UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 25 TAHUN
2003
TENTANG
PERUBAHAN
ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002
TENTANG TINDAK
PIDANA PENCUCIAN UANG
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa agar upaya
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dapat berjalan secara
efektif, maka Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian
Uang perlu disesuaikan dengan perkembangan hukum pidana tentang pencucian uang
dan standar internasional;
b.
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu
mengubah Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian
Uang;
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal
20 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2.
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 30, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4191);
Dengan
Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan
|
:
|
UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN
ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG.
|
|
|
|
Pasal I
Beberapa
ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 30,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4191) diubah sebagai
berikut:
1.
Ketentuan Pasal 1 angka 4 dan
angka 6 diubah, dan menambah 2 (dua) angka baru, sehingga keseluruhan Pasal 1
berbunyi sebagai berikut:
�Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Pencucian
Uang adalah perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan,
menghibahkan, menyumbang- kan, menitipkan, membawa ke luar negeri,
menukarkan, atau perbuatan lainnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau
patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk
menyembunyikan, atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan sehingga
seolah-olah menjadi Harta Kekayaan yang sah.
2. Setiap orang adalah orang
perseorangan atau korporasi.
3. Korporasi adalah kumpulan orang
dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan
badan hukum.
4. Harta Kekayaan adalah semua benda
bergerak atau benda tidak bergerak, baik yang berwujud maupun yang tidak
berwujud.
5. Penyedia Jasa Keuangan adalah
setiap orang yang menyediakan jasa di bidang keuangan atau jasa lainnya yang
terkait dengan keuangan termasuk tetapi tidak terbatas pada bank, lembaga
pembiayaan, perusahaan efek, pengelola reksa dana, kustodian, wali amanat,
lembaga penyimpanan dan penyelesaian, pedagang valuta asing, dana pensiun,
perusahaan asuransi, dan kantor pos.
6. Transaksi adalah seluruh kegiatan
yang menimbulkan hak atau kewajiban atau menyebabkan timbulnya hubungan hukum
antara dua pihak atau lebih, termasuk kegiatan pentransferan dan/atau
pemindahbukuan dana yang dilakukan oleh Penyedia Jasa Keuangan.
7. Transaksi Keuangan Mencurigakan
adalah:
a. transaksi keuangan yang menyimpang
dari profil, karakteristik, atau kebiasaan pola transaksi dari nasabah yang
bersangkutan;
b. transaksi keuangan oleh nasabah
yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan
transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh Penyedia Jasa Keuangan
sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini; atau
c. transaksi keuangan yang dilakukan
atau batal dilakukan dengan menggunakan Harta Kekayaan yang diduga berasal
dari hasil tindak pidana.
8.
Transaksi
Keuangan yang Dilakukan Secara Tunai adalah transaksi penarikan, penyetoran,
atau penitipan yang dilakukan dengan uang tunai atau instrumen pembayaran
lain yang dilakukan melalui Penyedia Jasa Keuangan.
9. Dokumen adalah data, rekaman, atau
informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat
dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di
atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, atau yang terekam secara
elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada:
a. tulisan, suara, atau gambar;
b. peta, rancangan, foto, atau
sejenisnya;
c.
huruf,
tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami
oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.
10.
Pusat
Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan yang selanjutnya disebut PPATK
adalah lembaga independen yang dibentuk dalam rangka mencegah dan memberantas
tindak pidana pencucian uang.�
2. Ketentuan Pasal 2 diubah, sehingga
keseluruhan Pasal 2 berbunyi sebagai berikut:
�Pasal
2
|
|
|
|
(1)
|
Hasil tindak pidana adalah Harta
Kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana:
a.
korupsi;
b.
penyuapan;
c.
penyelundupan
barang;
d.
penyelundupan
tenaga kerja;
e.
penyelundupan
imigran;
f.
di
bidang perbankan;
g.
di
bidang pasar modal;
h.
di
bidang asuransi;
i.
narkotika;
j.
psikotropika;
k.
perdagangan
manusia;
l.
perdagangan
senjata gelap;
m.
penculikan;
n.
terorisme;
o.
pencurian;
p.
penggelapan;
q.
penipuan;
r.
pemalsuan
uang;
s.
perjudian;
t.
prostitusi;
u.
di
bidang perpajakan;
v.
di
bidang kehutanan;
w.
di
bidang lingkungan hidup;
x.
di
bidang kelautan; atau
y.
tindak
pidana lainnya yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih,
yang dilakukan di wilayah Negara Republik Indonesia atau di luar wilayah
Negara Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak
pidana menurut hukum Indonesia.
|
|
|
(2)
|
Harta Kekayaan yang dipergunakan
secara langsung atau tidak langsung untuk kegiatan terorisme dipersamakan
sebagai hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf n.�
|
|
|
3. Ketentuan
Pasal 3 ayat (1) diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:
�Pasal
3
|
|
|
|
(1)
|
Setiap orang yang dengan sengaja:
a. menempatkan Harta Kekayaan yang
diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana ke dalam
Penyedia Jasa Keuangan, baik atas nama sendiri atau atas nama pihak lain;
b. mentransfer Harta Kekayaan yang
diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dari suatu
Penyedia Jasa Keuangan ke Penyedia Jasa Keuangan yang lain, baik atas nama
sendiri maupun atas nama pihak lain;
c. membayarkan atau membelanjakan
Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak
pidana, baik perbuatan itu atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;
d. menghibahkan atau menyumbangkan
Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak
pidana, baik atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;
e. menitipkan Harta Kekayaan yang
diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik atas
namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;
f. membawa ke luar negeri Harta
Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak
pidana; atau
g. menukarkan
atau perbuatan lainnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut
diduganya merupakan hasil tindak pidana dengan mata
uang atau surat berharga
lainnya, dengan maksud
menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan yang diketahuinya
atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, dipidana karena tindak
pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan
paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp. 100.000.000,00
(seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 15.000.000.000,00 (lima belas
milyar rupiah).�
|
|
|
4. Ketentuan Pasal 6
ayat (1) diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:
�Pasal 6
|
|
|
|
(1)
|
Setiap orang yang menerima atau
menguasai:
a. penempatan;
b. pentransferan;
c. pembayaran;
d. hibah;
e. sumbangan;
f. penitipan;
atau
g. penukaran,
Harta Kekayaan yang diketahuinya
atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun
dan denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp 15.000.000.000,00 (lima belas milyar rupiah).�
|
|
|
5. Ketentuan Pasal 9
diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:
�Pasal 9
Setiap orang yang tidak melaporkan uang tunai berupa
rupiah sejumlah Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) atau lebih atau mata
uang asing yang nilainya setara dengan itu yang dibawa ke dalam atau ke luar
wilayah Negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana denda paling
sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp
300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).�
|
|
|
|
6.
Di
antara Pasal 10 dan Pasal 11 disisipkan 1 (satu) pasal baru menjadi Pasal 10A
yang berbunyi sebagai berikut:
�Pasal 10A
|
|
|
|
(1)
|
Pejabat atau
pegawai PPATK, penyidik, penuntut umum, hakim, dan siapapun juga yang memperoleh
dokumen dan/atau keterangan dalam rangka pelaksanaan tugasnya menurut
Undang-Undang ini, wajib merahasiakan dokumen dan/atau keterangan tersebut
kecuali untuk memenuhi kewajiban menurut Undang-Undang ini.
|
|
|
(2)
|
Sumber keterangan dan laporan
Transaksi Keuangan Mencurigakan wajib dirahasiakan dalam persidangan
pengadilan.
|
|
|
(3)
|
Pejabat atau pegawai PPATK,
penyidik, penuntut umum, hakim, dan siapapun juga yang karena kelalaiannya
melanggar ketentuan pada ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun.
|
|
|
(4)
|
Jika pelanggaran terhadap
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan dengan
sengaja, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun
dan paling lama 15 (lima belas) tahun.�
|
|
|
7.
Ketentuan
Pasal 13 ayat (1), ayat (2) dan ayat (5) diubah serta menambah 2 (dua) ayat
baru menjadi ayat (1a) dan ayat (6a), sehingga berbunyi sebagai berikut:
�Pasal 13
|
|
|
|
(1)
|
Penyedia Jasa Keuangan wajib menyampaikan laporan kepada
PPATK sebagaimana dimaksud dalam Bab V, untuk hal-hal sebagai berikut:
a.
Transaksi
Keuangan Mencurigakan;
b.
Transaksi
Keuangan yang Dilakukan Secara Tunai dalam jumlah kumulatif sebesar Rp
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) atau lebih atau mata uang asing yang
nilainya setara, baik dilakukan dalam satu kali transaksi maupun beberapa
kali transaksi dalam 1 (satu) hari kerja.
|
|
|
(1a)
|
Perubahan besarnya jumlah
Transaksi Keuangan yang Dilakukan Secara Tunai sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b ditetapkan dengan Keputusan Kepala PPATK.
|
|
|
(2)
|
Penyampaian laporan Transaksi
Keuangan Mencurigakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan
paling lambat 3 (tiga) hari kerja setelah Penyedia Jasa Keuangan mengetahui
adanya unsur Transaksi Keuangan Mencurigakan.
|
(3)
|
Penyampaian laporan Transaksi
Keuangan yang Dilakukan Secara Tunai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
b dilakukan paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal
transaksi dilakukan.
|
||
(4)
|
Kewajiban pelaporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak berlaku untuk transaksi yang
dikecualikan.
|
||
(5)
|
Transaksi yang dikecualikan dari
kewajiban pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meliputi transaksi
antarbank, transaksi dengan Pemerintah, transaksi dengan bank sentral,
pembayaran gaji, pensiun, dan transaksi lainnya yang ditetapkan oleh Kepala PPATK
atau atas permintaan Penyedia Jasa Keuangan yang disetujui oleh PPATK.
|
||
(6)
|
Penyedia Jasa
Keuangan wajib membuat dan menyimpan daftar transaksi yang dikecualikan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
|
||
(6a)
|
Penyedia Jasa Keuangan dapat
dikecualikan untuk tidak membuat dan menyimpan daftar transaksi yang
dikecualikan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) untuk jangka waktu 1 (satu)
tahun sejak pengecualian diberikan.
|
||
(7)
|
Ketentuan mengenai bentuk, jenis,
dan tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
lebih lanjut dengan Keputusan Kepala PPATK.�
|
||
8. Ketentuan Pasal 15
diubah, sehingga Pasal 15 berbunyi sebagai berikut:
�Pasal 15
Penyedia Jasa Keuangan, pejabat, serta pegawainya tidak
dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana atas pelaksanaan kewajiban
pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13.�
9. Ketentuan Pasal 16
ayat (1) dan ayat (5) diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:
�Pasal 16
|
|||
(1)
|
Setiap orang yang membawa uang
tunai berupa rupiah sejumlah Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) atau
lebih, atau mata uang asing yang nilainya setara dengan itu ke dalam atau ke
luar wilayah Negara Republik Indonesia, harus melaporkan kepada Direktorat
Jenderal Bea dan Cukai.
|
||
(2)
|
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai
wajib menyampaikan laporan tentang informasi yang diterimanya selama jangka
waktu 5 (lima) hari kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada PPATK.
|
||
(3)
|
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai
wajib memberitahukan kepada PPATK paling lambat 5 (hari) kerja setelah
mengetahui adanya pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).
|
||
(4)
|
Laporan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) juga harus memuat rincian mengenai identitas orang yang membuat
laporan.
|
||
(5)
|
Apabila diperlukan, PPATK dapat
meminta informasi tambahan dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai mengenai
uang tunai berupa rupiah sejumlah Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
atau lebih atau mata uang asing yang nilainya setara dengan itu yang dibawa
oleh setiap orang dari atau ke dalam wilayah Negara Republik Indonesia.�
|
||
10.
Di
antara Pasal 17 dan Pasal 18 disisipkan 1 (satu) pasal baru menjadi Pasal
17A, yang berbunyi sebagai berikut:
�Pasal 17A
|
|||
(1)
|
Direksi, pejabat, atau pegawai
Penyedia Jasa Keuangan dilarang memberitahukan kepada pengguna jasa keuangan
atau orang lain baik secara langsung ataupun tidak langsung dengan cara
apapun mengenai laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan yang sedang disusun
atau telah disampaikan kepada PPATK.
|
||
(2)
|
Pejabat atau pegawai PPATK, serta
penyelidik/penyidik dilarang memberitahukan laporan Transaksi Keuangan
Mencurigakan kepada pengguna jasa keuangan yang telah dilaporkan kepada PPATK
atau penyidik secara langsung atau tidak langsung dengan cara apapun.
|
||
(3)
|
Direksi, pejabat
atau pegawai Penyedia Jasa Keuangan, pejabat atau pegawai PPATK serta
penyelidik/penyidik yang melakukan pelanggaran atas ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp
1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).�
|
||
11.
Penjelasan
Pasal 25 ayat (3) diubah sebagaimana tercantum dalam penjelasan.
12.
Ketentuan
Pasal 26 diubah dengan menambah huruf baru yaitu huruf i, sehingga berbunyi
sebagai berikut:
|
|||
�Pasal 26
Dalam melaksanakan fungsinya,
PPATK mempunyai tugas sebagai berikut:
a. mengumpulkan, menyimpan,
menganalisis, mengevaluasi informasi yang diperoleh PPATK sesuai dengan
Undang-Undang ini;
b. memantau catatan dalam buku daftar
pengecualian yang dibuat oleh Penyedia Jasa Keuangan;
c.
membuat
pedoman mengenai tata cara pelaporan Transaksi Keuangan Mencurigakan;
d. memberikan nasihat dan bantuan
kepada instansi yang berwenang tentang informasi yang diperoleh PPATK sesuai
dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini;
e. membuat pedoman dan publikasi
kepada Penyedia Jasa Keuangan tentang kewajibannya yang ditentukannya dalam
Undang-Undang ini atau dengan peraturan perundang-undangan lain, dan membantu
dalam mendeteksi perilaku nasabah yang mencurigakan;
f. memberikan rekomendasi kepada
Pemerintah mengenai upaya-upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
pencucian uang;
g. melaporkan hasil analisis transaksi
keuangan yang berindikasi tindak pidana pencucian uang kepada Kepolisian dan
Kejaksaan;
h. membuat dan memberikan laporan
mengenai hasil analisis transaksi keuangan dan kegiatan lainnya secara
berkala 6 (enam) bulan sekali kepada Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, dan
lembaga yang berwenang melakukan pengawasan terhadap Penyedia Jasa Keuangan;
i.memberikan informasi kepada publik
tentang kinerja kelembagaan sepanjang pemberian informasi tersebut tidak
bertentangan dengan Undang-Undang ini.�
|
|||
13. Ketentuan Pasal 29
ayat (2) diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:
�Pasal 29
|
|||
(1)
(2)
|
Setiap tahun PPATK wajib menyusun
Rencana Kerja dan Anggaran Tahunan.
Anggaran Tahunan PPATK bersumber
dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.�
|
||
14. Menambah ketentuan
baru sesudah Pasal 29 yaitu Pasal 29A dan Pasal 29B, yang berbunyi sebagai
berikut:
�Pasal 29A
Pengaturan kepegawaian, sistem penggajian, penghargaan,
tunjangan jabatan, tunjangan hari tua, serta penghasilan lainnya bagi pejabat
dan pegawai PPATK ditetapkan dengan Keputusan Presiden sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.�
�Pasal 29B
Untuk lebih mengefektifkan pencegahan dan pemberantasan
tindak pidana pencucian uang, Presiden dapat membentuk Komite Koordinasi
Nasional atas usul Kepala PPATK.�
15. Ketentuan Pasal 33
ayat (4) diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:
�Pasal 33
|
|||
(1)
|
Untuk kepentingan pemeriksaan
dalam perkara tindak pidana pencucian uang maka penyidik, penuntut umum atau
hakim berwenang untuk meminta keterangan dari Penyedia Jasa Keuangan mengenai
Harta Kekayaan setiap orang yang telah dilaporkan oleh PPATK, tersangka, atau
terdakwa.
|
||
(2)
|
Dalam meminta keterangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terhadap penyidik, penuntut umum, atau
hakim tidak berlaku ketentuan undang-undang yang mengatur tentang rahasia
bank dan kerahasiaan transaksi keuangan lainnya.
|
||
(3)
|
Permintaan keterangan harus
diajukan secara tertulis dengan menyebutkan secara jelas mengenai:
a. nama dan jabatan
penyidik, penuntut umum, atau hakim;
b. identitas setiap
orang yang telah dilaporkan oleh PPATK, tersangka, atau terdakwa;
c. tindak pidana yang
disangkakan atau didakwakan; dan
d. tempat Harta
Kekayaan berada.
|
||
(4)
|
Surat permintaan untuk memperoleh
keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus
ditandatangani oleh:
a.
Kepala
Kepolisian Negara Republik Indonesia atau Kepala Kepolisian Daerah dalam hal
permintaan diajukan oleh penyidik;
b.
Jaksa
Agung Republik Indonesia atau Kepala Kejaksaan Tinggi dalam hal permintaan
diajukan oleh penuntut umum;
c.
Hakim
Ketua Majelis yang memeriksa perkara yang bersangkutan.�
|
||
16. Ketentuan BAB VIII
diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:
�BAB VIII
BANTUAN
TIMBAL BALIK
DALAM MASALAH
TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
Pasal 44
|
|||
(1)
|
Dalam rangka mencegah dan
memberantas tindak pidana pencucian uang, dapat dilakukan kerja sama bantuan
timbal balik di bidang hukum dengan negara lain melalui forum bilateral atau
multilateral sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||
(2)
|
Kerja sama bantuan timbal balik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ini dapat dilaksanakan dalam hal negara
dimaksud telah mengadakan perjanjian kerja sama bantuan timbal balik dengan
Negara Republik Indonesia atau berdasarkan prinsip resiprositas.
|
||
(3)
|
Permintaan kerja sama bantuan
timbal balik dari dan ke negara lain disampaikan kepada dan oleh Menteri yang
bertanggung jawab di bidang hukum dan perundang-undangan.
|
||
(4)
|
Menteri dapat menolak permintaan
kerja sama bantuan timbal balik dari negara lain dalam hal tindakan yang
diajukan oleh negara lain tersebut dapat mengganggu kepentingan nasional atau
permintaan tersebut berkaitan dengan penuntutan kasus politik atau penuntutan
yang berkaitan dengan suku, agama, ras, kebangsaan, atau sikap politik
seseorang.
Pasal 44A
|
||
(1)
|
Kerja sama bantuan timbal balik
dengan negara lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 antara lain meliputi:
a.
pengambilan
barang bukti dan pernyataan seseorang, termasuk pelaksanaan surat rogatori;
b.
pemberian
barang bukti berupa dokumen dan catatan lain;
c.
identifikasi
dan lokasi keberadaan seseorang;
d.
pelaksanaan
permintaan untuk pencarian barang bukti dan penyitaan;
e.
upaya
untuk melakukan pencarian, pembekuan, dan penyitaan hasil kejahatan;
f.
mengusahakan
persetujuan orang-orang yang bersedia memberikan kesaksian atau membantu
penyidikan di negara peminta;
g.
bantuan
lain yang sesuai dengan tujuan pemberian kerja sama timbal balik yang tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
|
||
(2)
|
Dalam rangka melakukan kerja sama
bantuan timbal balik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri yang
bertanggung jawab di bidang hukum dan peraturan perundang-undangan dapat
meminta pejabat yang berwenang untuk melakukan tindakan kepolisian berupa
penggeledahan, pemblokiran, penyitaan, pemeriksaan surat, pengambilan
keterangan, atau hal-hal lain yang sesuai dengan ketentuan dan persyaratan
sebagaimana diatur dalam Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang ini.
|
||
(3)
|
Barang bukti, pernyataan, dokumen,
atau catatan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan alat bukti
yang digunakan dalam pemeriksaan tindak pidana pencucian uang sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.�
|
||
17.
Di
antara Bab VIII dan Bab IX ditambah 1 (satu) bab baru menjadi Bab VIIIA
tentang Ketentuan Lain, yang berisi 1 (satu) pasal sehingga berbunyi sebagai
berikut:
�BAB VIIIA
KETENTUAN
LAIN
Pasal 44B
Dalam hal ada perkembangan konvensi internasional atau rekomendasi
internasional di bidang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian
uang, PPATK dapat melaksanakan ketentuan tersebut menurut Undang-undang ini
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.�
|
|||
Pasal II
Undang-Undang ini mulai berlaku
pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia.
|
|||
Disahkan
di Jakarta
pada
tanggal 13 Oktober 2003
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
ttd.
MEGAWATI
SOEKARNOPUTRI
|
Diundangkan di
Jakarta
pada tanggal 13 Oktober 2003
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
BAMBANG KESOWO
pada tanggal 13 Oktober 2003
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
BAMBANG KESOWO
LEMBARAN
NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2003 NOMOR 108
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR
25 TAHUN 2003
TENTANG
PERUBAHAN ATAS
UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002
TENTANG TINDAK
PIDANA PENCUCIAN UANG
I.
UMUM
Perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
khususnya di bidang komunikasi telah menyebabkan terintegrasinya sistem
keuangan termasuk sistem perbankan yang menawarkan mekanisme lalu lintas dana
antarnegara yang dapat dilakukan dalam waktu yang sangat singkat. Keadaan ini
di samping mempunyai dampak positif, juga membawa dampak negatif bagi kehidupan
masyarakat yaitu dengan semakin meningkatnya tindak pidana yang berskala
nasional maupun internasional, dengan memanfaatkan sistem keuangan termasuk
sistem perbankan untuk menyembunyikan atau mengaburkan asal-usul dana hasil
tindak pidana (money laundering).
Berkenaan dengan itu dalam rangka
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang, Indonesia telah
memiliki Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian
Uang. Namun, ketentuan dalam Undang-Undang tersebut dirasakan belum memenuhi
standar internasional serta perkembangan proses peradilan tindak pidana
pencucian uang sehingga perlu diubah, agar upaya pencegahan dan pemberantasan
tindak pidana pencucian uang dapat berjalan secara efektif.
Perubahan dalam Undang-Undang ini
antara lain meliputi:
a. Cakupan pengertian Penyedia
Jasa Keuangan diperluas tidak hanya bagi setiap orang yang menyediakan jasa di
bidang keuangan tetapi juga meliputi jasa lainnya yang terkait dengan keuangan.
Hal ini dimaksudkan untuk mengantisipasi pelaku tindak pidana pencucian uang
yang memanfaatkan bentuk Penyedia Jasa Keuangan yang ada di masyarakat namun
belum diwajibkan menyampaikan laporan transaksi keuangan dan sekaligus
mengantisipasi munculnya bentuk Penyedia Jasa Keuangan baru yang belum diatur
dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002.
b. Pengertian Transaksi
Keuangan Mencurigakan diperluas dengan mencantumkan transaksi keuangan yang
dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan Harta Kekayaan yang diduga
berasal dari hasil tindak pidana.
c. Pembatasan jumlah hasil
tindak pidana sebesar Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) atau lebih,
atau nilai yang setara yang diperoleh dari tindak pidana dihapus, karena tidak
sesuai dengan prinsip yang berlaku umum bahwa untuk menentukan suatu perbuatan
dapat dipidana tidak tergantung pada besar atau kecilnya hasil tindak pidana
yang diperoleh.
d. Cakupan tindak pidana asal
(predicate crime) diperluas untuk mencegah berkembangnya tindak pidana
yang menghasilkan Harta Kekayaan dimana pelaku tindak pidana berupaya
menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul hasil tindak pidana namun perbuatan
tersebut tidak dipidana.
Berbagai peraturan
perundang-undangan yang terkait yang mempidana tindak pidana asal antara lain:
-
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika;
-
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997
tentang Narkotika;
-
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi;
-
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
e. Jangka
waktu penyampaian laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan dipersingkat, yang
semula 14 (empat belas) hari kerja menjadi tidak lebih dari 3 (tiga) hari kerja
setelah Penyedia Jasa Keuangan mengetahui adanya unsur Transaksi Keuangan
Mencurigakan. Hal ini dimaksudkan agar Harta Kekayaan yang diduga berasal dari
hasil tindak pidana dan pelaku tindak pidana pencucian uang dapat segera
dilacak.
f. Penambahan
ketentuan baru yang menjamin kerahasiaan penyusunan dan penyampaian laporan
Transaksi Keuangan Mencurigakan yang disampaikan kepada PPATK atau penyidik (anti-tipping
off). Hal ini dimaksudkan antara lain untuk mencegah berpindahnya hasil
tindak pidana dan lolosnya pelaku tindak pidana pencucian uang sehingga
mengurangi efektifitas pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian
uang.
g.
Ketentuan kerja sama bantuan timbal balik di bidang hukum (mutual legal
assistance) dipertegas agar menjadi dasar bagi penegak hukum Indonesia
menerima dan memberikan bantuan dalam rangka penegakan hukum pidana pencucian
uang. Dengan adanya ketentuan kerja sama bantuan timbal balik merupakan bukti
bahwa Pemerintah Indonesia memberikan komitmennya bagi komunitas internasional
untuk bersama-sama mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang. Kerja
sama internasional telah dilakukan dalam forum yang tidak hanya bilateral namun
regional dan multilateral sebagai strategi untuk memberantas kekuatan ekonomi
para pelaku kejahatan yang tergabung dalam kejahatan yang terorganisir.
Namun demikian pelaksanaan kerja
sama bantuan timbal balik harus tetap memperhatikan hukum nasional
masing-masing negara serta kepentingan nasional dan terutama tidak bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
II.
PASAL DEMI PASAL
Pasal
I
Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas.
Angka
2
Pasal 2
Ayat (1)
Berdasarkan ketentuan bahwa �tindak
pidana yang dilakukan di luar wilayah Negara Republik Indonesia dan tindak
pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia�,
maka Undang-Undang ini dalam menentukan Hasil tindak pidana menganut asas
kriminalitas ganda (double criminality).
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka
3
Pasal 3
Ayat (1)
Terhadap Harta Kekayaan yang diduga
merupakan hasil tindak pidana tidak perlu dibuktikan terlebih dahulu tindak
pidana asalnya, untuk dapat dimulainya pemeriksaan tindak pidana pencucian
uang.
Angka 4
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 9
Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 10A
Ayat (1)
Ketentuan ini termasuk sebagai
ketentuan mengenai rahasia jabatan.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan �sumber
keterangan� dalam ketentuan ini adalah Penyedia
Jasa Keuangan yang menyampaikan laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan kepada
PPATK.
Kewajiban untuk merahasiakan sumber
keterangan dan laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan di persidangan
pengadilan dimaksudkan untuk mendorong Penyedia Jasa Keuangan
melaksanakan kewajiban penyampaian laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 7
Pasal 13
Ayat (1)
Huruf a
Pada dasarnya
Transaksi Keuangan Mencurigakan tidak memiliki ciri-ciri yang baku, karena hal
tersebut dipengaruhi oleh variasi dan perkembangan jasa dan instrumen keuangan
yang ada. Meskipun demikian, terdapat ciri-ciri umum dari Transaksi Keuangan
Mencurigakan yang dapat dijadikan acuan antara lain sebagai berikut:
1) tidak memiliki tujuan ekonomis dan bisnis
yang jelas;
2) menggunakan uang tunai dalam jumlah yang
relatif besar dan/atau dilakukan secara berulang-ulang di luar kewajaran;
3) aktivitas transaksi nasabah di luar
kebiasaan dan kewajaran.
Huruf b
Cukup
jelas.
Ayat (1a)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Ketentuan ini
dimaksudkan agar Penyedia Jasa Keuangan dapat sesegera mungkin melaporkan Transaksi
Keuangan Mencurigakan agar Harta Kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak
pidana dan pelaku pencucian uang dapat segera dilacak.
Unsur Transaksi Keuangan
Mencurigakan adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 7 huruf a, huruf
b, dan huruf c.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan �transaksi
lainnya�
adalah transaksi-transaksi yang dikecualikan yang sesuai dengan karakteristiknya
selalu dilakukan dalam bentuk tunai dan dalam jumlah yang besar, misalnya
setoran rutin oleh pengelola jalan tol atau pengelola supermarket.
Selain berdasarkan jenis transaksi,
Kepala PPATK menetapkan transaksi lainnya yang dikecualikan berdasarkan
besarnya jumlah transaksi, bentuk Penyedia Jasa Keuangan tertentu, atau wilayah
kerja Penyedia Jasa Keuangan tertentu. Pemberlakuan pengecualian tersebut dapat
dilakukan baik untuk waktu yang tidak terbatas (permanen) maupun untuk waktu
tertentu (temporer).
Ayat (6)
Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan
agar data atau informasi mengenai transaksi yang dikecualikan tersebut dapat
diteliti atau diperiksa oleh PPATK untuk keperluan analisis.
Rincian daftar transaksi yang wajib
dibuat dan disimpan pada dasarnya sama dengan transaksi tunai yang seharusnya
dilaporkan kepada PPATK. Daftar dapat dibuat dalam bentuk elektronik sepanjang
dapat dijamin bahwa data atau informasi tersebut tidak mudah hilang atau rusak.
Ayat (6a)
Ketentuan ini dimaksudkan untuk
memberikan kesempatan kepada Penyedia Jasa Keuangan tertentu yang untuk
sementara waktu belum dapat memenuhi ketentuan ini.
Pengecualian dapat diberikan baik
dengan atau tanpa permintaan dari Penyedia Jasa Keuangan.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Angka 8
Pasal 15
Yang dimaksud dengan �dituntut
secara perdata� antara lain adalah tuntutan ganti
rugi.
Yang dimaksud dengan �dituntut
secara pidana� antara lain tuntutan pencemaran
nama baik.
Angka 9
Pasal 16
Cukup jelas.
Angka 10
Pasal 17A
Ayat (1)
Ketentuan ini
dikenal sebagai anti-tipping off.
Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan
agar pengguna jasa keuangan tidak memindahkan Harta Kekayaannya sehingga
mempersulit penegak hukum untuk melakukan pelacakan terhadap pengguna jasa
keuangan dan Harta Kekayaan yang bersangkutan.
Ayat (2)
Ketentuan anti-tipping off berlaku
pula bagi pejabat atau pegawai PPATK serta penyelidik/penyidik untuk
mencegah pengguna jasa keuangan yang diduga sebagai pelaku kejahatan melarikan
diri dan harta kekayaan yang bersangkutan dialihkan sehingga mempersulit proses
penyelidikan dan penyidikan tindak pidana.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 11
Pasal 25
Ayat (3)
Kerja sama dalam ayat ini dapat
dilakukan dalam bentuk pertukaran informasi, bantuan teknis, pendidikan
dan/atau pelatihan.
Angka 12
Pasal 26
Cukup jelas.
Angka 13
Pasal 29
Cukup jelas.
Angka 14
Pasal 29A
Cukup jelas.
Pasal 29B
Cukup
jelas.
Angka 15
Pasal 33
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Ketentuan ini merupakan pengecualian
dari ketentuan rahasia bank dan kerahasiaan transaksi keuangan lainnya
sebagaimana diatur dalam undang-undang yang mengatur mengenai rahasia bank dan
kerahasiaan transaksi keuangan lainnya.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Dalam hal Kepala Kepolisian Negara
Republik Indonesia atau Kepala Kepolisian Daerah, atau Jaksa Agung Republik
Indonesia atau Kepala Kejaksaan Tinggi berhalangan, penandatanganan dapat
dilakukan oleh pejabat yang ditunjuk.
Angka 16
Pasal 44
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan �ketentuan
peraturan perundang-undangan� adalah Undang-Undang ini,
undang-undang mengenai hukum acara pidana, undang-undang mengenai hubungan luar
negeri, dan undang-undang mengenai perjanjian internasional.
Ayat (2)
Perjanjian kerja sama bantuan timbal
balik antara lain mengatur tentang prosedur komunikasi, tata cara penyampaian
surat rogatori, persyaratan yang harus dipenuhi untuk menyampaikan permintaan
bantuan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Menteri dalam menerima atau menolak
kerja sama bantuan timbal balik berkoordinasi dengan penegak hukum dan instansi
terkait.
Pasal 44A
Ayat (1)
Huruf a
Surat rogatori dalam ketentuan ini
adalah surat dari negara lain yang berisi permintaan pemeriksaan untuk
mendapatkan keterangan mengenai tindak pidana pencucian uang yang dilakukan di
bawah sumpah dan di hadapan penyidik, penuntut umum, atau hakim di Indonesia dan
sebaliknya. Surat rogatori ini dikenal dengan letter of rogatory.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup
jelas.
Angka 17
Pasal 44B
Cukup jelas.
Pasal II
Cukup jelas.
TAMBAHAN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4324
Komentar
Posting Komentar