"Presumption of Innocence"
"Presumption of Innocence"
(Kantor Hukum : Gunawan Nanung,SH & Rekan)
Praduga
Tak Bersalah atau "Presumption of Innocence" adalah asas
di mana seseorang dinyatakan tidak bersalah hingga pengadilan menyatakan
bersalah. Asas ini sangat penting pada demokrasi modern dengan banyak negara memasukannya
kedalam konstitusinya.
Dalam
penerapan hukum dikenal "Rule of Law" bukan "Law
of the Ruler". Salah satu unsur dari "Rule of Law"
adalah asas "Praduga tak bersalah" (Presumption of innocence) seperti
terdapat didalam : Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP) pasal
66:"Tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian".
Dan didalam Penjelasan dari pasal 66 dikatakan pula bahwa ketentuan ini adalah
penjelmaan dari asas praduga tak bersalah. Hal ini tambah
diperkuat oleh Pasal 158 KUHAP yang berbunyi, " Hakim dilarang menunjukkan
sikap atau mengeluarkan pernyataan di sidang tentang keyakinan mengenai salah
atau tidaknya terdakwa".
Tidak bisa dipugkiri, sudut
pandang umum lebih mengutamakan perlindungan atas hak individu, bukan hak
kolektif(masyarakat), sekalipun anggota masyarakat atau masyarakat sebagai
suatu kolektivitas, telah dirugikan oleh perbuatan tersangka.
Menurut Prof. Romli Atmasasmita, SH Asas praduga tak bersalah seharusnya berbunyi: ”seseorang
harus dianggap tidak bersalah sampai dapat dibuktikan sebaliknya”
Penegasan
asas praduga tak bersalah ini juga terkait dengan pendapat Cooter dan Ulen,
yang membandingkan bagaimana sistem hukum ”Common Law” dengan sistem hukum
”Civil Law” menempatkan standar pembuktian. Dikatakannya bahwa, sistem hukum
yang pertama menempatkan standar yang tinggi untuk pembuktian, sedangkan sistem
hukum kedua tampak moderat dalam hal tersebut.
Standar yang tinggi dimaksud tampak jelas dari pandangan,
menuntut seseorang yang tidak bersalah sangat buruk tampaknya dibandingkan
dengan kegagalan menuntut seseorang yang bersalah; atau dengan adagium yang
terkenal, ”lebih baik seratus orang yang bersalah dibebaskan dari pada
seseorang yang tidak bersalah dihukum”. Standar tinggi sistem pembuktian
tersebut justru untuk menempatkan keseimbangan bagi kepentingan
tersangka/terdakwa
Menurut Prof.
Romli Atmasasmita, SH, perubahan konsep keadilan dari retributif
kepada komutatif dan terakhir kepada keadilan restoratif, telah dianut dalam
berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia. Ketentuan mengenai ”ganti
rugi” bagi pihak yang dirugikan karena tindakan penangkapan atau penahanan oleh
penyidik (Pasal 98 KUHAP) melalui mekanisme pra-peradilan. Selain itu juga terdapat
dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban;
Ketentuan mengenai kompensasi dan restitusi dalam UU Nomor 15 tahun 2003
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme; UU Nomor 26 tahun 2000 tentang
Pengadilan HAM; UU Nomor 31 tahun 1999 yang diubah dengan UU Nomor 20 tahun
2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
_dari
berbagai sumber*
Komentar
Posting Komentar