalam kasus-kasus pidana ringan atau sengketa tanah[25].
            Di komunitas Maluku, Raja dikenal sebagai pihak pemutus akhir dalam kasus atau sengketa yang sulit ditangani[26].Kepala Dusun juga bertindak sebagai mediator dalam sengketa perdata dan pidana ringan. Namun pada umumnya, penyelesaian sengketa mulai di tingkat yang terendah yakni melalui kepala soa dan ketua RT/ RW pada wilayah yang lebih urban seperti kota Ambon, kepala dusun kemudian Raja. Tujuan utama penyelesaian sengketa secara informal adalah untuk menjaga keharmonisan dan pemulihan relasi antara masyarakat dan agar penyelesaian kasus yang ada dapat menghemat biaya dan waktu para pihak yang bersengketa.
            Sayangnya, walaupun menjadi pilihan utama, mekanisme informal ini belum menjadi bagian yang terintegrasi dari mekanisme atau sistem hukum yang didukung oleh pemerintah secara sungguh-sungguh.
Dalam keseharian dan dalam penyelesaian sengketa, seorang Raja dibantu oleh semacam dewan yang disebut sebagai “Saniri” di mana Raja sekaligus menjadi anggotanya. Apabila ada kasus yang diajukan kepada pihak Raja, maka Saniri akan memberikan dukungan baik dalam melakukan investigasi maupun dalam musyawarah yang dilakukan. Namun sebagian besar keputusan dan kata akhir tetap berada di tangan Raja.
Adapun urutan proses penyelesaian sengketa di tingkat komunitas sebagian besar mengikuti alur berikut:[27] a. Pengaduan masuk ke pihak aktor penyelesai sengketa (misalnya Raja, tokoh agama atau tokoh masyarakat). Di tingkat desa atau Negeri, ada juga kasus yang diajukan ke Saniri Negeri terlebih dahulu sebelum diajukan ke pihak Raja; b. Apabila kasus adalah pidana berat, maka diajukan ke pihak Kepolisian; c. Para pihak dipanggil dan diwawancara dalam suatu pertemuan terbuka. Untuk tingkat desa/negeri, biasanya juga dihadiri oleh Saniri Negeri; d.Raja/tokoh agama/tokoh masyarakat kemudian menganalisa kasus dan hasil wawancara; e. Untuk kasus tanah, Raja akan meminta bantuan pihak Saniri terutama dalam melakukan investigasi; f. Raja memanggil para pihak untuk mengambil putusan sekaligus bernegosiasi mengenai sanksi nya. Apabila para pihak sepakat dengan hasil nya, maka biasanya ditulis suatu Berita Acara sederhana yang ditandatangani oleh para pihak; g. Apabila para pihak tidak puas terhadap proses penyelesaian yang ada, maka mereka dapat menempuh jalur pengadilan.
Proses penyelesaian dilakukan berdasarkan kesepakatan para pihak korban dan pelaku, hal ini ditegaskan oleh Raja Hative Kecil : “Kita harus minta persetujuan dari pihak korban”. Hal yang sama juga disampaikan oleh Raja Asilulu, “Raja tidak bertindak seperti pengadilan, kita menggunakan pendekatan kekeluargaan. Namun himbauan saya jarang yang tidak dipatuhi oleh para pihak yang bersengketa”[28].
Raja berperan menjadi pendamai pihak yang bersengketa. Dengan demikian, harapannya setelah para pihak pergi dari rumah negeri atau rumah Raja, tempat di mana musyawarah dilakukan, maka komunitas setempat menjadi damai kembali. Dengan perkataan lain, kondisi komunitas yang terganggu akibat sengketa yang terjadi, kini telah dipulihkan.
Contoh kasus Perkelahian akibat pelemparan mobil angkot di Dusun Ruhua – Desa Sepa, Pulau Seram – Kabupaten Maluku Tengah, kasus terjadi pada bulan Desember 2003, bermula dari pemuda Ruhua yang pergi memetik cengkeh tapi oleh masyarakat Desa Haya para pemuda tersebut disangka sebagai anggota masyarakat Tehoru. Sejak dulu masyarakat Haya punya masalah dengan masyarakat Tehoru. Orang Haya juga menduga bahwa Halue adalah orang Tehoru. Orang Haya sempat memukuli dan melempari orang-orang Ruhua yang memetik cengkeh ini. Untuk itu, Halue dan kawan-kawan membalas dengan menghentikan mobil angkutan kota yang dimiliki oleh orang Haya dan melempari kacanya dengan batu sampai pecah berantakan. Akibatnya orang Haya melaporkan persoalan ini ke pihak kepolisian[29].
            Selanjutnya pihak polisi memfasilitasi musyawarah untuk menyelesaikan persoalan ini. Di kantor polisi juga hadir Bapak Raja Sepa dan Sekretaris Desa. Bapak Raja memberikan nasihat untuk menyelesaikan kasus ini. di ujung musyawarah, para pihak diminta untuk membayar denda dan membuat surat pernyataan damai. Halue diminta membayar Rp. 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) sebagai bentuk ganti rugi kaca mobil yang telah dipecahkan[30]. Kasus perkelahian antara tetangga di Desa Tamilou, P. Seram – Kabupaten Maluku Tengah, kasus bermula ketika seorang ayah yang kedua anaknya meninggal secara berturut-turut. Ayah menduga bahwa tetangga sebelahnya mempunyai andil atas kematian anaknya. Ia menganggap tetangga memiliki ilmu hitam sehingga menyebabkan kematian atas anaknya[31].
            Kasus sempat dibawa ke pihak polisi, namun ditarik kembali oleh aparat desa karena dianggap masih bisa diselesaikan sendiri. Musyawarah diadakan oleh pihak desa dan para pihak diminta membuat pernyataan damai. Pihak yang menuduh diminta untuk memberikan 1 bal kain putih ke pihak masjid[32].

6.            Mekanisme penyelesaian sengketa menurut kearifan lokal Masyarakat Adat Lombok Utara .
Masyarakat Lombok Utara memiliki kepemimpinan adat yang dikenal sebagai adat Wet Tu Telu. Namun semenjak dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah serta Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa kepemimpinan adat Wet Tu Telu kehilangan eksistensinya[33]. Inisiatif untuk mengembalikan eksistensi Wet Tu Telu, muncul seiring dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Desa, yakni dengan terbentuknya Persekutuan Masyarakat Adat Lombok Utara atau Perekat Ombara. Mereka mendeklarasikan keberadaannya di pertemuan besar (gundem) ke-5 tokoh-tokoh kepala desa dari 25 (dua puluh lima) desa di Lombok, 9 Desember 1999 di Desa Becingah, Kacamatan Bayan, Kabupaten Utara Lombok Barat[34]. Awalnya gerakan Perekat Ombara ini merupakan wadah keprihatinan beberapa tokoh kepala desa yang memiliki kasus sama berkenaan dengan degradasi ekosistem hutan, yang diakibatkan eksploitasi perusahaan pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Pertemuan-pertemuan selanjutnya, tidak saja hanya membicarakan masalah degradasi lingkungan, melainkan berkembang ke wacana revitalisasi adat budaya. Termasuk di dalamnya memunculkan upaya pembentukan model penyelesaian sengketa di luar institusi formal hukum yang dihadapi masyarakat[35].
Berkenaan dengan prosesnya, penyelesaian sengketa di tingkat masyarakat belum ada aturan ketat tertentu. Meski diupayakan relevan dengan hierarki pemerintahan di desa yang diurutkan mulai yang terbawah dari RT/RW kemudian Dusun lalu Desa, namun pendekatan langsung ke tingkat yang lebih tinggi sangat terbuka, akan tetapi selalu ada himbauan terlebih dahulu untuk menyelesaikannya di tingkat yang lebih rendah, RT/RW atau Dusun[36].
            Kasus-kasus yang ditangani antara lain perkelahian atau pengeroyokan, hamil luar nikah, pemidangan (apel) kepada istri orang dan perzinahan. Umumnya perkara dilaporkan oleh pelaku pada kasus perkelahian atau pengeroyokan agar tidak terjadi balas dendam. Dalam kasus yang berhubungan dengan pergaulan laki-laki perempuan, inisiatif berasal dari Ketua RT/RW, pemuka masyarakat seperti penghulu, kiyai, atau mangku adat, atau tokoh pemuda. Pengaduan/laporan bisa diberikan secara tertulis maupun lisan[37].
Penggalian informasi dari pihak pertama Pada kesempatan yang pertama informasi digali dari pengadu/pelapor atau orang yang diketahui mempunyai kasus. Di kesempatan ini, pihak yang diakses seperti RT/RW, Kadus, Kades, mempunyai hak diskresi untuk melibatkan orang lain atau tidak, terutama anggota Krama-nya (penghulu dan mangku adat) untuk mendengarkan keterangan pendahuluan. Pada kasus-kasus tertentu ada yang coba diselesaikan sendiri oleh RT/RW, Kadus, Kades tanpa melibatkan majelis yang lebih besar.
            Penggalian informasi dari pihak lainnya atau pihak lawan dilakukan, kesempatan berikutnya, selang satu sampai tiga hari, mediator penyelesai sengketa mengundang pihak lain dalam kasus yang ditangani untuk didengar keterangan serta informasinya. Di kesempatan ini pihak yang diundang ditanyakan balik tentang versi dan konfirmasi sebagaimana pengaduan/laporan orang pertama.
            Penggalian informasi dari saksi bilamana terdapat saksi atau pihak-pihak lain yang bisa menguatkan posisi kasus yang sedang ditangani, maka para saksi ini pun diundang untuk didengar keterangannya. Proses berkenaan dengan saksi sendiri bisa juga terjadi pada saat menggali keterangan dari pengadu/pelapor, saat mana para pengadu/pelapor membawa serta mereka dalam rangka menguatkan keterangannya[38].
            Mempertemukan para pihak di kesempatan ini masing-masing pihak menggemukkan secara terbuka persoalannya dan didengar langsung pihak lawannya. Di sessi ini juga bisa terjadi tanya jawab, saling mengkonfirmasi, bahkan saling silang pendapat. Di sessi ini juga semua kalangan yang berkaitan langsung dengan kejadian, seperti saksi, dihadirkan dan mengemukakan apa yang disaksikannya. Pertemuan para pihak ini lebih terfokus pada tuntutan yang dikehendaki satu pihak kepada pihak lainnya. Mediator akan memperhatikan layak tidaknya sebuah tuntutan satu pihak dipenuhi pihak lainnya.
            Pendekatan pertama para aktor biasanya memposisikan diri terlebih dahulu sebagai orang yang meminta kesepakatan pihak satu dari tuntutan pihak lainnya. Di sini ia bertindak laksana negosiator atau konsiliator. Ia mengkomunikasikan atau menawarkan kehendak pihak yang menuntut untuk dipenuhi oleh pihak lainnya.
            Perkara-perkara kriminal ringan, dapat diselesaikan cepat, seperti perkelahian, pencurian. Dalam perkara-perkara tersebut polisi menyerahkan terlebih dulu penyelesaian kepada kepala tokoh adat lingkungan[39].




7.            Mekanisme penyelesaian sengketa menurut kearifan lokal Masyarakat Adat Lamaholot di Flores Nusa Tenggara Timur .
Masyarakat lamaholot berpandangan untuk bisa menyelesaikan dengan baik kasus-kasus sengketa kriminal, institusi adat mela sareka difungsikan untuk memperbaiki relasi sosial yang rusak antara pihak[40]. Proses ritual adat perdamaian mela sareka yaitu para pihak melakukan getun liko petin pepa atau pemisahan para pihak, karena ada konflik maka harus dipisahkan sehingga mereka yang berkonflik tidak boleh bertemu dan makan bersama jika dilanggar maka akan terkena risiko adat yaitu sakit, celaka atau meninggal[41]. Ritual herun haban, acara untuk mempertemukan para pihak dan diakhiri dalam Bua Behin atau deklarasi hidup dalam damai, melalui makan minum bersama menandakan konflik telah hilang antara pelaku dan korban[42].
            Soba Sewalet ajakan damai, mediator adat dipilih dari orang-orang yang mempunyai pengaruh besar dalam suku atau kampung Pada pertikaian antar kampung maka tokoh adat yang akan menjadi mediator adalah tokoh adat netral yang tidak terlibat dalam perkelahian. Mediator akan mengupayakan gencatan senjata (leba rekat leu) menghasilkan perjanjian adat (nayu baya) agar dinamika masyarakat tidak terganggu[43]. Uku loyak gatu gatan atau rekonstruksi kebenaran, pelaku tindak pidana berbicara dari hati ke hati untuk merekonstruksi kebenaran, pihak yang merasa paling bersalah wajib memohon kepada korban untuk melakukan perdamaian[44].
            Selanjutnya baik pelaku dan korban untuk menghapus segala kesalahan yang dilakukan oleh para pihak maka baik pelaku dan korban melakukan ritual adat haput ele kirin. Selanjutnya dilakukan ritual haput nuhuka bohok weweka untuk menghapus segala kesalahan yang dilakukan melalui kata-kata. Puncaknya dilakukan melalui mela sareka yaitu menuju dunia baru penuh damai sebagai puncak ritual[45].

8. Penyelesaian sengketa menurut kearifan lokal Masyarakat Adat Sasak.

Dalam masyarakat adat Sasak jika terjadinya benturan kepentingan berkaitan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban antar sesama ahli waris, maka yang terjadi adalah sengketa pewarisan.    
            Menerima pemberian yang berupa benda yang bernilai ekonomis ataupun pemberian yang sifatnya non ekonomis (bernilai magis / supra natural), di kalangan masyarakat suku bangsa sasak tetap disebut sebagai warisan. Pemberian dari orang tua, atau kakek – nenek atau siapapun leluhur dari garis bapak atau ibu semasa hidupnya tetap dipandang sebagai penerimaan warisan yang dikenal dengan istilah “tetemuan”, sedangkan cara perolehannya itu disebut “n e m u”. Tetemuan tersebut dapat diperoleh secara langsung semasa si pemberi masih hidup dan atau setelah meninggal dunia, yang selanjutnya dipertahankan oleh si penerima bukan hanya sebagai pemberian biasa, tetapi sebagai amanah yang harus dipelihara yang selanjutnya akan diwariskan turun temurun. Sebagai contoh, jika seseorang mewarisi (nemu) sesuatu ilmu kebatinan (mantera untuk pengobatan) berikut jenis benda-benda tertentu yang dapat diracik menjadi bahan obat-obatan, biasanya disertai dengan pesan amanah tertentu misalnya harus sanggup menolong orang lain tanpa pamrih, maka akan dijalankannya dengan istiqomah (konsisten) sebab jika pesan itu dilanggar diyakini akan menerima ganjaran /balaq yang disebut “penulah”. Memperoleh melalui pewarisan (nemu), atas benda – benda tersebut, terutama benda tidak bergerak (sawah, kebon, rumah dll) atau benda-benda bergerak yang diyakini bernilai magis (keris, tombak dll) dipandang sebagai tali pengikat abadi yang diungkapkan dengan simbul “tolang daeng papuq baloq” yang artinya ibarat “tulang rusuk nenek moyang” dan berfungsi sebagai media pemersatu keluarga yang oleh karena itu tidak pantas untuk dialihkan. Prinsip-prinsip yang terkandung dalam pewarisan (adat sasak : n e m u) tersebut berlaku sebagai nilai-nilai kearifan yang harus dijunjung tinggi oleh setiap ahli waris.
              Didalam pembagian warisan ataupun upaya penyelesaian jika terjadi sengketa antara ahli waris, lima prinsip hukum adat sebagaimana pendapat Hadikusuma berlaku bagi setiap masyarakat hukum adat termasuk suku bangsa sasak. Asas –asas tersebut dikemukakan dibawah ini dan dibandingkan (padanannya) dengan prinsip-prinsip menurut Hukum Adat Sasak adalah sebagai berikut :
a.       Asas Ketuhanan dan pengendalian diri (adat sasak : “betegel leq reden Neneq”).
b.      Asas Kesamaan Hak dan kebersamaan hak (adat sasak: “doe sopoq,  bareng ngepe”).
c.       Asas Kerukunan dan kekeluargaan (adat sasak : “awak sopoq ,saling peririq, saling angkat,saling ajinin, saling sedok”).
d.      Asas Musyawarah dan mufakat (adat sasak: “S o l o h” ).
e.       Asas Keadilan dan Parimirma (adat sasak : “endeq naraq bine kire, tarik nyacap”).
       Dalam penyelesaian sengketa (termasuk pewarisan), pada masyarakat suku bangsa sasak dikenal keberadaan dan peran institusi lokal yang disebut “pekraman”. Menurut Arzaki, lembaga Krama ini bertugas menjaga kelestarian adat budaya dan menegakkan berlakunya tatanan norma, yang berlaku dilingkungan masyarakat suku bangsa sasak. Pekraman bertugas (berwenang) mengadili sengketa berdasarkan hukum adat yang berlaku secara bertingkat dan menerapkan sanksi-sanksi adat. Krama adat di Lombok terdiri dari : krama waris, krama banjar, krama gubuk dan krama desa.
             Krama waris adalah satuan komunitas yg anggotanya didasarkan pertalian darah. fungsinya sering kali sebagai penengah dalam penyelesaian sengketa dikalangan internal keluarga yg dipimpin oleh orang tertua atau orang yang dituakan dari kalangan keluarga. Krama banjar ; berkedudukan ditingkat dusun dan merupakan perkumpulan (paguyuban) yang didasarkan kepentingan tertentu atau direkat oleh kesamaan keturunan atau profesi tertentu. misalnya : banjar kematian, kerajinan, perkawinan, lingkungan dll. dipimpin oleh penoaq gubuk yg ditetapkan sec. musyawarah. Krama gubuk; sebuah krama yg beranggotakan seluruh warga masyarakat gubuk dgn tdk membedakan ras, agama, profesi , yg dipimpin oleh penoaq-penoaq gubuk(dusun) : keliang, juru arah, kiyai-penghulu, mangku gubuk, lang-lang gubuk dan merbot. tugasnya adalah menjaga kehidupan harmonis bagi segenap warga komunitas. Krama desa ; dipimpin oleh tokoh-tokoh terkemuka selingkungan desa yg ditetapkan dalam musyawarah mufakat yang disebut sangkep/gemben desa yang terdiri dari para tokoh formal dan informal desa (para pengelingsir) yg sec. berurutan sbb: pemusungan (kepala desa), juru tulis desa, penghulu-penghulu desa, juru arah, lang-lang desa, pekemit  sebagai pelayan desa.
            Para fungsionaris pekraman tersebut, dalam melaksanakan kewajibannya menyelesaikan sengketa – sengketa adat, tidak menjatuhkan putusan kalah dan menang, tetapi berupaya nyata untuk meningkatkan kwalitas pemahaman dan ketaatan terhadap berlakunya hukum dan tata nilai kearifan lokal untuk tercapainya kehidupan bersama yang harmonis yang berlandaskan rukun, patut dan laras”.

9.     Penyelesaian sengketa menurut kearifan lokal pada Masyarakat  Adat Takalar, Sulawesi Selatan .
        Salah satu peran tetua adat dalam penyelesaian masalah hukum di Takalar, Sulawesi Selatan digambarkan Jawahir Thontowi[46] dalam disertasinya Hukum, Kekerasan dan Kearifan Lokal: Penyelesaian Sengketa di Sulawesi Selatan (2007). Dalam peristiwa kawin lari --lari antama--yang menimbulkan sengketa keluarga di Takalar Sulawesi Selatan, peran 'imam' sangat besar. Imam memberikan perlindungan kepada pasangan yang melarikan diri, sekaligus menjadi penghubung kepada keluarga yang malu akibat pelarian itu.
      Imam pelindung tidak hanya mempunyai kewajiban adat untuk memberi perlindungan kepada pria dan wanita pelarian, tetapi juga menjalankan tugas-tugas resmi, misalnya melakukan investigasi verbal atau mengorek keterangan, mengirim surat kawin lari, dan mengatur penyelesaian lebih lanjut dengan imam pengengah.

II. b.Eksistensi dan Efektivitas Kearifan Lokal Dalam Menyelesaikan Sengketa “Out Of Court Settlement“ Untuk Melahirkan Keadilan Dalam Hukum Nasional Indonesia.

Pengertian sengketa dalam kamus Bahasa Indonesia, berarti pertentangan atau konflik, Konflik berarti adanya oposisi atau pertentangan antara orang-orang, kelompok-kelompok, atau organisasi-organisasi terhadap satu objek permasalahan. Senada dengan itu, Pertentangan atau konflik yang terjadi antara individu-individu atau kelompok-kelompok yang mempunyai hubungan atau kepentingan yang sama atas suatu objek kepemilikan, yang menimbulkan akibat hukum antara satu dengan yang lain (Nike K. Rumokoy, 2012:3).  
            Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 mengatur dua hal utama, yaitu arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa. Ketentuan dalam Pasal 1 menegaskan bahwa sengketa yang dapat diselesaikan melalui jalur arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa adalah sengketa perdata dan bukan sengketa yang termasuk dalam kategori hukum publik. Dalam Pasal 2 UU No. 30 Tahun 1999 disebutkan mengenai objek sengketa yang dapat diselesaikan melalui jalur arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa yaitu sengketa perdata. Penyelesaian sengketa melalui perdamaian berakar dalam budaya masyarakat. Dilingkungan masyarakat adat (tradisional) dikenal runggun adat, kerapatan adat, peradilan adat atau peradilan desa. Lembaga musyawarah, mufakat dan tenggang rasa merupakan falsafah negara yang digali dari hukum adat, dipratekkan dalam kehidupan sehari-hari. Hukum positif mengatur perdamaian ini didalam pasal 130 ayat (1) HIR.
Diketahui  bahwa perdamaian boleh dilakukan antara para pihak yang bersengketa dan perdamaian itu dituangkan dalam akte perdamaian, yang mempunyai kekuatan hukum tetap seperti putusan hakim dan bersifat final, artinya tidak boleh dilakukan banding atau kasasi. Didalam perjalanan waktu, ikatan kekeluargaan yang berdasarkan paguyuban (gemeenschappelijke verhoudingen) memudar dan berkembang kearah masyarakat yang peternbayan (zakelijke gemeenschap) dimana perhitungan untung rugi lebih menonjol, maka lembaga peradilan dijadikan wadah untuk menyelesaikan sengketa, karena perangkat hukum yang tersedia telah memperoleh bentuk yang lengkap dan sempurna (Mariam Darus, 2003:1).
    Cara penyelesaian sengketa dibagi kepada dua bentuk yaitu Litigasi dan non litigasi. Berikut penjelasan masing-masing cara penyelesaian sengketa tersebut:

1.      Litigasi,
  Litigasi adalah model peyelesaian sengketa dengan membawa sengketa tersebut ke Pengadilan. Kadang dalam sengketa keperdataan hal ini adalah hal terakhir yang ditempuh apabila model penyelesaian sengketa secara non-litigasi tidak menemui kesepakatan diantara kedua belah pihak. Tapi tidak jarang juga kita menemui sebuah kontrak yang langsung menggunakan litigasi sebagai satu-satunya model penyelesaian sengketa yang diatur dalam perjanjian tersebut.
2.      Non-litigasi (Alternative Dispute Resolution)
Mekanisme penyelesaian sengketa ini disebut sebagai non-litigasi karena merupakan metode penyelesaian sengketa yang dilakukan di luar lembaga peradilan. Ada 4 (macam) metode penyelesaian sengekta non-litigasi yaitu : Arbitrase, Negosiasi, Mediasi dan Konsiliasi. Penyelesaian sengketa tanah harta pusaka tinggi juga bisa ditinjau dalam kerangka hukum acara perdata. Mengenai pengertian Hukum Acara Perdata sendiri, menurut Wirjono Prodjodikoro adalah rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan di muka pengadilan dan cara bagaimana pengadilan itu harus bertindak, satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata (M.Taufik Makarao, 2009:12).
            Berikut apabila dibandingkan dengan Asas-Asas Hukum Perdata (Anggreany Arief, 313) : Peradilan Bebas Campur Tangan Pihak-pihak di Luar Kekuasaan Kehakiman; Asas Objektivitas; Asas Sederhana, Cepat, dan Biaya Ringan; Keaktifan Hakim dalam Pemeriksaan; Persidangan yang Terbuka untuk Umum; Mendengarkan Kedua Belah Pihak; Berperkara Dikenakan Biaya; Para Pihak dapat Meminta Bantuan atau Mewakilkan Kepada Seorang Kuasa; Inisiatif Berperkara Diambil oleh Pihak yang Berperkara.
            Kearifan lokal dalam hal ini Lembaga Adat merupakan satu dari sekian banyak lembaga lokal yang terdapat dalam suatu masyarakat. Lembaga Adat ini terbentuk atas keinginan masyarakat berdasarkan atas nilai-nilai budaya / adat. Pada masa sebelum lahirnya Negara Republik Indonesia, hukum yang berlaku ditengah-tengah masyarakat pada umumnya adalah hukum adat yang tunduk kepada norma-norma dan peraturan-peraturan yang tidak tertulis, tetapi sangat ketat penerapannya di dalam kehidupan masyarakat tradisional pada waktu itu. Sehubungan dengan keberlakuan hukum adat tersebut, Keebed Von Benda-Beckmann mengatakan sebagai berikut :

“The Governement shall refrain from all interfrence with the domestic affairs of the natives, and all problems concerning debts, torts, marriage, divorce and inheritance must be decided by the adat fungtionaries according to adat”[47]

      Jadi kewenangan lembaga adat di zaman Hindia belanda sangat dipertahankan dan dihormati oleh pemerintah Belanda, semua permasalahan yang terkait dengan urusan hutang piutang, perbuatan melanggar hukum, perkawinan, perceraian dan kewarisan harus diputus oleh penghulu-penghulu adat dan menurut hukum adat.
      Tentang pengertian lembaga adat ditegaskan pada Peraturan Mentri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 2007 Tentang Penataan Lemaga Kemasyarakatan, pada ketentuan umum angka 15 sebagai berikut : “Lembaga Adat adalah lembaga kemasyarakatan baik yang sengaja dibentuk maupun yang secara wajar telah tumbuh dan berkembang di dalam sejarah masyarakat atau dalam suatu masyarakat hukum adat tertentu dengan wilayah hukum dan hak atas harta kekayaan di dalam hukum adat tersebut, serta berhak dan berwenang untuk mengatur, mengurus dan menyelesaikan berbagai permasalahan kehidupan yang berkaitan dengan dan mengacu pada adat istiadat dan hukum adat yang berlaku”.

Teori Alternative Dispute Resolution (A D R)
      Sebagai penyelesaian yang bersifat alternatif, ADR lebih umum dikenal sebagai penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang bagi masyarakat nusantara sebenarnya bukan suatu hal yang baru tetapi sudah dikenal sejak zaman dahulu kala yang oleh masyarakat kita lebih dikenal dengan penyelesaian sengketa secara musyawarah mufakat dan oleh masyarakat suku bangsa sasak di pulau Lombok dikenal juga dengan istilah “soloh”. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan lebih menguntungkan dari pada penyelesaian sengketa melalui jalur pengadilan karena kesepakatan yang dicapai dengan musyawarah mufakat tersebut bersifat final sehingga mempersingkat waktu, biaya murah dan prosedur yang sederhana. Selain itu dengan tercapainya mufakat antara kedu belah pihak, maka hubungan silaturrahim antara kedua belah pihak tetap terjalin atau tidak terputus akibat sengketa itu.
Telah dikemukakan di atas, bahwa berda-sarkan hukum positif di Indonesia, ADR hanya dimungkinkan dalam perkara perdata (lihat Pasal 6 UU No. 30/1999 Tentang: ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA). Untuk perkara pidana pada prinsipnya tidak dapat diselesaikan di luar pengadilan, walaupun dalam hal-hal tertentu, dimungkinkan adanya penyelesaian kasus pidana di luar pengadilan, antara lain :
a.          Dalam hal delik yang dilakukan berupa ”pelanggaran yang hanya diancam dengan pidana denda”. Menurut Pasal 82 KUHP, kewenangan/hak menuntut delik pelanggaran itu hapus, apabila terdakwa telah membayar denda maksi-mum untuk delik pelanggaran itu dan biaya-biaya yang telah dikeluarkan kalau penuntutan telah dilakukan. Ketentuan dalam Pasal 82 KUHP ini dikenal dengan istilah ”afkoop” atau ”pemba-yaran denda damai” yang merupakan salah satu alasan penghapus penuntutan.

b.            Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh anak di bawah usia 8 tahun. Menurut UU No. 3/1997 (Pengadilan Anak), batas usia anak nakal yang dapat diajukan ke pengadilan sekurang-kurangnya 8 tahun dan belum mencapai 18 tahun. Terha-dap anak di bawah 8 tahun, penyidik dapat menyerahkan kembali anak ter-sebut kepada orang tua, wali, atau orang tua asuhnya apabila dipandang masih dapat dibina atau diserahkan kepada Departemen Sosial apabila dipandang tidak dapat lagi dibina oleh orang tua/ wali/orang tua asuh (Pasal 5 UU No. 3/ 1997).

Ketentuan di atas hanya memberi kemungkinan adanya penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan, namun belum merupakan ”mediasi penal” seperti yang diuraikan di atas. Penyelesaian di luar pengadilan ber-dasar Pasal 82 KUHP di atas belum menggambarkan secara tegas adanya kemung-kinan penyelesaian damai atau mediasi antara pelaku dan korban (terutama dalam  masalah pemberian ganti rugi atau kompensasi) yang merupakan ”sarana pengalihan/ diversi” (means of diversion)” untuk dihen-tikannya penuntutan maupun penjatuhan pidana. Walaupun Pasal 82 KUHP merupa-kan alasan penghapus penuntutan, namun bukan karena telah adanya ganti rugi/ kompensasi terhadap korban, tetapi hanya karena telah membayar denda maksimum yang diancamkan. Penyelesaian kasus pidana dengan memberi ganti rugi kepada korban, dimungkinkan dalam hal hakim akan menjatuhkan pidana bersyarat (Pasal 14c KUHP). Patut dicatat, ketentuan pidana bersyarat dalam KUHP inipun masih tetap berorientasi pada kepentingan pelaku (offender oriented), tidak ”victim oriented”.
Kemungkinan lain terlihat dalam UU No. 39/1999 tentang Pengadilan HAM yang memberi kewenangan kepada Komnas HAM (yang dibentuk berdasar Kepres No. 50/ 1993) untuk melakukan mediasi dalam kasus pelanggaran HAM (lihat Psl. 1 ke-7; Psl. 76:1; Psl. 89:4; Psl. 96).  Namun tidak ada ketentuan yang secara tegas menya-takan, bahwa semua kasus pelanggaran HAM dapat dilakukan mediasi oleh Komnas HAM, karena menurut Pasal 89 (4) Komnas HAM dapat juga hanya memberi saran kepada para pihak untuk menyelesaikan sengketa melalui pengadilan (sub-c), atau hanya memberi rekomendasi kepada Peme-rintah atau DPR untuk ditindaklanjuti pe-nyelesaiannya (sub-d dan sub-e). Demikian pula tidak ada ketentuan yang secara tegas menyatakan, bahwa akibat adanya mediasi oleh Komnas HAM itu dapat menghapuskan penuntutan atau pemidanaan. Di dalam Pasal 96 (3) hanya ditentukan, bahwa ”keputusan mediasi mengikat secara hukum dan berlaku sebagai alat bukti yang sah”.
Telah dikemukakan di atas, bahwa di bebe-rapa negara lain, mediasi penal dimung-kinkan untuk tindak pidana yang dilakukan oleh anak dan untuk kasus KDRT (keke-rasan dalam rumah tangga – domestic violence). Namun di Indonesia, ketentuan mediasi penal itu tidak terdapat dalam UU No. 3/1997 tentang Pengadilan Anak mau-pun dalam UU No. 23/2004 tentang KDRT.
Akhirnya patut dicatat, bahwa gugurnya ke-wenangan penuntutan seperti yang ada dalam KUHP (yang tersebar dalam bebera-pa pasal, antara lain Psl. 82 di atas), di dalam Konsep RKUHP digabung dalam satu pasal dan diperluas dengan ketentuan sbb:
Pasal 145 (RKUHP 1-8-2006) (Psl. 142 RKUHP 2004), Kewenangan penuntutan gugur, jika:
a.       telah ada putusan yang memperoleh kekuatan hukum tetap;
b.      terdakwa meninggal dunia;
c.       daluwarsa;
d.      penyelesaian di luar proses;
e.       maksimum pidana denda dibayar dengan suka-rela bagi tindak pidana yang dilakukan hanya diancam dengan pidana denda  paling banyak  kategori II;
f.       maksimum pidana denda dibayar dengan suka-rela bagi tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori III;
g.      Presiden memberi amnesti atau abolisi;
h.      penuntutan dihentikan karena penuntutan dise-rahkan kepada negara lain berdasarkan per-janjian;
i.        tindak pidana aduan yang tidak ada pengaduan atau pengaduannya ditarik kembali; atau
j.        pengenaan asas oportunitas oleh Jaksa Agung.
Dari ketentuan RKUHP di atas terlihat, di- mungkinkannya penyelesaian perkara pida-na di luar pengadilan (lihat sub d di atas). Pengaturan rincinya belum ada, namun tentunya akan diatur lebih lanjut di dalam Rancangan KUHAP.
Mediasi penal sering dinyatakan meru-pakan ”the third way” atau ”the third path dalam upaya ”crime control and the criminal justice system[48] , dan telah digunakan di beberapa negara. Seberapa jauh kemungkinan itu dapat juga diterapkan di Indonesia, apa keterbatasan dan keunggulannya, serta bagaimana pengatur-annya, tentunya memerlukan kajian yang men-dalam dan komprehensif. Namun yang jelas, penyelesaian damai dan mediasi di bidang hukum pidana inipun sebenarnya sudah dikenal dalam hukum adat dan dalam kenyataan sehari-hari dibuktikan sebagaimana dengan kajian atas penyelesaian sengketa oleh lembaga-lembaga adat diatas.
       Phillip D. Bostwick menyebut ADR sebagai sebuah perangkat pengalaman dan tehnik hukum yang bertujuan [49]:
a. Menyelesaikan sengketa hukum di luar pengadilan demi keuntungan para pihak;
a.       b. Mengurangi biaya litigasi konvensional dan pengunduran waktu yang biasanya terjadi;
b.      Mencegah terjadinya sengketa hukum yang biasanya diajukan ke Pengadilan
c.       Undang-undang Republik Indonesia No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, pada Pasal 48 dinyatakan : “upaya penyelesaian sengketa perdata dapat dilakukan di luar pengadilan negara melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa”.
Selanjutnya pada Pasal 60 diatur sebagai berikut :
·         Ayat (1) : Alternatif penyelesaian sengketa merupakan lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian diluar pengadilan dengan cara konsultasi , negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.
·         Ayat (2) : Penyelesaian sengketa melalui Alternatif Penyelesaian Sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hasilnya dituangkan dalam kesepakatan tertulis .
·         Ayat (3) : Kesepakatan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bersifat final dan mengikat para pihak untuk dilaksanakan dengan etikat baik.                
Keberlakuan penyelesaian sengketa alternatif (ADR) dalam sistem peradilan negara RI UU RI no. 48 th 2009 ttg kekuasaan kehakiman :
·         Pasal 10 (1 dan 2) :“pengadilan tidak boleh menolak utk mengadili suatu perkara              dgn alasan hukum tidak ada atau kurang jelas (ayat 1)”. Ketentuan tersebut tdk menutup usaha penyelesaian perkara secara damai (ayat 2).
·         Pasal 5 (1) :“ hakim dan hakim konstitusi, wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”.
·         Pasal 50 (1) :“ putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan , juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili”.
·         Pasal 58 :“upaya penyelesaian sengketa perdata dapat dilakukan diluar pengadilan negara melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa”.
·         Pasal 60 : “ alternatif penyelesaian sengketa merupkan lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli (ayat 1)”.
·         “penyelesaian sengketa melalui alteratif penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hasilnya dituangkan dalam kesepakatan tertulis (ayat 2)”.
·         “kesepakatan secara tertulis  sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bersifat final dan mengikat para pihak untuk dilaksanaakan dengan itikad baik (ayat 3)”.
            Kegunaan Penyelesaian Sengketa Adat, menurut Ahmad Santosa  mengemukakan ada 5 faktor utama yg memberikan dasar diperlukannya pengembangan penyelesaian sengketa adat Alternatif di Indonesia, yaitu [50]:
1.      Sebagai upaya meningkatkan daya saing dlm mengundang penanaman modal ke Indonesia.
2.      Tuntutan masyarakat terhadap mekanisme penyelesaian sengketa yangg efisien serta mampu memenuhi rasa keadilan
3.      Upaya untuk mengimbangi maningkatnya daya kritis masyarakat yang dibarengi dengan tuntutan berperan serta aktif dalam proses pembangunan. Hak masyarakat berperan serta dalam penetapan kebijakan public tersebut menimbulkan konsekuensi diperlukannya mekanisme penyelesaian sengketa utk mewadahi perbedaan pendapat yang muncul dari keikutsertaan masyarakat tersebut.
4.      Menumbuhkan iklim persaingan yg sehat bagi lembaga peradilan.
5.      Banyak Negara di dunia yg telah mencoba mengembangkan penyelesaian sengketa alternative sbg upaya mengurangi derasnya arus perkara yg masuk ke pengadilan.

Keunggulan :
1.      Dalam masyarakat Indonesia cara penyelesaian sengketa dengan melibatkan pihak ke-3 ini mempunyai basis sosial yg kuat, baik dipedesaan maupun diperkotaan.
2.      Dengan melihat pengalaman yg terjadi di Amerika sbg Negara dimana masy dikenal kecenderungannya mengguankan pengadilan cukup tinggi, ternyata mediasi perkembangannya sgt pesat.

Keuntungan Mediasi:
1.      Penyelesaian secara cepat
2.      Hasil yg memuasan bagi semua pihak
3.      Praktik belajar prosedur2 penyelesaian sengketa secara kreatif
4.      Tingkat pengendalian lebih besar & hasil yg bisa di duga.
5.      Pemberdayaan individu
6.      Melestarikan / menjaga / memelihara hubungan yg sudah berjaan / terjalin dgn cara yg lebih baik.
7.      Keputusan-keputusan yg bisa dilaksanakan (eksekusi)
8.      Kesepakatan yang lebih baik daripada melalui pengadilan (menang-kalah). Keputusan yang berlaku tdk mengenal waktu.

Pada dasarnya diketahui prinsip-prinsip dalam penyelesaian sengketa adat yaitu[51] :
1.         Azas Rukun azas kerja yang menjadi pedoman dalam menyelesaikan persoalan adat Kerukunan suatu azas yg isinya berhubungan erat dengan pandangan & sikap orang menghadapi hidup bersama di dalam suatu lingkungan dengan sesamanya untuk mencapai suatu suasana hidup bersama seperti yang diterima sebagai sesuatu yang ideal oleh adat.
2.            Azas Patut suatu pengertian yang merujuk pada alam susila atau kesusilaan &  seketika pula pada fikiran yang sehat yang ditujukan pada penilaian atas suatu kejadian baik dalam bentuknya sbg perbuatan maupun keadaan.
3.            Azas Laras laras dipergunakan dalam hubungannya dengan jawaban atas suatu persoalan konkrit secara bijaksana oleh para pihak yang bersangkutan & masyarakat diterima sebagai sesuatu yang melegakan kebutuhan atas perasaan hukum serta susila. Dengan demikian, baik yang bersangkutan maupun masyarakat umum tidak lagi merasa ada kekurangan dalam isi jawaban itu sehingga segala sesuatu berjalan dgn wajar kembali (normal).

Dalam pasal 24 UUD 1945 telah ditegaskan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah mahkamah agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya, baik di lingkungan peradilan agama, peradilan militer, peradilan tata usaha negara,  dan oleh mahkamah konstitusi. Penyelesaian sengketa melalui jalur pengadilan disebut dengan litigasi, sedangkan penyelesaian sengketa diluar jalur pengadilan disebut dengan nonlitigasi. Dalam peradilan indonesia, proses penyelesaian perkara/sengketa menganut asas sederhana, cepat dan biaya ringan. Ketentuan ini diatur dalam pasal 4 ayat (2) UU No. 14 tahun 1970 dan di ubah menjadi UU No.35 Tahun 1999 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman.
Dalam pasal 4 ayat (2) dan pasal 5 ayat (2) UU No. 4 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman disebukan peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan. Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk mencapai peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.
Pada awalnya tidak disebutkan secara konkrit tentang mediasi sebagai salah satu bentuk penyelesaian sengketa dalam ketentuan-ketentuan hukum. Ketentuan tentang mediasi baru ditemukan dalam UU No.30 tahun 1999 tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa, Peraturan Pemerintah No. 54 tahun 2000 tentang lembaga penyedia jasa pelayanan penyelesaian sengketa lingkungan hidup diluar pengadilan dan peraturan mahkamah agung No. 02 tahun 2003 tentang prosedur mediasi di pengadilan.
Penyelesaian sengketa diluar pengadilan menganut prinsip sama-sama menguntungkan (win-win solution). Sangat berbeda dengan penyelesaian sengketa didalam pengadilan yang menganut prinsip win-lose. Dengan demikian, UU No.30 tahun 1999 telah memberikan dorongan kepada pihak yang bersengketa untuk dapat beritikad baik dalam penyelesaian sengketanya.

UU No.30 tahun 1999 mengatur dua hal yang utama, yaitu:
- Arbitrase
Dalam pasal 1 disebutkan arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata diluar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh pihak yang bersengketa.
- Alternatif penyelesaian sengketa
Alternatif penyelesaian sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian diluar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli.
         Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa melalui proses perundingan atau mufakat para pihak dengan dibantu oleh Mediator yang tidak memiliki kewena ngan memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian. Ciri utama proses mediasi adalah perundingan yang esensinya sama dengan proses musyawarah atau konsensus. Sesuai dengan hakikat perundingan atau musyawarah atau konsensus, maka tidak boleh ada paksaan untuk menerima atau menolak sesuatu gagasan atau penyelesaian selama proses mediasi berlangsung. Segala sesuatunya harus memperoleh persetujuan dari para pihak.
Sejak zaman dahulu, masyarakat indonesia telah mempraktekkan mediasi dalam penyelesaian konflik, sebab mereka percaya bahwa dengan melakukan usaha damai maka akan mengantarkan mereka dalam kehidupan yang harmonis, adil, seimbang dan terciptanya nilai-nilai kebersamaan yang kuat dalam kehidupan bermasyarakat.  Penyelesaian konflik atau sengketa dalam masyarakat mengacu pada prinsip “kebebasan” yang menguntungkan kedua belah pihak. Para pihak dapat menawarkan opsi penyelesaian sengketa dengan perantara tokoh masyarakat. Para pihak tidak terpaku pada pembuktian tentang salah atau benarnya sengketa mereka, tetapi mereka lebih mempertimbangkan penyelesaian masalah untuk masa depan dengan mengakomodasikan kepentingan mereka secara berimbang. bentuk penyelesaian sengketa ini sering disebut dengan musyawarah atau mufakat.
            Musyawarah dan mufakat merupakan falsafah masyarakat indonesia dalam setiap pengambilan keputusan, termasuk penyelesaian sengketa. Musyawarah dan mufakat ini telah tercatat dalam falsafah indonesia pada sila ke-4, dalam UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya. Dalam sejarah perundang-undangan indonesia prinsip musyawarah dan mufakat yang berujung damai juga digunakan dalam lingkungan peradilan, terutama dalam penyelesaian sengketa perdata. Hal ini terlihat dari sejumlah peraturan perundang-undangan sejak masa kolonial belanda.
Fungsi Mediator dlm suatu Proses Mediasi, Fuller mengidentifikasikan ada 7 fungsi yang harus dijalankan oleh mediator yaitu[52]:
1.      sebagai katalisator, yang mengandung pengertian bahwa kehadiran mediator dalam proses perundingan mampu mendorong lahirnya suasana yang konstruktif bagi diskusi.
2.      sebagai pendidik, berarti seseorang harus berusaha memahami aspirasi, prosedur kerja, keterbatasan politis, dan kendala usaha dari para pihak. Oleh sebab itu, ia harus berusaha melibatkan diri dalam dinamika perbedaan di antara para pihak.
3.      sebagai penerjemah, berarti mediator harus berusaha menyampaikan dan merumuskan usulan pihak yang satu kepada pihak lainnya melalui bahasa atau ungkapan yang baik dengan tanpa mengurangi sasaran yang dicapai oleh pengusul.
4.      sebagai narasumber, berarti seorang mediator harus mendayagunakan sumber-sumber informasi yang tersedia.
5.      sebagai penyaring berita jelek, berarti seorang mediator harus menyadari bahwa para pihak dalam proses perundingan dapat bersikap emosional. Untuk itu mediator harus mengadakan pertemuan terpisah dengan pihak-pihak terkait untuk menampung berbagai usulan.
6.      sebagai agen realitas, berarti mediator harus berusaha memberi pengertian secara jelas kepada salah satu pihak bahwa sasarannya tidak mungkin/tidak masuk akal tercapai melalui perundingan.
7.      sebagai kambing hitam, berarti mediator harus siap disalahkan dalam membuat kesepakatan hasil perundingan.
Koesnoe[53], menyebutkan bahwa pandangan hidup masyarakat adat tertumpu pada filsafat eksistensi manusia. Pandangan hidup masyarakat adat yang berasal dari nilai,pola pikir,dan norma telah melahirkan ciri masyarakat hokum adat. Imam sudiyat, menyebutkan masyarakat hokum adat memiliki ciri religious, komunal, demokrasi, mementingkan nilai moral spiritual, dan bersahaja/sederhana.
            Masyarakat hukum adat lebih mengutamakan penyelesaian sengketa melalui jalur musyawarah, yang bertujuan untuk mewujudkan kedamaian dalam masyarakat. Jalur musyawarah merupakan jalur utama yang digunakan masyarakat hokum adat dalam menyelesaikan sengketa, karena dalam musyawarah akan dapat dibuat kesepakatan damai yang menguntungkan kedua belah pihak.
   Dalam sistem hukum adat, tidak dikenal pembagian hukum kepada hukum public dan hukum privat. Akibatnya, masyarakat hukum adat tidak mengenal kategorisasi hukum pidana dan hukum perdata, sebagaimana dalam system hukum Eropa Kontinental. Istilah “sengketa” bagi masyarakat hukum adat bukan hanya ditujukan untuk kasus perdata, yang menitikberatkan pada kepentingan perorangan, tetapi sengketa juga digunakan untuk tindak pidana kejahatan atau pelanggaran.
   Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa ruang lingkup mediasi dalam masyarakat hukum adat, tidak hanya terbatas pada sengketa ranah privat, tetapi dapat juga digunakan untuk menyelesaikan kasus public. Penggunaan mediasi, arbitrase, negosiasi dan fasilitasi jauh lebih luas dalam hokum adat, bila dibandingkan dengan hokum positif di Indonesia.


Mudah Diakses, Cepat dan Murah
Beberapa kekuatan dari peradilan informal atau “Out Of Court Satlement" sederhana dan ternyata. Kemudahan diakses secara nyata adalah salah satu keuntungan yang jelas. Ketua rukun warga (ketua RT/RW), kepala desa, pemimpin adat dan tokoh agama tinggal di desa, dikenal oleh masyarakat dan gampang ditemui. Sebaliknya, polisi dan pengadilan seringkali berada di ibu kota kabupaten/kota yang terletak jauh.
Kekuatan berikutnya adalah kecepatan. Terutama ketika terkait dengan hak-hak ekonomi, proses penyelesaian yang lama dapat mempengaruhi kehidupan kaum miskin. Pada saat terjadi kekerasan akan muncul – seperti pada beberapa kasus di Jawa Timur – tindakan yang cepat sangat diperlukan. Dalam kasus yang berhasil diselesaikan, prosesnya biasanya berjalan dengan cepat. Kasus pembunuhan di Palangkaraya diselesaikan dalam tiga minggu, dan perkelahian di Kuala Kapuas dalam dua minggu. Kebanyakan kasus di Jawa Timur dan Maluku juga ditangani dalam dua-tiga minggu atau kurang. Sebaliknya, rata-rata waktu yang diperlukan untuk menunggu antara proses pengarsipan dan pembacaan kasus berkisar antara 4-6 bulan di Pengadilan Negeri, 12 bulan di Pengadilan Tinggi dan 2-3 tahun di Mahkamah Agung[54]. Data terbaru menunjukan rata-rata waktu yang diperlukan untuk penyelesaian kasus hukum dari
kejadian awal sampai kasasi yaitu 7-12 tahun[55].
            Biaya merupakan pertimbangan penting lainnya. Sengketa kecil pada umumnya diselesaikan tanpa biaya bagi pihak yang bertikai[56].Pada sebagian besar kasus yang diteliti tidak ada biaya untuk proses pengarsipan atau pembacaan kasus (sidang)[57].

Kepuasan dengan para pihak hukum formal dan informal
Sumber: Survei GDS

            Data pada Gambar diatas, menggambarkan para responden menyatakan kepuasannya yang sangat besar terhadap pihak-pihak yang sudah mereka kenal – tokoh masyarakat dan tokoh adat, pendamping hukum (paralegal), anggota keluarga dan teman, dan pemerintah desa. Temuan ini menunjukkan dua implikasi. Pertama, strategi untuk memperbaiki penyelesaian sengketa sebaiknya berfokus pada tingkat desa dan komunitas, tidak hanya institusi-institusi negara. Kedua, hal itu juga mendukung usaha untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dengan para pelaku dari tingkat kecamatan dan kabupaten (LSM, para jaksa, pejabat pemerintah, dll), dapat membantu meningkatkan tingkat kepuasaan dan kepercayaan pada mereka juga.
Singkatnya, sistem formal tidak menentukan, secara konsisten dan dapat diprediksi, nilai pantas terhadap adat istiadat dan tidak menjelaskan tindakan apa yang tidak mencapai nilainya. Seperti dilapangan kasus-kasus seperti penusukan dan sejenisnya, pengadilan memandang hasil dari proses peradilan non-negara sebagai hal yang absah dibandingkan dalam kasus “penculikan” anak pada umumnya, dimana penyelesaian informal ditolak. Tapi tidak ada satu catatan penjelasan tentang bagaimana keputusan-keputusan ini dicapai. Batas yurisdiksi antara sistem formal dan informal tidak ditegaskan, artinya meskipun diluar kewenangannya, kasus pidana berat kadang kadang masih dapat dimediasi di tingkat desa. Standar dan perlindungan prosedural tidak disebutkan. Atas dasar apa proses tersebut dinyatakan tidak sah dalam salah satu kasus dan sah di kasus lainnya? Demikian juga, apa yang menjadi pedoman kebijakan polisi untuk menengahi atau menuntut? Persinggungan tersebut tidak diperjelas dan, sebagaimana yang digambarkan dalam kasus kekerasan rumah tangga, kadang-kadang menghasilkan ambiguitas dan ketidakpastian hukum yang menguntungkan pihak yang kaya dan berkuasa.
Sebagai pengkajian, penelaahan dan pembanding terkait model dan tipe-tipe penyelesaian sengketa diluar pengadilan melalui mediasi penal dapat dilihat pada lampiran makalah ini, Lampiran. PENGATURAN MEDIASI PENAL DI BEBERAPA NEGARA (Terlampir).

Peradilan Adat dan The Living Law 

Suryono Sukanto[58] menyatakan “hukum adat yang masih berlaku merupakan bagian dari hukum yang hidup  hukum yang hidup merupakan bagian dari hukum nasional dan menjadi tujuan untuk dicapai, karena hukum yang hidup berlaku secara yuridis, sosiologis maupun filosofis.
Perlu secara singkat dijelaskan kedudukan dan peran hukum adat dalam pembinaan hukum nasional. Hukum adat dan pembaruan hukum nasional telah banyak dikaji oleh pemerhati dan ilmuan hukum adat.  Hukum nasional diupayakan, tetap bersumber dan tidak bergeser dari nilai-niali filosofis, sosio-kultural dan yuridis, bangsa Indonesia sendiri.
Selanjutnya hukum adat dalam makalah ini, dimaknakan berdasarkan berbagai definisi yang pernah dirumuskan oleh peneliti peneliti hukum adat. Dari berbagai konsep dan sudut pandang masing masing, maka hukum adat adalah sebagai berikut[59]:
1. Dari bentuknya merupakan hukum yang tidak trtulis;
2. Dari asalnya adalah adat isitiadat dan kebiasaan;
3. Dari sifatnya adalah dinamis, berkembang terus, dan mudah beradaptasi;
4. Dari prosesnya dibuat tanpa disengaja;
5. Mengandung unsur agama;
6. Berhubungan dengan dasar-dasar dan susunan masyarakat setempat;
7. Penegakan oleh fungsionaris adat dan;
8. Mempunyai sanksi.
            Dilihat dari sudut pandang antropologis, maka hukum adat seperti dimaksud di atas, dapat memenuhi fungsi idiologikal hukum seperti yang disyaratkan oleh nilai budaya, karena aturan-aturannya dirasakan dan diterima oleh masyarakatnya, sebagai pola tingkah laku, yang sesuai (proper) untuk mengontrol tingkah laku masyarakat. Dan dari sifatnya yang dinamis, hukum adat senantiasa responsip terhadap perubahan di sekelilingnya Dari sudut pandangan sosiologis, Eugen Ehrlich sebagai orang pertama, yang sadar dan melakukan penyelidikan terhadap living law, dengan dasar pemikiran, bahwa hukum adalah fenomena sosial.
         Berbeda daripada aliran hukum dominan yang memahami semua hukum terdapat dalam peraturan-peraturan. Sebaliknya makalah ini melihat hukum sebagai hukum yang menguasai kehidupan itu sendiri, sekalipun tidak dirumuskan di dalam peraturan-peraturan.
               Hukum adat sebagai hukum hidup, digambarkan juga oleh Vinogadoff  seperti dikutip Satjipto Rahdjo[60], bahwa hukum lahir serta merta dari kandungan masyarakat,  dari praktik-praktik yang secara langsung bertumbuh dari konveniensi, baik dari masyarakat maupun perorangan.
         Pada perkembangan berikutnya, adat istiadat, kebiasaan sebagai pola tingkah laku (rule of beheviour) mendapat sifat hukum, pada ketika fungsionaris adat melaksanakan dan menerapkannya terhadap orang yang melanggar peraturan itu, atau ketika petugas hukum bertindak mencegah pelanggaran perturan itu.
Peradilan dalam teks dan  konteks UU RI No.48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, menghendaki  akses pada keadilan diletakkan di atas dasar  legal centralisem. Dalam Pasal 2 ayat  (3) dikatakan:  “semua peradilan di seluruh wilayah negara Republik Indonesia adalah peradilan negara yang diatur dengan undang-undang”. Perspektif legal centralisme tersebut,  disangkakan membawa pertanda akan kematian bagi “peradilan” di luar kekuasaan kehakiman negara.
            Namun di balik Asas Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman oleh Peradilan Negara, terdapat “konstitusi tidak tertulis”, yakni kehendak rakyat mengenai peradilan atas nama hukum yang hidup di masyarakat. Suka atau tidak, peradilan selain peradilan negara,  akan lahir sebagai manifes kebutuhan dan kesadaran hukum mengenai  ketertiban dan ketenteraman, yang  tidak  selalu mampu diwujudkan oleh badan-badan Kehakiman Negara.
Lagi pula kebijakan formulatif legalistik bahwa pengadilan adalah pengadilan Negara seperti telah dikutip di atas, telah dikoreksi secara faktual oleh yuriprudensi Mahkamah Agung RI No. 1644 K/Pid/1988, tanggal 15 Mei 1991. Dalam Ratio decidendi putusannya dikatakan, apabila seseorang melanggar hukum adat, kemudian Kepala dan Pemuka Adat memberikan reaksi adat (sanksi adat), maka yang bersangkutan  tidak dapat diajuhkan lagi (untuk kedua kalinya), sebagai terdakwa dalam persidangan Badan Peradilan  Negara, dengan dakwaan yang sama, melanggar hukum adat dan dijatuhkan pidana penjara menurut KUHP (Pasal 5 ayat (3) sub b UU Drt.  No. 1 Tahun 1951).
            Regulasi daerah pembentukan organisasi perangkat daerah, di berbagai wilayah di Indonesia, juga telah memberikan pengakuannya terhadap lembaga adat, yang salah satu fungsinya menyelesaikan sengketa yang terjadi di daerahnya. Pasal 101 UU RI No. 22/1999  tentang Pemerintahan Daerah, memberi keleluasaan Kepala Desa mengatur rumah tangganya sendiri, membenina dan menyelenggarakan pemerintahan desa, membina kehidupan masyarakat desa, memelihara  ketenteramana dan ketertiban masyarakat, mendamaikan perselisihan masyarakat dan mewakili desanya  di dalam dan di luar dan dapat menunjuk kuasa hukumnnya.
            Pelaksanaan UU Darurat No. 1/1951,  yang semula menghendaki kesatuan susunan  kekuasaan kehakiman, dengan menghapuskan peradilan adat (Inheemse rechtspraak in rechtstreeksbestuurdgebied) dan segala Pengadilan Swapraja (Zelfbestuursrechtspraak)  ternyata dalam Pasal 1 ayat (3) mengambil pengecualian dengan mengatakan, ketentuan yang tersebut dalam ayat (1) tidak sedikitpun juga mengurangi hak kekuasaan yang sampai selama ini telah diberikan kepada hakim hakim  perdamaian di desa desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3a Rechterlijke Organisatie.
            Sejak masa pemerintahan Belanda, telah dikenal hakim perdamaian desa, yang diatur dalam Pasal 3a Reglement op de Rechterijke Organisatie en het Beleidder Justiti (Peraturan Susunan Peradilan dan Kebijaksanaan Justusi) disingkat RO (S. 1933 No 102).  Hakim Perdamaian Desa tersebut, bekerja menyelesaikan perselisihan antar warga masyarakat  desa. Meskipun hakim perdamaian desa tidak berhak menjatuhkan hukuman. Namun dari berbagai hasil penelitian diungkapkan, penyelesaian sengketa dengan memberikan hukuman pada pelanggar, hampir terjadi di seluruh wilaya nusantara.
            Hazairin[61] memberikan kesaksian bahwa kekuasaan kehakiman desa tidak terbatas pada perdamaian saja, tetapi meliputi  kekuasaan memutus silang sengketa dalam semua bidang hukum, tanpa membedakan anatara pengertian pidana dan perdata. Keadaan ini baru berubah, jika masyarakat hukum adat menundukkan dirinya pada kekuasaan yang lebih tinggi yang membatasi atau mengawasi hak-hak kehakiman itu.


Pelanggaran Adat  dan  Mediasi Penal

Dalam kajian akademis terhadap hukum adat, dikenal adanya hukum adat perdata dan pidan. Hukum adat pidana meliputi pelanggaran adat atau disebut juga adat delicten recht. Hukum adat pidana merupakan hukum yang hidup dan ditaati oleh masyarakat adat secara terus-menerus, dari satu generasi ke generasi berikutnya. Pelanggaran terhadap aturan adat, dapat menimbulkan kegoncangan dalam masyarakat, karena mengganggu keseimbangan kosmis masyarakat. Terhadap pelaku pelanggaran diberikan reaksi, atau koreksi atau sanksi adat oleh masyarakat melalui Fungsionaris adatnya.
            Hukum adat pidana, dengan unsur pokok, pertama adat bertingkah laku (rule of behavior) yang diikuti dan ditaati masyarakat, kedua bila adat tersebut dilanggar, dapat menimbulkan kegoncangan dan merusak keseimbangan kosmis dan ketiga pelanggar dapat dikenai reaksi adat oleh masyarakat melalui pengurus adat.
            Bagir Manan[62] menyatakan, “Perdamaian dalam sistem adat-istiadat maupun hukum adat kita tidak terbatas pada sengketa perdata. Perdamaian juga lazim dalam perkara yang sifatnya kepidanaan, tidak jarang perbuatan yang dapat dipidanakan diselesaikan secara kekeluargaan, Dalam hal terjadi kematian akibat perkelahian atau pertengkaran, perdamaian terjadi melalui kompensasi terhadap keluarga korban. Kompensasi tidak semata bersifat materiil, dapat juga bersifat immaterial seperti denda adat, kewajiban melakukan sesuatu untuk memulihkan keseimbangan magis, bahkan pernyataan penyesalan dan permohonan maaf yang tulus dan diterima oleh pihak keluarga korban tidak jarang menjadi dasar perdamaian yang penting.
            Penyelesaian pelanggaran adat dalam tataran aplikasinya, bersifat menyeluruh, menyatukan dan terbuka. Namun membeda-bedakan permasalahan dan pada umumnya didasarnya pada permintaan sendiri pihak-pihak. Hal ini sesuai dengan sifat hukum adat pidana, seperti:
·         Menyeluruh dan menyatukan;
·         Hukum adat bersifat kosmis, melihat segala sesuatu sebagai satu kesatuan yang saling berhubungan. Dalam menyelesaikan suatu pelanggaran adat, yang dilihat adalah siapa pelaku, korban dan hubungan pengarunya pada masyarakat.
·         Ketentuan terbuka:
·         Aturan adat selalu terbuka untuk segala peristiwa atau perbuatan yang mungkin terjadi. Di sini proses penyelesaian pelanggaran adat dilakukan secara terbuka atas suatu permintaan.
·         Membeda-bedakan permasalahan:
·         Apabila terjadi pelanggaran adat, maka yang dilihat bukan semata-mata perbuatan dan akibatnya, tetapi proses yang melatar belakanginya. Dengan demikian cara penyelesaian suatu peristiwa berbeda-beda.
·         Peradilan Dengan Permintaan:
·         Menyelesaikan pelanggaran adat sebagian besar berdasarkan adanya permintaan pihak yang dirugikan atau diperlakukan tidak adil.
·         Tindakan reaksi atau koreksi:

Tindakan reaksi atau koreksi tidak hanya dapat dikenakan terhadap pelakunya, tetapi dapat juga dikenakan kepada keluarga atau bahkan kepada masyarakat untuk mengembalikan keseimbangan yang terganggu.
            Lebih kongkritnya dapat dilihat dalam Pasal 5 ayat (3) sub (b) Undang-undang Nomor 1/DRT/1951. Orang sering terkecoh dengan menganggap bahwa ketentuan itu merupakan dasar hukum pengakuan terhadap hukum adat. Namun bagi penulis pandangan tersebut keliru. Memang sepintas terkesan pemberian otonomi terhadap hukum adat, namun sebenarnya klausula tersebut memungkinkan penggantian sanksi atau kewajiban adat menjadi sanksi denda dan kurungan yang notabene khas dengan sanksi hukum modern. Maka dari itu tidak bisa tidak harus dibaca sebagai negasi terhadap eksistensi hukum adat.
            Menurut Wignjosubroto[63], kesenjangan hukum itu akan mempengaruhi pola kepatuhan warga masyarakat terhadap hukum, berarti pula akan mempengaruhi keefektivan bekerjanya hukum dalam masyarakat. Khusus dalam konteks Indonesia, Rahardjo seperti dikutip Sahetapy mengemukakan bahwa sistem hukum yang berlaku sekarang sebagai hukum modern, belum ditunjang oleh pertumbuhan masyarakat yang sesuai dengan tuntutan hukum modern itu. Akibatnya, penafsiran-penafsiran serta praktek-praktek yang keliru dai rakyat terhadap keberlakuan hukum itu berikut lembaga-lembaga yang berlaku buat mereka menjadi sesuatu yang niscaya.

III.PENUTUP
      Dari pemaparan diatas secara garis besar penyelesaian sengketa “Out Of Court Settlement“ menurut kearifan lokal dalam upaya melahirkan hukum berkeadilan di Indonesia, dapat disimpulkan sebagai berikut:          

1)                  Mekanisme penyelesaian sengketa menurut kearifan lokal di Indonesia dalam hal ini ditunjukkan dan diwakili pada beberapa masyarakat adat pada Adat Minangkabau, masyarakat Banjar, masyarakat adat Dayak di Kalimantan Tengah, masyarakat adat Aceh, masyarakat adat Ambon/Maluku, masyarakat adat Lombok Utara, masyarakat adat Lamaholot di Flores Nusa Tenggara Timu, masih mengutamakan peran tetua adat yang terbukti masih dominan dalam menyelesaikan sengketa dan problem hukum.
        Penyelesaian sengketa melalui lembaga  hukum adat atau kearifan lokal ini telah diterapkan pada permasalahan-permasalahan privat dan beberapa permasalahan secara kasuistis dalam ranah pidana (publik). Disamping itu penyelesaian sengketa melalui lembaga  hukum adat atau kearifan lokal diakui sebagai cikal inspirasi bagi banyak program mediasi modern dan termasuk untuk mediasi pidana yang belum mempunyai format baku.

2)                    Negara atau pemerintah belum punya konsep politik dan hukum yang jelas tentang masyarakat adat dan hukum adat dalam hal ini termasuk di dalamnya peradilan adat. Penyelesaian perkara di luar pengadilan melalui mediasi penal dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia dari perspektif pengkajian Asas, Norma, Teori dan Praktik eksistensinya antara “ada” dan “tiada”. Di satu sisi oleh karena mediasi penal dalam ketentuan undang-undang tidak dikenal dalam Sistem Peradilan Pidana akan tetapi dalam tataran di bawah undang-undang dikenal secara terbatas melalui diskresi penegak hukum, terbatas dan sifatnya parsial. Kemudian, di sisi lainnya ternyata praktik mediasi penal telah dilakukan oleh masyarakat Indonesia dan penyelesaian tersebut dilakukan di luar pengadilan seperti melalui mekanisme lembaga adat.
            Pada dasarnya penyelesaian sengketa “Out Of Court Settlement“ menurut kearifan lokal yang selanjutnya diadopsi secara tidak langsung sebagai Mediasi penal yang telah menjadi bagian dari sistem peradilan pidana, baik sebagai alternatif di luar ataupun di dalam sistem peradilan pidana itu sendiri. Meskipun kerberadaan dan penerapannya berbeda-beda sesuai dengan pranata dan lembaga yang mengaturnya, tetapi Penyelesaian sengketa “Out Of Court Settlement“ menurut kearifan lokal telah hidup dan aktual sesuai jastifikasi perangkat dan lembaga hukum yang mendasarinya, serta aneka ragam konsep, falsafah, sosial kultur yang melingkupinya. 

3)            Eksistensi penyelesaian sengketa “Out Of Court Settlement“   menurut kearifan lokal dalam praktiknya masih mengalami permasalahan sebagai berikut;
a.Melemahnya semangat kekeluargaan dan kebersamaan karena menguatnya materialisme dan individualism dalam masyarakat dan juga menurunnya kewibawaan fungsionaris adat di mata anggota masyarakat adat.
b.Meluas dan menguatnya profesi advokat juga menjadi salah satu faktor penggunaan penyelesaian sengketa secara musyawarah mufakat  tidak lagi menarik bagi masyarakat.
         Sudah saatnya strategi untuk memperbaiki penyelesaian sengketa sebaiknya berfokus pada tingkat desa dan komunitas, tidak hanya institusi-institusi negara. Diperlukan komitmen kuat dari para pihak dalam menanggapi keterbutuhan perbaikan disamping kajian mendalam dan komprehensif untuk kemungkinan dapat diterapkan atau tidak di Indonesia. Seluruh pengkajian atas upaya mengadopsi dan menggunakan kearifan lokal dalam penyelesaian sengketa hukum nasional merupakan salah satu upaya penyelarasan antara Das’Sein dengan Das Sollen, serta upaya konkrit melahirkan hukum berkeadilan di Indonesia.







DAFTAR PUSTAKA

Arzaki, Djalaludin, dkk, Nilai-nilai Agama dan Kearifan Budaya Lokal Suku Bangsa Sasak Dalam Pluralisme Kehidupan Bermasyarakat, CV. Bina Mandiri, 2001.
Abdurrasyid, Priyatna, Arbitrase & Alternatif Penyelesaian Sengketa, PT. Fikahati Aneska, Jakarta, 2002.
Beckmann, Keebed Von Benda, The Broken Stairways to Consensus (Village Justice and State Courts in Minangkabau), Foris Publications, Holland, 1984.
Munir, Mochamad, Penggunaan Pengadilan Negeri Sebagai Lembaga Untuk Menyelesaikan Sengketa Dalam Masyarakat (Disertasi), Universitas Airlangga Program Pascasarjana, Surabaya 1997.
Widnyana, I Made, Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR), PT Pikahati Aneska, Jakarta, 2009.
Ali, Achmad, Keterpurukan Hukum Di Indonesia (Penyebab Dan Solusinya), Penerbit Ghalia, Jakarta, 2001.
Darmodihardjo, Darji, dan Arief Sidharta, Penjabaran Nilai-Nilai Pancasila Dalam Sistem Hukum Indonesia, Penerbit PT. Radjagrafindo Persada, Jakarta, 1996.
Friedman, M. Lawrence, American Law An Introduction, Second Edition (Hukum Amerika Sebuah Pengantar) Penerjemah Wishnu Basuki, Penerbit PT. Tatanusa, Jakarta, 2001.
Friedman, M. Lawrence, American Law, An Introduction, W.W. Norton, New York, 1986.
Fakrulloh, Zudan Arif, Membangun Citra Hukum Melalui Putusan Hakim Yang Berkualitas, Jurnal Keadilan, Vol 1, No. 3, September 2001.
Hart, H.L.A, The Concept of Law, Oxford At The Clarendon Press, 1988.  Jurnal Keadilan, Volume 2 No. 1 Tahun 2002.
Komar, Mieke., Etty R. Agoes., Eddy Damian, (Editor), Mochtar Kusumaatmaja : Pendidik & Negarawan (Kumpulan Karya Tulis Menghormati 70 Tahun Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmaja, SH. LL.M), Penerbit Alumni Bandung, 1999.
Manan, Bagir, Dasar-Dasar Konstitusional Peraturan Perundang-undangan Nasional., Makalah, Jakarta, 1993.
Muladi, Penegakkan Hukum Pasca Reformasi, Artikel, Jurnal Keadilan, Vol 1 No. 3, September 2001.
Nonet, Philip and Philip Selznik, Law and Society in Transition : Toward Responsive Lw, Harper Colophon Books, Harper & Row, Publisher, New York, 1978.
Nusantara, Abdul Hakim Garuda, Politik Hukum Indonesia, LBHI, Jakarta, 1988.
Peters, A.A.G., Koesriani Siswosoebroto, Hukum Dan Perkembangan Sosial, Penerbit Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1990.
RE. Barimbing, Catur Wangsa Yang Bebas dari Kolusi Simpul Mewujudkan Supremasi Hukum, Penerbit Pakar Pusat Kajian Reformasi, Jakarta 2001.
Rahardjo. Satjipto, Permasalahan Hukum di Indonesia, Penerbit Alumni Bandung, 1983.
Rahardjo, Satjipto, Hukum Dan Perubahan Sosial, Penerbit Alumni, Bandung, 1986.
Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Penerbit PT. Citra Aditra Bakti, Bandung, 1991.
Seidman, B. Robert, Law and Development, University Wisconsin Madison.
Abdul Hakim Garuda Nusantara, Politik Hukum Nasional, Surabaya: Lembaga Bantuan Hukum, 1985.
Achmad Ali, Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum, Jakarta : Kencana Prenada Media Group, cet. I, 2012.
A. Masyur Effendi, Bunga Rampai Teori Hukum, Hubungan Filsafat Hukum dan Teori Hukum, (Jakarta, 2004)
Koesnoe, Moh, 1979, Catatan-catatan Terhadap Hukum Adat Dewasa Ini, Surabaya. Airlangga University Press.
Surojo Wignjodipuro, 1982, Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat. Jakarta, PT. Agung.
Surpha, I Wayan, 2002, Seputar Desa Pakraman dan Adat Bali, Denpasar, Bali Post.
Suyud Margono, 2000, ADR dan Arbitrase, Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum. Jakarta, Ghalia Indonesia.
Achmad Gunaryo, “Konflik dan Pendekatan Terhadapnya”, dalam buku M. Mukhsin Jamil, (ed.), Mengelola Konflik Membangun Damai, Semarang:WMC IAIN Walisongo, 2007.
Amin Ramly, “Legitimasi Kekuasaan Pemerintah dan Adat (Studi tentang Ketaatan Masyarakat Desa terhadap Pemerintah dan Adat) di Kec. Seram Barat Kabupaten Seram Bagian Barat”, paper diskusi “Legitimasi Kekuasaan Pemerintah dan Adat”, 14 Agustus 2008.
Pedoman Umum Adat Aceh: Peradilan dan Hukum Adat, Banda Aceh: MAA Provinsi NAD, 2008.
Abbas Syahrizal. 2009. Mediasi dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional. Pranada Media Grup, Jakarta.
Adinugroho Susanti. 2008. Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen ditinjau dari Hukum Acara Perdata serta Kendala Implementasinya. Kencana, Jakarta. Arikunto Suharsmini. 1993. Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek. Bumi Aksara, Jakarta.
Gatot Soemartono. 2006. Arbitrase dan Mediasi di Indonesia. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Rasaid Nur. 2003. Hukum Acara Perdata. Sinar Grafika, Jakarta.
Rahardjo Sujipto. 2006. Ilmu Hukum. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Manan, Bagir, 2006, Mediasi sebagai alternatif Menyelesaikan Sengketa, Majalah Hukum XXI,No. 248Juli 2006.






[1]  Lili Rasjidi dan Putra Wiyasa dalam buku ”Hukum sebagai Suatu Sistem” Remaja Rosda Karya, Bandung, 1993 mengatakan, dalam konteks sistem hukum, ilmu hukum  dibicarakan sebagai penjabaran, pengujian, dan pengembangan teori-teori hukum yang berasal dari komponen filsafat hukum. Tujuan dari penjabaran dan pengembangan itu berkaitan dengan dimensi-dimensi ontologi, epistemologi, dan dimensi aksiologi. Dalam kaitannya dimensi yang terakhir, ilmu hukum dipandang sebagai suatu kesatuan dengan pendidikan hukum. Fungsi utamanya adalah sebagai media penghubung antara dunia rasional (Sollen) dan dunia empiris (Sein). Fungsi ini mungkin diperankan oleh ilmu hukum dan pendidikan hukum, adalah karena kelebihan yang dimilikinya, yaitu dimensi rasional dan dimensi empiris dan ilmu hukum. Melalui  kedua dimensi ini, ilmu hukum dan pendidikan hukum dapat menghubungkan dunia filsafat dengan dunia kenyataan dengan cara membangun konsep-konsep hukum.  
[2] Ahmadi Hasan, “Penyelesaian Sengketa Hukum Berdasarkan Adat Badamai pada Masyarakat Banjar dalam Kerangka Sistem Hukum Nasional”, Disertasi, Pascasarjana FH UII, 2007, hlm. 117
[3] Ahmad Bahruni, “Penyelesaian Tindak Pelanggaran Lalu-Lintas Secara Kekeluargaan, sebuah Tinjauan Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif ”, dalam Ahmadi Hasan, “Penyelesaian Sengketa Hukum Berdasarkan Adat Badamai pada Masyarakat Banjar dalam Kerangka Hukum Nasional”, Disertasi, Pascasarjana S3 Program Doktor Ilmu Hukum, Universitas Islam Indonesia, 2007, hlm. 299
[4] Ibid. 300
[5] Biaya perawatan atau pengobatan sesuai dengan kesepakatan badamai mulai dari Rp 150.000,00
[6] Biaya uang duka sesuai dengan kesepakatan badamai paling besar Rp 7.500.000,00
[7] Al Yasa’ Abubakar, “Islam, Hukum dan Masyarakat di Aceh Tajdid Syari’at Dalam Negara Bangsa”, Seminar: First International Conference of Aceh and Indian Ocean Studies, penyelenggara Asia Risearch Institute, National University of Singapore and Rehabilitation and Construction Executing Agency for Aceh and Nias (BRR), Banda Aceh, Indonesia. 24-27 Februari 2007, hlm. 3
[8] Syahrizal dan Agustina Arida, “Pola Penyelesaian Konflik dalam Tradisi Masyarakat Gampong Aceh”,
   Jurnal Seumikee, Volume II, 2006, Aceh Institute, hlm. 7.
[9] Ibid.
[10] Ibid.
[11] Ibid.
[12] Perangkat peusijuek berupa: nasi ketan kuning, kelapa gongseng gula merah (ue mierah), ayam panggang, tumpoe (tepung yang telah diaduk dengan gula merah yang digongseng), daun senijuek, daun ilalang (naleung samboe), padi dicampur beras, air tepung/air bunga, air putih, air cuci tangan dan kemenyan. Untuk penyelesaian kasus pembunuhan ditambah lagi dengan kain putih dan pedang/rencong di dalam sarung. Bahkan di beberapa daerah
tertentu ditambah lagi dengan pemberian uang sekitar 2 juta sampai 5 juta rupiah.
[13] Peumat jaroe, berjabat tangan. Dalam proses peumat jaroe, pihak yang menfasilitasi mengucapkan kata-kata khusus seperti: “Nyoe kaseb oh no dan bek na deundam le. Nyoe beujeut keujalinan silaturrahmi, karena nyan ajaran agama geutanyoe” yang artinya: Masalah ini cukup di sini dan jangan diperpanjang lagi. Bersalaman ini diharapkan menjadi awal dari jalinan silaturrahmi antara anda berdua, sebab ini ajaran agama kita.
[14] Ibid.
[15] Ibid.
[16] Ibid.
[17] Ibid.
[18] Masyarakat Aceh menganggap belum sempurnanya penyelesaian konflik tanpa ada prosesi peusijuek dan peumat jaroe. Oleh karenanyaUpacara peumat jaroe disaksikan oleh banyak orang yang diundang pada acara kenduri dan peusijuek. Urutan kegiatan adalah peusijuek, peumat jaroe dan makan bersama (kenduri).
[19] Tidak perlu ada keterkaitan dengan batas administratif, namun dalam praktek sebuah kedamangan biasanya mencakup wilayah kecamatan. Di bawah damang pada tingkat desa atau kelurahan ada perangkatnya, yang dikenal sebagai mantir atau let adat. Di atas damang, pada tingkat kabupaten terdapat Koordinator Adat Wilayah, yang dipilih dari para damang sendiri.
[20] Peri Umar Farouk, et.al, “Kembali ke Masa Depan: Otonomi Daerah dan Kebangkitan Adat yang Tidak Pasti.” hlm. 4 <http://www.justiceforthepoor.or.id/ documents/publikasi/vja-kalteng.pdf>, diakses 17 Oktober 2014, pukul 09.00 wib.
[21] Ibid., hlm. 1
[22] Ibid., hlm. 2
[23] Ibid., hlm. 7
[24] Ibid., hlm. 10
[25] Peri Umar Farouk, et al., “Mekanisme Penyelesaian Sengketa Informal di Kabupaten Buru, Kota Ambon dan Kabupaten Maluku Tengah”, <http://www.justiceforthepoor.or.id/ documents/publikasi/vja-ambon.pdf>, diakses 6  November  2014, 11:10
[26] Pengertian raja dalam hukum adat maluku adalah orang yang memimpin suatu Negeri atau Desa baik yang menduduki jabatan tersebut turun-menurun maupun dipilih secara Demokratis. Peri Umar Farouk, et al., “Mekanisme Penyelesaian Sengketa...” Ibid.
[27] Peri Umar Farouk, et al., Loc. Cit.
[28] Ibid.

[29] Ibid.
[30] Ibid.
[31] Ibid.
[32]Ibid.
[33] Peri Umar Farouk, et. al, “Wet Tu Telu: Peluang Membangun Peradilan di Tingkat Desa”, <http:// www.justiceforthepoor.or.id/documents/publikasi/vja-ntb.pdf> diakses 9 November  2014, 11:15 WIB.
[34] Ibid.
[35] Upaya penyelesaikan sengketa oleh masyarakat adat selaku mediator ada yang memformalkan menjadi bagian dari struktur pemerintahan di desa dan mengakuinya secara informal, yakni tanpa memasukkannya dalam struktur pemerintahan desa.
[36] Ibid., hlm 8
[37] Ibid., hlm. 9. Biasanya yang datang adalah orang yang berhubungan langsung dengan kasus, dengan didampingi oleh keluarganya atau yang dianggap sesepuh keluarga yang bersangkutan
[38] Ibid.
[39] Ibid., hlm. 10
[40] Karolus Kopong Medan, “Peradilan Rekonsiliatif Konstruktif Penyelesaian Kasus Kriminal Menurut
Tradisi Masyarakat Lamaholot, di Flores NTT”, Disertasi, PDIH Undip, 2006, hlm 240.
[41] Ibid., hlm. 295-296
[42] Ibid.
[43] Ibid., hlm. 301
[44] Ibid., hlm. 303
[45] Ibid., hlm. 306
[46] http. law.uii.ac.id/images/stories/CV%20Dosen/jawahir%20thontowi.pdf, diakses pada 09 November 2014, pukul 13.45 WIB.
[47] Keebed Von Benda-Beckmann, The Broken Stairways to Consensus (Village Justice and State Courts in Minangkabau), Foris Publications, Holland, 1984, hal : 4
[48] Lihat antara lain, Deborah Macfarlane,  Victim-Offender Mediation in France , http://www. Mediation conference.com.au/2006_Papers/Deborah%20Macfarlane%20-%20VICTIM%20OFFENDER %20MEDIATION%20 IN%20 FRANCE1.doc ; Christa Pelikan. On Restorative Justice, www. restorativejustice.org/resources/docs/pelikan; Dieter Rössner, Mediation as a Basic Element of Crime Control: Theoretical and Empirical Comments, wings.buffalo.edu/ law/bclc/bclrarticles/3(1)/roessner.pdf ; Tony Peters, in colla-boration with Ivo Aertsen, Katrien Lauwaert and Luc Robert : From Community Sanctions To Restorative Justice, The Belgian Example, www.unafei.or.jp/english/pdf/PDF_rms/ no61/ ch12. pdf

[49] Ibid.
[50] http. repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/.../1/ppgb_2006_runtung.pdf, diakses pada tanggal 7 November 2014, pukul 08.45 Wib.
[51] http. journal.walisongo.ac.id/index.php/wali/article/view/95/9, diakses pada 10 November 2014, pukul 17.45 Wib.
[52] Ibid.
[53] http. reza-rahmat.blogspot.com/.../hukum-adat-di-dalam-hukum-formil.htm, diakses pada tanggal 06 November 2014, pukul 18.00 Wib.
[54] Bappenas/World Bank (1996) Law Reform in Indonesia, Cyber Consult: Jakarta, hal. 130.
[55] Mahkamah Agung RI (2003), Cetak Biru Pembaruan Mahkamah Agung: Jakarta, hal 161.
[56] Sehubungan dengan keuntungan ekonomis atas peradilan non-negara, penelitian di Colombia menyimpulkan bahwa dengan
menggunakan sistem peradilan non-negara untuk menyelesaikan sengketa tanah dan warisan, pendapatan yang didapatkan lebih besar dari pada menggunakan pengadilan (formal): lihat Edgardo Buscaglia (2001) ‘Justice and the Poor. Formal vs. Informal Dispute Resolution Mechanisms’ Makalah dipaparkan di Empowerment, Opportunity and Security through Law and Justice Conference, St. Petersburg, July 2001, hal. 9 & 10.
[57] Penyelesaian sengketa adat di Kalimantan Tengah adalah pengecualian. Biaya pencatatan kasus dalam kasus pekelahian pasar adalah Rp 600,000. Dalam kasus pembunuhan (tidak terencana), Dewan Adat membebankan biaya Rp 6 juta.
[58] Suryono Sukanto, “Pembahasan dalam Seminar Hukum Adat dan Pembinaan Hukum Nasional” dalam
Imam Sudiyat, Peran Pendidikan...., hlm. 5.
[59] Ibid.
[60] http. altri.ac.id/publikasi/suara-dosen/97-mediasi-penal-dan-peradilan-adat, diakses pada tanggal 08 November 2014, pukul 21.00 Wib.
[61] Ibid.
[62] ibid
[63] Sutandyo Wignjosubroto,Kursus Hak Asasi Manusia  untuk advokat,Elsam 2005.

Komentar

Postingan Populer