Kontemplasi Profesi


Refleksi Judicial Crime dan “Judicial Activism“

Dalam Hukum dan Pembangunan Indonesia

 

“Kajian Kritis Sosiologi Hukum atas Pidana Penjara Seumur Hidup

Kasus Akil Mochtar (Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi)”

 

    Walau hidup adalah permainan

   Walau hidup adalah hiburan

      Tetapi kami tak mau dipermainkan

      Dan kami juga bukan hiburan

    Masalah moral masalah akhlak

   Biar kami cari sendiri

      Urus saja moralmu urus saja akhlakmu

      Peraturan yang sehat yang kami mau

    Tegakkan hukum setegak-tegaknya

   Adil dan tegas tak pandang bulu

       Pasti kuangkat engkau

      Menjadi manusia  setengah dewa

                      #Lirik lagu.Manusia Setengah Dewa/Iwan Fals

I.PENDAHULUAN

I.a.Latar belakang

             Salah satu  tujuan pembangunan negara dalam segala bidang adalah  terbentuknya suatu  negara hukum, dimana  prinsip negara hukum  yang utama adalah  jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Pengadilan sebagai pilar utama dalam penegakan hukum dan keadilan serta proses pembangunan peradaban bangsa.

 

            Saat pengadilan dituntut berwibawa, para pelaku yang terkait didalamnya tidak dapat dielakkan terutama dalam hal ini ialah peran hakim. Sebagai pelaku utama fungsi pengadilan, hakim hendaknya berperilaku berlandaskan pada prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, adil, bijaksana dan berwibawa, berbudi luhur dan jujur.

            Selain itu memelihara kehormatan dan keluhuran martabat serta perilaku hakim sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan harus diimplementasikan secara konkrit dan konsisten baik dalam menjalankan tugas yudisialnya maupun diluar tugas yudisialnya, sebab hal itu berkaitan erat dengan upaya penegakkan hukum dan keadilan. Kehormatan hakim itu terutama terlihat pada putusan yang dibuatnya dan pertimbangan yang melandasi atau keseluruhan proses pengambilan keputusan yang bukan saja berdasarkan peraturan perundang-undangan, tetapi juga rasa keadilan dan kearifan dalam masyarakat “Judicial Activism”.

Seiring dengan berjalannya pertumbuhan pembangunan di segala bidang, dalam bidang hukum prakteknya masih banyak terjadi bukan hanya pelanggaran bahkan kejahatan yang dilakukan oleh hakim itu sendiri “Judicial Crime”. Terlebih dalam makalah ini sengaja difokuskan pada kajian  kasus korupsi, tindak pidana pencucian uang maupun pelanggaran kode etik hakim oleh Terpidana Akil Mochtar (Mantan Hakim sekaligus Ketua Mahkamah Konstitusi). Hakim Mahkamah Konstitusi sangat berbeda dengan hakim lainnya yang pada dasarnya dibawah penguasaan Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial. Hakim Mahkamah Konstitusi berjalan selain atas aturan tentang Mahkamah Konstitusi yang telah dibuat serta dibawah pengawasan Dewan Etik Mahkamah Konstitusi, dimana putusannya bersifat final, tidak ada banding dan mengikat,  makanya Hakim MK dikenal sebagai  Hakim setengah Dewa.    

            Penegakkan hukum  memangl  menjadi persoalan klasik sejak manusia diciptakan, entah itu prosedurnya maupun bentuknya. Diperlukan  refleksi menyeluruh semua pihak atas kasus  Akil Mochtar,  serta maraknya hakim yang melakukan “ Judicial Crime”. Selain itu, kembali timbul beberapa pertanyaan; Bagaimana pembangunan dapat berjalan jika hakim pengadilan sebagai ujung landasan pembangunan keadilan tidak dapat diharapkan? Bagaimana institusi pengadilan yang kokoh dirobohkan perlahan oleh perilaku hakimnya? Seberapa besar dampak Judicial Crime” terhadap pembangunan sektor ekonomi maupun yang lainnya? Bagaimana kita menyikapi “Judicial Crime” dan “Judicial Activism” dalam pembangunan hukum dan pembangunan Indonesia secara tidak langsung?

I.b. Ruang Lingkup dan Rumusan Masalah

Sehingga dalam karya tulis ini sengaja kami fokuskan kajian beberapa pertanyaan-pertanyaan tersebut diatas dalam bentuk pokok permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana peran Hakim Mahkamah Konstitusi dalam hukum Indonesia?

2.Bagaimana kronologis kasus Terpidana Akil Mochtar ( Mantan Hakim sekaligus Ketua Mahkamah Konstitusi)?

3.Bagaimana seharusnya refleksi “Judicial Crime” dan “Judicial Activism” dalam praktik hukum dan pembangunan di Indonesia?

            I.c. Maksud dan Tujuan

Penulisan karya tulis ini sengaja disusun selain untuk pemenuhan tugas mata kuliah Sosiologi Hukum adalah untuk mengetahui lebih dekat sejauh mana RefleksiJudicial Crime dan “Judicial Activism“ Dalam Hukum dan Pembangunan Indonesia dikaji dari segi Sosiologi hukum atas Pidana Penjara Seumur Hidup Kasus Akil Mochtar (Mantan Hakim sekaligus Ketua Mahkamah Konstitusi). Di samping itu, tulisan ini diharapkan dapat pula  menjadi  masukan  bagi pembaharuan  dan pengembangan ilmu[1] hukum.

 

 II. PEMBAHASAN

II.a. Peran Hakim Mahkamah Konstitusi “Hakim setengah Dewa” Dalam Hukum Indonesia

Secara teoritis, keberadaan Mahkamah Konstitusi baru diintrodusir pertama kali pada tahun 1919 oleh pakar hukum asal Austria, Hans Kelsen (1881-1973) yang menyatakan bahwa pelaksanaan konstitusional tentang legislasi dapat secara efektif dijamin hanya jika suatu organ selain badan legislatif diberikan tugas untuk menguji apakah suatu produk hukum itu konstitusional atau tidak, dan tidak memberlakukannya jika menurut organ ini tidak konstitusional (constitutional court).

 

Berdirinya Mahkamah Konstitusi diawali dengan Perubahan Ketiga UUD 1945 dalam Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C, dan Pasal 7B yang disahkan pada 9 November 2001. Setelah disahkannya Perubahan Ketiga UUD 1945, maka dalam rangka menunggu pembentukan Mahkamah Konstitusi, MPR menetapkan Mahkamah Agung menjalankan fungsi MK untuk sementara sebagaimana diatur dalam Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 hasil Perubahan Keempat.

Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang ditegaskan kembali dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a sampai dengan d UU 24 Tahun 2003, kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah menguji undang-undang terhadap UUD 1945; memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945; memutus pembubaran partai politik; dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Selain itu, berdasarkan Pasal 7 ayat (1) sampai dengan (5) dan Pasal 24C ayat (2) UUD 1945 yang ditegaskan lagi oleh Pasal 10 ayat (2) UU 24 Tahun 2003, kewajiban Mahkamah Konstitusi adalah memberikan keputusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum, atau perbuatan tercela, atau tidak memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.

Makamah Konstitusi mempunyai 9 (sembilan) orang hakim konstitusi yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Susunan Makamah Konstitusi terdiri atas seorang Ketua merangkap anggota, seorang Wakil Ketua merangkap anggota, dan 7 (tujuh) orang anggota hakim konstitusi. Ketua dan Wakil Ketua dipilih dari dan oleh hakim konstitusi untuk masa jabatan selama 3 (tiga) tahun. Sebelum Ketua dan Wakil Ketua Makamah Konstitusi terpilih sebagaimana dimaksud, rapat pemilihan ketua dan wakil Ketua Makamah Konstitusi dipimpin oleh hakim konstitusi yang tertua usianya.

Dalam perjalanannya diketahui Hakim Mahkamah Konstitusi  pada periode 2003 – 2008 diketuai oleh Prof. DR. Jimly Asshiddiqie, S.H., periode 2003 – 2008 diketuai oleh  Mohammad Mahfud MD, periode 2003 – 2008 diketuai oleh  Muhammad Akil Mochtar, S.H,. M.H, periode 1 November 2013 – sekarang diketuai oleh  DR. Hamdan Zoelva, S.H., M.H.

            Fungsi dan tugas hakim sendiri pada dasarnya adalah sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan pengadilan guna menegakkan hukum dan keadilan, yang pada dasarnya adalah mengadili.

II. b  Kronologi Kasus Korupsi, Tindak Pidana Pencucian Uang  dan Pelanggaran Etika Hakim oleh,  Akil Mochtar (Hakim sekaligus Ketua Mahkamah Konstitusi)

Pada Tahun 2013 Indonesia dikejutkan dengan kasus tindak pidana yang cukup menyedot perhatian masyarakat luas, dimana melibatkan langsung Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar.  Padahal, pada 2 Oktober 2013, Akil Mochtar juga sempat ditangkap atas kasus penyalahgunaan kewenangan dalam memeriksa dan memutuskan perselisihan hasil pemilu kepala daerah/wakil kepala daerah. Akil terbukti meminta dan menerima suap.

Dalam kasusnya Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar didakwa menerima hadiah atau janji terkait pengurusan sengketa 15 pilkada. Diketahui Jaksa dalam dakwaan pertama, Akil disebut menerima suap terkait sengketa Pilkada Kabupaten Gunung Mas (Rp 3 miliar), Pilkada Lebak (Rp 1 miliar), Pilkada Kabupaten Empat Lawang (Rp 10 miliar dan 500.000 dollar AS), Pilkada Kota Palembang (Rp 19.886.092.800), dan Pilkada Lampung Selatan (Rp 500 juta).

Selain itu, Akil disebut menerima uang terkait sengketa Pilkada Kabupaten Buton (Rp 1 miliar), Kabupaten Pulau Morotai (Rp 2.989.000.000), dan Kabupaten Tapanuli Tengah (Rp 1,8 miliar). Selain itu, ia juga didakwa menerima janji pemberian Rp 10 miliar terkait keberatan hasil Pilkada Provinsi jawa Timur.

         Kemudian, dalam persidangan pada dakwaan ketiga, Akil disebut telah meminta Rp 125 miliar kepada Wakil Gubernur Papua periode tahun 2006-2011 Alex Hesegem. Pemberian uang itu terkait sengketa Pilkada Kabupaten Merauke, Kabupaten Asmat, Kabupaten Boven Digoel, Kota Jayapura, dan Kabupaten Nduga.

         Setelah itu dalam dakwaan keempat, Akil disebut menerima uang dari adik Gubernur Banten Atut Chosiyah, Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan, sebesar Rp 7,5 miliar. Pemberian uang itu terkait dengan sengketa Pilkada Banten. Totalnya, Akil diduga menerima hadiah atau janji terkait 15 sengketa pilkada. Selain itu, Akil juga didakwa melakukan tindak pidana pencucian uang.

         Akil dianggap telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah melakukan tindakan pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 12 huruf c UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat 1 ke 1 jo Pasal 65 Ayat 1 KUHP. Kecuali menyangkut Pemilukada Lampung dinyatakan tidak terbukti.

         Tidak hanya itu, dakwaan dengan melanggar Pasal 12 huruf c Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 65 Ayat 1 KUHP, dakwaan ketiga alternatif kedua Pasal 11 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana korupsi jo Pasal 65 Ayat 1 ke-1 KUHP. Dalam dakwaan keempat, Akil dianggap melanggar Pasal 11 UU Pemberantasan Tipikor jo Pasal 64 Ayat 1 KUHP. Dalam dakawan kelima, Akil dianggap terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang yang melanggar Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2010 jo Pasal 55 Ayat 1 ke-1 jo Pasal 65 Ayat 1 KUHP. Dalam dakwaan  keenam, Akil dinilai terbukti melanggar pasal pencucian uang yakni Pasal 3 Ayat 1 huruf a dan c UU Nomor 15 Tahun 2002 diubah UU Nomor 25 Tahun 2003 jo Pasal 65 Ayat 1 ke-1 KUHP.

         Diketahui dalam persidangan Majelis berkesimpulan bahwa sebagian besar dari dakwaan Jaksa Penuntut Umum  telah terpenuhi oleh karena itu kepada terdakwa harus dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan.

         Hal yang memberatkan Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar yaitu sebagai Mantan Hakim sekaligus Ketua Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga tinggi negara yang merupakan benteng terakhir bagi masyarakat untuk mencari keadilan, seharusnya memberikan contoh teladan yang baik dalam masalah integritas. Membuat wibawa Mahkamah Konstitusi menjadi runtuh, dan diperlukan usaha yang sangat sulit untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat. Sehingga majelis berpendapat tidak ada hal yang meringankan bagi Akil, karena diancam pidana dengan ancaman maksimal.

 

Peran Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi (MKK)

            Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi (MKK) yang diketuai Harjono menjatuhkan sanksi berat berupa pemberhentian tidak dengan hormat alias dipecat. Akil dinilai melanggar beberapa Prinsip Etika yang tertuang dalam Peraturan MK No. 09/PMK/2006 tentang Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi.

            Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi (MKK) menyatakan Akil Mochtar terbukti melakukan pelanggaran Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi dan menjatuhkan sanksi pemberhentian tidak dengan hormat kepadanya.

            Dalam pertimbangannya, MKK menguraikan sejumlah fakta perbuatan Akil yang mengarah pada pelanggaran sejumlah prinsip Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi. MKK menyebut hakim terlapor sering bepergian ke luar negeri bersama keluarganya. Termasuk pergi ke Singapura pada 21 September tanpa memberitahukan Setjen MK. Tindakan Akil tersebut dinilai perilaku yang melanggar etika.

            Akil juga tak mendaftarkan mobil Toyota Crown Athlete miliknya ke Ditlantas Polda Metro Jaya, mencerminkan perilaku yang tidak jujur. Hal ini melanggar prinsip integritas, penerapan angka 1, Hakim Konstitusi tidak tercela dari sudut pandang pengamatan yang layak dan Pasal 23 huruf b UU No. 8 Tahun 2011 tentang MK. Perilaku Akil Mohtar menyamarkan kepemilikan Mercedez Benz S-350 yang diatasnamakan supirnya untuk menghindari pajak progresif adalah perilaku tak pantas dan merendahkan martabat.

            Akil Mohtar  terbukti melanggar prinsip Kepantasan dan Kepatutan, penerapan angka (2) dan angka 6 yang menyebut sebagai abdi hukum yang menjadi pusat perhatian harus menerima pembatasan-pembatasan pribadi dan melaporkan harta kekayaan pribadi dan keluarganya.

            Saat menjabat Ketua MK, Akil Mohtar pernah memerintahkan Panitera MK untuk mengeluarkan surat No. 1760/AP.00.03/07/2013 tertanggal 26 Juli 2013 yang isinya menunda pelaksanaan putusan MK atas proses pelantikan Bupati Banyuasin terpilih tanpa musyawarah bersama hakim MK lain. Perbuatan ini dinilai melampaui kewenangan dan melanggar angka 1 Prinsip Integritas, dan angka 1 Prinsip Ketidakberpihakan, angka (1).

            Perilaku Akil Mohtar bertemu anggota DPR, CHN (Chairun Nisa) di ruang kerjanya pada 9 Juli 2013 yang dihubungkan dengan penangkapan Akil pada 2 Oktober di rumah dinasnya menimbulkan keyakinan Majelis bahwa pertemuan itu berhubungan dengan kasus yang ditangani Akil Mohtar. Perilaku itu melanggar angka (1) Prinsip Independensi, dan angka 2 Prinsip Integritas yang diwajibkan menjaga citra wibawa MK.

            Akil Mohtar  terbukti mengendalikan kasus ke arah putusan. Saat pendistribusian kasus Pemilukada, Akil mendapatkan jumlah kasus lebih banyak dibanding hakim lain (tidak proporsional). Praktiknya, ketua MK dalam menangani kasus jauh lebih sedikit karena dibebani tugas-tugas struktural dan administratif. Hal ini melanggar angka (1) Prinsip Integritas, dan angka (3) Prinsip Ketidakberpihakan.

            Akil Mohtar terbukti memerintahkan Sekretaris YS dan supirnya DYN melakukan transaksi keuangan ke rekening Akil baik setoran tunai maupun transfer bank dengan jumlah yang tidak wajar. Ini melanggar angka (4) Prinsip Integritas. Atas informasi otoritas terkait Akil tercatat memiliki transaksi keuangan dengan STA, kuasa hukum para pihak yang berkasus.

            Selain itu berdasarkan hasil pemeriksaan Badan Narkotika Nasional (BNN) atas temuan barang bukti berupa 3 linting ganja dan 1 ganja bekas pakai serta 2 (dua)  pil inex di ruang kerja Akil Mochtar, terbukti sesuai antara sampel darah DNA Akil Mochtar dengan DNA yang terdapat dalam 1(satu) linting ganja bekas pakai. Sesuai penjelasan BNN keberadaan barang terlarang itu terkait penguasaan Akil yang dinilai melanggar angka (1) Prinsip Integritas.

II.c.     Refleksi Judicial Crime” dan “Judicial Activism” dalam praktik hukum dan pembangunan di Indonesia

II.c.a   Efek pidana penjara seumur hidup Terpidana Akil Mochtar (Mantan Hakim sekaligus Ketua Mahkamah Konstitusi)

Akil Mochtar (Mantan Hakim sekaligus Ketua Mahkamah Konstitusi) terbukti melakukan tindak pidana korupsi dengan menerima suap dengan dihukum pidana penjara seumur hidup.

Perbuatan Akil Mochtar tersebut merupakan kejahatan aparat hukum “Judicial Crime”, yaitu kejahatan yang dilakukan aparat penegak hukum dalam konteks jabatan dan kekuasaan untuk menetapkan seseorang atau sekelompok orang salah atau tidak bersalah dengan cara menyimpangkan kasus dari tujuan hukum sehingga menguntungkan diri sendiri dan merugikan fihak lain yang berkasus serta merusak tatanan hukum.

Putusan pidana penjara seumur hidup merupakan hukuman paling berat dalam sejarah 10 tahun keberadaan Pengadilan Tipikor. Vonis tersebut tidak saja dapat memberikan efek jera terhadap Akil Mochtar, namun dapat menjadi pesan kepada semua aparat penegak hukum lain dan para hakim MK agar tidak menerima suap atau korupsi. Vonis tersebut mereflesikan keadilan hukum sekaligus penghormatan majelis hakim terhadap penguatan demokrasi yang selama ini dirusak oleh sebagian dari proses politik. Selain itu vonis tersebut membawa pesan moral kepada seluruh aparat penegak hukum dan para calon kepala daerah yang mengikuti pilkada agar tetap menjaga integritas dan tidak melakukan cara-cara penyuapan.

Masih ada harapan dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Dari kasus Akil Mohtar ini dapat menjadi pesan kepada semua aparat penegak hukum lain dan para hakim MK agar tidak menerima suap atau korupsi.

Diketahui vonis terberat yang pernah diterima koruptor melalui sidang Pengadilan Tipikor sebelumnya adalah mantan jaksa Urip Tri Gunawan yang divonis 20 tahun penjara. Itupun vonis di Mahkamah Agung. Saat di Pengadilan Tipikor Jakarta hanya divonis 18 tahun.
Urip merupakan jaksa yang terbukti memeras Artalyta Suryani.  Selain itu ada beberapa nama hakim dan penegak hukum yang pernah divonis Pengadilan Tipikor. Di antaranya mantan Wakil Ketua Pengadilan Negeri Bandung Setyabudi Tedjocahyono yang divonis 12 tahun karena terbukti menerima suap pengurusan kasus korupsi Dana Bansos Kota Bandung.Kemudian mantan Kepala Korlantas Polri, Irjen Pol Djoko Susilo, yang divonis 10 tahun penjara atas kasus korupsi pengadaan Simulator SIM di Korlantas Polri. Kemudian Kartini Marpaung, Hakim Ad Hoc pada Pengadilan Tipikor Semarang, divonis 8 tahun atas suap perawatan mobil dinas DPRD Grobogan. Berikutnya ada Jaksa Sistoyo divonis enam tahun penjara karena menerima suap untuk kasus penipuan dan penggelapan Edward M. Bunyamin di Pengadilan Negeri Cibinong. Ada pula vonis Mantan Hakim PN Jakarta Pusat Syarifuddin yang dihukum empat tahun bui.  Mantan Hakim Ad Hoc Pengadilan Hubungan Industrial Bandung, Imas Dianasari yang divonis enam tahun penjara karena menerima suap dan mencoba menyogok hakim Mahkamah Agung.

Efek jera dalam kasus hakim nakal belum ada, namun ironisnya yang ditemukan justru hakim nakal tersebut meningkatkan kewaspadaannya dalam mempercanggih untuk menerima suap. Jadi untuk memperbaiki semua ini, MA harus memperbaiki sistem mulai dari rekrutmen hingga peningkatan pengawasan.

 Terkait kasus Akil Mochtar, secara terpisah apabila diperhatikan kinerja Mahkamah Konstitusi Sepanjang periode 19 Agustus 2013-17 Agustus 2014, MK telah mengeluarkan 107 putusan. Angka ini adalah angka yang cukup tinggi sepanjang terbentuknya MK. Menurut kajian Setara Institute[2] berfokus pada satu kewenangan MK, yakni kewenangan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Kajian atas putusan MK menggunakan standar dan parameter hak asasi manusia, prinsip-prinsip good governance, pembangunan yang inklusif, dan prinsip-prinsip ketatanegaraan. Setara Institute juga melakukan analisis dan penafsiran terhadap putusan-putusan tersebut, khususnya terhadap putusan yang dalam perspektif Setara Institute berbeda. Sebagai penelitian hukum normatif, riset ini juga menggunakan kaidah-kaidah penelitian hukum yang dipedomani dalam disiplin hukum. Pukulan berat dalam MK kasus itu kita berada dalam kondisi di mana kepercayaan publik sangat rendah.[3]

Berdasarkan hasil survei yang digelar Lingkaran Survei Indonesia, beberapa saat setelah Akil ditangkap KPK. Survei yang digelar 4-5 Oktober 2013 terhadap 1.200 responden di 33 provinsi di Indonesia itu menunjukkan, mayoritas publik kehilangan kepercayaan terhadap Mahkamah Konstitusi. Sebanyak 66,5 persen responden menyatakan tidak percaya lagi kepada MK. Hanya 28 persen responden yang mengatakan masih percaya pada MK.

Padahal pada survei sebelumnya yang dilakukan Oktober 2010-Maret 2013, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap MK masih di atas 60 persen. Dalam tempo hanya tujuh bulan, kasus Akil membuat kepercayaan publik terhadap institusi MK merosot sebesar 37 persen.[4]

            Dari sedemikian rupa maraknya “Judicial Crime “ dapat ditarik kesimpulan, yaitua salah jika beranggapan bahwa kepatuhan terhadap hukum sama dengan kesadaran hukum, kepatuhan hukum lebih disebabkan oleh keterpaksaan karena ada institusi negara yang memaksanya, sedangkan kesadaran hukum lahir dari dalam jiwa yang ikhlas untuk mengikuti hukum yang diyakininya benar. Kepatuhan terhadap hukum karena terpaksa bisa jadi akan berubah jika subjek hukum mempunyai kekuatan dan legitimasi untuk melanggarnya, sedangkan kesadaran akan hukum berlaku untuk selamanya karena subjek hukum menerima hukum dengan ikhlas.

II.c.b   Judicial Activism” dalam praktik hukum dan pembangunan di Indonesia

Banyak faktor yang harus di pertimbangkan agar pembangunan hukum dapat di terima oleh seluruh lapisan masyarakat, misalnya faktor budaya, suku, ras, Agama dan lain-lain. Maka, dalam pembentukan hukum hendaknaya hukum yang di bentuk adalah pruduk hukum yang responsif, yakni hukum yang dapat merespon setiap kepentingan masyarakat.

Dengan demikian, di dalam hukum terbuka lebar ruang dialog dan wacana serta adanya pluralistik gagasan sebagai sebuah realitas. Karena itu hukum disebut responsif tidak lagi selalu mendasarkan pertimbangannya pada pertimbangan juridis melainkan mencoba melihat sebuah persoalan dari berbagai perspektif dalam rangka untuk mengejar apa yang disebut ”keadilan substantif”. Oleh karena itu, para hakim di dalam menjalankan tugas keprofesiannya tentang cara pandang untuk menyikapi hukum adalah sebagai berikut : “The law, like the traveller, must be ready for the morrow, it must have a principle”[5]. 

Upaya penegak hukum (Judicial Aktivism), Hakim mengembangkan atau memperluas pengertian hukum dan peraturan konstitusi yang berlaku dengan menggunakan interpretasi hukum menurut pendapatnya sendiri.

Dalam kondisi sebagai manusia yang fana itu, seorang hakim harus menghadapi keadaan yang mengintervensi kebebasan dan kemandiriannya secara[6]; (a) Internal, intervensi ini berupa dorongan dari dalam diri pribadi hakim sendiri seperti misalnya : rasa simpati, impati, antipati, emosi, integritas, keinginan, kepentingan, popularitas dan lain-lain; (b) Eksternal, intervensi ini berupa kondisi yang berasal dari luar diri hakim, seperti misalnya persaudaraan, pertemanan, penyuapan, pengarahan, tekanan, intimidasi, tindakan kekerasan, pembentukan opini, kepentingan politis dan lain-lain, termasuk juga intervensi struktural.

            Secara konstruktif praktek ”Judicial Activism” dapat dikaitkan dengan konsep awal teori Robert Seidman[7] tentang bekerjanya hukum dilukiskan oleh Satjipto Rahardjo, secara garis besar menghubungkan garis peranan (a) Lembaga Pembuat Peraturan, (b) Lembaga Penerap Peraturan, (c) Pemegang [8] . Dari model bekerjanya hukum tersebut, lebih menitikberatkan pada tindakan apa yang akan diambil oleh lembaga pelaksana sebagai respons terhadap peraturan-peraturan hukum, sangat tergantung dan dikendalikan oleh peraturan hukum yang berlaku, dari sanksi-sanksinya, dan dari seluruh kompleks kekuatan sosial, politik, dan lain sebagainya yang bekerja atas dirinya, serta dari umpan balik yang datang dari pemegang peran dan birokrasi;

            Dalam “Judicial Activism”, adanya pengakuan pemberian diskresi yang luas, sehingga aparat hukum dapat berbuat selalu fleksibel, adaptif dan selalu mawas diri. Pada posisi ini akan terjadi kekaburan tanggung jawab yang harus diemban oleh penegak hukum, karena mereka telah kehilangan kepastian. Dengan demikian, hukum progresif  bisa berakibat pada berubahnya hukum menjadi suatu yang bersifat oportunis, yaitu adaptasi yang tidak terarah terhadap berbagai peristiwa dan tekanan.

III. PENUTUP

Dari pemaparan diatas secara garis besar Refleksi “Judicial Crime” dan “Judicial Activism“ dalam hukum dan pembangunan Indonesia, dapat disimpulkan sebagai berikut:

1.      Hakim Mahkamah Konstitusi sebagai “Hakim setengah Dewa karena tidak tunduk dibawah Mahkamah Agung maupun Komisi Yudisial, melainkan melaksanakan kekuasaan kehakiman berdasarkan aturan tentang Mahkamah Konstitusi yang telah dibuat serta dibawah pengawasan Dewan Etik Mahkamah Konstitusi yang merdeka untuk menyelenggarakan pengadilan guna menegakkan hukum dan keadilan, yang pada dasarnya adalah mengadili.

2.   Perbuatan Terpidana Akil Mochtar  merupakan bukti contoh kejahatan yang dilakukan aparat hukum “Judicial Crime” yang berdampak rusaknya tatanan hukum Indonesia dalam hal ini citra Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga peradilan.

3.   Tidak hanya memberikan efek jera bagi hakim  nakal, lebih dari itu diharapkan sekalipun di internal Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi maupun Komisi Yudisial sendiri , apabila menemukan hakim nakal harus dipidanakan. Disamping itu penguatan mentalitas penegak hukum  mutlak diutamakan, selain meningkatnya gaji hakim yang saat ini sudah berlangsung masih serta merta tidak bisa merubah adanya “Judicial Crime”.

      Berkurang dan telah tidak adanya praktek Judicial Crime” dipengaruhi efektivitas dan produktifitas “Judicial Activism” dalam menjalankan tugas penegakkan hukum yang dirasakan keaadilannya.

      Dengan merefleksikan “Judicial Crime” dan “Judicial Activism” dengan evaluasi dan tindakan obyektif, secara tidak langsung pembangunan hukum yang bersifat Resiprokal terwujud, dimana segala bidang saling mengisi, saling bermanfaat, saling tergantung dan tidak saling mengurangi dalam  membangun negara hukum meningkatkan pembangunan hukum dan pembangunan Indonesia secara tidak langsung, menuju keadilan yang dapat dirasakan dan kesejahteraan rakyat yang dicita-citakan.

 

DAFTAR PUSTAKA

Soekanto, Soerjono, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999.

Philippe Nonet and Philip Selznick, Law and Transition: Towards Responsive Law, New York: Harper & Row, 1978.

Rahardjo, Satjipto, Beberapa Pemikiran Tentang Ancangan Antardisiplin dalam Pembinaan Hukum Nasional, Bandung: Penerbit Sinar Baru, 1985.

Rasjid, Lili dan Putra Wiyasa, ”Hukum sebagai Suatu Sistem”, Bandung: Remaja Rosda Karya, 1993. 

Rahardjo, Satjipto, Beberapa Pemikiran tentang Ancaman Antar Disiplin dalam Pembinaan Hukum Nasional, Sinar Baru, Bandung, 1985.

Rahardjo, Satjipto, Hukum dan Mayarakat, Bandung : Angkasa, 1980.

Mochtar K , Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan, Bandung: Penerbit Alumni, 2006

Warassih, Esmi, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, Semarang: Surya Alam Utama., 2005.

M.Friedman, Lawrence. The Legal System. A Social Science Perspective, New York:Russel Sage Foundation,1986.

        Anom Surya Putra, Teori Hukum Kritis: Struktur Ilmu dan Riset Teks, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003

        Abdul Manan, Aspek-aspek Pengubah Hukum, Jakarta: Kencana, Prenada Media Group, 2005.

Hukum dan Perubahan Sosial, Suatu Tinjauan Teoritis Serta Pengalaman-pengalaman di Indonesia, Prof.Dr.Satjipto Rahardjo, S.H., Genta Publishing, 2009, Yogyakarta.

Bernard L.Tanya, dkk, Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Yogyakarta: Genta Publishing, 2013.

        Piliang, Yasraf Amir. Yogyakarta:Hiper- Realitas, Kebudayaan.  LKs, 1999.

        Turner, Bryan. Teori-Teori Sosiologi, Modernitas, Posmodernisme (Terj). Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.

        Anom Surya Putra, Teori Hukum Kritis: Struktur Ilmu dan Riset Teks, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003.

        Fitzpatrict, Peter dan Alan Hunt, Critical Legal Studies, Basil Blackwell Ltd, New York, 1987.

Fuady, Munir, Aliran Hukum Kritis (Paradigma Ketidakberdayaan Hukum). Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, , 2003.

Diktat:

A.Masyhur Effendi, Bunga Rampai Teori Hukum: Hubungan Filsafat Hukum/Teori Hukum I, Jakarta: Magister Ilmu Hukum Universitas Jayabaya, 2014.

A.Masyhur Effendi, Bunga Rampai Teori Hukum: Hubungan Filsafat Hukum/Teori Hukum II, Jakarta: Magister Ilmu Hukum Universitas Jayabaya, 2014.

 

Internet:

Http:// www.kompas.com Setara Sebut Prahara Akil Tidak Pengaruhi Kinerja MK, Senin, 18 Agustus 2014, diakses pada  Rabu, 27 Agustus 2014


Http://.www.Seruu.com, Runtuhnya "Tangan Tuhan" di Mahkamah Konstitusi, Minggu, 6 Oktober 2013, diakses pada 10 September 2014


Http:// www.Viva news.com, diakses pada  Rabu, 27 Agustus 2014



[1]  Lili Rasjidi dan Putra Wiyasa dalam buku ”Hukum sebagai Suatu Sistem” Remaja Rosda Karya, Bandung, 1993 mengatakan, dalam konteks sistem hukum, ilmu hukum  dibicarakan sebagai penjabaran, pengujian, dan pengembangan teori-teori hukum yang berasal dari komponen filsafat hukum. Tujuan dari penjabaran dan pengembangan itu berkaitan dengan dimensi-dimensi ontologi, epistemologi, dan dimensi aksiologi. Dalam kaitannya dimensi yang terakhir, ilmu hukum dipandang sebagai suatu kesatuan dengan pendidikan hukum. Fungsi utamanya adalah sebagai media penghubung antara dunia rasional (Sollen) dan dunia empiris (Sein). Fungsi ini mungkin diperankan oleh ilmu hukum dan pendidikan hukum, adalah karena kelebihan yang dimilikinya, yaitu dimensi rasional dan dimensi empiris dan ilmu hukum. Melalui  kedua dimensi ini, ilmu hukum dan pendidikan hukum dapat menghubungkan dunia filsafat dengan dunia kenyataan dengan cara membangun konsep-konsep hukum.  

[2]http:// www.kompas.com Setara Sebut Prahara Akil Tidak Pengaruhi Kinerja MK, Senin, 18 Agustus 2014, diakses pada  Rabu, 27 Agustus 2014

[3]Ibid.
[4]http:// www.Viva news.com, diakses pada  Rabu, 27 Agustus 2014
[5] Lloyd, Dennis, op.cit., hal. 326
[6] Http://.www.Seruu.com, Runtuhnya "Tangan Tuhan" di Mahkamah Konstitusi, Minggu, 6 Oktober 2013, diakses pada 10 September 2014
[7] Gambar aslinya dapat dilihat dari buku Robert B. Seidman & William J. Chambles,  Law, Order, and Power, hal 21.
[8] Lihat  Satjipto Rahardjo, Hukum dan Mayarakat, Angkasa, Bandung , 1980, hlm. 27. 

Komentar

Postingan Populer