Gairah Post Modernisme
Merayu Munculnya Hukum
Berkeadilan:
http://www.guruit07.blogspot.com/2009/01/pengertian-post-modern.html, diakses pada tanggal 27 Juli 2014.
http://gerakanindonesiabaru.blogspot.com/2009/04/paham-allah-dalam-era-postmodern.htm, diakses pada tanggal 26 Juli 2014.
http://komunitasembunpagi.blogspot.com/2009/03/post-modern-mitos-baru.html, diakses pada tanggal 30 Juli 2014.
http://id.wikipedia.org/wiki/Dekonstruksi, diakses pada tanggal 30 Juli 2014.
Gairah
Post Modernisme dan Implementasinya
di
Indonesia
“..Teori-teori baru bermunculan, Teori itu sendiri bisa
ditulis melalui berbagai pintu masuk atau sudut pandang baik dari optik para ahli sejarah, sosiologi, filsafat dan
lain-lain…”
“…Hal ini karena Hukum bukanlah suatu institusi yang
statis, ia mengalami perkembangan, berubah dari waktu ke waktu, Konsep hukum
seperti “Rule of Law” sekarang ini juga tidak muncul dengan tiba-tiba begitu
saja, melainkan hasil suatu perkembangan tersendiri. Adanya hubungan timbal-balik
yang erat antara hukum dengan masyarakat…”
(Prof.
Dr. Satjipto Rahardjo)
I.Pendahuluan
I.a.Latar belakang
Hukum adalah suatu gejala sosial yang
nyata lahir dari realita dalam kehidupan bermasyarakat. Hukum di pandang
sebagai suatu gejala yang nyata merupakan perwujudan dari kebutuhan masyarakat
akan suatu ketertiban dan keteraturan dalam pergaulan hidup masyarakat. Hukum
selain dipandang sebagai alat untuk mengendalikan masyarakat (control social),
hukum juga berfungsi sebagai alat perubahan dan sebagai alat untuk mencapai
keadilan substansial.
Sebagai
sebuah gejala sosial yang riil, hukum akan menjadi suatu kebutuhan jiwa
manusia sebagai anggota unit kelompok secara khusus dan unit kemasyarakatan
secara umum untuk mewujudkan ketertiban, keadilan dan keamanan dalam setiap
gerak dinamis sistem kemasyarakatan. Maka sebagai suatu bentuk perwujudan
kehendak, hukum akan selalu berubah (dinamis)
mencari bentuk persesuaian bentuknya pada dimensi ruang dan waktunya yang
tepat, termanifestasi sebagai gejala sosial yang utuh dan mengiringi setiap
kedinamisan dalam sistem kemasyarakatan yang kompleks sebagai suatu perwujudan
kehendak dari kebutuhan jiwa manusia sebagai makluk sosial.
Ketika
hukum dibahas maka tidak akan lepas dari 3 (tiga) kajian disiplin hukum yang
ada yaitu Ilmu Hukum, Teori Hukum, dan Filsafat Hukum. Ketiga-tiga saling
berkaitan, saling berhubungan dan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat
terpisahkan. Filsafat Hukum sebagai dasar pijakan atau sudut pandang diteruskan
menjadi Teori Hukum dan Ilmu Hukum dimana Ilmu Hukum diketahui merupakan Teori
Hukum itu sendiri secara sempit. Transformasi
tahap-tahap tersebut kemudian disesuaikan dengan perubahan dan perkembangan
kebutuhan masyarakat tiap zamannya.
Dimulai
dari induk ilmu hukum yaitu filsafat hukum, dimana diketahui hukum dalam
filsafat hukum berkembang berdasarkan periodisasinya, dimulai dari zaman
Purbakala, abad pertengahan, zaman Renaissance (abad 12), zaman Rasionalisme (Baru) (abad
17), zaman Modern (abad XIX), kemudian hingga sekarang yaitu zaman Postmodern. Perkembangan
periodisasasi tersebut seiring bersamaan dengan perkembangan pola pikir manusia
mulai saat zaman Purbakala (Yunani) pola pemikiran bersifat Kosmosentris, saat
Abad Pertengahan pola pemikiran bersifat Antroposentris, saat zaman Modern pola
pemikirannya individualis, rasionalis dan materialis kemudian sekarang ini era
Post Modern pola pemikiran cenderung bersifat majemuk dan dinamis.
Setiap perubahan pola pemikiran manusia tersebut
berkorelasi dengan perubahan perkembangan kebutuhan tiap zamannya. Begitu pula
sekarang ini Post Modern, lahir karena kegagalan dan telah usangnya cita-cita zaman Modern. Dimana zaman Modern dengan sebagian pemikiran dan
cita-citanya sudah tidak layak dijadikan acuan, sudah tidak layak diperjuangkan
secara utuh namun harus disesuaikan dengan hal-hal yang dirasakan sekarang,
yaitu yang mana tidak diketemukan dalam semangat modernisasi tersebut.
Para
ahli mengkategorikan keadaan saat ini sebagai zaman Post Modern, dimana kemudian
dikenal sebagai Post Modernisme Hukum. Kalau demikian, bagaimana Postmodernisme berkembang hingga sekarang?
Apa saja dampak munculnya Post Modernisme Hukum bagi bidang hukum?
Post Modernisme pada
dasarnya memfokuskan diri pada teori kritis, berbasis pada kemajuan dan
emansipasi. Kemajuan dan emansipasi adalah dua hal yang saling berkaitan,
seperti yang dinyatakan oleh Hubermas[1]
bahwa keberadaannya ditunjang oleh sains dan teknologi. Sehingga pada
prakteknya memicu muncul dan berkembangnya aliran Teori Hukum Kritis (Critical Legal Theory) dan Teori Feminisme Hukum (Feminisme Legal Theory).
Lantas, kembali timbul beberapa pertanyaan, dimulai dari Bagaimana praktek
aliran Teori Hukum Kritis (Critical Legal Theory) dan Teori Feminisme Hukum (Feminisme Legal Theory) berkembang? Bagaimana praktek di Indonesia? Apakah keberadaannya telah menghasilkan hukum yang
berkeadilan? Hingga berujung pada pertanyaan, apakah dapat terlaksana secara menyeluruh aplikasi fungsionalnya dalam masyarakat?
I.b.Permasalahan
Sehingga dalam karya tulis ini sengaja
kami ungkapkan beberapa pertanyaan-pertanyaan tersebut diatas dalam bentuk pokok
permasalahan sebagai berikut:
1.Bagaimana Postmodernisme itu tumbuh dan berkembang dimasyarakat?
2.Bagaimana Teori Hukum Kritis (Critical
Legal Theory) dan Teori Feminisme Hukum (Feminisme Legal Theory) sebagai bagian refleksi Post Modernisme berkembang dimasyarakat?
3.Bagaimana pelaksanaan Teori
Hukum Kritis (Critical Legal Study)
dan Teori Feminisme Hukum (Feminisme
Legal Theory) dalam upaya merayu munculnya hukum yang berkeadilan di
Indonesia?
I.c. Maksud dan Tujuan
Penulisan karya tulis
ini sengaja disusun selain untuk pemenuhan tugas mata kuliah Teori Ilmu Hukum dimana
diketahui untuk mengetahui lebih dekat sejauh mana peran . Studi Hukum Kritis (Critical
Legal Study) dan Feminisme Hukum (Legal
Feminisme) sebagai bagian refleksi Post Modernisme dalam upaya merayu munculnya hukum yang berkeadilan di
Indonesia. Penulisan karya tulis ini diharapkan juga dapat
bermanfaat secara akademis sebagai sumbangan ilmu hukum maupun sekiranya dapat
menjadi titik tolak pengujian dan pemaknaan secara kritis terhadap berbagai
konsep, teori, dan paradigma Ilmu Hukum. Di samping itu, tulisan ini diharapkan
dapat pula menjadi masukan
bagi pembaharuan dan pengembangan
ilmu[2] hukum.
II. Pembahasan
II.a. Gairah Postmodernisme
Dalam Masyarakat
Apakah post modern itu? Ia mendominasi diskusi-diskusi
di dunia intelektual. Dimana saja, post modern merambah aneka wilayah kehidupan
manusia. Ia menyentuh wilayah seni, sastra, arsitek, politik model. Bahkan juga
wilayah religiusitas. Perkara agama tidak luput dari gempuran peradaban post
modern. Cara-cara hidup beragama mengalami pergeseran-pergeseran yang
mencengangkan sekaligus mendebarkan. Model-model berelasi dan menjamin hubungan
antar manusia juga terkontaminasi elemen-elemen peradaban ini.
Istilah
“postmodern” sekarang sangat sering digunakan, tetapi lebih sering lagi
disalahgunakan. Sangat sulit mendefinisikan postmodern dalam satu atau dua
kalimat saja karena postmodern pada hakikatnya berisikan aneka ragam, saling
berserakan, dan sering kali isinya saling bertolak belakang, bahkan terkesan
seperti “kapal pecah” sehingga suatu definisi untuk itu memang tidak dibutuhkan.
Itulah dia watak postmodern, suatu ungkapan sangat populer, tetapi tanpa
definisi yang jelas.
Postmodernisme berasal dari kata post
dan modern. “Post” atau” pasca” secara literal mengandung arti sesudah, jadi
istilah Postmodernisme berarti era pasca modern berupa gugatan kepada
modernisme. Berkaitan dengan definisi Postmodernisme itu sendiri, belum ada
rumusan yang baku sampai saat ini, karena Postmodernisme sebagai wacana
pemikiran masih terus berkembang sebagai reaksi melawan modernisme yang muncul
sejak akhir abad 19.[3]
Pada dasarnya teori posmodernisme atau dikenal
dengan singkatan “POSMO” merupakan reaksi keras terhadap dunia modern. Berdasarkan
pandangan posmodernisme, pengikisan tingkat individualitas muncul bersamaan
dengan terbitnya kapitalisme dan rasionalitas. Faktor-faktor ini mengurangi
pentingnya hubungan pribadi dan menekankan aspek nonpersonal.
Postmodernisme merupakan
penolakan yang radikal terhadap pernikiran modern. Sebagaimana diketahui bahwa
paham falsafah modern ini dibentuk oleh Immanuel
Kant, Rene Descartes, dan David Hume.
Meskipun harus diakui bahwa pemikiran pada era modern tersebut telah juga
melakukan lompatan-lompatan, terutama dengan berkembangnya secara pesat ilmu
pengetahuan dan teknologi, yang menggantikan konsep pramode prailmiah yang
sangat menekankan pada kepercayaan, mitos, takhayul, cerita-cerita primitif,
dan hal-hal yang tidak logis
lainnya.
Di samping itu, bagi kaum postmodern, “perbedaan” merupakan inti dari
segala kebenaran. Karena itu, mereka’tidak mempercayai pada hal-hal yang
universal, harmonis, dan konsisten. Tidak ada musyawarah musyawarahan dalarn
mencari kebenaran dan menghadapi realitas. Yang ada hanyalah
perbedaan-perbedaan, dan perbedaan-perbedaan tersebut harus selalu dihormati.
Kaum postmodern percaya
bahwa tidak ada suatu yang transenden dalam realitas. Nietzsche mengatakan bahwa Tuhan sudah mati. Menurut paharn
postmodem, realitas yang sama dapat ditafsirkan secara berbeda – beda oleh
pihak yang berbeda – beda. Karena itu, tidak mengherankan jika Jacques Derrida, seorang pelopor aliran
postmodem, mengajak manusia untuk berhenti mencari kebenaran (sebagaimana yang
dilakukan oleh kaurn pencerahan), bahkan seyogianya kita membuang pengertian
kebenaran tersebut. Tidak ada kebenaran yang absolut, universal, dan permanen.
Yang ada hanyalah kebenaran menurut suatu komunitas tertentu saja. Yang
diperlukan bukanlah usaha mencari kebenaran, melainkan yang diperlukan adalah
percakapan dan penafsiran yang terus–menerus terhadap suatu realitas, tanpa
perlu memikirkan suatu kebenaran yang objektif.
Menurut Amin Abdullah ada tiga fenomena dasar
yang menjadi tulang pungung arus pemikiran postmodernsme yang ia
istilahkan dengan ciri-ciri strukur fundamental pemikiran Postmodernisme,
yaitu[4]:
1.Dekonstruktifisme
Hampir semua bangunan atau konstruksi dasar
keilmuan yang telah mapan dalam era modern, baik dalam bidang sosiologi,
psikologi, antropologi, sejarah, bahkan juga dalam ilmu-ilmu kealaman yang
selama ini dianggap baku –yang biasa disebut dengan grand theory- ternyata
dipertanyakan ulang oleh alur pemikiran Postmodernisme. Hal itu terjadi karena
grand theory tersebut dianggap terlalu skematis dan terlalu menyederhanakan
persoalan yang sesungguhnya serta dianggap menutup munculnya teori-teori lain yang
barangkali jauh lebih dapat membantu memahami realitas dan pemecahan masalah. Jadi
klaim adanya teori-teory yang baku, standar, yang tidak dapat diganggu gugat,
itulah yang ditentang oleh para pemikir Postmodernisme.
Para protagonis pemikiran Postmodernisme tidak
meyakini validitas “konstruksi”bangunan keilmuan yang ” baku” , yang “standar”
yang telah disusun oleh genarasi modernis. Standar itu dilihatnya terlalu
kaku dan terlalu skematis sehingga tidak cocok untuk melihat realitas
yang jauh lebih rumit. Dalam teori sosiologi modern, para ilmuan
cenderung untuk melihat gejala keagamaan sebagai wilayah pengalaman yang amat
sangat bersifat individu. Pengalaman keagamaan itu tidak terkait dan harus
dipisahkan dari kenyataan yang hidup dalam realitas social yang ada.
Era Postmodernisme ingin melihat suatu fenomena
social, fenomena keberagamaan, realitas fisika apa adanya, tanpa harus
terkurung oleh anggapan dasar atau teori baku dan standar yang diciptakan
pada masa modernisme. Maka konstruksi bangunan atau bangunan keilmuan
yang telah dibangun susah payah oleh generasi modernisme ingin diubah,
diperbaiki, dan disempurnakan oleh para pemikir postmodernis. dalam istilah
Amin Abdullah dikenal dengan “ deconstructionism” yakni upaya mempertanyakan
ulang teori-teori yang sudah mapan yang telah dibangun oleh pola pikir
modernisme, untuk kemudian dicari dan disusun teori yang lebih relevan dalam
memahami kenyataan masyarakat, realitas keberagamaan, dan realitas alam yang
berkembang saat ini.
2. Relativisme
Thomas S. Kuhn adalah salah seorang pemikir yang mendobrak
keyakinan para ilmuan yang bersifat positivistik. Pemikiran positivisme
memang lebih menggarisbawahi validitas hukum-hukum alam dan social yang
bersifat universal yang dibangun oleh rasio.
Manivestasi pemikiran Postmodernisme dalam hal
realitas budaya (nilai-nilai, kepercayaan agama, tradisi, budaya dan lainnya)
tergambar dalam teori-teori yang dikembangkan oleh disiplin antropologi. Dalam
pandangan antropolog, tidak ada budaya yang sama dan sebangun antara satu
dengan yang lain. Seperti budaya Amerika jelas berbeda dengan budaya Indonesia.
Maka nilai-nilai budaya jelas sangat beraneka ragam sesuai dengan latarbelakang
sejarah, geografis, demografis dan lain sebagainya. Dari sinilah nampak, bahwa nilai-nilai
budaya bersifat relatif, dalam arti antara satu budaya dengan budaya yang lain
tidak dapat disamakan seperti hitungan matematis. Dan hal ini sesuai dengan
alur pemikiran postmdernisme yaitu bahwa wilayah budaya, bahasa, cara berpikir
dan agama sangat ditentukan oleh tata nilai dan adat kebiasaan masing-masing.
Dari sinilah nampak jelas, bahwa para pemikir
Postmodernisme menganggap bahwa segala sesuatu itu sifatnya relative dan tidak
boleh absolut, karna harus mempertimbangkan situasi dan kondisi yang ada. Namun
konsepsi relativisme ini ditentang oleh Seyyed Hoessein Nasr, seorang pemikir
kontempor. Baginya tidak ada relativisme yang absolut lantaran hal itu akan
menghilangkan normativitas ajaran agama. Tetapi juga tidak ada pengertian
absolut yang benar-benar absolut, selagi nilai-nilai yang absolute itu dikurung
oleh historisitas keanusiaan itu sendiri.[5]
3. Pluralisme
Akumulasi dari ciri pemikiran Postmodernisme yaitu pluralisme. Era
pluralisme sebenarnya sudah diketahui oleh banyak bangsa sejak dahulu
kala, namun gambaran era pluralisme saat itu belum dipahami sepeti era
sekarang. Hasil teknologi modern dalam bidang transportasi dan komunikasi
menjadikan era pluralisme budaya dan agam telah semakin dihayati dan
dipahami oleh banyak orang dimanapun mereka berada. Adanya pluralitas budaya,
agama, keluarga, ras, ekonomi, social, suku, pendidikan, ilmu pengetahuan,
militer, bangsa, negara, dan politik merupakan sebuah realitas. Dan berkaitan
dengan paradigma tunggal seperti yang dikedepankan oleh pendekatan
kebudayaan barat modernis, develop, mentalis, baik dalam segi keilmuan, maupun
lainnya telah dipertanyakan keabsahannya oleh pemangku budaya-budaya di luar
budaya modern. Maka dalam konteks keindonesiaan khususnya, dari ketiga ciri
pemikiran Postmodernisme, nampaknya fenomena pluralisme lebih dapat diresapi
oleh sebagian besar masyarakat.[6]
Hal lain disampaikan oleh Akbar S. Ahmed yqng
menyatakan adanya delapan karakter sosiologis posmodernisme yang menonjol[7],
yaitu :
Satu, timbulnya pemberontakan secara kritis terhadap
proyek modernitas; memudarnya kepercayaan pada agama yang bersifat transenden
(meta-narasi); dan diterimanya pandangan pluralisme relativisme kebenaran.
Dua, meledaknya industri media massa, sehingga ia
bagaikan perpanjangan dari sistem indera, organ dan saraf kita, yang pada
urutannya menjadikan dunia menjadi terasa kecil. Lebih dari itu, kekuatan media
massa telah menjelma bagaikan “agama” atau “tuhan” sekuler, dalam artian
perilaku orang tidak lagi ditentukan oleh agama-agama tradisional, tetapi tanpa
disadari telah diatur oleh media massa, semisal program televisi.
Tiga, munculnya radikalisme etnis dan keagamaan.
Fenomena ini muncul diduga sebagai reaksi atau alternatif ketika orang semakin
meragukan terhadap kebenaran sains, teknologi dan filsafat yang dinilai gagal
memenuhi janjinya untuk membebaskan manusia, tetapi sebaliknya, yang terjadi
adalah penindasan.
Empat, munculnya kecenderungan baru untuk menemukan
identitas dan apresiasi serta keterikatan rasionalisme dengan masa lalu.
Lima, semakin menguatnya wilayah perkotaan (urban)
sebagai pusat kebudayaan, dan wilayah pedesaan sebagai daerah pinggiran. Pola
ini juga berlaku bagi menguatnya dominasi negara maju atas negara berkembang.
Ibarat negara maju sebagai “titik pusat” yang menentukan gerak pada “lingkaran
pinggir”.
Enam, semakin terbukanya peluang bagi klas-klas sosial
atau kelompok untuk mengemukakan pendapat secara lebih bebas. Dengan kata lain,
era posmodernisme telah ikut mendorong bagi proses demokratisasi.
Tujuh, era posmodernisme juga
ditandai dengan munculnya kecenderungan bagi tumbuhnya eklektisisme dan
pencampuradukan dari berbagai wacana, potret serpihan-serpihan realitas,
sehingga seseorang sulit untuk ditempatkan secara ketat pada kelompok budaya
secara eksklusif.
Delapan, bahasa yang digunakan dalam waacana
posmodernisme seringkali mengesankan ketidakjelasan makna dan inkonsistensi
sehingga apa yang disebut “era posmodernisme” banyak mengandung paradoks.
Filsuf yang Mengawali Perkembangan Postmodern
Yang sangat mempengaruhi perkembangan awal para
filsuf postmodern adalah Michel
Foucault, Jean-Francois Lyotard,
dan Jacques Derrida. Foucault
menggunakan pendekatan postmodern dengan menggunakan perspektif
historikal, yang dibangun dalam ide strukturalisme, tetapi untuk hal yang sama
menolak strukturalisme dengan re-historicizing dan destabilizing
struktur filsafat dari pemikiran-pemikiran Barat. Dirinya juga memikirkan
tentang bagaimana pengetahuan didefinisikan dan berubah dikarenakan praktek
kekuasaan. Sementara itu postmodernisme juga memiliki hubungan yang sangat
dekat dengan beberapa disiplin kontemporer akademis, yang menyolok adalah yang
berkaitan dengan cakupan sosiologi. Banyak dari asumsi yang dikemukakan
memiliki keterhubungan dengan feminist dan teori post-colonial.
Tulisan Lyotard
sebagian besar adalah berupa pemikiran tentang peran naratif dalam kebudayaan
manusia, dan khususnya tentang bagaimana peran tersebut berubah dan telah
meninggalkan modernitas dan memasuki era ”postindustrial” atau lazim dikenal dengan
kondisi postmodern. Dirinya membantah bahwa filsafat modern
melegitimasi klaim atas kebenaran (sebagaimana yang diklaim oleh para filsuf
filsafat modern) atas pemikiran mereka tentang dasar logis dan empiris, tetapi
lebih kepada dasar dari cerita-cerita yang diterima (atau ”metanarratives”)
tentang pengetahuan dan dunia – atau dengan apa yang diterminologikan oleh
Wittgenstein sebagai permainan bahasa (”language-games”). Lebih jauh lagi
Lyotard membantah bahwa dalam kondisi postmodern ini, ”metanarratives” tidak
akan berfungsi lagi dalam melegitimasi klaim akan suatu kebenaran. Dirinya
menyarankan bahwa dalam kebangkitan dari suatu keruntuhan ”metanarratives”
modern, masyarakat kemudian mengembangkan sebuah permainan bahasa
(”language-games”) yang baru – seseorang tidak dapat mengklaim tentang suatu
kebenaran mutlak selain dari merayakan hubungan dunia yang selalu berubah.
Derrida,
terhadapnya dekonstruksi yang diatribusikan, melakukan pendekatan terhadap
filsafat postmodern sebagai suatu bentuk kritisisi tekstual. Dirinya
mengkritisisi filsafat Barat yang memberikan perlakuan khusus terhadap konsep
keberadaan (”presence”) dan ”logos”, yang berLegalan dengan ketiadaan
(”absence”) dan penandaan (”marking) atau tulisan (”writing”). Derrida
sedemikian rupa men-deskonstruksi-kan filsafat Barat dengan menunjuan, sebagai
contoh, tentang bagaimana pandangan ideal Barat terhadap keberadaan ”logos”
yang menggangsir dengan menggunakan ekspresi bahwa sesuatu yang ideal adalah
dari bentuk penandaan (”markings”) oleh penulis yang tidak ada. Walaupun
demikian, untuk memperbesar paradoks ini, Derrida mereformulasikan kebudayaan
manusia sebaik ketiadaan kerjasama dari berkembangbiaknya penandaan dan
tulisan, dengan ketiadaan penulis.
Walaupun Derrida
dan Foucault disebutkan sebagai
filsuf postmodern, tetapi satu sama lain saling menolak banyak
pendapat lainnya. Seperti terhadap Lyotard, keduanya sangat skeptis terhadap
suatu kemutlakan atau universalitas klaim akan kebenaran. Tidak seperti Lyotard, bagaimanapun juga, mereka
(atau setidaknya) lebih pesimistis terhadap klaim sebagai pemerdeka
(”emancipatory”) terhadap pemainan bahasa yang baru; demikian halnya beberapa
diantara para filsuf itu lebih mengkaraterisasikan dirinya sebagai Post-Structuralist
dibandingkan sebagai Postmodernist.
Jennifer
Wicke (Postmodern Identity and the Legal
Subject),
dalam tulisannya penulis berupaya untuk memberikan suatu identifikasi
terhadap postmodernism, yang mana kehadirannya merupakan suatu
fenomena dan menimbulkan banyak kontradiksi dari berbagai kalangan. Salah
satunya dikarenakan postmodernism itu sendiri dengan melansir dari
konsep metanarasi yang disampaikan oleh Lyotard, memberikan suatu gambaran
tentang kompleksitas dan membawa paham antikemapanan. Yang oleh karenanya akan
memberikan suatu dampak tersendiri, baik berupa benturan atas pemikiran logis
yang mendominasi dalam konteks hukum itu sendiri.
Sementara itu identitas yang diberikan terhadap postmodern
adalah terbatas pada lingkup kebudayaan dikarenakan faktor prosedur ekonomi dan
sosial yang melatarbelakanginya. Sedangkan, pemahaman yang diberikan tentang
postmodern itu sendiri dianggapnya terlalu luas dan oleh karenanya menjadi
tidak relevan. Dirinya memberikan penilaian bahwa postmodern merupakan
bentuk dari perkembangan modernisasi tersebut, yang mana akan lebih mengena
apabila terbatas pada pendekatan materi dan dipandang sebagai suatu romantisasi
atau tampilan yang bersifat postmodernis.
Berdasarkan beberapa pandangan para ahli dan literatur hukum
menyimpulkan, lahir dan berkembangnya
Postmodernisme
telah menimbulkan dampak terhadap bidang hukum setidaknya sebagai berikut[8]:
a)
Otoritas hukum
lebih superior dari hukum positif;
b)
Teori tentag
kebenaran yang bersifat “enlightened” harus dirubah menjadi kebenaran
yang bersifat “systemic”
c)
Tidak ada satu
uniformitas dari nilai dalam suatu kebudayaan. Kebudayaan bersifat
multiplisitas dan heterogen;
d)
Metodologi
hukum harus berubah menjadi metodologi yang bersifat aksi;
e)
Merubah
kriteria rasionalitas bersifat unifersal
kepada rasionalitas yang perspektif;
f)
Keadilan hukum
yang dicari adalah keadilan “kreatif” yaitu suatu keadilan dalam masyarakat
yang aktif dimana standar sosial, teknologi, ekonomi dan etikanya yang terus
berubah;
g)
Reformulasi
dan reorientasi terhadap katagori formal untuk ditransformasi ke dalam katagori
fungsional;
h)
Membangun
proses judicial yang dapat menghargai pluralitas.
Postmodernisme
muncul untuk “meluruskan” kembali interpretasi sejarah yang dianggap otoriter.
Untuk itu postmodernisme menghimbau agar kita semua berusaha keras untuk
mengakui adanya identitas lain yang berada di luar wacana hegemoni.
Posmodernisme mencoba mengingatkan kita untuk tidak terjerumus pada kesalahan
fatal dengan menawarkan pemahaman perkembangan kapitalisme dalam kerangka genealogi (pengakuan bahwa proses
sejarah tidak pernah melalui jalur tunggal, tetapi mempunyai banyak “sentral”).
Postmodernisme
mengajak kaum kapitalis untuk tidak hanya memikirkan hal-hal yang berkaitan
dengan peningkatan produktivitas dan keuntungan saja, tetapi juga melihat pada
hal-hal yang berada pada alur vulgar material yang selama ini dianggap sebagai
penyakit dan obyek pelecehan saja.
Postmodernisme
sebagai suatu gerakan budaya sesungguhnya merupakan sebuah oto-kritik dalam
filsafat Barat yang mengajak kita untuk melakukan perombakan filosofis secara
total untuk tidak lagi melihat hubungan antar paradigma maupun antar wacana
sebagai suatu “dialektika” seperti yang diajarkan Hegel. Postmodernisme menyangkal bahwa kemunculan suatu wacana baru
pasti meniadakan wacana sebelumnya. Sebaliknya gerakan baru ini mengajak kita
untuk melihat hubungan antar wacana sebagai hubungan “dialogis” yang saling
memperkuat satu sama lain.
Sebagaimana telah dikemukakan pada
bagian terdahulu dalam tulisan ini,
banyaknya konsekwensi buruk yang
ditimbulkan oleh modernisme bagi kehidupan manusia dan alam, telah memicu
lahirnya suatu gerakan pemikiran yang diistilahkan dengan postmodernisme.
Pemikiran tentang postmodernisme itu sendiri
menurut Piliang[9] memiliki keberagaman, pluralitas,
dan kekayaan, tetapi sekaligus ketidakpastian dan indeterminansi yang
menciptakan berbagai kemungkinan hibrid, sinkretisme, pervesitas,
transvestisme, adhosisme, dan membiarkan di dalam dirinya kontradiksi,
keterpecahan diri, kemenduaan dan ironi.
Terlepas dari keberagaman pemikiran
itu, setidak-tidaknya ada suatu titik terang yang dipancarkan oleh
postmodernisme, yaitu adanya sebuah wawasan baru, meskipun menghadapi banyak
problema. Titik terang yang dapat diungkapkan dari ada postmodernisme ini
adalah bahwa postmodernisme telah mampu
menjauhkan dari segala sifat kemapanan,
kebuntuan, keangkuhan, imperialisme, etnosentrisme yang mewarnai dominan
hegemonik modernisme.
Dari anggapan sebagaimana yang diungkapkan
tersebut dan yang dapat diambil hikmah dan dijadikan sebagai suatu pijakan
dalam merestruktur apa yang telah didestruktur, merekonstruksi dari apa yang
telah didekontruksi oleh postmodernisme, niscaya postmodernisme akan dapat
memberikan tawaran-tawaran kehidupan yang lebih bermakna. Sehingga adanya gerakan pemikiran yang ingin merevisi
paradigma modern yang dilakukan oleh postmodernisme tidak perlu di
permasalahkan. Pada khakekatnya pemikiran ini muncul karena modernisme masih meninggalkan
sejumlah masalah yang kemudian diambil alih oleh postmodernisasi.
Postmodern
menerangkan dimana ”Perbedaan” merupakan inti dari segala kebenaran, oleh
karena itu Postmodern tidak mempercayai pada hal-hal yang universal, harmonis,
konsisten dan transendental. Postmodern ini kemudian merasuk ke
dalam bidang hukum dan bersama-sama dengan paham Realisme Hukum dan paham Kritis
Radikal seperti aliran Frankfurt di Eropa, mempolakan suatu aliran baru
dalam bidang hukum yang radikal yaitu “Aliran Hukum Kritis/Critical legal Theory
”, dengan tokohnya yang terkenal yaitu Roberto
Mangabeire Unger.
Dengan demikian, aliran Critical
legal Theory yang akan kita bahas pada bagian selanjutnya karya tulis ini merupakan
refleksi postmodern ke dalam bidang hukum mencoba memberikan suatu jawaban atau
minimal merupakan suatu kritikan terhadap kenyataan bahwa hukum pada akhir abad
ke-20 memang timpang, baik dari segi tataran teoritis, filsafat, maupun dalam
tataran praktisnya. Di samping itu, dengan pendekatan secara induktif, bergerak
dari kenyataan hukum yang diterapkan dalam masyarakat, menyebabkan para pemikir
hukum pada akhir abad ke-20 terpaksa harus mengakui beberapa premis hukum baru,
yang memporak-porandakan premis hukum yang lama.
II.b. Teori Hukum Kritis (Critical Legal Theory) dan Teori
Feminisme Hukum (Feminisme Legal Theory)
sebagai bagian Post Modernisme Hukum berkembang dimasyarakat
II.b. 1 Teori Hukum Kritis (Critical Legal Theory)
Latar Belakang dan Perkembangan
Sebagaimana
diketahui bahwa banyak kekecewaan terhadap filsafat,teori, dan praktek hukum
yang terjadi di paruh kedua dari abad ke-20. Sedangkan aliran lama yang mainstream saat itu., semisal
aliran realisme hukum, di samping perannya semakin tidak bersinar, semakin
tidak populer, dan juga ternyata tidak dapat menjawab berbagai tantangan zaman
di bidang hukum. Sangat terasa, terutama pada akhir abad ke-20, bahwa
diperlukan adanya suatu aliran dan gebrakan baru dalarn praktek, teori, dan
filsafat hukum untuk menjawab tantangan zaman tersebut. Maka, aliran Critical
legal Theory datang pada saat yang tepat dengan menawarkan diri sebagai pengisi
kekosongan dan kehausan akan doktrin – doktrin baru dalarn hukum kontemporer.
Lebih tepatnya Critical Legal Theory adalah suatu gerakan oleh akademisi
hukum beraliran kiri (leftist), yang lahir karena pembangkangan atas
ketidakpuasan terhadap teori dan praktek hukum yang ada pada dekade 1970-an,
khususnya terhadap teori dan praktek hukum dalam bidang-bidang :
- pendidikan hukum
- pengaruh politik yang
sangat kuat terhadap dunia hukum
- kegagalan peran hukum
dalam menjawab permasalahan yang ada
Critical Legal Theory mulai eksis dalam
dekade 1970-an yang merupakan hasil dari suatu konferensi tahun 1977 tentang Critical
Legal Theory di Amerika Serikat, sedangkan di Inggris gerakan Critical Legal Theory
dibentuk pada tahun 1984.
Pada koferensi Critical Legal Theory tahun
1974 dibicarakan tentang adanya kesenjangan yang besar antara hukum dalam teori
(Legal in box) dengan hukum dalam keyataan (Legal in action)
dan kegagalan dari hukum dalam merespon masalah-masalah yang terjadi dalam
masyarakat. Konferensi tersebut dihadiri oleh: Abel, Kennedy, Trubek, Heller, Macaulay, Tushnet, Horwitz, Rosenblatt, Unger.
Critical Race Theory (
Race – Crits )
Sebagaimana
diketahui bahwa konferensi pertama yang menandakan lahirnya gerakan Critical
legal Theory ini dibuat dalam tahun 1977 di University of Wisconsin, Medison,
dalam tahun 1977. Lebih kurang dua puluh tahun kemudian, muncul dua
pengembangan yang merupakan generasi kedua dari aliran Critical legal Theory,
yaitu aliran Critical feminist jurisprudence dan aliran Critical race theory.
Latar belakang lahirnya ajaran Critical
Legal Theory adalah :
“fokus sentral pendekatan
Critical Legal Theory adalah
untuk mendalami dan menganalisis keberadaan doktrin-doktrin hukum, pendidikan
hukum, dan praktek institusi hukumyang menopang dan mendukung sistem
hubungan-hubungan yang oppressive dan tidak egaliter. Teori kritis bekerja
untukmmengembangkan alternatif lain yang radikal, dan untuk menjajaki peran
hukum dalam menciptakan hubungan politik, ekonomi dan sosial yang dapat
mendorong terciptanya emansipasi kemanusiaan [10]
Aliran Critical
legal Theory mengritik aliran-aliran hukum yang sedang berkembang saat itu yang
diyakini oleh sebagian besar ahli hukum sebagai aliran modern dalarn hukum.
Aliran-aliran hukurn yang dibilang modern tersebut memiliki -karakteristik yang
liberal dan plural, sama dengan paham yang berlaku pada umumnya di
bidang-bidang sosial dan politik lainnya, Karena itu, ke dalam bidang hukum,
aliran-aliran hukum yang mendapat kecaman keras dari aliran Critical legal Theory
tersebut, disebut dengan liberalisirne dan pluralisme
hukum.
Aliran Critical
legal Theory juga banyak memberikan pandangannya yang secara langsung atau
tidak langsung berkaitan dengan sejarah hukum.
Selanjutnya,
kaum Critical legal Theory juga. Tidak percaya pada pandangan kaum
adaptationism, baik terhadap pandangan kaurn adaptationism yang deskriptif
maupun terhadap pandangannya yang normatif. Pandangan yang deskriptif dari kaurn adaptationism
menyatakan bahwa sejarah masa lalu hanya berisikan suatu daftar dari tema-tema
umurn saja, sedangkan pandangannya yang normatif menyatakan bahwa. masa kini
merupakan perbaikan yang terus-menerus terhadap masa lalu sehingga. apa yang
terjadi masa kini harus disambut dengan baik.
Sebenarnya, yang
pertama sekali mengembangkan terminologi “teori kritis” adalah mazhab
frankfurt, yang dipelopori oleh para anggota dari Institute for Social Research
dari University of Frankfurt, yang umumnya merupakan para sarjana berhaluan
kiri. Kemudian, istilah “teori kritis” ini, yang sebenarnya tidak begitu jelas
batas-batasnya, berkembang ke berbagai bidang ilmu, yang di kembangkan antara
lain oleh sarjana atau kelompok dari sarjana dalam bentuk teori-teori sebagai
berikut: Teori marxist dari
Frankfurt School, Teori semiotic and linguistic dari Julia Kristeva dan Roland
Barthes, Teori psychoanalythic dari Jacquest
Lacan, Critical legal Theory
dari Roberto Unger dan Duncan Kennedy, Teori queer, Teori
gender, Teori kultural, Teori Critical race, Teori radical
criminology.
Menyadari
akan kebobrokan hukum yang sudah sampai pada tataran teoretis dan filsafat ini,
maka pada akhir abad ke-20, tepatnya mulai dekade 1970-an, beberapa ahli hukum
mulai melihat hukum dengan kacamata. yang kritis, bahkan sangat kritis, dengan
gerakannya. yang terbilang revolusioner, akhirnya memunculkan suatu aliran baru
dalarn filsafat hukum, yang kemudian dikenal dengan sebutan “aliran hukum
kritis” (Critical legal Theory). Meskipun aliran Critical legal Theory belum
tentu juga mempunyai teori yang bersifat alternatif, tetapi paling tidak, dia
sudah punya. sejarah.
Konsep Critical Legal Theory
Aliran Critical Legal Theory meiliki
beberapa karakteristik umum sebagai berikut:
1. Aliran Critical Legal Theory ini mengkritik hukum yang berlaku yang
nyatanya memihak ke politik, dan sama sekli tidak netral
2.Ajaran
Critical Legal Theory ini mengkritik hukum yang sarat dan dominan dengan
ideologi tertentu.
3.Aliran
Critical Legal Theory ini mempunyai komitmen besar terhadap kebebasan
individual dengan batasan tertentu, karena aliran ini berhubungan dengan
emansipasi kemanusiaan
4.Ajaran
Critical Legal Theory ini kurang mempercayai bentu-bentuk kebenaran yang
abstrak dan pengetahuan yang benar-benar obyektif. Karena itu ajaran Critical
Legal Theory menolak keras ajaran-ajaran dalam positivisme hukum
5.Aliran
Critical Legal Theory ini menolak perbedaan antara teori dan praktek, dan
menolak juga perbedaan antara fakta dan nilai, yang merupakan karakteristik
dari paham liberal.
Pada prinsipnya aliran Critical Legal Theory
menolak anggapan ahli hukum tradisional yang mengatakan hukum itu objektif, hukum itu sudah tentu, serta hukum itu netral. Sebaliknya aliran hukum kritis mempunyai pandangan; hukum mencari legitimasi yang salah,
hukum dibelenggu oleh
kontradiksi-kontradiksi, tidak
ada yang namanya prinsip-prinsip dasar dalam hukum, hukum tidak netral
Dengan kata lain Critical
Legal Theory berada dalam posisi meminjam istilah oposisi, sehingga aliran ini tidak akan pernah berhenti untuk bergerak dan terus
mengkritisi hukum yang ada, karena jika aliran ini terdiam maka aliran ini akan
kembali terjebak pada positivisme hukum.
Di samping
itu, aliran Critical legal Theory ini juga berbeda secara konsepsi dengan
pendekatan hukum secara sosiologis (sociolegal Theory). Pendekatan
pada hukum secara sosiologis memiliki kelemahan utama berupa terabaikannya
karakter orientasi kebijaksanaan hukum (policy oriented). Khusus untuk
masalah ini, berbagai alternatif pendekatan baru telah dilakukan oleh para ahli
hukum, seperti munculnya ajaran berupa sosiologi hukum kritis (Critical
sociology of Legal) atau pendekatan pada hukum (dan juga pada fenomena
sosial lainnya) berupa pendekatan secara dialektikal yang modern, semacam yang
dilakukan oleh ahli pikir seperti Derrida,
atau bahkan seperti yang dimunculkankan oleh Hegel, yang kemudian dikembangkan lebih lanjut, antara. lain oleh Bhaskar, dengan doktrinnya berupa
“realisme kritikal dialektis” (dialectical Critical realism).
Pendekatan nonkonvensional terhadap hukum seperti ini sudah barang tentu sangat
bertentangan dengan pendekatan-pendekatan hukum secara klasik, yang terialu
menekankan pada cara berpikir “identitas” (identity thinking).
Critical
Legal Theory Menurut Roberto Unger
Ketika paham
formalisme tidak menggantungkan diri pada unsur-unsur dlluar hukum apa yang
mereka lakukan hanyalah melakukan analogl-analogi. Dengan demikian, apa
yang.mereka sebut sebagai penalaran hukum (legal reasoning) hanyalah semacam
permainan analogi saja yang tidak ada akhirnya. Padahal, hak-hak manusia dan
masyarakat tidak layak untuk selamanya dipertahankan hanya dengan menggunakan
analogi. Lihat saja, misalnya, bagaimana seorang mahasiswa hukum yang cerdas
dengan mudah dapat membantah keputusan hukum.
Roberto Unger mengakui tentang adanya penjabaran dari pihak yang boleh dibilang
konservatif terhadap kritik kaurn Critical legal Theory tentang formalisme.
Menurut pihak konservatif tersebut, kritikan oleh kaurn Critical legal Theory
tersebut hanya valid jika ditujukan terhadap konstruksi hukum yang sistematik
dari para, ahli hukurn yang sangat ambisius.dan tidak valid jika ditujukan
terhadap argumentasi yang khusus dan problem oriented dari pihak Legalyer dan
hakim dalarn praktek. Akan tetapi, menurut Unger, kritik kaum Critical legal
Theory terhadap ajaran formalisme, sebenarnya juga dalam rarigka mempertahankan
ajaran formalisnie dengan berbagai argumentasi, di samping,juga dalarn rangka
menunjukkan bahwa tidak benar tindakan yang memisahkan antara penalaran hukum (legal
reasoning) dan politik, ideologi, dan filsafat .[11]
Telaahan dari para
penganut aliran Critical Legal Theory terhadap hukum juga ikut membicarakan
antara peranan dari fakta (praktek) dan nilai (ide). Argumen konstruktif
mereka, yakni dalarn bentuk program-program institutional dan pelaksanaan
doktrin deviatidnist, menelaah hubungan antara praktek dan ide, yang selalu
dipengaruhi oleh konflik sosial yang diaktualisasi dalarn bbrbagai bentuk
eksperimen kolektif. Para penganut aliran Critical legal Theory menganalisis
dengan kritis terhadap doktrindoktrin hukum dan tradisi hukurn yang ada yang
mengikat manusia dan masyarakat. Menurut mereka, setiap tradisi penuh, dengan
hal-hal yang ambiguitas, yang sangat memungkinkan timbul argumentasi alternatif
yang bersifat persuasif.
Para pengritik membedakan antara fakta dan preskriptif (norma) sehingga mereka
sampai pada pendapat tentang ketidaklayakan dasardasar sekular mengenai suatu
putusan yang normatif., Dalam hal ini, peranan agama-agama dapat memperjelas
duduk persoalan yang mengajarkan bahwa apa yang imperatif dilakukan dalam hidup
adalah visi tentang kenyataan yang sebenarnya (ultimate reality). Para
pengritik percaya bahwa tanpa adanya hubungan antara visi dan imperatif, akan
sia-sialah dan tidak mempunyai dasar terhadap setiap usaha untuk mensakralkan
setiap perintah yang mesti diikuti oleh manusia.
Program – program Institusional dari Aliran Critical
Legal Theory
Para penganut aliran Critical legal Theory juga mengritik
pandangan modern tentang organisasi pemerintahan. Sebab, menurut para penganut
aliran Critical legal Theory tersebut bahwa setiap sarana untuk membatasi
kekuasaan hegara, akan cenderung juga merugikan masyarakat. Karena itu,
diperlukan suatu cara yang bersifat resolusi, di mana dapat terjadi pembatasan
kekuasaan negara tanpa membatasi aktivitas negara yang bersifat transformatif.
Karena
itu, dalam bidang ilmu nonsains, bahkan juga kemudian dalam ilmu sains itu
sendiri, terdapat gejolak – gejolak dalam bentuk pembangkangan, yang semakin
lama tensinya semakin tinggi. Gejolak tersebut yang kemudian mengkristal
menjadi protes yand akhirnya melahirkan aliran baru dengan cara pandang baru
terhadap dunia, manusia, dan masyarakat dbngan berbagai atributnya itu. Karena
sains juga mempunyai watak “anarkis”, maka pada awal mulanya setiap
pembangkangan dianggap sebagai konsekuensi dari perkembangan sains sehingga
pembangkangan tersebut dianggap wajar-wajar saja.
Teori hukum tradisional mengajarkan bahwa
hukum merupakan seperangkat aturan dan prinsip-prinsip yang memungkinkan
masyarakat mempertahankan ketertiban dan kebebasannya. Hukum harus netral dan
dapat diterapkan pada siapa saja. Konsep dan wacana yang ideal dalam hukum yang
pada akhir-akhir ini hanya dapat dijadikan sebagai pijakan dan cita-cita saja.
Teoretisi postmodern percaya bahwa hukum pada
prinsipnya tidak mempunyai dasar yang obyektif dan tidaka ada yang namanya
kebenaran sebagai tempat berpijaknya hukum. Hukum adalah kekuasaan dan
merupakan alat kekuasaan, sehingga kalangan teoretisi postmodern disebut juga
sebagai golongan antifoundationalists, yang mempunyai network
pemikiran dan merupakan pembela gerakan Critical Legal Theory.
Gerakan Critical Legal Theory tidak
berpijak pada satu model norma tertentu dan tidak pernah bertujuan untuk dapat
menemukan model norma tertentu. Gerakan ini mencoba untuk mencermati teori dan
praktek hukum yang sepenuhnya antitesis sehingga oposisinya juga tentu memiliki
argumennya sendiri. Karena itu sebagian orang menyebut bahwa gerakan
Critical Legal Theory tidak memiliki bentuk hakikatnya tetapi memiliki sejarah.
Critical Legal Theory
(selanjutnya disebut CLT) menawarkan analisis kritis terhadap hukum dengan melihat relasi suatu
doktrin hukum dengan realitas dan mengungkapkan kritiknya. berbeda dengan kaum
legis liberial, gerakan CLT ini memang ingin mengarahkan kritik mereka
mempunyai sumbangan bagi transformasi politik dalam masyarakat atau mempunyai
implikasi praksis. Kalangan CLT ingin mengedepankan analisis hukum yang
tidak hanya bertumpu semata-mata pada segi-segi doktrinal (internal
relation), tapi juga dengan mempertimbangkan berbagai faktor di luar itu
seperti preferensi-preferensi ideologis, bahasa, kepercayaan, nilai-nilai, dan
konteks politik dalam proses pembentukan dan aplikasi hukum (external
relation). CLT menuntut pemahamn terhadap kepustakaan fenomenologi,
post-struktualisme, dekonstruksi, dan linguistik untuk membantu memahami relasi
eksternal tersebut.
Salah satu bentuk
paling umum yang dipraktekkan oleh studi hukum kritis adalah dengan membedah
konsistensi internal dari sebuah teori, sebuah kesimpulan karakteristik yang
berLegalanan dengan teori hukum liberal. Cara mereka dalam mengembangkan diskursus mempunyai watak
oposan terhadap jurisprudensi dalam tradisi hukum liberal sehingga sejak awal
kehadirannya, gerakan ini mendapat perLegalanan dan tentangan keras dari
ahli-ahli hukum positivis dan kaum liberal. Dimana inti pemikiran liberal
adalah membangun teori tentang pemisahan hukum dengan politik dan otonomi atau
netralitas proses hukum.
Menurut
teori hukum relasional, ia dapat memberikan tempat yang penting bagi perhatian
tradisional atas teori hukum liberal tetapi juga pada saat yang sama
memungkinkan untuk mencapai tujuan kritis yang menandai perbedaan antara teori
hukum kritis dengan teori hukum liberal.
Varian Pemikiran Critical legal
Theory
Dalam prakteknya ada berbagai macam varian di dalam
arus Critical legal Theory. Varian itu disebabkan karena adanya beragam latar
belakang sumber intelektual dan orientasi politik dari para pemikir yang ada di
dalam Critical legal Theory. Walaupun memang berisiko mengakibatkan terjadinya
penyederhanaan dalam memandang Critical legal Theory, tetapi setidaknya dapat
disebutkan 3 (tiga) varian utama
dalam pemikiran Critical legal Theory ini, yaitu[12]:
- Arus pemikiran yang diwakili
oleh Unger, yang mencoba
mengintegrasikan 2 (dua) paradigma yang saling bersaing, yaitu paradigma
konflik dan paradigma konsensus.
- Arus pemikiran yang diwakili
oleh David Kairys, yang
mewakili tradisi pemikiran hukum marxis atau tepatnya mewarisi kritik
marxis terhadap hukum liberal yang dianggap hanya melayani sistem
kapitalisme. Arus pemikiran ini mempunyai kecenderungan kepada sosialisme
humanistik sebagai komitmen politiknya.
- Arus pemikiran yang diwakili
oleh Kennedy, yang menggunakan
metode ekletis yang membaurkan sekaligus perspektif strukturalis,
fenomenologis dan neo-marxis.
Roberto Unger
dalam bukunya mengakui tentang adanya penjabaran dari pihak yang boleh dibilang
konservatif terhadap kritik kaum Critical legal Theory tentang formalisme.
Menurut pihak konservatif tersebut, kritikan oleh kaum Critical legal Theory
tersebut hanya valid jika ditujukan terhadap konstruksi hukum yang sistematik
dari para ahli hukum yang sangat ambisius dan tidak valid jika ditujukan
terhadap argumentasi yang khusus dan problem oriented dari pihak Legalyer dan
hakim dalam praktek. Akan tetapi, menurut Unger, kritik kaum Critical legal Theory
terhadap ajaran formalisme, sebenarnya juga dalam rangka mempertahankan ajaran
formalisme dengan berbagai argumentasi, di samping, juga dalam rangka
menunjukkan bahwa tidak benar tindakan yang memisahkan antara penalaran hukum (legal reasoning) dan politik, ideologi,
dan filsafat.
Para penganut aliran Critical
Legal Theory juga mengritik pandangan modern tentang organisasi pemerintahan.
Sebab, menurut para penganut aliran Critical legal Theory tersebut bahwa setiap
sarana untuk membatasi kekuasaan negara, akan cenderung juga merugikan
masyarakat. Karena itu, diperlukan suatu cara yang bersifat resolusi, di mana
dapat terjadi pembatasan kekuasaan negara tanpa membatasi aktivitas negara yang
bersifat transformatif.
Critical Legal Theory
menyatakan bahwa masyarakat liberal dipenuhi dengan dominasi dan hierarkhi.
Kelas atas membentuk struktur yang berlaku bagi lainnya untuk memperlancar
kehidupannya. Negara hukum yang ideal adalah yang dapat menandai kontradiksi
dan hierarkhi dalam masyarakat liberal. Jika dikatakan bahwa hukum tidak
bertugas untuk menemukan kebenaran, tetapi menemukan kompleksitas yang telah
ada, maka teori hukum tidak akan bermakna tanpa teori sosial.
Kebenaran pernyataan
tentang kehidupan sosial sesungguhnya telah dikondisikan oleh seluruh sistem
sosial yang berlaku. Kebenaran bersifat relatif menurut masyarakat tertentu
atau kelompok sejarah tertentu. Seseorang secara keseluruhan struktur sosial
adalah produk sejarah, bukan alam. Sejarah dipenuhi dengan
pertentangan-pertentangan, dan aturan sosial merupakan garis pemisah yang
menggambarkan posisi masing-masing. Kekuatan menjadi hak, kepatuhan menjadi
tugas, dan untuk sementara pembagian hierarkhi sosial menjadi kabur.
Critical Legal Theory
mencoba untuk mempengaruhi realitas sosial. Struktur yang ada merupakan
penggunaan kepercayaan dan asumsi yang menciptakan suatu masyarakat dalam realitas
hubungan antar manusia. Struktur kepercayaan atau ideology tersebut memiliki
potensi terselubung dalam tendensinya untuk mempertahankan dinamikanya sendiri
untuk menciptakan doktrin hukum yang menyalahkan kondisi dan alam. Bagi Critical
legal Theory, kesadaran hukum adalah alat yang berhubungan dengan pikiran untuk
melakukan penindasan. Hal ini merupakan cara untuk menyembunyikan atau
menghindari kebenaran fundamental bahwa segala sesuatu itu dalam proses
perubahan dan kehadiran.
Namun demikian, walaupun
ada beragam arus pemikiran dalam Critical legal Theory ini, para pemikir Critical
legal Theory tersebut tetaplah bersatu dalam pokok pemikiran yang tidak puas
dan melancarkan kritik terhadap paradigma hukum liberal. Untuk mengkritisi
doktrin hukum yang telah terbentuk selama ini, Critical legal Theory
menggunakan metode[13]:
v Trashing,
yaitu dilakukan untuk mematahkan atau menolak pemikiran hukum yang telah
terbentuk. Teknik trashing dilakukan untuk menunjukkan kontradiksi dan
kesimpulan yang bersifat sepihak berdasarkan asumsi yang meragukan.
v Deconstruction,
adalah membongkar pemikiran hukum yang telah terbentuk. Dengan melakukan
pembongkaran ini, maka dapat dilakukan rekonstruksi pemikiran hukum.
v Genealogy,
adalah penggunaan sejarah dalam menyampaikan argumentasi. Genealogy digunakan
karena interpretasi sejarah sering didominasi oleh pihak yang memiliki
kekuatan. Interpretasi sejarah ini yang kemudian digunakan untuk memperkuat
suatu konstruksi hukum.
IV.b. 2 Teori Feminisme Hukum (Feminisme Legal Theory)
Feminisme
sebagai filsafat dan gerakan berkaitan dengan Era Pencerahan di Eropa yang
dipelopori oleh Lady Mary Wortley
Montagu dan Marquis de Condorcet.Setelah
Revolusi Amerika 1776 dan Revolusi Prancis pada 1792 berkembang pemikiran bahwa
posisi perempuan kurang beruntung daripada pria dalam realitas sosialnya. Ketika itu, perempuan, baik dari kalangan
atas, menengah ataupun bawah, tidak memiliki hak-hak seperti hak untuk
mendapatkan pendidikan, berpolitik, hak atas milik dan pekerjaan.Oleh karena
itulah, kedudukan perempuan tidaklah sama dengan pria di hadapan hukum.Pada
1785 perkumpulan masyarakat ilmiah untuk perempuan pertama kali didirikan di
Middelburg, sebuah kota di selatan Belanda.
Kata
feminisme dicetuskan pertama kali oleh aktivis sosialis utopis, Charles Fourier pada tahun
1837.Pergerakan yang berpusat di Eropa ini berpindah ke Amerika dan berkembang
pesat sejak publikasi John Stuart Mill,
"Perempuan sebagai Subyek" (The Subjection of Women) pada tahun
(1869).Perjuangan mereka menandai kelahiran feminisme Gelombang Pertama.
Pada
awalnya gerakan ditujukan untuk mengakhiri masa-masa pemasungan terhadap
kebebasan perempuan. Secara umum kaum perempuan (feminim) merasa dirugikan
dalam semua bidang dan dinomor duakan oleh kaum pria (maskulin) dalam bidang
sosial, pekerjaan, pendidikan, dan politik khususnya - terutama dalam
masyarakat yang bersifat patriarki. Dalam masyarakat tradisional yang
berorientasi Agraris, kaum pria cenderung ditempatkan di depan, di luar rumah, sementara
kaum perempuan di dalam rumah. Situasi ini mulai mengalami perubahan ketika
datangnya era Liberalisme di Eropa dan terjadinya Revolusi Perancis di abad
ke-XVIII yang merambah ke Amerika Serikat dan ke seluruh dunia.
Adanya
fundamentalisme agama yang melakukan opresi terhadap kaum perempuan memperburuk
situasi.Di lingkungan agama Kristen terjadi praktek-praktek dan khotbah-khotbah yang menunjang hal ini
ditilik dari banyaknya gereja menolak adanya pendeta perempuan, dan beberapa
jabatan "tua" hanya dapat dijabat oleh pria.
Pergerakan
di Eropa untuk "menaikkan derajat kaum perempuan" disusul oleh
Amerika Serikat saat terjadi revolusi sosial dan politik. Di tahun 1792 Mary Wollstonecraft membuat karya tulis
berjudul "Mempertahankan Hak-hak Perempuan" (Vindication of the Right
of Woman) yang berisi prinsip-prinsip feminisme dasar yang digunakan dikemudian
hari.
Pada
tahun 1830-1840 sejalan terhadap pemberantasan praktek perbudakan, hak-hak kaum
prempuan mulai diperhatikan dengan adanya perbaikan dalam jam kerja dan gaji
perempuan , diberi kesempatan ikut dalam pendidikan, serta hak pilih.
Menjelang
abad 19 feminisme lahir menjadi gerakan yang cukup mendapatkan perhatian dari
para perempuan kulit putih di Eropa.Perempuan di negara-negara penjajah Eropa
memperjuangkan apa yang mereka sebut sebagai keterikatan (perempuan) universal
(universal sisterhood).
Pada
tahun 1960 munculnya negara-negara baru, menjadi awal bagi perempuan
mendapatkan hak pilih dan selanjutnya ikut ranah politik kenegaraan dengan
diikutsertakannya perempuan dalam hak suara parlemen.Gelombang kedua ini
dipelopori oleh para feminis Perancis seperti Helene Cixous (seorang Yahudi
kelahiran Aljazair yang kemudian menetap di Perancis) dan Julia Kristeva
(seorang Bulgaria yang kemudian menetap di Perancis) bersamaan dengan kelahiran
dekonstruksionis, Derrida. Dalam the Laugh of the Medusa, Cixous mengkritik
logosentrisme yang banyak didominasi oleh nilai-nilai maskulin.Banyak
feminis-individualis kulit putih, meskipun tidak semua, mengarahkan obyek
penelitiannya pada perempuan-perempuan dunia ketiga seperti Afrika, Asia dan
Amerika Selatan.
Gelombang
feminisme di Amerika Serikat mulai lebih keras bergaung pada era perubahan
dengan terbitnya buku The Feminine Mystique yang ditulis oleh Betty Friedan di
tahun 1963. Buku ini ternyata berdampak luas, lebih-lebih setelah Betty Friedan
membentuk organisasi perempuan bernama National Organization for Woman (NOW) di
tahun 1966 gemanya kemudian merambat ke segala bidang kehidupan. Dalam bidang
perundangan, tulisan Betty Fredman berhasil mendorong dikeluarkannya Equal Pay
Right (1963) sehingga kaum perempuan bisa menikmati kondisi kerja yang lebih
baik dan memperoleh gaji sama dengan pria untuk pekerjaan yang sama, dan Equal
Right Act (1964) dimana kaum perempuan mempunyai hak pilih secara penuh dalam
segala bidang
Gerakan
feminisme yang mendapatkan momentum sejarah pada tahun 1960-an menunjukan bahwa
sistem sosial masyarakat modern dimana memiliki struktur yang pincang akibat
budaya patriarkal yang sangat kental. Marginalisasi peran perempuan dalam
berbagai aspek kehidupan, khususnya ekonomi dan politik, merupakan bukti
konkret yang diberikan kaum feminis.
Gerakan
perempuan atau feminisme berjalan terus, sekalipun sudah ada
perbaikan-perbaikan, kemajuan yang dicapai gerakan ini terlihat banyak
mengalami halangan. Di tahun 1967 dibentuklah Student for a Democratic Society
(SDS) yang mengadakan konvensi nasional di Ann Arbor kemudian dilanjutkan di
Chicago pada tahun yang sama, dari sinilah mulai muncul kelompok
"feminisme radikal" dengan membentuk Women´s Liberation Workshop yang
lebih dikenal dengan singkatan "Women´s Lib". Women´s Lib mengamati
bahwa peran kaum perempuan dalam hubungannya dengan kaum pria dalam masyarakat
kapitalis terutama Amerika Serikat tidak lebih seperti hubungan yang dijajah
dan penjajah. Di tahun 1968 kelompok ini secara terbuka memprotes diadakannya
"Miss America Pegeant" di Atlantic City yang mereka anggap sebagai
"pelecehan terhadap kaum perempuan dan komersialisasi tubuh
perempuan". Gema ´pembebasan kaum perempuan´ ini kemudian mendapat
sambutan di mana-mana di seluruh dunia.
Pada
tahun 1975, "Gender, development, dan equality" sudah dicanangkan
sejak Konferensi Perempuan Sedunia Pertama di Mexico City tahun 1975. Hasil
penelitian kaum feminis sosialis telah membuka wawasan jender untuk
dipertimbangkan dalam pembangunan bangsa. Sejak itu, arus pengutamaan jender
atau gender mainstreaming melanda dunia.
Memasuki
era 1990-an, kritik feminisme masuk dalam institusi sains yang merupakan salah
satu struktur penting dalam masyarakat modern. Termarginalisasinya peran
perempuan dalam institusi sains dianggap sebagai dampak dari karakteristik
patriarkal yang menempel erat dalam institusi sains. Tetapi, kritik kaum
feminis terhadap institusi sains tidak berhenti pada masalah
termarginalisasinya peran perempuan. Kaum feminis telah berani masuk dalam
wilayah epistemologi sains untuk membongkar ideologi sains yang sangat
patriarkal. Dalam kacamata eko-feminisme, sains modern merupakan representasi kaum
pria yang dipenuhi nafsu eksploitasi terhadap alam. Alam merupakan representasi
dari kaum perempuan yang lemah, pasif, dan tak berdaya. Dengan relasi
patriarkal demikian, sains modern merupakan refleksi dari sifat maskulinitas
dalam memproduksi pengetahuan yang cenderung eksploitatif dan destruktif.
Berangkat
dari kritik tersebut, tokoh feminis seperti Hilary Rose, Evelyn Fox Keller, Sandra Harding, dan Donna Haraway menawarkan suatu
kemungkinan terbentuknya genre sains yang berlandas pada nilai-nilai perempuan
yang antieksploitasi dan bersifat egaliter. Gagasan itu mereka sebut sebagai
sains feminis(feministscience).
Aliran-aliran
Feminisme[15]
a. Feminisme liberal
Apa
yang disebut sebagai Feminisme Liberal ialah pandangan untuk menempatkan
perempuan yang memiliki kebebasan secara penuh dan individual. Aliran ini
menyatakan bahwa kebebasan dan kesamaan berakar pada rasionalitas dan pemisahan
antara dunia privat dan publik. Setiap manusia -demikian menurut mereka- punya
kapasitas untuk berpikir dan bertindak secara rasional, begitu pula pada
perempuan. Akar ketertindasan dan keterbelakngan pada perempuan ialah karena
disebabkan oleh kesalahan perempuan itu sendiri. Perempuan harus mempersiapkan
diri agar mereka bisa bersaing di dunia dalam kerangka "persaingan bebas"
dan punya kedudukan setara dengan lelaki.
Feminis
Liberal memilki pandangan mengenai negara sebagai penguasa yang tidak memihak
antara kepentingan kelompok yang berbeda yang berasl dari teori pluralisme
negara. Mereka menyadari bahwa negara itu didominasi oleh kaum Pria, yang
terlefleksikan menjadi kepentingan yang bersifat “maskulin”, tetapi mereka juga
menganggap bahwa negara dapat didominasi kuat oleh kepentiangan dan pengaruh
kaum pria tadi. Singkatnya, negara adalah cerminan dari kelompok kepentingan
yang memeng memiliki kendali atas negara tersebut. Untuk kebanyakan kaum
Liberal Feminis, perempuan cendrung berada “didalam” negara hanya sebatas warga
negara bukannya sebagai pembuat kebijakan. Sehingga dalam hal ini ada
ketidaksetaraan perempuan dalam politik atau bernegara. Pun dalam perkembangan
berikutnya, pandangan dari kaum Feminist Liberal mengenai “kesetaraan”
setidaknya memiliki pengaruhnya tersendiri terhadap perkembangan “pengaruh dan
kesetaraan perempuan untuk melakukan kegiatan politik seperti membuat kebijakan
di sebuah negara”. Tokoh aliran ini
adalah Naomi Wolf, sebagai "Feminisme Kekuatan" yang merupakan
solusi. Kini perempuan telah mempunyai kekuatan dari segi pendidikan dan
pendapatan, dan perempuan harus terus menuntut persamaan haknya serta saatnya
kini perempuan bebas berkehendak tanpa tergantung pada lelaki.
Feminisme
liberal mengusahakan untuk menyadarkan perempuan bahwa mereka adalah golongan
tertindas. Pekerjaan yang dilakukan perempuan di sektor domestik dikampanyekan
sebagai hal yang tidak produktif dan menempatkab perempuan pada posisi
sub-ordinat. Budaya masyarakat Amerika yang materialistis, mengukur segala
sesuatu dari materi, dan individualis sangat mendukung keberhasilan feminisme.
Perempuan-perempuan tergiring keluar rumah, berkarier dengan bebas dan tidak
tergantung lagi pada pria.
Akar
teori ini bertumpu pada kebebasan dan kesetaraaan rasionalitas. Perempuan
adalah makhluk rasional, kemampuannya sama dengan pria, sehingga harus diberi
hak yang sama juga dengan pria. Permasalahannya terletak pada produk kebijakan
negara yang bias gender. Oleh karena itu, pada abad 18 sering muncul tuntutan
agar prempuan mendapat pendidikan yang sama, di abad 19 banyak upaya
memperjuangkan kesempatan hak sipil dan ekonomi bagi perempuan, dan di abad 20
organisasi-organisasi perempuan mulai dibentuk untuk menentang diskriminasi
seksual di bidang politik, sosial, ekonomi, maupun personal. Dalam konteks
Indonesia, reformasi hukum yang berprerspektif keadilan melalui desakan 30%
kuota bagi perempuan dalam parlemen adalah kontribusi dari pengalaman feminis
liberal.
b. Feminisme
Radikal
Trend
ini muncul sejak pertengahan tahun 1970-an di mana aliran ini menawarkan
ideologi "perjuangan separatisme perempuan". Pada sejarahnya, aliran
ini muncul sebagai reaksi atas kultur seksisme atau dominasi sosial berdasar
jenis kelamin di Barat pada tahun 1960-an, utamanya melawan kekerasan seksual
dan industri pornografi. Pemahaman penindasan pria terhadap perempuan adalah
satu fakta dalam sistem masyarakat yang sekarang ada. Dan gerakan ini adalah
sesuai namanya yang "radikal".
Feminis
Liberal memilki pandangan mengenai negara sebagai penguasa yang tidak memihak
antara kepentingan kelompok yang berbeda yang berasl dari teori pluralisme
negara. Mereka menyadari bahwa negara itu didominasi oleh kaum Pria, yang
terlefleksikan menjadi kepentingan yang bersifat “maskulin”, tetapi mereka juga
menganggap bahwa negara dapat didominasi kuat oleh kepentiangan dan pengaruh
kaum pria tadi. Singkatnya, negara adalah cerminan dari kelompok kepentingan
yang memeng memiliki kendali atas negara tersebut. Untuk kebanyakan kaum
Liberal Feminis, perempuan cendrung berada “didalam” negara hanya sebatas warga
negara bukannya sebagai pembuat kebijakan. Sehingga dalam hal ini ada ketidaksetaraan
perempuan dalam politik atau bernegara. Pun dalam perkembangan berikutnya,
pandangan dari kaum Feminist Liberal mengenai “kesetaraan” setidaknya memiliki
pengaruhnya tersendiri terhadap perkembangan “pengaruh dan kesetaraan perempuan
untuk melakukan kegiatan politik seperti membuat kebijakan di sebuah negara”.
Aliran
ini bertumpu pada pandangan bahwa penindasan terhadap perempuan terjadi akibat
sistem patriarki. Tubuh perempuan merupakan objek utama penindasan oleh
kekuasaan pria. Oleh karena itu, feminisme radikal mempermasalahkan antara lain
tubuh serta hak-hak reproduksi, seksualitas (termasuk lesbianisme), seksisme,
relasi kuasa perempuan dan pria, dan dikotomi privat-publik. "The personal is political" menjadi
gagasan anyar yang mampu menjangkau permasalahan prempuan sampai ranah privat,
masalah yang dianggap paling tabu untuk diangkat ke permukaan. Informasi atau
pandangan buruk (black propaganda) banyak ditujukan kepada feminis radikal.
Padahal, karena pengalamannya membongkar persoalan-persoalan privat inilah
Indonesia saat ini memiliki Undang Undang RI no. 23 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT).
c. Feminisme
Post Modern
Ide
Postmo - menurut
anggapan mereka - ialah ide yang anti absolut dan anti otoritas, gagalnya
modernitas dan pemilahan secara berbeda-beda tiap fenomena sosial karena
penentangannya pada penguniversalan pengetahuan ilmiah dan sejarah. Mereka
berpendapat bahwa gender tidak bermakna identitas atau struktur sosial.
d. Feminisme
Anarkis
Feminisme Anarkisme lebih bersifat
sebagai suatu paham politik yang mencita-citakan masyarakat sosialis dan
menganggap negara dan sistem patriaki-dominasi lelaki adalah sumber
permasalahan yang sesegera mungkin harus dihancurkan.
e. Feminisme
Marxis
Aliran
ini memandang masalah perempuan dalam kerangka kritik kapitalisme. Asumsinya
sumber penindasan perempuan berasal dari eksploitasi kelas dan cara produksi.
Teori Friedrich Engels dikembangkan menjadi landasan aliran ini—status
perempuan jatuh karena adanya konsep kekayaaan pribadi (private property).
Kegiatan produksi yang semula bertujuan untuk memenuhi kebutuhan sendri berubah
menjadi keperluan pertukaran (exchange). Pria mengontrol produksi untuk
exchange dan sebagai konsekuensinya mereka mendominasi hubungan sosial.
Sedangkan perempuan direduksi menjadi bagian dari property. Sistem produksi
yang berorientasi pada keuntungan mengakibatkan terbentuknya kelas dalam
masyarakat—borjuis dan proletar. Jika kapitalisme tumbang maka struktur
masyarakat dapat diperbaiki dan penindasan terhadap perempuan dihapus.
Kaum
Feminis Marxis, menganggap bahwa negara bersifat kapitalis yakni menganggap
bahwa negara bukan hanya sekadar institusi tetapi juga perwujudan dari
interaksi atau hubungan sosial. Kaum Marxis berpendapat bahwa negara memiliki
kemampuan untuk memelihara kesejahteraan, namun disisi lain, negara bersifat
kapitalisme yang menggunakan sistem perbudakan kaum perempuan sebagai pekerja.
f. Feminisme
sosialis
Sebuah
faham yang berpendapat "Tak Ada Sosialisme tanpa Pembebasan Perempuan. Tak
Ada Pembebasan Perempuan tanpa Sosialisme". Feminisme sosialis berjuang
untuk menghapuskan sistem pemilikan. Lembaga perkawinan yang melegalisir
pemilikan pria atas harta dan pemilikan suami atas istri dihapuskan seperti ide
Marx yang menginginkan suatu masyarakat tanpa kelas, tanpa pembedaan gender.
Feminisme
sosialis muncul sebagai kritik terhadap feminisme Marxis. Aliran ini mengatakan
bahwa patriarki sudah muncul sebelum kapitalisme dan tetap tidak akan berubah
jika kapitalisme runtuh. Kritik kapitalisme harus disertai dengan kritik
dominasi atas perempuan. Feminisme sosialis menggunakan analisis kelas dan
gender untuk memahami penindasan perempuan. Ia sepaham dengan feminisme marxis
bahwa kapitalisme merupakan sumber penindasan perempuan. Akan tetapi, aliran
feminis sosialis ini juga setuju dengan feminisme radikal yang menganggap
patriarkilah sumber penindasan itu. Kapitalisme dan patriarki adalah dua
kekuatan yang saling mendukung. Seperti dicontohkan oleh Nancy Fraser di
Amerika Serikat keluarga inti dikepalai oleh pria dan ekonomi resmi dikepalai
oleh negara karena peran warga negara dan pekerja adalah peran maskulin,
sedangkan peran sebagai konsumen dan pengasuh anak adalah peran feminin. Agenda
perjuagan untuk memeranginya adalah menghapuskan kapitalisme dan sistem
patriarki. Dalam konteks Indonesia, analisis ini bermanfaat untuk melihat
problem-problem kemiskinan yang menjadi beban perempuan
g. Feminisme postkolonial
Dasar
pandangan ini berakar di penolakan universalitas pengalaman perempuan. Pengalaman
perempuan yang hidup di negara dunia ketiga (koloni/bekas koloni) berbeda
dengan prempuan berlatar belakang dunia pertama. Perempuan dunia ketiga
menanggung beban penindasan lebih berat karena selain mengalami pendindasan
berbasis gender, mereka juga mengalami penindasan antar bangsa, suku, ras, dan
agama. Dimensi kolonialisme menjadi fokus utama feminisme poskolonial yang pada
intinya menggugat penjajahan, baik fisik, pengetahuan, nilai-nilai, cara
pandang, maupun mentalitas masyarakat. Beverley Lindsay dalam bukunya
Comparative Perspectives on Third World Women: The Impact of Race, Sex, and
Class menyatakan, “hubungan ketergantungan yang didasarkan atas ras, jenis
kelamin, dan kelas sedang dikekalkan oleh institusi-institusi ekonomi, sosial,
dan pendidikan.”
h. Feminisme Nordic
Kaum
Feminis Nordic dalam menganalisis sebuah negara sangat berbeda dengan pandangan
Feminis Marxis maupun Radikal.Nordic yang lebih menganalisis Feminisme
bernegara atau politik dari praktek-praktek yeng bersifat mikro. Kaum ini
menganggap bahwa kaum perempuan “harus berteman dengan negara” karena kekuatan
atau hak politik dan sosial perempuan terjadi melalui negara yang didukung oleh
kebijakan sosial negara[16].
2. Tokoh
Dalam Perkembangan Feminisme (Gender)
a. Foucault
Meskipun
ia adalah tokoh yang terkenal dalam feminism, namun Foucault tidak pernah
membahas tentang perempuan. Hal yang diadopsi oleh feminism dari Fault adalah
bahwa ia menjadikan ilmu pengetahuan “dominasi” yang menjadi miliki
kelompok-kelompok tertentu dan kemudian “dipaksakan” untuk diterima oleh
kelompok-kelompok lain, menjadi ilmu pengetahuan yang ditaklukan. Dan hal
tersebut mendukung bagi perkembangan feminisme.
b. Naffine
Kita
dipaksa “meng-iya-kan” sesuatu atas adanya kuasa atau power Kuasa bergerak
dalam relasi-relasi dan efek kuasa didasarkan bukan oleh orang yang dipaksa
meng “iya”kan keinginan orang lain, tapi dirasakan melalui ditentukannya
pikiran dan tingkah laku. Dan hal ini mengarah bahwa individu merupakan efek
dari kuasa.
c. Derrida
(Derridean)
Mempertajam
fokus pada bekerjanya bahasa (semiotika) dimana bahasa membatasi cara berpikir
kita dan juga menyediakan cara-cara perubahan. Menekankan bahwa kita selalu
berada dalam teks (tidak hanya tulisan di kertas, tapi juga termasuk dialog
sehari-hari) yang mengatur pikiran-pikiran kita dan merupakan kendaraan untuk
megekspresikan pikiran-pikiran kita tersebut. Selain itu juga penekanan terhdap
dilakukanya “dekonstruksi” terhadap kata yang merupakan intervensi ke dalam
bekerjanya bahasa dimana setelah melakukan dekonstruksi tersebut kita tidak
dapat lagi melihat istilah yang sama dengan cara yang sama.
II.c. Pelaksanaan Teori Hukum Kritis (Critical Legal Theory) dan Teori
Feminisme Hukum (Feminisme Legal Theory)
dalam upaya merayu munculnya hukum yang berkeadilan di Indonesia
II.c.1.Pelaksanaan Teori Hukum Kritis (Critical Legal Theory) di Indonesia.
Critical Legal Theory bagi kalangan hukum di
Indonesia sendiri masih dianggap baru. Perkembangan awal Critical legal Theory
digunakan oleh kalangan aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) untuk memahami
kebijakan dan struktur hukum yang menindas. Hal ini sesuai dengan mainstream
utama pemikiran LSM yang cenderung kritis dengan menggunakan
pemikiran-pemikiran marxian dan mazhab kritis. Namun untuk saat ini kita tidak
tahu apakah para aktivis LSM masih cenderung kritis dalam
pemikiran-pemikirannya.
Saat ini Indonesia berada dalam masa transisi yang
ditandai oleh pergulatan kekuatan-kekuatan yang mencoba untuk mendominasi baik
dari dalam negeri maupun kekuatan kapitalis internasional yang sangat
membahayakan. Maka sudah saatnya pemikiran-pemikiran Critical legal Theory juga
digunakan untuk memahami, mengkritik, membangun, dan menerapkan hukum di
Indonesia yang terlalu banyak carut marut di dalam penerapannya.
Pemikiran Critical Legal Theory juga telah
mempengaruhi pemikiran para ahli hukum di Indonesia. Hal itu dapatlah dipahami,
karena keadaan hukum di Indonesia mirip dengan keadaan hukum di Amerika Serikat
pada saat Critical Legal Theory ini lahir. Jadi dengan demikian, penggunaan
metode yang ditawarkan oleh Critical Legal Theory memang akan sangat membantu
dalam memberikan pemahaman terhadap keadaan hukum di Indonesia. Kajian-kajian
hukum Critical Legal Theory sangat relevan digunakan dalam menganalisis
proses-proses hukum di Indonesia, dalam menganalisis proses-proses pembentukan
dan penerapannya maupun untuk menganalisis suatu doktrin hukum dan bagaimana ia
telah berfungsi mengabsahkan suatu sistem sosial atau kebijakan tertentu. Memang
sangat diperlukan suatu analisis yang dapat mengungkap “hidden political intentions” di belakang berbagai konsep, doktrin
dan proses-proses hukum di sini”.
Penggunaan Critical legal Theory untuk menganalisis
hukum di Indonesia paling mudah dilakukan terhadap pembangunan hukum pada masa
orde baru. Pada masa inilah dapat diakses secara jelas kepentingan-kepentingan
ekonomi dan politik dominan yang menghuni ide tata hukum. Kepentingan atas
pertumbuhan ekonomi memaksa kebijakan kemudahan usaha dengan jalan pemberian
kredit yang disertai dengan deregulasi dan debirokratisasi. Kepentingan
pembangunan ekonomi mensyaratkan stabilitas politik yang dilakukan dengan cara
mengurangi hak sipil dan politik rakyat
Selain hal tersebut, perlu pula diperhatikan, bahwa
pada saat menggunakan metode Critical legal Theory dalam menganalisis keadaan
hukum di Indonesia, tetaplah harus memperhatikan faktor-faktor tertentu yang
sifatnya khas dan mungkin hanya ada di Indonesia, seperti faktor nilai-nilai
budaya masyarakat Indonesia atau faktor agama. Bahkan untuk faktor agama ini,
akan sangat mungkin menjadi hambatan untuk dilakukannya kajian yang kritis
terhadap hukum. Misalnya saja, tentu akan sulit untuk melakukan kajian yang
kritis terhadap kemungkinan dibentuknya peraturan perundang-undangan yang
melegalkan perkawinan sesama jenis kelamin (homoseksual) di Indonesia. Hambatan
terhadap kajian kritis semacam itu, tentu terletak pada keyakinan masyarakat
Indonesia yang pada umumnya masih menganggap bahwa perilaku homoseksual itu
adalah dilarang oleh agama (bertentangan dengan nilai agama). Jadi, dalam
menggunakan metode Critical legal Theory ini tetaplah “kontekstualisasinya
diperlukan”[17].
Untuk mendistribusikan produk
dengan kata lain bagaimana barang tersebut harus laku dijual dipasar., maka
perusahaan harus jeli membuat strategi.
Dalam
prakteknya Critical Legal Theory dapat ditemui dalam beberapa produk hukum
seperti penerapan Undang-undang No. 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pada dasarnya agar
hukum perlindungan konsumen tidak muncul, maka diasumsikan kedudukan produsen
dan konsumen adalah sejajar (tetapi pada akhirnya UU itu juga berlaku). Produk
hukum yang baru sulit lahir dikarenakan adanya kesepakatan antara pengusaha dan
penguasa agar produk hukum yang nantinya akan dibuat, dapat meminimalisir
hal-hal yang dapat merugikan pihak pengusaha tersebut
Dalam pengertian ilmu ekonomi
secara sederhana yang memusatkan perhatiannya pada persoalan pokok tentang
bagaimana manusia dapat mempertahankan hidupnya dan bagaimana manusia
mengatasi persoalan tersebut. Semua itu disebabkan karena adanya masalah kelangkaan
materialisme dan dimensi kejiwaan manusia yang berhadapan dengan
kebutuhan yang tidak terbatas Kebutuhan lebih besar dari kemampuan.
Dalam hubungan ini, maka
manusia dalam arti luas yakni sebabai masyarakat ekonomi mempunyai tugas
dan tanggung jawab yang besar yang harus diselesaikan yaitu harus mengadakan
mekanisme atau system bagaimana memproduksi barang dan jasa yang dibutuhkan dan
mengatur bagaimana hasil produksi didistribusikan.
Sebagai
contoh lain, terkait Undang-Undang Nomor
32 TAHUN 2004 Tentang Pemerintaha
Daerah. Pemikiran yang melatarbelakangi yaitu :
Pertama, bahwa UU
Pemda tersebut selain substansinya mengatur tentang otonomi daerah juga mengatur tentang pemilihan Kepala Daerah
secara langsung, yang tentu dalam proses pembentukan dan implementasinya sarat
dengan interaksi politik, karena
menyangkut langsung kepentingan partai-partai politik.
Kedua,
di banyak daerah implementasi UU tentang Pemda tersebut banyak menimbulkan konflik
politik dan gejolak di masyarakat, berkaitan dengan penyelenggaraan pemilihan
Kepala Daerah secara langsung, yang tentu sangat menarik untuk dijadikan
sebagai objek penelitian karena terjadinya diskongruensi antara das sein dan das sollen dengan dibentuknya UU Pemda tersebut.
Permasalahan muncul karena adanya jarak antara
harapan atau Das Sollen dengan
kenyataan atau Das Sein dibentuknya Undang-Undang No. 32
Tahun 2004, yaitu untuk mempercepat
otonomisasi di daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi guna mewujudkan
masyarakat yang lebih sejahtera dan adil. Kenyataan yang terjadi di masyarakat
pascakeluarnya Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 menunjukkan hal berbeda, banyak
protes dari masyarakat terkait dengan isi atau muatan UU Pemda tersebut[18] yang dianggap kurang menjamin kesamaan hak
warga negara di dalam hukum dan pemerintahan, gejolak dan kekacauan banyak
terjadi daerah yang menyebabkan terjadinya instabilitas daerah, yang semuanya itu menjadi faktor kendala bagi
percepatan pelaksanaan otonomi daerah[19].
II.c.2.Pelaksanaan
Teori Feminisme Hukum (Feminisme Legal
Theory) di Indonesia.
II.c.2.a.Pelaksanaan Teori Feminisme
di Indonesia
Pada Zaman Majapahit terdapat Ratu
dari kaum perempuan yaitu Ratu Tri Buana Tungga Dewi (1328) yang kemudian
melahirkan raja Majapahit Hayam Wuruk. Sejarah juga mengisahkan Aceh pernah di pimpin seorang perempuan
muslim, yaitu Sulthanah Seri Tajul Alam
Safiatuddin Johan. Ia di nobatkan sebagai Raja Aceh sejak tahun 1641-1699. Di Sulawesi Selatan, Siti
Aisyah We Tenriolle menjadi Ratu Ternate
tahun 1856. Di Kutai Kalimantan
Timur pernah pula berkuasa seorang
Ratu yaitu Ratu Aji Sitti.
Pada masa perjuangan, sejumlah
pahlawan perempuan seperti Raden Ayu
Ageng Serang, Cut Nyak Dien yang
tetap tegar memimpin perlawanan memimpun perlawanan mengusir penjajah meskipun
di belit penyakit dan kebutaan, begitu pula dengan Cut Meutia yang memimpin Pria dalam peperangan di aceh. Mereka ikut
andil dalam mengatur Strategi dan Taktik sekaligus ikut mengangkat senjata
dalam berbagai peperangan.
Demikian pula perempuan-perempuan
tempo dulu yang gigih memperjuangkan emansipasi dalam arti pembebasan diri
melawan adat, kekolotan,dan keterbelakangan. RA. Kartini adalah sebagai Pelopor
Emansipasi Perempuan. Baginya
masalah pokok yang di hadapi indonesia adalah masalah pendidikan. Pendidikan
bukan hanya di tujukan pada kaum pria tetapi pendidikan bagi kaum perempuan
juga perlu di perhatikan, suatu pemikiran yang cukup berani pada saat itu.
Dalam bidang pendidikan ini pula
muncul seorang tokoh perempuan dari Sumatra yaitu Rohana Koedoes adik Sultan
Sahrir. Ia mendirikan sekolah Kerajinan
Perempuan pada tahun 1911.
Sekolah tersebut di rancang untuk memberikan pengetahuan keagamaan, termasuk
baca tulis arab dan ketrampilan, agar perempuan mandiri secara ekonomi. Pada tahun
1912, ia menerbitkan surat
kabar perempuan yaitu Soenting Melayu, yang artinya perempuan melayu. Surat kabar
tersebut memberi kontribusi yang amat berarti dalam sejarah gerakan perempuan
Indonesia dan makin memperkuat laju perkembangan wacana kemajuan perempuan.
Dalam waktu yang bersamaan di Medan
terdapat di medan terbit surat kabar Perempuan
Bergerak, untuk mendukung sosialisasi dan advokasi gagasan kemajuan
perempuan. Di Jawa juga terbit Wanito Sworo yang di pelopori Siti Soendari, adik dr.Sutomo pada tahun 1912.
Berbeda dengan Rohana Koedoes , Rahmah
el-yunusiah lebih mementingkan pendidikan agama , ia mendirikan Diniyah School Putri pada tahun 1923.
Tokoh lain seperti Dewi Sartika dan Nyai Ahmad Dahlan, yang juga
berkecimpung di dunia pendidikan dan Sosial Keagamaan.[20]
Gerakan feminisme di Indonesia
sendiri semakin diperkuat dengan digelarnya Kongres Perempuan Indonesia yang secara nasional pertama kali
diadakan pada tahun 1928 di kota Yogyakarta. Kongres
tersebut dihadiri oleh beberapa organisasi perempuan di Indonesia yang sudah
berdiri. Bisa dikatakan, kongres perempuan ini menjadi fondasi utama dari
munculnya organisasi-orgaisasi perempuan di Indonesia. Setelah kongres
perempuan tersebut, pergerakan feminisme yang muncul kebanyakan menentang poligini,
serta praktik poligami. Salah satu organisasi yang terkenal yakni gerakan Istri
Sedar, yang kemudian menjadi Gerwis (Gerakan Perempuan Sosialis), dan menjadi
cikal bakal dari Gerwani.
Salah satu organisasi yang mendapat
sorotan pada awal kemerdekaan saat itu adalah Sarekat Rakyat. Organisasi ini
yang dinilai paling progresif dan mayoritas anggotanya adalah perempuan dari
golongan bawah seperti buruh dan petani. Gerakan ini pun mendapat reaksi keras
dari pemerintah Indonesia, karena dinilai memiliki keterlibatan dengan PKI,
yang pada saat itu dianggap sebagai gerakan yang radikal. Tokoh perempuan
seperti Sukaesih dan Munasisah serta beberapa anggota
lainnya pun dikirim ke kampung konsentrasi Belanda yang terletak di Digul.
Jika diakses lebih dalam, sama
halnya dengan di luar negeri yang memiliki beberapa fase atau gelombang gerakan
feminisme (first wave, second wave,
third wave), di Indonesia pun demikian adanya.
Kita bisa meruntut di awal-awal pergerakan sebelum kemerdekaan, gerakan
feminisme ditujukan agar kaum perempuan bisa memperoleh pendidikan seperti
halnya kaum pria. Setelah itu, pada masa Orde Lama, perempuan menuntut agar
mereka ikut dilibatkan dalam kebijakan elite politik. Pada masa Orde Baru,
dimana kita melihat kaum perempuan sangat dibatasi perannya di ranah publik,
menuntut agar ruang gerak mereka tidak dibatasi seperti dalam masalah memilih
pekerjaan. Yang terbaru di era Reformasi saat ini, gerakan feminisme di
Indonesia menyuarakan tindak anti kekerasan yang kerap dialami perempuan, serta
tema liberal lainnya.
Namun apapun kondisinya, gerakan
feminisme tetaplah menjadi sebuah usaha berat yang diperjuangkan oleh Kartini
pada awalnya, serta diteruskan oleh perempuan-perempuan Indonesia sesudahnya.
Semangat yang diserukan oleh para feminis pun masih saling berkaitan satu sama
lain, yakni membawa persamaan hak antara pria dan perempuan, serta menghapuskan
diskriminasi yang kerap ditujukan kepada kaum perempuan baik di wilayah
domestik maupun ruang publik.
II.c.2.b.Perkembangan
Organisasi Perempuan
v Masa Pra
Kemerdekaan
Gerakan feminisme di Indonesia muncul sekitar abad
18-19 M. Tokoh feminisme di Indonesia abad ke-19 R.A. Kartini karena dipengaruhi oleh politik etis, sadar akan
kaumnya masih terbelakang dan terkukung dalam budaya feodalis. Ia lahir di
Jepara tahun 1870, ia merupakan anak ke-2 dari bupati Jepara. Bermula dari
kebiasaannya menulis. Sering kali Ia menulis sebuah surat yang berisikan amarah yang selama
ini mengengkang kebebasannya dan menghalangi emansipasi rakyat jawa, kaum perempuan
khususnya. Inti dari gerakan Kartini ialah untuk pengarahan, pengajaran agar
anak-anak perempuan mendapatkan pendidikan Selain Kartini pada generasi berikutnya muncul pahlawan emansipasi
lainnya seperti Dewi Sartika
berasal dari Priangan Jawa Barat, Rohana Kudus Sumatera Barat.
Semakin
lama tumbuhlah kesadaran akan emansipasi kaum perempuan. Akhirnya dibentuk
sebuah wadah dalam bentuk organisasi. Organisasi dibentuk guna kepentingan kaum
perempuan untuk memperjuangkan perempuan dalam perkawinan mempertinggi
kecakapan dan pemahaman ibu sebagai pengatur dan pengontrol dalam rumah tangga.
Hal ini bisa dilakukan dengan cara memperluas lapangan pekerjan,
memperbaiki pendididkan dan mepertinggi kecakapan.
Pada abad ke
20 muncullah organisasi perempuan secara formal. Seperti Putri Mardika tahun
1912 di Jakarta. Organisasi ini dibentuk bertujuan untuk memajukan
pendidikan bagi perempuan serta berusaha membiasakan perempuan untuk tampil di
depan umum dengan tanpa rasa takut. Kemudian muncul organisasi perempuan di
Tasik 1913, Sumedang dan Cianjur 1916, Ciamis 1917. Organisasi ini di bentuk
bertujuan menyediakan sekolah khusus bagi perempuan yang bernama Kartini di
Jakarta, kemudian didirikan lagi di Madiun, Malang, Cirebon, Pekalongan,
Indramayu dan Rembang. Namun sekolah ini kebanyakan diikuti oleh para kaum
bangsawan.
Organisasi perempuan yang bergaris agama muncul pada tahun 1920. Di
Yogyakarta ada Aisyiyah sebuah organisasi perempaun dibentuk dalam rangka
pemberharuan Muhamdiyah yang bediri tahun 1917. Dan juga pada thun 1925 berdiri
Serikat Putri Islam.
Munculnya kesadaran politik ditandai dengan adanya kongres perempuan
tanggal 22-23 desember 1928 di Yogyakarta. Kongres perempuan ini diadakan oleh
organisasi-organisasi perempuan antara lain Perempuan Utama. Puteri Indonesia, Perempuan
Katholik, Perempuan Muljo, Aisyiyah, Serikat Isteri Buruh Indonesia, Jong Java,
Perempuan Taman Siswa. Yang menghasiklan keputusan bahwa kesamaan derajat akan
tercapai dalam susunan masyarakat yang tidak terjajah. Tahun 1932 organisasi
Isteri Sedar di mana organisasi ini tidak hanya terlibat dalam perjuangan
kemerdekaan. Organisasi ini dianggap sebagai organisasi yang radikal. Karena
menyimpang dari kaedah agama.
Masa penajahan jepang, Jepang membentuk Fujinkai Jawa Hokokai untuk
mobilitas pasukan Jepang di Asia Timur Raya. Jugun Ianfu sejenis perkumpulan perempuan peenghibur tentara Jepang, diam-diam
melakukan pegerakan kerja sama dengan tentara Nasional Indonesia. Selama
perjuangan anti kolonial perempuan juga aktor vokal dalam gelanggang
politik. Di Semarang oleh 7
(tujuh) wakil organisasi perempuan membentuk Gerwis. Selama Gerwis berjalan ada suatu masalah dari
segi anggota, anggota gerwis hanya berasal dari kalangan atas saja. Akhirnya 4 Juli 1954 diubah namanya menjadi
Gerwani yang beranggotakan lebih menyeluruh dari lapisan masyarakat.
Para anggota gerwani berasal dari kalangan yang berbeda secara ideologi
tapi di dalam tubuh gerwani berbagai macam ideologi tesebut dapat dilebur
menjadi satu. Gerwani berbasis ormas yang anggotanya berasal dari kalangan
biasa dan anggota Gerwani lebih plural. Namun secara ideologis gerwani
mempunyai kedekatan dengan PKI. Tahun
1960 gerwani mulai condong ke kiri dan aktif mendukung progam Soekarno yang
mendapat dukungan dari PKI. Saat terjadi gerakan 30 September PKI terjadi
pembunuhan seacara besar-besaran. Diduga Gerwani terlibat dalam pembantaian
para jendral di lubang buaya, mengiris-iris tubuh para jendral sambil menari
telanjang akibatnya para anggota gewani baik yang terlibat ataupun tidak
dibunuh dan dipenjarakan, meskipun dugaan tehadap gerwani demikan namun gewani
memepunyai jasa dan juga Gerwani bukanlah organisasi perempuan yang hanya
memperjuangkan kaumnya tapi juga ikut dalam memperjuangkan kesatuan negara
NKRI.
v Pasca Kemerdekaan
Organisasi Perempuan yang ada masih terus memperjuangkan kesamaan politik ,
hak memperoleh pendidikan dan kesempatan kerja. Persolan yang di hadapi adalah
tindakan diskriminatif antara laki laki dan perempuan.
Ada beberapa hal
yang telah di capai :
a.
Hak politik yang sama antara pria dan perempuan setidaknya secara legal
telah di jamin dalam pasal 27 UUD 1945. Lalu lahir UU 80/1958,yang menjamin adanya prinsip pembayaran yang sama
dalam hal pekerjaan yang sama perempuan dan pria tidak di beda-bedakan dalam
sistem penggajian.
b.
Maria Ulfa kemudian terpilih menjadi menteri sosial pada kabinet Syahrir II (1946)
dan S.K.Trimurti menjadi menteri perburuhan pada kabinet Amir Syarifuddin
(1947-1948), gerakan perempun indonesia yang juga berhasil menempatkan
perempuan sebagai anggota parlemen.
v Masa Orde
Baru
Di masa orba
sudah ada kelompok-kelompok organisasi perempuan untuk membantu pemerintah dan
menyebar luaskan ideologi gender mereka adalah :
a. Dharma
Wanita untuk istri PNS
b. Dharma
Pertiwi untuk istri yang suaminya bekerja di militer dan kepolisian
c. Pembinaan
Kesejahteraan Keluarga (PKK) untuk perempuan yang tidak termasuk kelompok pertama dan kedua,
khususnya untuk yang di pedesaan.
v Masa
Reformasi
Pada era tahun 2000-an, terjadi perubahan dari gerakan
sosial ke gerakan politik, dari jalan ke parlemen.Gerakan perempuan menjadi
bagian yang tak terpisahkan dari gerakan reformasi untuk demokrasi. Pada tahun
2001 muncul presiden perempuan pertama di Indonesia, Megawati Soekarno Putri. Tahun 2003 : UU no 12 Tahun 2003 (pasal 65 ayat1) memuat
kuota 30% keterwakilan perempuan dan
pada tahun 2004 lahir undang-undang tentang perlindungan terhadap perempuan.
II.c.2.c Praktek Penentuan Kuota Perempuan dalam Kepengurusan
Partai Politik dan Pencalonan Legislatif
Penentuan kuota Perempuan dalam
Kepengurusan Partai Politik
Hak
konstitusional warga negara Indonesia yang juga merupakan hak asasi manusia
telah diakomodir secara jelas dalam UUD 1945 sebagai dasar hukum tertinggi yang
berlaku di Indonesia. Sebagai dasar hukum tertinggi tentu saja aturan ini
memayungi segala perundangan di bawahnya. Dalam ketentuan-ketentuan dalam UUD
1945 sering kali didengan frasa “setiap orang”, “segala warga negara”, ataupun
“setiap warga negara”. Hal ini menunjukan bahwa ketentuan dalam UUD 1945
ditujukan kepada seluruh masyarakat Indonesia tanpa membedakan apapun, atau
dengan kata lain, ketentuan ini berlaku baik untuk pria maupun untuk perempuan.
Hak-hak tersebut diakui dan dijamin untuk setiap warga negara baik pria maupun
perempuan.
Dalam
pasal 27 ayat (1) UUD 1945 dinyatakan bahwa “Segala warga negara bersamaan
kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan
pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Pemerintah disini dapat
diartikan sebagai pemerintah dalam arti luas yang meliputi eksekutif,
legislatif, dan yudikatif. Dari situ nampak bahwa pasal tersebut telah ber
sifat emansipatif bagi semua warga negara. Hanya saja, emansipastif belum tentu
peka gender. Apabila hanya berhenti pada pasal itu, maka hak perempuan dalam
berpolitik tentu belum dapat diperjuangkan dikarenakan permasalahan utama bukan
terletak pada terbukanya kesempatan melainkan pada dorongan baik dari
masyarakat maupun dari institusi bagi perjuangan hak politik perempuan. Karena
yang menjadi soal adalah pandangan sosial masyarakat terhadap perempuan dalam
ranah politik, masyarakat beranggapan bahwa politik bukan merupakan wilayah
yang pantas untuk dimasuki perempuan.
Hal
ini perlu disadari bahwa pemenuhan hak konstitusional warga negara berangkat
dari kondisi masyarakat yang sungguh beragam, karena memang bangsa Indonesia
sendiri adalah bangsa yang majemuk. Meskipun secara de yure segala
kesempatan telah terbuka bagi semua elemen masyarakat, namus secara de facto
beberapa elemen masyarakat kesulitan untuk mengakses beberapa hak yang
sebenarnya telah terbuka dan emansipatif. Seperti telah dibahas sebelumnya
bahwa struktur sosialah yang menjadi faktor yang meminggirkan golongan
masyarakat tertentu dalam mengakses hak-haknya.
Pasal
28I ayat (2) UUD 1945 menyatakan “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang
bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan
terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”. Pasal ini memberikan angin
segar dan memperkokoh ketentuan dalam pasal 28H UUD 1945.
Namun,
dalam perlindungan dan pemenuhan hak konstitutif yang tidak mempertimbangkan
adanya perbedaan dalam masyarakat justru akan semakin memperjauh atau bahkan
mempertahankan perbedaan yang sudah ada dalam masyarakat. Dalam pemenuhan hak
konstitusional, seringkali diperlukan suatu tindakan khusus terhadap kelompok
tertentu. Tindakan ini dilakukan dengan tujuan agar setiap warga negara
memperoleh perlindungan dan kemampuan yang sama dalam rangka perlindungan dan
pemenuhan hak konstitusionalnya. Oleh karena itu UUD 1945 mengakomodir
kebutuhan itu dalam pasal 28H ayat (2) “Setiap orang berhak mendapat kemudahan
dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna
mencapai persamaan dan keadilan”. Kebijakan ini adalah kebijakan yang sering
disebut dengan affirmatif. Dalam
kebijakan ini, salah satu kelompok masyarakat yang memerlukan tindakan khusus
dalam rangka melindungi dan mewujudkan hak konstitusionalnya adalah perempuan.
Posisi perempuan dalam masyarakat seringkali diletakan dibawah pria. Namun
meskipun hak-haknya telah diakomodir dalam perundang-undangan, seringkali hak
tersebut sulit untuk diakses. Hal ini diakibatkan karena pandangan yang bias
gender terhadap perempuan yang mengakibatkan terjadinya diskriminasi gender
secara de facto meskipun hal ini telah dihilangkan secara de yure.
Stereotipe terhadap perempuan masih kuat berkembang di masyarakat
meskipun hak-hak perempuan telah emansipatif. Dalam lingkup hukum, di Indonesia
telah lahir beberapa undang-undang yang responsif gender, contohnya adalah
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, dan Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD.
Dalam
undang-undang ini secara jelas nyata mengharuskan partai politik menyertakan
paling sedikit 30% perempuan dalam kepengurusannya, serta mencalonkan paling
sedikit 30% perempuan dari keseluruhan calon anggota legislatif yang
diikutsertakan dalam proses pemilihan umum. Apabila diakses dari aspek hak
asasi manusia, yaitu dari Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia, maka pengaturan tentang keterwakilan perempuan sudah seirama dan
merupakan pencerminan dari perjuangan hak asasi perempuan. Karena memang dalam
pasal 46 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia secara
eksplisit menyatakan bahwa sistem pemilihan umum, kepartaian, pemilihan anggota
badan legsislatif dan sistem pengangkatan dibidang eksekutif dan yudikatif
harus menjamin keterwakilan perempuan sesuai dengan persyaratan yang
ditentukan.
Berdasarkan
Sensus Penduduk 2000, jumlah perempuan Indonesia mencapai 101.625.816 jiwa atau
sekitar 51 persen dari seluruh jumlah penduduk. Maka yang menjadi persoalan
adalah, mengapa dari jumlah pendudukan Indonesia yang kondisinya semacam ini
justru hanya mengatur tentang keterwakilan perempuan sebesar 30% dalam
kepengurusan partai politik dan pencalonan legislatif, apalagi dari 30%
perempuan yang merupakan calon legislatif belum tentu akan tercapai 30% dari
jumlah perempuan yang berhasil duduk di kursi legislatif.
Dalam
penjelasan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang partai Politik dijelaskan
bahwa Undang-Undang ini mengakomodasi beberapa paradigma baru seiring dengan
menguatnya konsolidasi demokrasi di Indonesia, melalui sejumlah pembaruan yang
mengarah pada penguatan sistem dan kelembagaan Partai Politik, yang menyangkut
demokratisasi internal Partai Politik, transparansi dan akuntabilitas dalam
pengelolaan keuangan Partai Politik, peningkatan kesetaraan gender dan
kepemimpinan Partai Politik dalam sistem nasional berbangsa dan bernegara.
Dalam Undang-Undang ini diamanatkan perlunya pendidikan politik dengan
memperhatikan keadilan dan kesetaraan gender yang ditujukan untuk meningkatkan
kesadaran akan hak dan kewajiban, meningkatkan partisipasi politik dan
inisiatif warga negara, serta meningkatkan kemandirian dan kedewasaan dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Untuk itu, pendidikan politik terus
ditingkatkan agar terbangun karakter bangsa yang merupakan watak atau
kepribadian bangsa Indonesia yang terbentuk atas dasar kesepahaman bersama
terhadap nilai-nilai kebangsaan yang lahir dan tumbuh dalam kehidupan bangsa,
antara lain kesadaran kebangsaan, cinta tanah air, kebersamaan, keluhuran budi
pekerti, dan keikhlasan untuk berkorban bagi kepentingan bangsa. Diakses secara
historis, memang ini adalah undang-undang Partai Politik pertama yang
mencantumkan kuota affirmatif bagi perempuan, hal ini membuktikan bahwa
kesetaraan gender telah diakomodir disini dengan wujud penentuan kuota bagi
perempuan dengan tujuan perjuangan hak konstitusional perempuan.
Dalam
naskah akademik Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik,
disebutkan bahwa salah satu fungsi Partai Politik adalah sebagai sarana
pendidikan politik dan sarana rekrutmen politik, pendidikan politik disini
dimaknai bahwa partai politik akan mendidik masyarakatnya agar memiliki
kesadaran berpolitik yang memadai dalam bingkai Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Pendidikan politik ini diharapkan akan menyadarkan masyarakat akan
hak-haknya. Dimana perempuan adalah salah satu bagian dari masyarakat yang juga
perlu untuk memperoleh hak-hak berpolitiknya terutama setelah adanya pengaturan
tersebut diatas.
Pendidikan
politik juga erat kaitannya dengan rekrutmen politik yang dilakukan oleh partai
politik, karena partai politik tentu saja akan merekrut kader-kader yang
berkopenten untuk menjadi pengurus maupun untuk dijadikan calon dalam bursa
legislatif. Bagi kaum feminis liberal, pendidikan memiliki posisi yang
strategis bagi persamaan tingkat rasionalitas antara pria dan perempuan.
Pendidikan disini akan membuka pengetahuan politik yang memang merupakan hak
dari kaum perempuan agar dirinya dalam terlibat dalam partai politik pada
khususnya dan politik praktis pada umumnya.
Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum DPR, DPD, dan DPRD juga mengatur
tentang keterwakilan perempuan sebesar 30% dari jumlah keseluruhan calon
anggota legislatif yang dicalonkan oleh partai politik. Hanya saja, ketentuan
ini tidak dapat menjamin apakah jumlah perempuan yang berhasil menduduki kursi
legislatif apakah telah sesuai dengan ketentuan ataukah belum. Indonesia
sebagai negara demokrasi, telah melalakukan beberapa kali pemilihan umum dalam
sejarah negaranya. Tercatat telah 11 (sebelas) kali pemilihan umum sejak
Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Pemilihan umum
pertama tahun 1955 dan pemilihan umum terakhir pada 2014 ini. Kesebelas pemilu
tersebut dilaksanakan dalam 3 (tiga) era kepemimpinan, yakni masa orde lama,
orde baru, dan reformasi. Selama masa reformasi sendiri yang sedang kita
rasakan saat ini, Indonesia telah
melakukan 4 (empat) kali pemilihan umum, yakni tahun 1999, 2004, 2009
dan 2014.
Setiap
kali menjelang pemilihan umum, selalu saja terjadi perubahan undang-undang yang
mengatur tentang partai politik dan pemilihan umum. Pada pemilu tahun 1999,
pelaksanaan pemilihan umum diatur melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999
tentang Pemilihan Umum, sedangkan partai politik peserta pemilu diatur melalui
Undang- Undang Nomor 2 Tahun 1999. Kemudian pemilihan umum 2004. Menjelang
pemilihan umum 2004, undang-undang dirubah menjadi Undang-Undang Nomor 31 Tahun
2002 tentang Partai Politik, dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang
Pemilihan Umum Anggota DPR,DPD, dan DPRD. Undang-undang juga mengalami
perubahan kembali menjelang pemilihan umum 2009. Perubahan persebut menjadi
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, dan Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD.
Dan
terakhir menjelang pemilihan umum 2014 mendatang, undang-undang juga telah
disesuaikan oleh para anggota legislatif menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2011 tentang Partai Politik, dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang
Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Dalam 2 (tiga) pemilu terakhir yang
telah diselenggrakan di Indonesia, perempuan mulai menerima perhatian dalam
ranah politik. Terbukti pada tahun 2004 telah diatur mengenai keterwakilan
perempuan dalam kepengurusan partai politik dan pencalonan legislatif.
Ketentuan tentang pengaturan ini disebut dengan affirmatif atau tindakan khusus
sementara dalam rangka mendorong agar perempuan dapat terwakili di kepengurusan
partai politik dan pencalonan legislatif. Tindakan ini bukan merupakan
diskriminasi. Dalam pemilu tahun 1999, baik Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999
tentang Partai Politik maupun Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang
Pemilihan Umum belum ada yang mengatur tentang keterwakilan perempuan. Barulah
pada pemilihan umum tahun 2004 diatur mengenai keterwakilan perempuan dalam
kepengurusan partai politik dan pencalonan legislatif. Hal ini diatur melalui
Pasal 13 ayat (3) Undang- Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik
“Kepengurusan partai politik di setiap tingkatan dipilih secara demokratis
melalui forum musyawarah partai politik sesuai dengan anggaran dasar dan
anggaran rumah tangga dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender”.
Sedangkan pengaturan mengenai keterwakilan perempuan dalam pencalonan
legislatif telah diatur secara lebh jelas dalam Pasal 65 ayat(1) undang-Undang
Nomor 12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD “Setiap
Partai Politik Peserta Pemilu dapat mengajukan calon Anggota DPR, DPRD
Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap Daerah Pemilihan dengan
memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%”. Sedangkan dalam
perhelatan pemilihan umum tahun 2009, perempuan memiliki kuota baik dalam
kepengurusan partai politik maupun dalam pencalonan legislatif. Dalam
kepengurusan partai politik telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008
tentang Partai Politik pasal 2 ayat (2) “Pendirian dan pembentukan Partai
Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyertakan 30% (tiga puluh
perseratus) keterwakilan perempuan”, serta dalam ayat (5) “Kepengurusan Partai
Politik tingkat pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disusun dengan
menyertakan paling rendah 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan”.
Keterwakilan perempuan dalam kepengurusan partai politik juga diatur dalam
Pasal 20 “Kepengurusan Partai Politik tingkat provinsi dan kabupaten/kota
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) dan ayat (3) disusun dengan
memperhatikan keterwakilan perempuan paling rendah 30% (tiga puluh perseratus)
yang diatur dalam AD dan ART Partai Politik masing-masing”. Sedangkan mengenai
keterwakilan dalam pencalonan legislatif diatur dalam Pasal 8 ayat (1) huruf d
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan
DPRD “Menyertakan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan
perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat”. Kemudian dalam Pasal
53 “Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 memuat paling
sedikit 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan”. Dan dalam pasal 55
ayat (2) “Di dalam daftar bakal calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
setiap 3 (tiga) orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 (satu) orang
perempuan bakal calon”.
Kemudian
undang-undang ini dirubah menjadi Undang-Undang Nomor 2 tahun 2011 tentang
Partai Politik, dan ketentuan 30% ini tidak mengalami perubahan. Ketentuan juga
tidak berubah dalam Undang- Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum
Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Kedua undang-undang ini akan digunakan dalam
pemilihan umum tahun 2014 mendatang.
Aturan soal keterwakilan perempuan dalam Pemilu 2014
mendatang sudah jelas. Partai politik wajib mengajukan minimal 30 persen
perempuan sebagai calon legislatif. Aturan ini telah tercantum di dalam UU No 8
Tahun 2012 dan dikukuhkan dalam Peraturan KPU nomor 7 tahun 2013 tentang
Pencalonan Anggota Legislatif. Hal ini bukan saja sebagai bentuk dorongan
kepada kaum perempuan untuk berpolitik, tapi juga sebagai jaminan kesetaraan
kesempatan antara pria dan perempuan untuk dipilih dalam pemilu.
Kekhawatiran
Politik Uang
Beragam
hambatan diperkirakan akan dihadapi para caleg perempuan untuk dapat masuk ke
parlemen. Menurut Dewi, adanya praktik politik uang dan kecurangan-kecurangan
pada saat pencoblosan dan penghitungan suara merupakan bentuk kekhawatiran yang
dirasakan bukan hanya oleh caleg perempuan, namun juga caleg pria.
Kecurangan inilah yang membuat suara pemilih bisa
hilang dan merugikan caleg. Selain itu, dana kampanye yang tidak murah juga
menjadi masalah bagi para caleg perempuan yang mayoritas tidak memiliki
dukungan finansial yang besar.
Hambatan ini dibenarkan oleh salah satu anggota
jaringan perempuan politik dari Migrant Care, Anis Hidayah. Anis mengatakan
hambatan lainnya yaitu partai politik yang saat ini masih sangat patriarkis.
Keterwakilan
Pencalonan Legislatif
Tabel
1
Jumlah
Perempuan di DPR
(Sumber:www.kpu.go.id)
Pemilu
|
Total
Anggota DPR
|
Jumlah
Anggota Perempuan
|
Presentase
|
1955
|
272
|
17
|
6,25
|
1971
|
360
|
36
|
7,83
|
1977
|
360
|
29
|
6,30
|
1982
|
460
|
39
|
8,48
|
1987
|
500
|
65
|
13,00
|
1992
|
500
|
62
|
12,50
|
1997
|
500
|
54
|
10,80
|
1999
|
500
|
45
|
9,00
|
2004
|
550
|
61
|
11,09
|
2009
|
560
|
101
|
17,86
|
Tabel
2
Keterwakilan
Perempuan di Lembaga Legislatif Nasional dan Provinsi Hasil Pemilu 2009
(Sumber:www.kpu.go.id)
Provinsi
|
L
|
%
|
P
|
%
|
Aceh
|
13
|
100
|
0
|
0
|
Sumatra
Utara
|
28
|
93,3
|
2
|
6,7
|
Sumatra
Barat
|
13
|
92,9
|
1
|
7,1
|
Riau
|
10
|
90,9
|
1
|
9,1
|
Jambi
|
1
|
33,33
|
2
|
66,7
|
Sumatra
Selatan
|
4
|
57,1
|
3
|
42,9
|
Bengkulu
|
16
|
94,1
|
1
|
5,9
|
Lampung
|
3
|
100
|
0
|
0
|
Bangka
Belitung
|
3
|
75
|
1
|
25
|
Kepulauan
Riau
|
13
|
72,2
|
5
|
27,8
|
DKI
Jakarta
|
16
|
76,2
|
5
|
23,8
|
Jawa
Barat
|
70
|
76,9
|
21
|
23,1
|
Jawa
Tengah
|
17
|
77,3
|
5
|
22,7
|
DI
Jogjakarta
|
68
|
88,3
|
9
|
11,7
|
Jawa
Timur
|
7
|
87,5
|
1
|
12,5
|
Banten
|
66
|
75,9
|
21
|
24,1
|
Bali
|
9
|
100
|
0
|
0
|
Nusa
Tenggara Barat
|
10
|
100
|
0
|
0
|
Nusa
Tenggara Timur
|
12
|
92,3
|
1
|
7,7
|
Kalimantan
Barat
|
9
|
90
|
1
|
10
|
Kalimantan
Tengah
|
6
|
75
|
2
|
25
|
Kalimantan
Selatan
|
11
|
100
|
0
|
0
|
Kalimantan
Timur
|
4
|
66,7
|
2
|
33,3
|
Sulawesi
Utara
|
5
|
83,3
|
1
|
16,7
|
Sulawesi
Tengah
|
5
|
83,3
|
1
|
16,7
|
Sulawesi
Selatan
|
21
|
87,5
|
3
|
12,5
|
Sulawesi
Tenggara
|
3
|
100
|
0
|
0
|
Gorontalo
|
4
|
80
|
1
|
20
|
Sulawesi
Barat
|
2
|
66,7
|
1
|
33,3
|
Maluku
|
3
|
75
|
1
|
25
|
Maluku
Utara
|
0
|
0
|
3
|
100
|
Irian
Jaya Barat
|
7
|
70
|
3
|
30
|
Papua
|
2
|
66,7
|
1
|
33,3
|
Indonesia
|
461
|
82,3
|
99
|
17,7
|
Ketimpangan besar dalam keterwakilan
perempuan di DPR, dan lebih buruk lagi kondisi di DPRD, jelas menyalahi konsep
mikrokosmos lembaga perwakilan. Dalam konsep ini diandaikan bahwa lembaga
perwakilan terdiri atas berbagai karakter kelompok signifikan berdasarkan seks,
ras, dan kelas. Keadaan itu juga menyalahi model perwakilan fungsional karena
perempuan tidak memiliki juru bicara yang cukup dalam pengambilan keputusan di
lembaga perwakilan.
Itu artinya, jika perempuan
Indonesia hanya diwakili oleh beberapa orang saja, sebanyak 101 juta lebih
perempuan Indonesia terdiskriminasi oleh kebijakan DPR. Oleh karena itu, perlu
dilakukan kembali pemaknaan demokrasi perwakilan, dengan menekankan pentingnya
politik kehadiran (the political of presence), yaitu kesetaraan
perwakilan antara pria dan perempuan, keseimbangan perwakilan di antara
kelompok-kelompok yang berbeda, dan melibatkan kelompok-kelompok termarjinalkan
ke dalam lembaga perwakilan.
Ketidakseimbangan komposisi anggota
legislatif Indonesia sekaligus menjadi representasi masyarakat patriarkhi, di
mana pria mengatur kehidupan sesuai dengan kepentingan politik kepriaannya.
Dalam masyarakat patriarkhi, pria mencegah perempuan memasuki ruang publik,
sementara mereka bolak-balik memasuki ruang privat dan ruang publik dengan
ketentuan-ketentuan hukum yang mereka buat dan menguntungkan dirinya.
Data
diatas menunjukan bahwa ternyata jumlah perempuan yang menduduki kursi
legislatif masih kurang jka dibandingkan dengan jumlah perempuan di Indonesia.
Padahal telah ada affirmatif bagi terwujudnya keterwakilan perempuan dilegislatif.
Meskipun rata-rata, dari periode ke
periode jumlah perempuan di legislatif mengalami kenaikan, tetapi jumlah ini
masih juga belum mewakili perempuan. Dibawah ini adalah tabel sejarah
kepartaian Indonesia untuk lebih memahami sejarah kepartaian yang berpengaruh
terhadap jumlah perempuan di legislatif.
Kendala-kendala
yang menyebabkan representasi perempuan di parlement sangat rendah
Masyarakat
Indonesia yang merupakan masyarakat dengan adat timur seringkali menganggap
bahwa dunia politik adalah ranah pria, sehingga tidak selayaknya perempuan
masuk ke dunia politik. Pemikiran semacam ini sebenarnya merupakan suatu
pemikiran yang bias gender atau mencampur adukkan antara gender dan jenis
kelamin. Padahal diantara keduanya berbeda.
Permasalahan
ini seringkali menjadi masalah pula bagi Partai Politik dalam merekrut
kader-kader perempuan yang berkualitas. Ini menunjukan bahwa pendidikan politik
masyarakat khususnya kaum perempuan masihlah kurang atau terlalu minim. Karena
pangangan yang bias gender bahwa dunia politik adalah milik pria akan
menghambat affirmatif itu sendiri, meskipun telah dibuat suatu regulasi yang
berpihak kepada perempuan.
Namun
kondisi ini menunjukan bahwa sesungguhnya Partai Politik sendiri telah gagal
dalam menjalankan fungsinya. Fungsi yang dimaksud yaitu fungsi pendidikan
politik sebagaimana diatur dalam pasal 31 Undang-Undang Nomor 2 tahun 2008
tentang partai Politik, “(1) Partai Politik melakukan pendidikan politik bagi
masyarakat sesuai dengan ruang lingkup tanggung jawabnya dengan memperhatikan
keadilan dankesetaraan gender dengan tujuan antara lain : a. peningkatkan
kesadaran hak dan kewajiban masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara, b. meningkatkan partisipasi politik dan inisiatif
masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; dan c.
meningkatkan kemandirian, kedewasaan, dan membangun karakterbangsa dalam rangka
memelihara persatuan dan kesatuan bangsa. (2) Pendidikan politik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan untuk membangun etika dan budaya politik
sesuai dengan Pancasila.”
Jelas
dan nyata bahwa Partai Politik memiliki fungsi untuk memberikan pendidikan
politik kepada masyarakat agar dapat meningkatkan partisipasi politik dalam
kehidupan perpolitikan Indonesia dengan keadilan gender sesuai dengan
pancasila. Karena apabila fungsi pendidikan politik telah terlaksana dengan
bak, seharusnya Partai Politik tidak mengalami kesulitan dalam merekrut kader-kader perempuan yang
berkualitas.
III. Penutup
Dari pemaparan diatas secara garis
besar gairah Post
Modernisme dan Implementasinya di Indonesia dalam upaya merayu munculnya hukum yang
berkeadilan, dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Postmodernisme tumbuh dan berkembang dimasyarakat dikarenakan kegagalan dan telah usangnya pelaksanaan cita-cita
zaman Modern. Perubahan perkembangan kebutuhan tersebut menimbulkan perubahan pola
pemikiran pula.
Postmodernisme tumbuh dan berkembang dengan cara
menjauhkan dari segala sifat kemapanan, kebuntuan, keangkuhan, imperialisme, etnosentrisme
yang mewarnai dominan hegemonik modernisme, dimana itu semua dijadikan sebagai
suatu pijakan dalam merestruktur apa yang telah didestruktur, merekonstruksi
dari apa yang telah didekontruksi oleh postmodernisme itu sendiri.
2. Teori Hukum Kritis (Critical Legal Theory)
dan Feminisme Hukum (Legal Feminisme)
sebagai bagian Post Modernisme berkembang dimasyarakat berpokok pada pemikiran
tidak puas dan melancarkan kritik kepada pandangan liberal, serta berkeyakinan
dapat mengisi kekosongan dan kehausan akan doktrin-doktrin baru dalam hukum
kontemporer.
3. Pelaksanaan Teori Hukum Kritis (Critical
Legal Theory) dan Feminisme Hukum (Legal
Feminisme) dalam upaya memunculkan hukum yang berkeadilan di Indonesia,
pada umumnya masih taraf pengembangan baik produk hukum maupun dalam prakteknya.
Kedua Teori tersebut diperlukan sebagai suatu alat analisa yang dapat
mengungkap “hidden poitical intentions” dibelakang berbagai konsep, doktrin dan
proses-proses hukum di Indonesia.
Hal ini dikarenakan sifat Teori Hukum Kritis (Critical Legal Theory) dan Feminisme Hukum (Legal Feminisme) itu sendiri yang hanya merayu dengan tidak
memfokuskan mencari kebenaran hukum yang stagnan (statis), melainkan
memfokuskan pada percakapan, perbedaan dan penafsiran yang terus-menerus, hanya
sebagai suatu pijakan
dalam merestruktur apa yang telah didestruktur, merekonstruksi dari apa yang telah didekontruksi oleh
postmodernisme dengan memberikan tawaran-tawaran
kehidupan yang lebih bermakna sekaligus untuk
munculnya hukum yang dirasakan keadilannya.
DAFTAR PUSTAKA
Roberto Mangabeira Unge, The
Critical Legal Studies Movement
, Harvard University Press, Cambridge, 1986.
W , Friedmann, Teori dan Filsafat
Hukum Susunan I, (diterjemahkan Mohammad Arifin), Rajawali Press, Jakarta,
1990.
W, Friedmann, Teori dan Filsafat
Hukum Susunan III, (diterjemahkan Mohammad Arifin), Rajawali Press, Jakarta,
1990.
Munir Fuady, Aliran Hukum Kritis
(Paradigma Ketidakberdayaan Hukum), Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003.
Sugiharto,
I. Bambang. Postmodernisme, Tantangan Bagi Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, 1996.
Susilo,
Budi. Mentalitas Dalam Pembangunan Masyarakat Modern. Yogyakarta: Kanisius, 1994.
Soewardi,
Herman. Roda Berputar Dunia Bergulir. Kognisi Baru Tentang Timbul
Tenggelamnya Sivilisasi. Bandung: Bhakti Mandiri, 1999.
Philippe Nonet and Philip Selznick, Law and Transition: Towards Responsive Law,
New York: Harper & Row, 1978.
Satjipto Rahardjo, Beberapa Pemikiran Tentang Ancangan Antardisiplin
dalam Pembinaan Hukum Nasional, Bandung: Penerbit Sinar Baru, 1985.
Wignjosoebroto, Soetandiyo, Hukum
dalam Realitas Perkembangan Sosial Politik dan Perkembangan Kritik-Teoretik
yang Mengarah Mengenai Fungsinya, 2003.
Ahmed, Akbar. S. Posmoderisme,
Bahaya dan Harapan Bagi Islam. Bandung: Mizan, 1996.
Budiman, F. Hardiman. Menuju
Masyarakat Komunikatif. Yogyakarta: Kanisius., 1993.
Garna,
Judistira K. Ilmu-Ilmu Sosial Dasar-Konsep-Posisi. Bandung: Program Pascasarjana Unpad, 1996.
Gellher,
Ernest. Menolak Postmodernisme, Antara Fundamentalisme Rasionalitas dan
Fundamentalisme Religius. Bandung: Mizan, 1994.
Mulkhan,
Abdul Munir. 1999. Spritualitas Lingkungan dan Moral Kenabian. Dalam:
Kritik Sosial, Dalam Wacana Pembangunan. Editor. Moh. Mahfud MD Dkk.
Yaogyakarta: UII-Press.
Nugroho,
Heru. Kritik Hubermas Terhadap Postmodernisme dan Relevansinya Bagi
Pemahaman Pembangunan, Dalam: Kritik Sosial, Dalam Wacana Pembangunan.
Editor, Moh. Mahfud MD Dkk, Yaogyakarta:
UII-Press, 1999.
Piliang,
Yasraf Amir. Yogyakarta:Hiper- Realitas, Kebudayaan. LKs, 1999.
Turner,
Bryan. Teori-Teori Sosiologi, Modernitas, Posmodernisme (Terj).
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.
Anom Surya Putra, Teori Hukum Kritis: Struktur Ilmu dan Riset
Teks, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003.
Fitzpatrict, Peter dan Alan Hunt,
Critical Legal Studies, Basil Blackwell
Ltd, New York, 1987.
Fuady, Munir, Aliran Hukum Kritis (Paradigma
Ketidakberdayaan Hukum). Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, , 2003.
Abdulkadir Jailani, “Hukum
Internasional Pasca Perang Irak: Legalisasi Politik Internasional dan
Politisasi Hukum Internasional”, dimuat dalam Jurnal Hukum Internasional,
Lembaga Pengkajian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Indonesia
(Volume 2, Nomor 2, Januari 2005).
Hikmahanto Juwana, “Hukum
Internasional dalam Konflik Kepentingan Ekonomi Negara Berkembang dan Maju”,
(Pidato Upacara Pengukuhan sebagai Guru Besar Tetap dalam Ilmu
Hukum Internasional pada Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, Depok, 10 November 2001).
Ifdhal Kasim, Mempertimbangkan Critical Legal Studies
dalam Kajian Hukum di Indonesia,terjemahan dari karya Roberto Mangabeira Unger,
The Critical Legal Studies Movement, Cambridge Harvard University Press, 1986.
Anom Surya Putra, Teori Hukum Kritis: Struktur Ilmu dan Riset
Teks, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003
Abdul Manan, Aspek-aspek Pengubah Hukum, Jakarta: Kencana, Prenada Media Group,
2005.
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung: PT.Citra Aditya
Bakti, 2000.
Hukum dan Perubahan Sosial, Suatu
Tinjauan Teoritis Serta Pengalaman-pengalaman di Indonesia, Prof.Dr.Satjipto
Rahardjo, S.H., Genta Publishing, 2009, Yogyakarta.
Bernard L.Tanya, dkk, Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia Lintas
Ruang dan Generasi, Yogyakarta: Genta Publishing, 2013.
Diktat:
A.Masyhur
Effendi, Kajian Singkat Filsafat Hukum/Teori Hukum Dalam Ilmu Hukum/Praktek
Hukum, Jakarta: Magister Ilmu Hukum Universitas Jayabaya, 2014.
A.
Masyhur Effendi, Bunga Rampai Teori Hukum: Hubungan Filsafat Hukum/Teori Hukum
I, Jakarta: Magister Ilmu Hukum Universitas Jayabaya, 2014.
A.
Masyhur Effendi, Bunga Rampai Teori Hukum: Hubungan Filsafat Hukum/Teori Hukum
II, Jakarta: Magister Ilmu Hukum Universitas Jayabaya, 2014.
Internet:
http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Postmodernisme&oldid=7715032,
diakses pada tanggal 31 Juli 2014.
http://www.pursal.com/2009/04/22/s1-dstars-06-ss-postmodern-arch-language/,
diakses pada tanggal 31 Juli 2014.
http://www.guruit07.blogspot.com/2009/01/pengertian-post-modern.html, diakses pada tanggal 27 Juli 2014.
http://gerakanindonesiabaru.blogspot.com/2009/04/paham-allah-dalam-era-postmodern.htm, diakses pada tanggal 26 Juli 2014.
http://komunitasembunpagi.blogspot.com/2009/03/post-modern-mitos-baru.html, diakses pada tanggal 30 Juli 2014.
http://id.wikipedia.org/wiki/Dekonstruksi, diakses pada tanggal 30 Juli 2014.
http://www.antaranews.com/
ANTARA Jateng KY Tujuh Faktor Sebabkan Penegakan Hukum
Lemah - antarajateng.com.html,
diakses tanggal 17 Juli 2014.
[1]
Nugroho, Heru. Kritik Hubermas
Terhadap Postmodernisme dan Relevansinya Bagi Pemahaman Pembangunan, Dalam:
Kritik Sosial, Dalam Wacana Pembangunan. Editor, Moh. Mahfud MD
Dkk, Yaogyakarta: UII-Press, 1999.
[2] Lili Rasjidi dan Putra Wiyasa
dalam buku ”Hukum sebagai Suatu Sistem” Remaja Rosda Karya, Bandung, 1993
mengatakan, dalam konteks sistem hukum, ilmu hukum dibicarakan sebagai penjabaran, pengujian,
dan pengembangan teori-teori hukum yang berasal dari komponen filsafat hukum.
Tujuan dari penjabaran dan pengembangan itu berkaitan dengan dimensi-dimensi
ontologi, epistemologi, dan dimensi aksiologi. Dalam kaitannya dimensi yang
terakhir, ilmu hukum dipandang sebagai suatu kesatuan dengan pendidikan hukum.
Fungsi utamanya adalah sebagai media penghubung antara dunia rasional (Sollen) dan dunia empiris (Sein). Fungsi ini mungkin diperankan
oleh ilmu hukum dan pendidikan hukum, adalah karena kelebihan yang dimilikinya,
yaitu dimensi rasional dan dimensi empiris dan ilmu hukum. Melalui kedua dimensi ini, ilmu hukum dan pendidikan
hukum dapat menghubungkan dunia filsafat dengan dunia kenyataan dengan cara
membangun konsep-konsep hukum.
[3]
Dikutip
dari internet. http ://aryaverdimandhani.blospoth.com, diakses pada
tanggal 28 Juli 2014.
[4] Amin Abdullah, Falsafah Kalam Di Era
Postmodernisme, (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 99-101.
[5] Ibid., hlm. 103-104.
[10]
Fitzpatrict, Peter dan Alan Hunt, Critical Legal
Studies, Basil Blackwell Ltd, New York, 19871987:
2
[11]Roberto Mangabeira Unger, The
Critical Legal Studies Movement , Harvard University Press, Cambridge,
1986.Hal.11.
[12] Ibid., hlm. 100
[13] Ibid., hlm. 105-106
[14] http//id.m.wikipedia.org/wiki/Feminisme, tanggal, 12 mei
2012, diakses pada tanggal 29 Juli 2014
[15] http//id.m.wikipedia.org/wiki/Feminisme, tanggal, 12 mei
2012, diakses pada tanggal 29 Juli 2014
[16] Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, SH “ Sosiologi
Hukum-Perkembangan Metode dan Pilihan Masalah’’Genta Publishing,
Yogyakarta, 2010, hal. 19
[17] Komarudin Hidayat, “Melampaui Nama-nama; Islam dan
Postmodernisme”, Kalam, Jurnal Kebudayaan edisi 1 (1994), hlm.
57-58. Lihat juga Kazuo Shimogaki, Kiri Islam: Antara Modernisme dan
Postmodernisme, terj. M. Imam Aziz dkk. (Yogyakarta: LKiS, 1993), hlm. 150-
152.
[18] Secara konstruktif protes tersebut ditindaklanjuti
dengan mengajukan judicial review terhadap pasal-pasal dalam UU Nomor 32 Tahun
yang dianggap merugikan hak konstitusional warga dan pemohonnya, yaitu :
Pasal 1 angka 21, Pasal 57 ayat (1), dan (2), Pasal 65 ayat (4), Pasa1
89 ayat (3), Pasa1 94 ayat (2), dan Pasal 114 ayat (4) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaga Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 215,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) bertentangan dengan UUD
1945, terutama Pasal 18 ayat (4), Pasal 22 E ayat (1) dan Pasa1 22 E ayat
(5). Sebagai pemohonnya : Direktur
Eksekutif Centre for Electoral Reform (CETRO), Smita Notosusanto. Pasal 1 angka
21, Pasa1 57 ayat (1), Pasa1 65 ayat (4), Pasa1 66 ayat (3) huruf e, Pasa1 67
ayat ( 1) huruf e, Pasa1 82 ayat (2), Pasal 89 ayat (3), Pasal 94 ayat (2),
Pasal 114 ayat (4) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, terutama Pasal 18 ayat (4), Pasal
22 E ayat (1), dan Pasa1 22 E ayat (5). Sebagai pemohonnya Ketua-ketua KPUD 16
Provinsi. Penjelasan Pasal 59 ayat (1) UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, perihal "Partai Politik atau Gabungan Partai Politik”
dalam ketentuan ini adalah Partai Politik yang memiliki kursi di DPRD
bertentangan dengan UUD 1945 khususnya Pasal 18 ayat (4), Pasal 27 ayat (1),
Pasal 28 D dan Pasa1 28 I. Sebagai pemohonnya Ketua-ketua Partai Politik
Sulawesi Utara - Manado. Pasal 24 ayat (5) penetapan Wakil Kepala Daerah
sebagai pasangan Kepala Daerah dalam Pilkada merupakan sebuah ketetapan yang
tidak sesuai dengan UUD 1945 Bab VI Pemerintahan Daerah, dan Pasal 18 ayat (4).
Sebagai pemohonnya Anggota DPD (H. Biem Benjamin - Anggota DPD-RI/MPR/B-43).
Pasal 56 sampai dengan Pasal 119 UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125) bertentangan
dengan UUD 1945, terutama Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 C ayat (2), Pasal 28 D
ayat (1) dan Pasal 28 D ayat (3). Sebagai pemohonnya Yayasan Lembaga Bantuan
Hukum Indonesia (YLBHI) dan Lembaga Bantuan Hukum Nasional (LBHN).
[19] Beberapa media nasional
dan lokal banyak memuat berita tentang adanya gejolak dan kekacauan serta
anarkisme dalam penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah secara langsung. Di Kabupaten Tuban Jawa Timur terjadi gejolak
dan kekacauan yang meluas yang dilakukan oleh para pendukung calon bupati yang
kalah. Dari hasil penelitian tentang implementasi UU Nomor 32 Tahun 2004 dalam
pemilihan Kepala Daerah secara langsung, diperoleh data bahwa di Kabupaten
Semarang telah terjadi gejolak dan
kekacauan yang di masyarakat yang dilakukan oleh para pendukung calon yang merasa calonnya dirugikan oleh KPUD. Para
pendukung calon yang merasa calonnya dirugikan oleh KPUD juga merusak Kantor
KPUD Kabupaten Semarang.
[20]
http://komunitasembunpagi.blogspot.com/2009/03/post-modern-mitos-baru.html,
diakses pada tanggal 30 Juli 2014.
Komentar
Posting Komentar