Undang undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2002
Tentang
Tindak Pidana Pencucian Uang
Bab I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1. Setiap orang adalah orang perseorangan
atau korporasi.
2. Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau
kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan
hukum.
3. Harta Kekayaan adalah semua benda bergerak
atau benda tidak bergerak, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud.
4. Penyedia Jasa Keuangan adalah setiap orang
yang menyediakan jasa di bidang keuangan termasuk tetapi tidak terbatas pada
bank, lembaga pembiayaan, perusahaan efek, pengelola reksa dana, kustodian,
wali amanat, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, pedagang valuta asing, dana
pensiun, dan perusahaan asuransi.
5. Transaksi adalah seluruh kegiatan yang
menimbulkan hak atau kewajiban atau menyebabkan timbulnya hubungan hukum antara
dua pihak atau lebih, termasuk kegiatan pentransferan dan/atau pemindahbukuan
dana yang dilakukan oleh Penyedia Jasa Keuangan.
6. Transaksi Keuangan Mencurigakan adalah
transaksi yang menyimpang dari profil dan karakteristik serta kebiasaan pola
transaksi dari nasabah yang bersangkutan, termasuk transaksi keuangan oleh
nasabah yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan
transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh Penyedia Jasa Keuangan
sesuai dengan ketentuan Undang-undang ini.
7. Dokumen adalah data, rekaman, atau
informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan
dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas,
benda fisik apapun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk
tetapi tidak terbatas pada:
a. tulisan, suara, atau gambar;
b. peta, rancangan, foto, atau sejenisnya;
c. huruf, tanda, angka, simbol, atau
perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca
atau memahaminya.
8. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi
Keuangan yang selanjutnya disebut PPATK adalah lembaga independen yang dibentuk
dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang.
Pasal 2
Hasil tindak pidana adalah Harta Kekayaan
yang berjumlah Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) atau lebih atau nilai
yang setara, yang diperoleh secara langsung atau tidak langsung dari kejahatan:
yang dilakukan di wilayah Negara Republik
Indonesia atau di luar wilayah Negara Republik Indonesia dan kejahatan tersebut
juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia.
Bab II
TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
Pasal 3
(1) Setiap orang yang dengan sengaja:
a. menempatkan Harta Kekayaan yang
diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana ke dalam
Penyedia Jasa Keuangan, baik atas nama sendiri atau atas nama pihak lain;
b. mentransfer Harta Kekayaan yang
diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dari suatu
Penyedia Jasa Keuangan ke Penyedia Jasa Keuangan yang lain, baik atas nama
sendiri maupun atas nama pihak lain;
c. membayarkan atau membelanjakan Harta
Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana,
baik perbuatan itu atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;
d. menghibahkan atau menyumbangkan Harta
Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana,
baik atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;
e. menitipkan Harta Kekayaan yang
diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik atas
namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;
f. membawa ke luar negeri Harta Kekayaan yang
diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana;
g. menukarkan Harta Kekayaan yang
diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dengan mata
uang atau surat berharga lainnya; atau
h. menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul
Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak
pidana, dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara
paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda
paling sedikit Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) dan paling banyak Rp
15.000.000.000,00 (lima belas milyar rupiah).
(2) Setiap orang yang melakukan percobaan,
pembantuan, atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana pencucian
uang dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 4
(1) Apabila tindak pidana dilakukan oleh
pengurus dan/atau kuasa pengurus atas nama korporasi, maka penjatuhan pidana
dilakukan baik terhadap pengurus dan atau kuasa pengurus maupun terhadap korporasi.
(2) Pertanggungjawaban pidana bagi pengurus
korporasi dibatasi sepanjang pengurus mempunyai kedudukan fungsional dalam
struktur organisasi korporasi.
(3) Korporasi tidak dapat
dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap suatu tindak pidana pencucian uang
yang dilakukan oleh pengurus yang mengatasnamakan korporasi, apabila perbuatan
tersebut dilakukan melalui kegiatan yang tidak termasuk dalam lingkup usahanya
sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar atau ketentuan lain yang berlaku
bagi korporasi yang bersangkutan.
(4) Hakim dapat memerintahkan supaya pengurus
korporasi menghadap sendiri di sidang pengadilan dan dapat pula memerintahkan
supaya pengurus tersebut dibawa ke sidang pengadilan.
(5) Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh
korporasi, maka panggilan untuk menghadap dan penyerahan surat panggilan
tersebut disampaikan kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau di tempat
pengurus berkantor.
Pasal 5
(1) Pidana pokok yang dijatuhkan terhadap
korporasi adalah pidana denda, dengan ketentuan maksimum pidana denda ditambah
1/3 (satu per tiga).
(2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) terhadap korporasi juga dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa
pencabutan izin usaha dan/atau pembubaran korporasi yang diikuti dengan
likuidasi.
Pasal 6
(1) Setiap orang yang menerima atau
menguasai:
a. penempatan;
b. pentransferan;
c. pembayaran;
d. hibah;
e. sumbangan;
f. penitipan;
g. penukaran,
Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut
diduganya merupakan hasil tindak pidana, dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling
sedikit Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) dan paling banyak Rp
15.000.000.000,00 (lima belas milyar rupiah).
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) tidak berlaku bagi Penyedia Jasa Keuangan yang melaksanakan kewajiban
pelaporan transaksi keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13.
Pasal 7
Setiap Warga Negara Indonesia dan/atau
korporasi Indonesia yang berada di luar wilayah Negara Republik Indonesia yang
memberikan bantuan, kesempatan, sarana, atau keterangan untuk terjadinya tindak
pidana pencucian uang dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku tindak
pidana pencucian uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.
Bab III
TINDAK PIDANA LAIN YANG BERKAITAN DENGAN
TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
Pasal 8
Penyedia Jasa Keuangan yang dengan sengaja
tidak menyampaikan laporan kepada PPATK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
ayat (1), dipidana dengan pidana denda paling sedikit Rp 250.000.000,00 (dua
ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu
milyar rupiah).
Pasal 9
Setiap orang yang tidak melaporkan uang tunai
berupa rupiah sejumlah Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) atau lebih yang
dibawa ke dalam atau ke luar wilayah Negara Republik Indonesia dipidana dengan
pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Pasal 10
PPATK, penyidik, saksi, penuntut umum, hakim,
atau orang lain yang bersangkutan dengan perkara tindak pidana pencucian uang
yang sedang diperiksa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39
ayat (1) dan Pasal 41 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1
(satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun.
Pasal 11
(1) Dalam hal terpidana tidak mampu membayar
pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Bab II dan Bab III, pidana denda
tersebut diganti dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun.
(2) Pidana penjara sebagai pengganti pidana denda
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dicantumkan dalam amar putusan hakim.
Pasal 12
Tindak pidana dalam Bab II dan Bab III adalah
kejahatan.
Bab IV
PELAPORAN
Bagian Kesatu
Kewajiban Melapor
Kewajiban Melapor
Pasal 13
(1) Penyedia Jasa Keuangan wajib menyampaikan
laporan kepada PPATK sebagaimana dimaksud dalam Bab V, untuk hal-hal sebagai
berikut:
a. Transaksi Keuangan Mencurigakan;
b. transaksi keuangan yang dilakukan secara
tunai dalam jumlah kumulatif sebesar Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
atau lebih atau yang nilainya setara, baik dilakukan dalam satu kali transaksi
maupun beberapa kali transaksi dalam 1 (satu) hari kerja.
(2) Penyampaian laporan Transaksi Keuangan
Mencurigakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dilakukan paling
lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah diketahui oleh Penyedia Jasa
Keuangan.
(3) Penyampaian laporan transaksi keuangan
yang dilakukan secara tunai sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b
dilakukan paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal
transaksi dilakukan.
(4) Kewajiban pelaporan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) huruf b tidak berlaku untuk transaksi yang dikecualikan.
(5) Transaksi yang dikecualikan dari
kewajiban pelaporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) meliputi transaksi
antarbank, transaksi dengan Pemerintah, transaksi dengan bank sentral,
pembayaran gaji, pensiun, dan transaksi lainnya atas permintaan Penyedia Jasa
Keuangan yang disetujui oleh PPATK.
(6) Penyedia Jasa Keuangan wajib membuat dan
menyimpan daftar transaksi yang dikecualikan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(4).
(7) Ketentuan mengenai bentuk, jenis, dan
tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih
lanjut dengan Keputusan Kepala PPATK.
Pasal 14
Pelaksanaan kewajiban pelaporan oleh Penyedia
Jasa Keuangan yang berbentuk bank, dikecualikan dari ketentuan rahasia bank
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang yang mengatur mengenai rahasia bank.
Pasal 15
Penyedia Jasa Keuangan, pejabat, serta
pegawainya tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana atas
pelaksanaan kewajiban pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14.
Pasal 16
(1) Setiap orang yang membawa uang tunai ke
dalam atau keluar wilayah Negara Republik Indonesia berupa rupiah sejumlah
Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah) atau lebih, harus melaporkan kepada
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
(2) Direktorat Jenderal Bea dan Cukai wajib
menyampaikan laporan tentang informasi yang diterimanya selama jangka waktu 5
(lima) hari kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) kepada PPATK.
(3) Direktorat Jenderal Bea dan Cukai wajib
memberitahukan kepada PPATK paling lambat 5 (hari) kerja setelah
mengetahui adanya pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1).
(4) Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) juga harus memuat rincian mengenai identitas orang yang membuat laporan.
(5) Apabila diperlukan, PPATK dapat meminta
informasi tambahan dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai berupa rupiah
sejumlah Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah) atau lebih, yang dibawa oleh
setiap orang dari atau ke dalam wilayah Negara Republik Indonesia.
Bagian Kedua
Identitas Nasabah
Identitas Nasabah
Pasal 17
(1) Setiap orang yang melakukan hubungan
usaha dengan Penyedia Jasa Keuangan wajib memberikan identitasnya
secara lengkap dan akurat dengan mengisi formulir yang disediakan oleh Penyedia
Jasa Keuangan dan melampirkan dokumen pendukung yang diperlukan.
(2) Penyedia Jasa Keuangan wajib memastikan
pengguna jasa keuangan bertindak untuk diri sendiri atau untuk orang lain.
(3) Dalam hal pengguna jasa keuangan
bertindak untuk orang lain, Penyedia Jasa Keuangan wajib meminta informasi
mengenai identitas dan dokumen pendukung dari pihak lain tersebut.
(4) Bagi Penyedia Jasa Keuangan yang
berbentuk bank, identitas dan dokumen pendukung yang diminta dari pengguna jasa
keuangan harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Penyedia Jasa Keuangan wajib menyimpan
catatan dan dokumen mengenai identitas pengguna jasa keuangan sampai dengan 5
(lima) tahun sejak berakhirnya hubungan usaha dengan pengguna jasa keuangan
tersebut.
Bab V
PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI
KEUANGAN
Pasal 18
(1) Dalam rangka mencegah dan memberantas
tindak pidana pencucian uang, dengan Undang-undang ini dibentuk PPATK.
(2) PPATK sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
adalah lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya.
(3) PPATK bertanggung jawab kepada Presiden.
Pasal 19
(1) PPATK berkedudukan di Ibukota Negara
Republik Indonesia.
(2) Dalam hal diperlukan dapat dibuka
perwakilan PPATK di daerah.
Pasal 20
(1) PPATK dipimpin oleh seorang kepala dan
dibantu oleh paling banyak 4 (empat) orang wakil kepala.
(2) Kepala dan wakil kepala sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul
Menteri Keuangan.
(3) Masa jabatan kepala dan wakil kepala
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah 4 (empat) tahun dan dapat diangkat
kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.
(4) Ketentuan mengenai susunan organisasi dan
tata kerja PPATK diatur dengan Keputusan Presiden.
Pasal 21
Untuk dapat diangkat sebagai kepala atau
wakil kepala PPATK, calon yang bersangkutan harus memenuhi syarat sebagai
berikut:
a. Warga Negara Indonesia;
b. berusia sekurang-kurangnya 35 (tiga puluh
lima) dan setinggi-tingginya 60 (enam puluh) tahun pada saat pengangkatan;
c. sehat jasmani dan rohani;
d. takwa, jujur, adil, dan memiliki
integritas pribadi yang baik;
e. memiliki salah satu keahlian dan
pengalaman di bidang perbankan, lembaga pembiayaan, perusahaan efek, pengelola
reksa dana, hukum, atau akuntansi;
f. tidak merangkap jabatan atau pekerjaan
lain; dan
g. tidak pernah dijatuhi pidana penjara.
Pasal 22
(1) Kepala dan wakil kepala PPATK sebelum
memangku jabatannya wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agama dan
kepercayaannya di hadapan Ketua Mahkamah Agung.
(2) Sumpah atau janji sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) berbunyi sebagai berikut:
“Saya bersumpah/berjanji, bahwa saya untuk
menjadi kepala/wakil kepala PPATK langsung atau tidak langsung dengan nama dan
dalih apapun tidak memberikan atau menjanjikan untuk memberikan sesuatu kepada
siapapun”.
“Saya bersumpah/berjanji bahwa saya dalam
melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatan ini, tidak akan menerima
langsung atau tidak langsung dari siapapun juga sesuatu janji atau pemberian
dalam bentuk apapun”.
“Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan
merahasiakan kepada siapapun hal-hal yang menurut peraturan perundang-undangan
wajib dirahasiakan”.
“Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan
melaksanakan tugas dan kewenangan selaku kepala/wakil kepala dengan
sebaik-baiknya dan dengan penuh rasa tanggung jawab”.
“Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan
setia terhadap negara, konstitusi, dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku”.
Pasal 23
Jabatan kepala atau wakil kepala PPATK
berakhir, karena yang bersangkutan:
a. diberhentikan;
b. meninggal dunia;
c. mengundurkan diri; atau
d. berakhir masa jabatannya.
Pasal 24
(1) Kepala dan wakil kepala PPATK
diberhentikan karena:
a. bertempat tinggal di luar wilayah Negara
Republik Indonesia;
b. kehilangan kewarganegaraannya sebagai
warga Negara Republik Indonesia;
c. menderita sakit terus menerus yang
penyembuhannya memerlukan waktu lebih dari 3 (tiga) bulan yang tidak
memungkinkan melaksanakan tugasnya;
d. menjadi terdakwa dalam perkara tindak
pidana yang diancam dengan pidana penjara yang lamanya 1 (satu) tahun atau
lebih;
e. dijatuhi pidana penjara;
f. merangkap jabatan atau pekerjaan lain;
g. dinyatakan pailit oleh pengadilan; atau
h. melanggar sumpah/janji jabatan.
(2) Menteri Keuangan wajib mengajukan usul
kepada Presiden agar kepala atau wakil kepala PPATK diberhentikan berdasarkan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 25
(1) Setiap pihak tidak boleh melakukan segala
bentuk campur tangan terhadap pelaksanaan tugas dan kewenangan PPATK.
(2) Kepala dan wakil kepala PPATK wajib
menolak setiap campur tangan dari pihak manapun dalam pelaksanaan tugas dan
kewenangannya.
(3) PPATK dalam melakukan pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana pencucian uang, dapat melakukan kerja sama dengan
pihak yang terkait, baik nasional maupun internasional.
Pasal 26
Dalam melaksanakan fungsinya PPATK mempunyai
tugas sebagai berikut :
a. mengumpulkan, menyimpan, menganalisis,
mengevaluasi informasi yang diperoleh oleh PPATK sesuai dengan Undang-undang
ini;
b. memantau catatan dalam buku daftar
pengecualian yang dibuat oleh Penyedia Jasa Keuangan;
c. membuat pedoman mengenai tata cara
pelaporan Transaksi Keuangan Mencurigakan;
d. memberikan nasihat dan bantuan kepada
instansi yang berwenang tentang informasi yang diperoleh oleh PPATK sesuai
dengan ketentuan dalam Undang-undang ini;
e. mengeluarkan pedoman dan publikasi kepada
Penyedia Jasa Keuangan tentang kewajibannya yang ditentukan dalam Undang-undang
ini atau dengan peraturan perundang-undangan lain, dan membantu dalam
mendeteksi perilaku nasabah yang mencurigakan;
f. memberikan rekomendasi kepada Pemerintah
mengenai upaya-upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang;
g. melaporkan hasil analisis transaksi
keuangan yang berindikasi tindak pidana pencucian uang kepada Kepolisian dan
Kejaksaan;
h. membuat dan memberikan laporan mengenai
hasil analisis transaksi keuangan dan kegiatan lainnya secara berkala 6 (enam)
bulan sekali kepada Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, dan lembaga yang
berwenang melakukan pengawasan terhadap Penyedia Jasa Keuangan.
Pasal 27
(1) Dalam melaksanakan tugasnya, PPATK
mempunyai wewenang:
a. meminta dan menerima laporan dari Penyedia
Jasa Keuangan;
b. meminta informasi mengenai perkembangan
penyidikan atau penuntutan terhadap tindak pidana pencucian uang yang telah
dilaporkan kepada penyidik atau penuntut umum;
c. melakukan audit terhadap Penyedia Jasa
Keuangan mengenai kepatuhan kewajiban sesuai dengan ketentuan dalam
Undang-undang ini dan terhadap pedoman pelaporan mengenai transaksi keuangan;
d. memberikan pengecualian kewajiban
pelaporan mengenai transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf b.
(2) Dalam melakukan audit sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) huruf c, PPATK terlebih dahulu melakukan koordinasi
dengan lembaga yang melakukan pengawasan terhadap Penyedia Jasa Keuangan.
(3) Dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), terhadap PPATK tidak berlaku ketentuan Undang-undang
lain yang berkaitan dengan ketentuan tentang rahasia bank dan kerahasiaan
transaksi keuangan lainnya.
(4) Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan
kewenangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut
dengan Keputusan Presiden.
Pasal 28
(1) Kepala PPATK mewakili PPATK di dalam dan
di luar pengadilan.
(2) Kepala PPATK dapat menyerahkan kewenangan
mewakili sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) kepada salah satu wakil kepala
PPATK atau pihak lainnya yang khusus ditunjuk untuk itu.
Pasal 29
(1) Setiap tahun PPATK wajib menyusun Rencana
Kerja dan Anggaran Tahunan.
(2) Rencana Kerja dan Anggaran Tahunan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan melalui Sekretariat Negara.
Bab VI
PENYIDIKAN, PENUNTUTAN, DAN PEMERIKSAAN
Pasal 30
Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di
sidang pengadilan terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Undang-undang ini, dilakukan berdasarkan ketentuan dalam Hukum Acara Pidana,
kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini.
Pasal 31
Dalam hal ditemukan adanya petunjuk atas
dugaan telah ditemukan transaksi mencurigakan, dalam waktu paling lama 3 (tiga)
hari kerja sejak ditemukan petunjuk tersebut, PPATK wajib menyerahkan hasil
analisis kepada penyidik untuk ditindaklanjuti.
Pasal 32
(1) Penyidik, penuntut umum, atau hakim
berwenang memerintahkan kepada Penyedia Jasa Keuangan untuk melakukan
pemblokiran terhadap Harta Kekayaan setiap orang yang telah dilaporkan oleh
PPATK kepada penyidik, tersangka, atau terdakwa yang diketahui atau patut
diduga merupakan hasil tindak pidana.
(2) Perintah penyidik, penuntut umum, atau
hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dilakukan secara tertulis
dengan menyebutkan secara jelas mengenai:
a. nama dan jabatan penyidik, penuntut umum,
atau hakim;
b. identitas setiap orang yang telah
dilaporkan oleh PPATK kepada penyidik tersangka, atau terdakwa;
c. alasan pemblokiran;
d. tindak pidana yang disangkakan atau
didakwakan; dan
e. tempat Harta Kekayaan berada.
(3) Penyedia Jasa Keuangan setelah menerima
perintah penyidik, penuntut umum, atau hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) wajib melaksanakan pemblokiran sesaat setelah surat perintah pemblokiran
diterima.
(4) Penyedia Jasa Keuangan wajib menyerahkan
berita acara pelaksanaan pemblokiran kepada penyidik, penuntut umum, atau hakim
paling lambat 1 (satu) hari kerja terhitung sejak tanggal pelaksanaan
pemblokiran.
(5) Harta Kekayaan yang diblokir harus tetap
berada pada Penyedia Jasa Keuangan yang bersangkutan.
(6) Penyedia Jasa Keuangan yang melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4) dikenai sanksi
administratif sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 33
(1) Untuk kepentingan pemeriksaan dalam
perkara tindak pidana pencucian uang, maka penyidik, penuntut umum, atau hakim
berwenang untuk meminta keterangan dari Penyedia Jasa Keuangan mengenai Harta
Kekayaan setiap orang yang telah dilaporkan oleh PPATK, tersangka, atau
terdakwa.
(2) Dalam meminta keterangan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), terhadap penyidik, penuntut umum, atau hakim tidak
berlaku ketentuan Undang-undang yang mengatur tentang rahasia bank dan
kerahasiaan transaksi keuangan lainnya.
(3) Permintaan keterangan harus diajukan
secara tertulis dengan menyebutkan secara jelas mengenai:
a. nama dan jabatan penyidik, penuntut umum,
atau hakim;
b. identitas setiap orang yang telah
dilaporkan oleh PPATK, tersangka, atau terdakwa;
c. tindak pidana yang disangkakan atau
didakwakan; dan
d. tempat Harta Kekayaan berada.
(4) Surat permintaan untuk memperoleh
keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) harus
ditandatangani oleh:
a. Kepala Kepolisian Daerah dalam hal
permintaan diajukan oleh penyidik;
b. Kepala Kejaksaan Tinggi dalam hal
permintaan diajukan oleh penuntut umum;
c. Hakim Ketua Majelis yang memeriksa perkara
yang bersangkutan.
Pasal 34
Dalam hal diperoleh bukti yang cukup sebagai
hasil pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap terdakwa, hakim memerintahkan
penyitaan terhadap Harta Kekayaan yang diketahui atau patut diduga hasil tindak
pidana yang belum disita oleh penyidik atau penuntut umum.
Pasal 35
Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang
pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa Harta Kekayaannya bukan merupakan
hasil tindak pidana.
Pasal 36
(1) Dalam hal terdakwa telah dipanggil 3
(tiga) kali secara sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku tidak hadir, Majelis Hakim dengan putusan sela dapat meneruskan
pemeriksaan dengan tanpa kehadiran terdakwa.
(2) Apabila dalam sidang berikutnya sebelum
perkara diputus terdakwa hadir, maka terdakwa wajib diperiksa, dan segala
keterangan saksi dan surat yang dibacakan dalam sidang sebelumnya mempunyai
kekuatan pembuktian yang sama dengan apabila terdakwa telah hadir sejak semula.
(3) Putusan yang dijatuhkan tanpa kehadiran
terdakwa diumumkan oleh penuntut umum dalam papan pengumuman pengadilan yang
memutus dan sekurang-kurangnya dimuat dalam 2 (dua) surat kabar yang memiliki
jangkauan peredaran secara nasional sekurang-kurangnya dalam jangka waktu 3
(tiga) hari atau 3 (tiga) kali penerbitan secara terus-menerus.
Pasal 37
Dalam hal terdakwa meninggal dunia sebelum
putusan hakim dijatuhkan dan terdapat bukti-bukti yang meyakinkan bahwa yang
bersangkutan telah melakukan tindak pidana pencucian uang, maka hakim dapat
mengeluarkan penetapan bahwa Harta Kekayaan terdakwa yang telah disita,
dirampas untuk negara.
Pasal 38
Alat bukti pemeriksaan tindak pidana
pencucian uang berupa:
a. alat bukti sebagaimana dimaksud dalam
Hukum Acara Pidana;
b. alat bukti lain berupa informasi yang
diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat
optik atau yang serupa dengan itu; dan
c. dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
angka 7.
Bab VII
PERLINDUNGAN BAGI PELAPOR DAN SAKSI
Pasal 39
(1) PPATK, penyidik, penuntut umum, atau
hakim wajib merahasiakan identitas pelapor.
(2) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) memberikan hak kepada pelapor atau ahli warisnya untuk menuntut
ganti kerugian melalui pengadilan.
Pasal 40
(1) Setiap orang yang melaporkan terjadinya
dugaan tindak pidana pencucian uang, wajib diberi perlindungan khusus oleh
negara dari kemungkinan ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau
hartanya, termasuk keluarganya.
(2) Ketentuan mengenai tata cara pemberian
perlindungan khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 41
(1) Di sidang pengadilan, saksi, penuntut
umum, hakim, dan orang lain yang bersangkutan dengan tindak pidana pencucian
uang yang sedang dalam pemeriksaan dilarang menyebut nama atau alamat pelapor,
atau hal-hal lain yang memungkinkan dapat terungkapnya identitas pelapor.
(2) Dalam setiap persidangan sebelum sidang
pemeriksaan dimulai, hakim wajib mengingatkan saksi, penuntut umum, dan orang
lain yang terkait dengan pemeriksaan perkara tersebut, mengenai larangan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 42
(1) Setiap orang yang memberikan kesaksian
dalam pemeriksaan tindak pidana pencucian uang, wajib diberi
perlindungan khusus oleh negara dari kemungkinan ancaman yang membahayakan
diri, jiwa, dan/atau hartanya, termasuk keluarganya.
(2) Ketentuan mengenai tata cara pemberian
perlindungan khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 43
Pelapor dan/atau saksi tidak dapat dituntut
baik secara perdata atau pidana atas pelaporan dan/atau kesaksian yang
diberikan oleh yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 dan Pasal
42.
Bab VIII
KERJA SAMA INTERNASIONAL
Pasal 44
Dalam rangka penyelidikan, penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap orang atau korporasi
yang diketahui atau patut diduga
telah melakukan tindak pidana pencucian uang, dapat dilakukan kerja sama
regional dan internasional melalui forum bilateral atau multilateral sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bab IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 45
(1) Kepala dan wakil kepala PPATK sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20 harus sudah ditetapkan paling lambat 1 (satu) tahun
setelah Undang-undang ini diundangkan.
(2) PPATK harus sudah melaksanakan fungsinya
paling lambat 6 (enam) bulan setelah kepala dan wakil kepala PPATK ditetapkan.
(3) Sebelum PPATK melaksanakan fungsinya
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), sebagian tugas dan kewenangan PPATK khusus
menyangkut Penyedia Jasa Keuangan yang berbentuk bank dilaksanakan oleh Bank
Indonesia sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia.
(4) Kewajiban pelaporan bagi Penyedia Jasa
Keuangan mulai berlaku 18 (delapan belas) bulan setelah Undang-undang ini diundangkan.
Bab X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 46
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 17 April 2002
pada tanggal 17 April 2002
Disahkan di Jakarta
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 17 April 2002
pada tanggal 17 April 2002
SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
BAMBANG KESOWO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2002
NOMOR 30
Salinan sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT KABINET RI
SEKRETARIAT KABINET RI
Kepala Biro Peraturan
Perundang-undangan II,
Perundang-undangan II,
ttd
Edy Sudibyo
Penjelasan Atas Undang-undang Republik
Indonesia
Nomor 15 Tahun 2002
tentang
Tindak Pidana Pencucian Uang
Nomor 15 Tahun 2002
tentang
Tindak Pidana Pencucian Uang
I. UMUM
Berbagai kejahatan, baik yang dilakukan oleh orang
perseorangan maupun oleh korporasi dalam batas wilayah suatu negara maupun yang
dilakukan melintasi batas wilayah negara lain makin meningkat. Kejahatan
tersebut antara lain berupa tindak pidana korupsi, penyuapan (bribery),
penyelundupan barang, penyelundupan tenaga kerja, penyelundupan imigran,
perbankan, perdagangan gelap narkotika dan psikotropika, perdagangan budak,
wanita, dan anak, perdagangan senjata gelap, penculikan, terorisme, pencurian,
penggelapan, penipuan, dan berbagai kejahatan kerah putih. Kejahatan-kejahatan
tersebut telah melibatkan atau menghasilkan Harta Kekayaan yang sangat besar
jumlahnya.
Harta Kekayaan yang berasal dari berbagai kejahatan atau
tindak pidana tersebut, pada umumnya tidak langsung dibelanjakan atau digunakan
oleh para pelaku kejahatan karena apabila langsung digunakan akan mudah dilacak
oleh penegak hukum mengenai sumber diperolehnya Harta Kekayaan tersebut.
Biasanya para pelaku kejahatan terlebih dahulu mengupayakan agar Harta Kekayaan
yang diperoleh dari kejahatan tersebut masuk ke dalam sistem keuangan (financial
system), terutama ke dalam sistem perbankan (banking system). Dengan
cara demikian, asal usul Harta Kekayaan tersebut diharapkan tidak dapat dilacak
oleh para penegak hukum. Upaya untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul
Harta Kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Undang-undang ini, dikenal sebagai pencucian uang (money laundering).
Bagi organisasi kejahatan, Harta Kekayaan sebagai hasil
kejahatan ibarat darah dalam satu tubuh, dalam pengertian apabila aliran Harta
Kekayaan melalui sistem perbankan internasional yang dilakukan diputuskan, maka
organisasi kejahatan tersebut lama kelamaan akan menjadi lemah, berkurang
aktivitasnya, bahkan menjadi mati. Oleh karena itu, Harta Kekayaan merupakan
bagian yang sangat penting bagi suatu organisasi kejahatan. Untuk itu, terdapat
suatu dorongan bagi organisasi kejahatan melakukan pencucian uang agar asal
usul Harta Kekayaan yang sangat dibutuhkan tersebut sulit atau tidak dapat
dilacak oleh penegak hukum.
Perbuatan pencucian uang di samping sangat merugikan
masyarakat, juga sangat merugikan negara karena dapat mempengaruhi atau merusak
stabilitas perekonomian nasional atau keuangan negara dengan meningkatnya
berbagai kejahatan.
Sehubungan dengan hal tersebut, upaya untuk mencegah dan
memberantas praktik pencucian uang telah menjadi perhatian internasional.
Berbagai upaya telah ditempuh oleh masing-masing negara untuk mencegah dan
memberantas praktik pencucian uang termasuk dengan cara melakukan kerja sama
internasional, baik melalui forum secara bilateral maupun multilateral.
Dalam konteks kepentingan nasional ditetapkannya
Undang-undang tentang Tindak Pidana Pencucian Uang merupakan penegasan bahwa
Pemerintah dan sektor swasta bukan merupakan bagian dari masalah, akan tetapi
bagian dari penyelesaian masalah, baik di sektor ekonomi, keuangan, maupun
perbankan.
Pertama-tama usaha yang harus ditempuh oleh suatu negara
untuk dapat mencegah dan memberantas praktik pencucian uang adalah dengan
membentuk Undang-undang yang melarang perbuatan pencucian uang dan menghukum
dengan berat para pelaku kejahatan tersebut. Dengan adanya Undang-undang
tersebut diharapkan tindak pidana pencucian uang dapat dicegah atau diberantas,
antara lain kriminalisasi atas semua perbuatan dalam setiap tahap proses pencucian
uang yang terdiri atas :
a. penempatan (placement) yakni upaya menempatkan
uang tunai yang berasal dari tindak pidana ke dalam sistem keuangan (financial
system) atau upaya menempatkan uang giral (cheque,wesel bank,
sertifikat deposito, dan lain-lain) kembali ke dalam sistem keuangan, terutama
sistem perbankan.
b. transfer (layering) yakni upaya untuk
mentransfer Harta Kekayaan yang berasal dari tindak pidana (dirty money)
yang telah berhasil ditempatkan pada Penyedia Jasa Keuangan (terutama bank)
sebagai hasil upaya penempatan (placement) ke Penyedia Jasa Keuangan
yang lain. Dengan dilakukan layering, akan menjadi sulit bagi
penegak hukum untuk dapat mengetahui asal usul Harta Kekayaan tersebut.
c. menggunakan Harta Kekayaan (integration) yakni
upaya menggunakan Harta Kekayaan yang berasal dari tindak pidana yang telah
berhasil masuk ke dalam sistem keuangan melalui penempatan atau transfer
sehingga seolah-olah menjadi Harta Kekayaan halal (clean money),untuk
kegiatan bisnis yang halal atau untuk membiayai kembali kegiatan kejahatan.
Penyedia Jasa Keuangan di atas diartikan sebagai penyedia
jasa di bidang keuangan termasuk tetapi tidak terbatas pada bank, lembaga
pembiayaan, perusahaan efek, pengelola reksa dana, kustodian, wali amanat,
lembaga penyimpanan dan penyelesaian, pedagang valuta asing, dana pensiun, dan
perusahaan asuransi.
Adapun yang dimaksud dengan :
bank adalah bank sebagaimana dimaksud dalam peraturan
perundang-undangan yang mengatur mengenai perbankan.
lembaga pembiayaan adalah badan usaha yang melakukan
kegiatan pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan
yang mengatur mengenai lembaga pembiayaan.
efek, kustodian, lembaga penyimpanan dan penyelesaian,
perusahaan efek, pengelola reksa dana, rekening efek, reksa dana, dan wali
amanat adalah efek, kustodian, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, perusahaan
efek, pengelola reksa dana, rekening efek, reksa dana, dan wali amanat
sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai
pasar modal.
pedagang valuta asing adalah pedagang valuta asing
sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai
pedagang valuta asing.
dana pensiun adalah dana pensiun sebagaimana dimaksud
dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai dana pensiun.
perusahaan asuransi adalah perusahaan asuransi
sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai
perusahaan asuransi.
Dalam rangka pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
pencucian uang dalam Undang-undang ini dibentuk pula Pusat Pelaporan dan
Analisis Transaksi Keuangan yang disingkat dengan PPATK, yang bertugas:
Di samping itu, untuk memperlancar proses peradilan
tindak pidana pencucian uang, Undang-undang ini mengatur kewenangan penyidik,
penuntut umum, atau hakim sesuai dengan tingkat penanganan perkara untuk dapat
meminta pemblokiran Harta Kekayaan kepada Penyedia Jasa Keuangan. Undang-undang
ini juga mengatur kewenangan penyidik, penuntut umum, atau hakim untuk meminta
keterangan dari Penyedia Jasa Keuangan mengenai Harta Kekayaan setiap orang
yang telah dilaporkan oleh PPATK, tersangka, atau terdakwa.
Selain kekhususan di atas, Undang-undang ini juga
mengatur mengenai persidangan tanpa kehadiran terdakwa, dalam hal terdakwa yang
telah dipanggil 3 (tiga) kali secara sah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan tidak hadir, maka Majelis Hakim dengan putusan sela dapat
meneruskan pemeriksaan dengan tanpa kehadiran terdakwa.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, maka
perlu segera dibentuk Undang-undang tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
a. mengumpulkan, menyimpan, menganalisis, mengevaluasi
informasi yang diperoleh oleh PPATK sesuai dengan Undang-undang ini;
b. memantau catatan dalam buku daftar pengecualian yang
dibuat oleh Penyedia Jasa Keuangan;
c. membuat pedoman mengenai tata cara pelaporan Transaksi
Keuangan yang Mencurigakan;
d. memberikan nasihat dan bantuan kepada instansi yang
berwenang tentang informasi yang diperoleh oleh PPATK sesuai dengan ketentuan
dalam Undang-undang ini;
e. mengeluarkan pedoman dan publikasi kepada Penyedia
Jasa Keuangan tentang kewajibannya yang ditentukan dalam Undang-undang ini atau
dengan peraturan perundang-undangan lain, dan membantu dalam mendeteksi
perilaku nasabah yang mencurigakan;
f. memberikan rekomendasi kepada Pemerintah mengenai
upaya-upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang;
g. melaporkan hasil analisis transaksi keuangan yang
berindikasi tindak pidana pencucian uang kepada Kepolisian dan Kejaksaan;
h. membuat dan memberikan laporan mengenai hasil analisis
transaksi keuangan dan kegiatan lainnya secara berkala 6 (enam) bulan sekali
kepada Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, dan lembaga yang berwenang melakukan
pengawasan terhadap Penyedia Jasa Keuangan.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “merupakan hasil tindak pidana”
yaitu sudah terdapat bukti permulaan yang cukup atas terjadinya tindak pidana.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “pengurus yang mempunyai kedudukan
fungsional” adalah pengurus yang menurut anggaran dasar korporasi berwenang
bertindak untuk dan atas nama korporasi yang bersangkutan baik di dalam maupun
di luar pengadilan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “Transaksi Keuangan Mencurigakan”
dalam ketentuan ini antara lain transaksi penerimaan, penarikan, penyetoran,
penitipan, dan transfer dana.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “transaksi keuangan yang dilakukan
secara tunai” dalam ketentuan ini antara lain transaksi penerimaan, penarikan,
penyetoran, penitipan, baik yang dilakukan dengan uang tunai maupun instrumen
pembayaran yang lain, misalnya traveller cheque, cek, dan bilyet
giro.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan “transaksi lainnya” adalah
transaksi-transaksi yang dikecualikan yang sesuai dengan karakteristiknya
selalu dilakukan dalam bentuk tunai dan dalam jumlah yang besar, misalnya
setoran rutin oleh pengelola jalan tol atau pengelola supermarket.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Ayat (1)
Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan untuk memudahkan
bagi penegak hukum melakukan pelacakan terhadap nasabah apabila di kemudian
hari terdapat dugaan bahwa yang bersangkutan melakukan tindak pidana pencucian
uang.
Selain itu, ketentuan tersebut juga sejalan dengan
kesepakatan internasional yang menginginkan agar setiap negara memiliki ketentuan
yang melarang pembukaan rekening tanpa identitas yang jelas dari nasabah.
Yang dimaksud dengan “identitas yang lengkap dan akurat”
antara lain menyebutkan nama, alamat, jenis kelamin, umur, agama, dan
pekerjaan.
Hubungan usaha dengan Penyedia Jasa Keuangan dalam
ketentuan ini termasuk pembukaan rekening, pengiriman dana melalui transfer,
penguangan cek, pembelian traveller cheques, pembelian dan penjualan valuta
asing, penitipan, dan penggunaan jasa keuangan lainnya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan” pada
saat ini adalah Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/10/PBI/2001 tentang
Pelaksanaan Prinsip Mengenal Nasabah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Bank Indonesia Nomor 3/23/PBI/2001 dan peraturan pelaksanaannya.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “independen” adalah bebas dari
intervensi dan pengaruh dari pihak mana pun.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Ayat (1)
Huruf a
Pemberhentian kepala atau wakil kepala PPATK yang berada
di luar wilayah Negara Republik Indonesia dimaksudkan agar tugas-tugas dari
PPATK dapat dilaksanakan secara maksimal.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Tidak selayaknya bagi orang yang telah dijatuhi pidana
karena melakukan tindak pidana untuk melakukan tugas pemberantasan suatu tindak
pidana.
Huruf f
Perangkapan jabatan atau pekerjaan dilarang untuk
menghindari terjadinya konflik kepentingan.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 25
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “melakukan segala bentuk campur
tangan” adalah perbuatan atau tindakan dari pihak manapun yang mengakibatkan
berkurangnya kebebasan PPATK untuk dapat melaksanakan fungsi dan tugasnya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Penyelenggaraan kerja sama internasional dilakukan dengan
memperhatikan ketentuan dalam Undang-undang yang mengatur mengenai hubungan
luar negeri dan mengenai perjanjian internasional.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Ayat (1)
Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Tahunan dimaksudkan
agar segala sesuatu yang akan dilakukan oleh PPATK untuk setiap tahunnya dapat
dilaksanakan sesuai dengan target yang ditentukan sehingga dapat dievaluasi
mengenai keberhasilan atau kendala yang dihadapi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Ayat (1)
Perintah penyidik, penuntut umum, atau hakim sesuai
dengan tahap pemeriksaan, yakni pada tahap penyidikan kewenangan pada penyidik,
pada tahap penuntutan kewenangan pada penuntut umum, dan kewenangan hakim pada
tahap pemeriksaan di sidang pengadilan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 33
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Ketentuan ini merupakan pengecualian dari ketentuan
rahasia bank dan kerahasiaan transaksi keuangan lainnya sebagaimana diatur
dalam Undang-undang yang mengatur mengenai rahasia bank dan kerahasiaan
transaksi keuangan lainnya.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Dalam hal Kepala Kepolisian Daerah atau Kepala Kejaksaan
Tinggi berhalangan, penandatanganan dapat dilakukan oleh pejabat yang ditunjuk.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Pasal ini berisi ketentuan bahwa terdakwa diberi
kesempatan untuk membuktikan Harta Kekayaannya bukan berasal dari tindak
pidana. Ketentuan ini dikenal sebagai asas pembuktian terbalik.
Pasal 36
Ayat (1)
Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan agar upaya
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dalam pelaksanaan
peradilannya dapat berjalan dengan lancar, maka sekalipun terdakwa dengan
alasan yang sah tetapi apabila sampai 3 (tiga) kali dilakukan pemanggilan untuk
sidang tidak hadir, perkara tersebut tetap diperiksa tanpa kehadiran terdakwa.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 37
Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan untuk mencegah agar
ahli waris dari terdakwa menguasai atau memiliki Harta Kekayaan yang berasal
dari tindak pidana. Di samping itu sebagai usaha untuk mengembalikan kekayaan
negara dalam hal tindak pidana tersebut telah merugikan keuangan negara.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “PPATK” dalam ayat ini adalah
kepala, wakil kepala, dan seluruh pegawai di lingkungan PPATK.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Dilakukannya kerja sama internasional dalam upaya
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang karena Harta Kekayaan
yang ditempatkan (placement), ditransfer (layering), atau yang
diintegrasikan (integration) tidak tertutup kemungkinan peredaran Harta
Kekayaan tersebut dari atau ke luar negeri sehingga dengan kerja sama ini
diharapkan dapat dilakukan upaya pencegahan atau pemberantasan secara lebih
efektif.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4191
Komentar
Posting Komentar