Teori Hukum
Kajian Singkat: Implementasi Teori Hukum di Indonesia
“Dunia kita sekarang ini tengah berada
pada suatu “Turning Point”, suatu titik balik peradaban.
“Keadaan inilah yang menimbulkan alasan banyak para ahli untuk mengkaji
dan menyoroti kembali wacana mengenai Teori Hukum”
_ Fritjof Capra
I.PENDAHULUAN
I.a.Latar Belakang
Pengaruh perkembangan
zaman dalam segala bidang telah menempati titik sentral
dalam berbagai agenda intelektual dan
politik yang menimbulkan pertanyaan-pertanyaan krusial tentang apa
yang oleh banyak orang dipandang fundamental dan dinamis pada zaman kita ini dihubungkan dengan
eksistensi teori hukum dalam sisi yang lainnya.
Alasan
untuk memahami mengapa teori hukum terus dan akan terus dipelajari karena
teori-teori baru itu bermunculan, dimana keadaan seperti ini tidak hanya
terjadi dalam bidang ilmu hukum melainkan juga di bidang disiplin-disiplin ilmu
lain.
Perkembangan
zaman dapat dirasakan dengan terjadinya pergeseran-pergeseran dalam garis depan
sains, seperti dalam fisika, kimia, kedokteran dan psikologi. Perubahan tersebut
tidak berupa bertambahnya teori secara kuantitatif, melainkan sudah masuk ke
perubahan paradigmatik. Berbicara dalam bahasa Kuhnian, dunia sains mulai
meninggalkan periode “normal” untuk menjadi ilmu pengetahuan yang “abnormal”,
sebelum nanti menjadi normal kembali. Kebenaran-kebenaran yang dimasa lalu
dianggap sebagai sudah final, tuntas dan mapan, sekarang berubah menjadi tidak
pasti (uncertain)
Hukum merupakan suatu sistem, yang
keseluruhannya tidak lepas dari nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. untuk
itu, pengembangan satu bidang hukum akan berpengaruh pula ke bidang-bidang
hukum lainnya
Teori-teori baru
bermunculan, teori itu sendiri bisa ditulis melalui berbagai pintu masuk atau
sudut pandang baik dari optik para ahli
sejarah, sosiologi, filsafat dan lain-lain. Teori tersebut hidup dan berkembang
dalam masyarakat seiring perubahan-perubahan dalam masyarakat itu sendiri.
Lantas bagaimana di Indonesia? Bagaimana Teori hukum berlaku di
Indonesia sekarang ini? Apakah telah sesuai teori hukum tersebut dalam kajian
maupun pelaksanaannya? Apakah teori
hukum tersebut dalam implementasinya telah dapat dirasakan kontribusinya dalam
ruang sosial dimana teori ini hidup dan berkembang?
I.b. Ruang Lingkup dan Rumusan
Masalah
Dari banyaknya pembahasan
teori-teori hukum yang ada baik secara kajian maupun prakteknya. Dalam karya
tulis ini, Penulis sengaja memfokuskan beberapa pertanyaan-pertanyaan tersebut
diatas dalam bentuk pokok permasalahan sebagai berikut:
1.Bagaimana perdebatan seputar Teori hukum murni
serta implementasinya di Indonesia?
2.Bagaimana perdebatan seputar Legal System Theory yang dikembangkan oleh L.M.Friedman serta implementasinya di Indonesia?
3.Bagaimana perdebatan seputar Teori hukum
Postmodernisme serta implementasinya di Indonesia?
4.Bagaimana perdebatan seputar Teori hukum Progresif
serta implementasinya di Indonesia?
5.Bagaimana perdebatan seputar Teori hukum Responsif
serta implementasinya di Indonesia?
I.c. Maksud dan Tujuan
Penulisan
karya tulis ini sengaja disusun selain untuk pemenuhan tugas mata kuliah Teori
Ilmu Hukum adalah untuk mengetahui lebih dekat sejauh mana Implementasi Teori
Hukum di Indonesia. Di samping itu, tulisan ini diharapkan dapat pula menjadi
masukan bagi pembaharuan dan pengembangan ilmu[1]
hukum.
II. PEMBAHASAN
II.a. Teori Hukum Murni serta implementasinya di
Indonesia
Pada dasarnya sistem tata hukum nasional di Indonesia telah banyak
dipengaruhi oleh teori Hans Kelsen dengan teori hukum murninya yang berkembang
menjadi hukum positif dan dilengkapi dengan lahirnya teori pendukung
terciptanya teori hukum murni yang dikembangkan oleh murid Hans Kelsen yakni
Hans Nawiasky dengan teori Stufenbau. Hal ini dibuktikan dengan adanya sistem struktur tata hukum Indonesia sebagai berikut (1) Staatsfundamentalnorm: Pancasila (Pembukaan UUD 1945), (2) Staatsgrundgesetz:
Batang Tubuh UUD 1945, Tap MPR, dan Konvensi Ketatanegaraan, (3) Formell
gesetz: Undang-Undang, (4) Verordnung en Autonome Satzung: Secara
hierarkis mulai dari Peraturan Pemerintah hingga Keputusan Gubernur, Bupati
atau Walikota.
Mengenai perkembangan Teori
Hukum murni di Indonesia ini, sering disandingkan dengan Sosiological
Yurisprudance (hukum sosiologis). Yang pasti aliran hukum diatas merupakan2
(dua) pandangan besar yang satu sama lain memiliki cara pandang yang berbeda.[2]
Itulah yang kemudian berdampak kepada perdebatan masalah penelitian hukum
sebagaimana di jelaskan oleh pakar hukum terkemuka yang ada di Indonesia yang
saling berbeda pandangan mengenai metode dalam penelitian hukum.
Aliran hukum positif juga dikenal sebagai
aliran legisme. Aliran ini selalu mengidentikkan hukum dengan
Undang-Undang, tidak ada hukum di luar Undang-Undang, satu-satunya sumber hukum
adalah Undang-Undang. Pandangan-pandangan hukum positif ini dipertahankan oleh Paul Laband, Jellineck, Rudolf von
Jherings, Hans Nawiasky, Hans Kelsen dan lain-lain.[3]
Aliran hukum positif mulai berkembang di Jerman pada abad pertengahan dan telah
banyak berpengaruh di berbagai negara, tidak terkecuali di Indonesia.
John
Austin, memberikan pengertian dan batasan tentang
cakupan ilmu hukum. Pertama, hukum merupakan perintah penguasa, kedua,
hukum merupakan sistem logika yang bersifat tetap dan tertutup, ketiga,
hukum positif terdiri dari unsur-unsur perintah, sanksi, kewajiban dan
kedaulatan, di luar itulah hanyalah moral positif (positive morality).[4]
Pendapat lain lain datang dari Hans Kelsen yang menyatakan ”hukum
haruslah dibersihkan dari anasir-anasir bukan hukum, seperti anasir etika,
sosiologi, politik dan sebagainya”.[5]
Kelsen juga menerangkan bahwa hukum sebagai (sollenskatagori),
yaitu hukum sebagai keharusan bukan sebagai (seinskategori) yakni sebagai
kenyataan,[6] yakni orang
menaati hukum karena sudah perintah negara, untuk itu pelalaian terhadap itu
maka akan dikenakan sanksi. Sedangkan ajaran yang juga terkenal dari Hans
Kelsen dan sering dijadikan rujukan dalam teori hierarki (tingkatan) norma
hukum adalah ajaran ”stufentheory”[7],
yakni sistem hukum pada haikatnya
merupakan sistem hierarkis yang tersusun dari peringkat terendah hingga
peringkat tertinggi.
Dapat disimpulkan bahwa pada prinsipnya
aliran hukum positif adalah aliran pemikiran hukum yang memberikan penegasan
terhadap bentuk hukum (Undang-Undang), isi hukum (perintah penguasa), ciri
hukum (sanksi, perintah, kewajiban, dan kedaulatan) dan sistematisasi norma
hukum (hierarki norma hukum Kelsen).
Secar implisit aliran ini hakikatnya juga menegaskan beberapa hal:
Pertama, bahwa pembentuk hukum
adalah penguasa
Kedua, bahwa bentuk hukum adalah Undang-Undang;
dan
Ketiga,
hukum diterapkan terhadap pihak yang di
kuasai.
Sangat berbeda dengan sosiological
jurisprudence yang merupakan aliran filsafat hukum yang memberi perhatian
sama kuatnya terhadap masyarakat dan hukum, sebagai dua unsur utama hukum dalam
penciptaan dan pemberlakuan hukum.[8]
Itulah yang menyebabkan perbedaan yang tajam antara kalangan pemikir hukum
normatif dan kalangan pemikir hukum sosiologis. Karena pemikir hukum sosiologis
mendasarkan hukum pada teori tentang hubungan antara kaidah-kaidah hukum dengan
kenyataan masyarakat.[9]
Pendasar mazhab ini dapat disebutkan,
misalnya Roscoe Pound, Eugen ehrlich,
Benyamin Cardozo, Kantorowics, Gaurvitch dan lain-lain.[10] Mazhab ini lebih mengarah pada
kenyataan daripada kedudukan dan fungsi hukum dalam masyarakat. Inti dasar
prinsip pemikiran mazhab ini adalah hukum yang baik adalah hukum yang sesuai
dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.[11]
Hukum lahir dan berkembang seiring dengan kemajuan zaman, sehingga hukum
tidak dapat dipisahkan dari kehidupan
masyarakat. Seperti gejala-gejala peradaban lain, hukum juga dapat
ditinjau secara sosiologis, dapat diteliti hubungan ekonomis dan kemasyarakatan
apa, aliran bidang kejiwaan kejiwaan apa yang telah menimbulkan pranata hukum
tertentu.[12]
Pada prinsipnya ialah sosiological
jurisprudence menekankan pada masalah-masalah evaluasi hukum (kualisifikasi
hukum yang baik), kedudukan hukum tertulis dan tidk tertulis, fungsi hukum
sebagai sarana rekayasa sosial,[13]
dengan cara pembentukan hukum yang baik (yang sesuai dengan hukum yang hidup
dalam masyarakat), dan cara penerapan hukum.
Dari perbedaan dua pandangan besar antara
paradigma hukum positif dengan hukum sosiologis, tidak perlu untuk saling
menjatuhkan dengan saling menyalahkan antara teori yang satu dengan teori yang
lainnya, mengingat kedua-duanya sama-sama memiliki kelebihan dan kekuarangan.
Paradigma hukum positif dapat di gunakan untuk mempelajari tentang bentuk hukum
(Undang-Undang), isi hukum (perintah penguasa), ciri hukum (sanksi, perintah,
kewajiban, dan kedaulatan) dan sistematisasi norma hukum (hierarki norma hukum)
sedangkan paradigma hukum sosiologis dapat digunakan untuk mengevaluasi hukum
(kualisifikasi hukum yang baik), kedudukan hukum tertulis dan tidk tertulis,
sebagai sarana rekayasa sosial, cara pembentukan hukum yang baik (yang sesuai
dengan hukum yang hidup dalam masyarakat), dan cara penerapan hukum yang
efektif.
Teori
hukum murni mempunyai kelebihan karena dibukukan dan baku, sehingga sulit hukum untuk
dimanipulasi karena setiap aturan sudah tertera dengan jelas di atas kertas.
Kelebihan lainnya adalah hukum positif lebih sistematis karena telah
terkodifikasi, sehingga membutuhkan prosedur khusus dalam penegakannya. Namun
kekurangannya juga terletak pada kodifikasinya, sebab hukum yang telah
terkodifikasi akan bersifat kaku, sehingga sulit untuk menyesuaikan diri dengan
perubahan dalam masyarakat. Disamping itu, karena sangat prosedural, hukum
positif juga dinilai lamban dalam memberikan keadilan pada manusia, sehingga
sebelum mendapatkan keadilan, seorag pencari keadilan harus membayar ongkos
mahal dari keadilan itu. Maka timbul suatu anekdot “mencari seekor kambing yang
hilang harus dibayar dengan seekor sapi”.
Pada
dasarnya Hans Kelsen hanya
mempertimbangkan aspek hukum positif saja, tanpa mempertimbangkan keadilan atau
ketidakadilannya. Padahal menurut Stammer kemurnian mutlak bagi teori hukum
apapun adalah tidak mungkin. Kelsen harus mengakui manakala teori memasuki
pertanyaan-pertanyaan tentang norma fundamental yang bertentangan. Pertanyaan
yang merupakan norma fundamental yang valid, dimana teori murninya tidak dapat
dihindari, karena tanpa itu maka keseluruhan bangunan akan runtuh.[14]
Dari sisi yang lain Lauterpacht seorang pengikut Kelsen mempertanyakan apakah
teori hierarki tidak menyatakan secara langsung sebuah pengakuan akan
prinsip-prisnsip hukum alam.[15]
Selain
itu peraturan-peraturan hukum dibuat supaya ada hukum, bukan berarti supaya ada
hukum. Dengan demikian maka dengan adanya hukum maka perlu untuk menegakkan
kemanusiaan, dengan demikian hukum tidak identik dengan undang-undang. Di sisi
yang lain hukum diperlukan penggarapan terus-menerus, dikarenakan hukum dalam hal
ikhwal juga terdapat peraturan hukum yang melawan hukum karena bertentangan
dengan kemanusiaan. Untuk itu tidak dapat kemudian teori hukum murni ini
digunakan sepenuhnya dalam konteks bernegara, sehingga Konsep hukum responsive
yang diajarkan oleh Philippe Nonet and Philip Selznick[16] tidak dapat diterapkan dengan baik.
II.b. “ Legal System Theory” yang
dikembangkan oleh L.M.Friedman serta
implementasinya di Indonesia
Menurut
Friedmann, hukum sebagai suatu
sistem terdiri dari sub-sub sistem yang saling bergerak yang tidak dapat
terpisahkan dan terpengaruh satu dengan lainnya. Sub-sub sistem itu terdiri
dari: Substansi Hukum (legal substance), Struktur Hukum (legal
structure), dan Kultur Hukum (legal culture). Adapun budaya hukum
yang baik akan terbentuk apabila semua pihak secara sungguh-sungguh dilibatkan
untuk berpartisipasi secara penuh dalam proses pembentukan hukum, agar semua
orang benar-benar merasa memiliki hukum itu. Karena begitu besarnya peran
budaya hukum itu, maka ia dapat menutupi kelemahan dari legal substance dan
legal structure.[17]
Pertama-tama, sistem hukum mempunyai struktur. Sistem hukum terus
berubah, namun bagian-bagian sistem itu berubah dalam kecepatan yang berbeda, dan
setiap bagian berubah tidak secepat bagian tertentu lainnya. Ada pola jangka
panjang yang berkesinambungan – aspek sistem yang berada di sini kemarin ( atau
bahkan pada abad yang terakhir) akan berada di situ dalam jangka panjang.
Inilah struktur sistem hukum – kerangka atau rangkanya, bagian yang tetap
bertahan, bagian yang memberi semacam bentuk dan batasan terhadap keseluruhan.
Struktur sistem hukum terdiri dari unsur berikut ini : jumlah dan ukuran
pengadilan, yurisdiksinya (yaitu, jenis perkara yang diperiksa, dan bagaimana
serta mengapa), dan cara naik banding dari satu pengadilan ke pengadilan lain.
Jelasnya struktur adalah semacam sayatan sistem hukum – semacam foto diam yang
menghentikan gerak.
Aspek lain sistem hukum adalah substansinya. Yaitu aturan, norma,
dan pola prilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu. Substansi juga
berarti “produk” yang dihasilkan oleh orang yang berada dalam sistem hukum itu
keputusan yang mereka keluarkan, aturan baru yang mereka susun. Penekannya di
sini terletak pada hukum hukum yang hidup (Living law) , bukan hanya
pada aturan dalam kitab hukum (law books).
Komponen ketiga dari sistem hukum adalah budaya hukum. Yaitu sikap
manusia terhadap hukum dan sistem hukum, kepercayaan, nilai, pemikiran, serta
harapannya. Dengan kata lain budaya hukum adalah suasana pikiran sosial dan
kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari atau
disalah gunakan. Tanpa budaya hukum, sistem hukum itu sendiri tidak akan
berdaya, seperti ikan yang mati terkapar di keranjang, bukan seperti ikan hidup
yang berenang di lautnya.
Friedman mengibaratkan sistem hukum
itu seperti “struktur” hukum seperti mesin. Substansi adalah apa yang
dihasilkan atau dikerjakan oleh mesin itu. Budaya hukum adalah apa saja atau
siapa saja yang memutuskan untuk menghidupkan dan mematikan mesin itu serta
memutuskan bagaimana mesin itu digunakan.
Berkaitan
dengan hal di atas, apabila teori Lawrence
M Friedman di atas dikaitkan dengan sistem hukum di Indonesia saat ini maka
dalam “struktur” terdapat empat lingkungan peradilan yaitu, yaitu lingkungan
peradilan umum, agama, militer, tata usaha negara. Peradilan Niaga termasuk ke
dalam lingkungan peradilan umum. Masing-masing lingkungan peradilan tersebut
mempunyai tingkatan yang berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai lembaga tinggi
negara. Setiap pengadilan memiliki yurisdiksinya sendiri-sendiri baik secara
absolut maupun relatif. Hubungan antara polisi, jaksa, hakim, pengacara,
terdakwa dan lain-lain menunjukkan suatu struktur sistem hukum.
Friedman menyebutkan, bahwa struktur adalah .... “ is a kind of cross
section of the legal system - a kind of dtill photograph, which freezes the
action “.[19]
Struktur
berhubungan dengan institusi dan kelembagaan hukum, bagaimana dengan polisinya,
hakimnya, jaksa dan pengacaranya. Semua itu harus ditata dalam sebuah struktur
yang sistemik. Kalau berbicara mengenai substansinya maka berbicara tentang
bagaimana Undang-undangnya, apakah sudah memenuhi rasa keadilan, tidak
diskriminatif, responsif atau tidak. Jadi menata kembali materi peraturan
perundang-undangannya. Dalam budaya hukum, pembicaraan difokuskan pada
upaya-upaya untuk membentuk kesadaran hukum masyarakat, membentuk pemahaman
masyarakat terhadap hukum, dan memberikan pelayanan hukum kepada masyarakat.
Jadi menurut Friedman, hukum memiliki ruang lingkup yang sangat luas, tidak terbatas pada
tekstual berupa peraturan perundang-undangan. Dalam berfungsinya hukum ditengah
masyarakat tidak saja membutuhkan undang-undang belaka tetapi membutuhkan hal-hal
lainnya seperti budaya masyarakat, aparat penegak hukum maupun sarana dan
prasarana. Dari sini kita bisa melihat bahwa aliran positivisme berusaha
memahami hukum hanya sebatas tekstual.
Lawrence M. Friedman (seperti
dikutip oleh Robert Seidman), mengajukan
usulan untuk menghadapi terjadinya perubahan sosial, dalam bentuk pertanyaan
sebagai berikut :
a. Bagaimana hukum menetapkan, memantau atau sebaiknya mengatur fakta
atau langkah perubahan sosial.
b. Apakah sistem hukum dan kelembagaan hukum dapat membantu atau
menghambat masyarakat yang maju ke arah modernisasi .
c. Apakah hukum membantu pertumbuhan ekonomi.
d. Bagaimanakah hukum mempelopori atau menggelapkan jalan menuju
kebijaksanaan atau stabilitas politik.
e. Bagaimanakah sebuah masyarakat bisa meningkatkan sistem
keadilannya.
Kesemua pertanyaan itu dimaksudkan untuk
menjelaskan konsep suatu sistem hukum yang terdiri dari 3 (tiga) unsur yaitu :
I.
Aturan-aturan hukum
substantif;
II.
Lembaga-lembaga hukum
(pengadilan dll) ;
III.
Kontribusi keberdayaan hukum (nilai-nilai dan
sikap-sikap terhadap hukum).
Lawrence M.
Friedman mengatakan perlu dicari suatu sistem
hukum yang paling baik untuk membantu pembangunan, untuk menghadapi perubahan
sosial yang sedang berjalan saat ini.[20]
Bagi suatu negara seperti Indonesia yang sedang mengalami masa
pembangunan dan perubahan soaial, adalah diseyogyakan sekali apabila pengkajian
terhadap hukum itu selalu dikaitkan pada pertanyaan-pertanyaan standar, seperti
:
1. Apakah identitas dan
fungsi hukum ini sesuai dengan struktur masyarakat yang dilayaninya ?
2. Apakah peranan hukum ini
di dalam masyarakat ?
3. Fungsi positif dan
negatif mana yang ada pada hukum sekarang ini ?
Dalam rangka membangun sistem peradilan di Indonesia maka terkait
di dalamnya pembangunan substansi hukumnya. Apabila sistem peradilan
dimaksudkan sebagai penegakan hukum maka hal ini juga akan berhubungan dengan
fungsi hukum sebagai pengatur kehidupan masyarakat. Dalam hal ini hukum harus
menjalani suatu proses yang panjang dan melibatkan berbagai aktivitas dengan
kualitas yang berbeda-beda. Secara garis besar aktivitas itu berupa pembuatan
hukum dan penegakan hukum.
Berdasarkan
komponen Friedman di atas, Achmad Ali berpendapat bahwa kondisi
Sistem Hukum Nasional Indonesia, sangat menyedihkan dan mengalami keterpurukkan
yang luar biasa. Keterpurukan tersebut tidak akan berhasil diperbaiki apabila
sosok-sosok the dirty broom ( sapu kotor) masih menduduki jabatan di
berbagai institusi hukum.[21]
Bagir Manan menyebutkan bahawa
keadaan hukum (the existing legal system ) Indonesia dewasa ini
menunjukkan hal-hal sebagai berikut : [22]
Dilihat
dari substansi hukum – asas dan kaidah – hingga saat ini terdapat berbagai
sistem hukum yang berlaku – sistem hukum adat, sistem hukum agama, sistem hukum
barat, dan sistem hukum nasional. Tiga sistem yang pertama merupakan akibat
politik hukum masa penjajahan. Secara negatif, politik hukum tersebut
dimaksudkan untuk membiarakan rakyat tetap hidup dalam lingkungan hukum
tradisional dan sangat dibatasai untuk memasuki sistem hukum yang diperlukan
bagi suatu pergaulan yang modern.
1.
Ditinjau dari segi bentuk, sistem
hukum yang berlaku lebih mengandalkan pada bentuk-bentuk hukum tertulis, Para
pelaksana dan penegak hukum senantiasa mengarahakan pikiran hukum pada
peraturan-peraturan tertulis. Pemakaian kaidah hukum adat atau hukum islam
hanya dipergunakan dalam hal-hal yang secara hukum ditentukan harus diperiksa
dan diputus menurut kedua hukum tersebut. Penggunaan Yurisprudensi dalam
mempertimbangkan suatu putusan hanya sekedar untuk mendukung peraturan hukum
tertulis yang menjadi tumpuan utama.
2.
Hingga saat ini masih cukup
banyak hukum tertulis yang dibentuk pada masa Pemerintah Hindia Belanda.
Hukum-hukum ini bukan saja dalam banyak hal tidak sesuai dengan alam
kemerdekaan, tetapi telah pula ketinggalan orientasi dan mengandung
kekosongan-kekososngan baik ditinjau dari sudut kebutuhan dan fungsi hukum
maupun perkembangan masyarakat.
3.
Keadaan hukum kita dewasa
ini menunjukkan pula banyak aturan kebijakan (beleidsregel).
Peraturan-peraturan kebijakan ini tidak saja berasal dari administrasi negara,
bahkan pula dari badan justisial. Peraturan kebijakan merupakan instrumen yang
selalu melekat pada administrasi negara.
Yang menjadi masalah, adakalanya peraturan kebijakan tersebut kurang memperhatikan
tatanan hukum yang berlaku. Berbagai aturan kebijakan menyimpang dari
ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku karena terlalu menekankan aspek. “doelmatigheid”
dari pada “rechtsmatigheid”. Hal-hal semacam ini sepintas lalu dapat
dipandang sebagai “terobosan” tas ketentuan-ketentiuan hukum yang dipandang
tidak memadai lagi. Namun demikian dapat menimbulkan kerancuan dan ketidak
pastian hukum.
4.
Keadaan lain dari hukum kita
dewasa ini adalah sifat departemental centris. Hukum khususnya peraturan
perundang-undangan – sering dipandang sebagai urusan departemen bersangkutan.
Peraturan perundang-undangan pemerintah daerah adalah semata-mata urusan
Departemen Dalam Negeri. Peraturan perundang-undangan industri adalah
semata-mata urusan Departemen Perindustrian dan Perdagangan.
5.
Tidak pula jarang dijumpai
inkonsistensi dalam penggunaan asas-asas hukum atau landasan teoretik yang
dipergunakan.
6.
Keadaan hukum kita – khususnya peraturan
perundang-undangan yang dibuat dalam kurun waktu dua puluh lima tahun terakhir
– sangat mudah tertelan masa, mudah aus (out of date) . Secara obyektif
hal ini terjadi karena perubahan masyarakat di bidang politik, ekonomi, sosial
dan budaya berjalan begitu cepat, sehingga hukum mudah seka;i tertinggal di
belakang. Secara subyektif, berbagai peraturan perundang-undangan dibuat untuk
mengatasi keadaan seketika sehingga kurang memperhatikan wawasan ke depan.
Kekurangan ini sebenranya dapat dibatasi apabila para penegak hukum berperan
aktif mengisi berbagai kekososngan atau memberikan pemahaman baru suatu kaidah.
Kenyataan menunjukkan bahwa sebagian penegak hukum lebih suka memilih sebagai
“aplikator” daripada sebagai “dinamisator” peraturan perundang-undangan.
Dari berbagai kasus yang menimpa pengadilan
setidaknya terdapat tiga kritik bagi lembaga peradilan kita. [23]
Pertama, adalah lemahnya moral dan profesionalisme.
Kedua, adalah lemahnya
budaya hukum masyarakat yang menyangkut persepsi masyarakat terhadap pola
penegakkan hukum dan
Ketiga,
adalah lemahnya kemandirian dan kebebasan hakim (lemahnya sistem peradilan).
Kondisi sistem peradilan yang terjadi saat ini di Indonesia
sangat jauh dari nilai-nilai keadilan yang diharapkan. Kondisi sistem peradilan
yang buruk disebabkan oleh kelemahan dalam struktur, substansi dan kultur. Munculnya
kritik-kritik terhadap sistem peradilan di Indonesia tidak lain karena sistem
peradilan yang ada belum memberikan pengayoman kepada masyarakat melalui
keputusan yang adil dan berwibawa.
Satjipto Rahardjo
menyebutkan, sesungguhnya lembaga peradilan adalah tempat untuk menyelesaikan
persoalan-persoalan hukum agar tidak berkembang menjadi konflik yang
membahayakan keamanan dan ketertiban masyarakat. Namun, fungsi itu hanya akan
efektif apabila pengadilan memiliki 4 (empat) prasyarat : [24]
1. Kepercayaan (masyarakat) bahwa di tempat itu mereka akan
memperoleh keadilan seperti mereka kehendaki;
2. Kepercayaan (masyarakat) bahwa pengadilan merupakan lembaga yang
mengekspresikan nilai-nilai kejujuran, mentalitas yang tidak korup dan
nilai-nilai utama lainnya;
3. Bahwa waktu dan biaya yang mereka keluarkan tidak sia-sia;
Sistem peradilan yang diharapkan yang akan
berlaku di masa datang adalah suatu sistem yang mampu menempatkan hukum kembali
ke akar moralitasnya, akar religiusnya dan akar kulturalnya. Sebab hanya dengan
cara itu masyarakat merasakan bahwa hukum itu sesuai dengan nilai-nilai
keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan yang hidup di tengah-tengah
masyarakat.
Perlu
pembenahan terhadap seluruh sistem peradilan di Indonesia yang mencakup
struktur, substansi dan cultur hukumnya. Faktor yang sangat penting dalam
pembenahan itu adalah sumber daya manusia sebagai salah satu faktor yang sangat
esensial untuk melakukan perubahan secara total.
Agar
peradilan yang fair, impartial dan obyektif dapat segera direalisasikan maka
perlu adanyas status dan peranan profesi advokad yang otonom dalam sistem
hukum. Menjadikan profesi menjadi bagian birokrasi secara independen akan
membuka lebar pada penyimpangan dalam peradilan.
II.c.Teori Hukum
Postmodernisme serta implementasinya di Indonesia
Dimulai dari induk ilmu hukum yaitu filsafat hukum, dimana
diketahui hukum dalam filsafat hukum berkembang berdasarkan periodisasinya,
dimulai dari zaman Purbakala, abad pertengahan, zaman Renaissance (abad 12), zaman Rasionalisme/Baru (abad 17),
zaman Modern (abad XIX), kemudian hingga sekarang yaitu zaman Postmodern.
Perkembangan periodisasasi tersebut seiring bersamaan dengan perkembangan pola
pikir manusia mulai saat zaman Purbakala (Yunani) pola pemikiran bersifat
Kosmosentris, saat Abad Pertengahan pola pemikiran bersifat Antroposentris,
saat zaman Modern pola pemikirannya individualis, rasionalis dan materialis
kemudian sekarang ini era Post Modern pola pemikiran cenderung bersifat majemuk
dan dinamis.
Postmodernisme berasal dari
kata post dan modern. “Post” atau” pasca” secara literal mengandung arti
sesudah, jadi istilah Postmodernisme berarti era pasca modern berupa gugatan
kepada modernisme. Berkaitan dengan definisi Postmodernisme itu sendiri, belum
ada rumusan yang baku sampai saat ini, karena Postmodernisme sebagai wacana
pemikiran masih terus berkembang sebagai reaksi melawan modernisme yang muncul
sejak akhir abad 19.[25]
Postmodernisme tumbuh
dan berkembang dimasyarakat dikarenakan kegagalan dan telah usangnya pelaksanaan cita-cita
zaman Modern. Perubahan perkembangan kebutuhan tersebut menimbulkan perubahan pola
pemikiran pula. Filsuf yang
Mengawali Perkembangan Postmodern : Michel Foucault,
Jean-Francois Lyotard, dan Jacques Derrida, Jennifer
Wicke (Postmodern Identity and the Legal Subject)
Bagi kaum postmodern, “perbedaan” merupakan inti dari segala kebenaran.
Karena itu, mereka’tidak mempercayai pada hal-hal yang universal, harmonis, dan
konsisten. Tidak ada musyawarah musyawarahan dalarn mencari kebenaran dan
menghadapi realitas. Yang ada hanyalah perbedaan-perbedaan, dan
perbedaan-perbedaan tersebut harus selalu dihormati.
Kaum postmodern percaya bahwa tidak ada suatu
yang transenden dalam realitas. Postmodernisme
tumbuh dan berkembang
dengan cara menjauhkan dari segala sifat kemapanan, kebuntuan, keangkuhan,
imperialisme, etnosentrisme yang mewarnai dominan hegemonik modernisme, dimana
itu semua dijadikan sebagai suatu pijakan dalam merestruktur apa yang telah
didestruktur, merekonstruksi dari apa yang telah didekontruksi oleh
postmodernisme itu sendiri.
Menurut
Amin Abdullah ada tiga fenomena
dasar yang menjadi tulang pungung arus pemikiran postmodernsme yang ia
istilahkan dengan ciri-ciri strukur fundamental pemikiran Postmodernisme,
yaitu:
1.Dekonstruktifisme
Hampir semua bangunan atau konstruksi
dasar keilmuan yang telah mapan dalam era modern, baik dalam bidang sosiologi,
psikologi, antropologi, sejarah, bahkan juga dalam ilmu-ilmu kealaman yang
selama ini dianggap baku –yang biasa disebut dengan grand theory- ternyata
dipertanyakan ulang oleh alur pemikiran Postmodernisme. Hal itu terjadi karena
grand theory tersebut dianggap terlalu skematis dan terlalu menyederhanakan
persoalan yang sesungguhnya serta dianggap menutup munculnya teori-teori lain
yang barangkali jauh lebih dapat membantu memahami realitas dan pemecahan
masalah.
Jadi klaim adanya teori-teory yang baku, standar, yang tidak dapat
diganggu gugat, itulah yang ditentang oleh para pemikir Postmodernisme.
Para protagonis pemikiran Postmodernisme
tidak meyakini validitas “konstruksi”bangunan keilmuan yang ” baku” , yang
“standar” yang telah disusun oleh genarasi modernis. Standar itu dilihatnya
terlalu kaku dan terlalu skematis sehingga tidak cocok untuk melihat
realitas yang jauh lebih rumit. Dalam teori sosiologi modern, para ilmuan
cenderung untuk melihat gejala keagamaan sebagai wilayah pengalaman yang amat
sangat bersifat individu. Pengalaman keagamaan itu tidak terkait dan harus
dipisahkan dari kenyataan yang hidup dalam realitas sosial yang ada.
Era Postmodernisme ingin melihat suatu
fenomena social, fenomena keberagamaan, realitas fisika apa adanya, tanpa harus
terkurung oleh anggapan dasar atau teori baku dan standar yang diciptakan
pada masa modernisme. Maka konstruksi bangunan atau bangunan keilmuan
yang telah dibangun susah payah oleh generasi modernisme ingin diubah,
diperbaiki, dan disempurnakan oleh para pemikir postmodernis. dalam istilah
Amin Abdullah dikenal dengan “ deconstructionism” yakni upaya mempertanyakan
ulang teori-teori yang sudah mapan yang telah dibangun oleh pola pikir
modernisme, untuk kemudian dicari dan disusun teori yang lebih relevan dalam
memahami kenyataan masyarakat, realitas keberagamaan, dan realitas alam yang
berkembang saat ini.[26]
2. Relativisme
Thomas S. Kuhn adalah salah seorang pemikir yang men-dobrak
keyakinan para ilmuan yang bersifat positivistik. Pemikiran positivisme
memang lebih menggarisbawahi validitas hukum-hukum alam dan social yang
bersifat universal yang dibangun oleh rasio.
Manivestasi pemikiran Postmodernisme
dalam hal realitas budaya (nilai-nilai, kepercayaan agama, tradisi, budaya dan
lainnya) tergambar dalam teori-teori yang dikembangkan oleh disiplin
antropologi. Dalam pandangan antropolog, tidak ada budaya yang sama dan sebangun
antara satu dengan yang lain. Seperti budaya Amerika jelas berbeda dengan
budaya Indonesia. Maka nilai-nilai budaya jelas sangat beraneka ragam sesuai
dengan latarbelakang sejarah, geografis, demografis dan lain sebagainya. Dari
sinilah nampak, bahwa nilai-nilai budaya bersifat relatif, dalam arti antara
satu budaya dengan budaya yang lain tidak dapat disamakan seperti hitungan
matematis. Dan hal ini sesuai dengan alur pemikiran postmdernisme yaitu bahwa
wilayah budaya, bahasa, cara berpikir dan agama sangat ditentukan oleh tata
nilai dan adat kebiasaan masing-masing.
Dari sinilah nampak jelas, bahwa para
pemikir Postmodernisme menganggap bahwa segala sesuatu itu sifatnya relative
dan tidak boleh absolut, karna harus mempertimbangkan situasi dan kondisi yang
ada. Namun konsepsi relativisme ini ditentang oleh Seyyed Hoessein Nasr, seorang pemikir kontempor. Baginya tidak ada
relativisme yang absolut lantaran hal itu akan menghilangkan normativitas
ajaran agama. Tetapi juga tidak ada pengertian absolut yang benar-benar
absolut, selagi nilai-nilai yang absolute itu dikurung oleh historisitas
keanusiaan itu sendiri.[27]
3. Pluralisme
Akumulasi dari ciri pemikiran Postmodernisme yaitu
pluralisme. Era pluralisme sebenarnya sudah diketahui oleh banyak bangsa
sejak dahulu kala, namun gambaran era pluralisme saat itu belum dipahami sepeti
era sekarang. Hasil teknologi modern dalam bidang transportasi dan komunikasi
menjadikan era pluralisme budaya dan agam telah semakin dihayati dan
dipahami oleh banyak orang dimanapun mereka berada. Adanya pluralitas budaya,
agama, keluarga, ras, ekonomi, social, suku, pendidikan, ilmu pengetahuan,
militer, bangsa, negara, dan politik merupakan sebuah realitas. Dan berkaitan
dengan paradigma tunggal seperti yang dikedepankan oleh pendekatan
kebudayaan barat modernis, develop, mentalis, baik dalam segi keilmuan, maupun
lainnya telah dipertanyakan keabsahannya oleh pemangku budaya-budaya di luar
budaya modern. Maka dalam konteks keindonesiaan khususnya, dari ketiga ciri
pemikiran Postmodernisme, nampaknya fenomena pluralisme lebih dapat diresapi
oleh sebagian besar masyarakat.[28]
Teori Hukum Kritis (Critical Legal Theory) dan Feminisme
Hukum (Legal Feminisme) sebagai
bagian Post Modernisme berkembang dimasyarakat berpokok pada pemikiran tidak
puas dan melancarkan kritik kepada pandangan liberal, serta berkeyakinan dapat
mengisi kekosongan dan kehausan akan doktrin-doktrin baru dalam hukum
kontemporer.
Konsep Critical Legal Theory
Aliran Critical Legal Theory
meiliki beberapa karakteristik umum sebagai berikut:
1. Aliran Critical Legal Theory ini mengkritik hukum
yang berlaku yang nyatanya memihak ke politik, dan sama sekli tidak netral
2.Ajaran
Critical Legal Theory ini mengkritik hukum yang sarat dan dominan dengan
ideologi tertentu.
3.Aliran
Critical Legal Theory ini mempunyai komitmen besar terhadap kebebasan
individual dengan batasan tertentu, karena aliran ini berhubungan dengan
emansipasi kemanusiaan
4.Ajaran
Critical Legal Theory ini kurang mempercayai bentu-bentuk kebenaran yang
abstrak dan pengetahuan yang benar-benar obyektif. Karena itu ajaran Critical
Legal Theory menolak keras ajaran-ajaran dalam positivisme hukum
5.Aliran
Critical Legal Theory ini menolak perbedaan antara teori dan praktek, dan
menolak juga perbedaan antara fakta dan nilai, yang merupakan karakteristik
dari paham liberal.
Sedangkan Teori Feminisme Hukum
(Feminisme Legal Theory), berasal dari kata feminisme dicetuskan pertama kali oleh aktivis sosialis
utopis, Charles Fourier pada tahun
1837.Pergerakan yang berpusat di Eropa ini berpindah ke Amerika dan berkembang
pesat sejak publikasi John Stuart Mill, "Perempuan sebagai Subyek" (
The Subjection of Women) pada tahun (1869).Perjuangan mereka menandai kelahiran
feminisme Gelombang Pertama.
Pada awalnya gerakan ditujukan untuk mengakhiri masa-masa
pemasungan terhadap kebebasan perempuan. Secara umum kaum perempuan (feminim)
merasa dirugikan dalam semua bidang dan dinomor duakan oleh kaum pria
(maskulin) dalam bidang sosial, pekerjaan, pendidikan, dan politik khususnya -
terutama dalam masyarakat yang bersifat patriarki. Dalam masyarakat tradisional
yang berorientasi Agraris, kaum pria cenderung ditempatkan di depan, di luar
rumah, sementara kaum perempuan di dalam rumah. Situasi ini mulai mengalami
perubahan ketika datangnya era Liberalisme di Eropa dan terjadinya Revolusi
Perancis di abad ke-XVIII yang merambah ke Amerika Serikat dan ke seluruh
dunia.
Dalam perjalanannya diketahui
aliran-aliran Feminisme, seperti : Feminisme
liberal, Feminisme Radikal, Feminisme Post Modern, Feminisme Anarkis, Feminisme Marxis, Feminisme sosialis, Feminisme postcolonial, Feminisme Nordic.
Dengan tokoh-tokoh peerkembangan
Feminisme seperti: Foucault,
Naffine (1997:69), Derrida (Derridean).
Teori Feminisme di Indonesia diketahui berkembang
dimulai sejak masa pra Kemerdekaan, masa pasca
Kemerdekaan, masa Orde Baru, masa Reformasi, maupun pasca Reformasi.
Dimana isu-isu yang menjadi pembahasan utama sekarang ini yaitu praktek penentuan kuota perempuan dalam kepengurusan partai politik dan
pencalonan legislatif, baik adanya kekhawatiran politik uang maupun keterwakilan
pencalonan legislatif.
Pelaksanaan
Teori Hukum Kritis (Critical Legal Theory)
dan Feminisme Hukum (Legal Feminisme)
dalam upaya memunculkan hukum yang berkeadilan di Indonesia, pada umumnya masih
taraf pengembangan baik produk hukum maupun dalam prakteknya.
Kedua
Teori tersebut diperlukan sebagai suatu alat analisa yang dapat mengungkap
“hidden poitical intentions” dibelakang berbagai konsep, doktrin dan proses-proses
hukum di Indonesia.
Hal ini dikarenakan sifat Teori Hukum Kritis
(Critical Legal Theory) dan Feminisme
Hukum (Legal Feminisme) itu sendiri
yang hanya merayu dengan tidak memfokuskan mencari kebenaran hukum yang stagnan
(statis), melainkan memfokuskan pada percakapan, perbedaan dan penafsiran yang
terus-menerus, hanya sebagai suatu pijakan dalam merestruktur apa yang telah
didestruktur, merekonstruksi dari apa yang telah didekontruksi oleh
postmodernisme dengan memberikan
tawaran-tawaran kehidupan yang lebih bermakna sekaligus untuk munculnya hukum yang dirasakan
keadilannya.
II.d.Teori Hukum Progresif
serta
implementasinya di Indonesia
Teori Hukum ini dipopulerkan oleh Prof. Satjipto Rahardjo, SH. , seorang
Begawan hukum dari Universitas Diponegoro. Keadilan menurut hukum progresif
adalah keadilan subtantif. Keadilan yang didasarkan pada nilai-nilai
keseimbangan atas persamaan hak dan kewajiban. Nilai-nilai keadilan tersebut
berasal lansung dari masyarakat dan bukan nilai-nilai keadilan yang tekstual
dan hitam putih yang memiliki makna terbatas. Bukan keadilan prosedur yang
didapat melalui berbagai macam prosedur-prosedur yang terkadang mengaburkan
nilai-nilai keadilan itu sendiri.
Prof. Satjipto Rahardjo, SH.
menggagas suatu teori hukum baru di Indonesia, yaitu teori hukum progresif,
inti dari teori ini bahwa hukum adalah suatu institusi yang bertujuan
mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil, sejahtera dan membuat manusia
bahagia.[29] Gagasan
hukum progresif muncul karena keprihatinan terhadap hukum Indonesia, dikatakan
bahwa sistem hukum Indonesia adalah satu yang terburuk di dunia. Prof. Tjip
lebih menekankan menemukan keadilan di mana saja, tidak mutlak hanya di
pengadilan, karena keadilan ada di mana-mana.[30] Pada
intinya pemikiran hukum progresif menekankan bahwa hukum harus kembali pada
filosofi dasarnya, yaitu hukum untuk manusia.[31]
Hukum progresif adalah bagian dari proses pencarian
kebenaran (searching for the truth) yang tidak pernah berhenti. Hukum
progresif yang dapat dipandang sebagai konsep yang sedang mencari jati diri,
bertolak dari realitas empirik tentang bekerjanya hukum dimasyarakat, berupa
ketidakpuasan dan keprihatinan terhadap kinerja dan kualitas penegakan hukum
dalam setting Indonesia akhir abad ke-20.
Menurut
pemikiran Prof. Tjip, tuntutan perumusan hukum ke dalam teks bisa menyebabkan
hukum terjebak pada persoalan kebahasaan dan dengan demikian memasuki permainan
kebahasaan. Kalau hukum itu dituntut untuk membuat rumusan-rumusan, maka pada
waktu yag sama hukum sama dengan ditakdirkan untuk gagal menjalankan tugas
tersebut. Dalam perspektif ini hukum sudah cacat sejak lahir, inilah tragedi
hukum, masyarakat diatur oleh hukum yang cacat karena ketidakmampuannya untuk
merumuskan dengan tepat hal-hal yang ada di masyarakat. Maka masyarakatpun
diatur oleh hukum yang cacat sejak awal.[32]
Indonesia
yang telah berabad-abad memakai sistem hukum positivistik, karena pengaruh
kolonialisme, corak hukumnya lebih pada legal-dogmatik. Penyelesaian masalah
dan keadilan hanya dapat dilakukan di pengadilan, hakim dan penegak hukum
lainnya bertindak atas nama peraturan. Sedangkan pemikiran Hukum progresif yang
menggagas pencarian keadilan di mana saja, di mana ada keadilan di situlah ada
hukum. Lalu bagaimana dengan kepastian hukum jika sistem hukum Indonesia
melaksanakan hukum progresif seperti pemikiran Prof. Satjipto Rahardjo? Kalau keadilan diterapkan di mana saja,
institusi negara hanyalah sebagai penjaga malam, bukankah hal ini akan
berakibat pada ketidak pastian hukum.
Di samping
itu, jika secara baku hukum diartikan dengan sempit, seperti hukum adalah
Undang-undang dan keadilan hanya di pengadilan, akan timbul suatu permasalahan
yang paling akut dalam hukum, yaitu hukum akan cacat karena bisa jadi hukum
yang ada dalam peraturan tidak bisa menjawab tantangan zaman dan dinamika yang
berkembang dalam masyarakat.
Permasalahn
itu perlu diselesaikan dengan dialektika intelektual, agar nantinya hukum
Indonesia bisa mencapai tujuan dari hukum itu sendiri, yaitu menciptakan ketertiban
dalam masyarakat dan memberikan rasa damai
Hukum merupakan suatu institusi yang bertujuan
mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil, sejahtera dan membuat manusia
bahagia.[33] Hal yang paling penting didapatkan dari
hukum adalah bagaiana tujuan-tujuan hukum itu dapat tercapai, hukum hanyalah
sebatas sarana untuk mendapatkan keadilan. Penegakan hukum, menurut teori ini,
bukanlah menjalankan hukum sebagaimana mestinya, akan tetapi lebih pada cara
sosiologis sebagai bentuk alternatif untuk mencapai tujuan hukum yang berbentuk
keadilan dengan pertimbangan efisiensi.27
Pemikiran hukum progresif yang
bertolak pada pengertian bahwa hukum untuk manusia menjadikan manusia sebagai
tujuan penegakan hukum yang utama. Kepastian hukum yang dianggap tidak adil,
pada konteks tertentu, dapat diabaikan asalkan bisa menemukan keadilan dengan
metode yang lain. Itinya keadilan tidak hanya berada di pengadilan dan yang
tertulis dalam Undang-undang, tapi keadilan berada di mana-mana.
Hukum progresif lahir dengan melakukan
terobosan menghadapi transisi dinamika masyarakat, bukan rutinitas belaka,
karena hukum bukan barang dagangan. Hukum lahir dari filosofi dasar dimana
hukum itu untuk manusia bukan sebaliknya. Hukum dilihat dari tujuan sosial dan
akibat bekerjanya hukum. Diperlukan kekuatan yang besar untuk lebih peka dalam
kepekaan sosial melalui perubahan baik Peraturan, kreativitas pelaku hukum,
aktualisasi hukum, ruang dan waktu, karena hukum dalam fungsinya yaitu social engineering yaitu memajukan dan
mengarahkan masyarakat.
Kelemahan pemikiran hukum
progresif ini ialah pada sifatnya yang fleksibel, terlalu adaptif, sehingga
akan mengundang kekaburan tanggung jawab bagi aparat penegak hukum. Adaptasi
hukum yang digagas hukum progresif akan menyebabkan adaptasi yang tidak
terarah, yaitu akan sukar memilah tekanan yang baik dan buruk, karena konsepnya
lebih diarahkan pada gejala perubahan sosial.
Prospek yang dimiliki hukum progresif
di Indonesia karena masyarakat Indonesia sangatlah plural, baik hukum maupun
gejala sosialnya, hal ini memungkinkan pemikiran hukum progresif sesuai dengan ciri masyarakat Indonesia yang lebih mengutamakan harmonis dan mendahulukan
penerapan keadilan yang sebenarnya, bukan keadilan yang sesuai peraturan.
Setiap prospek yang dimiliki oleh sesuatu
hal, tentunya tantangannya juga mengiringinya. Tantangan paling utama terhadap
penegakan hukum progresif sebenarnya datang dari mengakarnya civil law yang
positivistik dalam sistem hukum Indonesia, di mana sistem hukum Indonesia lebih
mementingkan penegakan hukum yang berdasarkan kepastian hukum daripada
menerapkan keadilan. Di samping itu, masyarakat Indonesia ke pengadilan
bukanlah untuk mencari keadilan, namun lebih pada untuk memenangkan perkara
yang lebih parahnya hal ini diikuti oleh para penegak hukum (Polisi, Jaksa,
Pengacara dan Hakim).
II.e.Teori Hukum Responsif
Philippe Nonet dan Philip Selznick[34]
sebagai pencetus Aliran Hukum
Responsif, secara garis besar telah mengupas tiga klasifikasi dasar dari hukum
dalam masyarakat, yaitu : kesatu
hukum sebagai pelayan kekuasaan represif (hukum represif), kedua hukum sebagai institusi tersendiri yang mampu menjinakkan
represi dan melindungi integritas
dirinya (hukum otonom), dan ketiga hukum
sebagai fasilitator dari berbagai respons terhadap kebutuhan dan
aspirasi sosial (hukum responsif).
Nonet dan Selznick membuat
satu bagan yang membedakan antara hukum
yang bertipe menindas (repressive
law) dan
hukum yang disebutnya lebih baik, yaitu hukum otonom (autonomous law).
Di luar kedua model ini, sebenarnya mereka juga menyebutkan satu tipe lain,
yaitu hukum responsif (responsive law). Hukum responsif adalah hukum yang mampu
mengatasi ketegangan- ketegangan akibat terjadinya perubahan sosial. Agar hukum
menjadi responsif, sistem hukum dalam banyak hal hendaknya terbuka terhadap
tantangan-tantangan yang ada dalam masyarakat. Sistem hukum juga harus mampu
mendorong partisipasi masyarakat dan selalu sigap menyikapi setiap kepentingan
yang baru muncul dalam masyarakat. Jika bagan di atas dikembangkan untuk
menandai tipe hukum responsif ini, maka akan tampak seperti penjelasan di bawah
ini.[35]
Tipe
kesatu hukum menindas (represif) adalah hukum yang mengabdi kepada
kekuasaan yang represif. Tipe hukum ini praktis tanpa legitimasi sama sekali.
Orang menaatinya karena dibayang-bayangi oleh ketakutan terhadap penguasa yang
keras dan kasar. Sifat represif dari hukum itu semata-mata bertujuan untuk
memelihara stabilitas sosial. Tipe kedua, yaitu hukum otonom jelas
lebih baik daripada tipe pertama karena ia mampu menjinakkan sifat represif
dari kekuasaan itu demi melindungi integritas hukum itu sendiri. Tipe hukum
otonom sudah memiliki legitimasi sebagai hukum. Legitimasi ini didasarkan pada
gagasan bahwa stabilitas sosial itu baru memiliki keabsahan secara hukum
apabila penggunaan kekuasaan diawasi menurut prinsip prinsip konstitusional,
prosedur-prosedur formal, dan institusi peradilan yang bebas. Tipe kedua di
atas sudah baik, namun dikhawatirkan apabila hukum hanya dijalankan secara
formalitas demikian, maka keadilan yang dicapai juga hanya keadilan formal
belaka. Untuk itu perlu ada Tipe ketiga yang bertujuan melayani
kebutuhan riil masyarakat, atau dengan perkataan lain ia lebih sebagai “problem
solver”. Keadilan yang ingin dicapai adalah keadilan material (substantif).
Nonet dan Selznickmengatakan, bahwa tipe hukum menindas tidak mungkin dapat
lepas dari permasalahan “legitimasi” yang dihadapinya, kecuali ia bergerak mengubah dirinya menuju hukum
otonom. Selanjutnya, tipe hukum otonom juga tidak akan mampu mengatasi problema
“formalitas hukum” yang dihadapinya dan menuju ke arah tipe hukum responsif.
Responsif
adalah sarana respon atas ketentuan-ketentuan social dan apresiasi publik yang
bersifat terbuka, menerima perubahan, akomodasi aspirasi sosial.
Teori hukum
Responsif berbeda dengan Teori hukum Progresif, dimana pada dasarnya Teori
hukum Progresif menitikberatkan pada sikap dan perilaku penegakkan, sedangkan
Responsif lebih ke teori atau hukum yang merespon.
Berdasarkan uraian dan
pertimbangan yang sangat logis seperti diungkapkan di atas, maka harus diakui
bahwa konsep hukum sebagai sarana pembaruan masyarakat merupakan konsep
pembangunan hukum (termasuk Prolegnas), atau tegasnya Teori-teori hukum yang
paling tepat dan relevan untuk kondisi saat ini, adalah teori-teori hukum yang
dikembangkan oleh Nonet philippe dan Philip Selznick dengan Teori Hukum
Responsifnya. Aliran ini memang mirip dengan pemikiran awal Roscoe Pound dengan
Sociological Jurisprudence-nya.
Dalam model
pengembangannya (developmental model), hukum responsif berupaya
memecahkan persoalan mendasar dalam membangun sistem politik-hukum, di mana
tanpa adanya sistem politik-hukum ini mustahil bagi perkembangan hukum dan
politik untuk bergerak ke arah yang lebih baik. Politik hukum merupakan
kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk, maupun isi dari hukum yang akan
dibentuk[36] Keberadaan politik hukum sangat
diperlukan yakni legal policy atau garis
kebijakan resmi tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan
hukum baru maupun dengan penggantian hukum lama dalam rangka mencapai tujuan
negara. [37]
Hukum responsif sebenarnya berorientasi pada
hasil dan pada tujuan-tujuan yang akan dicapai di luar hukum. Dalam tipe hukum
ini, tatanan hukum dinegosiasikan, bukan dimenangkan melalui subordinasi. Ciri
khas hukum responsif adalah mencari nilai-nilai tersirat dalam peraturan dan
kebijakan, karena pada dasarnya teori hukum responsif adalah teori hukum yang
memuat pandangan kritis. Teori ini berpandangan bahwa hukum merupakan cara
mencapai tujuan, yakni keadilan yang substantif.
Hukum responsif tidak
hanya berorientasi pada rules, tapi juga logika-logika yang lain. Bahwa
memberlakukan jurisprudence saja tidak cukup, tapi penegakan hukum harus
diperkaya dengan ilmu-ilmu sosial. Dan ini merupakan tantangan bagi seluruh
pihak yang terlibat dalam proses penegakan hukum, mulai dari polisi, jaksa,
hakim, dan advokat untuk bisa membebaskan diri dari kungkungan hukum murni yang
kaku dan analitis. Produk hukum yang berkarakter responsif, proses pembuatannya
bersifat partisipasif, yakni mengundang sebanyak-banyaknya partisipasi semua
elemen masyarakat, baik dari segi individu ataupun kelompok masyarakat, dan
juga harus bersifat aspiratif yang bersumber dari keinginan atau kehendak dari
masyarakat. Artinya, produk hukum itu bukan kehendak dari penguasa untuk
melegitimasikan kekuasaannya.
Ada banyak penyebab suatu sistem hukum terjerumus menjadi tatanan yang
menindas masyarakatnya. Hal ini terjadi karena elite politik tidak mempunyai
legitimasi lain kecuali harus menggunakan cara-cara kekerasan untuk
mempertahankan tujuannya. Mereka yang memegang kendali kekuasaan dihadapan pada
banyak masalah, seperti kemerosotan ekonomi dan keresahan sosial, sementara di
sisi lain waktu untuk memperbaiki itu semua tidak cukup. Akhirnya, satu-satunya
cara adalah mereka menggunakan hukum untuk menindas rakyatnya.
. Orientasi dan tujuan hukum responsif serta legitimasinya adalah kompetensi
dan keadilan yang subtantive. Konsep Hukum Responsif untuk mengatasi hukum
respresif dan menindas. Hukum Responsif tidak boleh
berhenti pada penciptaan peraturan tertulis belaka karena hukum tertulis
seperti itu selalu mengalami keterbatasan. Konsep ini memerlukan peranan aparat
penegak hukum yang profesional, untuk memberikan jiwa pada kalimat-kalimat yang
tertulis dalam peraturan perundang-undangandan responsive untuk mengatasi
kebutuhan masyarakat di bidang hukum.
Proses pembentukan, perubahan (revisi), dan
pencabutan suatu undang-undang dalam kenyataan belum memberikan aksesyang
seimbangkepadasetiap stakeholder dalam menyuarakan dan mengakomodasikan
kepentingannya. Di samping itu, mekanisme penyusunan sampai dengan tahap
pengesahan suatu undang-undang, baik menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
nomor 16 tahun 2010 tentang Tata Tertib DPR (Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia nomor 16 tahun 2010) tidak menjamin pemberian akses yang memadai bagi
masyarakat (stakeholders) dalam menyampaikan aspirasi mereka.
Politik
pembentukan hukum yang aspiratif tentu tidak harus berhenti pada penggunaan
hasil-hasil penelitian tentang living law
itu saja. Politik pembentukan hukum harus juga berlanjut sampai taraf
perumusannya dalam bentuk (format) yuridis formal undang-undang itu. Politik
hukum nasional dalam kedua lingkup utama di atas, sampai sekarang tidak pernah
jelas. Seharusnya ada suatu forum resmi dan terbuka, yang secara berkala
diadakan untuk mendiskusikan
politik hukum nasional ini. Forum seperti yang dilakukan
oleh BPHN berupa Seminar Hukum Nasional, sebenarnya adalah wahana yang tepat
untuk keperluan ini. Sayangnya, seminar yang cukup besar seperti itu tidak
dimanfaatkan secara optimal, bahkan sering tanpa target yang jelas. Seandainya,
DPR dan Pemerintah dapat mengorganisasikan seminar demikian menjadi lebih
terfokus, yakni untuk mendiskusikan (mengkritisi) rancangan politik hukum
nasional, maka tentu seminar tadi akan menjadi forum yang bernas dan sangat
bermanfaat untuk penetapan politik hukum dan pembentukan hukum yang responsif pada
program legislasi nasional oleh DPR dan Pemerintah sebagai dua lembaga
pembentuk undang-undang. Politik hukum dan strategi pemahaman hukum responsive
ini, sebagai suatu arahan kebijakan, dikonsultasikan secara berkala kepada
semua lapisan masyarakat (stakeholders) dalam suatu forum resmi dan terbuka.
Dalam prakteknya dibutuhkan sebanyak mungkin pembuatan materi Hukum responsif untuk berbagai
bidang. Hukum yang responsif mampu mengatasi ketegangan-ketegangan akibat
terjadinya perubahan sosial. Agar hukum menjadi responsif, sistem hukum dalam
banyak hal hendaknya terbuka terhadap tantangan-tantangan yang ada dalam
masyarakat. Sistem hukum juga harus mampu mendorong partisipasi masyarakat dan
selalu sigap menyikapi setiap kepentingan yang baru muncul dalam masyarakat.
Hukum Responsif bertujuanmelayani kebutuhan riil masyarakat sebagai “problem
solver”. Keadilan yang ingin dicapai adalah keadilan material (substantif).
Selain terkait masalah subtansi, penyusunan dan perumusan suatu undang-undang
juga harus memperhatikan aspek teknis. Di sini berperan para tenaga perancang
undang-undang (legal drafters). Kuantitas dan kualitas tenaga perancang di
Indonesia saat ini masih sangatkurang. Di sisi lain, standarkualitas perancang
inipun harus ditetapkan pula. Untuk keperluan standarisasi tersebut, perlu ada
sertifikasi khusus yang diberikan oleh asosiasi tenaga perancang undang-undang.
Seharusnya sebagai dasar penetapan untuk
membentuk, merevisi, dan mencabut suatu undang-undang diperlukan penelitian dan
mengkajian yang mendalam. Bagaimana seharusnya undang-undang yang dibuat cukup
responsif dengan waktu yang panjang dan tetap memenuhi keadilan yang sejati
bagi masyarakat. Penelitian dan pengkajian seharusnya dijadikan sebagai bagian
penting penelitian yang dimasukkan ke dalam naskah akademik yang mendampingi
pengajuan suatu Rancangan Undang-Undang. Perumusan suatu undang-undang wajib
ditunjang oleh hasil penelitian hukum yang sungguh-sungguh komprenensif dan
mendalam, baik dari sudut substansi maupun metodologinya. Hasil penelitian ini
merupakan salah satu dasar untuk penyusunan naskah akademik, dan keberadaan
nasksh akademik ini dinyatakan sebagai prasyarat wajib (bukan sekedar anjuran)
untuk pembuatan sebuah undang-undang. Mekanisme penyusunan undang-undang dituangkan
dalam sebuah produk hukum yang berlaku baik untuk undang-undang
dituangkan dalamsebuah produk hukum yang berlaku baik untuk undang-undang yang
berasal dari hak inisiatif DPR maupun hak inisiatif Pemerintah.
III.PENUTUP
Ketika pembahasan hukum dilakukan, maka tidak akan lepas dari 3
(tiga) kajian disiplin hukum yang ada yaitu Ilmu Hukum, Teori Hukum, dan
Filsafat Hukum. Ketiga-tiganya saling berkaitan, saling berhubungan dan
merupakan satu kesatuan yang tidak dapat terpisahkan. Filsafat Hukum sebagai
dasar pijakan atau sudut pandang diteruskan menjadi Teori Hukum dan Ilmu Hukum
dimana Ilmu Hukum diketahui merupakan Teori Hukum itu sendiri secara sempit. Transformasi
tahap-tahap tersebut kemudian disesuaikan dengan perubahan dan perkembangan
kebutuhan masyarakat tiap zamannya.
Dimulai dari induk ilmu hukum yaitu filsafat hukum, dimana
diketahui hukum dalam filsafat hukum berkembang berdasarkan periodisasinya,
dimulai dari zaman Purbakala, abad pertengahan, zaman Renaissance (abad 12), zaman Rasionalisme/Baru (abad 17),
zaman Modern (abad XIX), kemudian hingga sekarang yaitu zaman Postmodern.
Perkembangan periodisasasi tersebut seiring bersamaan dengan perkembangan pola
pikir manusia mulai saat zaman Purbakala (Yunani) pola pemikiran bersifat
Kosmosentris, saat Abad Pertengahan pola pemikiran bersifat Antroposentris,
saat zaman Modern pola pemikirannya individualis, rasionalis dan materialis
kemudian sekarang ini era Post Modern pola pemikiran cenderung bersifat majemuk
dan dinamis. Setiap perubahan pola pemikiran manusia tersebut berkorelasi
dengan perubahan perkembangan kebutuhan tiap zamannya.
Menurut Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, Hukum bukanlah
suatu institusi yang statis, ia mengalami perkembangan, berubah dari waktu ke
waktu, Konsep hukum seperti “Rule of Law” sekarang ini juga tidak muncul dengan
tiba-tiba begitu saja, melainkan hasil suatu perkembangan tersendiri. Adanya
hubungan timbal-balik yang erat antara hukum dengan masyarakat.
Apapun faham, teori ataupun
mazhabnya, hukum ditegakkan tetaplah mempunyai tujuan yang mulia, yaitu demi
ketertiban serta kedamaian manusia untuk mendapatkan keadilan yang substantif.
Penegakkan hukum memanglah menjadi persoalan klasik sejak manusia diciptakan,
entah itu prosedurnya maupun bentuknya.
Setiap teori pasti memiliki
kelebihan dan kekurangan, biasanya kekurangannya terletak tidak jauh dari
kelebihannya itu sendiri. Baik dimulai pemahaman hukum positif di
Indonesia maupun pemikiran hukum progresif,
masing-masing mempunyai kelebihan sekaligus kekurangan, dan kekurangan dari
masing-masing pemikiran hukum ini terletak pada kelebihannya juga.
Kaburnya tujuan hukum
di Indonesia memerlukan langkah-langkah berani untuk merubahnya. Saat ini yang harus dilakukan untuk membantu
terwujudnya tujuan pembangunan hukum dan pembangunan
Indonesia pada umumnya yaitu meningkatkan pemahaman dan kepekaan akan korelasi Ilmu Hukum,
Teori Hukum, dan Filsafat Hukum dengan hubungan langsung pada
perubahan-perubahan yang ada di dalam masyarakat. Mulai dari optimalisasi
kurikulum pendidikan fakultas hukum maupun pembentukan pribadi masyarakat yang
peka dan aktif tentang pentingnya eksistensi hukum dalam pencapaian tujuan
pemabangunan. Tentunya semua hal ini dimulai dari para penegak hukum,
pemerintah dan masyarakat sebagai adressat hukum itu sendiri yang
merasakan sekaligus yang mengarahkan.
[1] Lili Rasjidi dan
Putra Wiyasa dalam buku ”Hukum sebagai Suatu Sistem” Remaja
Rosda Karya, Bandung, 1993 mengatakan, dalam konteks sistem hukum, ilmu
hukum dibicarakan sebagai penjabaran,
pengujian, dan pengembangan teori-teori hukum yang berasal dari komponen
filsafat hukum. Tujuan dari penjabaran dan pengembangan itu berkaitan dengan
dimensi-dimensi ontologi, epistemologi, dan dimensi aksiologi. Dalam kaitannya
dimensi yang terakhir, ilmu hukum dipandang sebagai suatu kesatuan dengan
pendidikan hukum. Fungsi utamanya adalah sebagai media penghubung antara dunia
rasional (Sollen) dan dunia empiris (Sein). Fungsi ini mungkin diperankan
oleh ilmu hukum dan pendidikan hukum, adalah karena kelebihan yang dimilikinya,
yaitu dimensi rasional dan dimensi empiris dan ilmu hukum. Melalui kedua dimensi ini, ilmu hukum dan pendidikan
hukum dapat menghubungkan dunia filsafat dengan dunia kenyataan dengan cara
membangun konsep-konsep hukum.
[2]Otje Salman dan F. Susanto, Teori Hukum, Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali, Refika
Aditama, Bandung, 2005, Hal. 46
[3]Lily Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum,
PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, Hal. 56
[4]Lily Rasjidi dan I.B Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, CV. Mandar
Maju, Bandung 2003, Hal. 119-120
[5]Hans Kelsen, Pure
Theory Of Law, Berkely: Unibersity California Press 1978, Hal. 1
[6] Hans Kelsen, General
Theory Of Law And State, Terjemahan Somardi, Bee Media Indonesia, Jakarta,
2007, Hal. 202-203
[9]J.J.H. Bruggink, Rechts Refflectie, Grondbegrippen Uit De Rechtstheory, Alih Bahasa
B. Arief Sidharta, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, Hal. 163
[12] Paul Scholten, De Struktuur Der Rechtswetenschap, Alih Bahasa B. Arief Sidharta,
P.T Alumni, Bandung, 2005, Hal. 6
[14] Kritik terhadap pandangan Hans Kelsen itu juga dapat dibaca
melalui bukunya : Friemann, Theori and
Philosophy of Law, Universiy of Paris, 1973, hal. 285
[16] Mengenai konsep hukum responsive, otonom dan
represif dapat dibaca dan dipahami melalui buku : Philippe Nonet and Philip
Selznick, Law and Society in Transition:
To Reward Responsive Law, Harper and Row, New York, 1978, hal.
[25]
Dikutip
dari internet. http ://aryaverdimandhani.blospoth.com, diakses pada
tanggal 28 Juli 2014.
[26] Amin Abdullah, Falsafah Kalam Di Era Postmodernisme,
(Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 99-101.
[27] Ibid., hlm. 103-104.
[29] Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif : Sebuah Sintesa
Hukum Indonesia, Yogyakarta : Genta Publishing, 2009, hlm. 2.
[31] Bernard L. Tanya dkk., Teori Hukum : Strategi Tertib
Manusia Lintas Ruang dan Waktu, Yogyakarta : Genta Publishing, cet. III,
2010, hlm. 212.
[33] Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum : Suatu Tinjauan
Sosiologis, Yogyakarta : Genta Publishing, 2009, hlm. 12.
[34]
Nonet philippe dan Philip Selznick, Law & Society in Transition: Toward Responsive Law, 1978. Alih
bahasa oleh Rafael Edy Bosco, Hukum Responsif, Pilihan di masa transisi
(Jakarta : Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum berbasis masyarakat dan
Ekologis, 2013)
[35]
Nonet philippe dan Philip Selznick, ibid,
hlm. 13.
[36]
Padmo Wahjono, Indonesia Negara
Berdasarkan Atas Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia 1986) Cet. II, hlm 160.
[37]
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di
Indonesia, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2012), Cet. V, hlm. 1.
Komentar
Posting Komentar