Undang undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2002
Tentang
Tindak Pidana Pencucian  Uang

Bab I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1. Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi.
2. Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.
3. Harta Kekayaan adalah semua benda bergerak atau benda tidak bergerak, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud.
4. Penyedia Jasa Keuangan adalah setiap orang yang menyediakan jasa di bidang keuangan termasuk tetapi tidak terbatas pada bank, lembaga pembiayaan, perusahaan efek, pengelola reksa dana, kustodian, wali amanat, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, pedagang valuta asing, dana pensiun, dan perusahaan asuransi.
5. Transaksi adalah seluruh kegiatan yang menimbulkan hak atau kewajiban atau menyebabkan timbulnya hubungan hukum antara dua pihak atau lebih, termasuk kegiatan pentransferan dan/atau pemindahbukuan dana yang dilakukan oleh Penyedia Jasa Keuangan.
6. Transaksi Keuangan Mencurigakan adalah transaksi yang menyimpang dari profil dan karakteristik serta kebiasaan pola transaksi dari nasabah yang bersangkutan, termasuk transaksi keuangan oleh nasabah yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh Penyedia Jasa Keuangan sesuai dengan ketentuan Undang-undang ini.
7. Dokumen adalah data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada:
a. tulisan, suara, atau gambar;
b. peta, rancangan, foto, atau sejenisnya;
c. huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.
8. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan yang selanjutnya disebut PPATK adalah lembaga independen yang dibentuk dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang.
Pasal 2
Hasil tindak pidana adalah Harta Kekayaan yang berjumlah Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) atau lebih atau nilai yang setara, yang diperoleh secara langsung atau tidak langsung dari kejahatan:
yang dilakukan di wilayah Negara Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Republik Indonesia dan kejahatan tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia.

Bab II
TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
Pasal 3
(1) Setiap orang yang dengan sengaja:
a. menempatkan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana ke dalam Penyedia Jasa Keuangan, baik atas nama sendiri atau atas nama pihak lain;
b. mentransfer Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dari suatu Penyedia Jasa Keuangan ke Penyedia Jasa Keuangan yang lain, baik atas nama sendiri maupun atas nama pihak lain;
c. membayarkan atau membelanjakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik perbuatan itu atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;
d. menghibahkan atau menyumbangkan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;
e. menitipkan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;
f. membawa ke luar negeri Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana;
g. menukarkan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dengan mata uang atau surat berharga lainnya; atau
h. menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) dan paling banyak Rp 15.000.000.000,00 (lima belas milyar rupiah).
(2) Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana pencucian uang dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 4
(1) Apabila tindak pidana dilakukan oleh pengurus dan/atau kuasa pengurus atas nama korporasi, maka penjatuhan pidana dilakukan baik terhadap pengurus dan atau kuasa pengurus maupun terhadap korporasi.
(2) Pertanggungjawaban pidana bagi pengurus korporasi dibatasi sepanjang pengurus mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur organisasi korporasi.
(3) Korporasi tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap suatu tindak pidana pencucian uang yang dilakukan oleh pengurus yang mengatasnamakan korporasi, apabila perbuatan tersebut dilakukan melalui kegiatan yang tidak termasuk dalam lingkup usahanya sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar atau ketentuan lain yang berlaku bagi korporasi yang bersangkutan.
(4) Hakim dapat memerintahkan supaya pengurus korporasi menghadap sendiri di sidang pengadilan dan dapat pula memerintahkan supaya pengurus tersebut dibawa ke sidang pengadilan.
(5) Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh korporasi, maka panggilan untuk menghadap dan penyerahan surat panggilan tersebut disampaikan kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau di tempat pengurus berkantor.
Pasal 5
(1) Pidana pokok yang dijatuhkan terhadap korporasi adalah pidana denda, dengan ketentuan maksimum pidana denda ditambah 1/3 (satu per tiga).
(2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terhadap korporasi juga dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan izin usaha dan/atau pembubaran korporasi yang diikuti dengan likuidasi.
Pasal 6
(1) Setiap orang yang menerima atau menguasai:
a. penempatan;
b. pentransferan;
c. pembayaran;
d. hibah;
e. sumbangan;

f. penitipan;
g. penukaran,
Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) dan paling banyak Rp 15.000.000.000,00 (lima belas milyar rupiah).
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi Penyedia Jasa Keuangan yang melaksanakan kewajiban pelaporan transaksi keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13.
Pasal 7
Setiap Warga Negara Indonesia dan/atau korporasi Indonesia yang berada di luar wilayah Negara Republik Indonesia yang memberikan bantuan, kesempatan, sarana, atau keterangan untuk terjadinya tindak pidana pencucian uang dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku tindak pidana pencucian uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.

Bab III
TINDAK PIDANA LAIN YANG BERKAITAN DENGAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
Pasal 8
Penyedia Jasa Keuangan yang dengan sengaja tidak menyampaikan laporan kepada PPATK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1), dipidana dengan pidana denda paling sedikit Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Pasal 9
Setiap orang yang tidak melaporkan uang tunai berupa rupiah sejumlah Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) atau lebih yang dibawa ke dalam atau ke luar wilayah Negara Republik Indonesia dipidana dengan pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Pasal 10
PPATK, penyidik, saksi, penuntut umum, hakim, atau orang lain yang bersangkutan dengan perkara tindak pidana pencucian uang yang sedang diperiksa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1) dan Pasal 41 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun.
Pasal 11
(1) Dalam hal terpidana tidak mampu membayar pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Bab II dan Bab III, pidana denda tersebut diganti dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun.
(2) Pidana penjara sebagai pengganti pidana denda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dicantumkan dalam amar putusan hakim.
Pasal 12
Tindak pidana dalam Bab II dan Bab III adalah kejahatan.

Bab IV
PELAPORAN
Bagian Kesatu
Kewajiban Melapor
Pasal 13
(1) Penyedia Jasa Keuangan wajib menyampaikan laporan kepada PPATK sebagaimana dimaksud dalam Bab V, untuk hal-hal sebagai berikut:
a. Transaksi Keuangan Mencurigakan;
b. transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai dalam jumlah kumulatif sebesar Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) atau lebih atau yang nilainya setara, baik dilakukan dalam satu kali transaksi maupun beberapa kali transaksi dalam 1 (satu) hari kerja.
(2) Penyampaian laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dilakukan paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah diketahui oleh Penyedia Jasa Keuangan.
(3) Penyampaian laporan transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b dilakukan paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal transaksi dilakukan.
(4) Kewajiban pelaporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b tidak berlaku untuk transaksi yang dikecualikan.
(5) Transaksi yang dikecualikan dari kewajiban pelaporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) meliputi transaksi antarbank, transaksi dengan Pemerintah, transaksi dengan bank sentral, pembayaran gaji, pensiun, dan transaksi lainnya atas permintaan Penyedia Jasa Keuangan yang disetujui oleh PPATK.
(6) Penyedia Jasa Keuangan wajib membuat dan menyimpan daftar transaksi yang dikecualikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4).
(7) Ketentuan mengenai bentuk, jenis, dan tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Kepala PPATK.
Pasal 14
Pelaksanaan kewajiban pelaporan oleh Penyedia Jasa Keuangan yang berbentuk bank, dikecualikan dari ketentuan rahasia bank sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang yang mengatur mengenai rahasia bank.
Pasal 15
Penyedia Jasa Keuangan, pejabat, serta pegawainya tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana atas pelaksanaan kewajiban pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14.
Pasal 16
(1) Setiap orang yang membawa uang tunai ke dalam atau keluar wilayah Negara Republik Indonesia berupa rupiah sejumlah Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah) atau lebih, harus melaporkan kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
(2) Direktorat Jenderal Bea dan Cukai wajib menyampaikan laporan tentang informasi yang diterimanya selama jangka waktu 5 (lima) hari kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) kepada PPATK.
(3) Direktorat Jenderal Bea dan Cukai wajib memberitahukan kepada PPATK paling lambat 5 (hari) kerja setelah mengetahui adanya pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(4) Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) juga harus memuat rincian mengenai identitas orang yang membuat laporan.
(5) Apabila diperlukan, PPATK dapat meminta informasi tambahan dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai berupa rupiah sejumlah Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah) atau lebih, yang dibawa oleh setiap orang dari atau ke dalam wilayah Negara Republik Indonesia.
Bagian Kedua
Identitas Nasabah
Pasal 17
(1) Setiap orang yang melakukan hubungan usaha dengan Penyedia Jasa Keuangan wajib memberikan identitasnya secara lengkap dan akurat dengan mengisi formulir yang disediakan oleh Penyedia Jasa Keuangan dan melampirkan dokumen pendukung yang diperlukan.
(2) Penyedia Jasa Keuangan wajib memastikan pengguna jasa keuangan bertindak untuk diri sendiri atau untuk orang lain.
(3) Dalam hal pengguna jasa keuangan bertindak untuk orang lain, Penyedia Jasa Keuangan wajib meminta informasi mengenai identitas dan dokumen pendukung dari pihak lain tersebut.
(4) Bagi Penyedia Jasa Keuangan yang berbentuk bank, identitas dan dokumen pendukung yang diminta dari pengguna jasa keuangan harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Penyedia Jasa Keuangan wajib menyimpan catatan dan dokumen mengenai identitas pengguna jasa keuangan sampai dengan 5 (lima) tahun sejak berakhirnya hubungan usaha dengan pengguna jasa keuangan tersebut.

Bab V
PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN
Pasal 18
(1) Dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang, dengan Undang-undang ini dibentuk PPATK.
(2) PPATK sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya.
(3) PPATK bertanggung jawab kepada Presiden.
Pasal 19
(1) PPATK berkedudukan di Ibukota Negara Republik Indonesia.
(2) Dalam hal diperlukan dapat dibuka perwakilan PPATK di daerah.
Pasal 20
(1) PPATK dipimpin oleh seorang kepala dan dibantu oleh paling banyak 4 (empat) orang wakil kepala.
(2) Kepala dan wakil kepala sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Menteri Keuangan.
(3) Masa jabatan kepala dan wakil kepala sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah 4 (empat) tahun dan dapat diangkat kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.
(4) Ketentuan mengenai susunan organisasi dan tata kerja PPATK diatur dengan Keputusan Presiden.
Pasal 21
Untuk dapat diangkat sebagai kepala atau wakil kepala PPATK, calon yang bersangkutan harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. Warga Negara Indonesia;
b. berusia sekurang-kurangnya 35 (tiga puluh lima) dan setinggi-tingginya 60 (enam puluh) tahun pada saat pengangkatan;
c. sehat jasmani dan rohani;
d. takwa, jujur, adil, dan memiliki integritas pribadi yang baik;
e. memiliki salah satu keahlian dan pengalaman di bidang perbankan, lembaga pembiayaan, perusahaan efek, pengelola reksa dana, hukum, atau akuntansi;
f. tidak merangkap jabatan atau pekerjaan lain; dan
g. tidak pernah dijatuhi pidana penjara.
Pasal 22
(1) Kepala dan wakil kepala PPATK sebelum memangku jabatannya wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agama dan kepercayaannya di hadapan Ketua Mahkamah Agung.
(2) Sumpah atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berbunyi sebagai berikut:
“Saya bersumpah/berjanji, bahwa saya untuk menjadi kepala/wakil kepala PPATK langsung atau tidak langsung dengan nama dan dalih apapun tidak memberikan atau menjanjikan untuk memberikan sesuatu kepada siapapun”.
“Saya bersumpah/berjanji bahwa saya dalam melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatan ini, tidak akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun juga sesuatu janji atau pemberian dalam bentuk apapun”.
“Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan merahasiakan kepada siapapun hal-hal yang menurut peraturan perundang-undangan wajib dirahasiakan”.
“Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan melaksanakan tugas dan kewenangan selaku kepala/wakil kepala dengan sebaik-baiknya dan dengan penuh rasa tanggung jawab”.
“Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan setia terhadap negara, konstitusi, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Pasal 23
Jabatan kepala atau wakil kepala PPATK berakhir, karena yang bersangkutan:
a. diberhentikan;
b. meninggal dunia;
c. mengundurkan diri; atau
d. berakhir masa jabatannya.
Pasal 24
(1) Kepala dan wakil kepala PPATK diberhentikan karena:
a. bertempat tinggal di luar wilayah Negara Republik Indonesia;
b. kehilangan kewarganegaraannya sebagai warga Negara Republik Indonesia;
c. menderita sakit terus menerus yang penyembuhannya memerlukan waktu lebih dari 3 (tiga) bulan yang tidak memungkinkan melaksanakan tugasnya;
d. menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara yang lamanya 1 (satu) tahun atau lebih;
e. dijatuhi pidana penjara;
f. merangkap jabatan atau pekerjaan lain;
g. dinyatakan pailit oleh pengadilan; atau
h. melanggar sumpah/janji jabatan.
(2) Menteri Keuangan wajib mengajukan usul kepada Presiden agar kepala atau wakil kepala PPATK diberhentikan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 25
(1) Setiap pihak tidak boleh melakukan segala bentuk campur tangan terhadap pelaksanaan tugas dan kewenangan PPATK.
(2) Kepala dan wakil kepala PPATK wajib menolak setiap campur tangan dari pihak manapun dalam pelaksanaan tugas dan kewenangannya.
(3) PPATK dalam melakukan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang, dapat melakukan kerja sama dengan pihak yang terkait, baik nasional maupun internasional.
Pasal 26
Dalam melaksanakan fungsinya PPATK mempunyai tugas sebagai berikut :
a. mengumpulkan, menyimpan, menganalisis, mengevaluasi informasi yang diperoleh oleh PPATK sesuai dengan Undang-undang ini;
b. memantau catatan dalam buku daftar pengecualian yang dibuat oleh Penyedia Jasa Keuangan;
c. membuat pedoman mengenai tata cara pelaporan Transaksi Keuangan Mencurigakan;
d. memberikan nasihat dan bantuan kepada instansi yang berwenang tentang informasi yang diperoleh oleh PPATK sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang ini;
e. mengeluarkan pedoman dan publikasi kepada Penyedia Jasa Keuangan tentang kewajibannya yang ditentukan dalam Undang-undang ini atau dengan peraturan perundang-undangan lain, dan membantu dalam mendeteksi perilaku nasabah yang mencurigakan;
f. memberikan rekomendasi kepada Pemerintah mengenai upaya-upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang;
g. melaporkan hasil analisis transaksi keuangan yang berindikasi tindak pidana pencucian uang kepada Kepolisian dan Kejaksaan;
h. membuat dan memberikan laporan mengenai hasil analisis transaksi keuangan dan kegiatan lainnya secara berkala 6 (enam) bulan sekali kepada Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, dan lembaga yang berwenang melakukan pengawasan terhadap Penyedia Jasa Keuangan.
Pasal 27
(1) Dalam melaksanakan tugasnya, PPATK mempunyai wewenang:
a. meminta dan menerima laporan dari Penyedia Jasa Keuangan;
b. meminta informasi mengenai perkembangan penyidikan atau penuntutan terhadap tindak pidana pencucian uang yang telah dilaporkan kepada penyidik atau penuntut umum;
c. melakukan audit terhadap Penyedia Jasa Keuangan mengenai kepatuhan kewajiban sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang ini dan terhadap pedoman pelaporan mengenai transaksi keuangan;
d. memberikan pengecualian kewajiban pelaporan mengenai transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf b.
(2) Dalam melakukan audit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c, PPATK terlebih dahulu melakukan koordinasi dengan lembaga yang melakukan pengawasan terhadap Penyedia Jasa Keuangan.
(3) Dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), terhadap PPATK tidak berlaku ketentuan Undang-undang lain yang berkaitan dengan ketentuan tentang rahasia bank dan kerahasiaan transaksi keuangan lainnya.
(4) Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden.
Pasal 28
(1) Kepala PPATK mewakili PPATK di dalam dan di luar pengadilan.
(2) Kepala PPATK dapat menyerahkan kewenangan mewakili sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) kepada salah satu wakil kepala PPATK atau pihak lainnya yang khusus ditunjuk untuk itu.
Pasal 29
(1) Setiap tahun PPATK wajib menyusun Rencana Kerja dan Anggaran Tahunan.
(2) Rencana Kerja dan Anggaran Tahunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan melalui Sekretariat Negara.

Bab VI
PENYIDIKAN, PENUNTUTAN, DAN PEMERIKSAAN
Pasal 30
Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini, dilakukan berdasarkan ketentuan dalam Hukum Acara Pidana, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini.
Pasal 31
Dalam hal ditemukan adanya petunjuk atas dugaan telah ditemukan transaksi mencurigakan, dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak ditemukan petunjuk tersebut, PPATK wajib menyerahkan hasil analisis kepada penyidik untuk ditindaklanjuti.
Pasal 32
(1) Penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang memerintahkan kepada Penyedia Jasa Keuangan untuk melakukan pemblokiran terhadap Harta Kekayaan setiap orang yang telah dilaporkan oleh PPATK kepada penyidik, tersangka, atau terdakwa yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana.
(2) Perintah penyidik, penuntut umum, atau hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dilakukan secara tertulis dengan menyebutkan secara jelas mengenai:
a. nama dan jabatan penyidik, penuntut umum, atau hakim;
b. identitas setiap orang yang telah dilaporkan oleh PPATK kepada penyidik tersangka, atau terdakwa;
c. alasan pemblokiran;
d. tindak pidana yang disangkakan atau didakwakan; dan
e. tempat Harta Kekayaan berada.
(3) Penyedia Jasa Keuangan setelah menerima perintah penyidik, penuntut umum, atau hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) wajib melaksanakan pemblokiran sesaat setelah surat perintah pemblokiran diterima.
(4) Penyedia Jasa Keuangan wajib menyerahkan berita acara pelaksanaan pemblokiran kepada penyidik, penuntut umum, atau hakim paling lambat 1 (satu) hari kerja terhitung sejak tanggal pelaksanaan pemblokiran.
(5) Harta Kekayaan yang diblokir harus tetap berada pada Penyedia Jasa Keuangan yang bersangkutan.
(6) Penyedia Jasa Keuangan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4) dikenai sanksi administratif sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 33
(1) Untuk kepentingan pemeriksaan dalam perkara tindak pidana pencucian uang, maka penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang untuk meminta keterangan dari Penyedia Jasa Keuangan mengenai Harta Kekayaan setiap orang yang telah dilaporkan oleh PPATK, tersangka, atau terdakwa.
(2) Dalam meminta keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), terhadap penyidik, penuntut umum, atau hakim tidak berlaku ketentuan Undang-undang yang mengatur tentang rahasia bank dan kerahasiaan transaksi keuangan lainnya.
(3) Permintaan keterangan harus diajukan secara tertulis dengan menyebutkan secara jelas mengenai:
a. nama dan jabatan penyidik, penuntut umum, atau hakim;
b. identitas setiap orang yang telah dilaporkan oleh PPATK, tersangka, atau terdakwa;
c. tindak pidana yang disangkakan atau didakwakan; dan
d. tempat Harta Kekayaan berada.
(4) Surat permintaan untuk memperoleh keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) harus ditandatangani oleh:
a. Kepala Kepolisian Daerah dalam hal permintaan diajukan oleh penyidik;
b. Kepala Kejaksaan Tinggi dalam hal permintaan diajukan oleh penuntut umum;
c. Hakim Ketua Majelis yang memeriksa perkara yang bersangkutan.
Pasal 34
Dalam hal diperoleh bukti yang cukup sebagai hasil pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap terdakwa, hakim memerintahkan penyitaan terhadap Harta Kekayaan yang diketahui atau patut diduga hasil tindak pidana yang belum disita oleh penyidik atau penuntut umum.
Pasal 35
Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa Harta Kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana.
Pasal 36
(1) Dalam hal terdakwa telah dipanggil 3 (tiga) kali secara sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak hadir, Majelis Hakim dengan putusan sela dapat meneruskan pemeriksaan dengan tanpa kehadiran terdakwa.
(2) Apabila dalam sidang berikutnya sebelum perkara diputus terdakwa hadir, maka terdakwa wajib diperiksa, dan segala keterangan saksi dan surat yang dibacakan dalam sidang sebelumnya mempunyai kekuatan pembuktian yang sama dengan apabila terdakwa telah hadir sejak semula.
(3) Putusan yang dijatuhkan tanpa kehadiran terdakwa diumumkan oleh penuntut umum dalam papan pengumuman pengadilan yang memutus dan sekurang-kurangnya dimuat dalam 2 (dua) surat kabar yang memiliki jangkauan peredaran secara nasional sekurang-kurangnya dalam jangka waktu 3 (tiga) hari atau 3 (tiga) kali penerbitan secara terus-menerus.
Pasal 37
Dalam hal terdakwa meninggal dunia sebelum putusan hakim dijatuhkan dan terdapat bukti-bukti yang meyakinkan bahwa yang bersangkutan telah melakukan tindak pidana pencucian uang, maka hakim dapat mengeluarkan penetapan bahwa Harta Kekayaan terdakwa yang telah disita, dirampas untuk negara.
Pasal 38
Alat bukti pemeriksaan tindak pidana pencucian uang berupa:
a. alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana;
b. alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan
c. dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 7.

Bab VII
PERLINDUNGAN BAGI PELAPOR DAN SAKSI
Pasal 39
(1) PPATK, penyidik, penuntut umum, atau hakim wajib merahasiakan identitas pelapor.
(2) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memberikan hak kepada pelapor atau ahli warisnya untuk menuntut ganti kerugian melalui pengadilan.
Pasal 40
(1) Setiap orang yang melaporkan terjadinya dugaan tindak pidana pencucian uang, wajib diberi perlindungan khusus oleh negara dari kemungkinan ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya, termasuk keluarganya.
(2) Ketentuan mengenai tata cara pemberian perlindungan khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 41
(1) Di sidang pengadilan, saksi, penuntut umum, hakim, dan orang lain yang bersangkutan dengan tindak pidana pencucian uang yang sedang dalam pemeriksaan dilarang menyebut nama atau alamat pelapor, atau hal-hal lain yang memungkinkan dapat terungkapnya identitas pelapor.
(2) Dalam setiap persidangan sebelum sidang pemeriksaan dimulai, hakim wajib mengingatkan saksi, penuntut umum, dan orang lain yang terkait dengan pemeriksaan perkara tersebut, mengenai larangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 42
(1) Setiap orang yang memberikan kesaksian dalam pemeriksaan tindak pidana pencucian uang, wajib diberi perlindungan khusus oleh negara dari kemungkinan ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya, termasuk keluarganya.
(2) Ketentuan mengenai tata cara pemberian perlindungan khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 43
Pelapor dan/atau saksi tidak dapat dituntut baik secara perdata atau pidana atas pelaporan dan/atau kesaksian yang diberikan oleh yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 dan Pasal 42.

Bab VIII
KERJA SAMA INTERNASIONAL
Pasal 44
Dalam rangka penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap orang atau korporasi yang diketahui atau patut diduga telah melakukan tindak pidana pencucian uang, dapat dilakukan kerja sama regional dan internasional melalui forum bilateral atau multilateral sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bab IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 45
(1) Kepala dan wakil kepala PPATK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 harus sudah ditetapkan paling lambat 1 (satu) tahun setelah Undang-undang ini diundangkan.
(2) PPATK harus sudah melaksanakan fungsinya paling lambat 6 (enam) bulan setelah kepala dan wakil kepala PPATK ditetapkan.
(3) Sebelum PPATK melaksanakan fungsinya sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), sebagian tugas dan kewenangan PPATK khusus menyangkut Penyedia Jasa Keuangan yang berbentuk bank dilaksanakan oleh Bank Indonesia sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia.
(4) Kewajiban pelaporan bagi Penyedia Jasa Keuangan mulai berlaku 18 (delapan belas) bulan setelah Undang-undang ini diundangkan.
Bab X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 46
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 17 April 2002
Disahkan di Jakarta
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 17 April 2002
SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
BAMBANG KESOWO

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2002 NOMOR 30
Salinan sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT KABINET RI
Kepala Biro Peraturan
Perundang-undangan II,
ttd
Edy Sudibyo



Penjelasan Atas Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 15 Tahun 2002
tentang
Tindak Pidana Pencucian Uang
I. UMUM
Berbagai kejahatan, baik yang dilakukan oleh orang perseorangan maupun oleh korporasi dalam batas wilayah suatu negara maupun yang dilakukan melintasi batas wilayah negara lain makin meningkat. Kejahatan tersebut antara lain berupa tindak pidana korupsi, penyuapan (bribery), penyelundupan barang, penyelundupan tenaga kerja, penyelundupan imigran, perbankan, perdagangan gelap narkotika dan psikotropika, perdagangan budak, wanita, dan anak, perdagangan senjata gelap, penculikan, terorisme, pencurian, penggelapan, penipuan, dan berbagai kejahatan kerah putih. Kejahatan-kejahatan tersebut telah melibatkan atau menghasilkan Harta Kekayaan yang sangat besar jumlahnya.
Harta Kekayaan yang berasal dari berbagai kejahatan atau tindak pidana tersebut, pada umumnya tidak langsung dibelanjakan atau digunakan oleh para pelaku kejahatan karena apabila langsung digunakan akan mudah dilacak oleh penegak hukum mengenai sumber diperolehnya Harta Kekayaan tersebut. Biasanya para pelaku kejahatan terlebih dahulu mengupayakan agar Harta Kekayaan yang diperoleh dari kejahatan tersebut masuk ke dalam sistem keuangan (financial system), terutama ke dalam sistem perbankan (banking system). Dengan cara demikian, asal usul Harta Kekayaan tersebut diharapkan tidak dapat dilacak oleh para penegak hukum. Upaya untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini, dikenal sebagai pencucian uang (money laundering).
Bagi organisasi kejahatan, Harta Kekayaan sebagai hasil kejahatan ibarat darah dalam satu tubuh, dalam pengertian apabila aliran Harta Kekayaan melalui sistem perbankan internasional yang dilakukan diputuskan, maka organisasi kejahatan tersebut lama kelamaan akan menjadi lemah, berkurang aktivitasnya, bahkan menjadi mati. Oleh karena itu, Harta Kekayaan merupakan bagian yang sangat penting bagi suatu organisasi kejahatan. Untuk itu, terdapat suatu dorongan bagi organisasi kejahatan melakukan pencucian uang agar asal usul Harta Kekayaan yang sangat dibutuhkan tersebut sulit atau tidak dapat dilacak oleh penegak hukum.
Perbuatan pencucian uang di samping sangat merugikan masyarakat, juga sangat merugikan negara karena dapat mempengaruhi atau merusak stabilitas perekonomian nasional atau keuangan negara dengan meningkatnya berbagai kejahatan.
Sehubungan dengan hal tersebut, upaya untuk mencegah dan memberantas praktik pencucian uang telah menjadi perhatian internasional. Berbagai upaya telah ditempuh oleh masing-masing negara untuk mencegah dan memberantas praktik pencucian uang termasuk dengan cara melakukan kerja sama internasional, baik melalui forum secara bilateral maupun multilateral.
Dalam konteks kepentingan nasional ditetapkannya Undang-undang tentang Tindak Pidana Pencucian Uang merupakan penegasan bahwa Pemerintah dan sektor swasta bukan merupakan bagian dari masalah, akan tetapi bagian dari penyelesaian masalah, baik di sektor ekonomi, keuangan, maupun perbankan.
Pertama-tama usaha yang harus ditempuh oleh suatu negara untuk dapat mencegah dan memberantas praktik pencucian uang adalah dengan membentuk Undang-undang yang melarang perbuatan pencucian uang dan menghukum dengan berat para pelaku kejahatan tersebut. Dengan adanya Undang-undang tersebut diharapkan tindak pidana pencucian uang dapat dicegah atau diberantas, antara lain kriminalisasi atas semua perbuatan dalam setiap tahap proses pencucian uang yang terdiri atas :
a. penempatan (placement) yakni upaya menempatkan uang tunai yang berasal dari tindak pidana ke dalam sistem keuangan (financial system) atau upaya menempatkan uang giral (cheque,wesel bank, sertifikat deposito, dan lain-lain) kembali ke dalam sistem keuangan, terutama sistem perbankan.
b. transfer (layering) yakni upaya untuk mentransfer Harta Kekayaan yang berasal dari tindak pidana (dirty money) yang telah berhasil ditempatkan pada Penyedia Jasa Keuangan (terutama bank) sebagai hasil upaya penempatan (placement) ke Penyedia Jasa Keuangan yang lain. Dengan dilakukan layering, akan menjadi sulit bagi penegak hukum untuk dapat mengetahui asal usul Harta Kekayaan tersebut.
c. menggunakan Harta Kekayaan (integration) yakni upaya menggunakan Harta Kekayaan yang berasal dari tindak pidana yang telah berhasil masuk ke dalam sistem keuangan melalui penempatan atau transfer sehingga seolah-olah menjadi Harta Kekayaan halal (clean money),untuk kegiatan bisnis yang halal atau untuk membiayai kembali kegiatan kejahatan.
Penyedia Jasa Keuangan di atas diartikan sebagai penyedia jasa di bidang keuangan termasuk tetapi tidak terbatas pada bank, lembaga pembiayaan, perusahaan efek, pengelola reksa dana, kustodian, wali amanat, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, pedagang valuta asing, dana pensiun, dan perusahaan asuransi.
Adapun yang dimaksud dengan :
bank adalah bank sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perbankan.
lembaga pembiayaan adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai lembaga pembiayaan.
efek, kustodian, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, perusahaan efek, pengelola reksa dana, rekening efek, reksa dana, dan wali amanat adalah efek, kustodian, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, perusahaan efek, pengelola reksa dana, rekening efek, reksa dana, dan wali amanat sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pasar modal.
pedagang valuta asing adalah pedagang valuta asing sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pedagang valuta asing.
dana pensiun adalah dana pensiun sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai dana pensiun.
perusahaan asuransi adalah perusahaan asuransi sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perusahaan asuransi.
Dalam rangka pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dalam Undang-undang ini dibentuk pula Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan yang disingkat dengan PPATK, yang bertugas:
Di samping itu, untuk memperlancar proses peradilan tindak pidana pencucian uang, Undang-undang ini mengatur kewenangan penyidik, penuntut umum, atau hakim sesuai dengan tingkat penanganan perkara untuk dapat meminta pemblokiran Harta Kekayaan kepada Penyedia Jasa Keuangan. Undang-undang ini juga mengatur kewenangan penyidik, penuntut umum, atau hakim untuk meminta keterangan dari Penyedia Jasa Keuangan mengenai Harta Kekayaan setiap orang yang telah dilaporkan oleh PPATK, tersangka, atau terdakwa.
Selain kekhususan di atas, Undang-undang ini juga mengatur mengenai persidangan tanpa kehadiran terdakwa, dalam hal terdakwa yang telah dipanggil 3 (tiga) kali secara sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan tidak hadir, maka Majelis Hakim dengan putusan sela dapat meneruskan pemeriksaan dengan tanpa kehadiran terdakwa.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, maka perlu segera dibentuk Undang-undang tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
a. mengumpulkan, menyimpan, menganalisis, mengevaluasi informasi yang diperoleh oleh PPATK sesuai dengan Undang-undang ini;
b. memantau catatan dalam buku daftar pengecualian yang dibuat oleh Penyedia Jasa Keuangan;
c. membuat pedoman mengenai tata cara pelaporan Transaksi Keuangan yang Mencurigakan;
d. memberikan nasihat dan bantuan kepada instansi yang berwenang tentang informasi yang diperoleh oleh PPATK sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang ini;
e. mengeluarkan pedoman dan publikasi kepada Penyedia Jasa Keuangan tentang kewajibannya yang ditentukan dalam Undang-undang ini atau dengan peraturan perundang-undangan lain, dan membantu dalam mendeteksi perilaku nasabah yang mencurigakan;
f. memberikan rekomendasi kepada Pemerintah mengenai upaya-upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang;
g. melaporkan hasil analisis transaksi keuangan yang berindikasi tindak pidana pencucian uang kepada Kepolisian dan Kejaksaan;
h. membuat dan memberikan laporan mengenai hasil analisis transaksi keuangan dan kegiatan lainnya secara berkala 6 (enam) bulan sekali kepada Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, dan lembaga yang berwenang melakukan pengawasan terhadap Penyedia Jasa Keuangan.

II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “merupakan hasil tindak pidana” yaitu sudah terdapat bukti permulaan yang cukup atas terjadinya tindak pidana.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “pengurus yang mempunyai kedudukan fungsional” adalah pengurus yang menurut anggaran dasar korporasi berwenang bertindak untuk dan atas nama korporasi yang bersangkutan baik di dalam maupun di luar pengadilan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “Transaksi Keuangan Mencurigakan” dalam ketentuan ini antara lain transaksi penerimaan, penarikan, penyetoran, penitipan, dan transfer dana.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai” dalam ketentuan ini antara lain transaksi penerimaan, penarikan, penyetoran, penitipan, baik yang dilakukan dengan uang tunai maupun instrumen pembayaran yang lain, misalnya traveller cheque, cek, dan bilyet giro.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan “transaksi lainnya” adalah transaksi-transaksi yang dikecualikan yang sesuai dengan karakteristiknya selalu dilakukan dalam bentuk tunai dan dalam jumlah yang besar, misalnya setoran rutin oleh pengelola jalan tol atau pengelola supermarket.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Ayat (1)
Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan untuk memudahkan bagi penegak hukum melakukan pelacakan terhadap nasabah apabila di kemudian hari terdapat dugaan bahwa yang bersangkutan melakukan tindak pidana pencucian uang.
Selain itu, ketentuan tersebut juga sejalan dengan kesepakatan internasional yang menginginkan agar setiap negara memiliki ketentuan yang melarang pembukaan rekening tanpa identitas yang jelas dari nasabah.
Yang dimaksud dengan “identitas yang lengkap dan akurat” antara lain menyebutkan nama, alamat, jenis kelamin, umur, agama, dan pekerjaan.
Hubungan usaha dengan Penyedia Jasa Keuangan dalam ketentuan ini termasuk pembukaan rekening, pengiriman dana melalui transfer, penguangan cek, pembelian traveller cheques, pembelian dan penjualan valuta asing, penitipan, dan penggunaan jasa keuangan lainnya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan” pada saat ini adalah Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/10/PBI/2001 tentang Pelaksanaan Prinsip Mengenal Nasabah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/23/PBI/2001 dan peraturan pelaksanaannya.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “independen” adalah bebas dari intervensi dan pengaruh dari pihak mana pun.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Ayat (1)
Huruf a
Pemberhentian kepala atau wakil kepala PPATK yang berada di luar wilayah Negara Republik Indonesia dimaksudkan agar tugas-tugas dari PPATK dapat dilaksanakan secara maksimal.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Tidak selayaknya bagi orang yang telah dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana untuk melakukan tugas pemberantasan suatu tindak pidana.
Huruf f
Perangkapan jabatan atau pekerjaan dilarang untuk menghindari terjadinya konflik kepentingan.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 25
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “melakukan segala bentuk campur tangan” adalah perbuatan atau tindakan dari pihak manapun yang mengakibatkan berkurangnya kebebasan PPATK untuk dapat melaksanakan fungsi dan tugasnya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Penyelenggaraan kerja sama internasional dilakukan dengan memperhatikan ketentuan dalam Undang-undang yang mengatur mengenai hubungan luar negeri dan mengenai perjanjian internasional.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Ayat (1)
Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Tahunan dimaksudkan agar segala sesuatu yang akan dilakukan oleh PPATK untuk setiap tahunnya dapat dilaksanakan sesuai dengan target yang ditentukan sehingga dapat dievaluasi mengenai keberhasilan atau kendala yang dihadapi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Ayat (1)
Perintah penyidik, penuntut umum, atau hakim sesuai dengan tahap pemeriksaan, yakni pada tahap penyidikan kewenangan pada penyidik, pada tahap penuntutan kewenangan pada penuntut umum, dan kewenangan hakim pada tahap pemeriksaan di sidang pengadilan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 33
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Ketentuan ini merupakan pengecualian dari ketentuan rahasia bank dan kerahasiaan transaksi keuangan lainnya sebagaimana diatur dalam Undang-undang yang mengatur mengenai rahasia bank dan kerahasiaan transaksi keuangan lainnya.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Dalam hal Kepala Kepolisian Daerah atau Kepala Kejaksaan Tinggi berhalangan, penandatanganan dapat dilakukan oleh pejabat yang ditunjuk.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Pasal ini berisi ketentuan bahwa terdakwa diberi kesempatan untuk membuktikan Harta Kekayaannya bukan berasal dari tindak pidana. Ketentuan ini dikenal sebagai asas pembuktian terbalik.
Pasal 36
Ayat (1)
Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan agar upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dalam pelaksanaan peradilannya dapat berjalan dengan lancar, maka sekalipun terdakwa dengan alasan yang sah tetapi apabila sampai 3 (tiga) kali dilakukan pemanggilan untuk sidang tidak hadir, perkara tersebut tetap diperiksa tanpa kehadiran terdakwa.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 37
Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan untuk mencegah agar ahli waris dari terdakwa menguasai atau memiliki Harta Kekayaan yang berasal dari tindak pidana. Di samping itu sebagai usaha untuk mengembalikan kekayaan negara dalam hal tindak pidana tersebut telah merugikan keuangan negara.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “PPATK” dalam ayat ini adalah kepala, wakil kepala, dan seluruh pegawai di lingkungan PPATK.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Dilakukannya kerja sama internasional dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang karena Harta Kekayaan yang ditempatkan (placement), ditransfer (layering), atau yang diintegrasikan (integration) tidak tertutup kemungkinan peredaran Harta Kekayaan tersebut dari atau ke luar negeri sehingga dengan kerja sama ini diharapkan dapat dilakukan upaya pencegahan atau pemberantasan secara lebih efektif.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4191

Komentar

Postingan Populer