RESPONSIFITAS POLITIK HUKUM
MENAKAR RESPONSIFITAS POLITIK HUKUM
ATAS PROGRAM HUKUM PARTAI POLITIK
PESERTA PEMILU 2014-2019
“….Kurang responsnya soal program hukum dari Partai Politik
(parpol) tidak lepas dari kurangnya program hukum yang dimiliki. Dari data-data
Partai Politik (parpol) yang memiliki dokumen tertulis dan punya program lisan
telah membuktikan bahwa, pada dasarnya partai politik lebih peduli pada
pencitraan dibandingkan substansi program konkret. Disamping itu, sebagian
besar Partai Politik (parpol) tidak memiliki visi-misi untuk menjawab
problem-problem hukum saat ini. Penulis menyayangkan Komisi Pemilihan Umum
(KPU) tidak seperti sebelumnya mengumpulkan visi misi dan program-program hukum
partai politik….”
I. Pendahuluan
Politik dan hukum adalah dua buah sisi yang berbeda namun tidak
dapat dipisahkan “Sine Qua Non”. Dalam pelaksanaannya Politik dilakukan oleh
Partai Politik sebagai penggerak politik itu sendiri secara luas.
Partai politik sebagai sarana politik yang menjembatani elit-elit
politik dalam upaya mencapai kekuasaan politik dalam suatu negara yang
bercirikan mandiri dalam hal finansial, memiliki platform atau haluan politik
tersendiri, mengusung kepentingan-kepentingan kelompok dalam urusan politik,
dan turut menyumbang “political development” sebagai suprastruktur politik.
Menurut Carl J. Friedrich, Partai
politik
adalah sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut
atau mempertahankan penguasan pemerintah bagi pemimpin partainya, dan
berdasarkan penguasaan ini memberikan kepada anggota partainya kemanfaatan yang
bersifat ideal maupun materil.
Sebagai suatu organisasi
politik yang menjalani ideologi tertentu atau dibentuk dengan tujuan khusus.
Suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya
mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama. Dimana tujuan
kelompok ini ialah untuk memperoleh kekuasaan politik dan kedudukan politik
dengan cara konstitusionil untuk
melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka.
Saat dikaitkannya hukum dengan Politik dalam hal ini partai
politik sebagai pelakunya, hukum dalam hal ini dilihat sebagai suatu gejala
sosial yang nyata lahir dari realita dalam kehidupan bermasyarakat. Hukum di
pandang sebagai suatu gejala yang nyata merupakan perwujudan dari kebutuhan
masyarakat akan suatu ketertiban dan keteraturan dalam pergaulan hidup
masyarakat. Hukum selain dipandang sebagai alat untuk mengendalikan masyarakat
(control social), hukum juga berfungsi sebagai alat perubahan dan
sebagai alat untuk mencapai keadilan substansial.
Sebagai sebuah gejala sosial yang riil, hukum akan menjadi
suatu kebutuhan jiwa manusia sebagai anggota unit kelompok secara khusus dan
unit kemasyarakatan secara umum untuk mewujudkan ketertiban, keadilan dan
keamanan dalam setiap gerak dinamis sistem kemasyarakatan. Maka sebagai suatu
bentuk perwujudan kehendak, hukum akan selalu berubah (dinamis) mencari bentuk persesuaian bentuknya pada dimensi ruang
dan waktunya yang tepat, termanifestasi sebagai gejala sosial yang utuh dan
mengiringi setiap kedinamisan dalam sistem kemasyarakatan yang kompleks sebagai
suatu perwujudan kehendak dari kebutuhan jiwa manusia sebagai makluk sosial.
Hukum tidak dapat lepas dari
kepentingan-kepentingan dan pengaruh termasuk kepentingan dan pengaruh politik, menurut Max Weber,. Adalah seperti
apa yang dikatakan oleh yang mengatakan bahwa, hukum itu dipengaruhi kepentingan-kepentingan, baik itu kepentingan
material maupun kepentingan-kepentingan
ideal dan menurut pendapatnya, hukum
juga sangat dipengaruhi cara berpikir kelas-kelas sosial dan kelompok-kelompok
yang berpengaruh termasuk partai politik.[1] Bahkan secara ekstrim Grifiths mengatakan bahwa, suatu
undang-undang tidak akan pernah ada tanpa ada suatu keputusan politik, begitu
pula rincian undang-undang akan menentukan pula pengaruh suatu kebijakan
politik[2].
Menurut Satjipto Rahardjo,
bahwa sistem hukum dipengaruhi oleh sistem yang lebih luas yang disebut “super system” yaitu sistem sosial[3]
(social system) dimana sistem hukum
itu di bangun. Sistem sosial
ini dapat berupa sistem sosial budaya, sistem politik, sistem ekonomi, sistem
ilmu pengetahuan, teknologi dan lain-lain. Ini berarti bahwa sistem hukum harus
dibangun dari berbagai bahan yang terdapat dimana sistem hukum itu dibangun.
Lebih jauh Satjipto Rahardjo menyatakan, “konsentrasi energi hukum
selalu kalah kuat dari konsentrasi energi politik”.[4] Pendapat tersebut sangat tepat apabila
disandingkan realitas yang sesungguhnya terjadi dalam proses pembentukan hukum
di DPR RI, dimana berbagai sistem politik yang ada di DPR RI ikut melingkupi,
terutama sistem politik dari partai-partai
politik yang besar. Dalam hal ini dapat dilihat dalam keseriusan,
kefahaman dan pengetahuan atas program hukum Partai Politik peserta Pemilu
(Pemilihan Umum) Tahun 2014-2019.
Pendefinisian
Politik Hukum telah banyak diutarakan oleh para ahli seperti Padmo Wahjono, Mahfud MD, Prof. Satjipto
Rahardjo, maupun Prof. Sudarto.
Menurut Prof. Sudarto “Politik
Hukum” adalah kebijaksanaan dari negara dengan perantaraan badan-badan yang
berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang di kehendaki, yang di
perkirakan bisa di gunakan untuk mengekspresikan apa yang di cita-citakan.
Ketika
nilai-nilai dan tujuan-tujuan hukum yang telah diolah dan dipilih oleh nilai-nilai
dan tujuan terbaik yang hendak dicapai dirumuskan menjadi tujuan nasional. Seiring
dengan dilakukannya cara-cara melaksanakan hukum positif materiil untuk
mencapai tujuan nasional diatur dalam perundangan sebagai hukum positif murni,
saat itulah politik melaksanakan tugasnya, dimana politik disini bukan semata
politik murni namun dikenal dengan politik hukum.
Masyarakat sebagai adressat hukum dituntut harus paham
maksud dan tujuan dari suatu produk hukum, maka untuk mencapai satu kesepahaman
rakyat terhadap hukum tentu harus melalui komunikasi produk hukum itu dalam hal
ini program hokum partai politik.
Lantas bagaimana Masyarakat dapat mencerna,
memahami dan bahkan melaksanakan produk politik hokum dalam hal ini program hukum Partai Politik peserta Pemilu
(Pemilihan Umum) Tahun 2014-2019? Bagaimana dan sejauhmana Partai politik peserta
Pemilu (Pemilihan Umum) Tahun 2014-2019 dapat merumuskan, menciptakan suatu
program hukum partai politik yang sesuai, tepat dan menjawab keinginan
masyarakat?
II. Permasalahan
Sehingga dalam karya tulis ini sengaja Penulis ungkapkan rasa
kegelisahan dan ketakutan tersebut dalam bentuk permasalahan sebagai berikut:
1.Apa dan Bagaimana
Program Hukum Partai Politik peserta PEMILU 2014-2019?
2.Apakah Program Hukum Partai Politik peserta PEMILU
2014-2019 telah mewujudkan Responsifitas Politik Hukum?
III. Maksud dan Tujuan
Penulisan karya tulis ini sengaja
disusun selain untuk pemenuhan tugas mata kuliah Politik Hukum adalah untuk
mengetahui lebih dekat sejauh mana Program
Hukum Partai Politik peserta PEMILU 2014-2019 telah mewujudkan Responsifitas
Politik Hukum.
Penulisan karya tulis ini diharapkan juga dapat bermanfaat secara akademis
sebagai sumbangan ilmu hukum bidang politik maupun sekiranya dapat menjadi
titik tolak pengujian dan pemaknaan secara kritis terhadap berbagai konsep,
teori, dan paradigma hukum bidang politik. Di samping itu, tulisan ini
diharapkan dapat pula menjadi masukan
bagi pembaharuan dan pengembangan
ilmu[5]
hukum.
IV. Pembahasan
A.
Program Hukum
Partai Politik peserta PEMILU 2014-2019
a.1 Program Hukum Partai Politik
Pada dasarnya tujuan Partai Politik parpol adalah untuk mencari dan mempertahankan
kekuasaan guna melaksanakan atau mewujudkan program-program yang telah mereka
susun sesuai dengan ideologi tertentu.
Diketahui atas semua tugas dan tujuannya. Suatu Partai Politik, dapat
dikualifikasikan fungsinya yaitu sebagai
sarana
komunikasi politik, sosialisasi politik, rekrutmen politik serta
sarana
pengatur konflik yang secara tidak langsung dapat dilihat dari program hukum yang dibuatnya.
Program hukum Partai Politik
diharapkan dapat menjadi ujung dari semangat pembaharuan atau pembangunan
hukum”, dimana pada hakikatnya merupakan ”pembaharuan/pembangunan yang
berkelan-jutan” (sustainable
reform/sustainable development).
Di dalam pembaharuan atau
pembangunan hukum selalu terkait dengan ”perkembangan atau pembangunan
masyarakat yang berkelanjutan” maupun ”perkembangan yang berkelanjutan
dari kegiatan atau aktivitas ilmiah dan perkembangan pemikiran filosofi/ide-ide
dasar/ konsepsi intelektual”.
Jadi program hukum dan
pembaharuan hukum ”law reform”
terkait erat dengan ”sustainable
society/development”, ”sustainable
intellectual activity”,”sustainable intellectual phylosophy”, “sustainable
intellectual conceptions/basic ideas”. Kajian terhadap masalah ini
tentunya merupakan kajian yang “bergenerasi”.
Diketahui dalam prakteknya program hukum Partai Politik peserta
Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 2014-2019 yaitu sebagai berikut :
I.Partai Nasdem:
I. RE-AMANDEMEN TERHADAP UUD
a. Revitalisasi Kelembagaan
b. Memperkuat Sistem Presidensial
c. Mengkaji Pemilihan Langsung Kepala Daerah.
2. REFORMASI PERADILAN DAN PEMBERANTASAN KORUPSI
3. POLITIK LEGISLASI
a. Modernisasi
Hukum
b. Revisi
Undang-Undang (UU) HAM
4. PENEGAKAN HAM
5. TATA KELOLA SUMBER DAYA ALAM
II.Partai Kebangkitan Bangsa:
1. AMANDEMEN UNDANG-UNDANG
2. REFORMASI PERADILAN DAN PEMBERANTASAN KORUPSI
3. POLITIK LEGISLASI
PKB melihat kritik banyak pihak terhadap
KUHP yang sudah kedaluwarsa, terutama norma-norma hukum yang itu dilahirkan
oleh zaman Belanda tidak lagi memenuhi kebutuhan zaman sekarang. Jadi
diperlukan ada perubahan KUHP.
4. KEPASTIAN
HUKUM DALAM BERUSAHA.
5. TATA KELOLA SUMBER DAYA ALAM
III.PKS
(Partai Keadilan Sejahtera):
1. AMANDEMEN KONSTITUSI
2. REFORMASI PERADILAN DAN PEMBERANTASAN KORUPSI
3. POLITIK LEGISLASI
4. PENEGAKAN HAM
5. KEPASTIAN HUKUM DALAM BERUSAHA
6. TATA KELOLA SUMBER DAYA ALAM
IV.Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan:
1.AMANDEMEN KONSTITUSI
2. REFORMASI PERADILAN DAN PEMBERANTASAN KORUPSI
3. POLITIK LEGISLASI
4.PENEGAKAN HAM
5. TATA KELOLA SUMBER DAYA ALAM
V.GOLKAR:
1. AMANDEMEN KONSTITUSI
2. REFORMASI PERADILAN DAN PEMBERANTASAN KORUPSI
3. POLITIK LEGISLASI
4. PENEGAKAN HAM
5. KEPASTIAN HUKUM DALAM BERUSAHA
6. TATA KELOLA SUMBER DAYA ALAM
VI. GERINDRA:
1. AMANDEMEN KONSTITUSI
2. REFORMASI PERADILAN DAN PEMBERANTASAN KORUPSI
3. POLITIK LEGISLASI
4. PENEGAKAN HAM
5.KEPASTIAN HUKUM DALAM BERUSAHA
6.TATA KELOLA SUMBER DAYA ALAM
VII.Partai
Demokrat:
1. AMANDEMEN KONSTITUSI
2. REFORMASI PERADILAN DAN PEMBERANTASAN KORUPSI
3. POLITIK LEGISLASI
a. Program Pro Poor, Pro Job, Pro Growth
b. Singkronisasi Perundang-undangan
4. KEPASTIAN HUKUM DALAM BERUSAHA
a. Kepastian Hukum di sektor
ekonomi/bisnis/berusaha
5. TATA KELOLA SUMBER DAYA ALAM
a. Renegosiasi Sumber daya alam strategis, seperti
pertambangan dan Perminyakan
VIII.Partai
Amanat Nasional (PAN):
1. REFORMASI PERADILAN DAN PEMBERANTASAN KORUPSI
a. Pemberantasam Korupsi
2. POLITIK LEGISLASI
3. TATA KELOLA SUMBER DAYA ALAM
a. Kontrak
Karya Pertambangan
IX.PPP:
1. AMANDEMEN KONSTITUSI
2. REFORMASI PERADILAN DAN PEMBERANTASAN KORUPSI
3. POLITIK LEGISLASI
a. RUU KUHAP
b. Penyadapan
4. KEPASTIAN HUKUM DALAM BERUSAHA
a. Regulasi kepastian hukum dalam berusaha
5. TATA KELOLA SUMBER DAYA ALAM
a. Tata kelola Sumber Daya Alam (SDA)
b. Renegosiasi kotrak
X.HANURA:
XI.Partai Bulan Bintang:
1. REFORMASI PERADILAN DAN PEMBERANTASAN KORUPSI
2. POLITIK LEGISLASI
3. PENEGAKAN HAM
XII.PKPI:
1. AMANDEMEN KONSTITUSI
|
Secara lengkap, berikut terlampir Matriks Program
hukum Partai Politik Peserta Pemilu 2014-2019 yang daimbil dari hasil
penelitian data Komisi Hukum nasional, Hukum Online.com serta ILUNI FH UI.
a.2 Keterwakilan Calon Legislatif Berlatarbelakang Sarjana Hukum
sebagai pelaksana Program Hukum Partai Politik
Diketahui partai yang
memiliki jumlah persentase caleg hukum terbanyak dibanding parpol lain, yakni
20 persen (112 dari 560 caleg). Setelah PDIP, Partai Demokrat berada di urutan
kedua dengan persentase 19,8 persen (111 dari 560 caleg).
PPP, Golkar, Gerindra, Nasdem, dan Hanura memiliki persentase caleg berlatar belakang hukum yang tak jauh berbeda. Yakni, PPP 18,3 persen (99 dari 541 caleg), Golkar 17,14 persen (96 dari 560 caleg), Gerindra 17,7 persen (99 dari 558 caleg), Nasdem 16,9 persen (95 dari 559 caleg) dan Hanura 16,8 persen (94 dari 558 caleg).
Sedangkan, tiga parpol lainnya berada di posisi di bawahnya. Di grup ini ada PAN 14,8 persen (83 dari 560 caleg), PBB 12,4 persen (69 dari 556 caleg) dan PKPI 9,8 persen (53 dari 539 caleg). Di urutan paling buncit ada PKS 6,9 persen (34 dari 492 caleg) dan PKB 6,4 persen (36 dari 558 caleg).
No.
|
Partai Politik
|
Jumlah Total Caleg
|
Caleg Berlatar Belakang Pendidikan Hukum
|
1.
|
Partai Nasional Demokrat
|
559
|
95
|
2.
|
Partai Kebangkitan Bangsa
|
558
|
36
|
3.
|
Partai Keadilan Sejahtera
|
492
|
34
|
4.
|
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
|
560
|
112
|
5.
|
Partai Golongan Karya
|
560
|
96
|
6.
|
Partai Gerakan Indonesia Raya
|
558
|
99
|
7.
|
Partai Demokrat
|
560
|
111
|
8.
|
Partai Amanat Nasional
|
560
|
83
|
9.
|
Partai Persatuan Pembangunan
|
541
|
99
|
10.
|
Partai Hati Nurani Rakyat
|
558
|
94
|
11.
|
Partai Bulan Bintang
|
556
|
69
|
12.
|
Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia
|
539
|
53
|
Total
|
6.601
|
981
|
Sumber Data: ILUNI FHUI (diolah)
Berdasarkan penelusuran hukumonline terhadap daftar anggota DPR periode 2009-2014 di situs resmi DPR, setidaknya terdapat 74 anggota (dari total 560 anggta) yang berlatar belakang pendidikan hukum atau bergelar sarjana hukum. Mereka banyak berkumpul di Komisi III DPR yang membidangi hukum dan hak asasi manusia. Setidaknya, ada 22 anggota ber-background pendidikan hukum di Komisi ini.
Sedangkan, Komisi yang sepi dari anggota yang bergelar sarjana hukum adalah Komisi I, Komisi IV, dan Komisi XI. Masing-masing komisi ini hanya memiliki tiga anggota dewan yang berlatar belakang pendidikan hukum.
Beberapa nama tenar tampil di dalam 991 caleg yang berlatar belakang hukum itu. Misalnya, di Partai Nasdem, ada Taufik Basari yang bertarung di dapil DKI Jakarta I. Tobas – sapaan akrabnya- merupakan eks aktivis LBH dan mantan pengacara pimpinan KPK yang sempat tersandung masalah hukum, Bibit Samad Riyanto dan Chandra Hamzah.
Di PKB, ada mantan Bupati Pamekasan Kholilurrahman yang akan bertarung di Dapil Jawa Timur XI. Sedangkan, di PKS, ada Zainudin Paru yang mengisi Dapil Nusa Tenggara Timur I. Zainudin merupakan advokat yang kerap tampil sebagai kuasa hukum PKS di setiap persidangan. Pada sidang sengketa pemilu 2009 lalu, Pendiiri Pusat Studi Hukum dan HAM (PAHAM) ini memecahkan rekor dengan sidang selama 17 jam di MK.
Di PDIP, nama tenar seperti Trimedya Panjaitan masih masuk dalam daftar caleg. Pria yang pernah memimpin Komisi III dan masih menjabat sebagai anggota DPR ini akan kembali menjajal peruntungannya di Dapil Sumatera Utara II. Kolega Trimedya di Komisi III, Nudirman Munir juga masih terdaftar sebagai caleg dari Golkar. Mantan Pengacara Tommy Soeharto ini akan bertarung di Dapil Sumatera Barat II.
Partai Gerindra juga masih menempatkan ‘incumbent’ Martin Hutabarat di dapil Sumatera III. Sedangkan, Partai Demokrat tak ragu menempatkan pengacara kontroversial Farhat Abbas sebagai caleg di dapil DKI Jakarta III. Di PAN, ada artis Marissa Haque Fawzi yang bergelar sarjana hukum di dapil Bengkulu.
Anggota Komisi III dari PPP Ahmad Yani kembali mencalonkan diri di dapil Sumatera Selatan I. Pengacara wanita Elza Syarief dicalonkan Partai Hanura untuk bertarung di dapil Lampung II.
Di PBB, ada mantan aktivis mahasiswa Yasin Ardhy (Ketua PB HMI 1986-1988) yang akan bertarung di dapil Jawa Barat VI. Sedangkan di PKPI, ada Rektor Universitas Jakarta Tjindra Wignyoprayitno yang akan bertarung di dapil Jawa Barat II.
Sebagai
gambaran, Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan (PDIP) adalah partai politik yang menempatkan caleg
berlatar belakang hukum lebih banyak
di banding parpol-parpol yang lain. Persentase caleg yang berlatar belakang
hukum sejumlah 20 persen (112 caleg dari total 560 caleg).
Para caleg yang berlatar belakang hukum tersebar ke sejumlah pulau di Indonesia. Mayoritas akan bertarung di Pulau Jawa (51 caleg), lalu menyusul di Pulau Sumatera (40 caleg). Sementara, di Pulau Bali/NTB/NTT terdapat tujuh caleg yang berlatar belakang hukum.
Sedangkan, jumlah terkecil ada di pulau Sulawesi, Kalimantan, dan Maluku/Papua yang masing-masing memiliki enam, lima dan tiga caleg yang berlatar belakang hukum.
Daftar Caleg PKS Berlatar Belakang Hukum
Dapil
|
Caleg
|
Dapil
|
Caleg
|
Dapil
|
Caleg
|
Dapil
|
Caleg
|
Aceh I
|
Azfilli Ishak, SH.
|
Sumsel II
|
Fatima Syuraini Dewi, SH.
|
Jateng I
|
Tjahjo Kumolo, SH.
|
Jatim IX
|
S. Tarida H. Hutabarat, SH., MM
|
Aceh I
|
Andriyani, SH.
|
Bengkulu
|
Emilia Puspita, SH.
|
Jateng I
|
H. Soetjipto, SH., MH.
|
Jatim X
|
Nurhadi, SH.
|
Sumut I
|
Lidya Octaviana Sianipar, SH.
|
Lampung I
|
Simeon Petrus, SH.
|
Jateng I
|
H. Antoni Wijaya, SH.
|
Banten I
|
Radiati, SH.
|
Sumut I
|
Firman Jaya Daely, SH.
|
Lampung I
|
I Nyoman Adi Peri, SH
|
Jateng II
|
HM. Masluri, SH, MH
|
Banten I
|
Yana Muliana R, SH.
|
Sumut I
|
Yenni Meilina Lie
|
Lampung II
|
H. KRH. Henry Yosodiningrat, SH
|
Jateng II
|
Dina Ardiyanti, SH.
|
Banten II
|
Dewi Wahyuni, SH
|
Sumut II
|
Trimedya Panjaitan, SH, MH.
|
Lampung II
|
Nadrah Izahari, SH, M.Kn
|
Jateng III
|
H. Imam Suroso, S.Sos, SH, MM
|
Banten/Banten II
|
Sophar Maru Hutagalung, SH, M.H
|
Sumut II
|
DR. Yasonna Hamonangan Laoly, SH, M.Sc
|
Lampung II
|
Hj.Nurhasanah, SH,. MH.
|
Jateng III
|
LUSIANA MARIANINGSIH, SH. M.Hum
|
Banten III
|
Drs. Eddy Kusuma Wijaya, SH, MH, MM
|
Sumut II
|
Nurmaeni Daulay, SH.
|
Lampung II
|
H.Ediwarman Gucci, SH., M.Kn
|
Jateng IX
|
Nova Naumi Alluyak, SH.
|
Bali
|
Dr. I Wayan Candra, SH., MH
|
Sumut II
|
Zakaria Bangun, SH, MH.
|
Lampung II
|
Saut Pangaribuan, SH.,
|
Jateng X
|
Siti Fikriyah Khuryati, SH., Msi.
|
Bali
|
I Wayan Bagiarta, SH., M.Hum.
|
Sumut II
|
Yodben Silitonga, SH.
|
Babel
|
Susanty, SH
|
Jateng X
|
Moegiono, SH.
|
NTB
|
H. Rachmat Hidayat, SH.
|
Sumut II
|
Ariyanti, SH., MH.
|
Kepri
|
Dwi Ria Latifa, SH, MSc.
|
Jatim I
|
H. Saleh Mukadar, SH.
|
NTB
|
Sirra Prayuna, SH.
|
Sumut III
|
H. Tritamtomo, SH.
|
Kepri
|
DR. Lodewijk Gultom, SH, MH.
|
Jatim I
|
Hari Putri Lestari SH., MH.
|
NTB
|
Ani Hairani, SH
|
Sumut III
|
Sudiman Tarigan, SH, MH.
|
DKI Jakarta I
|
Abadi Parulian Hutagalung, SH.
|
Jatim I
|
Susanto Budi Raharjo SH., MH.
|
NTB
|
Siti Nur Arinang, SH.
|
Sumut III
|
DR. Junimart Girsang, SH, MBA, MH.
|
DKI Jakarta I
|
Ni Gusti Ayu Eka Sukmadewi, SH.
|
Jatim II
|
Diarson Lubis SH.
|
NTT I
|
Maria Magdalena Blegur, SH.
|
Sumbar I
|
H. Halius Hosen, SH.*
|
DKI Jakarta II
|
Masinton Pasaribu, SH.
|
Jawa Timur/Jatim IV
|
Ir. Hadi Prajoko, SH, MH.
|
Kalteng
|
Asdy Narang, SH, M.Comm.Law
|
Sumbar II
|
Ramadi Ganto Suaro, SH
|
DKI Jakarta II
|
DR. DRA. Tiernney Gene Waani, SH, M.Si
|
Jatim V
|
Drs. Ahmad Basarah, MH.
|
Kalteng
|
Eria Sagitary, SH.
|
Riau I
|
DR. Arifin Bantu Purba, SH, MH
|
Jabar I
|
Lenny Marliani, SH.
|
Jatim V
|
Sayed Muhammad Muliady, SH.
|
Kalteng
|
H. Rahmat Nasution Hamka, SH, M.Si.
|
Riau II
|
Marsiaman Saragih, SH.
|
Jabar II
|
Esti Judhistira Danubrata, SH.
|
Jatim V
|
Sri Wahyuningsih, SH., M.Pd
|
Kalteng
|
Stephany Marisa Endianita, SH.
|
Jambi
|
Hj. Teti Kurniawati, SH., M.kn
|
Jabar II
|
Putry Setia Ningsih, SH, M.Kn.
|
Jatim VI
|
Arteria Dahlan, ST, SH.
|
Kaltim
|
Annisa Dinda Faramitha, SH, M.Kn.
|
Jambi
|
Dodi Sularso, SH.
|
Jabar V
|
Yasmine Yessy Gusman, SH. MBA
|
Jatim VI
|
Rina Yunarti, SH, M.Kn.
|
Sulut
|
Djenri Alting Keintjem, SH, MH.
|
Sumsel I
|
Hj. Intim Solachma, SH.
|
Jabar VI
|
Aprileny, SH, MM.
|
Jatim VI
|
Mistianah, SH.
|
Sulut
|
P.S. Jemmy Mokolensang, SH.
|
Sumsel I
|
H. Darmadi Djufri, SH, MH.
|
Jabar VI
|
Noer Fajrieansyah, SE, SH.
|
Jatim VII
|
Moch. Geng Wahyudi, SH., MH.
|
Sulteng
|
Hj. Raguan Aljufri, S.Ag, MH.
|
Sumsel I
|
Drs. Ganjar Razuni, SH., MH., M.Si.
|
Jabar VI
|
Risa Mariska, SH.
|
Jatim VII
|
Hiashinta Prastuty, SH.
|
Sulsel I
|
H. Andi Ridwan Wittiri, SH.
|
Sumsel I
|
Banteng Pringgodani
|
Jabar VII
|
Khadijah Syahbudi Saleh, SH.
|
Jatim VII
|
Diyen Andrita, SH.
|
Sulsel I
|
Djeni Marthen, SH.
|
Sumsel II
|
HR. Erwin M. Singajuru, SH., MH
|
Jabar VIII
|
Bambang Sri Pujo Sukarno Sakti, SE, SH, MH.
|
Jatim VIII
|
Magda Widjajana, SH.
|
Sulsel III
|
H. Harla Ratda, SH, MH.
|
Sumsel II
|
Hamid Basyaib, SH.
|
Jabar X
|
Sutrisno, SH
|
Jawa Timur/Jatim VIII
|
Bambang Hermanto, SH.
|
Maluku
|
Sterra Silvana Pietersz, MH.
|
Sumsel II
|
Yulian Gunhar, SH, MH.
|
Jabar XI
|
Florence Eleonora Moniung
|
Jatim IX
|
Abidin Fikri, SH.
|
Papua
|
Komarudin Watubun, SH, MH.
|
Sumsel II
|
Dr. H.M. Rasyid Ridho, SH, MH
|
Jateng I
|
Yanuar Prawira Wasesa, SH, M.Si, MH.
|
Jatim IX
|
RR. Sri Wilujeng., SH
|
Papua
|
Yahya L. Rado, SH, MH
|
Sumber Data: ILUNI FHUI
Dari data Hukumonline.com PDIP masih mengandalkan wajah-wajah lama. Mereka adalah anggota DPR periode 2009-2014 yang kembali mencalonkan diri, seperti Trimedya Panjaitan (Sumut II), Yasonna Hamonangan Laoly (Sumut II), Tritamtomo (Sumut III), Tjahjo Kumolo (Jateng I), Ahmad Basarah (Jatim V), dan Sayed Muhammad Muliady (Jatim V).
Di dapil Kepulauan Riau, Dwi Ria Latifa
(anggota DPR periode 1999-2004) juga kembali ikut bertarung di pemilu
legislatif 2014 ini.
Selain muka-muka lama, PDIP juga
menjagokan para pengacara-pengacara tenar untuk mendulang suara. Misalnya,
pengacara Henry Yosodiningrat (Lampung II) dan Junimart Girsang (Sumut III).
Sedangkan, Rektor Unkris Lodewijk Gultom mengisi caleg hukum PDIP dari jajaran
akademisi.
Sementara, salah seorang caleg,
Halius Hosen dicoret oleh KPU karena yang bersangkutan masih menjabat sebagai
Ketua Komisi Kejaksaan (Komjak).
B.
Program Hukum
Partai Politik Peserta PEMILU 2014-2019 Sebagai Wujud Responsifitas Politik Hukum.
Ketika membahas Program hukum partai politik, selayaknya tidak
dapat dipisahkan hubungannya dengan pemahaman terkait dasar politik. Dasar dalam politik hukum adalah adanya ketentuan bahwa pelaksanaan pengembangan
politik hukum tidak bisa dipisahkan dengan pelaksanaan pengembangan
politik secara keseluruhan. Atau, dapat dikatakan, prinsip dasar yang
dipergunakan sebagai ketentuan pengembangan politik akan juga berlaku bagi
pelaksanaan politik hukum yang diwujudkan melalui peraturan
perundang-undangan.
Saat
politik hukum berperan dalam masyarakat, harus terlebih dahulu diketahui dan
analisa tipe rezim dan karakter produk hukum yang akan dihasilkan. Apabila sebuah rezim
bertipe democratic, maka akan ditandai dengan mekanisme pembentukan
produk hukum secara penuh persaingan (competitive), dan mengakomodir
munculnya keragaman gagasan (pluralistic). Sebagai konsekuensi dari
mekanisme yang demokratis, maka akan dihasilkan produk hukum yang cenderung
berkarakter lebih memihak kepada kepentingan masyarakat (populist),
lebih memperhatikan kepentingan masa depan dan tidak segan-segan untuk
mengikuti perkembangan (progressive), dan membatasi munculnya
multi-tafsir (limited interpretation) dan pada gilirannya lebih
memberikan jaminan kepastian hukum.
Sebaliknya, pada rezim
yang bertipe non-democratic, mekanisme pembentukan produk hukum lebih
cenderung terpusat (centralistic), dan tentu saja sangat kurang nuansa
persaingan gagasan dalam merumuskan produk hukum (non-competitive). Pada
rezim yang demikian ini, akan ditemukan karakter produk hukum yang cenderung
mengakomodir kepentingan kalangan elit saja (elitist), kurang
mengakomodir perkembangan dan kepentingan jangka panjang ke depan (conservative),
dan membuka ruang munculnya multi-tafsir (open to multi-interpretation)
dan kurang memberikan jaminan kepastian hukum.
Regime Types
|
Karakter Produk
Hukum
|
Mekanisme
|
Democratic
|
-
Populist
-
Progressive
-
Limited
Interpretation
|
-
Pluralistic
-
Competitive
|
Non-Democratic
|
-
Elitist
-
Conservative
-
Open to Multi
-
Interpretation
|
-
Centralistic
-
Non-Competitive
|
Tabel.3 Bentuk Produk Hukum
Dalam tubuh hukum terjadi semacam perkembangan sehingga sampai
pada hukum yang maju atau diasumsikan maju seperti yang dipraktekkan saat ini
oleh berbagai negara. Perkembangan hukum itu sendiri umumnya terjadi sangat
lamban meskipun sekali terjadi lebih cepat. Namun perkembangan dari hukum kuno
pada hukum modern merupakan perjuangan manusia tiada akhir satu dan lain hal
disebabkan masyarakat, dimana hukum berlaku berubah terus-menerus dalam
perkembangan hukum itu sendiri terkadang dilakukan dengan revisi atau amandemen
terhadap undang-undang yang sudah ada tetapi sering pula dilakukan dengan
mengganti undang-undang lama dengan undang-undang baru. Bahkan hukum modern
telah menentukan prinsip dan asa hukum yang baru dan meninggalkan prinsip dan
asas hukum yang lama dan sudah cenderung ketinggalan zaman.
Dalam hubungannya dengan perkembangan masyarakat hukum mengatur
tentang masalah struktur sosial nilai-nilai dan larangan-larangan atau hal-hal
yang menjadi tabu dalam masyarakat.
Masa kini telah terjadi
perkembangan berbagai bidang hukum dimana sebagian hukum disebagian negara
telah menyelesaikan pengaturannya secara tuntas, tetapi sebagian hukum dinegara
lain masih dalam proses perubahannya. Hukum merupakan kaidah untuk mengatur
masyarakat, karena itu hukum harus dapat mengikuti irama perkembangan
masyarakat, bahkan hukum harus dapat mengarahkan dan mendorong berkembangnya masyarakat
secara lebih cepat dan terkendali. Karena terdapatnya ketertiban sebagai salah
satu tujuan hukum dengan begitu terdapat interklasi dan interaksi antara hukum
dan perkembangan masyarakat.
Tidak dapat diabaikan salah
satu faktor yang mengikuti perkembangan hukum dalam masyarakat adalah kesadaran
hukum masyarakat itu sendiri. Faktor kesadaran hukum ini sangat memainkan peran
penting dalam perkembangan hukum artinya semakin lemah tingkat kesadaran
hukumnya semakin kuat pula factor kepatuhan hukum. Sehingga proses perkembangan
dan efektifitas hukum dapat dirasakan langsung oleh masyarakat.
Pentingnya kesadaran hukum
masyarakat di masa depan akan memberikan sumbangan yang besar dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Masyarakat yang sadar akan hak-hak dan
kewajibannya tidak akan terperdaya oleh pihak-pihak yang hanya mengutamakan
kepentingannya sendiri. Untuk itu keterlibatan lembaga swadaya masyarakat
bersama-sama dengan Pemerintah merupakan salah satu prioritas yang utama
sehingga pemberdayaan masyarakat dapat terwujud.
Pengaruh tuntutan
masyarakat terhadap pembentukan hukum dan lahirnya keputusan-keputusan hukum
dapat terjadi jika tuntutan rasa keadilan dan ketertiban masyarakat tidak
terpenuhi atau terganggu Karena rasa ketidakadilan dan terganggunya ketertiban
umum akan memicu efek opini yang bergulir seperti bola salju yang semakin besar
dan membahayakan jika tidak mendapat salurannya melalui suatu kebijakan produk
hukum atau keputusan yang memadai untuk memenuhi tuntutan masyarakat tersebut. Karena itu perlu menjadi catatan bagi para
pembentuk hukum adalah penting memperhatikan suara dari kelompok masyarakat
yang mayoritas yang tidak punya akses untuk mempengaruhi opini publik, tidak
punya akses untuk mempengaruhi kebijakan politik.
Roberto M.
Unger[6], secara
terang-terangan menolak teori tentang pemisahan hukum dan politik ( law politics distinction ). Menurutnya,
tidak mungkin dalam proses-proses hukum,
apakah dalam membuat
undang-undang atau menafsirkannya, berlangsung dalam konteks bebas atau netral
dari pengaruh-pengaruh moral, agama, dan
pluralisme politik. Lebih lanjut Unger mengatakan bahwa tidak mungkin
mengisolasi hukum dari konteks di mana ia eksis. Hubungan hukum dengan
lingkungan sosial menurut Unger dikonstruksikan sebagai “negotiable, subjective and poliy-dependent as politics”[7].
Roberto M.
Unger juga menjelaskan tidak mungkin mengisolasi hukum dari konteks di mana ia eksis, dan bagi mereka
teori tersebut merupakan bentuk penghindaran terhadap adanya latar belakang politik
dan ideologis di balik putusan-putusan hakim dan undang-undang. Bagi kalangan GSHK, hukum
itu dikonstruksikan sebagai "negotiable, subjective and
policy-dependent as politics".
Menurut Unger ada dua alasan utama mengapa tidak mungkin membayangkan netralitas
dan objektivitas hukum, seperti dikutip di bawah ini:
First, procedure is inseparable from out came: every method makes
certain legislative choices more likely than others... Second, each law making
system it self embodies certain values; it incorporates a view of how power
ought to be distributed in the society and how conflicts should be resolved[8]."
Dengan mengacu kepada
proses-proses empiris pembuatan kebijakan hukum, Unger menunjukkan betapa tidak
realistiknya teori pemisahan hukum dan politik, analisis hukum tidak hanya memusatkan pengkajian pada segi-segi
doktrinal dan asas-asas hukum semata, sebab hukum bukanlah sesuatu yang terjadi
secara alamiah, melainkan direkonstruksi secara sosial[9].
Secara konstruktif teori Robert Seidman[10] tentang
bekerjanya hukum dilukiskan oleh Satjipto sebagai berikut[11] .
Gambar 5. Bekerjanya Hukum menurut
Seidman, sebagaimana dilukiskan oleh Satjipto Rahardjo
Dari model bekerjanya hukum tersebut, oleh
Seidman dirumuskan beberapa pernyataan teoretis sebagai berikut:[12]
(1)
Setiap
peraturan hukum itu menunjukkan aturan-aturan tentang bagaimana seseorang
pemegang peran diharapkan untuk bertindak;
(2)
Tindakan apa
yang akan diambil oleh seseorang pemegang peran sebagai respons terhadap
peraturan hukum, sangat tergantung dan dikendalikan oleh peraturan hukum yang
berlaku, dari sanksi-sanksinya, dari aktivitas lembaga pelaksanaannya, serta
dari seluruh kompleks kekuatan sosial, politik, dan lain sebagainya yang
bekerja atas dirinya;
(3)
Tindakan apa
yang akan diambil oleh lembaga pelaksana sebagai respons terhadap
peraturan-peraturan hukum, sangat tergantung dan dikendalikan oleh peraturan
hukum yang berlaku, dari sanksi-sanksinya, dan dari seluruh kompleks kekuatan
sosial, politik, dan lain sebagainya yang bekerja atas dirinya, serta dari
umpan balik yang datang dari pemegang peran dan birokrasi;
(4)
Tindakan apa
yang akan diambil oleh lembaga pembuat undang-undang sebagai respons terhadap peraturan hukum,
sangat tergantung dan dikendalikan oleh berfungsinya peraturan hukum yang
berlaku, dari sanksi-saksinya, dan dari seluruh kompleks kekuatan sosial,
politik, dan lain sebagainya yang bekerja atas mereka, serta dari umpan balik
yang datang dari pemegang peran dan birokrasi.
Keanekaragamaan
tujuan dan alasan dibuatnya peraturan perundang-undangan disebut sebagai
politik hukum (legal policy). Pembuatan peraturan perundang-undangan,
politik hukum sangat penting, paling penting, untuk dua hal. Pertama
sebagai alasan mengapa diperlukan pembentukan suatu peraturan perundang-undangan.
Kedua, untuk menentukan apa yang hendak diterjemahkan kedalam kalimat
hukum dan menjadi perumusan pasal. Pada tiap periode pemerintahan di Indonesia
dari segi teknis perundang-undangan segala kehendak, aspirasi, dan kepentingan
pemerintah pusat pasti akan menjadi politik hukum dalam membuat peraturan
perundang-undangan tersebut.
Di sisi inilah
politik hukum memainkan perannya untuk menciptakan sebuah peraturan
perundang-undangan yang mampu menciptakan sistem hukum yang transparan,
independen dan tidak memihak, karena keberadaan peraturan perundang-undangan
dan perumusan pasal merupakan “jembatan” antara politik hukum yang
ditetapkan dengan pelaksanaan politik hukum tersebut dalam tahap
implementasi peraturan perundang-undangan.
Hukum sangat dipengaruhi
oleh faktor-faktor non hukum seperti : nilai, sikap, dan pandangan masyarakat
yang biasa disebut dengan kultur/budaya hukum. Adanya kultur/budaya hukum
inilah yang menyebabkan perbedaan penegakan hukum di antara masyarakat yang
satu dengan masyarakat lainnya.
Pada dasarnya persoalan
dimasyarakat harus mengacu 8 prinsip legalitas yang harus diikuti dalam membuat
hukum (Lon Fuller)[13] meliputi :
1.Harus ada peraturannya terlebih dahulu;
2.Peraturan itu harus diumumkan;
3.Peraturan itu tidak boleh berlaku surut;
4.Perumusan peraturan harus dapat dimengerti oleh rakyat;
5.Hukum tidak boleh meminta dijalankannya hal-hal yang tidak
mungkin;
6.Diantara sesama peraturan tidak boleh terdapat pertentangan satu
sama lain;
7.Peraturan harus tetap dan tidak boleh sering diubah-ubah;
8.Harus terdapat kesesuaian antara tindakan para pejabat hukum
dengan peraturan yang telah dibuat.
Jika kita melihat
kenyataan yang ada di Indonesia, terutama di daerah pedesaan terlihat jelas
bahwa nilai-nilai yang terkandung di dalam hukum berbeda dengan nilai-nilai
yang telah melekat dalam kehidupan masyarakat desa. Hal ini mengingat tingkat
pengetahuan masyarakat desa masih rendah sehingga mereka sulit memahami apa
yang dikehendaki oleh hukum.
James C.N dan Clareme J Dias[14]
mengatakan bahwa nilai yang terkandung dalam hukum nasional dengan nilai-nilai
masyarakat lokal kerap kali terjai pendebatan dan pembedaan yang ujungnya
adalah sulitnya pemahaman makna dan maksud hukum nasional oleh masyarakat
lokal, hal ini terjadi karena sudut pandang dan nilai dasr penyusunan hukum
tampaknya berbea antara legislator dengan masyarakat serta kurangnya para
pemegang kebijakan melakukan survey, uji public terhadap nilai-nilai lokal,
kebutuhan-kebutuhan lokal terutama masyarakat yang secara geografis jauh dan
mungkin tak terjangkau oleh pengendali kebijakkan, hasilnya hukum dibuat terasa tidak
bermakna dan bermanfaat bagi sebgaian besar rakyat tersebut. Oleh karena itu
hukum mencegah mis-nilai antara pembuat dan pemakai. Mau tidak mau pemerintah
maupun rakyat, LSM harus proaktif mengusahakan terbukanya saluran kominukasi
dalam menerangkan dan menyelaraskan berbagai maksud dan tujuan pemerintah dalam
undang-undang.
Pada saat hukum
diposisikan sebagai sarana pencapaian tujuan. Tujuan akan mudah dicapai jika
hukum berlaku secara efektif dan sebalaiknya menjadi penghambat jika
tidak efektif. Hukum dianggap efektif jika hukum mampu mengkondisikan dan
merubah kualitas dan perilaku masyarakat sesuai dengan prasyarat pembangunan. Oleh karena itu
agar hukum dapat berlaku efektif, menurut Paul dan Dias harus memenuhi 5 (lima)
syarat, yaitu :
- sulit tidaknya sebuah aturan dapat dipahami;
- luas tidaknya masyarakat yan tahu akan hal itu;
- efesien dan efektif tidaknya mobilisasi aturan-aturan hukum;
- Adanya mekanisme penyelesaian yang tidak hanya dapat diakses oleh semua orang tetapi betul-betul efektif menyelesaikan perkara;
- Adanya consesnsus pandanagan bahawa hukum itu betulbetul efektif
Dari uraan diatas
intinya rakyat harus paham maksud dan tujuan dari suatu produk hukum, maka
untuk mencapai satu kepahaman rakyat terhadap hukum tentu harus melalui
kominikasi produk hukum itu.
Perubahan hukum pada
hakekatnya dimulai dari adanya kesenjangan antara hukum yang mengatur dan bahan
yang diaturnya. Sehubungan dengan dengan sifat khas hukum tertulis yang tidak
selalu dapat dengan cepat mengikuti perubahan-perubahan masalah yang diaturnya,
maka terdapatnya kesenjangan sebagaimana dikemukakan diatas sebetulnya adalah
sesuatu yang normal. Normalitas disini cenderung kepada arti bahwa hukum masih
cukup mempunyai kemampuan teknis tersebut dilakukan dengan cara-cara penafsiran
yang diterima oleh ilmu hukum, seperti analogi dan penghalusan hukum.[15]
Tuntutan bagi terjadinya
perubahan hukum, mulai timbul apabila kesenjangan tersebut telah mencapai
tingkatnya yang sedemikian rupa, sehingga kebutuhan akan perubahan semakin
mendesak. Tingkat tersebut bisa ditandai oleh tingkah laku anggota-anggota
masyarakat yang tidak lagi merasakan kewajiban-kewajiban yang dituntut oleh
hukum sebagai sesuatu yang harus dijalankan (Dror, 1959:90). Dengan demikian, terdapat suatu jurang yang
membedakan antara tanggapan hukum disatu pihak dan masyarakat di pihak lain
mengenai perbuatan yang seharusnya dilakukan.
Pengkonkretan norma-norma
hukum yang abstrak memberikan efek ke arah perubahan hukum yang disebabkan
penerapan norma-norma hukum itu dituntut untuk disesuaikan kepada peri
kehidupan sosial pada suatu saat, yaitu baik cita-cita sosial yang berkembang,
maupun hubungan-hubungan sosial yang nyata terdapat pada saat itu.
Menurut Daniel S.Lev[16], perubahan hukum
itu dimulai dari persepsi mengenai hukum yang dipergunakannya. Hukum bukanlah
undang-undang dan peraturan-peraturan hukum yang dianggapnya sebagai pengertian
yang amat sempit. Hukum adalah praktek sehari-hari oleh para pejabat hukum,
seperti hakim, jaksa, polisi dan advokat. Oleh karena itu apabila kelakuan
mereka itu berubah, maka hal itu berarti hukum pun sudah berubah, walaupun
undang-undang dan peraturan-peraturannya masih tetap saja seperti dahulu (Lev,1971:2-7).
Ada hubungan interaksi
antara keputusan hukum dan masyarakat tempat keputusan itu dijalankan nantinya.
Oleh karena adanya kebutuhan untuk melakukan penyesuaian sosial tersebut, maka
suatu norma hukum itu bisa saja berubah-ubah isinya, tanpa terjadinya perubahan
pada peraturannya sendiri secara formal.
Maka masalah perubahan hukum
tidak hanya dapat dibatasi pada pembicaraan mengenai perubahan dibidang hukum
saja, apalagi perubahan hukum secara formal. Hal ini sejalan dengan kerangka Talcot Parsons, proses-proses dalam
masyarakat itu saling berhubungan dan kait-mengkait satu sama lain, memberikan
kesempatan untuk mengkaji masalahnya secara lebih baik.
Pertumbuhan masyarakat dan
keadaan hukumnya dapat dilihat pada diagram alur dibawah ini:
Hukum Sebagai Sarana Kontrol Sosial
Arus konversi normal dan
penyimpangannya
Masukan
Proses Konversi melalui lembaga hukum Keluaran
-Problem Sosial Pemecahan Persoalan -Peraturan
-Sengketa (Pembentukan
Norma, Penyelesaian Sengketa)
-Keputusan hakim
Dicoret
Efektifitas peraturan
perundang-undangan ternyata telah menimbulkan perubahan dalam cara orang
menangani persoalan-persoalan hukum. Tuntutan efektivitas mendorong orang untuk
mencurahkan perhatian secara lebih seksama terhadap obyek-obyek yang menjadi
sasaran peraturan perundang-undangan, sehingga pemikiran yang bersifat abstrak,
generalisasi-generalisasi, tidak lagi dikehendaki. Apabila dikehendaki hukum
itu menimbulkan perubahan-perubahan pada obyek yang diaturnya, terutama
perubahan dalam tingkah laku, maka penguasaan pengetahuan yang lebih seksama
mengenai obyek yang diatur, mengenai reaksi-reaksi yang ditimbulkannya,
selanjutnya mengenai kemampuan dari lembaga-lembaga serta personel yang
menjalankan hukum, merupakan tuntutan yang tak dapat ditinggalkan. Untuk
memperoleh gambaran yang lebih lengkap mengenai seluk-beluk bekerjanya hukum
tersebut dapat dijelaskan dalam diagram dibawah ini (Dikutip dari Seidman, 1972:327)
Diagram proses pengaturan
“gaya lama”
Badan Perundang-undangan
Badan-badan Pelaksana
Warga Negara
Diagram proses pengaturan pola Seidman dan aspek-aspek yang
berhubungan
Mochtar K , Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan,
menerangkan bahwa ketertiban merupakan tujuan utama dan pertama dari segala
hukum. Kebutuhan terhadap ketertiban adalah syarat fundamental bagi adanya
suatu masyarakat manusia yang teratur.[24] Lihat Mochtar Kusumaatmadja,
Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan, (Mochtar
K , Konsep-konsep Hukum
dalam Pembangunan Bandung:
Penerbit Alumni, 2006), hlm. 3
Disnilah peranan para wakil rakyat yang terpilih
melalui mekanisme demokrasi yang ada dalam struktur maupun infrastruktur
politik untuk menjaga kepentingan mayoritas rakyat, dan memahami betul
norma-norma, kaidah-kaidah, kepentingan dan kebutuhan rakyat agar nilai-nilai
itu menjadi hukum positif.
Wakil rakyat harus paham dalam pembentukan hukum dimana harus
dilandasi dengan semangat pembangunan hukum mengandung makna ganda, yaitu[17] :
Pertama, sebagai suatu usaha untuk memperbaharui hukum positif
sendiri, sehingga sesuai dengan kebutuhan untuk melayani masyarakat pada
tingkat perkembangannya yang mutakhir, suatu pengertian biasa disebut
modernisasi hukum.
Kedua, sebagai suatu usaha untuk memfungsionalkan hukum dalam masa
pembangunan, yaitu dengan cara turut mengadakan perubahan-perubahan social
sebagaimana dibutuhkan oleh suatu masyarakat yang sedang membangun.
Akan tetapi menurut Satjipto
Rahardjo, pembedaan itu tidaklah perlu diperhatikan, sebab memang keduanya
tidak dapat dipisahkan secara tajam dan banyak kesempatan keduanya akan
tergabung menjadi satu.[18]
Banyak faktor yang harus di
pertimbangkan agar pembangunan hukum dapat di terima oleh seluruh lapisan
masyarakat, misalnya faktor budaya, suku, ras, Agama dan lain-lain. Maka, dalam
pembentukan hukum hendaknaya hukum yang di bentuk adalah pruduk hukum yang
responsif, yakni hukum yang dapat merespon setiap kepentingan masyarakat.
Dalam pembentukan hukum yang
responsif ada empat syarat mutlak yang harus terpenuhi[19],
yakni :
1.Dalam
penbentukan hukum harus mengikut sertakan masyarakat;
2.Pembentukannya haruslah aspiratif. Artinya, norma-norma yang di
rumuskan haruslah norma yang merupakan aspirasi dari masyarakat;
3.Pembentukannya haruslah bersifat komunikatif. Artinya, hukum
haruslah dapat di pahami dalam bahasa yang dapat dipahami dalam interaksi antar
warga negara dengan negara (penguasa);
4.Pembentukannya haruslah bersifat antisipatik. Norma yang di
rumuskan dalam aturan harus dapat mengantisipasi munculnya konflik di tengah
masyarakat.
Konsep pembangunan hukum yang responsif dirumuskan
oleh Philippe Nonet dan Philippe Selznick adalah sebuah konsep
hukum yang memenuhi tuntutan-tuntutan agar hukum dibuat lebih responsif
terhadap kebutuhan-kebutuhan sosial yang sangat mendesak dan terhadap
masalah-masalah keadilan sosial sambil tetap mempertahankan hasil-hasil
institusional yang telah dicapai oleh kekuasaan berdasar hukum.
Konsep hukum responsif ini merupakan jawaban atas
kritik bahwa seringkali hukum tercerai dari kenyataan-kenyataan pengalaman
sosial dan dari cita-cita keadilan sendiri[20]. Sekalipun tesis Nonet dan Selznick
ini bukanlah teori yang mampu menyelesaikan semua problem praktis, tetapi
memberikan perspektif dan kriteria untuk mendiagnosis dan menganalisis problem-problem
hukum yang muncul di masyarakat dengan penekanan khusus atas dilema-dilema
institusional dan pilihan-pilihan kebijakan yang kritis[21]
Diharapkan pada keadaan terdapatnya hukum responsif,
kesempatan untuk berpartisipasi dalam pembentukan hukum lebih terbuka. Dalam
pengertian ini, arena hukum menjadi semacam forum politik, dan partisipasi
hukum mengandung dimensi politik. Dengan perkataan lain, aksi hukum merupakan
wahana bagi kelompok atau organisasi untuk berperan serta dalam menentukan
kebijaksanaan umum[22].
Dalam konteks kebijakan hukum, pembangunan hukum seharusnya mencakup tiga hal. Pertama, menjamin keadilan dalam
masyarakat. Kedua, menciptakan
ketentraman hidup dengan memelihara kepastian hukum. Kepastian hukum berkaitan
dengan efektifitas hukum akan terjamin hanya bila negara mempunyai sarana-sarana
yang memadai untuk memastikan berlakunya peraturan-peraturan yang ada. Dalam
hal ini aparat penegak hukum memainkan peranan penting. Ketiga, mewujudkan kegunaan dengan menangani
kepentingan-kepentingan yang nyata dalam kehidupan bersama secara konkrit[23].
Dengan demikian, di dalam hukum yang
responsif terbuka lebar ruang dialog dan wacana serta adanya pluralistik
gagasan sebagai sebuah realitas. Karena itu hukum yang responsif tidak lagi
selalu mendasarkan pertimbangannya pada pertimbangan juridis melainkan mencoba
melihat sebuah persoalan dari berbagai perspektif dalam rangka untuk mengejar
apa yang disebut ”keadilan substantif”. Oleh karena itu, para hakim di dalam
menjalankan tugas keprofesiannya tentang cara pandang untuk menyikapi hukum
adalah sebagai berikut : “The law, like the traveller, must be ready for the
morrow, it must have a principle”[24].
Salah
satu tokoh penganut realism hukum ( legal realism ) yang bernama Jerome Frank mengatakan, pencarian
hukum responsif telah menjadi kegiatan teori hukum modern yang terus-menerus
dilakukan. Lebih lanjut Jerome Frank mengatakan, tujuan utama penganut realisme
hukum ( legal realism ) adalah untuk membuat hukum "menjadi lebih
responsif terhadap kebutuhan sosial. ”Untuk mencapai tujuan ini, mereka
mendorong perluasan ”bidang-bidang yang memiliki keterkaitan secara hukum”,[25] agar pola pikir atau nalar hukum dapat mencakup pengetahuan di dalam
konteks sosial dan memiliki pengaruh terhadap tindakan resmi para aparat hukum.
Untuk memudahkan pemahaman ketiga jenis kategori
hukum berikut implementasinya dapat dilihat dalam tabel berikut ini :
Tabel 4
Tiga kategori Hukum menurut Nonet dan Selznick[26]
H. Represif
|
H. Otonom
|
H. Responsif
|
||
Tujuan
|
Aturan
|
Legitimasi
|
Kewenangan
|
|
Legitimasi
|
Perlindungan sosial
|
Kejujuran Prosedur
|
Keadilan Substansif
|
|
Aturan
|
mendetail tapi lemah
|
Elaborasi, mengikat pembuat dan diatur kuat melekat pada
kewenangan hukum
|
Disubkordinasi
pada prinsip dan kebijakan
|
|
Nalar
|
Daya ikatnya bagi pembuat aturan Adhoc, Articular
|
Terikat aturan
|
Memperluas kemampuan kognitif
|
|
Diskresi
|
Membantu untuk hal-hal yang khusus oportunis
|
Delegasi menyempit
|
Meluas namun
tetap berpegang pada tujuan
|
|
Pemaksaan
|
Meluas, lemah
Batasannya
|
Terkontrol oleh hukum
|
Mencari alternatif, insentif, sistem mempertahankan diri
terhadap kewajiban
|
|
Moralitas
|
Moralitas komunal, moralisme hukum
|
Moralitas konstittis
|
Moralitas masyarakat, moralitas atas
kerjasama
|
|
Harapan patuh
|
Tak bersyarat
|
Titik tolak aturan
|
Tak patuh ditentukan dalam kaitannya dengan pelanggaran substansif
|
Tabel diatas memperlihatkan dengan jelas
kecenderungan hukum yang lebih akomodatif kepentingan masyarakat adalah hukum
yang responsif. Akan tetapi ada persoalan mendasar yang perlu mendapat
perhatian dari pihak penegak hukum, yaitu apakah penegak hukum mempunyai
kemampuan yang memadai untuk menjalankan hukum yang responsif seperti itu?
Karena di sana dituntut beberapa kualifikasi yang esensial yaitu pertama,
mulai bekerja dengan paradigma baru dimana penegak hukum tidak hanya tunduk
pada basis-basis hukum sebagai landasan berpikirnya, tetapi juga berusaha
sejauh mungkin menggunakan pisau analisis non-hukum. Akibatnya, interaksi hukum
dengan politik tidak bisa dihindari lagi.
Kedua, kebenaran atau keadilan tak pernah bisa
dicapai hanya dengan perspektif tunggal karena hal itu hanya mengingkari
kebenaran dan keadilan itu sendiri. Untuk itu diperlukan aparat hukum yang
berwawasan luas, yang rasional, kritis.
V. Penutup
Dari pemaparan diatas secara garis besar Responsifitas Politik Hukum
Atas Program Hukum Partai Politik
Peserta PEMILU 2014-2019 dapat
disimpulkan sebagai berikut:
1.Program Hukum
Partai Politik peserta PEMILU 2014-2019 merupakan tolak ukur awal dimana fungsi Partai
Politik sebagai pemeran utama politik hukum yaitu sebagai sarana komunikasi politik, sosialisasi
politik, rekrutmen politik serta
sarana
pengatur konflik yang diharapkan di Indonesia kedepannya.
2.Program Hukum Partai Politik peserta PEMILU
2014-2019 secara eksplisit belum sepenuhnya mewujudkan pelaksanaan
Responsifitas Politik Hukum. Hal ini dimana mayoritas partai politik
(parpol) peserta Pemilu tidak memiliki program hukum yang serius. Bahkan dari
parpol yang ada, hanya sedikit yang bersedia memaparkan ke masyarkat. Terdapat
parpol yang memang menyiapkan program hukumnnya bahkan hingga tahun 2045 tetapi
kebanyakan parpol tidak secara khusus menyiapkan program hukum
Kurang responsnya soal program
hukum ini dari parpol tidak lepas dari kurangnya program hukum yang dimiliki.
Dari data-data partai politik (parpol) yang memiliki dokumen tertulis dan punya
program lisan telah membuktikan bahwa, pada dasarnya partai politik lebih
peduli pada pencitraan dibandingkan substansi program konkret. Disamping itu,
sebagian besar partai politik (parpol) tidak memiliki visi misi untuk menjawab
problem-problem hukum saat ini. Penulis menyayangkan Komisi Pemilihan Umum
(KPU) tidak seperti sebelumnya mengumpulkan visi misi dan program-program hukum
partai politik.
[1] Max Weber dalam buku “HAM, KEJAHATAN NEGARA DAN IMPERIALISME MODAL, Agung
dan Asep, Pustaka Pelajar, 2001, hal XXII.
[2] Jhon Grifiths, Is Law Important, 54.N.Y.U.L REV 339 (1976) dalam Robert B,
Seidman & Nalin Abeyeskere, Penyusunan Rancangan Undang-Undang dalam
Perubahan Masyarakat yang Demokratis.
[3] Sistem sosial yang
dimaksud adalah : sistem sosial ekonomi, politik, pendidikan, sistem sosial
budaya termasuk adat istiadat dan karakter manusianya dimana hukum itu akan
dibuat.
[4]Satjipto Rahardjo, Beberapa
Pemikiran Tentang Ancangan Antardisiplin dalam Pembinaan Hukum Nasional,
Penerbit Sinar Baru Bandung, 1985, Hal. 71.
[5] Lili Rasjidi dan Putra Wiyasa dalam buku ”Hukum
sebagai Suatu Sistem” Remaja Rosda Karya, Bandung, 1993 mengatakan,
dalam konteks sistem hukum, ilmu hukum
dibicarakan sebagai penjabaran, pengujian, dan pengembangan teori-teori
hukum yang berasal dari komponen filsafat hukum. Tujuan dari penjabaran dan
pengembangan itu berkaitan dengan dimensi-dimensi ontologi, epistemologi, dan
dimensi aksiologi. Dalam kaitannya dimensi yang terakhir, ilmu hukum dipandang
sebagai suatu kesatuan dengan pendidikan hukum. Fungsi utamanya adalah sebagai
media penghubung antara dunia rasional (Sollen)
dan dunia empiris (Sein). Fungsi ini
mungkin diperankan oleh ilmu hukum dan pendidikan hukum, adalah karena
kelebihan yang dimilikinya, yaitu dimensi rasional dan dimensi empiris dan ilmu
hukum. Melalui kedua dimensi ini, ilmu
hukum dan pendidikan hukum dapat menghubungkan dunia filsafat dengan dunia
kenyataan dengan cara membangun konsep-konsep hukum.
[6] Roberto M. Unger, Gerakan
Studi Hukum Kritis, Edisi Bahasa Indonesia, Lembaga Studi dan Advokasi
Masyarakat (ELSAM), 1999.
[7] Roberto M. Unger, Gerakan Studi Hukum Kritis, Edisi Bahasa
Indonesia, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), 1999, hal XVI – XVII.
[8]
Lihat, Unger, Law and Modern Society, (New York: Free Press, 1975) hlm
180.
[9]
Analisis mengenai bagaimana hukum itu direkonstruksi dan bagaimana rekonstruksi
itu sebetulnya diperlukan untuk mengabsahkan suatu tatanan.
[10] Gambar aslinya dapat dilihat dari buku Robert B. Seidman &
William J. Chambles, Law, Order, and
Power, hal 21.
[11] Lihat buku Satjipto Rahardjo, Hukum dan Mayarakat,
Angkasa, Bandung , 1980, hlm. 27.
[12] Robert B Seidman. Ibid, 1972.
[14] Ibid.
[16] Daniel S. Lev, Hukum Dan
Politik di Indonesia, Kesinambungan dan Perubahan, Cet I, LP3S, Jakarta,
1990.
[17] Mochtar Kusuma atmaja, 1976,hal.12
[18] Satjipto Rahardjo.1979,h.227
[19] Philippe Nonet and Philip Selznick, Law and Transition: Towards
Responsive Law, Harper & Row, New York, 1978
[20] Philippe Nonet and Philip Selznick, Law and Transition: Towards
Responsive Law, Harper & Row, New York, 1978, hlm. 4.
[21]
A.A.G. Peters
dan Koesriani Siswosoebroto (ed), Hukum dan Perkembangan Sosial, Buku III,
Sinar Harapan, Jakarta, 1990, hlm. 158.
[22] Mulyana W. Kusumah, Perspektif, Teori, dan Kebijaksanaan Hukum, Rajawali,
Jakarta, hlm. 18.
[23] Huijbers, Theo, 1990, Filsafat Hukum, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, hlm.
116-118.
[24] Lloyd, Dennis, op.cit.,
hal. 326
[25]
Jerome Frank, "Mr. Justice Holmes and Non-Euclidian Legal Thinking," Cornell Lazu Quarterly 17 (1932) : 568, 586. Frase
ini juga digunakan oleh James William Hurst, yang berbicara mengenai pencarian
sebuah "tatanan hukum yang responsif dan bertanggung jawab," yang
"mampu memberi respon positif terhadap perubahan-perubahan dalam konteks
sosial." Lihat James William Hurst, "Problems of Legitimacy in the
Contemporary Lagal Order," OklahomaLazu
Review 24
(1971) : 224, 225, 229.
[26] Nonet. Philippe &
Selnick, Philip, op.cit., hal. l6
[27] Pandangan yang demikian itu sejalan dengan Lewis A. Coser yang
berpendapat, bahwa “konflik dapat merupakan proses yang bersifat instrumental
dalam pembentukan, penyatuan, dan pemeliharaan struktur sosial. Konflik dapat
menetapkan dan menjaga garis batas antara dua atau lebih kelompok (Baca dalam
Margaret M. Poloma, Sosiologi Kontemporer. Jakarta: CV. Radjawali, 1992,
halaman 108).
Komentar
Posting Komentar