Janji Menikahi

Ingkar Janji Menikahi, Langgar Susila dan Kepatutan Masyarakat
*Muhammad Nirwan Farbianto



Mahkamah Agung (MA) secara tegas menyatakan tidak menepIngkarati perjanjian untuk melangsungkan pernikahan adalah perbuatan melawan hukum. Karena itu pula, tergugat dihukum membayar ganti rugi kepada penggugat untuk pemulihan nama baik penggugat. Putusan MA dalam perkara ini seolah mendobrak pakem yang dirumuskan pasal 58 KUH Perdata.

Pasal 58 KUH Perdata merumuskan tiga hal. Pertama, janji menikahi tidak menimbulkan hak untuk menuntut di muka hakim untuk dilangsungkannya perkawinan. Juga tidak menimbulkan hak untuk menuntut penggantian biaya, kerugian, dan bunga, akibat tidak dipenuhinya janji itu. Semua persetujuan ganti rugi dalam hal ini adalah batal. Kedua, namun jika pemberitahuan nikah telah diikuti suatu pengumuman, maka hal ini dapat menjadi dasar untuk menuntut kerugian. Ketiga, masa daluarsa untuk menuntut ganti rugi tersebut adalah 18 bulan terhitung sejak pengumuman rencana perkawinan.

Salah satu yang menjadi yurisprudensi adalah putusan yang dijatuhkan hakim agung Bagir Manan, Parman Suparman, dan Arbijoto, pada petengahan Juli 2003. Dalam putusan ini, majelis hakim agung mengabulkan permohonan kasasi Pemohon Kasasi/Penggugat. Judex factidianggap salah menerapkan hukum.


Menurut majelis hakim agung, tidak dipenuhinya janji menikahi mengandung arti Tergugat telah melanggar norma kesusilaan dan kepatutan masyarakat, dan perbuatan Tergugat adalah perbuatan melawan hukum. Oleh karena perbuatan tidak memenuhi janji menikahi itu menyebabkan kerugian bagi Penggugat, maka Tergugat asal wajib membayar ganti rugi yang besarnya ditetapkan dalam amar. Jumlahnya sebesar Rp7,5 juta sebagai pengganti biaya yang telah dikeluarkan Penggugat untuk membiayai hidup Tergugat selama mereka berdua menjalin asmara.

Dari putusan perkara ini dapat ditarik kaidah hukum bahwa ‘dengan tidak dipenuhinya janji untuk mengawini, perbuatan tersebut adalah suatu perbuatan melawan hukum karena melanggar kesusilaan dan kepatutan dalam masyarakat’. Juga dapat diketahui bahwa ini bukan putusan pertama yang menghukum pelaku yang ingkar janji menikahi.

Hakim agung merujuk pada yurisprudensi No. 3191K/Pdt/1984 tanggal 8 Februari 1986. Dalam putusan ini, hakim agung menyatakan perbuatan Tergugat asli yang tidak memenuhi perjanjian untuk melangsungkan perkawinan dikualifikasi sebagai pelanggaran norma kesusilaan dan kepatuhan dalam masyarakat, sekaligus merupakan perbuatan melawan hukum yang merugikan Penggugat asli.

Dalam bukunya Himpunan Jurisprudensi Indonesia yang Penting untuk Praktek Sehari-Hari (Landmark Decisions), Sudargo Gautama mencatat bahwa putusan 8 Februari 1986 itu mungkin yang pertama kali di Indonesia masalah tidak menepati janji  untuk melangsungkan perkawinan dianggap sebagai perbuatan melawan hukum, dan diikuti keharusan membayar ganti rugi.

Menurut Prof. Sudargo, putusan Mahkamah Agung ini membuka jalan secara hukum perdata untuk menuntut pihak yang tidak menepati janji menikahi. Padahal janji untuk menikahi tidak dapat membawa penuntutan ganti kerugian. Pasal 58 BW menyebutkan “janji-janji kawin tidak menimbulkan hak guna menuntut di muka hakim akan berlangsungnya perkawinan, pun tidak guna menuntut penggantian biaya, rugi, dan bunga, akibat kecederaan yang dilakukan terhadapnya. Segala persetujuan untuk ganti rugi dalam hal ini adalah batal”. Gugatan ganti rugi bisa diajukan jika terbukti sudah ada pemberitahuan akan kawin kepada petugas (Kantor Catatan Sipil) diikuti pengumuman kawin oleh petugas tersebut.

Namun setelah ada UU No. 1 Tahun 1974tentang Perkawinan, mekanisme perkawinan menurut hukum Barat itu tak berlaku lagi. Pasal 29 UU Perkawinan memperkenankan kedua pasangan membuat perjanjian tertulis sebelum perkawinan dilangsungkan. Namun perjanjian itu tidak boleh melanggar batas-batas hukum, agama, dan kesusilaan. UU Perkawinan tak menyinggung sama sekali mengenai janji menikahi yang kemudian diingkari. 

Komentar

Postingan Populer