Gairah Post Modernisme

                        Merayu Munculnya Hukum Berkeadilan:
Gairah Post Modernisme dan Implementasinya
di Indonesia
 

“..Teori-teori baru bermunculan, Teori itu sendiri bisa ditulis melalui berbagai pintu masuk atau sudut pandang baik dari optik para  ahli sejarah, sosiologi, filsafat dan lain-lain…”

“…Hal ini karena Hukum bukanlah suatu institusi yang statis, ia mengalami perkembangan, berubah dari waktu ke waktu, Konsep hukum seperti “Rule of Law” sekarang ini juga tidak muncul dengan tiba-tiba begitu saja, melainkan hasil suatu perkembangan tersendiri. Adanya hubungan timbal-balik yang erat antara hukum dengan masyarakat…”

(Prof. Dr. Satjipto Rahardjo)

 

I.Pendahuluan

I.a.Latar belakang

Hukum adalah suatu gejala sosial yang nyata lahir dari realita dalam kehidupan bermasyarakat. Hukum di pandang sebagai suatu gejala yang nyata merupakan perwujudan dari kebutuhan masyarakat akan suatu ketertiban dan keteraturan dalam pergaulan hidup masyarakat. Hukum selain dipandang sebagai alat untuk mengendalikan masyarakat (control social), hukum juga berfungsi sebagai alat perubahan dan sebagai alat untuk mencapai keadilan substansial.

Sebagai sebuah gejala sosial yang riil, hukum  akan menjadi suatu kebutuhan jiwa manusia sebagai anggota unit kelompok secara khusus dan unit kemasyarakatan secara umum untuk mewujudkan ketertiban, keadilan dan keamanan dalam setiap gerak dinamis sistem kemasyarakatan. Maka sebagai suatu bentuk perwujudan kehendak, hukum akan selalu berubah (dinamis) mencari bentuk persesuaian bentuknya pada dimensi ruang dan waktunya yang tepat, termanifestasi sebagai gejala sosial yang utuh dan mengiringi setiap kedinamisan dalam sistem kemasyarakatan yang kompleks sebagai suatu perwujudan kehendak dari kebutuhan jiwa manusia sebagai makluk sosial.

Ketika hukum dibahas maka tidak akan lepas dari 3 (tiga) kajian disiplin hukum yang ada yaitu Ilmu Hukum, Teori Hukum, dan Filsafat Hukum. Ketiga-tiga saling berkaitan, saling berhubungan dan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat terpisahkan. Filsafat Hukum sebagai dasar pijakan atau sudut pandang diteruskan menjadi Teori Hukum dan Ilmu Hukum dimana Ilmu Hukum diketahui merupakan Teori Hukum itu sendiri secara sempit.  Transformasi tahap-tahap tersebut kemudian disesuaikan dengan perubahan dan perkembangan kebutuhan masyarakat tiap zamannya.

Dimulai dari induk ilmu hukum yaitu filsafat hukum, dimana diketahui hukum dalam filsafat hukum berkembang berdasarkan periodisasinya, dimulai dari zaman Purbakala, abad pertengahan, zaman Renaissance (abad 12), zaman Rasionalisme (Baru) (abad 17), zaman Modern (abad XIX), kemudian hingga sekarang yaitu zaman Postmodern. Perkembangan periodisasasi tersebut seiring bersamaan dengan perkembangan pola pikir manusia mulai saat zaman Purbakala (Yunani) pola pemikiran bersifat Kosmosentris, saat Abad Pertengahan pola pemikiran bersifat Antroposentris, saat zaman Modern pola pemikirannya individualis, rasionalis dan materialis kemudian sekarang ini era Post Modern pola pemikiran cenderung bersifat majemuk dan dinamis.

Setiap perubahan pola pemikiran manusia tersebut berkorelasi dengan perubahan perkembangan kebutuhan tiap zamannya. Begitu pula sekarang ini Post Modern, lahir karena kegagalan dan telah usangnya cita-cita zaman Modern. Dimana zaman Modern dengan sebagian pemikiran dan cita-citanya sudah tidak layak dijadikan acuan, sudah tidak layak diperjuangkan secara utuh namun harus disesuaikan dengan hal-hal yang dirasakan sekarang, yaitu yang mana tidak diketemukan dalam semangat modernisasi tersebut.   

Para ahli mengkategorikan keadaan saat ini sebagai zaman Post Modern, dimana kemudian dikenal sebagai Post Modernisme Hukum. Kalau demikian, bagaimana Postmodernisme berkembang hingga sekarang? Apa saja dampak munculnya Post Modernisme Hukum bagi bidang hukum?

Post Modernisme pada dasarnya memfokuskan diri pada teori kritis, berbasis pada kemajuan dan emansipasi. Kemajuan dan emansipasi adalah dua hal yang saling berkaitan, seperti yang dinyatakan oleh Hubermas[1] bahwa keberadaannya ditunjang oleh sains dan teknologi. Sehingga pada prakteknya memicu muncul dan berkembangnya aliran Teori Hukum Kritis (Critical Legal Theory)  dan Teori Feminisme Hukum (Feminisme Legal Theory).

Lantas, kembali timbul beberapa pertanyaan, dimulai dari Bagaimana praktek aliran Teori Hukum Kritis (Critical Legal  Theory)  dan Teori Feminisme Hukum (Feminisme Legal Theory) berkembang? Bagaimana praktek di Indonesia? Apakah keberadaannya telah menghasilkan hukum yang berkeadilan? Hingga berujung pada pertanyaan, apakah dapat terlaksana secara menyeluruh aplikasi fungsionalnya  dalam masyarakat?

 

I.b.Permasalahan

Sehingga dalam karya tulis ini sengaja kami ungkapkan beberapa pertanyaan-pertanyaan tersebut diatas dalam bentuk pokok permasalahan sebagai berikut:

1.Bagaimana Postmodernisme itu tumbuh dan berkembang dimasyarakat?

2.Bagaimana Teori Hukum Kritis (Critical Legal Theory) dan Teori Feminisme Hukum (Feminisme Legal Theory) sebagai bagian refleksi Post Modernisme berkembang dimasyarakat?

3.Bagaimana pelaksanaan Teori Hukum Kritis (Critical Legal Study) dan Teori Feminisme Hukum (Feminisme Legal Theory) dalam upaya merayu munculnya hukum yang berkeadilan di Indonesia?

 

            I.c. Maksud dan Tujuan

Penulisan karya tulis ini sengaja disusun selain untuk pemenuhan tugas mata kuliah Teori Ilmu Hukum dimana diketahui untuk mengetahui lebih dekat sejauh mana peran . Studi Hukum Kritis (Critical Legal Study) dan Feminisme Hukum (Legal Feminisme) sebagai bagian refleksi Post Modernisme dalam upaya merayu munculnya hukum yang berkeadilan di Indonesia. Penulisan karya tulis ini diharapkan juga dapat bermanfaat secara akademis sebagai sumbangan ilmu hukum maupun sekiranya dapat menjadi titik tolak pengujian dan pemaknaan secara kritis terhadap berbagai konsep, teori, dan paradigma Ilmu Hukum. Di samping itu, tulisan ini diharapkan dapat pula  menjadi  masukan  bagi pembaharuan  dan pengembangan ilmu[2] hukum.

 

II. Pembahasan

II.a. Gairah Postmodernisme Dalam Masyarakat

            Apakah post modern itu? Ia mendominasi diskusi-diskusi di dunia intelektual. Dimana saja, post modern merambah aneka wilayah kehidupan manusia. Ia menyentuh wilayah seni, sastra, arsitek, politik model. Bahkan juga wilayah religiusitas. Perkara agama tidak luput dari gempuran peradaban post modern. Cara-cara hidup beragama mengalami pergeseran-pergeseran yang mencengangkan sekaligus mendebarkan. Model-model berelasi dan menjamin hubungan antar manusia juga terkontaminasi elemen-elemen peradaban ini.

 

            Istilah “postmodern” sekarang sangat sering digunakan, tetapi lebih sering lagi disalahgunakan. Sangat sulit mendefinisikan postmodern dalam satu atau dua kalimat saja karena postmodern pada hakikatnya berisikan aneka ragam, saling berserakan, dan sering kali isinya saling bertolak belakang, bahkan terkesan seperti “kapal pecah” sehingga suatu definisi untuk itu memang tidak dibutuhkan. Itulah dia watak postmodern, suatu ungkapan sangat populer, tetapi tanpa definisi yang jelas.

Postmodernisme berasal dari kata  post dan modern. “Post” atau” pasca” secara literal mengandung arti sesudah, jadi istilah Postmodernisme berarti era pasca modern berupa gugatan kepada modernisme. Berkaitan dengan definisi Postmodernisme itu sendiri, belum ada rumusan yang baku sampai saat ini, karena Postmodernisme sebagai wacana pemikiran masih terus berkembang sebagai reaksi melawan modernisme yang muncul sejak akhir abad 19.[3]

 Pada dasarnya teori posmodernisme atau dikenal dengan singkatan “POSMO” merupakan reaksi keras terhadap dunia modern. Berdasarkan pandangan posmodernisme, pengikisan tingkat individualitas muncul bersamaan dengan terbitnya kapitalisme dan rasionalitas. Faktor-faktor ini mengurangi pentingnya hubungan pribadi dan menekankan aspek nonpersonal.

Postmodernisme  merupakan penolakan yang radikal terhadap pernikiran modern. Sebagaimana diketahui bahwa paham falsafah modern ini dibentuk oleh Immanuel Kant, Rene Descartes, dan David Hume. Meskipun harus diakui bahwa pemikiran pada era modern tersebut telah juga melakukan lompatan-lompatan, terutama dengan berkembangnya secara pesat ilmu pengetahuan dan teknologi, yang menggantikan konsep pramode prailmiah yang sangat menekankan pada kepercayaan, mitos, takhayul, cerita-cerita primitif, dan hal-hal yang tidak logis lainnya.         

     Di samping itu, bagi kaum postmodern, “perbedaan” merupakan inti dari segala kebenaran. Karena itu, mereka’tidak mempercayai pada hal-hal yang universal, harmonis, dan konsisten. Tidak ada musyawarah musyawarahan dalarn mencari kebenaran dan menghadapi realitas. Yang ada hanyalah perbedaan-perbedaan, dan perbedaan-perbedaan tersebut harus selalu dihormati.

     Kaum postmodern percaya bahwa tidak ada suatu yang transenden dalam realitas. Nietzsche mengatakan bahwa Tuhan sudah mati. Menurut paharn postmodem, realitas yang sama dapat ditafsirkan secara berbeda – beda oleh pihak yang berbeda – beda. Karena itu, tidak mengherankan jika Jacques Derrida, seorang pelopor aliran postmodem, mengajak manusia untuk berhenti mencari kebenaran (sebagaimana yang dilakukan oleh kaurn pencerahan), bahkan seyogianya kita membuang pengertian kebenaran tersebut. Tidak ada kebenaran yang absolut, universal, dan permanen. Yang ada hanyalah kebenaran menurut suatu komunitas tertentu saja. Yang diperlukan bukanlah usaha mencari kebenaran, melainkan yang diperlukan adalah percakapan dan penafsiran yang terus–menerus terhadap suatu realitas, tanpa perlu memikirkan suatu kebenaran yang objektif.

Menurut Amin Abdullah ada tiga fenomena dasar yang menjadi tulang pungung arus pemikiran  postmodernsme yang ia istilahkan dengan  ciri-ciri strukur fundamental pemikiran Postmodernisme, yaitu[4]:

1.Dekonstruktifisme

Hampir semua bangunan atau konstruksi dasar keilmuan yang telah mapan dalam era modern, baik dalam bidang sosiologi, psikologi, antropologi, sejarah, bahkan juga dalam ilmu-ilmu kealaman yang selama ini dianggap baku –yang biasa disebut dengan grand theory- ternyata dipertanyakan ulang oleh alur pemikiran Postmodernisme. Hal itu terjadi karena grand theory tersebut dianggap terlalu skematis dan terlalu menyederhanakan persoalan yang sesungguhnya serta dianggap menutup munculnya teori-teori lain yang barangkali jauh lebih dapat membantu memahami realitas dan pemecahan masalah.  Jadi klaim adanya teori-teory yang baku, standar, yang tidak dapat diganggu gugat, itulah yang ditentang oleh para pemikir Postmodernisme.

Para protagonis pemikiran Postmodernisme tidak meyakini validitas “konstruksi”bangunan keilmuan yang ” baku” , yang “standar” yang telah disusun oleh genarasi modernis. Standar itu dilihatnya terlalu kaku  dan terlalu skematis sehingga tidak cocok untuk melihat realitas yang jauh lebih rumit.  Dalam teori sosiologi modern, para ilmuan cenderung untuk melihat gejala keagamaan sebagai wilayah pengalaman yang amat sangat bersifat individu. Pengalaman keagamaan itu tidak terkait dan harus dipisahkan dari kenyataan yang hidup dalam realitas social yang ada.

Era Postmodernisme ingin melihat suatu fenomena social, fenomena keberagamaan, realitas fisika apa adanya, tanpa harus terkurung oleh anggapan dasar atau teori baku dan standar yang diciptakan  pada masa modernisme. Maka konstruksi bangunan  atau bangunan keilmuan yang telah dibangun susah payah oleh generasi modernisme ingin diubah, diperbaiki, dan disempurnakan oleh para pemikir postmodernis. dalam istilah Amin Abdullah dikenal dengan “ deconstructionism” yakni upaya mempertanyakan ulang teori-teori yang sudah mapan yang telah dibangun oleh pola pikir modernisme, untuk kemudian dicari dan disusun teori yang lebih relevan dalam memahami kenyataan masyarakat, realitas keberagamaan, dan realitas alam yang berkembang saat ini.

2. Relativisme

    Thomas S. Kuhn adalah salah seorang pemikir yang mendobrak  keyakinan para ilmuan  yang bersifat positivistik. Pemikiran positivisme memang lebih menggarisbawahi validitas hukum-hukum alam dan social yang bersifat universal yang dibangun oleh rasio.

Manivestasi pemikiran Postmodernisme dalam hal realitas budaya (nilai-nilai, kepercayaan agama, tradisi, budaya dan lainnya) tergambar dalam teori-teori yang dikembangkan oleh disiplin antropologi. Dalam pandangan antropolog, tidak ada budaya yang sama dan sebangun antara satu dengan yang lain. Seperti budaya Amerika jelas berbeda dengan budaya Indonesia. Maka nilai-nilai budaya jelas sangat beraneka ragam sesuai dengan latarbelakang sejarah, geografis, demografis dan lain sebagainya. Dari sinilah nampak, bahwa nilai-nilai budaya bersifat relatif, dalam arti antara satu budaya dengan budaya yang lain tidak dapat disamakan seperti hitungan matematis. Dan hal ini sesuai dengan alur pemikiran postmdernisme yaitu bahwa wilayah budaya, bahasa, cara berpikir dan agama sangat ditentukan oleh tata nilai dan adat kebiasaan masing-masing.

Dari sinilah nampak jelas, bahwa para pemikir Postmodernisme menganggap bahwa segala sesuatu itu sifatnya relative dan tidak boleh absolut, karna harus mempertimbangkan situasi dan kondisi yang ada. Namun konsepsi relativisme ini ditentang oleh Seyyed Hoessein Nasr, seorang pemikir kontempor. Baginya tidak ada relativisme yang absolut lantaran hal itu akan menghilangkan normativitas ajaran agama. Tetapi juga tidak ada pengertian absolut yang benar-benar absolut, selagi nilai-nilai yang absolute itu dikurung oleh historisitas keanusiaan itu sendiri.[5]

 

3. Pluralisme

Akumulasi dari ciri pemikiran Postmodernisme yaitu pluralisme. Era pluralisme  sebenarnya sudah diketahui oleh banyak bangsa sejak dahulu kala, namun gambaran era pluralisme saat itu belum dipahami sepeti era sekarang. Hasil teknologi modern dalam bidang transportasi dan komunikasi menjadikan era pluralisme budaya dan agam telah semakin dihayati  dan dipahami oleh banyak orang dimanapun mereka berada. Adanya pluralitas budaya, agama, keluarga, ras, ekonomi, social, suku, pendidikan, ilmu pengetahuan, militer, bangsa, negara, dan politik merupakan sebuah realitas. Dan berkaitan dengan paradigma tunggal  seperti yang dikedepankan oleh pendekatan kebudayaan barat modernis, develop, mentalis, baik dalam segi keilmuan, maupun lainnya telah dipertanyakan keabsahannya oleh pemangku budaya-budaya di luar budaya modern. Maka dalam konteks keindonesiaan khususnya, dari ketiga ciri pemikiran Postmodernisme, nampaknya fenomena pluralisme lebih dapat diresapi oleh sebagian besar masyarakat.[6]

Hal lain disampaikan oleh Akbar S. Ahmed yqng menyatakan adanya delapan karakter sosiologis posmodernisme yang menonjol[7], yaitu :

Satu, timbulnya pemberontakan secara kritis terhadap proyek modernitas; memudarnya kepercayaan pada agama yang bersifat transenden (meta-narasi); dan diterimanya pandangan pluralisme relativisme kebenaran.

Dua, meledaknya industri media massa, sehingga ia bagaikan perpanjangan dari sistem indera, organ dan saraf kita, yang pada urutannya menjadikan dunia menjadi terasa kecil. Lebih dari itu, kekuatan media massa telah menjelma bagaikan “agama” atau “tuhan” sekuler, dalam artian perilaku orang tidak lagi ditentukan oleh agama-agama tradisional, tetapi tanpa disadari telah diatur oleh media massa, semisal program televisi.

Tiga, munculnya radikalisme etnis dan keagamaan. Fenomena ini muncul diduga sebagai reaksi atau alternatif ketika orang semakin meragukan terhadap kebenaran sains, teknologi dan filsafat yang dinilai gagal memenuhi janjinya untuk membebaskan manusia, tetapi sebaliknya, yang terjadi adalah penindasan.

Empat, munculnya kecenderungan baru untuk menemukan identitas dan apresiasi serta keterikatan rasionalisme dengan masa lalu.

Lima, semakin menguatnya wilayah perkotaan (urban) sebagai pusat kebudayaan, dan wilayah pedesaan sebagai daerah pinggiran. Pola ini juga berlaku bagi menguatnya dominasi negara maju atas negara berkembang. Ibarat negara maju sebagai “titik pusat” yang menentukan gerak pada “lingkaran pinggir”.

Enam, semakin terbukanya peluang bagi klas-klas sosial atau kelompok untuk mengemukakan pendapat secara lebih bebas. Dengan kata lain, era posmodernisme telah ikut mendorong bagi proses demokratisasi.

Tujuh, era posmodernisme juga ditandai dengan munculnya kecenderungan bagi tumbuhnya eklektisisme dan pencampuradukan dari berbagai wacana, potret serpihan-serpihan realitas, sehingga seseorang sulit untuk ditempatkan secara ketat pada kelompok budaya secara eksklusif.

Delapan, bahasa yang digunakan dalam waacana posmodernisme seringkali mengesankan ketidakjelasan makna dan inkonsistensi sehingga apa yang disebut “era posmodernisme” banyak mengandung paradoks.

 

Filsuf yang Mengawali Perkembangan Postmodern

Yang sangat mempengaruhi perkembangan awal para filsuf postmodern adalah Michel Foucault, Jean-Francois Lyotard, dan Jacques Derrida. Foucault menggunakan pendekatan postmodern dengan menggunakan perspektif historikal, yang dibangun dalam ide strukturalisme, tetapi untuk hal yang sama menolak strukturalisme dengan re-historicizing dan destabilizing struktur filsafat dari pemikiran-pemikiran Barat. Dirinya juga memikirkan tentang bagaimana pengetahuan didefinisikan dan berubah dikarenakan praktek kekuasaan. Sementara itu postmodernisme juga memiliki hubungan yang sangat dekat dengan beberapa disiplin kontemporer akademis, yang menyolok adalah yang berkaitan dengan cakupan sosiologi. Banyak dari asumsi yang dikemukakan memiliki keterhubungan dengan feminist dan teori post-colonial.

Tulisan Lyotard sebagian besar adalah berupa pemikiran tentang peran naratif dalam kebudayaan manusia, dan khususnya tentang bagaimana peran tersebut berubah dan telah meninggalkan modernitas dan memasuki era ”postindustrial” atau lazim dikenal dengan kondisi postmodern. Dirinya membantah bahwa filsafat modern melegitimasi klaim atas kebenaran (sebagaimana yang diklaim oleh para filsuf filsafat modern) atas pemikiran mereka tentang dasar logis dan empiris, tetapi lebih kepada dasar dari cerita-cerita yang diterima (atau ”metanarratives”) tentang pengetahuan dan dunia – atau dengan apa yang diterminologikan oleh Wittgenstein sebagai permainan bahasa (”language-games”). Lebih jauh lagi Lyotard membantah bahwa dalam kondisi postmodern ini, ”metanarratives” tidak akan berfungsi lagi dalam melegitimasi klaim akan suatu kebenaran. Dirinya menyarankan bahwa dalam kebangkitan dari suatu keruntuhan ”metanarratives” modern, masyarakat kemudian mengembangkan sebuah permainan bahasa (”language-games”) yang baru – seseorang tidak dapat mengklaim tentang suatu kebenaran mutlak selain dari merayakan hubungan dunia yang selalu berubah.

Derrida, terhadapnya dekonstruksi yang diatribusikan, melakukan pendekatan terhadap filsafat postmodern sebagai suatu bentuk kritisisi tekstual. Dirinya mengkritisisi filsafat Barat yang memberikan perlakuan khusus terhadap konsep keberadaan (”presence”) dan ”logos”, yang berLegalan dengan ketiadaan (”absence”) dan penandaan (”marking) atau tulisan (”writing”). Derrida sedemikian rupa men-deskonstruksi-kan filsafat Barat dengan menunjuan, sebagai contoh, tentang bagaimana pandangan ideal Barat terhadap keberadaan ”logos” yang menggangsir dengan menggunakan ekspresi bahwa sesuatu yang ideal adalah dari bentuk penandaan (”markings”) oleh penulis yang tidak ada. Walaupun demikian, untuk memperbesar paradoks ini, Derrida mereformulasikan kebudayaan manusia sebaik ketiadaan kerjasama dari berkembangbiaknya penandaan dan tulisan, dengan ketiadaan penulis.

Walaupun Derrida dan Foucault disebutkan sebagai filsuf postmodern, tetapi satu sama lain saling menolak banyak pendapat lainnya. Seperti terhadap Lyotard, keduanya sangat skeptis terhadap suatu kemutlakan atau universalitas klaim akan kebenaran. Tidak seperti Lyotard, bagaimanapun juga, mereka (atau setidaknya) lebih pesimistis terhadap klaim sebagai pemerdeka (”emancipatory”) terhadap pemainan bahasa yang baru; demikian halnya beberapa diantara para filsuf itu lebih mengkaraterisasikan dirinya sebagai Post-Structuralist dibandingkan sebagai Postmodernist.

Jennifer Wicke  (Postmodern Identity and the Legal Subject),  dalam tulisannya penulis berupaya untuk memberikan suatu identifikasi terhadap postmodernism, yang mana kehadirannya merupakan suatu fenomena dan menimbulkan banyak kontradiksi dari berbagai kalangan. Salah satunya dikarenakan postmodernism itu sendiri dengan melansir dari konsep metanarasi yang disampaikan oleh Lyotard, memberikan suatu gambaran tentang kompleksitas dan membawa paham antikemapanan. Yang oleh karenanya akan memberikan suatu dampak tersendiri, baik berupa benturan atas pemikiran logis yang mendominasi dalam konteks hukum itu sendiri.

Sementara itu identitas yang diberikan terhadap postmodern adalah terbatas pada lingkup kebudayaan dikarenakan faktor prosedur ekonomi dan sosial yang melatarbelakanginya. Sedangkan, pemahaman yang diberikan tentang postmodern itu sendiri dianggapnya terlalu luas dan oleh karenanya menjadi tidak relevan. Dirinya memberikan penilaian bahwa postmodern merupakan bentuk dari perkembangan modernisasi tersebut, yang mana akan lebih mengena apabila terbatas pada pendekatan materi dan dipandang sebagai suatu romantisasi atau tampilan yang bersifat postmodernis.

Berdasarkan beberapa pandangan para ahli dan literatur hukum menyimpulkan, lahir dan berkembangnya Postmodernisme telah menimbulkan dampak terhadap bidang hukum setidaknya sebagai berikut[8]:

a)         Otoritas hukum lebih superior dari hukum positif;

b)         Teori tentag kebenaran yang bersifat “enlightened” harus dirubah menjadi kebenaran yang bersifat “systemic

c)         Tidak ada satu uniformitas dari nilai dalam suatu kebudayaan. Kebudayaan bersifat multiplisitas dan heterogen;

d)        Metodologi hukum harus berubah menjadi metodologi yang bersifat aksi;

e)         Merubah kriteria rasionalitas  bersifat unifersal kepada rasionalitas yang perspektif;

f)          Keadilan hukum yang dicari adalah keadilan “kreatif” yaitu suatu keadilan dalam masyarakat yang aktif dimana standar sosial, teknologi, ekonomi dan etikanya yang terus berubah;

g)         Reformulasi dan reorientasi terhadap katagori formal untuk ditransformasi ke dalam katagori fungsional;

h)         Membangun proses judicial yang dapat menghargai pluralitas.

Postmodernisme muncul untuk “meluruskan” kembali interpretasi sejarah yang dianggap otoriter. Untuk itu postmodernisme menghimbau agar kita semua berusaha keras untuk mengakui adanya identitas lain yang berada di luar wacana hegemoni. Posmodernisme mencoba mengingatkan kita untuk tidak terjerumus pada kesalahan fatal dengan menawarkan pemahaman perkembangan kapitalisme dalam kerangka genealogi (pengakuan bahwa proses sejarah tidak pernah melalui jalur tunggal, tetapi mempunyai banyak “sentral”).

Postmodernisme mengajak kaum kapitalis untuk tidak hanya memikirkan hal-hal yang berkaitan dengan peningkatan produktivitas dan keuntungan saja, tetapi juga melihat pada hal-hal yang berada pada alur vulgar material yang selama ini dianggap sebagai penyakit dan obyek pelecehan saja.

Postmodernisme sebagai suatu gerakan budaya sesungguhnya merupakan sebuah oto-kritik dalam filsafat Barat yang mengajak kita untuk melakukan perombakan filosofis secara total untuk tidak lagi melihat hubungan antar paradigma maupun antar wacana sebagai suatu “dialektika” seperti yang diajarkan Hegel. Postmodernisme menyangkal bahwa kemunculan suatu wacana baru pasti meniadakan wacana sebelumnya. Sebaliknya gerakan baru ini mengajak kita untuk melihat hubungan antar wacana sebagai hubungan “dialogis” yang saling memperkuat satu sama lain.

Sebagaimana telah dikemukakan pada bagian terdahulu dalam tulisan ini,  banyaknya  konsekwensi buruk yang ditimbulkan oleh modernisme bagi kehidupan manusia dan alam, telah memicu lahirnya suatu gerakan pemikiran yang diistilahkan dengan postmodernisme.

 Pemikiran tentang postmodernisme itu sendiri menurut Piliang[9] memiliki keberagaman, pluralitas, dan kekayaan, tetapi sekaligus ketidakpastian dan indeterminansi yang menciptakan berbagai kemungkinan hibrid, sinkretisme, pervesitas, transvestisme, adhosisme, dan membiarkan di dalam dirinya kontradiksi, keterpecahan diri, kemenduaan dan ironi.

Terlepas dari keberagaman pemikiran itu, setidak-tidaknya ada suatu titik terang yang dipancarkan oleh postmodernisme, yaitu adanya sebuah wawasan baru, meskipun menghadapi banyak problema. Titik terang yang dapat diungkapkan dari ada postmodernisme ini adalah bahwa  postmodernisme telah mampu menjauhkan  dari segala sifat kemapanan, kebuntuan, keangkuhan, imperialisme, etnosentrisme yang mewarnai dominan hegemonik modernisme.

 Dari anggapan sebagaimana yang diungkapkan tersebut dan yang dapat diambil hikmah dan dijadikan sebagai suatu pijakan dalam merestruktur apa yang telah didestruktur, merekonstruksi dari apa yang telah didekontruksi oleh postmodernisme, niscaya postmodernisme akan dapat memberikan tawaran-tawaran kehidupan yang lebih bermakna. Sehingga  adanya gerakan pemikiran yang ingin merevisi paradigma modern yang dilakukan oleh postmodernisme tidak perlu di permasalahkan.  Pada khakekatnya  pemikiran ini muncul karena modernisme masih meninggalkan sejumlah masalah yang kemudian diambil alih oleh postmodernisasi.

Postmodern menerangkan dimana ”Perbedaan” merupakan inti dari segala kebenaran, oleh karena itu Postmodern tidak mempercayai pada hal-hal yang universal, harmonis, konsisten dan transendental. Postmodern ini kemudian merasuk ke dalam bidang hukum dan bersama-sama  dengan paham Realisme Hukum dan paham Kritis Radikal seperti aliran Frankfurt di Eropa, mempolakan suatu aliran baru dalam bidang hukum yang radikal yaitu “Aliran Hukum Kritis/Critical legal Theory ”, dengan tokohnya yang terkenal yaitu Roberto Mangabeire Unger.

            Dengan demikian, aliran Critical legal Theory yang akan kita bahas pada bagian selanjutnya karya tulis ini merupakan refleksi postmodern ke dalam bidang hukum mencoba memberikan suatu jawaban atau minimal merupakan suatu kritikan terhadap kenyataan bahwa hukum pada akhir abad ke-20 memang timpang, baik dari segi tataran teoritis, filsafat, maupun dalam tataran praktisnya. Di samping itu, dengan pendekatan secara induktif, bergerak dari kenyataan hukum yang diterapkan dalam masyarakat, menyebabkan para pemikir hukum pada akhir abad ke-20 terpaksa harus mengakui beberapa premis hukum baru, yang memporak-porandakan premis hukum yang lama.

 

II.b. Teori Hukum Kritis (Critical Legal Theory) dan Teori Feminisme Hukum (Feminisme Legal Theory) sebagai bagian Post Modernisme Hukum berkembang dimasyarakat

II.b. 1 Teori  Hukum Kritis (Critical Legal Theory)

Latar Belakang dan Perkembangan

Sebagaimana diketahui bahwa banyak kekecewaan terhadap filsafat,teori, dan praktek hukum yang terjadi di paruh kedua dari abad ke-20. Sedangkan aliran lama yang mainstream saat itu., semisal aliran realisme hukum, di samping perannya semakin tidak bersinar, semakin tidak populer, dan juga ternyata tidak dapat menjawab berbagai tantangan zaman di bidang hukum. Sangat terasa, terutama pada akhir abad ke-20, bahwa diperlukan adanya suatu aliran dan gebrakan baru dalarn praktek, teori, dan filsafat hukum untuk menjawab tantangan zaman tersebut. Maka, aliran Critical legal Theory datang pada saat yang tepat dengan menawarkan diri sebagai pengisi kekosongan dan kehausan akan doktrin – doktrin baru dalarn hukum kontemporer.

Lebih tepatnya Critical Legal Theory adalah suatu gerakan oleh akademisi hukum beraliran kiri (leftist), yang lahir karena pembangkangan atas ketidakpuasan terhadap teori dan praktek hukum yang ada pada dekade 1970-an, khususnya terhadap teori dan praktek hukum dalam bidang-bidang :

  1. pendidikan hukum
  2. pengaruh politik yang sangat kuat terhadap dunia hukum
  3. kegagalan peran hukum dalam menjawab permasalahan yang ada

Critical Legal Theory mulai eksis dalam dekade 1970-an yang merupakan hasil dari suatu konferensi tahun 1977 tentang Critical Legal Theory di Amerika Serikat, sedangkan di Inggris gerakan Critical Legal Theory dibentuk pada tahun 1984.

Pada koferensi Critical Legal Theory tahun 1974 dibicarakan tentang adanya kesenjangan yang besar antara hukum dalam teori (Legal in box) dengan hukum dalam keyataan (Legal in action) dan kegagalan dari hukum dalam merespon masalah-masalah yang terjadi dalam masyarakat. Konferensi tersebut dihadiri oleh: Abel, Kennedy, Trubek, Heller, Macaulay, Tushnet, Horwitz, Rosenblatt,  Unger.

Critical Race Theory ( Race – Crits )

Sebagaimana diketahui bahwa konferensi pertama yang menandakan lahirnya gerakan Critical legal Theory ini dibuat dalam tahun 1977 di University of Wisconsin, Medison, dalam tahun 1977. Lebih kurang dua puluh tahun kemudian, muncul dua pengembangan yang merupakan generasi kedua dari aliran Critical legal Theory, yaitu aliran Critical feminist jurisprudence dan aliran Critical race theory.

Latar belakang lahirnya ajaran Critical Legal Theory adalah :

fokus sentral pendekatan Critical Legal Theory adalah untuk mendalami dan menganalisis keberadaan doktrin-doktrin hukum, pendidikan hukum, dan praktek institusi hukumyang menopang dan mendukung sistem hubungan-hubungan yang oppressive dan tidak egaliter. Teori kritis bekerja untukmmengembangkan alternatif lain yang radikal, dan untuk menjajaki peran hukum dalam menciptakan hubungan politik, ekonomi dan sosial yang dapat mendorong terciptanya emansipasi kemanusiaan [10]

Aliran Critical legal Theory mengritik aliran-aliran hukum yang sedang berkembang saat itu yang diyakini oleh sebagian besar ahli hukum sebagai aliran modern dalarn hukum. Aliran-aliran hukurn yang dibilang modern tersebut memiliki -karakteristik yang liberal dan plural, sama dengan paham yang berlaku pada umumnya di bidang-bidang sosial dan politik lainnya, Karena itu, ke dalam bidang hukum, aliran-aliran hukum yang mendapat kecaman keras dari aliran Critical legal Theory tersebut, disebut dengan liberalisirne dan pluralisme hukum.        

Aliran Critical legal Theory juga banyak memberikan pandangannya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan sejarah hukum.

            Selanjutnya, kaum Critical legal Theory juga. Tidak percaya pada pandangan kaum adaptationism, baik terhadap pandangan kaurn adaptationism yang deskriptif maupun terhadap pandangannya yang normatif. Pandangan yang deskriptif dari kaurn adaptationism menyatakan bahwa sejarah masa lalu hanya berisikan suatu daftar dari tema-tema umurn saja, sedangkan pandangannya yang normatif menyatakan bahwa. masa kini merupakan perbaikan yang terus-menerus terhadap masa lalu sehingga. apa yang terjadi masa kini harus disambut dengan baik.

Sebenarnya, yang pertama sekali mengembangkan terminologi “teori kritis” adalah mazhab frankfurt, yang dipelopori oleh para anggota dari Institute for Social Research dari University of Frankfurt, yang umumnya merupakan para sarjana berhaluan kiri. Kemudian, istilah “teori kritis” ini, yang sebenarnya tidak begitu jelas batas-batasnya, berkembang ke berbagai bidang ilmu, yang di kembangkan antara lain oleh sarjana atau kelompok dari sarjana dalam bentuk teori-teori sebagai berikut: Teori marxist dari Frankfurt School, Teori semiotic and linguistic dari Julia Kristeva dan Roland Barthes, Teori psychoanalythic dari Jacquest Lacan, Critical legal Theory dari Roberto Unger dan Duncan Kennedy, Teori queer, Teori gender, Teori kultural, Teori Critical race, Teori radical criminology.

              Menyadari akan kebobrokan hukum yang sudah sampai pada tataran teoretis dan filsafat ini, maka pada akhir abad ke-20, tepatnya mulai dekade 1970-an, beberapa ahli hukum mulai melihat hukum dengan kacamata. yang kritis, bahkan sangat kritis, dengan gerakannya. yang terbilang revolusioner, akhirnya memunculkan suatu aliran baru dalarn filsafat hukum, yang kemudian dikenal dengan sebutan “aliran hukum kritis” (Critical legal Theory). Meskipun aliran Critical legal Theory belum tentu juga mempunyai teori yang bersifat alternatif, tetapi paling tidak, dia sudah punya. sejarah.

Konsep Critical Legal Theory

Aliran Critical Legal Theory meiliki beberapa karakteristik umum sebagai berikut:

1. Aliran Critical Legal Theory ini mengkritik hukum yang berlaku yang nyatanya memihak ke politik, dan sama sekli tidak netral

2.Ajaran Critical Legal Theory ini mengkritik hukum yang sarat dan dominan dengan ideologi tertentu.

3.Aliran Critical Legal Theory ini mempunyai komitmen besar terhadap kebebasan individual dengan batasan tertentu, karena aliran ini berhubungan dengan emansipasi kemanusiaan

4.Ajaran Critical Legal Theory ini kurang mempercayai bentu-bentuk kebenaran yang abstrak dan pengetahuan yang benar-benar obyektif. Karena itu ajaran Critical Legal Theory menolak keras ajaran-ajaran dalam positivisme hukum

5.Aliran Critical Legal Theory ini menolak perbedaan antara teori dan praktek, dan menolak juga perbedaan antara fakta dan nilai, yang merupakan karakteristik dari paham liberal.

Pada prinsipnya aliran Critical Legal Theory menolak anggapan ahli hukum tradisional yang mengatakan hukum itu objektif, hukum itu sudah tentu, serta hukum itu netral. Sebaliknya aliran hukum kritis mempunyai pandangan; hukum mencari legitimasi yang salah, hukum dibelenggu oleh kontradiksi-kontradiksi, tidak ada yang namanya prinsip-prinsip dasar dalam hukum, hukum tidak netral

Dengan kata lain Critical Legal Theory berada dalam posisi meminjam istilah oposisi, sehingga aliran ini tidak akan pernah berhenti untuk bergerak dan terus mengkritisi hukum yang ada, karena jika aliran ini terdiam maka aliran ini akan kembali terjebak pada positivisme hukum.

 Di samping itu, aliran Critical legal Theory ini juga berbeda secara konsepsi dengan pendekatan hukum secara sosiologis (sociolegal Theory). Pendekatan pada hukum secara sosiologis memiliki kelemahan utama berupa terabaikannya karakter orientasi kebijaksanaan hukum (policy oriented). Khusus untuk masalah ini, berbagai alternatif pendekatan baru telah dilakukan oleh para ahli hukum, seperti munculnya ajaran berupa sosiologi hukum kritis (Critical sociology of Legal) atau pendekatan pada hukum (dan juga pada fenomena sosial lainnya) berupa pendekatan secara dialektikal yang modern, semacam yang dilakukan oleh ahli pikir seperti Derrida, atau bahkan seperti yang dimunculkankan oleh Hegel, yang kemudian dikembangkan lebih lanjut, antara. lain oleh Bhaskar, dengan doktrinnya berupa “realisme kritikal dialektis” (dialectical Critical realism). Pendekatan nonkonvensional terhadap hukum seperti ini sudah barang tentu sangat bertentangan dengan pendekatan-pendekatan hukum secara klasik, yang terialu menekankan pada cara berpikir “identitas” (identity thinking).

 

 Critical Legal Theory Menurut Roberto Unger

Ketika paham formalisme tidak menggantungkan diri pada unsur-unsur dlluar hukum apa yang mereka lakukan hanyalah melakukan analogl-analogi. Dengan demikian, apa yang.mereka sebut sebagai penalaran hukum (legal reasoning) hanyalah semacam permainan analogi saja yang tidak ada akhirnya. Padahal, hak-hak manusia dan masyarakat tidak layak untuk selamanya dipertahankan hanya dengan menggunakan analogi. Lihat saja, misalnya, bagaimana seorang mahasiswa hukum yang cerdas dengan mudah dapat membantah keputusan hukum.

Roberto Unger mengakui tentang adanya penjabaran dari pihak yang boleh dibilang konservatif terhadap kritik kaurn Critical legal Theory tentang formalisme. Menurut pihak konservatif tersebut, kritikan oleh kaurn Critical legal Theory tersebut hanya valid jika ditujukan terhadap konstruksi hukum yang sistematik dari para, ahli hukurn yang sangat ambisius.dan tidak valid jika ditujukan terhadap argumentasi yang khusus dan problem oriented dari pihak Legalyer dan hakim dalarn praktek. Akan tetapi, menurut Unger, kritik kaum Critical legal Theory terhadap ajaran formalisme, sebenarnya juga dalam rarigka mempertahankan ajaran formalisnie dengan berbagai argumentasi, di samping,juga dalarn rangka menunjukkan bahwa tidak benar tindakan yang memisahkan antara penalaran hukum (legal reasoning) dan politik, ideologi, dan filsafat .[11]

Telaahan dari para penganut aliran Critical Legal Theory terhadap hukum juga ikut membicarakan antara peranan dari fakta (praktek) dan nilai (ide). Argumen konstruktif mereka, yakni dalarn bentuk program-program institutional dan pelaksanaan doktrin deviatidnist, menelaah hubungan antara praktek dan ide, yang selalu dipengaruhi oleh konflik sosial yang diaktualisasi dalarn bbrbagai bentuk eksperimen kolektif. Para penganut aliran Critical legal Theory menganalisis dengan kritis terhadap doktrindoktrin hukum dan tradisi hukurn yang ada yang mengikat manusia dan masyarakat. Menurut mereka, setiap tradisi penuh, dengan hal-hal yang ambiguitas, yang sangat memungkinkan timbul argumentasi alternatif yang bersifat persuasif.

                Para pengritik membedakan antara fakta dan preskriptif (norma) sehingga mereka sampai pada pendapat tentang ketidaklayakan dasardasar sekular mengenai suatu putusan yang normatif., Dalam hal ini, peranan agama-agama dapat memperjelas duduk persoalan yang mengajarkan bahwa apa yang imperatif dilakukan dalam hidup adalah visi tentang kenyataan yang sebenarnya (ultimate reality). Para pengritik percaya bahwa tanpa adanya hubungan antara visi dan imperatif, akan sia-sialah dan tidak mempunyai dasar terhadap setiap usaha untuk mensakralkan setiap perintah yang mesti diikuti oleh manusia.

 

 

Program – program Institusional dari Aliran Critical Legal Theory

            Para penganut aliran Critical legal Theory juga mengritik pandangan modern tentang organisasi pemerintahan. Sebab, menurut para penganut aliran Critical legal Theory tersebut bahwa setiap sarana untuk membatasi kekuasaan hegara, akan cenderung juga merugikan masyarakat. Karena itu, diperlukan suatu cara yang bersifat resolusi, di mana dapat terjadi pembatasan kekuasaan negara tanpa membatasi aktivitas negara yang bersifat transformatif.

            Karena itu, dalam bidang ilmu nonsains, bahkan juga kemudian dalam ilmu sains itu sendiri, terdapat gejolak – gejolak dalam bentuk pembangkangan, yang semakin lama tensinya semakin tinggi. Gejolak tersebut yang kemudian mengkristal menjadi protes yand akhirnya melahirkan aliran baru dengan cara pandang baru terhadap dunia, manusia, dan masyarakat dbngan berbagai atributnya itu. Karena sains juga mempunyai watak “anarkis”, maka pada awal mulanya setiap pembangkangan dianggap sebagai konsekuensi dari perkembangan sains sehingga pembangkangan tersebut dianggap wajar-wajar saja.

Teori hukum tradisional mengajarkan bahwa hukum merupakan seperangkat aturan dan prinsip-prinsip yang memungkinkan masyarakat mempertahankan ketertiban dan kebebasannya. Hukum harus netral dan dapat diterapkan pada siapa saja. Konsep dan wacana yang ideal dalam hukum yang pada akhir-akhir ini hanya dapat dijadikan sebagai pijakan dan cita-cita saja.

Teoretisi postmodern percaya bahwa hukum pada prinsipnya tidak mempunyai dasar yang obyektif dan tidaka ada yang namanya kebenaran sebagai tempat berpijaknya hukum. Hukum adalah kekuasaan dan merupakan alat kekuasaan, sehingga kalangan teoretisi postmodern disebut juga sebagai golongan antifoundationalists, yang mempunyai network pemikiran dan merupakan pembela gerakan Critical Legal Theory.

Gerakan Critical Legal Theory tidak berpijak pada satu model norma tertentu dan tidak pernah bertujuan untuk dapat menemukan model norma tertentu. Gerakan ini mencoba untuk mencermati teori dan praktek hukum yang sepenuhnya antitesis sehingga oposisinya juga tentu memiliki argumennya sendiri. Karena  itu sebagian orang menyebut bahwa gerakan Critical Legal Theory tidak memiliki bentuk hakikatnya tetapi memiliki sejarah.

Critical Legal Theory (selanjutnya disebut CLT) menawarkan analisis kritis terhadap hukum dengan melihat relasi suatu doktrin hukum dengan realitas dan mengungkapkan kritiknya. berbeda dengan kaum legis liberial, gerakan CLT ini memang ingin mengarahkan kritik mereka mempunyai sumbangan bagi transformasi politik dalam masyarakat atau mempunyai implikasi  praksis. Kalangan CLT ingin mengedepankan analisis hukum yang tidak hanya bertumpu semata-mata pada segi-segi doktrinal (internal relation), tapi juga dengan mempertimbangkan berbagai faktor di luar itu seperti preferensi-preferensi ideologis, bahasa, kepercayaan, nilai-nilai, dan konteks politik dalam proses pembentukan dan aplikasi hukum (external relation). CLT menuntut pemahamn terhadap kepustakaan fenomenologi, post-struktualisme, dekonstruksi, dan linguistik untuk membantu memahami relasi eksternal tersebut.

Salah satu bentuk paling umum yang dipraktekkan oleh studi hukum kritis adalah dengan membedah konsistensi internal dari sebuah teori, sebuah kesimpulan karakteristik yang berLegalanan dengan teori hukum liberal. Cara mereka dalam mengembangkan diskursus mempunyai watak oposan terhadap jurisprudensi dalam tradisi hukum liberal sehingga sejak awal kehadirannya, gerakan ini mendapat perLegalanan dan tentangan keras dari ahli-ahli hukum positivis dan kaum liberal. Dimana inti pemikiran liberal adalah membangun teori tentang pemisahan hukum dengan politik dan otonomi atau netralitas proses hukum.

Menurut teori hukum relasional, ia dapat memberikan tempat yang penting bagi perhatian tradisional atas teori hukum liberal tetapi juga pada saat yang sama memungkinkan untuk mencapai tujuan kritis yang menandai perbedaan antara teori hukum kritis dengan teori hukum liberal.

 

Varian Pemikiran Critical legal Theory

Dalam prakteknya ada berbagai macam varian di dalam arus Critical legal Theory. Varian itu disebabkan karena adanya beragam latar belakang sumber intelektual dan orientasi politik dari para pemikir yang ada di dalam Critical legal Theory. Walaupun memang berisiko mengakibatkan terjadinya penyederhanaan dalam memandang Critical legal Theory, tetapi setidaknya dapat disebutkan 3 (tiga) varian utama dalam pemikiran Critical legal Theory ini, yaitu[12]:

  • Arus pemikiran yang diwakili oleh Unger, yang mencoba mengintegrasikan 2 (dua) paradigma yang saling bersaing, yaitu paradigma konflik dan paradigma konsensus.
  • Arus pemikiran yang diwakili oleh David Kairys, yang mewakili tradisi pemikiran hukum marxis atau tepatnya mewarisi kritik marxis terhadap hukum liberal yang dianggap hanya melayani sistem kapitalisme. Arus pemikiran ini mempunyai kecenderungan kepada sosialisme humanistik sebagai komitmen politiknya.
  • Arus pemikiran yang diwakili oleh Kennedy, yang menggunakan metode ekletis yang membaurkan sekaligus perspektif strukturalis, fenomenologis dan neo-marxis.

      Roberto Unger dalam bukunya mengakui tentang adanya penjabaran dari pihak yang boleh dibilang konservatif terhadap kritik kaum Critical legal Theory tentang formalisme. Menurut pihak konservatif tersebut, kritikan oleh kaum Critical legal Theory tersebut hanya valid jika ditujukan terhadap konstruksi hukum yang sistematik dari para ahli hukum yang sangat ambisius dan tidak valid jika ditujukan terhadap argumentasi yang khusus dan problem oriented dari pihak Legalyer dan hakim dalam praktek. Akan tetapi, menurut Unger, kritik kaum Critical legal Theory terhadap ajaran formalisme, sebenarnya juga dalam rangka mempertahankan ajaran formalisme dengan berbagai argumentasi, di samping, juga dalam rangka menunjukkan bahwa tidak benar tindakan yang memisahkan antara penalaran hukum (legal reasoning) dan politik, ideologi, dan filsafat.

      Para penganut aliran Critical Legal Theory juga mengritik pandangan modern tentang organisasi pemerintahan. Sebab, menurut para penganut aliran Critical legal Theory tersebut bahwa setiap sarana untuk membatasi kekuasaan negara, akan cenderung juga merugikan masyarakat. Karena itu, diperlukan suatu cara yang bersifat resolusi, di mana dapat terjadi pembatasan kekuasaan negara tanpa membatasi aktivitas negara yang bersifat transformatif.

      Critical Legal Theory menyatakan bahwa masyarakat liberal dipenuhi dengan dominasi dan hierarkhi. Kelas atas membentuk struktur yang berlaku bagi lainnya untuk memperlancar kehidupannya. Negara hukum yang ideal adalah yang dapat menandai kontradiksi dan hierarkhi dalam masyarakat liberal. Jika dikatakan bahwa hukum tidak bertugas untuk menemukan kebenaran, tetapi menemukan kompleksitas yang telah ada, maka teori hukum tidak akan bermakna tanpa teori sosial.

      Kebenaran pernyataan tentang kehidupan sosial sesungguhnya telah dikondisikan oleh seluruh sistem sosial yang berlaku. Kebenaran bersifat relatif menurut masyarakat tertentu atau kelompok sejarah tertentu. Seseorang secara keseluruhan struktur sosial adalah produk sejarah, bukan alam. Sejarah dipenuhi dengan pertentangan-pertentangan, dan aturan sosial merupakan garis pemisah yang menggambarkan posisi masing-masing. Kekuatan menjadi hak, kepatuhan menjadi tugas, dan untuk sementara pembagian hierarkhi sosial menjadi kabur.

      Critical Legal Theory mencoba untuk mempengaruhi realitas sosial. Struktur yang ada merupakan penggunaan kepercayaan dan asumsi yang menciptakan suatu masyarakat dalam realitas hubungan antar manusia. Struktur kepercayaan atau ideology tersebut memiliki potensi terselubung dalam tendensinya untuk mempertahankan dinamikanya sendiri untuk menciptakan doktrin hukum yang menyalahkan kondisi dan alam. Bagi Critical legal Theory, kesadaran hukum adalah alat yang berhubungan dengan pikiran untuk melakukan penindasan. Hal ini merupakan cara untuk menyembunyikan atau menghindari kebenaran fundamental bahwa segala sesuatu itu dalam proses perubahan dan kehadiran.

      Namun demikian, walaupun ada beragam arus pemikiran dalam Critical legal Theory ini, para pemikir Critical legal Theory tersebut tetaplah bersatu dalam pokok pemikiran yang tidak puas dan melancarkan kritik terhadap paradigma hukum liberal. Untuk mengkritisi doktrin hukum yang telah terbentuk selama ini, Critical legal Theory menggunakan metode[13]:

v  Trashing, yaitu dilakukan untuk mematahkan atau menolak pemikiran hukum yang telah terbentuk. Teknik trashing dilakukan untuk menunjukkan kontradiksi dan kesimpulan yang bersifat sepihak berdasarkan asumsi yang meragukan.

v  Deconstruction, adalah membongkar pemikiran hukum yang telah terbentuk. Dengan melakukan pembongkaran ini, maka dapat dilakukan rekonstruksi pemikiran hukum.

v  Genealogy, adalah penggunaan sejarah dalam menyampaikan argumentasi. Genealogy digunakan karena interpretasi sejarah sering didominasi oleh pihak yang memiliki kekuatan. Interpretasi sejarah ini yang kemudian digunakan untuk memperkuat suatu konstruksi hukum.

 

IV.b. 2 Teori  Feminisme Hukum (Feminisme Legal Theory)

Sejarah dan Perkembangannya[14]

Feminisme sebagai filsafat dan gerakan berkaitan dengan Era Pencerahan di Eropa yang dipelopori oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis de Condorcet.Setelah Revolusi Amerika 1776 dan Revolusi Prancis pada 1792 berkembang pemikiran bahwa posisi perempuan kurang beruntung daripada pria dalam realitas sosialnya. Ketika itu, perempuan, baik dari kalangan atas, menengah ataupun bawah, tidak memiliki hak-hak seperti hak untuk mendapatkan pendidikan, berpolitik, hak atas milik dan pekerjaan.Oleh karena itulah, kedudukan perempuan tidaklah sama dengan pria di hadapan hukum.Pada 1785 perkumpulan masyarakat ilmiah untuk perempuan pertama kali didirikan di Middelburg, sebuah kota di selatan Belanda.

Kata feminisme dicetuskan pertama kali oleh aktivis sosialis utopis, Charles Fourier pada tahun 1837.Pergerakan yang berpusat di Eropa ini berpindah ke Amerika dan berkembang pesat sejak publikasi John Stuart Mill, "Perempuan sebagai Subyek" (The Subjection of Women) pada tahun (1869).Perjuangan mereka menandai kelahiran feminisme Gelombang Pertama.

Pada awalnya gerakan ditujukan untuk mengakhiri masa-masa pemasungan terhadap kebebasan perempuan. Secara umum kaum perempuan (feminim) merasa dirugikan dalam semua bidang dan dinomor duakan oleh kaum pria (maskulin) dalam bidang sosial, pekerjaan, pendidikan, dan politik khususnya - terutama dalam masyarakat yang bersifat patriarki. Dalam masyarakat tradisional yang berorientasi Agraris, kaum pria cenderung ditempatkan di depan, di luar rumah, sementara kaum perempuan di dalam rumah. Situasi ini mulai mengalami perubahan ketika datangnya era Liberalisme di Eropa dan terjadinya Revolusi Perancis di abad ke-XVIII yang merambah ke Amerika Serikat dan ke seluruh dunia.

Adanya fundamentalisme agama yang melakukan opresi terhadap kaum perempuan memperburuk situasi.Di lingkungan agama Kristen terjadi praktek-praktek dan khotbah-khotbah yang menunjang hal ini ditilik dari banyaknya gereja menolak adanya pendeta perempuan, dan beberapa jabatan "tua" hanya dapat dijabat oleh pria.

Pergerakan di Eropa untuk "menaikkan derajat kaum perempuan" disusul oleh Amerika Serikat saat terjadi revolusi sosial dan politik. Di tahun 1792 Mary Wollstonecraft membuat karya tulis berjudul "Mempertahankan Hak-hak Perempuan" (Vindication of the Right of Woman) yang berisi prinsip-prinsip feminisme dasar yang digunakan dikemudian hari.

Pada tahun 1830-1840 sejalan terhadap pemberantasan praktek perbudakan, hak-hak kaum prempuan mulai diperhatikan dengan adanya perbaikan dalam jam kerja dan gaji perempuan , diberi kesempatan ikut dalam pendidikan, serta hak pilih.

Menjelang abad 19 feminisme lahir menjadi gerakan yang cukup mendapatkan perhatian dari para perempuan kulit putih di Eropa.Perempuan di negara-negara penjajah Eropa memperjuangkan apa yang mereka sebut sebagai keterikatan (perempuan) universal (universal sisterhood).

Pada tahun 1960 munculnya negara-negara baru, menjadi awal bagi perempuan mendapatkan hak pilih dan selanjutnya ikut ranah politik kenegaraan dengan diikutsertakannya perempuan dalam hak suara parlemen.Gelombang kedua ini dipelopori oleh para feminis Perancis seperti Helene Cixous (seorang Yahudi kelahiran Aljazair yang kemudian menetap di Perancis) dan Julia Kristeva (seorang Bulgaria yang kemudian menetap di Perancis) bersamaan dengan kelahiran dekonstruksionis, Derrida. Dalam the Laugh of the Medusa, Cixous mengkritik logosentrisme yang banyak didominasi oleh nilai-nilai maskulin.Banyak feminis-individualis kulit putih, meskipun tidak semua, mengarahkan obyek penelitiannya pada perempuan-perempuan dunia ketiga seperti Afrika, Asia dan Amerika Selatan.

Gelombang feminisme di Amerika Serikat mulai lebih keras bergaung pada era perubahan dengan terbitnya buku The Feminine Mystique yang ditulis oleh Betty Friedan di tahun 1963. Buku ini ternyata berdampak luas, lebih-lebih setelah Betty Friedan membentuk organisasi perempuan bernama National Organization for Woman (NOW) di tahun 1966 gemanya kemudian merambat ke segala bidang kehidupan. Dalam bidang perundangan, tulisan Betty Fredman berhasil mendorong dikeluarkannya Equal Pay Right (1963) sehingga kaum perempuan bisa menikmati kondisi kerja yang lebih baik dan memperoleh gaji sama dengan pria untuk pekerjaan yang sama, dan Equal Right Act (1964) dimana kaum perempuan mempunyai hak pilih secara penuh dalam segala bidang

Gerakan feminisme yang mendapatkan momentum sejarah pada tahun 1960-an menunjukan bahwa sistem sosial masyarakat modern dimana memiliki struktur yang pincang akibat budaya patriarkal yang sangat kental. Marginalisasi peran perempuan dalam berbagai aspek kehidupan, khususnya ekonomi dan politik, merupakan bukti konkret yang diberikan kaum feminis.

Gerakan perempuan atau feminisme berjalan terus, sekalipun sudah ada perbaikan-perbaikan, kemajuan yang dicapai gerakan ini terlihat banyak mengalami halangan. Di tahun 1967 dibentuklah Student for a Democratic Society (SDS) yang mengadakan konvensi nasional di Ann Arbor kemudian dilanjutkan di Chicago pada tahun yang sama, dari sinilah mulai muncul kelompok "feminisme radikal" dengan membentuk Women´s Liberation Workshop yang lebih dikenal dengan singkatan "Women´s Lib". Women´s Lib mengamati bahwa peran kaum perempuan dalam hubungannya dengan kaum pria dalam masyarakat kapitalis terutama Amerika Serikat tidak lebih seperti hubungan yang dijajah dan penjajah. Di tahun 1968 kelompok ini secara terbuka memprotes diadakannya "Miss America Pegeant" di Atlantic City yang mereka anggap sebagai "pelecehan terhadap kaum perempuan dan komersialisasi tubuh perempuan". Gema ´pembebasan kaum perempuan´ ini kemudian mendapat sambutan di mana-mana di seluruh dunia.

Pada tahun 1975, "Gender, development, dan equality" sudah dicanangkan sejak Konferensi Perempuan Sedunia Pertama di Mexico City tahun 1975. Hasil penelitian kaum feminis sosialis telah membuka wawasan jender untuk dipertimbangkan dalam pembangunan bangsa. Sejak itu, arus pengutamaan jender atau gender mainstreaming melanda dunia.

Memasuki era 1990-an, kritik feminisme masuk dalam institusi sains yang merupakan salah satu struktur penting dalam masyarakat modern. Termarginalisasinya peran perempuan dalam institusi sains dianggap sebagai dampak dari karakteristik patriarkal yang menempel erat dalam institusi sains. Tetapi, kritik kaum feminis terhadap institusi sains tidak berhenti pada masalah termarginalisasinya peran perempuan. Kaum feminis telah berani masuk dalam wilayah epistemologi sains untuk membongkar ideologi sains yang sangat patriarkal. Dalam kacamata eko-feminisme, sains modern merupakan representasi kaum pria yang dipenuhi nafsu eksploitasi terhadap alam. Alam merupakan representasi dari kaum perempuan yang lemah, pasif, dan tak berdaya. Dengan relasi patriarkal demikian, sains modern merupakan refleksi dari sifat maskulinitas dalam memproduksi pengetahuan yang cenderung eksploitatif dan destruktif.

Berangkat dari kritik tersebut, tokoh feminis seperti Hilary Rose, Evelyn Fox Keller, Sandra Harding, dan Donna Haraway menawarkan suatu kemungkinan terbentuknya genre sains yang berlandas pada nilai-nilai perempuan yang antieksploitasi dan bersifat egaliter. Gagasan itu mereka sebut sebagai sains feminis(feministscience).

 

Aliran-aliran Feminisme[15]

a.    Feminisme liberal

Apa yang disebut sebagai Feminisme Liberal ialah pandangan untuk menempatkan perempuan yang memiliki kebebasan secara penuh dan individual. Aliran ini menyatakan bahwa kebebasan dan kesamaan berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Setiap manusia -demikian menurut mereka- punya kapasitas untuk berpikir dan bertindak secara rasional, begitu pula pada perempuan. Akar ketertindasan dan keterbelakngan pada perempuan ialah karena disebabkan oleh kesalahan perempuan itu sendiri. Perempuan harus mempersiapkan diri agar mereka bisa bersaing di dunia dalam kerangka "persaingan bebas" dan punya kedudukan setara dengan lelaki.

Feminis Liberal memilki pandangan mengenai negara sebagai penguasa yang tidak memihak antara kepentingan kelompok yang berbeda yang berasl dari teori pluralisme negara. Mereka menyadari bahwa negara itu didominasi oleh kaum Pria, yang terlefleksikan menjadi kepentingan yang bersifat “maskulin”, tetapi mereka juga menganggap bahwa negara dapat didominasi kuat oleh kepentiangan dan pengaruh kaum pria tadi. Singkatnya, negara adalah cerminan dari kelompok kepentingan yang memeng memiliki kendali atas negara tersebut. Untuk kebanyakan kaum Liberal Feminis, perempuan cendrung berada “didalam” negara hanya sebatas warga negara bukannya sebagai pembuat kebijakan. Sehingga dalam hal ini ada ketidaksetaraan perempuan dalam politik atau bernegara. Pun dalam perkembangan berikutnya, pandangan dari kaum Feminist Liberal mengenai “kesetaraan” setidaknya memiliki pengaruhnya tersendiri terhadap perkembangan “pengaruh dan kesetaraan perempuan untuk melakukan kegiatan politik seperti membuat kebijakan di sebuah negara”.  Tokoh aliran ini adalah Naomi Wolf, sebagai "Feminisme Kekuatan" yang merupakan solusi. Kini perempuan telah mempunyai kekuatan dari segi pendidikan dan pendapatan, dan perempuan harus terus menuntut persamaan haknya serta saatnya kini perempuan bebas berkehendak tanpa tergantung pada lelaki.

Feminisme liberal mengusahakan untuk menyadarkan perempuan bahwa mereka adalah golongan tertindas. Pekerjaan yang dilakukan perempuan di sektor domestik dikampanyekan sebagai hal yang tidak produktif dan menempatkab perempuan pada posisi sub-ordinat. Budaya masyarakat Amerika yang materialistis, mengukur segala sesuatu dari materi, dan individualis sangat mendukung keberhasilan feminisme. Perempuan-perempuan tergiring keluar rumah, berkarier dengan bebas dan tidak tergantung lagi pada pria.

Akar teori ini bertumpu pada kebebasan dan kesetaraaan rasionalitas. Perempuan adalah makhluk rasional, kemampuannya sama dengan pria, sehingga harus diberi hak yang sama juga dengan pria. Permasalahannya terletak pada produk kebijakan negara yang bias gender. Oleh karena itu, pada abad 18 sering muncul tuntutan agar prempuan mendapat pendidikan yang sama, di abad 19 banyak upaya memperjuangkan kesempatan hak sipil dan ekonomi bagi perempuan, dan di abad 20 organisasi-organisasi perempuan mulai dibentuk untuk menentang diskriminasi seksual di bidang politik, sosial, ekonomi, maupun personal. Dalam konteks Indonesia, reformasi hukum yang berprerspektif keadilan melalui desakan 30% kuota bagi perempuan dalam parlemen adalah kontribusi dari pengalaman feminis liberal.

b.   Feminisme Radikal

Trend ini muncul sejak pertengahan tahun 1970-an di mana aliran ini menawarkan ideologi "perjuangan separatisme perempuan". Pada sejarahnya, aliran ini muncul sebagai reaksi atas kultur seksisme atau dominasi sosial berdasar jenis kelamin di Barat pada tahun 1960-an, utamanya melawan kekerasan seksual dan industri pornografi. Pemahaman penindasan pria terhadap perempuan adalah satu fakta dalam sistem masyarakat yang sekarang ada. Dan gerakan ini adalah sesuai namanya yang "radikal".

Feminis Liberal memilki pandangan mengenai negara sebagai penguasa yang tidak memihak antara kepentingan kelompok yang berbeda yang berasl dari teori pluralisme negara. Mereka menyadari bahwa negara itu didominasi oleh kaum Pria, yang terlefleksikan menjadi kepentingan yang bersifat “maskulin”, tetapi mereka juga menganggap bahwa negara dapat didominasi kuat oleh kepentiangan dan pengaruh kaum pria tadi. Singkatnya, negara adalah cerminan dari kelompok kepentingan yang memeng memiliki kendali atas negara tersebut. Untuk kebanyakan kaum Liberal Feminis, perempuan cendrung berada “didalam” negara hanya sebatas warga negara bukannya sebagai pembuat kebijakan. Sehingga dalam hal ini ada ketidaksetaraan perempuan dalam politik atau bernegara. Pun dalam perkembangan berikutnya, pandangan dari kaum Feminist Liberal mengenai “kesetaraan” setidaknya memiliki pengaruhnya tersendiri terhadap perkembangan “pengaruh dan kesetaraan perempuan untuk melakukan kegiatan politik seperti membuat kebijakan di sebuah negara”.

Aliran ini bertumpu pada pandangan bahwa penindasan terhadap perempuan terjadi akibat sistem patriarki. Tubuh perempuan merupakan objek utama penindasan oleh kekuasaan pria. Oleh karena itu, feminisme radikal mempermasalahkan antara lain tubuh serta hak-hak reproduksi, seksualitas (termasuk lesbianisme), seksisme, relasi kuasa perempuan dan pria, dan dikotomi privat-publik. "The personal is political" menjadi gagasan anyar yang mampu menjangkau permasalahan prempuan sampai ranah privat, masalah yang dianggap paling tabu untuk diangkat ke permukaan. Informasi atau pandangan buruk (black propaganda) banyak ditujukan kepada feminis radikal. Padahal, karena pengalamannya membongkar persoalan-persoalan privat inilah Indonesia saat ini memiliki Undang Undang RI no. 23 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT).

 

c.    Feminisme Post Modern

Ide Postmo - menurut anggapan mereka - ialah ide yang anti absolut dan anti otoritas, gagalnya modernitas dan pemilahan secara berbeda-beda tiap fenomena sosial karena penentangannya pada penguniversalan pengetahuan ilmiah dan sejarah. Mereka berpendapat bahwa gender tidak bermakna identitas atau struktur sosial.

d.   Feminisme Anarkis

Feminisme Anarkisme lebih bersifat sebagai suatu paham politik yang mencita-citakan masyarakat sosialis dan menganggap negara dan sistem patriaki-dominasi lelaki adalah sumber permasalahan yang sesegera mungkin harus dihancurkan.

e.    Feminisme Marxis

Aliran ini memandang masalah perempuan dalam kerangka kritik kapitalisme. Asumsinya sumber penindasan perempuan berasal dari eksploitasi kelas dan cara produksi. Teori Friedrich Engels dikembangkan menjadi landasan aliran ini—status perempuan jatuh karena adanya konsep kekayaaan pribadi (private property). Kegiatan produksi yang semula bertujuan untuk memenuhi kebutuhan sendri berubah menjadi keperluan pertukaran (exchange). Pria mengontrol produksi untuk exchange dan sebagai konsekuensinya mereka mendominasi hubungan sosial. Sedangkan perempuan direduksi menjadi bagian dari property. Sistem produksi yang berorientasi pada keuntungan mengakibatkan terbentuknya kelas dalam masyarakat—borjuis dan proletar. Jika kapitalisme tumbang maka struktur masyarakat dapat diperbaiki dan penindasan terhadap perempuan dihapus.

Kaum Feminis Marxis, menganggap bahwa negara bersifat kapitalis yakni menganggap bahwa negara bukan hanya sekadar institusi tetapi juga perwujudan dari interaksi atau hubungan sosial. Kaum Marxis berpendapat bahwa negara memiliki kemampuan untuk memelihara kesejahteraan, namun disisi lain, negara bersifat kapitalisme yang menggunakan sistem perbudakan kaum perempuan sebagai pekerja.

f. Feminisme sosialis

Sebuah faham yang berpendapat "Tak Ada Sosialisme tanpa Pembebasan Perempuan. Tak Ada Pembebasan Perempuan tanpa Sosialisme". Feminisme sosialis berjuang untuk menghapuskan sistem pemilikan. Lembaga perkawinan yang melegalisir pemilikan pria atas harta dan pemilikan suami atas istri dihapuskan seperti ide Marx yang menginginkan suatu masyarakat tanpa kelas, tanpa pembedaan gender.

Feminisme sosialis muncul sebagai kritik terhadap feminisme Marxis. Aliran ini mengatakan bahwa patriarki sudah muncul sebelum kapitalisme dan tetap tidak akan berubah jika kapitalisme runtuh. Kritik kapitalisme harus disertai dengan kritik dominasi atas perempuan. Feminisme sosialis menggunakan analisis kelas dan gender untuk memahami penindasan perempuan. Ia sepaham dengan feminisme marxis bahwa kapitalisme merupakan sumber penindasan perempuan. Akan tetapi, aliran feminis sosialis ini juga setuju dengan feminisme radikal yang menganggap patriarkilah sumber penindasan itu. Kapitalisme dan patriarki adalah dua kekuatan yang saling mendukung. Seperti dicontohkan oleh Nancy Fraser di Amerika Serikat keluarga inti dikepalai oleh pria dan ekonomi resmi dikepalai oleh negara karena peran warga negara dan pekerja adalah peran maskulin, sedangkan peran sebagai konsumen dan pengasuh anak adalah peran feminin. Agenda perjuagan untuk memeranginya adalah menghapuskan kapitalisme dan sistem patriarki. Dalam konteks Indonesia, analisis ini bermanfaat untuk melihat problem-problem kemiskinan yang menjadi beban perempuan

g. Feminisme postkolonial

Dasar pandangan ini berakar di penolakan universalitas pengalaman perempuan. Pengalaman perempuan yang hidup di negara dunia ketiga (koloni/bekas koloni) berbeda dengan prempuan berlatar belakang dunia pertama. Perempuan dunia ketiga menanggung beban penindasan lebih berat karena selain mengalami pendindasan berbasis gender, mereka juga mengalami penindasan antar bangsa, suku, ras, dan agama. Dimensi kolonialisme menjadi fokus utama feminisme poskolonial yang pada intinya menggugat penjajahan, baik fisik, pengetahuan, nilai-nilai, cara pandang, maupun mentalitas masyarakat. Beverley Lindsay dalam bukunya Comparative Perspectives on Third World Women: The Impact of Race, Sex, and Class menyatakan, “hubungan ketergantungan yang didasarkan atas ras, jenis kelamin, dan kelas sedang dikekalkan oleh institusi-institusi ekonomi, sosial, dan pendidikan.”

h. Feminisme Nordic

Kaum Feminis Nordic dalam menganalisis sebuah negara sangat berbeda dengan pandangan Feminis Marxis maupun Radikal.Nordic yang lebih menganalisis Feminisme bernegara atau politik dari praktek-praktek yeng bersifat mikro. Kaum ini menganggap bahwa kaum perempuan “harus berteman dengan negara” karena kekuatan atau hak politik dan sosial perempuan terjadi melalui negara yang didukung oleh kebijakan sosial negara[16].

 

2.      Tokoh Dalam Perkembangan Feminisme (Gender)

a.      Foucault

Meskipun ia adalah tokoh yang terkenal dalam feminism, namun Foucault tidak pernah membahas tentang perempuan. Hal yang diadopsi oleh feminism dari Fault adalah bahwa ia menjadikan ilmu pengetahuan “dominasi” yang menjadi miliki kelompok-kelompok tertentu dan kemudian “dipaksakan” untuk diterima oleh kelompok-kelompok lain, menjadi ilmu pengetahuan yang ditaklukan. Dan hal tersebut mendukung bagi perkembangan feminisme.

b.      Naffine

Kita dipaksa “meng-iya-kan” sesuatu atas adanya kuasa atau power Kuasa bergerak dalam relasi-relasi dan efek kuasa didasarkan bukan oleh orang yang dipaksa meng “iya”kan keinginan orang lain, tapi dirasakan melalui ditentukannya pikiran dan tingkah laku. Dan hal ini mengarah bahwa individu merupakan efek dari kuasa.

c.       Derrida (Derridean)

Mempertajam fokus pada bekerjanya bahasa (semiotika) dimana bahasa membatasi cara berpikir kita dan juga menyediakan cara-cara perubahan. Menekankan bahwa kita selalu berada dalam teks (tidak hanya tulisan di kertas, tapi juga termasuk dialog sehari-hari) yang mengatur pikiran-pikiran kita dan merupakan kendaraan untuk megekspresikan pikiran-pikiran kita tersebut. Selain itu juga penekanan terhdap dilakukanya “dekonstruksi” terhadap kata yang merupakan intervensi ke dalam bekerjanya bahasa dimana setelah melakukan dekonstruksi tersebut kita tidak dapat lagi melihat istilah yang sama dengan cara yang sama.

 

II.c.     Pelaksanaan Teori Hukum Kritis (Critical Legal Theory) dan Teori Feminisme Hukum (Feminisme Legal Theory) dalam upaya merayu munculnya hukum yang berkeadilan di Indonesia

II.c.1.Pelaksanaan Teori Hukum Kritis (Critical Legal Theory) di Indonesia.

Critical Legal Theory bagi kalangan hukum di Indonesia sendiri masih dianggap baru. Perkembangan awal Critical legal Theory digunakan oleh kalangan aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) untuk memahami kebijakan dan struktur hukum yang menindas. Hal ini sesuai dengan mainstream utama pemikiran LSM yang cenderung kritis dengan menggunakan pemikiran-pemikiran marxian dan mazhab kritis. Namun untuk saat ini kita tidak tahu apakah para aktivis LSM masih cenderung kritis dalam pemikiran-pemikirannya.

Saat ini Indonesia berada dalam masa transisi yang ditandai oleh pergulatan kekuatan-kekuatan yang mencoba untuk mendominasi baik dari dalam negeri maupun kekuatan kapitalis internasional yang sangat membahayakan. Maka sudah saatnya pemikiran-pemikiran Critical legal Theory juga digunakan untuk memahami, mengkritik, membangun, dan menerapkan hukum di Indonesia yang terlalu banyak carut marut di dalam penerapannya.

Pemikiran Critical Legal Theory juga telah mempengaruhi pemikiran para ahli hukum di Indonesia. Hal itu dapatlah dipahami, karena keadaan hukum di Indonesia mirip dengan keadaan hukum di Amerika Serikat pada saat Critical Legal Theory ini lahir. Jadi dengan demikian, penggunaan metode yang ditawarkan oleh Critical Legal Theory memang akan sangat membantu dalam memberikan pemahaman terhadap keadaan hukum di Indonesia. Kajian-kajian hukum Critical Legal Theory sangat relevan digunakan dalam menganalisis proses-proses hukum di Indonesia, dalam menganalisis proses-proses pembentukan dan penerapannya maupun untuk menganalisis suatu doktrin hukum dan bagaimana ia telah berfungsi mengabsahkan suatu sistem sosial atau kebijakan tertentu. Memang sangat diperlukan suatu analisis yang dapat mengungkap “hidden political intentions” di belakang berbagai konsep, doktrin dan proses-proses hukum di sini”.

Penggunaan Critical legal Theory untuk menganalisis hukum di Indonesia paling mudah dilakukan terhadap pembangunan hukum pada masa orde baru. Pada masa inilah dapat diakses secara jelas kepentingan-kepentingan ekonomi dan politik dominan yang menghuni ide tata hukum. Kepentingan atas pertumbuhan ekonomi memaksa kebijakan kemudahan usaha dengan jalan pemberian kredit yang disertai dengan deregulasi dan debirokratisasi. Kepentingan pembangunan ekonomi mensyaratkan stabilitas politik yang dilakukan dengan cara mengurangi hak sipil dan politik rakyat

Selain hal tersebut, perlu pula diperhatikan, bahwa pada saat menggunakan metode Critical legal Theory dalam menganalisis keadaan hukum di Indonesia, tetaplah harus memperhatikan faktor-faktor tertentu yang sifatnya khas dan mungkin hanya ada di Indonesia, seperti faktor nilai-nilai budaya masyarakat Indonesia atau faktor agama. Bahkan untuk faktor agama ini, akan sangat mungkin menjadi hambatan untuk dilakukannya kajian yang kritis terhadap hukum. Misalnya saja, tentu akan sulit untuk melakukan kajian yang kritis terhadap kemungkinan dibentuknya peraturan perundang-undangan yang melegalkan perkawinan sesama jenis kelamin (homoseksual) di Indonesia. Hambatan terhadap kajian kritis semacam itu, tentu terletak pada keyakinan masyarakat Indonesia yang pada umumnya masih menganggap bahwa perilaku homoseksual itu adalah dilarang oleh agama (bertentangan dengan nilai agama). Jadi, dalam menggunakan metode Critical legal Theory ini tetaplah “kontekstualisasinya diperlukan”[17].

Untuk mendistribusikan produk dengan kata lain bagaimana barang tersebut harus laku dijual dipasar., maka perusahaan harus jeli membuat strategi.

 

Dalam prakteknya Critical Legal Theory dapat ditemui dalam beberapa produk hukum seperti penerapan Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pada dasarnya agar hukum perlindungan konsumen tidak muncul, maka diasumsikan kedudukan produsen dan konsumen adalah sejajar (tetapi pada akhirnya UU itu juga berlaku). Produk hukum yang baru sulit lahir dikarenakan adanya kesepakatan antara pengusaha dan penguasa agar produk hukum yang nantinya akan dibuat, dapat meminimalisir hal-hal yang dapat merugikan pihak pengusaha tersebut

Dalam pengertian ilmu ekonomi secara sederhana yang memusatkan perhatiannya pada persoalan pokok tentang bagaimana manusia dapat mempertahankan hidupnya dan bagaimana manusia mengatasi persoalan tersebut. Semua itu disebabkan karena adanya masalah kelangkaan materialisme dan dimensi kejiwaan manusia yang berhadapan dengan kebutuhan yang tidak terbatas Kebutuhan lebih besar dari kemampuan.

 

Dalam hubungan ini, maka manusia dalam arti luas yakni sebabai masyarakat ekonomi mempunyai tugas dan tanggung jawab yang besar yang harus diselesaikan yaitu harus mengadakan mekanisme atau system bagaimana memproduksi barang dan jasa yang dibutuhkan dan mengatur bagaimana hasil produksi didistribusikan.

Sebagai contoh lain, terkait Undang-Undang Nomor 32 TAHUN 2004  Tentang Pemerintaha Daerah. Pemikiran yang melatarbelakangi yaitu :

Pertama, bahwa UU Pemda tersebut selain substansinya mengatur tentang otonomi daerah  juga mengatur tentang pemilihan Kepala Daerah secara langsung, yang tentu dalam proses pembentukan dan implementasinya sarat dengan interaksi politik,  karena menyangkut langsung kepentingan partai-partai politik. 

Kedua, di banyak daerah implementasi UU tentang Pemda tersebut banyak menimbulkan konflik politik dan gejolak di masyarakat, berkaitan dengan penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah secara langsung, yang tentu sangat menarik untuk dijadikan sebagai objek penelitian karena terjadinya diskongruensi antara das sein dan das sollen dengan dibentuknya UU Pemda tersebut.

Permasalahan muncul karena adanya jarak antara harapan atau Das Sollen dengan kenyataan atau Das Sein dibentuknya Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, yaitu untuk mempercepat  otonomisasi di daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi guna mewujudkan masyarakat yang lebih sejahtera dan adil. Kenyataan yang terjadi di masyarakat pascakeluarnya Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 menunjukkan hal berbeda, banyak protes dari masyarakat terkait dengan isi atau muatan UU Pemda tersebut[18] yang dianggap kurang menjamin kesamaan hak warga negara di dalam hukum dan pemerintahan, gejolak dan kekacauan banyak terjadi daerah yang menyebabkan terjadinya instabilitas daerah,  yang semuanya itu menjadi faktor kendala bagi percepatan pelaksanaan otonomi daerah[19].

 

II.c.2.Pelaksanaan Teori Feminisme Hukum (Feminisme Legal Theory) di Indonesia.

II.c.2.a.Pelaksanaan Teori Feminisme di Indonesia

Pada Zaman Majapahit terdapat Ratu dari kaum perempuan yaitu Ratu Tri Buana Tungga Dewi (1328) yang kemudian melahirkan raja Majapahit Hayam Wuruk. Sejarah juga mengisahkan Aceh pernah di pimpin seorang perempuan muslim, yaitu Sulthanah Seri Tajul Alam Safiatuddin Johan. Ia di nobatkan sebagai Raja Aceh sejak tahun 1641-1699. Di Sulawesi Selatan, Siti Aisyah We Tenriolle menjadi Ratu Ternate tahun 1856. Di Kutai Kalimantan Timur pernah pula berkuasa seorang Ratu yaitu Ratu Aji Sitti.

Pada masa perjuangan, sejumlah pahlawan perempuan seperti Raden Ayu Ageng Serang, Cut Nyak Dien yang tetap tegar memimpin perlawanan memimpun perlawanan mengusir penjajah meskipun di belit penyakit dan kebutaan, begitu pula dengan Cut Meutia yang memimpin Pria dalam peperangan di aceh. Mereka ikut andil dalam mengatur Strategi dan Taktik sekaligus ikut mengangkat senjata dalam berbagai peperangan.

Demikian pula perempuan-perempuan tempo dulu yang gigih memperjuangkan emansipasi dalam arti pembebasan diri melawan adat, kekolotan,dan keterbelakangan. RA. Kartini adalah sebagai Pelopor Emansipasi Perempuan. Baginya masalah pokok yang di hadapi indonesia adalah masalah pendidikan. Pendidikan bukan hanya di tujukan pada kaum pria tetapi pendidikan bagi kaum perempuan juga perlu di perhatikan, suatu pemikiran yang cukup berani pada saat itu.

Dalam bidang pendidikan ini pula muncul seorang tokoh perempuan dari Sumatra yaitu Rohana Koedoes adik Sultan Sahrir. Ia mendirikan sekolah Kerajinan Perempuan pada tahun 1911. Sekolah tersebut di rancang untuk memberikan pengetahuan keagamaan, termasuk baca tulis arab dan ketrampilan, agar perempuan mandiri secara ekonomi. Pada tahun 1912, ia menerbitkan surat kabar  perempuan yaitu Soenting Melayu, yang artinya perempuan melayu. Surat kabar tersebut memberi kontribusi yang amat berarti dalam sejarah gerakan perempuan Indonesia dan makin memperkuat laju perkembangan wacana kemajuan perempuan. Dalam waktu yang bersamaan di Medan terdapat di medan terbit surat kabar Perempuan Bergerak, untuk mendukung sosialisasi dan advokasi gagasan kemajuan perempuan. Di Jawa juga terbit Wanito Sworo yang di pelopori Siti Soendari, adik dr.Sutomo pada tahun 1912. Berbeda dengan Rohana Koedoes , Rahmah el-yunusiah lebih mementingkan pendidikan agama , ia mendirikan Diniyah School Putri pada tahun 1923. Tokoh lain seperti Dewi Sartika dan Nyai Ahmad Dahlan, yang juga berkecimpung di dunia pendidikan dan Sosial Keagamaan.[20]

Gerakan feminisme di Indonesia sendiri semakin diperkuat dengan digelarnya Kongres Perempuan Indonesia yang secara nasional pertama kali diadakan pada tahun 1928 di kota Yogyakarta. Kongres tersebut dihadiri oleh beberapa organisasi perempuan di Indonesia yang sudah berdiri. Bisa dikatakan, kongres perempuan ini menjadi fondasi utama dari munculnya organisasi-orgaisasi perempuan di Indonesia. Setelah kongres perempuan tersebut, pergerakan feminisme yang muncul kebanyakan menentang poligini, serta praktik poligami. Salah satu organisasi yang terkenal yakni gerakan Istri Sedar, yang kemudian menjadi Gerwis (Gerakan Perempuan Sosialis), dan menjadi cikal bakal dari Gerwani.

Salah satu organisasi yang mendapat sorotan pada awal kemerdekaan saat itu adalah Sarekat Rakyat. Organisasi ini yang dinilai paling progresif dan mayoritas anggotanya adalah perempuan dari golongan bawah seperti buruh dan petani. Gerakan ini pun mendapat reaksi keras dari pemerintah Indonesia, karena dinilai memiliki keterlibatan dengan PKI, yang pada saat itu dianggap sebagai gerakan yang radikal. Tokoh perempuan seperti Sukaesih dan Munasisah serta beberapa anggota lainnya pun dikirim ke kampung konsentrasi Belanda yang terletak di Digul.

Jika diakses lebih dalam, sama halnya dengan di luar negeri yang memiliki beberapa fase atau gelombang gerakan feminisme (first wave, second wave, third wave), di Indonesia pun demikian adanya. Kita bisa meruntut di awal-awal pergerakan sebelum kemerdekaan, gerakan feminisme ditujukan agar kaum perempuan bisa memperoleh pendidikan seperti halnya kaum pria. Setelah itu, pada masa Orde Lama, perempuan menuntut agar mereka ikut dilibatkan dalam kebijakan elite politik. Pada masa Orde Baru, dimana kita melihat kaum perempuan sangat dibatasi perannya di ranah publik, menuntut agar ruang gerak mereka tidak dibatasi seperti dalam masalah memilih pekerjaan. Yang terbaru di era Reformasi saat ini, gerakan feminisme di Indonesia menyuarakan tindak anti kekerasan yang kerap dialami perempuan, serta tema liberal lainnya.

Namun apapun kondisinya, gerakan feminisme tetaplah menjadi sebuah usaha berat yang diperjuangkan oleh Kartini pada awalnya, serta diteruskan oleh perempuan-perempuan Indonesia sesudahnya. Semangat yang diserukan oleh para feminis pun masih saling berkaitan satu sama lain, yakni membawa persamaan hak antara pria dan perempuan, serta menghapuskan diskriminasi yang kerap ditujukan kepada kaum perempuan baik di wilayah domestik maupun ruang publik.

 

II.c.2.b.Perkembangan Organisasi Perempuan

v  Masa Pra Kemerdekaan

            Gerakan feminisme di Indonesia muncul sekitar abad 18-19 M. Tokoh feminisme di Indonesia abad ke-19 R.A. Kartini karena dipengaruhi oleh politik etis, sadar akan kaumnya masih terbelakang dan terkukung dalam budaya feodalis. Ia lahir di Jepara tahun 1870, ia merupakan anak ke-2 dari bupati Jepara. Bermula dari kebiasaannya menulis. Sering kali Ia menulis  sebuah surat yang berisikan amarah yang selama ini mengengkang kebebasannya dan menghalangi emansipasi rakyat jawa, kaum perempuan khususnya. Inti dari gerakan Kartini ialah untuk pengarahan, pengajaran agar anak-anak perempuan mendapatkan pendidikan  Selain Kartini pada generasi berikutnya muncul pahlawan emansipasi lainnya seperti  Dewi Sartika berasal dari Priangan Jawa Barat, Rohana Kudus Sumatera Barat.

            Semakin lama tumbuhlah kesadaran akan emansipasi kaum perempuan. Akhirnya dibentuk sebuah wadah dalam bentuk organisasi. Organisasi dibentuk guna kepentingan kaum perempuan untuk memperjuangkan perempuan dalam perkawinan mempertinggi kecakapan dan pemahaman ibu sebagai pengatur dan pengontrol dalam rumah tangga. Hal ini bisa dilakukan dengan cara memperluas  lapangan pekerjan, memperbaiki pendididkan dan mepertinggi kecakapan.

Pada abad ke 20 muncullah organisasi perempuan secara formal. Seperti Putri Mardika tahun 1912 di Jakarta.  Organisasi ini dibentuk bertujuan untuk memajukan pendidikan bagi perempuan serta berusaha membiasakan perempuan untuk tampil di depan umum dengan tanpa rasa takut. Kemudian muncul organisasi perempuan di Tasik 1913, Sumedang dan Cianjur 1916, Ciamis 1917. Organisasi ini di bentuk bertujuan menyediakan sekolah khusus bagi perempuan yang bernama Kartini di Jakarta, kemudian didirikan lagi di Madiun, Malang, Cirebon, Pekalongan, Indramayu dan Rembang. Namun sekolah ini kebanyakan diikuti oleh para kaum bangsawan.

 

Organisasi perempuan yang bergaris agama muncul pada tahun 1920. Di Yogyakarta ada Aisyiyah sebuah organisasi perempaun dibentuk dalam rangka pemberharuan Muhamdiyah yang bediri tahun 1917. Dan juga pada thun 1925 berdiri Serikat Putri Islam.

 

Munculnya kesadaran politik ditandai dengan adanya kongres perempuan tanggal 22-23 desember 1928 di Yogyakarta. Kongres perempuan ini diadakan oleh organisasi-organisasi perempuan antara lain Perempuan Utama. Puteri Indonesia, Perempuan Katholik, Perempuan Muljo, Aisyiyah, Serikat Isteri Buruh Indonesia, Jong Java, Perempuan Taman Siswa. Yang menghasiklan keputusan bahwa kesamaan derajat akan tercapai dalam susunan masyarakat yang tidak terjajah. Tahun 1932 organisasi Isteri Sedar di mana organisasi ini tidak hanya terlibat dalam perjuangan kemerdekaan. Organisasi ini dianggap sebagai organisasi yang radikal. Karena menyimpang dari kaedah agama.

 

Masa penajahan jepang, Jepang membentuk Fujinkai Jawa Hokokai untuk mobilitas pasukan Jepang di Asia Timur Raya. Jugun Ianfu sejenis perkumpulan perempuan peenghibur tentara Jepang, diam-diam melakukan pegerakan kerja sama dengan tentara Nasional Indonesia. Selama perjuangan anti kolonial perempuan juga aktor vokal dalam gelanggang politik.  Di Semarang oleh 7 (tujuh) wakil organisasi perempuan membentuk  Gerwis. Selama Gerwis berjalan ada suatu masalah dari segi anggota, anggota gerwis hanya berasal  dari kalangan atas saja. Akhirnya 4 Juli 1954 diubah namanya menjadi Gerwani yang beranggotakan lebih menyeluruh dari lapisan masyarakat.

 

Para anggota gerwani berasal dari kalangan yang berbeda secara ideologi tapi di dalam tubuh gerwani berbagai macam ideologi tesebut dapat dilebur menjadi satu. Gerwani berbasis ormas yang anggotanya berasal dari kalangan biasa dan anggota Gerwani lebih plural. Namun secara ideologis gerwani mempunyai kedekatan dengan PKI.  Tahun 1960 gerwani mulai condong ke kiri dan aktif mendukung progam Soekarno yang mendapat dukungan dari PKI. Saat terjadi gerakan 30 September PKI terjadi pembunuhan seacara besar-besaran. Diduga Gerwani terlibat dalam pembantaian para jendral di lubang buaya, mengiris-iris tubuh para jendral sambil menari telanjang akibatnya para anggota gewani baik yang terlibat ataupun tidak dibunuh dan dipenjarakan, meskipun dugaan tehadap gerwani demikan namun gewani memepunyai jasa dan juga Gerwani bukanlah organisasi perempuan yang hanya memperjuangkan kaumnya tapi juga ikut dalam memperjuangkan kesatuan negara NKRI.

 

v  Pasca Kemerdekaan

Organisasi Perempuan yang ada masih terus memperjuangkan kesamaan politik , hak memperoleh pendidikan dan kesempatan kerja. Persolan yang di hadapi adalah tindakan diskriminatif antara laki laki dan perempuan.

Ada beberapa hal yang telah di capai :

a.      Hak politik yang sama antara pria dan perempuan setidaknya secara legal telah di jamin dalam pasal 27 UUD 1945. Lalu lahir UU 80/1958,yang menjamin adanya prinsip pembayaran yang sama dalam hal pekerjaan yang sama perempuan dan pria tidak di beda-bedakan dalam sistem penggajian.

b.      Maria Ulfa kemudian terpilih menjadi menteri sosial pada kabinet Syahrir II (1946) dan S.K.Trimurti menjadi menteri perburuhan pada kabinet Amir Syarifuddin (1947-1948), gerakan perempun indonesia yang juga berhasil menempatkan perempuan sebagai anggota parlemen.

 

v  Masa Orde Baru

Di masa orba sudah ada kelompok-kelompok organisasi perempuan untuk membantu pemerintah dan menyebar luaskan ideologi gender mereka adalah :

a.   Dharma Wanita untuk istri PNS

b.   Dharma Pertiwi untuk istri yang suaminya bekerja di militer dan kepolisian

c.   Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) untuk perempuan yang tidak   termasuk kelompok pertama dan kedua, khususnya untuk yang di pedesaan.

 

v  Masa Reformasi

Pada era tahun 2000-an, terjadi perubahan dari gerakan sosial ke gerakan politik, dari jalan ke parlemen.Gerakan perempuan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari gerakan reformasi untuk demokrasi. Pada tahun 2001 muncul presiden perempuan pertama di Indonesia, Megawati Soekarno Putri. Tahun 2003 :  UU no 12 Tahun 2003 (pasal 65 ayat1) memuat kuota 30%  keterwakilan perempuan dan pada tahun 2004 lahir undang-undang tentang perlindungan terhadap perempuan.

 

II.c.2.c Praktek Penentuan Kuota Perempuan dalam Kepengurusan Partai Politik dan Pencalonan Legislatif

 

 

       Penentuan kuota Perempuan dalam Kepengurusan Partai Politik

                   Hak konstitusional warga negara Indonesia yang juga merupakan hak asasi manusia telah diakomodir secara jelas dalam UUD 1945 sebagai dasar hukum tertinggi yang berlaku di Indonesia. Sebagai dasar hukum tertinggi tentu saja aturan ini memayungi segala perundangan di bawahnya. Dalam ketentuan-ketentuan dalam UUD 1945 sering kali didengan frasa “setiap orang”, “segala warga negara”, ataupun “setiap warga negara”. Hal ini menunjukan bahwa ketentuan dalam UUD 1945 ditujukan kepada seluruh masyarakat Indonesia tanpa membedakan apapun, atau dengan kata lain, ketentuan ini berlaku baik untuk pria maupun untuk perempuan. Hak-hak tersebut diakui dan dijamin untuk setiap warga negara baik pria maupun perempuan.

            Dalam pasal 27 ayat (1) UUD 1945 dinyatakan bahwa “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Pemerintah disini dapat diartikan sebagai pemerintah dalam arti luas yang meliputi eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Dari situ nampak bahwa pasal tersebut telah ber sifat emansipatif bagi semua warga negara. Hanya saja, emansipastif belum tentu peka gender. Apabila hanya berhenti pada pasal itu, maka hak perempuan dalam berpolitik tentu belum dapat diperjuangkan dikarenakan permasalahan utama bukan terletak pada terbukanya kesempatan melainkan pada dorongan baik dari masyarakat maupun dari institusi bagi perjuangan hak politik perempuan. Karena yang menjadi soal adalah pandangan sosial masyarakat terhadap perempuan dalam ranah politik, masyarakat beranggapan bahwa politik bukan merupakan wilayah yang pantas untuk dimasuki perempuan.

            Hal ini perlu disadari bahwa pemenuhan hak konstitusional warga negara berangkat dari kondisi masyarakat yang sungguh beragam, karena memang bangsa Indonesia sendiri adalah bangsa yang majemuk. Meskipun secara de yure segala kesempatan telah terbuka bagi semua elemen masyarakat, namus secara de facto beberapa elemen masyarakat kesulitan untuk mengakses beberapa hak yang sebenarnya telah terbuka dan emansipatif. Seperti telah dibahas sebelumnya bahwa struktur sosialah yang menjadi faktor yang meminggirkan golongan masyarakat tertentu dalam mengakses hak-haknya.

            Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 menyatakan “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”. Pasal ini memberikan angin segar dan memperkokoh ketentuan dalam pasal 28H UUD 1945.

            Namun, dalam perlindungan dan pemenuhan hak konstitutif yang tidak mempertimbangkan adanya perbedaan dalam masyarakat justru akan semakin memperjauh atau bahkan mempertahankan perbedaan yang sudah ada dalam masyarakat. Dalam pemenuhan hak konstitusional, seringkali diperlukan suatu tindakan khusus terhadap kelompok tertentu. Tindakan ini dilakukan dengan tujuan agar setiap warga negara memperoleh perlindungan dan kemampuan yang sama dalam rangka perlindungan dan pemenuhan hak konstitusionalnya. Oleh karena itu UUD 1945 mengakomodir kebutuhan itu dalam pasal 28H ayat (2) “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”. Kebijakan ini adalah kebijakan yang sering disebut dengan affirmatif.         Dalam kebijakan ini, salah satu kelompok masyarakat yang memerlukan tindakan khusus dalam rangka melindungi dan mewujudkan hak konstitusionalnya adalah perempuan. Posisi perempuan dalam masyarakat seringkali diletakan dibawah pria. Namun meskipun hak-haknya telah diakomodir dalam perundang-undangan, seringkali hak tersebut sulit untuk diakses. Hal ini diakibatkan karena pandangan yang bias gender terhadap perempuan yang mengakibatkan terjadinya diskriminasi gender secara de facto meskipun hal ini telah dihilangkan secara de yure. Stereotipe terhadap perempuan masih kuat berkembang di masyarakat meskipun hak-hak perempuan telah emansipatif. Dalam lingkup hukum, di Indonesia telah lahir beberapa undang-undang yang responsif gender, contohnya adalah Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD.

            Dalam undang-undang ini secara jelas nyata mengharuskan partai politik menyertakan paling sedikit 30% perempuan dalam kepengurusannya, serta mencalonkan paling sedikit 30% perempuan dari keseluruhan calon anggota legislatif yang diikutsertakan dalam proses pemilihan umum. Apabila diakses dari aspek hak asasi manusia, yaitu dari Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, maka pengaturan tentang keterwakilan perempuan sudah seirama dan merupakan pencerminan dari perjuangan hak asasi perempuan. Karena memang dalam pasal 46 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia secara eksplisit menyatakan bahwa sistem pemilihan umum, kepartaian, pemilihan anggota badan legsislatif dan sistem pengangkatan dibidang eksekutif dan yudikatif harus menjamin keterwakilan perempuan sesuai dengan persyaratan yang ditentukan.

            Berdasarkan Sensus Penduduk 2000, jumlah perempuan Indonesia mencapai 101.625.816 jiwa atau sekitar 51 persen dari seluruh jumlah penduduk. Maka yang menjadi persoalan adalah, mengapa dari jumlah pendudukan Indonesia yang kondisinya semacam ini justru hanya mengatur tentang keterwakilan perempuan sebesar 30% dalam kepengurusan partai politik dan pencalonan legislatif, apalagi dari 30% perempuan yang merupakan calon legislatif belum tentu akan tercapai 30% dari jumlah perempuan yang berhasil duduk di kursi legislatif.

            Dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang partai Politik dijelaskan bahwa Undang-Undang ini mengakomodasi beberapa paradigma baru seiring dengan menguatnya konsolidasi demokrasi di Indonesia, melalui sejumlah pembaruan yang mengarah pada penguatan sistem dan kelembagaan Partai Politik, yang menyangkut demokratisasi internal Partai Politik, transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan Partai Politik, peningkatan kesetaraan gender dan kepemimpinan Partai Politik dalam sistem nasional berbangsa dan bernegara. Dalam Undang-Undang ini diamanatkan perlunya pendidikan politik dengan memperhatikan keadilan dan kesetaraan gender yang ditujukan untuk meningkatkan kesadaran akan hak dan kewajiban, meningkatkan partisipasi politik dan inisiatif warga negara, serta meningkatkan kemandirian dan kedewasaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Untuk itu, pendidikan politik terus ditingkatkan agar terbangun karakter bangsa yang merupakan watak atau kepribadian bangsa Indonesia yang terbentuk atas dasar kesepahaman bersama terhadap nilai-nilai kebangsaan yang lahir dan tumbuh dalam kehidupan bangsa, antara lain kesadaran kebangsaan, cinta tanah air, kebersamaan, keluhuran budi pekerti, dan keikhlasan untuk berkorban bagi kepentingan bangsa. Diakses secara historis, memang ini adalah undang-undang Partai Politik pertama yang mencantumkan kuota affirmatif bagi perempuan, hal ini membuktikan bahwa kesetaraan gender telah diakomodir disini dengan wujud penentuan kuota bagi perempuan dengan tujuan perjuangan hak konstitusional perempuan.

 

            Dalam naskah akademik Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, disebutkan bahwa salah satu fungsi Partai Politik adalah sebagai sarana pendidikan politik dan sarana rekrutmen politik, pendidikan politik disini dimaknai bahwa partai politik akan mendidik masyarakatnya agar memiliki kesadaran berpolitik yang memadai dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pendidikan politik ini diharapkan akan menyadarkan masyarakat akan hak-haknya. Dimana perempuan adalah salah satu bagian dari masyarakat yang juga perlu untuk memperoleh hak-hak berpolitiknya terutama setelah adanya pengaturan tersebut diatas.

 

            Pendidikan politik juga erat kaitannya dengan rekrutmen politik yang dilakukan oleh partai politik, karena partai politik tentu saja akan merekrut kader-kader yang berkopenten untuk menjadi pengurus maupun untuk dijadikan calon dalam bursa legislatif. Bagi kaum feminis liberal, pendidikan memiliki posisi yang strategis bagi persamaan tingkat rasionalitas antara pria dan perempuan. Pendidikan disini akan membuka pengetahuan politik yang memang merupakan hak dari kaum perempuan agar dirinya dalam terlibat dalam partai politik pada khususnya dan politik praktis pada umumnya.

            Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum DPR, DPD, dan DPRD juga mengatur tentang keterwakilan perempuan sebesar 30% dari jumlah keseluruhan calon anggota legislatif yang dicalonkan oleh partai politik. Hanya saja, ketentuan ini tidak dapat menjamin apakah jumlah perempuan yang berhasil menduduki kursi legislatif apakah telah sesuai dengan ketentuan ataukah belum. Indonesia sebagai negara demokrasi, telah melalakukan beberapa kali pemilihan umum dalam sejarah negaranya. Tercatat telah 11 (sebelas) kali pemilihan umum sejak Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Pemilihan umum pertama tahun 1955 dan pemilihan umum terakhir pada 2014 ini. Kesebelas pemilu tersebut dilaksanakan dalam 3 (tiga) era kepemimpinan, yakni masa orde lama, orde baru, dan reformasi. Selama masa reformasi sendiri yang sedang kita rasakan saat ini, Indonesia telah  melakukan 4 (empat) kali pemilihan umum, yakni tahun 1999, 2004, 2009 dan 2014.

 

            Setiap kali menjelang pemilihan umum, selalu saja terjadi perubahan undang-undang yang mengatur tentang partai politik dan pemilihan umum. Pada pemilu tahun 1999, pelaksanaan pemilihan umum diatur melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum, sedangkan partai politik peserta pemilu diatur melalui Undang- Undang Nomor 2 Tahun 1999. Kemudian pemilihan umum 2004. Menjelang pemilihan umum 2004, undang-undang dirubah menjadi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik, dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR,DPD, dan DPRD. Undang-undang juga mengalami perubahan kembali menjelang pemilihan umum 2009. Perubahan persebut menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD.

 

            Dan terakhir menjelang pemilihan umum 2014 mendatang, undang-undang juga telah disesuaikan oleh para anggota legislatif menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik, dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Dalam 2 (tiga) pemilu terakhir yang telah diselenggrakan di Indonesia, perempuan mulai menerima perhatian dalam ranah politik. Terbukti pada tahun 2004 telah diatur mengenai keterwakilan perempuan dalam kepengurusan partai politik dan pencalonan legislatif. Ketentuan tentang pengaturan ini disebut dengan affirmatif atau tindakan khusus sementara dalam rangka mendorong agar perempuan dapat terwakili di kepengurusan partai politik dan pencalonan legislatif. Tindakan ini bukan merupakan diskriminasi. Dalam pemilu tahun 1999, baik Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik maupun Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum belum ada yang mengatur tentang keterwakilan perempuan. Barulah pada pemilihan umum tahun 2004 diatur mengenai keterwakilan perempuan dalam kepengurusan partai politik dan pencalonan legislatif. Hal ini diatur melalui Pasal 13 ayat (3) Undang- Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik “Kepengurusan partai politik di setiap tingkatan dipilih secara demokratis melalui forum musyawarah partai politik sesuai dengan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender”. Sedangkan pengaturan mengenai keterwakilan perempuan dalam pencalonan legislatif telah diatur secara lebh jelas dalam Pasal 65 ayat(1) undang-Undang Nomor 12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD “Setiap Partai Politik Peserta Pemilu dapat mengajukan calon Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap Daerah Pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%”. Sedangkan dalam perhelatan pemilihan umum tahun 2009, perempuan memiliki kuota baik dalam kepengurusan partai politik maupun dalam pencalonan legislatif. Dalam kepengurusan partai politik telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik pasal 2 ayat (2) “Pendirian dan pembentukan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyertakan 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan”, serta dalam ayat (5) “Kepengurusan Partai Politik tingkat pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disusun dengan menyertakan paling rendah 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan”. Keterwakilan perempuan dalam kepengurusan partai politik juga diatur dalam Pasal 20 “Kepengurusan Partai Politik tingkat provinsi dan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) dan ayat (3) disusun dengan memperhatikan keterwakilan perempuan paling rendah 30% (tiga puluh perseratus) yang diatur dalam AD dan ART Partai Politik masing-masing”. Sedangkan mengenai keterwakilan dalam pencalonan legislatif diatur dalam Pasal 8 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD “Menyertakan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat”. Kemudian dalam Pasal 53 Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 memuat paling sedikit 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan”. Dan dalam pasal 55 ayat (2) “Di dalam daftar bakal calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap 3 (tiga) orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 (satu) orang perempuan bakal calon”.

 

            Kemudian undang-undang ini dirubah menjadi Undang-Undang Nomor 2 tahun 2011 tentang Partai Politik, dan ketentuan 30% ini tidak mengalami perubahan. Ketentuan juga tidak berubah dalam Undang- Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Kedua undang-undang ini akan digunakan dalam pemilihan umum tahun 2014 mendatang.

 

            Aturan soal keterwakilan perempuan dalam Pemilu 2014 mendatang sudah jelas. Partai politik wajib mengajukan minimal 30 persen perempuan sebagai calon legislatif. Aturan ini telah tercantum di dalam UU No 8 Tahun 2012 dan dikukuhkan dalam Peraturan KPU nomor 7 tahun 2013 tentang Pencalonan Anggota Legislatif. Hal ini bukan saja sebagai bentuk dorongan kepada kaum perempuan untuk berpolitik, tapi juga sebagai jaminan kesetaraan kesempatan antara pria dan perempuan untuk dipilih dalam pemilu.

 

Kekhawatiran Politik Uang

            Beragam hambatan diperkirakan akan dihadapi para caleg perempuan untuk dapat masuk ke parlemen. Menurut Dewi, adanya praktik politik uang dan kecurangan-kecurangan pada saat pencoblosan dan penghitungan suara merupakan bentuk kekhawatiran yang dirasakan bukan hanya oleh caleg perempuan, namun juga caleg pria.

 

            Kecurangan inilah yang membuat suara pemilih bisa hilang dan merugikan caleg. Selain itu, dana kampanye yang tidak murah juga menjadi masalah bagi para caleg perempuan yang mayoritas tidak memiliki dukungan finansial yang besar.

            Hambatan ini dibenarkan oleh salah satu anggota jaringan perempuan politik dari Migrant Care, Anis Hidayah. Anis mengatakan hambatan lainnya yaitu partai politik yang saat ini masih sangat patriarkis.

 

Keterwakilan Pencalonan Legislatif

 

Tabel 1

Jumlah Perempuan di DPR

(Sumber:www.kpu.go.id)

Pemilu
Total Anggota DPR
Jumlah Anggota        Perempuan
Presentase
1955
272
17
6,25
1971
360
36
7,83
1977
360
29
6,30
1982
460
39
8,48
1987
500
65
13,00
1992
500
62
12,50
1997
500
54
10,80
1999
500
45
9,00
2004
550
61
11,09
2009
560
101
17,86

 

Tabel 2

Keterwakilan Perempuan di Lembaga Legislatif Nasional dan Provinsi Hasil Pemilu 2009

(Sumber:www.kpu.go.id)

Provinsi
L
%
P
%
Aceh
13
100
0
0
Sumatra Utara
28
93,3
2
6,7
Sumatra Barat
13
92,9
1
7,1
Riau
10
90,9
1
9,1
Jambi
1
33,33
2
66,7
Sumatra Selatan
4
57,1
3
42,9
Bengkulu
16
94,1
1
5,9
Lampung
3
100
0
0
Bangka Belitung
3
75
1
25
Kepulauan Riau
13
72,2
5
27,8
DKI Jakarta
16
76,2
5
23,8
Jawa Barat
70
76,9
21
23,1
Jawa Tengah
17
77,3
5
22,7
DI Jogjakarta
68
88,3
9
11,7
Jawa Timur
7
87,5
1
12,5
Banten
66
75,9
21
24,1
Bali
9
100
0
0
Nusa Tenggara Barat
10
100
0
0
Nusa Tenggara Timur
12
92,3
1
7,7
Kalimantan Barat
9
90
1
10
Kalimantan Tengah
6
75
2
25
Kalimantan Selatan
11
100
0
0
Kalimantan Timur
4
66,7
2
33,3
Sulawesi Utara
5
83,3
1
16,7
Sulawesi Tengah
5
83,3
1
16,7
Sulawesi Selatan
21
87,5
3
12,5
Sulawesi Tenggara
3
100
0
0
Gorontalo
4
80
1
20
Sulawesi Barat
2
66,7
1
33,3
Maluku
3
75
1
25
Maluku Utara
0
0
3
100
Irian Jaya Barat
7
70
3
30
Papua
2
66,7
1
33,3
Indonesia
461
82,3
99
17,7

 

 

            Ketimpangan besar dalam keterwakilan perempuan di DPR, dan lebih buruk lagi kondisi di DPRD, jelas menyalahi konsep mikrokosmos lembaga perwakilan. Dalam konsep ini diandaikan bahwa lembaga perwakilan terdiri atas berbagai karakter kelompok signifikan berdasarkan seks, ras, dan kelas. Keadaan itu juga menyalahi model perwakilan fungsional karena perempuan tidak memiliki juru bicara yang cukup dalam pengambilan keputusan di lembaga perwakilan.

 

            Itu artinya, jika perempuan Indonesia hanya diwakili oleh beberapa orang saja, sebanyak 101 juta lebih perempuan Indonesia terdiskriminasi oleh kebijakan DPR. Oleh karena itu, perlu dilakukan kembali pemaknaan demokrasi perwakilan, dengan menekankan pentingnya politik kehadiran (the political of presence), yaitu kesetaraan perwakilan antara pria dan perempuan, keseimbangan perwakilan di antara kelompok-kelompok yang berbeda, dan melibatkan kelompok-kelompok termarjinalkan ke dalam lembaga perwakilan.

 

            Ketidakseimbangan komposisi anggota legislatif Indonesia sekaligus menjadi representasi masyarakat patriarkhi, di mana pria mengatur kehidupan sesuai dengan kepentingan politik kepriaannya. Dalam masyarakat patriarkhi, pria mencegah perempuan memasuki ruang publik, sementara mereka bolak-balik memasuki ruang privat dan ruang publik dengan ketentuan-ketentuan hukum yang mereka buat dan menguntungkan dirinya.

 

            Data diatas menunjukan bahwa ternyata jumlah perempuan yang menduduki kursi legislatif masih kurang jka dibandingkan dengan jumlah perempuan di Indonesia. Padahal telah ada affirmatif bagi terwujudnya keterwakilan perempuan dilegislatif.

 

            Meskipun rata-rata, dari periode ke periode jumlah perempuan di legislatif mengalami kenaikan, tetapi jumlah ini masih juga belum mewakili perempuan. Dibawah ini adalah tabel sejarah kepartaian Indonesia untuk lebih memahami sejarah kepartaian yang berpengaruh terhadap jumlah perempuan di legislatif.

 

Kendala-kendala yang menyebabkan representasi perempuan di parlement sangat rendah

            Masyarakat Indonesia yang merupakan masyarakat dengan adat timur seringkali menganggap bahwa dunia politik adalah ranah pria, sehingga tidak selayaknya perempuan masuk ke dunia politik. Pemikiran semacam ini sebenarnya merupakan suatu pemikiran yang bias gender atau mencampur adukkan antara gender dan jenis kelamin. Padahal diantara keduanya berbeda.

 

            Permasalahan ini seringkali menjadi masalah pula bagi Partai Politik dalam merekrut kader-kader perempuan yang berkualitas. Ini menunjukan bahwa pendidikan politik masyarakat khususnya kaum perempuan masihlah kurang atau terlalu minim. Karena pangangan yang bias gender bahwa dunia politik adalah milik pria akan menghambat affirmatif itu sendiri, meskipun telah dibuat suatu regulasi yang berpihak kepada perempuan.

 

            Namun kondisi ini menunjukan bahwa sesungguhnya Partai Politik sendiri telah gagal dalam menjalankan fungsinya. Fungsi yang dimaksud yaitu fungsi pendidikan politik sebagaimana diatur dalam pasal 31 Undang-Undang Nomor 2 tahun 2008 tentang partai Politik, “(1) Partai Politik melakukan pendidikan politik bagi masyarakat sesuai dengan ruang lingkup tanggung jawabnya dengan memperhatikan keadilan dankesetaraan gender dengan tujuan antara lain : a. peningkatkan kesadaran hak dan kewajiban masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, b. meningkatkan partisipasi politik dan inisiatif masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; dan c. meningkatkan kemandirian, kedewasaan, dan membangun karakterbangsa dalam rangka memelihara persatuan dan kesatuan bangsa. (2) Pendidikan politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan untuk membangun etika dan budaya politik sesuai dengan Pancasila.”

 

            Jelas dan nyata bahwa Partai Politik memiliki fungsi untuk memberikan pendidikan politik kepada masyarakat agar dapat meningkatkan partisipasi politik dalam kehidupan perpolitikan Indonesia dengan keadilan gender sesuai dengan pancasila. Karena apabila fungsi pendidikan politik telah terlaksana dengan bak, seharusnya Partai Politik tidak mengalami kesulitan dalam merekrut kader-kader perempuan yang berkualitas.

 

III. Penutup

Dari pemaparan diatas secara garis besar gairah Post Modernisme dan Implementasinya di Indonesia dalam upaya merayu munculnya hukum yang berkeadilan, dapat disimpulkan sebagai berikut:

1.            Postmodernisme tumbuh dan berkembang dimasyarakat dikarenakan kegagalan dan telah usangnya pelaksanaan cita-cita zaman Modern. Perubahan perkembangan kebutuhan tersebut menimbulkan perubahan pola pemikiran pula.

Postmodernisme tumbuh dan berkembang dengan cara menjauhkan dari segala sifat kemapanan, kebuntuan, keangkuhan, imperialisme, etnosentrisme yang mewarnai dominan hegemonik modernisme, dimana itu semua dijadikan sebagai suatu pijakan dalam merestruktur apa yang telah didestruktur, merekonstruksi dari apa yang telah didekontruksi oleh postmodernisme itu sendiri.

2.         Teori Hukum Kritis (Critical Legal Theory) dan Feminisme Hukum (Legal Feminisme) sebagai bagian Post Modernisme berkembang dimasyarakat berpokok pada pemikiran tidak puas dan melancarkan kritik kepada pandangan liberal, serta berkeyakinan dapat mengisi kekosongan dan kehausan akan doktrin-doktrin baru dalam hukum kontemporer.

3.        Pelaksanaan Teori Hukum Kritis (Critical Legal Theory) dan Feminisme Hukum (Legal Feminisme) dalam upaya memunculkan hukum yang berkeadilan di Indonesia, pada umumnya masih taraf pengembangan baik produk hukum maupun dalam prakteknya.

            Kedua Teori tersebut diperlukan sebagai suatu alat analisa yang dapat mengungkap “hidden poitical intentions” dibelakang berbagai konsep, doktrin dan proses-proses hukum di Indonesia.

            Hal ini dikarenakan sifat Teori Hukum Kritis (Critical Legal Theory) dan Feminisme Hukum (Legal Feminisme) itu sendiri yang hanya merayu dengan tidak memfokuskan mencari kebenaran hukum yang stagnan (statis), melainkan memfokuskan pada percakapan, perbedaan dan penafsiran yang terus-menerus, hanya sebagai suatu pijakan dalam merestruktur apa yang telah didestruktur, merekonstruksi dari apa yang telah didekontruksi oleh postmodernisme dengan memberikan tawaran-tawaran kehidupan yang lebih bermakna sekaligus untuk munculnya hukum yang dirasakan keadilannya.



 
DAFTAR PUSTAKA
 
Roberto Mangabeira Unge, The Critical Legal Studies Movement , Harvard University Press, Cambridge, 1986.
W , Friedmann, Teori dan Filsafat Hukum Susunan I, (diterjemahkan Mohammad Arifin), Rajawali Press, Jakarta, 1990.
W, Friedmann, Teori dan Filsafat Hukum Susunan III, (diterjemahkan Mohammad Arifin), Rajawali Press, Jakarta, 1990.
Munir Fuady, Aliran Hukum Kritis (Paradigma Ketidakberdayaan Hukum), Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003.
Sugiharto, I. Bambang. Postmodernisme, Tantangan Bagi Filsafat.  Yogyakarta: Kanisius, 1996.
Susilo, Budi. Mentalitas Dalam Pembangunan Masyarakat Modern.  Yogyakarta: Kanisius, 1994.
Soewardi, Herman. Roda Berputar Dunia Bergulir. Kognisi Baru Tentang Timbul Tenggelamnya Sivilisasi. Bandung: Bhakti Mandiri, 1999.
Philippe Nonet and Philip Selznick, Law and Transition: Towards Responsive Law, New York: Harper & Row, 1978.
 
Satjipto Rahardjo, Beberapa Pemikiran Tentang Ancangan Antardisiplin dalam Pembinaan Hukum Nasional, Bandung: Penerbit Sinar Baru, 1985.
Wignjosoebroto, Soetandiyo, Hukum dalam Realitas Perkembangan Sosial Politik dan Perkembangan Kritik-Teoretik yang Mengarah Mengenai Fungsinya,  2003.
 
Ahmed, Akbar. S. Posmoderisme, Bahaya dan Harapan Bagi Islam. Bandung: Mizan, 1996.
Budiman, F. Hardiman. Menuju Masyarakat Komunikatif. Yogyakarta: Kanisius., 1993.
Garna, Judistira K. Ilmu-Ilmu Sosial Dasar-Konsep-Posisi.  Bandung: Program Pascasarjana Unpad, 1996.
Gellher, Ernest. Menolak Postmodernisme, Antara Fundamentalisme Rasionalitas dan Fundamentalisme Religius. Bandung: Mizan, 1994.
Mulkhan, Abdul Munir. 1999. Spritualitas Lingkungan dan Moral Kenabian. Dalam: Kritik Sosial, Dalam Wacana Pembangunan. Editor. Moh. Mahfud MD Dkk. Yaogyakarta: UII-Press.
Nugroho, Heru. Kritik Hubermas Terhadap Postmodernisme dan Relevansinya Bagi Pemahaman Pembangunan, Dalam: Kritik Sosial, Dalam Wacana Pembangunan. Editor, Moh. Mahfud MD Dkk,  Yaogyakarta: UII-Press, 1999.
Piliang, Yasraf Amir. Yogyakarta:Hiper- Realitas, Kebudayaan.  LKs, 1999.
Turner, Bryan. Teori-Teori Sosiologi, Modernitas, Posmodernisme (Terj). Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.
Anom Surya Putra, Teori Hukum Kritis: Struktur Ilmu dan Riset Teks, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003.
Fitzpatrict, Peter dan Alan Hunt, Critical Legal Studies, Basil Blackwell Ltd, New York, 1987.
Fuady, Munir, Aliran Hukum Kritis (Paradigma Ketidakberdayaan Hukum). Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, , 2003.
Abdulkadir Jailani, “Hukum Internasional Pasca Perang Irak: Legalisasi Politik Internasional dan Politisasi Hukum Internasional”, dimuat dalam Jurnal Hukum Internasional, Lembaga Pengkajian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Indonesia (Volume 2, Nomor 2, Januari 2005).
Hikmahanto Juwana, “Hukum Internasional dalam Konflik Kepentingan Ekonomi Negara Berkembang dan Maju”, (Pidato Upacara Pengukuhan sebagai Guru Besar Tetap dalam Ilmu
Hukum Internasional pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, 10 November 2001).
Ifdhal Kasim, Mempertimbangkan Critical Legal Studies dalam Kajian Hukum di Indonesia,terjemahan dari karya Roberto Mangabeira Unger, The Critical Legal Studies Movement, Cambridge Harvard University Press, 1986.
Anom Surya Putra, Teori Hukum Kritis: Struktur Ilmu dan Riset Teks, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003
Abdul Manan, Aspek-aspek Pengubah Hukum, Jakarta: Kencana, Prenada Media Group, 2005.
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 2000.
Hukum dan Perubahan Sosial, Suatu Tinjauan Teoritis Serta Pengalaman-pengalaman di Indonesia, Prof.Dr.Satjipto Rahardjo, S.H., Genta Publishing, 2009, Yogyakarta.
Bernard L.Tanya, dkk, Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Yogyakarta: Genta Publishing, 2013.
 
 
Diktat:
A.Masyhur Effendi, Kajian Singkat Filsafat Hukum/Teori Hukum Dalam Ilmu Hukum/Praktek Hukum, Jakarta: Magister Ilmu Hukum Universitas Jayabaya, 2014.
A. Masyhur Effendi, Bunga Rampai Teori Hukum: Hubungan Filsafat Hukum/Teori Hukum I, Jakarta: Magister Ilmu Hukum Universitas Jayabaya, 2014.
A. Masyhur Effendi, Bunga Rampai Teori Hukum: Hubungan Filsafat Hukum/Teori Hukum II, Jakarta: Magister Ilmu Hukum Universitas Jayabaya, 2014.
 
Internet:
 
http://www.pursal.com/2009/04/22/s1-dstars-06-ss-postmodern-arch-language/, diakses pada tanggal 31 Juli 2014.

http://www.guruit07.blogspot.com/2009/01/pengertian-post-modern.html,
diakses pada tanggal 27 Juli 2014.

http://gerakanindonesiabaru.blogspot.com/2009/04/paham-allah-dalam-era-postmodern.htm,
diakses pada tanggal 26 Juli 2014.

http://id.wikipedia.org/wiki/Dekonstruksi,
diakses pada tanggal 30 Juli 2014.
http://www.antaranews.com/ ANTARA Jateng   KY   Tujuh Faktor Sebabkan Penegakan Hukum Lemah - antarajateng.com.html, diakses tanggal 17 Juli 2014.
 
 



 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

                                                                                          



[1] Nugroho, Heru. Kritik Hubermas Terhadap Postmodernisme dan Relevansinya Bagi Pemahaman Pembangunan, Dalam: Kritik Sosial, Dalam Wacana Pembangunan. Editor, Moh. Mahfud MD Dkk,  Yaogyakarta: UII-Press, 1999.
 
[2]  Lili Rasjidi dan Putra Wiyasa dalam buku ”Hukum sebagai Suatu Sistem” Remaja Rosda Karya, Bandung, 1993 mengatakan, dalam konteks sistem hukum, ilmu hukum  dibicarakan sebagai penjabaran, pengujian, dan pengembangan teori-teori hukum yang berasal dari komponen filsafat hukum. Tujuan dari penjabaran dan pengembangan itu berkaitan dengan dimensi-dimensi ontologi, epistemologi, dan dimensi aksiologi. Dalam kaitannya dimensi yang terakhir, ilmu hukum dipandang sebagai suatu kesatuan dengan pendidikan hukum. Fungsi utamanya adalah sebagai media penghubung antara dunia rasional (Sollen) dan dunia empiris (Sein). Fungsi ini mungkin diperankan oleh ilmu hukum dan pendidikan hukum, adalah karena kelebihan yang dimilikinya, yaitu dimensi rasional dan dimensi empiris dan ilmu hukum. Melalui  kedua dimensi ini, ilmu hukum dan pendidikan hukum dapat menghubungkan dunia filsafat dengan dunia kenyataan dengan cara membangun konsep-konsep hukum.  
[3] Dikutip dari  internet. http ://aryaverdimandhani.blospoth.com, diakses pada tanggal 28 Juli 2014.
 
[4] Amin Abdullah, Falsafah Kalam Di Era Postmodernisme, (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 99-101.
[5] Ibid., hlm. 103-104.
[6] Ibid., hlm. 104-105
[7] Akbar S. Ahmed, Postmodernisme dan Islam, 1992.
[8] Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Penerbit Kanisius, hal110.
 
[9] Piliang, Yasraf Amir. Yogyakarta:Hiper- Realitas, Kebudayaan.  LKs, 1999.hal198.
 
[10] Fitzpatrict, Peter dan Alan Hunt, Critical Legal Studies, Basil Blackwell Ltd, New York, 19871987: 2
 
[11]Roberto Mangabeira Unger, The Critical Legal Studies Movement , Harvard University Press, Cambridge, 1986.Hal.11.
 
[12] Ibid., hlm. 100
[13] Ibid., hlm. 105-106
[14] http//id.m.wikipedia.org/wiki/Feminisme, tanggal, 12 mei 2012, diakses pada tanggal 29 Juli 2014
[15] http//id.m.wikipedia.org/wiki/Feminisme, tanggal, 12 mei 2012, diakses pada tanggal 29 Juli 2014
[16] Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, SH “ Sosiologi Hukum-Perkembangan Metode dan Pilihan Masalah’’Genta Publishing, Yogyakarta, 2010, hal. 19
 
[17] Komarudin Hidayat, “Melampaui Nama-nama; Islam dan Postmodernisme”, Kalam,  Jurnal Kebudayaan edisi 1 (1994),  hlm. 57-58. Lihat juga Kazuo Shimogaki, Kiri Islam: Antara Modernisme dan Postmodernisme, terj. M. Imam Aziz dkk. (Yogyakarta: LKiS, 1993), hlm. 150- 152.
 
 
[18] Secara konstruktif protes tersebut ditindaklanjuti dengan mengajukan judicial review terhadap pasal-pasal dalam UU Nomor 32 Tahun yang dianggap merugikan hak konstitusional warga dan pemohonnya, yaitu  :  Pasal 1 angka 21, Pasal 57 ayat (1), dan (2), Pasal 65 ayat (4), Pasa1 89 ayat (3), Pasa1 94 ayat (2), dan Pasal 114 ayat (4)  Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaga Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 215, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) bertentangan dengan UUD 1945, terutama Pasal 18 ayat (4), Pasal 22 E ayat (1) dan Pasa1 22 E ayat (5).  Sebagai pemohonnya : Direktur Eksekutif Centre for Electoral Reform (CETRO), Smita Notosusanto. Pasal 1 angka 21, Pasa1 57 ayat (1), Pasa1 65 ayat (4), Pasa1 66 ayat (3) huruf e, Pasa1 67 ayat ( 1) huruf e, Pasa1 82 ayat (2), Pasal 89 ayat (3), Pasal 94 ayat (2), Pasal 114 ayat (4) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, terutama Pasal 18 ayat (4), Pasal 22 E ayat (1), dan Pasa1 22 E ayat (5). Sebagai pemohonnya Ketua-ketua KPUD 16 Provinsi. Penjelasan Pasal 59 ayat (1) UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, perihal "Partai Politik atau Gabungan Partai Politik” dalam ketentuan ini adalah Partai Politik yang memiliki kursi di DPRD bertentangan dengan UUD 1945 khususnya Pasal 18 ayat (4), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 D dan Pasa1 28 I. Sebagai pemohonnya Ketua-ketua Partai Politik Sulawesi Utara - Manado. Pasal 24 ayat (5) penetapan Wakil Kepala Daerah sebagai pasangan Kepala Daerah dalam Pilkada merupakan sebuah ketetapan yang tidak sesuai dengan UUD 1945 Bab VI Pemerintahan Daerah, dan Pasal 18 ayat (4). Sebagai pemohonnya Anggota DPD (H. Biem Benjamin - Anggota DPD-RI/MPR/B-43). Pasal 56 sampai dengan Pasal 119 UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125) bertentangan dengan UUD 1945, terutama Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 C ayat (2), Pasal 28 D ayat (1) dan Pasal 28 D ayat (3). Sebagai pemohonnya Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan Lembaga Bantuan Hukum Nasional (LBHN).
[19] Beberapa media nasional dan lokal banyak memuat berita tentang adanya gejolak dan kekacauan serta anarkisme dalam penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah secara langsung.  Di Kabupaten Tuban Jawa Timur terjadi gejolak dan kekacauan yang meluas yang dilakukan oleh para pendukung calon bupati yang kalah. Dari hasil penelitian tentang implementasi UU Nomor 32 Tahun 2004 dalam pemilihan Kepala Daerah secara langsung, diperoleh data bahwa di Kabupaten Semarang  telah terjadi gejolak dan kekacauan yang di masyarakat yang dilakukan oleh para pendukung calon  yang merasa calonnya dirugikan oleh KPUD. Para pendukung calon yang merasa calonnya dirugikan oleh KPUD juga merusak Kantor KPUD  Kabupaten Semarang.

Komentar

Postingan Populer