“BRUTALISME” DARAH MUDA



“BRUTALISME” DARAH MUDA



Perkembangan dalam masyarakat tidak hanya berkutat di fungsi ekonomi, politik dan pendidikan tetapi juga sebagai tempat tumbuhnya pusat interaksi yang mempengaruhi nilai dan norma masyarakat. Jawaban mendukung maupun menolak semua perubahan yang dirasakan dari ketidaksesuaian bahkan mungkin cenderung melanggar norma atau larangan. Inilah yang  menyebabkan keresahan masyarakat termasuk dalam menghadapi kenakalan remaja, kejahatan-kejahatan yang dilakukan dengan sadis dan kejam, di mana para pelakunya melibatkan bukan saja para remaja tetapi juga oleh anak-anak di bawah umur. 

Zakiah Daradjat mengungkapkan sebagai berikut: ”Remaja adalah usia transisi. Seorang individu, telah meninggalkan usia kanak-kanak yang lemah dan penuh kebergantungan, akan tetapi belum mampu ke usia yang kuat dan penuh tanggung jawab, baik terhadap dirinya maupun terhadap masyarakat”.

Banyaknya masa transisi ini bergantung kepada keadaan dan tingkat sosial masyarakat dimana ia hidup. Semakin maju masyarakat semakin panjang usia remaja, karena ia harus mempersiapkan diri untuk menyesuaikan diri dalam masyarakat yang banyak syarat dan tuntutannya.

Bentuk kenakalan remaja berupa tindak pidana dengan kekerasan yang pada beberapa tahun sebelumnya masih dapat ditolerir, dan dianggap wajar ternyata telah berubah menjadi tindakan-tindakan kriminal yang sangat mengganggu dan meresahkan masyarakat. Masyarakat menuntut agar tingkah laku pelajar tersebut harus dikenakan sanksi pidana secara tegas. Mencermati fenomena yang terjadi di lingkungan anak-anak sekolah tersebut, maka kiranya perlu mendapatkan atensi secara khusus untuk dilakukan terobosan-terobosan baru guna menyelamatkan masa depan anak-anak pelajar sekolah ini.

Penanganan kenakalan remaja yang tidak tepat serta sikap keragu-­raguan aparat penegak hukum dalam menangani kriminalitas yang dilakukan oleh pelajar sekolah, secara langsung maupun tidak langsung telah mendorong suatu penyimpangan sosial yang semakin jauh dari pelajar sekolah. Tawuran merupakan suatu penyimpangan sosial berupa perkelahian, sedangkan keberadaan petugas Polri akan sangat dirasakan oleh masyarakat apabila dalam pelaksanaan tugasnya dapat memberikan dampak positif untuk memenuhi keinginan masyarakat, tetapi apakah hanya Polri? Otoritas Sekolah, Orang tua, dan pihak terkait harus bagaimana? Kenapa terulang dari tahun ke tahun?

Adrianus Meliala, Seorang kriminolog dari UI menyatakan bahwa brutalisme pelajar di kota- kota merupakan gejala baru dan akan selalu ada karena sistem sekolahan bersifat masif. Artinya, proses pembelajaran yang bersifat klasikal terkadang tidak menguntungkan bagi pendidikan. Hal ini disebabkan sekolah sudah bergeser fungsinya sebagai ‘kapitalisme pendidikan. ’ Ditambahkannya bahwa salah satu penyebabnya adalah sistem pendidikan nasional yang hanya mengedepankan aspek kognisi tanpa diimbangi pendidikan moral. Sementara itu, pelajar secara nyata di depan mata sering melihat banyak kejadian yang mencerminkan tindakan brutal atau melawan hukum yang dilakukan anggota masyarakat lain bahkan pejabat negara sendiri. Kebijakan pemerintah yang mengesampingkan kebutuhan sarana dan prasarana pendukung pendidikan juga dapat memicu tindakan brutal pelajar (Media Indonesia, Rabu 16 Januari 2008). 

Arief Rachman (Tokoh Pendidikan), meminta agar kasus tawuran dengan korban meninggal diproses secara hukum dan pelaku dipidana sesuai undang-undang sehingga memberikan efek jera bagi siswa lainnya.

Dosen psikologi UI, Winarini Wilman, mengatakan, persoalan kekerasan di kalangan pelajar dan penanganannya belum banyak beranjak. ”Persoalan tawuran ini baru dilihat sebatas masalah lokal, bukan masalah nasional. Kalau sudah menjadi masalah nasional, semua elemen masyarakat ikut terlibat dan ikut waspada di semua lini,” (Kompasiana.com,September 2012).

Guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Apakah ini Karma? Memang brutalisme sering dilakukan diluar jam sekolah, namun sudah selayaknya sanksi tak hanya diberikan kepada pelaku tawuran, tapi juga jajaran manajemen sekolah. Masalah tawuran masih dalam konteks pendidikan di sekolah. Sekolah harus bertanggung jawab, terutama kepala sekolah sebagai pemimpin sekolah. Sanksi bagi manajemen sekolah juga ditujukan sebagai pemberi efek jera agar kepala sekolah, guru, komite sekolah, dan orangtua siswa bisa melaksanakan pola pendidikan yang benar.

Bahkan tawuran menurut salah satu MUI ajaran Islam haram hukumnya, karena bisa melukai orang lain hingga saling bunuh membunuh. Seperti MUI Lebak yang mengeluarkan fatwa haram tawuran karena bisa melukai orang lain.

Harus diakui beberapa faktor penyebab terjadinya kekerasan dan tawuran di kalangan pelajar. Antara lain, faktor pendidikan karakter di sekolah, kurangnya pengawasan orang tua, lingkungan, pergaulan, dan senioritas. Selain itu, tawuran juga disebabkan tak adanya langkah pencegahan yang sistematis serta tidak adanya sanksi yang mendidik, juga kurangnya komunikasi antara orang tua dan guru.

Pada fase remaja, siswa mengalami masa transisi dari anak- anak menjadi dewasa. Perspektif psikologi massa menyangkut proses meleburnya individu dalam perilaku massa. Sebagai bagian dari perilaku massa, remaja mengalami deindividuasi yang berupa hilangnya tanggung jawab pribadi, tindakan irasional, dan tindakan sugestif.

Bagaimana dengan Hukum ?

Hukum dan masyarakat tidak bisa dipisahkan, bagi hukum, masyarakat merupakan sumber daya yang memberi hidup (to nature) dan menggerakkan hukum tersebut. Masyarakat menghidupi hukum dengan nilai-nilai, gagasan, konsep, disamping itu masyarakat juga menghidupi hukum dengan cara menyumbangkan masyarakat untuk menjalankan hukum. Kita mengetahui dari perspektif sosiologis hukum, hukum itu hanya bisa dijalankan melalui campur tangan manusia, sebagai golongan yang menyelenggarakan hukum, maupun mereka yang wajib menjalankan ketentuan hukum. Dengan demikian masuklah aspek perilaku manusia ke dalam hukum.

Satjipto Raharjo, Hukum bekerja dengan cara memancangi perbuatan seseorang atau hubungan antara orang-orang dalam masyrakat. Untuk keperluan pemancangan tersebut, maka hukum menjabarkan pekerjaannya dalam berbagai fungsi, yaitu:
a. Pembuatan norma-norma, baik yang memberikan peruntukan maupun yang menentukan hubungan antara orang dengan orang
b. Penyelesaian sengketa-sengketa
c. Menjamin keberlangsungan kehidupan masyarakat, yaitu dalam hal terjadi perubahan-perubahan sosial

Apabila proses pengontrolan sosial tersebut dihubungkan dengan bagan hubungan sibernetik dari parsons, maka tampak bahwa pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan oleh hukum itu tidak sama sekali otonom, melainkan kait-berkait dengan proses-proses lain yang berlangsung dalam masyarakat. Kait-berkait dalam arti, baik hukum itu mengontrol maupun dikontrol oleh berbagai proses dalam masyarakat ituserta bekerjanya hukum itu dikondisikan pula oleh proses-proses yang memuat energi lebih yang besar.

Perbedaan mendasar antara hukum  sebagai fakta hukum dengan hukum sebagai fakta sosial. Hukum sebagai fakta hukum spekulatif teoritis dan normatif, sementara hukum sebagai fakta sosial bersifat sosiologis’empiris,non-doktrinal dan non-normatif. Masyarakat memberi hidup hukum sedangkan hukum mengarahkan masyarakat menuju tujunannya. Sebagaimana pandangan sosiological jurisprudence hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup didalam masyarakat.

Bagir Manan, “di lapangan hukum pidana, anak-anak diperlakukan sebagai orang dewasa ukuran kecil, sehingga seluruh proses perkaranya kecuali di Lembaga Pemasyarakatan dilakukan sama dengan orang dewasa”.

Awaludin Marwan berpendapat bahwa hukum yang baik adalah hukum yang memiliki legitimasi moral dan politik dari masyarakat, yang berisikan keinginan, harapan, kebutuhan dan kebudayaan masyarakat. Hukum yang tidak mengandung hati nurani rakyat, maka ia bukanlah hukum yang baik dan hukum yang terkhir inilah yang harus dikritik dan dirobohkan.

Dibutuhkan suatu pendekatan hukum yang bisa menjelaskan hubungan antara hukum dan masyarakat. Dalam konteks negara yang sedang berkembang. Bukankah hukum tidak lagi sebagai sebuah museum? Terpajang dilembaga-lembaga hukum melainkan merupakan wujud dari dinamika kehidupan sosial.

Langkah persuasif yang terstruktur dan masif harus digelorakan bahkan diaktualisasikan secara komprehensif, seluruh pihak.  Ini tentunya untuk pencegahan “brutalisme” Darah Muda._*
 
Lihat dalam Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perilaku, Hidup Baik adalah Dasar Hukum yang Baik, Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2009, hal. 19; lihat juga dalam Yesmil Anwar dan Adang, Pengantar Sosiologi Hukum,Jakarta: Kompas Gramedia, 2008, hal. 114
Lihat Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir, Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2007, hal. 133.
Sabian Usman, Dasar-Dasar Sosiologi Hukum, Yogyakarta: Pustak Pelajar, 2009.
Lihat dalam Satjipto Raharjo, dkk., Satjipto Rahardjo dan Hukum Progresif: Urgensi dan Kritik, Episentrum Institute, 2011.
Gatot Supramono. 2007. Hukum Acara Pengadilan Anak. Jakarta: Djambatan. Hal. 10
4http://www.mjieschool.blogspot.com. Diakses tanggal 23 Maret 2009. Pukul 20.25 WIB. Hal. 2
Republika.co.id






Komentar

Postingan Populer