Kontemplasi Profesi
Refleksi
“Judicial Crime” dan “Judicial Activism“
Dalam
Hukum dan Pembangunan Indonesia
“Kajian
Kritis Sosiologi Hukum atas Pidana Penjara Seumur Hidup
Kasus
Akil Mochtar (Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi)”
Walau hidup adalah permainan
Walau hidup adalah hiburan
Tetapi kami tak mau dipermainkan
Dan kami juga bukan hiburan
Masalah moral masalah akhlak
Biar kami cari sendiri
Urus saja moralmu urus saja
akhlakmu
Peraturan yang sehat yang kami
mau
Tegakkan hukum setegak-tegaknya
Adil dan tegas tak pandang bulu
Pasti kuangkat engkau
Menjadi manusia setengah dewa
#Lirik lagu.Manusia Setengah Dewa/Iwan Fals
I.PENDAHULUAN
I.a.Latar belakang
Salah satu
tujuan pembangunan negara dalam segala bidang adalah terbentuknya suatu negara hukum, dimana prinsip negara hukum yang utama adalah jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman
yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Pengadilan sebagai pilar utama
dalam penegakan hukum dan keadilan serta proses pembangunan peradaban bangsa.
Saat pengadilan dituntut berwibawa,
para pelaku yang terkait didalamnya tidak dapat dielakkan terutama dalam hal
ini ialah peran hakim. Sebagai pelaku utama fungsi pengadilan, hakim hendaknya
berperilaku berlandaskan pada prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, adil, bijaksana
dan berwibawa, berbudi luhur dan jujur.
Selain
itu memelihara kehormatan dan keluhuran martabat serta perilaku hakim
sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan harus
diimplementasikan secara konkrit dan konsisten baik dalam menjalankan tugas
yudisialnya maupun diluar tugas yudisialnya, sebab hal itu berkaitan erat
dengan upaya penegakkan hukum dan keadilan. Kehormatan hakim itu terutama
terlihat pada putusan yang dibuatnya dan pertimbangan yang melandasi atau
keseluruhan proses pengambilan keputusan yang bukan saja berdasarkan peraturan
perundang-undangan, tetapi juga rasa keadilan dan kearifan dalam masyarakat “Judicial Activism”.
Seiring dengan berjalannya
pertumbuhan pembangunan di segala bidang, dalam bidang hukum prakteknya masih
banyak terjadi bukan hanya pelanggaran bahkan kejahatan yang dilakukan oleh
hakim itu sendiri “Judicial Crime”.
Terlebih dalam makalah ini sengaja difokuskan pada kajian kasus korupsi, tindak pidana pencucian uang
maupun pelanggaran kode etik hakim oleh Terpidana Akil Mochtar (Mantan Hakim sekaligus Ketua
Mahkamah Konstitusi). Hakim Mahkamah Konstitusi sangat berbeda
dengan hakim lainnya yang pada dasarnya dibawah penguasaan Mahkamah Agung dan
Komisi Yudisial. Hakim Mahkamah Konstitusi berjalan selain atas aturan tentang
Mahkamah Konstitusi yang telah dibuat serta dibawah pengawasan Dewan Etik
Mahkamah Konstitusi, dimana putusannya bersifat final, tidak ada banding dan
mengikat, makanya Hakim MK dikenal
sebagai “Hakim
setengah Dewa”.
Penegakkan hukum memangl menjadi persoalan klasik sejak
manusia diciptakan, entah itu prosedurnya maupun bentuknya. Diperlukan refleksi menyeluruh semua pihak atas
kasus Akil Mochtar, serta maraknya hakim yang melakukan “ Judicial Crime”. Selain itu, kembali timbul
beberapa pertanyaan; Bagaimana pembangunan dapat berjalan jika hakim pengadilan
sebagai ujung landasan pembangunan keadilan tidak dapat diharapkan? Bagaimana
institusi pengadilan yang kokoh dirobohkan perlahan oleh perilaku hakimnya? Seberapa
besar dampak “Judicial
Crime” terhadap pembangunan sektor ekonomi maupun yang lainnya? Bagaimana
kita menyikapi “Judicial Crime” dan “Judicial Activism” dalam pembangunan
hukum dan pembangunan Indonesia secara tidak langsung?
I.b. Ruang
Lingkup dan Rumusan Masalah
Sehingga
dalam karya tulis ini sengaja kami fokuskan kajian beberapa
pertanyaan-pertanyaan tersebut diatas dalam bentuk pokok permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana peran Hakim Mahkamah Konstitusi dalam hukum Indonesia?
2.Bagaimana kronologis kasus Terpidana Akil Mochtar ( Mantan Hakim
sekaligus Ketua Mahkamah Konstitusi)?
3.Bagaimana seharusnya refleksi “Judicial Crime” dan “Judicial
Activism” dalam praktik hukum dan pembangunan di Indonesia?
I.c.
Maksud dan Tujuan
Penulisan karya tulis
ini sengaja disusun selain untuk pemenuhan tugas mata kuliah Sosiologi Hukum adalah
untuk mengetahui lebih dekat sejauh mana Refleksi“Judicial
Crime” dan “Judicial Activism“ Dalam
Hukum dan Pembangunan Indonesia dikaji dari segi Sosiologi hukum
atas Pidana Penjara Seumur Hidup Kasus Akil Mochtar (Mantan Hakim sekaligus Ketua
Mahkamah Konstitusi). Di samping itu, tulisan ini diharapkan dapat
pula menjadi masukan
bagi pembaharuan dan pengembangan
ilmu[1] hukum.
II. PEMBAHASAN
II.a. Peran Hakim Mahkamah Konstitusi “Hakim setengah
Dewa” Dalam Hukum Indonesia
Secara teoritis, keberadaan Mahkamah Konstitusi baru
diintrodusir pertama kali pada tahun 1919 oleh pakar hukum asal Austria, Hans Kelsen (1881-1973)
yang menyatakan bahwa pelaksanaan
konstitusional tentang legislasi dapat secara efektif dijamin hanya jika suatu
organ selain badan legislatif diberikan tugas untuk menguji apakah suatu produk
hukum itu konstitusional atau tidak, dan tidak memberlakukannya jika menurut
organ ini tidak konstitusional (constitutional
court).
Berdirinya Mahkamah Konstitusi diawali dengan Perubahan
Ketiga UUD 1945 dalam Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C, dan Pasal 7B yang disahkan
pada 9 November 2001. Setelah disahkannya Perubahan Ketiga UUD 1945, maka dalam
rangka menunggu pembentukan Mahkamah Konstitusi, MPR menetapkan Mahkamah Agung
menjalankan fungsi MK untuk sementara sebagaimana diatur dalam Pasal III Aturan
Peralihan UUD 1945 hasil Perubahan Keempat.
Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang
ditegaskan kembali dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a sampai dengan d UU 24 Tahun 2003,
kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah menguji undang-undang terhadap UUD 1945;
memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
UUD 1945; memutus pembubaran partai politik; dan memutus perselisihan tentang
hasil pemilihan umum. Selain itu, berdasarkan Pasal 7 ayat (1) sampai dengan
(5) dan Pasal 24C ayat (2) UUD 1945 yang ditegaskan lagi oleh Pasal 10 ayat (2)
UU 24 Tahun 2003, kewajiban
Mahkamah Konstitusi adalah memberikan keputusan atas pendapat DPR bahwa Presiden
dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum, atau perbuatan
tercela, atau tidak memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden
sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.
Makamah Konstitusi mempunyai 9
(sembilan) orang hakim konstitusi yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
Susunan Makamah Konstitusi terdiri atas seorang Ketua merangkap anggota,
seorang Wakil Ketua merangkap anggota, dan 7 (tujuh) orang anggota hakim
konstitusi. Ketua dan Wakil Ketua dipilih dari dan oleh hakim konstitusi untuk
masa jabatan selama 3 (tiga) tahun. Sebelum Ketua dan Wakil Ketua Makamah
Konstitusi terpilih sebagaimana dimaksud, rapat pemilihan ketua dan wakil Ketua
Makamah Konstitusi dipimpin oleh hakim konstitusi yang tertua usianya.
Dalam perjalanannya diketahui Hakim
Mahkamah Konstitusi pada periode 2003 – 2008
diketuai oleh Prof. DR. Jimly Asshiddiqie, S.H., periode 2003 – 2008
diketuai oleh Mohammad
Mahfud MD,
periode 2003 – 2008
diketuai oleh Muhammad
Akil Mochtar, S.H,. M.H,
periode 1 November
2013 – sekarang diketuai oleh DR. Hamdan Zoelva, S.H., M.H.
Fungsi dan tugas hakim sendiri pada
dasarnya adalah sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk
menyelenggarakan pengadilan guna menegakkan hukum dan keadilan, yang pada
dasarnya adalah mengadili.
II. b Kronologi
Kasus Korupsi, Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pelanggaran Etika Hakim oleh, Akil Mochtar (Hakim sekaligus Ketua Mahkamah
Konstitusi)
Pada Tahun 2013
Indonesia dikejutkan dengan kasus tindak pidana yang cukup menyedot perhatian masyarakat
luas, dimana melibatkan langsung Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil
Mochtar. Padahal, pada 2 Oktober 2013, Akil Mochtar juga sempat
ditangkap atas kasus penyalahgunaan kewenangan dalam memeriksa dan memutuskan
perselisihan hasil pemilu kepala daerah/wakil kepala daerah. Akil terbukti
meminta dan menerima suap.
Dalam kasusnya
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar didakwa menerima hadiah atau
janji terkait pengurusan sengketa 15 pilkada. Diketahui Jaksa dalam dakwaan
pertama, Akil disebut menerima suap terkait sengketa Pilkada Kabupaten Gunung
Mas (Rp 3 miliar), Pilkada Lebak (Rp 1 miliar), Pilkada Kabupaten Empat Lawang
(Rp 10 miliar dan 500.000 dollar AS), Pilkada Kota Palembang (Rp
19.886.092.800), dan Pilkada Lampung Selatan (Rp 500 juta).
Selain itu,
Akil disebut menerima uang terkait sengketa Pilkada Kabupaten Buton (Rp 1
miliar), Kabupaten Pulau Morotai (Rp 2.989.000.000), dan Kabupaten Tapanuli
Tengah (Rp 1,8 miliar). Selain itu, ia juga didakwa menerima janji pemberian Rp
10 miliar terkait keberatan hasil Pilkada Provinsi jawa Timur.
Kemudian,
dalam persidangan pada dakwaan ketiga, Akil disebut telah meminta Rp 125 miliar
kepada Wakil Gubernur Papua periode tahun 2006-2011 Alex Hesegem. Pemberian
uang itu terkait sengketa Pilkada Kabupaten Merauke, Kabupaten Asmat, Kabupaten
Boven Digoel, Kota Jayapura, dan Kabupaten Nduga.
Setelah
itu dalam dakwaan keempat, Akil disebut menerima uang dari adik Gubernur Banten
Atut Chosiyah, Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan, sebesar Rp 7,5 miliar.
Pemberian uang itu terkait dengan sengketa Pilkada Banten. Totalnya, Akil
diduga menerima hadiah atau janji terkait 15 sengketa pilkada. Selain itu, Akil
juga didakwa melakukan tindak pidana pencucian uang.
Akil dianggap telah terbukti secara sah dan meyakinkan
menurut hukum bersalah melakukan tindakan pidana korupsi sebagaimana diatur
dalam Pasal 12 huruf c UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat
1 ke 1 jo Pasal 65 Ayat 1 KUHP. Kecuali menyangkut Pemilukada Lampung dinyatakan tidak
terbukti.
Tidak hanya itu, dakwaan dengan melanggar Pasal 12 huruf c
Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 65 Ayat 1 KUHP,
dakwaan ketiga alternatif kedua Pasal 11 Undang-undang
Pemberantasan Tindak Pidana korupsi jo Pasal 65 Ayat 1 ke-1 KUHP.
Dalam
dakwaan keempat, Akil dianggap
melanggar Pasal 11 UU Pemberantasan Tipikor jo Pasal 64 Ayat 1 KUHP. Dalam
dakawan kelima, Akil dianggap terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang
yang melanggar Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2010 jo Pasal 55 Ayat 1 ke-1 jo Pasal
65 Ayat 1 KUHP. Dalam dakwaan keenam, Akil
dinilai terbukti melanggar pasal pencucian uang yakni Pasal 3 Ayat 1 huruf a
dan c UU Nomor 15 Tahun 2002 diubah UU Nomor 25 Tahun 2003 jo Pasal 65 Ayat 1
ke-1 KUHP.
Diketahui
dalam persidangan Majelis
berkesimpulan bahwa sebagian besar dari dakwaan Jaksa Penuntut Umum telah terpenuhi
oleh karena itu kepada terdakwa harus dinyatakan bersalah melakukan tindak
pidana sebagaimana yang didakwakan.
Hal yang memberatkan Mantan Ketua
Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar yaitu sebagai Mantan
Hakim sekaligus Ketua Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga tinggi negara yang
merupakan benteng terakhir bagi masyarakat untuk mencari keadilan, seharusnya
memberikan contoh teladan yang baik dalam masalah integritas. Membuat wibawa
Mahkamah Konstitusi menjadi runtuh, dan diperlukan usaha yang sangat sulit
untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat. Sehingga majelis berpendapat tidak
ada hal yang meringankan bagi Akil, karena diancam pidana dengan ancaman
maksimal.
Peran Majelis
Kehormatan Hakim Konstitusi (MKK)
Majelis Kehormatan Hakim
Konstitusi (MKK) yang diketuai Harjono
menjatuhkan sanksi berat berupa pemberhentian tidak dengan hormat alias
dipecat. Akil dinilai melanggar beberapa Prinsip Etika yang tertuang dalam
Peraturan MK No. 09/PMK/2006 tentang Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik dan
Perilaku Hakim Konstitusi.
Majelis
Kehormatan Hakim Konstitusi (MKK) menyatakan Akil Mochtar terbukti melakukan pelanggaran Kode Etik dan Perilaku
Hakim Konstitusi dan menjatuhkan sanksi pemberhentian tidak dengan hormat
kepadanya.
Dalam
pertimbangannya, MKK menguraikan sejumlah fakta perbuatan Akil yang mengarah
pada pelanggaran sejumlah prinsip Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi. MKK
menyebut hakim terlapor sering bepergian ke luar negeri bersama keluarganya.
Termasuk pergi ke Singapura pada 21 September tanpa memberitahukan Setjen MK.
Tindakan Akil tersebut dinilai perilaku yang melanggar etika.
Akil
juga tak mendaftarkan mobil Toyota Crown Athlete miliknya ke Ditlantas Polda
Metro Jaya, mencerminkan perilaku yang tidak jujur. Hal ini melanggar prinsip
integritas, penerapan angka 1, Hakim Konstitusi tidak tercela dari sudut
pandang pengamatan yang layak dan Pasal 23 huruf b UU No. 8 Tahun 2011 tentang
MK. Perilaku Akil Mohtar menyamarkan kepemilikan Mercedez Benz S-350 yang
diatasnamakan supirnya untuk menghindari pajak progresif
adalah perilaku tak pantas dan merendahkan martabat.
Akil
Mohtar terbukti melanggar prinsip
Kepantasan dan Kepatutan, penerapan angka (2) dan angka 6 yang menyebut sebagai
abdi hukum yang menjadi pusat perhatian harus menerima pembatasan-pembatasan
pribadi dan melaporkan harta kekayaan pribadi dan keluarganya.
Saat
menjabat Ketua MK, Akil Mohtar pernah memerintahkan Panitera MK untuk
mengeluarkan surat No. 1760/AP.00.03/07/2013 tertanggal 26 Juli 2013 yang
isinya menunda pelaksanaan putusan MK atas proses pelantikan Bupati Banyuasin
terpilih tanpa musyawarah bersama hakim MK lain. Perbuatan ini dinilai
melampaui kewenangan dan melanggar angka 1 Prinsip Integritas, dan angka 1
Prinsip Ketidakberpihakan, angka (1).
Perilaku
Akil Mohtar bertemu anggota DPR, CHN (Chairun Nisa) di ruang kerjanya pada 9
Juli 2013 yang dihubungkan dengan penangkapan Akil pada 2 Oktober di rumah
dinasnya menimbulkan keyakinan Majelis bahwa pertemuan itu berhubungan dengan kasus
yang ditangani Akil Mohtar. Perilaku itu melanggar angka (1) Prinsip
Independensi, dan angka 2 Prinsip Integritas yang diwajibkan menjaga citra
wibawa MK.
Akil
Mohtar terbukti mengendalikan kasus ke
arah putusan. Saat pendistribusian kasus Pemilukada, Akil mendapatkan jumlah kasus
lebih banyak dibanding hakim lain (tidak proporsional). Praktiknya, ketua MK
dalam menangani kasus jauh lebih sedikit karena dibebani tugas-tugas struktural
dan administratif. Hal ini melanggar angka (1) Prinsip Integritas, dan angka (3)
Prinsip Ketidakberpihakan.
Akil
Mohtar terbukti memerintahkan Sekretaris YS dan supirnya DYN melakukan
transaksi keuangan ke rekening Akil baik setoran tunai maupun transfer bank
dengan jumlah yang tidak wajar. Ini melanggar angka (4) Prinsip Integritas. Atas
informasi otoritas terkait Akil tercatat memiliki transaksi keuangan dengan
STA, kuasa hukum para pihak yang berkasus.
Selain
itu berdasarkan hasil pemeriksaan Badan Narkotika Nasional (BNN) atas temuan barang
bukti berupa 3 linting ganja dan 1 ganja bekas pakai serta 2 (dua) pil inex di ruang kerja Akil Mochtar, terbukti
sesuai antara sampel darah DNA Akil Mochtar dengan DNA yang terdapat dalam 1(satu)
linting ganja bekas pakai. Sesuai penjelasan BNN keberadaan barang terlarang
itu terkait penguasaan Akil yang dinilai melanggar angka (1) Prinsip
Integritas.
II.c. Refleksi
“Judicial
Crime” dan “Judicial Activism”
dalam
praktik hukum dan pembangunan di Indonesia
II.c.a Efek pidana penjara seumur hidup Terpidana
Akil Mochtar (Mantan Hakim sekaligus Ketua Mahkamah Konstitusi)
Akil Mochtar (Mantan Hakim sekaligus Ketua Mahkamah Konstitusi) terbukti melakukan tindak pidana korupsi dengan menerima
suap dengan dihukum pidana penjara seumur hidup.
Perbuatan
Akil Mochtar tersebut merupakan kejahatan aparat hukum “Judicial Crime”, yaitu kejahatan yang dilakukan aparat penegak
hukum dalam konteks jabatan dan kekuasaan untuk menetapkan seseorang atau
sekelompok orang salah atau tidak bersalah dengan cara menyimpangkan kasus dari
tujuan hukum sehingga menguntungkan diri sendiri dan merugikan fihak lain yang
berkasus serta merusak tatanan hukum.
Putusan
pidana penjara seumur hidup merupakan
hukuman paling berat dalam sejarah 10 tahun keberadaan Pengadilan Tipikor. Vonis tersebut tidak
saja dapat memberikan efek jera terhadap Akil Mochtar, namun dapat menjadi
pesan kepada semua aparat penegak hukum lain dan para hakim MK agar tidak
menerima suap atau korupsi. Vonis tersebut mereflesikan keadilan hukum sekaligus penghormatan
majelis hakim terhadap penguatan demokrasi yang selama ini dirusak oleh
sebagian dari proses politik. Selain itu vonis tersebut membawa pesan moral kepada seluruh aparat penegak hukum
dan para calon kepala daerah yang mengikuti pilkada agar tetap menjaga
integritas dan tidak melakukan cara-cara penyuapan.
Masih
ada harapan dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Dari kasus Akil Mohtar
ini dapat menjadi pesan kepada semua aparat penegak hukum lain dan para hakim
MK agar tidak menerima suap atau korupsi.
Diketahui
vonis terberat yang pernah diterima koruptor melalui sidang Pengadilan Tipikor
sebelumnya adalah mantan jaksa Urip Tri
Gunawan yang divonis 20 tahun penjara. Itupun vonis di Mahkamah Agung. Saat
di Pengadilan Tipikor Jakarta hanya divonis 18 tahun.
Urip merupakan jaksa yang terbukti memeras Artalyta Suryani. Selain itu ada beberapa nama hakim dan penegak hukum yang pernah divonis Pengadilan Tipikor. Di antaranya mantan Wakil Ketua Pengadilan Negeri Bandung Setyabudi Tedjocahyono yang divonis 12 tahun karena terbukti menerima suap pengurusan kasus korupsi Dana Bansos Kota Bandung.Kemudian mantan Kepala Korlantas Polri, Irjen Pol Djoko Susilo, yang divonis 10 tahun penjara atas kasus korupsi pengadaan Simulator SIM di Korlantas Polri. Kemudian Kartini Marpaung, Hakim Ad Hoc pada Pengadilan Tipikor Semarang, divonis 8 tahun atas suap perawatan mobil dinas DPRD Grobogan. Berikutnya ada Jaksa Sistoyo divonis enam tahun penjara karena menerima suap untuk kasus penipuan dan penggelapan Edward M. Bunyamin di Pengadilan Negeri Cibinong. Ada pula vonis Mantan Hakim PN Jakarta Pusat Syarifuddin yang dihukum empat tahun bui. Mantan Hakim Ad Hoc Pengadilan Hubungan Industrial Bandung, Imas Dianasari yang divonis enam tahun penjara karena menerima suap dan mencoba menyogok hakim Mahkamah Agung.
Urip merupakan jaksa yang terbukti memeras Artalyta Suryani. Selain itu ada beberapa nama hakim dan penegak hukum yang pernah divonis Pengadilan Tipikor. Di antaranya mantan Wakil Ketua Pengadilan Negeri Bandung Setyabudi Tedjocahyono yang divonis 12 tahun karena terbukti menerima suap pengurusan kasus korupsi Dana Bansos Kota Bandung.Kemudian mantan Kepala Korlantas Polri, Irjen Pol Djoko Susilo, yang divonis 10 tahun penjara atas kasus korupsi pengadaan Simulator SIM di Korlantas Polri. Kemudian Kartini Marpaung, Hakim Ad Hoc pada Pengadilan Tipikor Semarang, divonis 8 tahun atas suap perawatan mobil dinas DPRD Grobogan. Berikutnya ada Jaksa Sistoyo divonis enam tahun penjara karena menerima suap untuk kasus penipuan dan penggelapan Edward M. Bunyamin di Pengadilan Negeri Cibinong. Ada pula vonis Mantan Hakim PN Jakarta Pusat Syarifuddin yang dihukum empat tahun bui. Mantan Hakim Ad Hoc Pengadilan Hubungan Industrial Bandung, Imas Dianasari yang divonis enam tahun penjara karena menerima suap dan mencoba menyogok hakim Mahkamah Agung.
Efek
jera dalam kasus hakim nakal belum ada, namun ironisnya yang ditemukan justru
hakim nakal tersebut meningkatkan kewaspadaannya dalam mempercanggih untuk
menerima suap. Jadi untuk memperbaiki semua ini, MA harus memperbaiki sistem
mulai dari rekrutmen hingga peningkatan pengawasan.
Terkait kasus Akil Mochtar, secara terpisah
apabila diperhatikan kinerja Mahkamah Konstitusi Sepanjang periode 19 Agustus
2013-17 Agustus 2014, MK telah mengeluarkan 107 putusan. Angka ini adalah angka
yang cukup tinggi sepanjang terbentuknya MK. Menurut kajian Setara Institute[2]
berfokus pada satu kewenangan MK, yakni kewenangan pengujian undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar. Kajian atas putusan MK menggunakan standar dan
parameter hak asasi manusia, prinsip-prinsip good governance,
pembangunan yang inklusif, dan prinsip-prinsip ketatanegaraan. Setara Institute
juga melakukan analisis dan penafsiran terhadap putusan-putusan tersebut,
khususnya terhadap putusan yang dalam perspektif Setara Institute berbeda.
Sebagai penelitian hukum normatif, riset ini juga menggunakan kaidah-kaidah
penelitian hukum yang dipedomani dalam disiplin hukum.
Pukulan berat dalam MK kasus itu
kita berada dalam kondisi di mana kepercayaan publik sangat rendah.[3]
Berdasarkan
hasil survei yang digelar Lingkaran Survei Indonesia, beberapa saat setelah
Akil ditangkap KPK. Survei yang digelar 4-5 Oktober 2013 terhadap 1.200
responden di 33 provinsi di Indonesia itu menunjukkan, mayoritas publik
kehilangan kepercayaan terhadap Mahkamah Konstitusi. Sebanyak 66,5 persen
responden menyatakan tidak percaya lagi kepada MK. Hanya 28 persen responden
yang mengatakan masih percaya pada MK.
Padahal
pada survei sebelumnya yang dilakukan Oktober 2010-Maret 2013, tingkat
kepercayaan masyarakat terhadap MK masih di atas 60 persen. Dalam tempo hanya
tujuh bulan, kasus Akil membuat kepercayaan publik terhadap institusi MK
merosot sebesar 37 persen.[4]
Dari sedemikian rupa maraknya
“Judicial Crime “ dapat ditarik kesimpulan, yaitua salah jika beranggapan bahwa kepatuhan
terhadap hukum sama dengan kesadaran hukum, kepatuhan hukum lebih disebabkan
oleh keterpaksaan karena ada institusi negara yang memaksanya, sedangkan
kesadaran hukum lahir dari dalam jiwa yang ikhlas untuk mengikuti hukum yang
diyakininya benar. Kepatuhan terhadap hukum karena terpaksa bisa jadi akan
berubah jika subjek hukum mempunyai kekuatan dan legitimasi untuk melanggarnya,
sedangkan kesadaran akan hukum berlaku untuk selamanya karena subjek hukum
menerima hukum dengan ikhlas.
II.c.b “Judicial Activism” dalam praktik hukum dan pembangunan
di Indonesia
Banyak
faktor yang harus di pertimbangkan agar pembangunan hukum dapat di terima oleh
seluruh lapisan masyarakat, misalnya faktor budaya, suku, ras, Agama dan
lain-lain. Maka, dalam pembentukan hukum hendaknaya hukum yang di bentuk adalah
pruduk hukum yang responsif, yakni hukum yang dapat merespon setiap kepentingan
masyarakat.
Dengan demikian, di dalam
hukum terbuka lebar ruang dialog dan wacana serta adanya pluralistik gagasan
sebagai sebuah realitas. Karena itu hukum disebut responsif tidak lagi selalu
mendasarkan pertimbangannya pada pertimbangan juridis melainkan mencoba melihat
sebuah persoalan dari berbagai perspektif dalam rangka untuk mengejar apa yang
disebut ”keadilan substantif”. Oleh karena itu, para hakim di dalam menjalankan
tugas keprofesiannya tentang cara pandang untuk menyikapi hukum adalah sebagai
berikut : “The law, like the traveller, must be ready for the morrow, it
must have a principle”[5].
Upaya penegak
hukum (Judicial Aktivism), Hakim
mengembangkan atau memperluas pengertian hukum dan peraturan konstitusi yang
berlaku dengan menggunakan interpretasi hukum menurut pendapatnya sendiri.
Dalam kondisi sebagai manusia yang fana
itu, seorang hakim harus menghadapi keadaan yang mengintervensi kebebasan dan
kemandiriannya secara[6];
(a) Internal, intervensi ini berupa
dorongan dari dalam diri pribadi hakim sendiri seperti misalnya : rasa simpati,
impati, antipati, emosi, integritas, keinginan, kepentingan, popularitas dan
lain-lain; (b) Eksternal, intervensi
ini berupa kondisi yang berasal dari luar diri hakim, seperti misalnya
persaudaraan, pertemanan, penyuapan, pengarahan, tekanan, intimidasi, tindakan
kekerasan, pembentukan opini, kepentingan politis dan lain-lain, termasuk juga
intervensi struktural.
Secara konstruktif praktek
”Judicial Activism” dapat
dikaitkan dengan konsep awal teori Robert Seidman[7]
tentang bekerjanya hukum dilukiskan oleh Satjipto
Rahardjo, secara garis besar menghubungkan garis peranan (a) Lembaga
Pembuat Peraturan, (b) Lembaga Penerap Peraturan, (c) Pemegang [8] . Dari model bekerjanya
hukum tersebut, lebih menitikberatkan pada tindakan apa yang akan diambil oleh
lembaga pelaksana sebagai respons terhadap peraturan-peraturan hukum, sangat
tergantung dan dikendalikan oleh peraturan hukum yang berlaku, dari
sanksi-sanksinya, dan dari seluruh kompleks kekuatan sosial, politik, dan lain
sebagainya yang bekerja atas dirinya, serta dari umpan balik yang datang dari
pemegang peran dan birokrasi;
Dalam
“Judicial Activism”, adanya pengakuan
pemberian diskresi yang luas,
sehingga aparat hukum dapat berbuat selalu fleksibel, adaptif dan selalu mawas
diri. Pada posisi ini akan terjadi kekaburan tanggung jawab yang harus diemban
oleh penegak hukum, karena mereka telah kehilangan kepastian. Dengan demikian,
hukum progresif bisa berakibat pada berubahnya hukum menjadi suatu yang
bersifat oportunis, yaitu adaptasi yang tidak terarah terhadap berbagai
peristiwa dan tekanan.
III. PENUTUP
Dari pemaparan diatas secara garis
besar Refleksi
“Judicial Crime” dan “Judicial Activism“ dalam hukum dan
pembangunan Indonesia, dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Hakim Mahkamah Konstitusi sebagai “Hakim
setengah Dewa” karena tidak tunduk dibawah Mahkamah
Agung maupun Komisi Yudisial, melainkan melaksanakan kekuasaan kehakiman
berdasarkan aturan tentang Mahkamah Konstitusi yang telah dibuat serta dibawah
pengawasan Dewan Etik Mahkamah Konstitusi yang merdeka untuk menyelenggarakan
pengadilan guna menegakkan hukum dan keadilan, yang pada dasarnya adalah
mengadili.
2. Perbuatan Terpidana Akil
Mochtar merupakan
bukti contoh kejahatan yang dilakukan aparat hukum “Judicial Crime” yang berdampak rusaknya tatanan hukum Indonesia
dalam hal ini citra Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga peradilan.
3. Tidak hanya memberikan efek jera bagi hakim nakal, lebih dari itu diharapkan sekalipun di internal Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi maupun Komisi
Yudisial sendiri ,
apabila menemukan hakim
nakal harus dipidanakan. Disamping
itu penguatan mentalitas penegak
hukum mutlak diutamakan,
selain meningkatnya gaji
hakim yang saat ini sudah berlangsung masih serta merta tidak bisa merubah adanya “Judicial Crime”.
Berkurang
dan telah tidak adanya praktek “Judicial Crime” dipengaruhi efektivitas dan produktifitas “Judicial Activism” dalam menjalankan
tugas penegakkan hukum yang dirasakan keaadilannya.
Dengan
merefleksikan “Judicial Crime” dan “Judicial Activism” dengan evaluasi dan
tindakan obyektif, secara tidak langsung pembangunan hukum yang bersifat
Resiprokal terwujud, dimana segala bidang saling mengisi, saling bermanfaat,
saling tergantung dan tidak saling mengurangi dalam membangun negara hukum meningkatkan pembangunan
hukum dan pembangunan Indonesia secara tidak langsung, menuju keadilan yang
dapat dirasakan dan kesejahteraan rakyat yang dicita-citakan.
DAFTAR PUSTAKA
Soekanto, Soerjono, Pokok-Pokok
Sosiologi Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999.
Philippe Nonet and Philip
Selznick, Law and Transition: Towards
Responsive Law, New York: Harper & Row, 1978.
Rahardjo, Satjipto, Beberapa Pemikiran Tentang Ancangan
Antardisiplin dalam Pembinaan Hukum Nasional, Bandung: Penerbit
Sinar Baru, 1985.
Rasjid, Lili dan Putra
Wiyasa, ”Hukum sebagai Suatu Sistem”,
Bandung: Remaja Rosda Karya, 1993.
Rahardjo, Satjipto, Beberapa Pemikiran tentang Ancaman
Antar Disiplin dalam Pembinaan Hukum Nasional, Sinar Baru, Bandung, 1985.
Rahardjo,
Satjipto, Hukum dan Mayarakat,
Bandung : Angkasa, 1980.
Mochtar K , Konsep-konsep Hukum
dalam Pembangunan, Bandung:
Penerbit Alumni, 2006
Warassih, Esmi, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, Semarang:
Surya
Alam Utama., 2005.
M.Friedman,
Lawrence. The Legal System. A Social Science Perspective, New
York:Russel Sage Foundation,1986.
Anom Surya Putra, Teori Hukum Kritis: Struktur Ilmu dan Riset Teks, Bandung: Citra
Aditya Bakti, 2003
Abdul Manan, Aspek-aspek
Pengubah Hukum, Jakarta: Kencana, Prenada Media Group, 2005.
Hukum dan Perubahan Sosial, Suatu Tinjauan Teoritis Serta
Pengalaman-pengalaman di Indonesia, Prof.Dr.Satjipto Rahardjo, S.H., Genta
Publishing, 2009, Yogyakarta.
Bernard L.Tanya, dkk, Teori
Hukum, Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Yogyakarta: Genta
Publishing, 2013.
Piliang, Yasraf Amir.
Yogyakarta:Hiper- Realitas, Kebudayaan.
LKs, 1999.
Turner, Bryan. Teori-Teori
Sosiologi, Modernitas, Posmodernisme (Terj). Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2000.
Anom Surya Putra, Teori Hukum Kritis: Struktur Ilmu dan Riset Teks, Bandung: Citra
Aditya Bakti, 2003.
Fitzpatrict, Peter dan Alan Hunt, Critical Legal Studies, Basil Blackwell
Ltd, New York, 1987.
Fuady, Munir, Aliran Hukum Kritis (Paradigma
Ketidakberdayaan Hukum). Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, , 2003.
Diktat:
A.Masyhur
Effendi, Bunga Rampai Teori Hukum: Hubungan Filsafat Hukum/Teori Hukum I,
Jakarta: Magister Ilmu Hukum Universitas Jayabaya, 2014.
A.Masyhur
Effendi, Bunga Rampai Teori Hukum: Hubungan Filsafat Hukum/Teori Hukum II,
Jakarta: Magister Ilmu Hukum Universitas Jayabaya, 2014.
Internet:
Http:// www.kompas.com Setara Sebut Prahara Akil Tidak Pengaruhi Kinerja MK, Senin, 18 Agustus
2014,
diakses pada Rabu, 27 Agustus 2014
Http://.www.Seruu.com, Runtuhnya "Tangan Tuhan" di Mahkamah Konstitusi,
Minggu, 6 Oktober 2013, diakses pada 10 September 2014
Http://
www.Viva news.com, diakses
pada Rabu,
27 Agustus 2014
[1] Lili Rasjidi dan Putra Wiyasa dalam buku ”Hukum
sebagai Suatu Sistem” Remaja Rosda Karya, Bandung, 1993 mengatakan,
dalam konteks sistem hukum, ilmu hukum
dibicarakan sebagai penjabaran, pengujian, dan pengembangan teori-teori
hukum yang berasal dari komponen filsafat hukum. Tujuan dari penjabaran dan
pengembangan itu berkaitan dengan dimensi-dimensi ontologi, epistemologi, dan
dimensi aksiologi. Dalam kaitannya dimensi yang terakhir, ilmu hukum dipandang
sebagai suatu kesatuan dengan pendidikan hukum. Fungsi utamanya adalah sebagai
media penghubung antara dunia rasional (Sollen)
dan dunia empiris (Sein). Fungsi ini
mungkin diperankan oleh ilmu hukum dan pendidikan hukum, adalah karena
kelebihan yang dimilikinya, yaitu dimensi rasional dan dimensi empiris dan ilmu
hukum. Melalui kedua dimensi ini, ilmu
hukum dan pendidikan hukum dapat menghubungkan dunia filsafat dengan dunia
kenyataan dengan cara membangun konsep-konsep hukum.
[2]http:// www.kompas.com
Setara Sebut Prahara Akil Tidak Pengaruhi
Kinerja MK, Senin, 18 Agustus 2014, diakses pada Rabu, 27 Agustus 2014
[3]Ibid.
[4]http:// www.Viva news.com,
diakses pada Rabu, 27 Agustus 2014
[5] Lloyd, Dennis, op.cit.,
hal. 326
[6] Http://.www.Seruu.com,
Runtuhnya
"Tangan Tuhan" di Mahkamah Konstitusi, Minggu, 6 Oktober
2013, diakses pada 10 September 2014
[7] Gambar aslinya dapat dilihat dari buku Robert B. Seidman &
William J. Chambles, Law, Order, and
Power, hal 21.
[8] Lihat Satjipto
Rahardjo, Hukum dan Mayarakat, Angkasa, Bandung , 1980, hlm. 27.
Komentar
Posting Komentar