RESPONSIFITAS POLITIK HUKUM

MENAKAR RESPONSIFITAS POLITIK HUKUM

ATAS PROGRAM HUKUM PARTAI POLITIK

PESERTA PEMILU 2014-2019


“….Kurang responsnya soal program hukum dari Partai Politik (parpol) tidak lepas dari kurangnya program hukum yang dimiliki. Dari data-data Partai Politik (parpol) yang memiliki dokumen tertulis dan punya program lisan telah membuktikan bahwa, pada dasarnya partai politik lebih peduli pada pencitraan dibandingkan substansi program konkret. Disamping itu, sebagian besar Partai Politik (parpol) tidak memiliki visi-misi untuk menjawab problem-problem hukum saat ini. Penulis menyayangkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak seperti sebelumnya mengumpulkan visi misi dan program-program hukum partai politik….”


I. Pendahuluan

Politik dan hukum adalah dua buah sisi yang berbeda namun tidak dapat dipisahkan “Sine Qua Non”. Dalam pelaksanaannya Politik dilakukan oleh Partai Politik sebagai penggerak politik itu sendiri secara luas.

Partai politik sebagai sarana politik yang menjembatani elit-elit politik dalam upaya mencapai kekuasaan politik dalam suatu negara yang bercirikan mandiri dalam hal finansial, memiliki platform atau haluan politik tersendiri, mengusung kepentingan-kepentingan kelompok dalam urusan politik, dan turut menyumbang political development sebagai suprastruktur politik.

Menurut Carl J. Friedrich, Partai politik adalah sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasan pemerintah bagi pemimpin partainya, dan berdasarkan penguasaan ini memberikan kepada anggota partainya kemanfaatan yang bersifat ideal maupun materil.

Sebagai suatu organisasi politik yang menjalani ideologi tertentu atau dibentuk dengan tujuan khusus. Suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama. Dimana tujuan kelompok ini ialah untuk memperoleh kekuasaan politik dan kedudukan politik dengan cara konstitusionil  untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka.

Saat dikaitkannya hukum dengan Politik dalam hal ini partai politik sebagai pelakunya, hukum dalam hal ini dilihat sebagai suatu gejala sosial yang nyata lahir dari realita dalam kehidupan bermasyarakat. Hukum di pandang sebagai suatu gejala yang nyata merupakan perwujudan dari kebutuhan masyarakat akan suatu ketertiban dan keteraturan dalam pergaulan hidup masyarakat. Hukum selain dipandang sebagai alat untuk mengendalikan masyarakat (control social), hukum juga berfungsi sebagai alat perubahan dan sebagai alat untuk mencapai keadilan substansial.

Sebagai sebuah gejala sosial yang riil, hukum  akan menjadi suatu kebutuhan jiwa manusia sebagai anggota unit kelompok secara khusus dan unit kemasyarakatan secara umum untuk mewujudkan ketertiban, keadilan dan keamanan dalam setiap gerak dinamis sistem kemasyarakatan. Maka sebagai suatu bentuk perwujudan kehendak, hukum akan selalu berubah (dinamis) mencari bentuk persesuaian bentuknya pada dimensi ruang dan waktunya yang tepat, termanifestasi sebagai gejala sosial yang utuh dan mengiringi setiap kedinamisan dalam sistem kemasyarakatan yang kompleks sebagai suatu perwujudan kehendak dari kebutuhan jiwa manusia sebagai makluk sosial.

Hukum tidak dapat lepas dari kepentingan-kepentingan dan pengaruh termasuk kepentingan dan pengaruh  politik, menurut Max Weber,.  Adalah seperti apa yang dikatakan oleh yang mengatakan bahwa, hukum itu dipengaruhi  kepentingan-kepentingan, baik itu kepentingan material  maupun kepentingan-kepentingan ideal dan menurut pendapatnya,  hukum juga sangat dipengaruhi cara berpikir kelas-kelas sosial dan kelompok-kelompok yang berpengaruh termasuk partai politik.[1] Bahkan secara ekstrim Grifiths mengatakan bahwa, suatu undang-undang tidak akan pernah ada tanpa ada suatu keputusan politik, begitu pula rincian undang-undang akan menentukan pula pengaruh suatu kebijakan politik[2].

Menurut Satjipto Rahardjo, bahwa sistem hukum dipengaruhi oleh sistem yang lebih  luas yang disebut  super system” yaitu sistem sosial[3] (social system) dimana sistem hukum itu di bangun. Sistem sosial ini dapat berupa sistem sosial budaya, sistem politik, sistem ekonomi, sistem ilmu pengetahuan, teknologi dan lain-lain. Ini berarti bahwa sistem hukum harus dibangun dari berbagai bahan yang terdapat dimana sistem hukum itu dibangun. Lebih jauh Satjipto Rahardjo menyatakan, “konsentrasi energi hukum selalu kalah kuat dari konsentrasi energi politik”.[4] Pendapat tersebut sangat tepat apabila disandingkan realitas yang sesungguhnya terjadi dalam proses pembentukan hukum di DPR RI, dimana berbagai sistem politik yang ada di DPR RI ikut melingkupi, terutama sistem politik dari partai-partai  politik yang besar. Dalam hal ini dapat dilihat dalam keseriusan, kefahaman dan pengetahuan atas program hukum Partai Politik peserta Pemilu (Pemilihan Umum) Tahun 2014-2019.

Pendefinisian Politik Hukum telah banyak diutarakan oleh para ahli seperti Padmo Wahjono, Mahfud MD, Prof. Satjipto Rahardjo, maupun Prof. Sudarto. Menurut Prof. Sudarto “Politik Hukum” adalah kebijaksanaan dari negara dengan perantaraan badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang di kehendaki, yang di perkirakan bisa di gunakan untuk mengekspresikan apa yang di cita-citakan.

Ketika nilai-nilai dan tujuan-tujuan hukum yang telah diolah dan dipilih oleh nilai-nilai dan tujuan terbaik yang hendak dicapai dirumuskan menjadi tujuan nasional. Seiring dengan dilakukannya cara-cara melaksanakan hukum positif materiil untuk mencapai tujuan nasional diatur dalam perundangan sebagai hukum positif murni, saat itulah politik melaksanakan tugasnya, dimana politik disini bukan semata politik murni namun dikenal dengan politik hukum.

 Masyarakat sebagai adressat hukum dituntut harus paham maksud dan tujuan dari suatu produk hukum, maka untuk mencapai satu kesepahaman rakyat terhadap hukum tentu harus melalui komunikasi produk hukum itu dalam hal ini program hokum partai politik.

  Lantas bagaimana Masyarakat dapat mencerna, memahami dan bahkan melaksanakan produk politik hokum dalam hal ini program hukum Partai Politik peserta Pemilu (Pemilihan Umum) Tahun 2014-2019? Bagaimana dan sejauhmana Partai politik peserta Pemilu (Pemilihan Umum) Tahun 2014-2019 dapat merumuskan, menciptakan suatu program hukum partai politik yang sesuai, tepat dan menjawab keinginan masyarakat?

II. Permasalahan

Sehingga dalam karya tulis ini sengaja Penulis ungkapkan rasa kegelisahan dan ketakutan tersebut dalam bentuk permasalahan sebagai berikut:


1.Apa dan Bagaimana Program Hukum Partai Politik peserta PEMILU 2014-2019?

2.Apakah Program Hukum Partai Politik peserta PEMILU 2014-2019 telah mewujudkan Responsifitas Politik Hukum?

III. Maksud dan Tujuan

Penulisan karya tulis ini sengaja disusun selain untuk pemenuhan tugas mata kuliah Politik Hukum adalah untuk mengetahui lebih dekat sejauh mana Program Hukum Partai Politik peserta PEMILU 2014-2019 telah mewujudkan Responsifitas Politik Hukum. Penulisan karya tulis ini diharapkan juga dapat bermanfaat secara akademis sebagai sumbangan ilmu hukum bidang politik maupun sekiranya dapat menjadi titik tolak pengujian dan pemaknaan secara kritis terhadap berbagai konsep, teori, dan paradigma hukum bidang politik. Di samping itu, tulisan ini diharapkan dapat pula  menjadi  masukan  bagi pembaharuan  dan pengembangan ilmu[5] hukum.


IV. Pembahasan

A.     Program Hukum Partai Politik peserta PEMILU 2014-2019

a.1 Program Hukum Partai Politik

Pada dasarnya tujuan Partai Politik parpol adalah untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan guna melaksanakan atau mewujudkan program-program yang telah mereka susun sesuai dengan ideologi tertentu.

Diketahui atas semua tugas dan tujuannya. Suatu Partai Politik, dapat dikualifikasikan fungsinya yaitu sebagai sarana komunikasi politik, sosialisasi politik,  rekrutmen politik serta sarana pengatur konflik yang secara tidak langsung dapat dilihat dari program hukum yang dibuatnya.

Program hukum Partai Politik diharapkan dapat menjadi ujung dari semangat pembaharuan atau pembangunan hukum”, dimana pada hakikatnya merupakan ”pembaharuan/pembangunan yang berkelan-jutan” (sustainable reform/sustainable development).

Di dalam pembaharuan atau pembangunan hukum selalu terkait dengan ”perkembangan atau pembangunan masyarakat  yang berkelanjutan” maupun ”perkembangan yang berkelanjutan dari kegiatan atau aktivitas ilmiah dan perkembangan pemikiran filosofi/ide-ide dasar/ konsepsi intelektual”.

Jadi program hukum dan pembaharuan hukum ”law reform” terkait erat dengan ”sustainable society/development”, ”sustainable intellectual activity”,”sustainable intellectual phylosophy”, “sustainable intellectual conceptions/basic ideas”. Kajian terhadap masalah ini tentunya merupakan kajian yang “bergenerasi”.

Diketahui dalam prakteknya program hukum Partai Politik peserta Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 2014-2019 yaitu sebagai berikut :  

I.Partai Nasdem:

I. RE-AMANDEMEN TERHADAP UUD

a. Revitalisasi Kelembagaan

b. Memperkuat Sistem Presidensial

c. Mengkaji Pemilihan Langsung Kepala Daerah.

2. REFORMASI PERADILAN DAN PEMBERANTASAN KORUPSI

3. POLITIK LEGISLASI

a.   Modernisasi Hukum

b.  Revisi Undang-Undang (UU) HAM

4. PENEGAKAN HAM

5. TATA KELOLA SUMBER DAYA ALAM


II.Partai Kebangkitan Bangsa:

1. AMANDEMEN UNDANG-UNDANG

2. REFORMASI PERADILAN DAN PEMBERANTASAN KORUPSI

3. POLITIK LEGISLASI

   PKB melihat kritik banyak pihak terhadap KUHP yang sudah kedaluwarsa, terutama norma-norma hukum yang itu dilahirkan oleh zaman Belanda tidak lagi memenuhi kebutuhan zaman sekarang. Jadi diperlukan ada perubahan KUHP.

4.  KEPASTIAN HUKUM DALAM BERUSAHA.

5. TATA KELOLA SUMBER DAYA ALAM


III.PKS (Partai Keadilan Sejahtera):

1. AMANDEMEN KONSTITUSI

2. REFORMASI PERADILAN DAN PEMBERANTASAN KORUPSI

3. POLITIK LEGISLASI

4. PENEGAKAN HAM

5. KEPASTIAN HUKUM DALAM BERUSAHA

6. TATA KELOLA SUMBER DAYA ALAM


IV.Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan:

1.AMANDEMEN KONSTITUSI

2. REFORMASI PERADILAN DAN PEMBERANTASAN KORUPSI

3. POLITIK LEGISLASI

4.PENEGAKAN HAM

5. TATA KELOLA SUMBER DAYA ALAM


V.GOLKAR:

1. AMANDEMEN KONSTITUSI

2. REFORMASI PERADILAN DAN PEMBERANTASAN KORUPSI

3. POLITIK LEGISLASI

4. PENEGAKAN HAM

5. KEPASTIAN HUKUM DALAM BERUSAHA

6. TATA KELOLA SUMBER DAYA ALAM


VI. GERINDRA:

1. AMANDEMEN KONSTITUSI
2. REFORMASI PERADILAN DAN PEMBERANTASAN KORUPSI
3. POLITIK LEGISLASI
4. PENEGAKAN HAM
5.KEPASTIAN HUKUM DALAM BERUSAHA
       6.TATA KELOLA SUMBER DAYA ALAM
VII.Partai Demokrat:
1. AMANDEMEN KONSTITUSI
2. REFORMASI PERADILAN DAN PEMBERANTASAN KORUPSI
3. POLITIK LEGISLASI
a. Program Pro Poor, Pro Job, Pro Growth
b. Singkronisasi Perundang-undangan
4. KEPASTIAN HUKUM DALAM BERUSAHA
a. Kepastian Hukum di sektor ekonomi/bisnis/berusaha
5. TATA KELOLA SUMBER DAYA ALAM
a. Renegosiasi Sumber daya alam strategis, seperti pertambangan dan Perminyakan
VIII.Partai Amanat Nasional (PAN):
1. REFORMASI PERADILAN DAN PEMBERANTASAN KORUPSI
a. Pemberantasam Korupsi
2. POLITIK LEGISLASI
3. TATA KELOLA SUMBER DAYA ALAM
 a. Kontrak Karya Pertambangan
IX.PPP:
1. AMANDEMEN KONSTITUSI
2. REFORMASI PERADILAN DAN PEMBERANTASAN KORUPSI
3. POLITIK LEGISLASI
a. RUU KUHAP
b. Penyadapan
4. KEPASTIAN HUKUM DALAM BERUSAHA
a. Regulasi kepastian hukum dalam berusaha
5. TATA KELOLA SUMBER DAYA ALAM
a. Tata kelola Sumber Daya Alam (SDA)
b. Renegosiasi kotrak
X.HANURA:
XI.Partai Bulan Bintang:
1. REFORMASI PERADILAN DAN PEMBERANTASAN KORUPSI
2. POLITIK LEGISLASI
3. PENEGAKAN HAM
XII.PKPI:
1. AMANDEMEN KONSTITUSI


Secara lengkap, berikut terlampir Matriks Program hukum Partai Politik Peserta Pemilu 2014-2019 yang daimbil dari hasil penelitian data Komisi Hukum nasional, Hukum Online.com serta ILUNI FH UI.




















a.2 Keterwakilan Calon Legislatif Berlatarbelakang Sarjana Hukum sebagai pelaksana Program Hukum Partai Politik

Diketahui partai yang memiliki jumlah persentase caleg hukum terbanyak dibanding parpol lain, yakni 20 persen (112 dari 560 caleg). Setelah PDIP, Partai Demokrat berada di urutan kedua dengan persentase 19,8 persen (111 dari 560 caleg).


         PPP, Golkar, Gerindra, Nasdem, dan Hanura memiliki persentase caleg berlatar belakang hukum yang tak jauh berbeda. Yakni, PPP 18,3 persen (99 dari 541 caleg), Golkar 17,14 persen (96 dari 560 caleg), Gerindra 17,7 persen (99 dari 558 caleg), Nasdem 16,9 persen (95 dari 559 caleg) dan Hanura 16,8 persen (94 dari 558 caleg).


         Sedangkan, tiga parpol lainnya berada di posisi di bawahnya. Di grup ini ada PAN 14,8 persen (83 dari 560 caleg), PBB 12,4 persen (69 dari 556 caleg) dan PKPI 9,8 persen (53 dari 539 caleg). Di urutan paling buncit ada PKS 6,9 persen (34 dari 492 caleg) dan PKB 6,4 persen (36 dari 558 caleg).

   

No.
Partai Politik
Jumlah Total Caleg
Caleg Berlatar Belakang Pendidikan Hukum
1.
Partai Nasional Demokrat
559
95
2.
Partai Kebangkitan Bangsa
558
36
3.
Partai Keadilan Sejahtera
492
34
4.
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
560
112
5.
Partai Golongan Karya
560
96
6.
Partai Gerakan Indonesia Raya
558
99
7.
Partai Demokrat
560
111
8.
Partai Amanat Nasional
560
83
9.
Partai Persatuan Pembangunan
541
99
10.
Partai Hati Nurani Rakyat
558
94
11.
Partai Bulan Bintang
556
69
12.
Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia
539
53

Total
6.601
981

      Sumber Data: ILUNI FHUI (diolah)



            Berdasarkan penelusuran hukumonline terhadap daftar anggota DPR periode 2009-2014 di situs resmi DPR, setidaknya terdapat 74 anggota (dari total 560 anggta) yang berlatar belakang pendidikan hukum atau bergelar sarjana hukum. Mereka banyak berkumpul di Komisi III DPR yang membidangi hukum dan hak asasi manusia. Setidaknya, ada 22 anggota ber-background pendidikan hukum di Komisi ini.


            Sedangkan, Komisi yang sepi dari anggota yang bergelar sarjana hukum adalah Komisi I, Komisi IV, dan Komisi XI. Masing-masing komisi ini hanya memiliki tiga anggota dewan yang berlatar belakang pendidikan hukum.


            Beberapa nama tenar tampil di dalam 991 caleg yang berlatar belakang hukum itu. Misalnya, di Partai Nasdem, ada Taufik Basari yang bertarung di dapil DKI Jakarta I. Tobas – sapaan akrabnya- merupakan eks aktivis LBH dan mantan pengacara pimpinan KPK yang sempat tersandung masalah hukum, Bibit Samad Riyanto dan Chandra Hamzah.


            Di PKB, ada mantan Bupati Pamekasan Kholilurrahman yang akan bertarung di Dapil Jawa Timur XI. Sedangkan, di PKS, ada Zainudin Paru yang mengisi Dapil Nusa Tenggara Timur I. Zainudin merupakan advokat yang kerap tampil sebagai kuasa hukum PKS di setiap persidangan. Pada sidang sengketa pemilu 2009 lalu, Pendiiri Pusat Studi Hukum dan HAM (PAHAM) ini memecahkan rekor dengan sidang selama 17 jam di MK.


            Di PDIP, nama tenar seperti Trimedya Panjaitan masih masuk dalam daftar caleg. Pria yang pernah memimpin Komisi III dan masih menjabat sebagai anggota DPR ini akan kembali menjajal peruntungannya di Dapil Sumatera Utara II. Kolega Trimedya di Komisi III, Nudirman Munir juga masih terdaftar sebagai caleg dari Golkar. Mantan Pengacara Tommy Soeharto ini akan bertarung di Dapil Sumatera Barat II.


            Partai Gerindra juga masih menempatkan ‘incumbent’ Martin Hutabarat di dapil Sumatera III. Sedangkan, Partai Demokrat tak ragu menempatkan pengacara kontroversial Farhat Abbas sebagai caleg di dapil DKI Jakarta III. Di PAN, ada artis Marissa Haque Fawzi yang bergelar sarjana hukum di dapil Bengkulu.


            Anggota Komisi III dari PPP Ahmad Yani kembali mencalonkan diri di dapil Sumatera Selatan I. Pengacara wanita Elza Syarief dicalonkan Partai Hanura untuk bertarung di dapil Lampung II.


            Di PBB, ada mantan aktivis mahasiswa Yasin Ardhy (Ketua PB HMI 1986-1988) yang akan bertarung di dapil Jawa Barat VI. Sedangkan di PKPI, ada Rektor Universitas Jakarta Tjindra Wignyoprayitno yang akan bertarung di dapil Jawa Barat II.


            Sebagai gambaran, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) adalah partai politik yang menempatkan caleg berlatar belakang hukum lebih banyak di banding parpol-parpol yang lain. Persentase caleg yang berlatar belakang hukum sejumlah 20 persen (112 caleg dari total 560 caleg).


            Para caleg yang berlatar belakang hukum tersebar ke sejumlah pulau di Indonesia. Mayoritas akan bertarung di Pulau Jawa (51 caleg), lalu menyusul di Pulau Sumatera (40 caleg). Sementara, di Pulau Bali/NTB/NTT terdapat tujuh caleg yang berlatar belakang hukum.


            Sedangkan, jumlah terkecil ada di pulau Sulawesi, Kalimantan, dan Maluku/Papua yang masing-masing memiliki enam, lima dan tiga caleg yang berlatar belakang hukum.


Daftar Caleg PKS Berlatar Belakang Hukum

Dapil
Caleg
Dapil
Caleg
Dapil
Caleg
Dapil
Caleg
Aceh I
Azfilli Ishak, SH.
Sumsel II
Fatima Syuraini Dewi, SH.
Jateng I
Tjahjo Kumolo, SH.
Jatim IX
S. Tarida H. Hutabarat, SH., MM
Aceh I
Andriyani, SH.
Bengkulu
Emilia Puspita, SH.
Jateng I
H. Soetjipto, SH., MH.
Jatim X
Nurhadi, SH.
Sumut I
Lidya Octaviana Sianipar, SH.
Lampung I
Simeon Petrus, SH.
Jateng I
H. Antoni Wijaya, SH.
Banten I
Radiati, SH.
Sumut I
Firman Jaya Daely, SH.
Lampung I
I Nyoman Adi Peri, SH
Jateng II
HM. Masluri, SH, MH
Banten I
Yana Muliana R, SH.
Sumut I
Yenni Meilina Lie
Lampung II
H. KRH. Henry Yosodiningrat, SH
Jateng II
Dina Ardiyanti, SH.
Banten II
Dewi Wahyuni, SH
Sumut II
Trimedya Panjaitan, SH, MH.
Lampung II
Nadrah Izahari, SH, M.Kn
Jateng III
H. Imam Suroso, S.Sos, SH, MM
Banten/Banten II
Sophar Maru Hutagalung, SH, M.H
Sumut II
DR. Yasonna Hamonangan Laoly, SH, M.Sc
Lampung II
Hj.Nurhasanah, SH,. MH.
Jateng III
LUSIANA MARIANINGSIH, SH. M.Hum
Banten III
Drs. Eddy Kusuma Wijaya, SH, MH, MM
Sumut II
Nurmaeni Daulay, SH.
Lampung II
H.Ediwarman Gucci, SH., M.Kn
Jateng IX
Nova Naumi Alluyak, SH.
Bali
Dr. I Wayan Candra, SH., MH
Sumut II
Zakaria Bangun, SH, MH.
Lampung II
Saut Pangaribuan, SH.,
Jateng X
Siti Fikriyah Khuryati, SH., Msi.
Bali
I Wayan Bagiarta, SH., M.Hum.
Sumut II
Yodben Silitonga, SH.
Babel
Susanty, SH
Jateng X
Moegiono, SH.
NTB
 
H. Rachmat Hidayat, SH.
Sumut II
Ariyanti, SH., MH.
Kepri
Dwi Ria Latifa, SH, MSc.
Jatim I
H. Saleh Mukadar, SH.
NTB
Sirra Prayuna, SH.
Sumut III
H. Tritamtomo, SH.
Kepri
DR. Lodewijk Gultom, SH, MH.
Jatim I
Hari Putri Lestari SH., MH.
NTB
Ani Hairani, SH
Sumut III
Sudiman Tarigan, SH, MH.
DKI Jakarta I
Abadi Parulian Hutagalung, SH.
Jatim I
Susanto Budi Raharjo SH., MH.
NTB
Siti Nur Arinang, SH.
Sumut III
DR. Junimart Girsang, SH, MBA, MH.
DKI Jakarta I
Ni Gusti Ayu Eka Sukmadewi, SH.
Jatim II
Diarson Lubis SH.
NTT I
Maria Magdalena Blegur, SH.
Sumbar I
H. Halius Hosen, SH.*
DKI Jakarta II
Masinton Pasaribu, SH.
Jawa Timur/Jatim IV
Ir. Hadi Prajoko, SH, MH.
Kalteng
Asdy Narang, SH, M.Comm.Law
Sumbar II
Ramadi Ganto Suaro, SH
DKI Jakarta II
DR. DRA. Tiernney Gene Waani, SH, M.Si
Jatim V
Drs. Ahmad Basarah, MH.
Kalteng
Eria Sagitary, SH.
Riau I
DR. Arifin Bantu Purba, SH, MH
Jabar I
Lenny Marliani, SH.
Jatim V

 
Sayed Muhammad Muliady, SH.
Kalteng
H. Rahmat Nasution Hamka, SH, M.Si.
 
Riau II
Marsiaman Saragih, SH.
Jabar II
Esti Judhistira Danubrata, SH.
Jatim V
Sri Wahyuningsih, SH., M.Pd
Kalteng
Stephany Marisa Endianita, SH.
Jambi
Hj. Teti Kurniawati, SH., M.kn
Jabar II
Putry Setia Ningsih, SH, M.Kn.
Jatim VI
Arteria Dahlan, ST, SH.
Kaltim
Annisa Dinda Faramitha, SH, M.Kn.
Jambi
Dodi Sularso, SH.
Jabar V
Yasmine Yessy Gusman, SH. MBA
Jatim VI
Rina Yunarti, SH, M.Kn.
Sulut
Djenri Alting Keintjem, SH, MH.
Sumsel I
Hj. Intim Solachma, SH.
Jabar VI
Aprileny, SH, MM.
Jatim VI
Mistianah, SH.
Sulut
P.S. Jemmy Mokolensang, SH.
Sumsel I
H. Darmadi Djufri, SH, MH.
Jabar VI
Noer Fajrieansyah, SE, SH.
Jatim VII
Moch. Geng Wahyudi, SH., MH.
Sulteng
Hj. Raguan Aljufri, S.Ag, MH.
Sumsel I
Drs. Ganjar Razuni, SH., MH., M.Si.
Jabar VI
Risa Mariska, SH.
Jatim VII
Hiashinta Prastuty, SH.
Sulsel I
H. Andi Ridwan Wittiri, SH.
Sumsel I
Banteng Pringgodani
Jabar VII
Khadijah Syahbudi Saleh, SH.
Jatim VII
Diyen Andrita, SH.
Sulsel I
Djeni Marthen, SH.
Sumsel II
HR. Erwin M. Singajuru, SH., MH
Jabar VIII
Bambang Sri Pujo Sukarno Sakti, SE, SH, MH.
Jatim VIII
Magda Widjajana, SH.
Sulsel III
H. Harla Ratda, SH, MH.
Sumsel II
Hamid Basyaib, SH.
Jabar X
Sutrisno, SH
Jawa Timur/Jatim VIII
Bambang Hermanto, SH.
Maluku
Sterra Silvana Pietersz, MH.
Sumsel II
Yulian Gunhar, SH, MH.
Jabar XI
Florence Eleonora Moniung
Jatim IX
Abidin Fikri, SH.
Papua
Komarudin Watubun, SH, MH.
Sumsel II
Dr. H.M. Rasyid Ridho, SH, MH
Jateng I
Yanuar Prawira Wasesa, SH, M.Si, MH.
Jatim IX
RR. Sri Wilujeng., SH
Papua
Yahya L. Rado, SH, MH

Sumber Data: ILUNI FHUI


            Dari data Hukumonline.com PDIP masih mengandalkan wajah-wajah lama. Mereka adalah anggota DPR periode 2009-2014 yang kembali mencalonkan diri, seperti Trimedya Panjaitan (Sumut II), Yasonna Hamonangan Laoly (Sumut II), Tritamtomo (Sumut III), Tjahjo Kumolo (Jateng I), Ahmad Basarah (Jatim V), dan Sayed Muhammad Muliady (Jatim V).

 Di dapil Kepulauan Riau, Dwi Ria Latifa (anggota DPR periode 1999-2004) juga kembali ikut bertarung di pemilu legislatif 2014 ini.

            Selain muka-muka lama, PDIP juga menjagokan para pengacara-pengacara tenar untuk mendulang suara. Misalnya, pengacara Henry Yosodiningrat (Lampung II) dan Junimart Girsang (Sumut III). Sedangkan, Rektor Unkris Lodewijk Gultom mengisi caleg hukum PDIP dari jajaran akademisi.

            Sementara, salah seorang caleg, Halius Hosen dicoret oleh KPU karena yang bersangkutan masih menjabat sebagai Ketua Komisi Kejaksaan (Komjak).



B.     Program Hukum Partai Politik Peserta PEMILU 2014-2019 Sebagai Wujud  Responsifitas Politik Hukum.

Ketika membahas Program hukum partai politik, selayaknya tidak dapat dipisahkan hubungannya dengan pemahaman terkait dasar politik. Dasar  dalam politik hukum  adalah adanya  ketentuan bahwa pelaksanaan pengembangan politik hukum  tidak bisa dipisahkan dengan pelaksanaan pengembangan politik secara keseluruhan. Atau, dapat dikatakan, prinsip dasar yang dipergunakan sebagai ketentuan pengembangan politik akan juga berlaku bagi pelaksanaan politik hukum  yang diwujudkan melalui peraturan perundang-undangan.

            Saat politik hukum berperan dalam masyarakat, harus terlebih dahulu diketahui dan analisa tipe rezim dan karakter produk hukum yang akan dihasilkan. Apabila sebuah rezim bertipe democratic, maka akan ditandai dengan mekanisme pembentukan produk hukum secara penuh persaingan (competitive), dan mengakomodir munculnya keragaman gagasan (pluralistic). Sebagai konsekuensi dari mekanisme yang demokratis, maka akan dihasilkan produk hukum yang cenderung berkarakter lebih memihak kepada kepentingan masyarakat (populist), lebih memperhatikan kepentingan masa depan dan tidak segan-segan untuk mengikuti perkembangan (progressive), dan membatasi munculnya multi-tafsir (limited interpretation) dan pada gilirannya lebih memberikan jaminan kepastian hukum.

            Sebaliknya, pada rezim yang bertipe non-democratic, mekanisme pembentukan produk hukum lebih cenderung terpusat (centralistic), dan tentu saja sangat kurang nuansa persaingan gagasan dalam merumuskan produk hukum (non-competitive). Pada rezim yang demikian ini, akan ditemukan karakter produk hukum yang cenderung mengakomodir kepentingan kalangan elit saja (elitist), kurang mengakomodir perkembangan dan kepentingan jangka panjang ke depan (conservative), dan membuka ruang munculnya multi-tafsir (open to multi-interpretation) dan kurang memberikan jaminan kepastian hukum.

Regime Types
Karakter Produk Hukum
Mekanisme
Democratic
-          Populist
-          Progressive
-          Limited Interpretation
-          Pluralistic
-          Competitive
Non-Democratic
-          Elitist
-          Conservative
-          Open to Multi
-          Interpretation
-          Centralistic
-          Non-Competitive

Tabel.3 Bentuk Produk Hukum


Dalam tubuh hukum terjadi semacam perkembangan sehingga sampai pada hukum yang maju atau diasumsikan maju seperti yang dipraktekkan saat ini oleh berbagai negara. Perkembangan hukum itu sendiri umumnya terjadi sangat lamban meskipun sekali terjadi lebih cepat. Namun perkembangan dari hukum kuno pada hukum modern merupakan perjuangan manusia tiada akhir satu dan lain hal disebabkan masyarakat, dimana hukum berlaku berubah terus-menerus dalam perkembangan hukum itu sendiri terkadang dilakukan dengan revisi atau amandemen terhadap undang-undang yang sudah ada tetapi sering pula dilakukan dengan mengganti undang-undang lama dengan undang-undang baru. Bahkan hukum modern telah menentukan prinsip dan asa hukum yang baru dan meninggalkan prinsip dan asas hukum yang lama dan sudah cenderung ketinggalan zaman.

Dalam hubungannya dengan perkembangan masyarakat hukum mengatur tentang masalah struktur sosial nilai-nilai dan larangan-larangan atau hal-hal yang menjadi tabu dalam masyarakat.

Masa kini telah terjadi perkembangan berbagai bidang hukum dimana sebagian hukum disebagian negara telah menyelesaikan pengaturannya secara tuntas, tetapi sebagian hukum dinegara lain masih dalam proses perubahannya. Hukum merupakan kaidah untuk mengatur masyarakat, karena itu hukum harus dapat mengikuti irama perkembangan masyarakat, bahkan hukum harus dapat mengarahkan dan mendorong berkembangnya masyarakat secara lebih cepat dan terkendali. Karena terdapatnya ketertiban sebagai salah satu tujuan hukum dengan begitu terdapat interklasi dan interaksi antara hukum dan perkembangan masyarakat.

Tidak dapat diabaikan salah satu faktor yang mengikuti perkembangan hukum dalam masyarakat adalah kesadaran hukum masyarakat itu sendiri. Faktor kesadaran hukum ini sangat memainkan peran penting dalam perkembangan hukum artinya semakin lemah tingkat kesadaran hukumnya semakin kuat pula factor kepatuhan hukum. Sehingga proses perkembangan dan efektifitas hukum dapat dirasakan langsung oleh masyarakat.

Pentingnya kesadaran hukum masyarakat di masa depan akan memberikan sumbangan yang besar dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Masyarakat yang sadar akan hak-hak dan kewajibannya tidak akan terperdaya oleh pihak-pihak yang hanya mengutamakan kepentingannya sendiri. Untuk itu keterlibatan lembaga swadaya masyarakat bersama-sama dengan Pemerintah merupakan salah satu prioritas yang utama sehingga pemberdayaan masyarakat dapat terwujud.   

            Pengaruh tuntutan masyarakat terhadap pembentukan hukum dan lahirnya keputusan-keputusan hukum dapat terjadi jika tuntutan rasa keadilan dan ketertiban masyarakat tidak terpenuhi atau terganggu Karena rasa ketidakadilan dan terganggunya ketertiban umum akan memicu efek opini yang bergulir seperti bola salju yang semakin besar dan membahayakan jika tidak mendapat salurannya melalui suatu kebijakan produk hukum atau keputusan yang memadai untuk memenuhi tuntutan masyarakat tersebut. Karena itu perlu menjadi catatan bagi para pembentuk hukum adalah penting memperhatikan suara dari kelompok masyarakat yang mayoritas yang tidak punya akses untuk mempengaruhi opini publik, tidak punya akses untuk mempengaruhi kebijakan politik.

Roberto M. Unger[6],  secara terang-terangan menolak teori tentang pemisahan hukum dan politik ( law politics distinction ). Menurutnya, tidak mungkin dalam proses-proses hukum,  apakah  dalam membuat undang-undang atau menafsirkannya, berlangsung dalam konteks bebas atau netral dari pengaruh-pengaruh moral, agama,  dan pluralisme politik. Lebih lanjut Unger mengatakan bahwa tidak mungkin mengisolasi hukum dari konteks di mana ia eksis. Hubungan hukum dengan lingkungan sosial menurut Unger dikonstruksikan sebagai “negotiable, subjective and poliy-dependent as politics”[7].

Roberto M. Unger juga menjelaskan tidak mungkin mengisolasi hukum dari konteks di mana ia eksis, dan bagi mereka teori tersebut merupakan bentuk penghindaran terhadap adanya latar belakang politik dan ideologis di balik putusan­-putusan hakim dan undang-undang. Bagi kalangan GSHK, hukum itu dikonstruksikan sebagai "negotiable, subjective and policy-dependent as politics".

Menurut Unger ada dua alasan utama mengapa tidak mungkin membayangkan netralitas dan objektivitas hukum, seperti dikutip di bawah ini:

First, procedure is inseparable from out came: every method makes certain legislative choices more likely than others... Second, each law making system it self embodies certain values; it incorporates a view of how power ought to be distributed in the society and how conflicts should be resolved[8]."

Dengan mengacu kepada proses-proses empiris pembuatan kebijakan hukum, Unger menunjukkan betapa tidak realistiknya teori pemisahan hukum dan politik,  analisis hukum tidak  hanya memusatkan pengkajian pada segi-segi doktrinal dan asas-asas hukum semata, sebab hukum bukanlah sesuatu yang terjadi secara alamiah, melainkan direkonstruksi secara sosial[9].

Secara konstruktif teori Robert Seidman[10] tentang bekerjanya hukum dilukiskan oleh Satjipto sebagai berikut[11] .

Gambar 5. Bekerjanya Hukum menurut Seidman, sebagaimana dilukiskan oleh Satjipto Rahardjo














Dari model bekerjanya hukum tersebut, oleh Seidman dirumuskan beberapa pernyataan teoretis sebagai berikut:[12]

(1)     Setiap peraturan hukum itu menunjukkan aturan-aturan tentang bagaimana seseorang pemegang peran diharapkan untuk bertindak;

(2)     Tindakan apa yang akan diambil oleh seseorang pemegang peran sebagai respons terhadap peraturan hukum, sangat tergantung dan dikendalikan oleh peraturan hukum yang berlaku, dari sanksi-sanksinya, dari aktivitas lembaga pelaksanaannya, serta dari seluruh kompleks kekuatan sosial, politik, dan lain sebagainya yang bekerja atas dirinya;

(3)     Tindakan apa yang akan diambil oleh lembaga pelaksana sebagai respons terhadap peraturan-peraturan hukum, sangat tergantung dan dikendalikan oleh peraturan hukum yang berlaku, dari sanksi-sanksinya, dan dari seluruh kompleks kekuatan sosial, politik, dan lain sebagainya yang bekerja atas dirinya, serta dari umpan balik yang datang dari pemegang peran dan birokrasi;

(4)     Tindakan apa yang akan diambil oleh lembaga pembuat undang-undang  sebagai respons terhadap peraturan hukum, sangat tergantung dan dikendalikan oleh berfungsinya peraturan hukum yang berlaku, dari sanksi-saksinya, dan dari seluruh kompleks kekuatan sosial, politik, dan lain sebagainya yang bekerja atas mereka, serta dari umpan balik yang datang dari pemegang peran dan birokrasi.


Keanekaragamaan tujuan dan alasan dibuatnya peraturan perundang-undangan disebut sebagai politik  hukum (legal policy). Pembuatan peraturan perundang-undangan, politik  hukum sangat penting, paling penting, untuk dua hal. Pertama sebagai alasan mengapa diperlukan pembentukan suatu peraturan perundang-undangan. Kedua, untuk menentukan apa yang hendak diterjemahkan kedalam kalimat hukum dan menjadi perumusan pasal. Pada tiap periode pemerintahan di Indonesia dari segi teknis perundang-undangan segala kehendak, aspirasi, dan kepentingan pemerintah pusat pasti akan menjadi politik hukum dalam membuat peraturan perundang-undangan tersebut.

Di sisi inilah politik hukum memainkan perannya untuk menciptakan sebuah peraturan perundang-undangan yang mampu menciptakan sistem hukum yang transparan, independen dan tidak memihak, karena keberadaan peraturan perundang-undangan dan perumusan pasal merupakan “jembatan” antara politik  hukum yang ditetapkan dengan pelaksanaan politik  hukum tersebut dalam tahap implementasi peraturan perundang-undangan.

Hukum sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor non hukum seperti : nilai, sikap, dan pandangan masyarakat yang biasa disebut dengan kultur/budaya hukum. Adanya kultur/budaya hukum inilah yang menyebabkan perbedaan penegakan hukum di antara masyarakat yang satu dengan masyarakat lainnya.


Pada dasarnya persoalan dimasyarakat harus mengacu 8 prinsip legalitas yang harus diikuti dalam membuat hukum (Lon Fuller)[13] meliputi :

1.Harus ada peraturannya terlebih dahulu;

2.Peraturan itu harus diumumkan;

3.Peraturan itu tidak boleh berlaku surut;

4.Perumusan peraturan harus dapat dimengerti oleh rakyat;

5.Hukum tidak boleh meminta dijalankannya hal-hal yang tidak mungkin;

6.Diantara sesama peraturan tidak boleh terdapat pertentangan satu sama lain;

7.Peraturan harus tetap dan tidak boleh sering diubah-ubah;

8.Harus terdapat kesesuaian antara tindakan para pejabat hukum dengan peraturan yang telah dibuat.


Jika kita melihat kenyataan yang ada di Indonesia, terutama di daerah pedesaan terlihat jelas bahwa nilai-nilai yang terkandung di dalam hukum berbeda dengan nilai-nilai yang telah melekat dalam kehidupan masyarakat desa. Hal ini mengingat tingkat pengetahuan masyarakat desa masih rendah sehingga mereka sulit memahami apa yang dikehendaki oleh hukum.


James C.N dan Clareme J Dias[14] mengatakan bahwa nilai yang terkandung dalam hukum nasional dengan nilai-nilai masyarakat lokal kerap kali terjai pendebatan dan pembedaan yang ujungnya adalah sulitnya pemahaman makna dan maksud hukum nasional oleh masyarakat lokal, hal ini terjadi karena sudut pandang dan nilai dasr penyusunan hukum tampaknya berbea antara legislator dengan masyarakat serta kurangnya para pemegang kebijakan melakukan survey, uji public terhadap nilai-nilai lokal, kebutuhan-kebutuhan lokal terutama masyarakat yang secara geografis jauh dan mungkin tak terjangkau oleh pengendali kebijakkan, hasilnya hukum dibuat terasa tidak bermakna dan bermanfaat bagi sebgaian besar rakyat tersebut. Oleh karena itu hukum mencegah mis-nilai antara pembuat dan pemakai. Mau tidak mau pemerintah maupun rakyat, LSM harus proaktif mengusahakan terbukanya saluran kominukasi dalam menerangkan dan menyelaraskan berbagai maksud dan tujuan pemerintah dalam undang-undang.


Pada saat hukum diposisikan sebagai sarana pencapaian tujuan. Tujuan akan mudah dicapai jika hukum berlaku secara efektif dan sebalaiknya menjadi penghambat jika tidak efektif. Hukum dianggap efektif jika hukum mampu mengkondisikan dan merubah kualitas dan perilaku masyarakat sesuai dengan prasyarat pembangunan. Oleh karena itu agar hukum dapat berlaku efektif, menurut Paul dan Dias harus memenuhi 5 (lima) syarat, yaitu :

  1. sulit tidaknya sebuah aturan dapat dipahami;
  2. luas tidaknya masyarakat yan tahu akan hal itu;
  3. efesien dan efektif tidaknya mobilisasi aturan-aturan hukum;
  4. Adanya mekanisme penyelesaian yang tidak hanya dapat diakses oleh semua orang tetapi betul-betul efektif menyelesaikan perkara;
  5. Adanya consesnsus pandanagan bahawa hukum itu betulbetul efektif


Dari uraan diatas intinya rakyat harus paham maksud dan tujuan dari suatu produk hukum, maka untuk mencapai satu kepahaman rakyat terhadap hukum tentu harus melalui kominikasi produk hukum itu.


Perubahan hukum pada hakekatnya dimulai dari adanya kesenjangan antara hukum yang mengatur dan bahan yang diaturnya. Sehubungan dengan dengan sifat khas hukum tertulis yang tidak selalu dapat dengan cepat mengikuti perubahan-perubahan masalah yang diaturnya, maka terdapatnya kesenjangan sebagaimana dikemukakan diatas sebetulnya adalah sesuatu yang normal. Normalitas disini cenderung kepada arti bahwa hukum masih cukup mempunyai kemampuan teknis tersebut dilakukan dengan cara-cara penafsiran yang diterima oleh ilmu hukum, seperti analogi dan penghalusan hukum.[15]

Tuntutan bagi terjadinya perubahan hukum, mulai timbul apabila kesenjangan tersebut telah mencapai tingkatnya yang sedemikian rupa, sehingga kebutuhan akan perubahan semakin mendesak. Tingkat tersebut bisa ditandai oleh tingkah laku anggota-anggota masyarakat yang tidak lagi merasakan kewajiban-kewajiban yang dituntut oleh hukum sebagai sesuatu yang harus dijalankan (Dror, 1959:90). Dengan demikian, terdapat suatu jurang yang membedakan antara tanggapan hukum disatu pihak dan masyarakat di pihak lain mengenai perbuatan yang seharusnya dilakukan.

Pengkonkretan norma-norma hukum yang abstrak memberikan efek ke arah perubahan hukum yang disebabkan penerapan norma-norma hukum itu dituntut untuk disesuaikan kepada peri kehidupan sosial pada suatu saat, yaitu baik cita-cita sosial yang berkembang, maupun hubungan-hubungan sosial yang nyata terdapat pada saat itu.

Menurut Daniel S.Lev[16], perubahan hukum itu dimulai dari persepsi mengenai hukum yang dipergunakannya. Hukum bukanlah undang-undang dan peraturan-peraturan hukum yang dianggapnya sebagai pengertian yang amat sempit. Hukum adalah praktek sehari-hari oleh para pejabat hukum, seperti hakim, jaksa, polisi dan advokat. Oleh karena itu apabila kelakuan mereka itu berubah, maka hal itu berarti hukum pun sudah berubah, walaupun undang-undang dan peraturan-peraturannya masih tetap saja seperti dahulu (Lev,1971:2-7).

Ada hubungan interaksi antara keputusan hukum dan masyarakat tempat keputusan itu dijalankan nantinya. Oleh karena adanya kebutuhan untuk melakukan penyesuaian sosial tersebut, maka suatu norma hukum itu bisa saja berubah-ubah isinya, tanpa terjadinya perubahan pada peraturannya sendiri secara formal.

Maka masalah perubahan hukum tidak hanya dapat dibatasi pada pembicaraan mengenai perubahan dibidang hukum saja, apalagi perubahan hukum secara formal. Hal ini sejalan dengan kerangka Talcot Parsons, proses-proses dalam masyarakat itu saling berhubungan dan kait-mengkait satu sama lain, memberikan kesempatan untuk mengkaji masalahnya secara lebih baik.







Pertumbuhan masyarakat dan keadaan hukumnya dapat dilihat pada diagram alur dibawah ini:

Hukum Sebagai Sarana Kontrol Sosial

Arus konversi normal dan penyimpangannya

Masukan                        Proses Konversi melalui lembaga hukum             Keluaran               

-Problem Sosial                             Pemecahan Persoalan                                                              -Peraturan

-Sengketa                                  (Pembentukan Norma, Penyelesaian Sengketa)                   -Keputusan hakim


Dicoret

Efektifitas peraturan perundang-undangan ternyata telah menimbulkan perubahan dalam cara orang menangani persoalan-persoalan hukum. Tuntutan efektivitas mendorong orang untuk mencurahkan perhatian secara lebih seksama terhadap obyek-obyek yang menjadi sasaran peraturan perundang-undangan, sehingga pemikiran yang bersifat abstrak, generalisasi-generalisasi, tidak lagi dikehendaki. Apabila dikehendaki hukum itu menimbulkan perubahan-perubahan pada obyek yang diaturnya, terutama perubahan dalam tingkah laku, maka penguasaan pengetahuan yang lebih seksama mengenai obyek yang diatur, mengenai reaksi-reaksi yang ditimbulkannya, selanjutnya mengenai kemampuan dari lembaga-lembaga serta personel yang menjalankan hukum, merupakan tuntutan yang tak dapat ditinggalkan. Untuk memperoleh gambaran yang lebih lengkap mengenai seluk-beluk bekerjanya hukum tersebut dapat dijelaskan dalam diagram dibawah ini (Dikutip dari Seidman, 1972:327)


Diagram proses pengaturan “gaya lama”

Badan Perundang-undangan







Badan-badan Pelaksana                                                                    Warga Negara

Diagram proses pengaturan pola Seidman dan aspek-aspek yang berhubungan


            Mochtar K , Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan, menerangkan bahwa ketertiban merupakan tujuan utama dan pertama dari segala hukum. Kebutuhan terhadap ketertiban adalah syarat fundamental bagi adanya suatu masyarakat manusia yang teratur.[24] Lihat Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan, (Mochtar K , Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan Bandung: Penerbit Alumni, 2006), hlm. 3

Disnilah peranan para wakil rakyat yang terpilih melalui mekanisme demokrasi yang ada dalam struktur maupun infrastruktur politik untuk menjaga kepentingan mayoritas rakyat, dan memahami betul norma-norma, kaidah-kaidah, kepentingan dan kebutuhan rakyat agar nilai-nilai itu menjadi hukum positif.

Wakil rakyat harus paham dalam pembentukan hukum dimana harus dilandasi dengan semangat pembangunan hukum mengandung makna ganda, yaitu[17] :


Pertama, sebagai suatu usaha untuk memperbaharui hukum positif sendiri, sehingga sesuai dengan kebutuhan untuk melayani masyarakat pada tingkat perkembangannya yang mutakhir, suatu pengertian biasa disebut modernisasi hukum.


Kedua, sebagai suatu usaha untuk memfungsionalkan hukum dalam masa pembangunan, yaitu dengan cara turut mengadakan perubahan-perubahan social sebagaimana dibutuhkan oleh suatu masyarakat yang sedang membangun.


Akan tetapi menurut Satjipto Rahardjo, pembedaan itu tidaklah perlu diperhatikan, sebab memang keduanya tidak dapat dipisahkan secara tajam dan banyak kesempatan keduanya akan tergabung menjadi satu.[18]


Banyak faktor yang harus di pertimbangkan agar pembangunan hukum dapat di terima oleh seluruh lapisan masyarakat, misalnya faktor budaya, suku, ras, Agama dan lain-lain. Maka, dalam pembentukan hukum hendaknaya hukum yang di bentuk adalah pruduk hukum yang responsif, yakni hukum yang dapat merespon setiap kepentingan masyarakat.

Dalam pembentukan hukum yang responsif ada empat syarat mutlak yang harus terpenuhi[19], yakni :

1.Dalam penbentukan hukum harus mengikut sertakan masyarakat;

2.Pembentukannya haruslah aspiratif. Artinya, norma-norma yang di rumuskan haruslah norma yang merupakan aspirasi dari masyarakat;

3.Pembentukannya haruslah bersifat komunikatif. Artinya, hukum haruslah dapat di pahami dalam bahasa yang dapat dipahami dalam interaksi antar warga negara dengan negara (penguasa);

4.Pembentukannya haruslah bersifat antisipatik. Norma yang di rumuskan dalam aturan harus dapat mengantisipasi munculnya konflik di tengah masyarakat.

Konsep pembangunan hukum yang responsif dirumuskan oleh Philippe Nonet dan Philippe Selznick adalah sebuah konsep hukum yang memenuhi tuntutan-tuntutan agar hukum dibuat lebih responsif terhadap kebutuhan-kebutuhan sosial yang sangat mendesak dan terhadap masalah-masalah keadilan sosial sambil tetap mempertahankan hasil-­hasil institusional yang telah dicapai oleh kekuasaan berdasar hukum.

Konsep hukum responsif ini merupakan jawaban atas kritik bahwa seringkali hukum tercerai dari kenyataan-kenyataan pengalaman sosial dan dari cita-cita keadilan sendiri[20]. Sekalipun tesis Nonet dan Selznick ini bukanlah teori yang mampu menyelesaikan semua problem praktis, tetapi memberikan perspektif dan kriteria untuk mendiagnosis dan menganalisis problem-­problem hukum yang muncul di masyarakat dengan penekanan khusus atas dilema-­dilema institusional dan pilihan-pilihan kebijakan yang kritis[21]

Diharapkan pada keadaan terdapatnya hukum responsif, kesempatan untuk berpartisipasi dalam pembentukan hukum lebih terbuka. Dalam pengertian ini, arena hukum menjadi semacam forum politik, dan partisipasi hukum mengandung dimensi politik. Dengan perkataan lain, aksi hukum merupakan wahana bagi kelompok atau organisasi untuk berperan serta dalam menentukan kebijaksanaan umum[22]. Dalam konteks kebijakan hukum, pembangunan hukum seharusnya mencakup tiga hal. Pertama, menjamin keadilan dalam masyarakat. Kedua, menciptakan ketentraman hidup dengan memelihara kepastian hukum. Kepastian hukum berkaitan dengan efektifitas hukum akan terjamin hanya bila negara mempunyai sarana-sarana yang memadai untuk memastikan berlakunya peraturan-peraturan yang ada. Dalam hal ini aparat penegak hukum memainkan peranan penting. Ketiga, mewujudkan kegunaan dengan menangani kepentingan-kepentingan yang nyata dalam kehidupan bersama secara konkrit[23].

Dengan demikian, di dalam hukum yang responsif terbuka lebar ruang dialog dan wacana serta adanya pluralistik gagasan sebagai sebuah realitas. Karena itu hukum yang responsif tidak lagi selalu mendasarkan pertimbangannya pada pertimbangan juridis melainkan mencoba melihat sebuah persoalan dari berbagai perspektif dalam rangka untuk mengejar apa yang disebut ”keadilan substantif”. Oleh karena itu, para hakim di dalam menjalankan tugas keprofesiannya tentang cara pandang untuk menyikapi hukum adalah sebagai berikut : “The law, like the traveller, must be ready for the morrow, it must have a principle”[24]. 

Salah satu tokoh penganut realism hukum ( legal realism ) yang bernama Jerome Frank mengatakan, pencarian hukum responsif telah menjadi kegiatan teori hukum modern yang terus-menerus dilakukan. Lebih lanjut Jerome Frank mengatakan, tujuan utama penganut realisme hukum ( legal realism ) adalah untuk membuat hukum "menjadi lebih responsif terhadap kebutuhan sosial. ”Untuk mencapai tujuan ini, mereka mendorong perluasan ”bidang-bidang yang memiliki keterkaitan secara hukum”,[25] agar pola pikir atau nalar hukum dapat mencakup pengetahuan di dalam konteks sosial dan memiliki pengaruh terhadap tindakan resmi para aparat hukum.

Untuk memudahkan pemahaman ketiga jenis kategori hukum berikut implementasinya dapat dilihat dalam tabel berikut ini :




Tabel 4

Tiga kategori Hukum menurut Nonet dan Selznick[26]


H. Represif
H. Otonom
H. Responsif

Tujuan
Aturan
Legitimasi
Kewenangan

Legitimasi
Perlindungan sosial
Kejujuran Prosedur
Keadilan Substansif

Aturan
mendetail tapi lemah
Elaborasi, mengikat pembuat dan diatur kuat melekat pada kewenangan hukum
Disubkordinasi pada prinsip dan kebijakan

Nalar
Daya ikatnya bagi pembuat aturan Adhoc, Articular
Terikat aturan
Memperluas kemampuan kognitif

Diskresi
Membantu untuk hal-hal yang khusus oportunis
Delegasi menyempit
Meluas namun tetap berpegang pada tujuan

Pemaksaan
Meluas, lemah
Batasannya
Terkontrol oleh hukum
Mencari alternatif, insentif, sistem mempertahankan diri terhadap kewajiban

Moralitas
Moralitas komunal, moralisme hukum
Moralitas konstittis
Moralitas masyarakat, moralitas atas kerjasama

Harapan patuh
Tak bersyarat
Titik tolak aturan
Tak patuh ditentukan dalam  kaitannya dengan pelanggaran substansif



Tabel diatas memperlihatkan dengan jelas kecenderungan hukum yang lebih akomodatif kepentingan masyarakat adalah hukum yang responsif. Akan tetapi ada persoalan mendasar yang perlu mendapat perhatian dari pihak penegak hukum, yaitu apakah penegak hukum mempunyai kemampuan yang memadai untuk menjalankan hukum yang responsif seperti itu? Karena di sana dituntut beberapa kualifikasi yang esensial yaitu pertama, mulai bekerja dengan paradigma baru dimana penegak hukum tidak hanya tunduk pada basis-­basis hukum sebagai landasan berpikirnya, tetapi juga berusaha sejauh mungkin menggunakan pisau analisis non-hukum. Akibatnya, interaksi hukum dengan politik tidak bisa dihindari lagi.

Kedua, kebenaran atau keadilan tak pernah bisa dicapai hanya dengan perspektif tunggal karena hal itu hanya mengingkari kebenaran dan keadilan itu sendiri. Untuk itu diperlukan aparat hukum yang berwawasan luas, yang rasional, kritis.

Apabila dalam proses pembentukan hukum terjadi pertentangan nilai-nilai serta kepentingan-kepentingan dalam masyarakat, maka menurut Schuyt sebagaimana dikutip oleh  Satjipto Rahardjo, terdapat dua kemungkinan yang dapat timbul, yakni: (a) hukum dipakai sebagai sarana untuk mencairkan pertentangan dalam masyarakat,[27] dan (b) hukum sebagai tindakan yang memperkuat terjadinya pertentangan lebih lanjut.  Pandangan Schuyt yang demikian itu mengisyaratkan, bahwa di dalam suatu masyarakat yang tidak berlandaskan kesepakatan nilai-nilai itu, proses pembuatan hukum selalu merupakan semacam endapan pertentangan-pertentangan yang terdapat di dalam masyarakat. Pada kemungkinan yang pertama, pembuatan hukum merupakan suatu jalan untuk melakukan pencairan pertentangan. Lalu kemungkinan yang kedua, lebih menjelaskan tentang apa yang dapat timbul apabila masyarakat merasa tertipu oleh janji-janji atau penyelesaian yang dilakukan melalui pembuatan hukum.[28]



V. Penutup

Dari pemaparan diatas secara garis besar Responsifitas Politik Hukum Atas   Program Hukum Partai Politik Peserta PEMILU 2014-2019 dapat disimpulkan sebagai berikut:


 1.Program Hukum Partai Politik peserta PEMILU 2014-2019 merupakan tolak ukur awal dimana fungsi Partai Politik sebagai pemeran utama politik hukum yaitu sebagai sarana komunikasi politik, sosialisasi politik,  rekrutmen politik serta sarana pengatur konflik yang diharapkan di Indonesia kedepannya.


2.Program Hukum Partai Politik peserta PEMILU 2014-2019 secara eksplisit belum sepenuhnya mewujudkan pelaksanaan Responsifitas Politik Hukum. Hal ini dimana mayoritas partai politik (parpol) peserta Pemilu tidak memiliki program hukum yang serius. Bahkan dari parpol yang ada, hanya sedikit yang bersedia memaparkan ke masyarkat. Terdapat parpol yang memang menyiapkan program hukumnnya bahkan hingga tahun 2045 tetapi kebanyakan parpol tidak secara khusus menyiapkan program hukum

Kurang responsnya soal program hukum ini dari parpol tidak lepas dari kurangnya program hukum yang dimiliki. Dari data-data partai politik (parpol) yang memiliki dokumen tertulis dan punya program lisan telah membuktikan bahwa, pada dasarnya partai politik lebih peduli pada pencitraan dibandingkan substansi program konkret. Disamping itu, sebagian besar partai politik (parpol) tidak memiliki visi misi untuk menjawab problem-problem hukum saat ini. Penulis menyayangkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak seperti sebelumnya mengumpulkan visi misi dan program-program hukum partai politik.





[1] Max Weber dalam buku “HAM, KEJAHATAN NEGARA DAN IMPERIALISME MODAL, Agung dan Asep, Pustaka Pelajar, 2001, hal XXII.
[2] Jhon Grifiths, Is Law Important, 54.N.Y.U.L REV 339 (1976) dalam Robert B, Seidman & Nalin Abeyeskere, Penyusunan Rancangan Undang-Undang dalam Perubahan Masyarakat  yang Demokratis.
[3] Sistem sosial yang dimaksud adalah : sistem sosial ekonomi, politik, pendidikan, sistem sosial budaya termasuk adat istiadat dan karakter manusianya dimana hukum itu akan dibuat.
[4]Satjipto Rahardjo, Beberapa Pemikiran Tentang Ancangan Antardisiplin dalam Pembinaan Hukum Nasional, Penerbit Sinar Baru Bandung, 1985, Hal. 71.
[5]  Lili Rasjidi dan Putra Wiyasa dalam buku ”Hukum sebagai Suatu Sistem” Remaja Rosda Karya, Bandung, 1993 mengatakan, dalam konteks sistem hukum, ilmu hukum  dibicarakan sebagai penjabaran, pengujian, dan pengembangan teori-teori hukum yang berasal dari komponen filsafat hukum. Tujuan dari penjabaran dan pengembangan itu berkaitan dengan dimensi-dimensi ontologi, epistemologi, dan dimensi aksiologi. Dalam kaitannya dimensi yang terakhir, ilmu hukum dipandang sebagai suatu kesatuan dengan pendidikan hukum. Fungsi utamanya adalah sebagai media penghubung antara dunia rasional (Sollen) dan dunia empiris (Sein). Fungsi ini mungkin diperankan oleh ilmu hukum dan pendidikan hukum, adalah karena kelebihan yang dimilikinya, yaitu dimensi rasional dan dimensi empiris dan ilmu hukum. Melalui  kedua dimensi ini, ilmu hukum dan pendidikan hukum dapat menghubungkan dunia filsafat dengan dunia kenyataan dengan cara membangun konsep-konsep hukum.  
[6] Roberto M. Unger, Gerakan Studi Hukum Kritis, Edisi Bahasa Indonesia, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), 1999.
[7] Roberto M. Unger, Gerakan Studi Hukum Kritis, Edisi Bahasa Indonesia, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), 1999,  hal XVI – XVII.
[8] Lihat, Unger, Law and Modern Society, (New York: Free Press, 1975) hlm 180.
[9] Analisis mengenai bagaimana hukum itu direkonstruksi dan bagaimana rekonstruksi itu sebetulnya diperlukan untuk mengabsahkan suatu tatanan.
[10] Gambar aslinya dapat dilihat dari buku Robert B. Seidman & William J. Chambles,  Law, Order, and Power, hal 21.
[11] Lihat buku Satjipto Rahardjo, Hukum dan Mayarakat, Angkasa, Bandung , 1980, hlm. 27. 
[12] Robert B Seidman. Ibid, 1972.
[13] Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Cet. III, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991), hlm. 352.
[14] Ibid.
[15] Scholten, 1954, paragraph 12-16.
[16] Daniel S. Lev, Hukum Dan Politik di Indonesia, Kesinambungan dan Perubahan, Cet I, LP3S, Jakarta, 1990.
[17] Mochtar Kusuma atmaja, 1976,hal.12
[18] Satjipto Rahardjo.1979,h.227
[19] Philippe Nonet and Philip Selznick, Law and Transition: Towards Responsive Law, Harper & Row, New York, 1978
[20] Philippe Nonet and Philip Selznick, Law and Transition: Towards Responsive Law, Harper & Row, New York, 1978, hlm. 4.
[21] A.A.G. Peters dan Koesriani Siswosoebroto (ed), Hukum dan Perkembangan Sosial, Buku III, Sinar Harapan, Jakarta, 1990, hlm. 158.
[22] Mulyana W. Kusumah, Perspektif, Teori, dan Kebijaksanaan Hukum, Rajawali, Jakarta, hlm. 18.
[23] Huijbers, Theo, 1990, Filsafat Hukum, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, hlm. 116-118.
[24] Lloyd, Dennis, op.cit., hal. 326
[25] Jerome Frank, "Mr. Justice Holmes and Non-Euclidian Legal Thinking," Cornell Lazu Quarterly 17 (1932) : 568, 586. Frase ini juga digunakan oleh James William Hurst, yang berbicara mengenai pencarian sebuah "tatanan hukum yang responsif dan bertanggung jawab," yang "mampu memberi respon positif terhadap perubahan-perubahan dalam konteks sosial." Lihat James William Hurst, "Problems of Legitimacy in the Contemporary Lagal Order," OklahomaLazu Review 24 (1971) : 224, 225, 229.
[26] Nonet. Philippe & Selnick, Philip, op.cit., hal. l6
[27] Pandangan yang demikian itu sejalan dengan Lewis A. Coser yang berpendapat, bahwa “konflik dapat merupakan proses yang bersifat instrumental dalam pembentukan, penyatuan, dan pemeliharaan struktur sosial. Konflik dapat menetapkan dan menjaga garis batas antara dua atau lebih kelompok (Baca dalam Margaret M. Poloma, Sosiologi Kontemporer. Jakarta: CV. Radjawali, 1992, halaman 108).
[28] Satjipto Rahardjo, Ibid., 1979, halaman 51.

Komentar

Postingan Populer